hubungan struktur anatomi kayu dengan sifat kayu

advertisement
HUBUNGAN STRUKTUR ANATOMI KAYU DENGAN SIFAT
KAYU, KEGUNAAN DAN PENGOLAHANNYA1)
Oleh:
Imam Wahyudi
Fakultas Kehutanan IPB
E-mail: [email protected]
Abstrak
Hubungan antara struktur anatomi kayu dengan tiga variabel penting dalam rangka
pemanfaatan kayu secara optimal dan tepat yaitu sifat, kegunaan dan pengolahan kayu
dikupas tuntas dalam makalah ini. Tidak perlu diragukan lagi bahwa hubungan antara
struktur anatomi kayu dengan sifat, kegunaan dan pengolahan kayu tersebut sangat erat
dimana sifat kayu sangat bergantung pada struktur anatominya dan melekat (inherent) di
dalam struktur sel-sel penyusun kayu. Keseluruhan sifat kayu secara bersama-sama akan
menentukan kegunaan dari kayu itu sendiri, sedangkan proses pengolahan yang akan
diaplikasikan sangat bergantung pada struktur anatomis kayu. Berdasarkan metode
pengamatannya, struktur anatomi kayu terdiri dari struktur makroskopis (macrostructure),
mikroskopis (microstructure), submikroskopis (ultrastructure), struktur nano (nano structure)
dan struktur molekuler (molecular structure), sedangkan berdasarkan hubungannya dengan
kekuatan, sifat kayu dapat dibedakan atas sifat kasar dan sifat struktural. Sifat struktural ini
tak lain adalah struktur kayu itu sendiri. Sifat kasar kayu yang utama adalah warna, bau
dan rasa, tekstur, arah serat, corak, kesan raba dan kilap kayu. Warna dipengaruhi oleh
pigmen, bau dan rasa serta kesan raba dan kilap kayu dipengaruhi oleh zat ekstraktif,
tekstur kayu bergantung pada diameter sel pembuluh (untuk kayu daun lebar) atau
diameter sel trakeida (untuk kayu konifer), arah serat berhubungan dengan orientasi
longitudinal sel-sel dominan penyusun kayu terhadap sumbu batang, sementara corak kayu
bergantung pada keberadaan lingkaran tumbuh dan jaringan parenkim marjinal, pola
susunan pori, ripple mark dari sel jari-jari, warna kayu gubal dan teras serta kayu awal dan
kayu akhir. Corak kayu juga bergantung pada pola penggergajian yang diterapkan. Secara
umum, struktur kayu daun lebar lebih kompleks dibandingkan struktur kayu konifer karena
konifer hanya disusun oleh sel trakeida dan sel-sel parenkim termasuk jari-jari, sedangkan
kayu daun lebar terdiri dari jaringan pembuluh, sel serabut, sel parenkim aksial, sel jari-jari
dan sel-sel trakeida. Kayu juga dapat dianalisis melalui ke-empat sifat dasarnya (anatomis,
fisis, mekanis dan sifat kimia). Sifat-sifat tersebut berbeda dari sifat pengolahan
(pengeringan, pengawetan dan peningkatan mutu) dan sifat pengerjaan kayu. Sifat dasar
kayu bervariasi karena dipengaruhi oleh faktor genetis, faktor lingkungan dan tingkat
kedewasaan sel. Hasil kajian membuktikan bahwa masing-masing jenis produk yang akan
dibuat menuntut persyaratan yang berbeda. Ini berarti tidak semua jenis kayu cocok untuk
satu jenis produk dan tidak semua jenis produk berkualitas tinggi dapat dibuat hanya dari
satu jenis kayu saja. Yang harus diperhatikan adalah kesesuaian antara sifat kayu dengan
jenis produk yang akan dibuat (tujuan) dan dengan proses pengolahan yang akan
diaplikasikan. Memang seharusnyalah hal ini dilakukan oleh semua pihak terkait untuk
memperoleh manfaat yang maksimal. Dan diantara ke-empat sifat dasar yang ada, sifat
anatomis kayu merupakan sifat yang paling crusial dan menuntut perhatian lebih karena
menganalisis suatu proses pengolahan kayu tak lepas dari menganalisis reaksi (behaviour)
sel-sel penyusun kayu itu sendiri saat kayu tersebut diolah.
Kata Kunci: struktur anatomi, sifat, kegunaan dan pengolahan, kayu daun lebar, konifer,
1)
Makalah disampaikan pada Diskusi LitBang Anatomi Kayu Indonesia, Bogor 3-4 Juni 2013
PENDAHULUAN
Sumberdaya hutan memegang peranan penting dalam menopang dan
menyediakan kebutuhan substansial bagi masyarakat luas (Labetubun et al. 2005).
Pengelolaan sumberdaya hutan secara lestari dengan tujuan pemanfaatan yang tepat
menuntut pola manajemen yang komprehensif dan berimbang. Apalagi bila
mempertimbangkan trend peningkatan terhadap tingkat pemenuhan kebutuhan yang
semakin meningkat (Crossette et al. 2010). Menurut FAO 2011, kebijakan sektor
pembangunan berkelanjutan dan upaya peningkatan taraf kualitas hidup masyarakat
dunia saat ini terus mengalami eskalasi baik pada tingkat lokal, regional, nasional
bahkan inter-kontinental. Oleh karena itu ketersediaan sumberdaya alam yang ada
termasuk hutan menjadi salah satu modal utama yang perlu dimanfaatkan secara
bijaksana dan dikelola secara proporsional sebagai kunci penting untuk
mengoptimalkan tingkat pemenuhan kebutuhan yang berimbang.
Dalam keseharian proses kehidupan, sulit bagi kita untuk memisahkan kayu
sebagai suatu material yang sangat dibutuhkan. Secara kumulatif, kayu telah menjadi
primadona dan alternatif pilihan utama yang tidak tergantikan sejak masa lampau
hingga kini (Hoadlay 1990). Kayu dapat digunakan untuk berbagai macam keperluan
mulai dari sebagai bahan baku konstruksi bangunan dan perumahan, papan komposit,
meubel, furniture dan kerajinan, pulp dan kertas, hingga kayu bakar. Eksistensi ini
sangat rasional karena kayu memiliki sifat yang tidak mampu disaingi oleh material lain
dalam memenuhi berbagai kebutuhan hidup manusia. Salah satu sifat yang paling
menonjol dan memiliki nilai kontinuitas dalam pemanfaatan kayu adalah karena kayu
bersifat renewable dimana ketersediaan dan trend keberlanjutannya dapat dikontrol
dan dikendalikan melalui beberapa aplikasi dan tindakan manajerial (Forest Product
Laboratory 2010). Berangkat dari keunggulan-keunggulan tersebut, maka sudah jelas
bahwa kayu menjadi salah satu material penting yang tidak tergantikan dalam
hubungannya dengan berbagai macam bentuk pemanfaatannya.
Namun, secara eksplisit kayu juga memiliki tingkat variasi yang cukup tinggi
baik pada level spesies, antar spesies hingga antar genus dalam satu divisi tumbuhan,
dan bahkan dalam satu batang pohon, yang seringkali dianggap sebagai
kelemahannya (Zobel dan Buijtenen 1989). Variasi-variasi tersebut tidak hanya dari
segi taksonomis dimana dikenal dua kelompok kayu yaitu kayu daun lebar (hardwood)
dan kayu daun jarum (softwood) yang secara morfologis berbeda, namun juga secara
fisiologis dan anatomis. Bahkan perbedaan secara anatomis merupakan perbedaan
yang krusial (Barnett dan Jeronimidis 2003). Selain pengaruh taksonomis, variasi
perbedaan kondisi altitude, ketinggian tempat, iklim dan serta lingkungan tempat
tumbuh juga turut memberikan sumbangsih yang signifikan terhadap terbentuknya
variasi sifat, struktur serta komponen penyusun material berkayu (Bosoi et al. 2010).
Itulah mengapa penggunaan dan juga pengolahan kayu harus disesuaikan dengan
sifat-sifat yang dimilikinya.
Di tanah air pengembangan industri perkayuan terus dilakukan oleh pemerintah
mengingat kontribusinya yang cukup besar dalam perekonomian negara meski
paradigma kehutanan mulai bergeser dari kayu ke hasil hutan bukan kayu. Namun
dalam beberapa tahun terakhir ini laju perkembangan industri tersebut terasa agak
2
terhambat atau bahkan stagnan terkait dengan berbagai masalah yang dihadapi. Salah
satu permasalahan utama yang dihadapi adalah masalah kelangkaan kayu sebagai
bahan baku. Tercatat bahwa kekurangan bahan baku kayu berkualitas mencapai 70%
untuk jati (Sidabutar 2007) dan hampir 90% untuk jenis lainnya (Laban 2005).
Diperkirakan masalah ini masih akan dihadapi untuk beberapa tahun ke depan.
Untuk mengatasi permasalahan ini, sejak tahun 1980 pemerintah mendorong
pembangunan hutan tanaman secara besar-besaran. Meski masih banyak hal-hal yang
perlu dibenahi, di masa kini dan masa mendatang diyakini bahwa kayu-kayu hasil
hutan tanaman baik itu hutan tanaman industri (HTI), hutan rakyat, hutan
kemasyaratan dan lain sebagainya akan menjadi bahan baku utama bagi industri
perkayuan tanah air. Mengingat sifat dan karakteristik kayu-kayu hasil hutan tanaman
secara umum relatif inferior dibandingkan dengan karakteristik kayu-kayu yang selama
ini digunakan, terutama dari segi kekuatan, keawetan dan kestabilan dimensi karena
berasal dari jenis pohon cepat tumbuh dan biasa ditebang pada usia muda, maka
penggunaan kayu-kayu yang demikian menuntut perlakuan khusus. Teknologi
peningkatan mutu terhadap kayu-kayu yang demikian perlu dikembangkan tidak hanya
dalam rangka menjamin kualitas produk yang akan dihasilkan, namun juga bermanfaat
bagi perkembangan ilmu dan teknologi di bidang teknologi pengolahan kayu serta
pertumbuhan ekonomi bangsa dan masyarakat.
Makalah ini dimaksudkan untuk mengulas hubungan antara struktur anatomi
kayu dengan sifat kayu, kegunaan dan pengolahannya dalam rangka memanfaatkan
kayu secara tepat dan proporsional.
STRUKTUR ANATOMI KAYU DAN HUBUNGANNYA DENGAN SIFAT KAYU
Struktur anatomi kayu meliputi bentuk, ukuran, sifat, fungsi, proporsi dan
susunan dari sel-sel penyusun kayu, sedangkan sifat kayu tak lain adalah ukuran
kualitas atau gambaran dari kayu itu sendiri secara keseluruhan. Oleh karena itu sifat
kayu sangat ditentukan dan bergantung pada struktur anatominya. Dengan kata lain,
sifat kayu itu melekat (inherent) di dalam struktur sel-sel penyusun kayu.
Berdasarkan cara pengamatannya Sarajar (1982); Bowyer et al. (2003)
membedakan struktur anatomi kayu atas: a) struktur makroskopis (macrostructure)
yaitu struktur yang dapat diamati dengan mata telanjang atau dengan kaca pembesar
(10-15X), b) struktur mikroskopis (microstructure) yaitu struktur kayu yang baru dapat
diamati dengan jelas menggunakan mikroskop cahaya (100-500X) dan c) struktur
submikroskopis (ultra-structure), yaitu struktur kayu yang diamati dengan mikroskop
elektron (1000-10.000X). Pengamatan orientasi fibril selulosa dinding sel dan
pengukuran sudutnya (microfibril angle/MFA) adalah contohnya.
Dengan adanya perkembangan teknologi, dikenal pula istilah struktur nano
(nano structure) dan struktur molekuler (molecular structure) akhir-kahir ini. Nano
structure adalah struktur kayu yang baru dapat diamati dengan jelas menggunakan
mikroskop elektron yang dilengkapi dengan alat tambahan sehingga pembesaran
dapat mencapai sejuta kali dari aslinya seperti AFM (the atomic force microscope),
sedangkan molecular structure merupakan struktur kayu di tingkat molekul yang pada
umumnya baru dapat dilihat dengan jelas menggunakan mikroskop elektron yang
dilengkapi dengan satu atau lebih alat tambahan sehingga pembesaran dapat
3
mencapai lebih dari sejuta kali seperti EDM (energy dispersal microscope), XDAM (Xray diffraction atomic microscope) dan sebagainya (Barnett and Jeronimidis 2003).
Apapun alat yang digunakan, struktur anatomi kayu yang diamati pada dasarnya
adalah sama, yaitu terkait dengan sel-sel penyusun kayu. Yang membedakan diantara
mereka adalah cara penyusunan (organisasi) dan ciri khas atau tanda-tanda lain yang
terdapat pada dinding dari masing-masing sel penyusun kayu. Gambaran ringkas yang
menjelaskan hal di atas disajikan pada Gambar 1.
Gambar 1 Kayu dan bagian-bagian penyusunnya.
(Sumber: Barnett and Jeronimidis 2003)
Dalam dunia perdagangan kayu, dikenal dua kelompok kayu yaitu kayu daun
lebar dan kayu daun jarum. Kayu daun lebar adalah kayu yang dihasilkan oleh pohon
yang termasuk subdivisi angiospermae-kelas dikotil, sedangkan kayu daun jarum
adalah kayu-kayu dari pohon anggota subdivisi gymnospermae-ordo koniferales. Itulah
sebabnya kayu daun jarum sering disebut juga kayu konifer.
Macam dan bentuk sel-sel penyusun kayu daun lebar lebih beragam
dibandingkan dengan kayu konifer, sehingga struktur kayu daun lebar sering disebut
lebih kompleks (heterogen) dibandingkan struktur kayu konifer yang sangat sederhana
(Gambar 2). Struktur kayu konifer hanya disusun oleh sel trakeida (90-95%) dan sel-sel
parenkim termasuk jari-jari kayu (5-10%), sedangkan struktur kayu daun lebar terdiri
dari jaringan pembuluh (20-40%), sel serabut (20-60%), sel parenkim aksial (0-15%),
sel jari-jari (5-25%) dan sel-sel trakeida (0-10%) (Bowyer et al. 2003).
Berdasarkan hubungannya dengan kekuatan kayu, sifat kayu dapat dibedakan
atas sifat kasar, yaitu sifat yang tidak ada hubungannya secara langsung dengan
kekuatan kayu, dan sifat struktural (yang tak lain adalah struktur kayu itu sendiri) yang
secara langsung akan menentukan kekuatan dan sifat-sifat kayu lainnya. Sifat kasar
bersifat subjektif, sedangkan sifat struktural bersifat objektif. Sifat kasar harus diamati
pada ketiga bidang pengamatan, yaitu lintang (tegak lurus sumbu batang), tangensial
(memotong tegak lurus salah satu jari-jari kayu dan sejajar sumbu batang) dan radial
(sejajar dengan jari-jari kayu dan sejajar pula dengan sumbu batang) (Sarajar 1982).
4
Gambar 2 Gambaran kayu daun lebar (ki) dan kayu konifer (ka) hasil SEM.
(Sumber: Skaar 1972; Bowyer et al. 2003)
Beberapa sifat kasar yang utama adalah warna, bau dan rasa, tekstur, arah
serat, corak, kesan raba dan kilap kayu. Warna kayu disebabkan oleh adanya pigmen
tertentu, sedangkan bau dan rasa kayu terkait dengan kandungan zat-zat ekstraktif
yang mudah menguap. Untuk beberapa jenis, keduanya bernilai tinggi untuk kegiatan
identifikasi. Tekstur kayu menyatakan halus-kasarnya permukaan kayu, yang
ditentukan oleh besar-kecilnya diameter sel-sel penyusun kayu (sel pembuluh untuk
hardwood, sel trakeida untuk konifer). Bila sel-sel tersebut berukuran kecil, kayu
dikatakan bertekstur halus; dan bila sel-sel penyusun berukuran besar, katu dikatakan
berserat kasar. Menurut Sarajar (1982), halus-kasarnya permukaan kayu sangat
berguna untuk menentukan kecocokan suatu jenis untuk produk jadi yang dalam
proses produksinya menggunakan perekat dan bahan-bahan finishing. Kayu bertekstur
halus memiliki sifat keterekatan yang baik dan lebih hemat dalam penggunaan bahanbahan finishing.
Arah serat berhubungan dengan orientasi longitudinal sel-sel dominan
penyusun kayu terhadap sumbu batang. Bila orientasi sel-sel tersebut sejajar terhadap
sumbu batang, kayu dikatakan berserat lurus; sebaliknya apabila orientasi sel-sel
tersebut membentuk sudut terhadap sumbu batang, maka kayu dikatakan berserat
miring. Serat miring dapat dibedakan atas serat berpadu, serat terpilin, serat berombak
dan serat diagonal. Pada umumnya kayu berserat lurus lebih diminati, meski untuk
keperluan artistik kayu dengan arah berpadu lebih banyak diminati (Tsoumis 1991).
Corak kayu terkait dengan kesan dekoratif yang ditampilkannya (Gambar 3).
Kayu yang bercorak cocok untuk mebel, furniture, barang kerajinan dan produk lain
yang lebih mementingkan penampilan (appearance). Corak kayu ditentukan oleh
keberadaan lingkaran tumbuh dan jaringan parenkim marjinal, susunan pori, ripple
mark pada sel jari-jari, perbedaan warna antara kayu gubal dan teras, serta perbedaan
kayu awal dan kayu akhir. Kayu-kayu dengan lingkaran tumbuh yang jelas, atau berpori
tata lingkar, atau memiliki perbedaan warna yang tegas antara bagian gubal dan
terasnya, atau kayu-kayu dengan struktur kayu awal-kayu akhir yang nyata berpotensi
untuk menghasilkan corak yang unik dan khas. Corak kayu juga bergantung pada pola
penggergajian yang diterapkan (Sarajar 1982; Tsoumis 1991; Bowyer et al. 2003).
5
Gambar 3 Contoh corak kayu.
(Sumber: Tsoumis 1991; Bowyer et al. 2003)
Kesan raba juga terkait dengan zat ekstraktif kayu. Kayu yang berlilin seperti jati
menghasilkan kesan raba yang licin dan tidak lengket (Sarajar 1982), sedangkan kayu
yang berminyak menghasilkan kesan basah dan lengket (sticky). Kayu dengan nilai
berat jenis (BJ) tinggi memberikan kesan “dingin”, sedangkan kayu dengan BJ rendah
“hangat”.
Kilap kayu merupakan kesan yang menunjukkan kemampuan permukaan kayu
untuk memantulkan cahaya. Secara umum, ada kayu yang berkilap dan ada juga yang
“buram”. Sebagaimana kesan raba, kilap kayu juga dipengaruhi oleh zat ekstraktif.
Umumnya kilap kayu di bidang radial lebih menarik dibandingkan di bidang tangensial.
Selain melalui sifat kasarnya, kayu juga dapat dianalisis melalui sifat anatomis,
sifat fisis, sifat mekanis dan sifat kimianya. Keempat sifat tersebut lebih dikenal dengan
istilah sifat-sifat dasar kayu, yang berbeda sama sekali dari sifat pengolahan dan sifat
pengerjaan (sifat pemesinan)-nya. Sifat dasar kayu dipengaruhi oleh faktor genetis,
faktor lingkungan (kondisi tempat tumbuh, iklim, kesuburan tanah dan perlakuan
silvikultur) serta faktor tingkat kedewasaan sel (Bowyer et al. 2003). Proses
pengolahan kayu yang sudah biasa dilakukan meliputi pengeringan, pengawetan dan
peningkatan mutu kayu.
Sebagaimana telah diuraikan di atas, sifat anatomis kayu tak lain adalah sifat
yang berhubungan dengan sel-sel penyusun kayu; sedangkan sifat fisis berhubungan
dengan respon kayu terhadap perubahan kelembaban udara (relative humidity/RH) dan
suhu lingkungan di sekitar kayu yang mempengaruhi wujud dan penampilan kayu. Sifat
mekanis kayu adalah sifat yang berhubungan dengan kekuatan kayu dan merupakan
ukuran kemampuan kayu untuk menahan gaya luar yang bekerja padanya, sedangkan
sifat kimia adalah sifat kayu yang dihubungkan dengan kandungan dan komposisi
relatif senyawa kimia penyusun dinding sel kayu terutama selulosa, hemiselulosa,
lignin, zat ekstraktif dan bahan anorganik lainnya (Bowyer et al. 2003).
Beberapa sifat yang tergolong sifat fisis penting adalah kadar air (KA),
kerapatan (ρ), BJ, kembang susut dan permeabilitas kayu, sedangkan sifat mekanis
meliputi keteguhan lentur statis (static bending strength), keteguhan tarik (tensile
strength), keteguhan tekan (compressive strength), keteguhan geser (shearing
strength), kekakuan (stiffness), keuletan (toughness), kekerasan (hardness) dan
ketahanan belah (cleavage resistance). Secara umum diketahui bahwa antara BJ kayu
6
dengan sifat mekanis terutama kekuatan kayu memiliki hubungan korelasi positif.
Semakin tinggi BJ kayu, maka kayu akan semakin kuat (Bowyer et al. 2003). Kayu berBJ tinggi cocok untuk tujuan memikul beban (struktural).
Sifat fisis dan sifat mekanis kayu bergantung pada faktor inherent dalam kayu
terutama tebal-tipis dinding sel, porsi kayu akhir-kayu awal, persentase kayu gubalkayu teras, MFA dan proporsi masing-masing sel penyusun kayu. Nilai kerapatan dan
BJ kayu pada kayu-kayu dengan persentase bagian kayu akhir yang lebih tinggi atau
yang didominasi oleh sel-sel yang berdinding tebal akan lebih tinggi (kayu lebih kuat).
Kayu dengan MFA yang lebih kecil akan lebih stabil; kayu dengan porsi rongga sel
yang lebih banyak akan lebih permeabel. Kedua sifat tersebut (fisis-mekanis) juga
bergantung pada kandungan kimiawi dinding sel. Kayu yang lebih tinggi kadar ligninnya
akan lebih kaku sehingga lebih sulit untuk dibengkokan, sedangkan kayu yang lebih
banyak zat ekstraktifnya akan lebih kuat, umumnya lebih awet dan lebih stabil
(kembang-susutnya rendah).
Keempat sifat dasar kayu sebagaimana di atas juga berhubungan erat dengan
sifat pengolahan dan pengerjaannya. Kayu-kayu yang kurang permeabel pada
umumnya sulit untuk dikeringkan ataupun diawetkan. Kayu-kayu berBJ tinggi meski
lebih sulit dalam pengerjaannya menghasilkan permukaan yang lebih halus.
Sebagaimana telah dijelaskan, kayu dengan kadar ekstraktif tinggi pada umumnya
lebih awet tetapi sulit untuk dikeringkan.
HUBUNGAN STRUKTUR ANATOMI KAYU DENGAN KEGUNAANNYA
Ulasan hubungan struktur anatomi kayu dengan kegunaannya difokuskan pada
produk-produk yang telah diproduksi secara massal atau yang sudah dikenal seperti
kayu gergajian, papan komposit (kayu lapis, kayu lamina dan papan partikel), pulp dan
kertas, meubel dan furniture, patung dan barang kerajinan serta kayu energi. Kayu
gergajian meliputi kayu pertukangan untuk tujuan struktural (konstruksi) dan sortimen
untuk tujuan penggunaan lain yang tidak mengutamakan aspek kekuatan.
Tabel 1 memuat hubungan antara mutu kayu dengan sifat dasar yang harus
diperhatikan untuk masing-masing keperluan. Dari tabel tersebut dapat disimpulkan
bahwa ketebalan dinding sel, MFA, keberadaan kayu reaksi, kayu juvenil, kayu teras
dan tegangan pertumbuhan (dari struktur anatomi kayu), kerapatan, BJ serta KA kayu
(sifat fisis kayu), serta kadar zat ekstraktif dan kadar lignin (sifat kimia kayu) merupakan
indikator penting (Barnett and Jeronimidis 2003).
Pada prinsipnya untuk menghasilkan suatu produk bermutu tinggi diperlukan
persyaratan tertentu yang berbeda satu sama lain bergantung pada jenis produk yang
akan dibuat. Artinya tidak semua jenis kayu dapat digunakan untuk satu jenis produk,
dan tidak semua jenis produk berkualitas tinggi harus mengandalkan satu jenis kayu.
Yang harus diperhatikan adalah kesesuaian antara sifat kayu dengan jenis produk
yang akan dihasilkan termasuk juga proses pengolahan karena masing-masing jenis
kayu memiliki sifat yang berbeda baik akibat perbedaan kondisi tempat tumbuh, umur
pohon mau pun akibat perbedaan posisi kayu dalam satu batang.
7
Tabel 1. Hubungan antara persyaratan mutu kayu dengan sifat dasar kayu
Sifat Dasar Kayu yang Menentukan
Mutu dan Parameternya
Anatomis
Fisis
Kekakuan
Kekuatan
Kekuatan
MFA
Tebal dinding sel
Kerapatan/BJ kayu
Kekerasan
Distorsi
Stabilisasi
dimensi
Susut
MFA, tebal
dinding sel
Collaps
MFA, sel
pembuluh
Kerapatan/BJ kayu,
tegangan pertumbuhan, KA
Warna
-
Kayu gubal/kayu juvenil
Tebal dinding sel
Kerapatan/BJ kayu, kayu
teras
Keawetan
Keterekatan
Pengeringan
Tebal dinding sel
Pemesinan
Kekakuan,
Kayu reaksi,
Log processing pecah dan
Tebal dinding sel
retak
(Sumber: Barnett and Jeronimidis 2003).
Manufacturing
Zat
ekstraktif
lignin
Tegangan pertumbuhan
MFA
Biological
Kimia
Zat
ekstraktif
Zat
ekstraktif
Zat
ekstraktif
Kerapatan/BJ kayu
Zat
ekstraktif
Kerapatan/BJ kayu,
tegangan pertumbuhan
-
Untuk tujuan penggunaan sebagai kayu pertukangan yang memikul beban
(struktural) secara umum diperlukan kayu-kayu yang ber-BJ cukup tinggi (>0,70),
berkeawetan alami baik (Kelas Awet II) dan berserat lurus. Corak, warna dan tekstur
tidak menjadi pertimbangan. Sortimen gergajian yang ber-BJ lebih rendah ditujukan
untuk penggunaan lain yang tidak mementingkan kekuatan. Jenis kayu yang biasa
digunakan diantaranya adalah keruing, kapur (kamper), bangkirai, ulin, merbau,
meranti batu, puspa, rasamala, pasang dan lain sebagainya termasuk nyatoh, medang
dan sengon.
Untuk pembuatan kayu lapis dan kayu lamina dibutuhkan kayu-kayu yang
memenuhi persyaratan seperti mudah dikupas atau disayat untuk dijadikan vinir (BJ
0,50-0,75 lebih disukai), cukup awet (Kelas Awet III), bentuk batang silindris hingga
sedikit agak taper, tidak banyak mata kayu, tidak banyak bagian kayu reaksi, berserat
lurus dan memiliki sifat keterekatan yang baik (tidak berminyak). Kayu yang lebih
rendah mutunya (banyak mata kayu, batang taper, bengkok dan lain sebagainya)
dijadikan bahan baku papan partikel. Kayu yang umum dipakai diantaranya adalah
berbagai jenis meranti (Shorea spp.), kapur (kamper), medang, merbau, terentang,
medang dan lain sebagainya termasuk sengon dan jabon.
Persyaratan kayu sebagai bahan baku pulp dan kertas adalah berserat panjang,
nilai bilangan Runklenya rendah (<0,25), berkadar lingnin rendah, ekstraktif rendah
tetapi memiliki kandungan serat yang cukup (BJ 0,55-0,65 lebih disukai). Meskipun
kayu konifer secara umum lebih disukai karena berserat panjang, persentase seratnya
tinggi dan berstruktur homogen, tidak berarti bahwa kayu daun lebar tidak cocok
dijadikan bahan baku pulp dan kertas karena pada prinsipnya semua bahan
berlignoselulosa dapat dijadikan bahan baku pulp dan kertas. Kayu daun lebar yang
demikian biasanya digunakan untuk menghasilkan pulp campuran. Beberapa jenis
8
kayu yang biasa digunakan sebagai bahan baku selain pinus, agathis dan jamuju
adalah mangium, sengon, bakau, gmelina, perupuk dan kayu-kayu lain yang berwarna
terang.
Kriteria utama kayu yang cocok sebagai bahan baku meubel dan furniture
adalah memiliki corak yang menarik (dekoratif), bertekstur sedang-halus, kekuatan dan
kekerasannya sedang (BJ 0,55-0,75 lebih disukai; karena produk dari kayu yang terlalu
keras dan terlalu berat sulit untuk dipindahkan), keawetan alami cukup tinggi (Kelas
Awet II-III), sifat keterekatan dan finishing-nya baik (tidak banyak mengandung minyak)
dan stabil. Contohnya adalah kayu jati, mahoni, pasang, ramin, merbau, karet, sungkai,
mindi, suren, surian, saninten, agathis dan sebagainya.
Kayu yang cocok sebagai bahan baku patung atau barang kerajinan adalah
kayu yang memiliki corak yang menarik (dekoratif), bertekstur sangat halus-halus, awet
(Kelas Awet II lebih disukai), kekuatan dan kekerasannya sedang (BJ 0,55-0,75) dan
stabil. Secara umum persyaratan teknis kayu untuk patung dan barang kerajinan
adalah sama dengan persyaratab kayu untuk meubel dan furniture. Beberapa jenis
kayu yang biasa digunakan diantaranya adalah jati, mahoni, eboni, suren, surian,
sonokeling, sonokembang, pulai, jelutung, ramin dan lain sebagainya. Bahkan kayu
dengan bentuk batang yang khas (bengkok-bengkok atau melengkung indah) juga
diminati selama mudah dibentuk, diukir dan lain sebagainya seperti halnya bungur.
Persyaratan jenis kayu yang potensial sebagai sumber energi termasuk kayu
bakar adalah kayu-kayu yang memiliki heating value yang tinggi seperti lamtoro gung,
lamtoro dan kaliandra. Jenis kayu yang tidak cocok dan kurang ekonomis bila
digunakan sebagai bahan baku kayu pertukangan, papan komposit, pulp dan kertas,
meubel dan furniture maupun patung dan barang kerajinan selama memiliki heating
value yang cukup tinggi biasanya dapat dijadikan kayu bakar atau kayu energi. Jenis
kayu yang nilai kalor nya tinggi, mudah menyala dan tidak banyak asap lebih disukai.
HUBUNGAN STRUKTUR ANATOMI KAYU DENGAN PENGOLAHANNYA
Kayu harus diolah sesuai dengan sifat-sifat yang dimilikinya. Diantara ke-empat
sifat dasar kayu, sifat anatomi merupakan sifat yang sangat penting untuk diperhatikan
karena struktur anatomi sel-sel penyusun kayu sangat menentukan keberhasilan suatu
proses pengolahan yang diterapkan. Sehingga mendiskusikan proses pengolahan kayu
tak lepas dari mendiskusikan reaksi (behaviour) sel-sel penyusun kayu saat kayu
tersebut diolah (diistilahkan sifat pengolahan kayu).
Yang dimaksudkan dengan sifat pengolahan kayu dalam makalah ini adalah
behaviour kayu terhadap perlakuan yang diberikan selama proses berjalan dimana
proses pengolahan tersebut hanya melibatkan suhu (panas) dan bahan kimia. Sifat
pengolahan yang dimaksudkan tidak termasuk behaviour kayu saat kayu dijadikan pulp
(pulping) ataupun saat “dimakan” oleh mesin (gergaji dan sebagainya). Proses yang
terakhir itu dikelompokan dalam sifat pengerjaan kayu. Dengan demikian sifat
pengolahan kayu yang menjadi fokus pembahasan terdiri dari behaviour kayu saat
dikeringkan (sifat pengeringan kayu), saat diawetkan (sifat pengawetan kayu) serta
saat diperlakukan dengan bahan kimia tertentu untuk memperbaiki sifat-sifatnya tanpa
mengakibatkan terjadinya pemisahan antar serat (sifat peningkatan mutu kayu).
Keberhasilan ketiga proses tersebut sangat dipengaruhi oleh struktur anatomi kayu.
9
Pengeringan kayu adalah suatu proses menurunkan kadar air kayu hingga ke
kadar air pemakaian melalui teknik penumpukan yang benar, dengan atau tanpa
pengaturan faktor-faktor pengeringan untuk meningkatkan kestabilan dimensi kayu.
Pengeringan yang tanpa mengatur suhu, RH dan kecepatan angin dikenal sebagai
pengeringan alami (pengeringan udara), sedangkan pengeringan yang mengatur faktor
pengeringan tersebut dan biasanya menggunakan jadwal pengeringan disebut
pengeringan dengan kilang. Untuk mengurangi biaya adalah lumrah bila kayu-kayu
yang akan dikeringkan dalam kilang sudah terlebih dahulu dikeringudarakan.
Parameter keberhasilan suatu proses pengeringan adalah waktu dan cacat
pengeringan. Proses pengeringan kayu dikatakan berhasil apabila waktu yang
dibutuhkan tergolong singkat dengan cacat pengeringan yang minimal (Bowyer et al.
2003).
Pengawetan kayu merupakan proses memasukkan bahan pengawet (bahan
kimia yang bersifat racun terhadap faktor perusak kayu biologis) ke dalam kayu dengan
dan tanpa tekanan (dan vakum) agar kayu menjadi lebih tahan terhadap serangan
berbagai faktor perusak kayu (biologis dan non biologis) sehingga meningkatkan umur
pakai kayu. Keberhasilan proses pengawetan ditentukan oleh retensi (jumlah bahan
pengawet yang tertinggal di dalam kayu) dan penetrasi (dalamnya bahan pengawet
masuk ke dalam kayu). Semakin tinggi retensinya dan semakin dalam penetrasinya
maka kayu akan semakin awet, dan begitu pula sebaliknya. Pengawetan juga
dikatakan berhasil apabila kekuatan kayu setelah diawetkan tidak berkurang secara
nyata (Bowyer et al. 2003).
Peningkatan mutu kayu adalah suatu perlakuan yang biasa diaplikasikan pada
kayu untuk memperbaiki sifat-sifat kayu sehingga mutu kayu secara keseluruhan
menjadi lebih baik. Teknik atau metode yang umum dilakukan terdiri dari: a)
pemadatan/densification (memadatkan kayu dengan bantuan panas dan tekanan), b)
impregnasi (memasukkan bahan kimia tertentu ke dalam kayu tanpa tekanan) dan c)
kompregnasi (kombinasi antara pemadatan dengan impregnasi). Indikator keberhasilan
proses ini adalah nilai kemampuan kayu untuk kembali ke ukuran tebal awal (spring
back) setelah mengalami perlakuan. Semakin rendah nilai springback, semakin stabil
kayu. Kondisi ini mengindikasikan bahwa telah terjadi fiksasi yang sempurna dalam
kayu (Hill 2006).
Selain dipengaruhi oleh kadar air awal dan ukuran ketebalan kayu, mutu dan
sifat pengeringan sangat dipengaruhi oleh struktur anatomi, sifat fisis dan kandungan
kimia kayu. Kayu-kayu yang lebih porous (lebih tinggi persentase rongga sel) atau yang
berkerapatan/ber-BJ rendah cenderung lebih mudah dikeringkan dengan waktu yang
lebih singkat karena lebih permeabel (sifat pengeringan baik, cacat sedikit). Begitu pula
halnya dengan kayu-kayu yang tidak banyak mengandung tilosis atau endapan lain di
dalam rongga sel kayu. Kayu dengan persentase sel parenkim dan jari-jari yang tinggi
menuntut perlakuan pengeringan yang lebih lunak karena tipisnya dinding sel. Dinding
sel yang tipis berpotensi sebagai daerah awal terjadinya cacat. Begitu pula halnya bila
dalam satu lembar sortimen terdapat bagian gubal dan bagian terasnya. Perhatian
perlu diberikan apabila dalam satu sortimen terdapat kayu juvenil atau pun kayu reaksi.
Secara umum kayu konifer lebih mudah dikeringkan dibandingkan dengan kayu daun
lebar pada nilai BJ kayu yang sama akibat struktur kayunya yang homogen. Namun
10
demikian, pengeringan kayu konifer harus dilakukan dengan hati-hati terutama diawalawal periode pengeringan karena peluang terjadinya penyumbatan mulut noktah yang
tergolong tinggi. Hal yang sama berlaku pula pada kayu dengan kadar ekstraktif tinggi
karena berpotensi mengakibatkan terjadinya ketidakmerataan warna (discoloration)
pada permukaan kayu.
Dalam hal mengawetkan kayu, kayu-kayu yang kurang permeabel atau kayukayu yang ber-BJ tinggi atau banyak mengandung tilosis dan/atau endapan tergolong
kayu-kayu yang sukar untuk diawetkan karena bahan-bahan tersebut akan
menghalangi pergerakan masuknya bahan pengawet ke dalam kayu. Bagian kayu
gubal pada umumnya lebih mudah diawetkan dibandingkan dengan bagian kayu teras
karena lebih permeabel akibat tidak memiliki zat ekstraktif. Secara umum kayu konifer
juga lebih mudah diawetkan dibandingkan dengan kayu daun lebar pada BJ yang
sama.
Jalannya air dari dan ke dalam kayu baik saat kayu dikeringkan maupun
diawetkan dipengaruhi oleh kondisi rongga sel yang dilewatinya baik ke arah
longitudinal maupun ke arah lateral, dan juga kondisi mulut noktah di dinding sel. Aliran
arah longitudinal terjadi melalui sel pembuluh (untuk kayu daun lebar) atau sel trakeida
(untuk konifer), sedangkan aliran arah lateral melewati sel jari-jari (untuk kayu daun
lebar dan konifer). Dengan demikian keberadaan tilosis dan endapan berwarna serta
tipe bidang perforasi (pada sel pembuluh) atau keberadaan deposit dan kondisi mulut
noktah (dalam sel trakeida) akan sangat menentukan laju pergerakan air arah
longitudinal, sedangkan laju pergerakan ke arah lateral baik pada kayu daun lebar mau
pun kayu konifer ditentukan oleh keberadaan kristal mineral, ukuran dan kondisi mulut
noktah di dinding sel jari-jari kayu. Tingginya kandungan tilosis, endapan berwarna,
kristal mineral dan deposit lainnya akan mengakibatkan laju pergerakan air menjadi
terhambat sehingga kayu menjadi sulit untuk dikeringkan atau diawetkan. Pengeringan
dan pengawetan akan semakin sulit apabila dalam waktu yang bersamaan noktah yang
ada di dinding sel berada dalam keadaan teraspirasi (aspirated pitting). Oleh karena itu
terhadap kayu dengan kadar tilosis atau kadar endapan dalam rongga sel tinggi, perlu
dilakukan tindakan yang bertujuan untuk mengurangi kadar bahan-bahan penghalang
tersebut sebelum dikeringkan atau diawetkan. Semakin bersih kondisi rongga sel,
maka semakin lancar pula pergerakan air baik keluar (saat dikeringkan) maupun
masuk (saat diawetkan). Bidang perforasi tipe jala atau tapisan juga berkontribusi pada
sukarnya kayu dikeringkan maupun diawetkan.
Fenomena dan alasan yang sama juga berlaku pada proses peningkatan mutu
kayu karena proses peningkatan mutu juga terkait dengan pergerakan air dan larutan
bahan kimia yang digunakan. Kayu-kayu berkerapatan/ber-BJ rendah, yang lebih
porous atau yang berdinding tipis, akan lebih mudah dipadatkan, diimpregnasi atau
dikompregnasi. Selain sulit, kayu-kayu dengan kadar ekstraktif tinggi acap kali
menyulitkan proses peningkatan mutu dan cenderung mengakibatkan terjadinya
discoloration pada permukan kayu. Khusus untuk pemadatan dan kompregnasi, kadar
lignin yang tinggi akan mempersulit proses peningkatan mutu karena kedua teknik
tersebut mensyaratkan terjadinya pelunakan lignin. Pelunakan lignin yang terhambat
dapat mengakibatkan mutu kayu yang diberi perlakuan menjadi lebih rendah dari mutu
awalnya karena meng-arang-nya permukaan kayu akibat pemanasan yang berlebihan.
11
Secara umum, kayu konifer lebih mudah ditingkatkan mutunya dibandingkan kayu daun
lebar karena terkait dengan struktur anatomi kayu.
PENUTUP
Berdasarkan uraian di atas tidak perlu diragukan lagi bahwa hubungan antara
struktur anatomi kayu dengan sifat, kegunaan dan pengolahan kayu dalam rangka
pemanfaatan kayu secara optimal dan tepat adalah sangat erat. Sifat kayu sangat
bergantung pada struktur anatominya dan melekat (inherent) di dalam struktur sel-sel
penyusun kayu. Keseluruhan sifat kayu secara bersama-sama akan menentukan
kegunaan dan proses pengolahan yang akan diaplikasikan harus disesuaikan dengan
struktur anatomis kayunya.
BAHAN RUJUKAN
Barnett J and G Jeronimidis. 2003. Wood Quality and Its Biological Basis. Blackwell
Publishing Ltd. 226 p.
Bosoi FP, M Soffiatti and RT Boeger. 2010. Ecological Wood Anatomy of Miconia
sellowiana (Melastomataceae) in Three Vegetation Types of Paraná State,
Brazil. IAWA Journal, Vol. 31 (2): 179-190.
Bowyer JL, R Shmulsky and JG Haygreen. 2003. Forest Products and Wood Science:
An Introduction. Fourth Edition. Amer, Iowa, USA. Iowa State Press a Blackwell
Publishing Company.
Crossette B and R Kollodge. 2010. State of World Population. From conflict and crisis
to renewal: Generation to change. United Nations Population Fund.
Food and Agriculture Organization. 2011. State of the World’s Forests. Viale delle
Terme di Caracalla, 00153, Rome, Italy. 179 p.
Forest Product Laboratory. 2010. Wood Handbook: Wood as an engineering material.
Centennial Edition. United States Department of Agriculture Forest Service.
Madison, Wisconsin. 508 p.
Hill CAS. 2006. Wood Modification: Chemical, thermal and other processes. School of
Agricultural and Forest Sciences, University of Wales, Bangor. John Wiley &
Sons, Ltd.
Hoadley BR. 1990. Identifying Wood: Accurate results with simple tools. The Taunton
Press, Inc. 223 p.
Laban BY. 2005. Prospek Produk Industri Hasil Hutan Indonesia. Paper dalam Seminar
Kesiapan Indonesia dalam Implementasi ISPM #15: Solid Wood Packaging
Material. Pusat Standardisasi dan Linkungan. Sekjen. Departemen Kehutanan.
Jakarta, 27 April.
Labetubun MS, E Suhendang dan D Darusman. 2005. Pengembalian Ekonomi dalam
Pengelolaan Hutan Alam Produksi: Suatu pendekatan dinamika sistem. Jurnal
Manajemen Hutan Tropika Vol. XI No. 2: 42-54.
Sarajar C. 1982. Identifikasi Kayu Secara Makroskopis. Fakultas Kehutanan. Institut
Pertanian Bogor. Tidak Diterbitkan.
Sidabutar JH. 2007. Perancangan arsitektur strategik di perusahaan furniture panel
wood PT. Cahaya Sakti Furintraco [Tesis]. Program Magister Bisnis. Sekolah
Pascasarjana Institut Pertanian Bogor. Bogor. Tidak Diterbitkan.
Skaar C. 1972. Water in Wood. Syracuce Wood Science Series. University Press
New york.
Tsoumis G. 1991. Science and Technology of Wood: Structure, properties, utilization.
Van Nostrand Reinhold. New York.
Zobel BJ and JP Buijtenen. 1989. Wood Variation: Its causes and control. SpringerVerlag Berlin Heidelberg. 363 p.
12
Download