BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Di era industri seperti saat ini, meningkatnya pencemaran berdampak negatif pada kesehatan yang diakibatkan oleh banyaknya radikal bebas. Tetapi radikal bebas tidak dipengaruhi oleh faktor eksternal saja, pola makan dan kebiasaan kurang sehat yang kita lakukan atau kita makan pun ikut menentukan. Radikal bebas yang menyerang struktur tubuh mengakibatkan bermacam penyakit seperti kanker, diabetes, kelahiran prematur, kerusakan liver, pernafasan, gangguan saraf, dan lain-lain. Untuk menanggulangi hal tersebut yang harus kita lakukan adalah memperbaiki pola makan yang lebih sehat, tidak merokok, makan makanan yang tidak berpengawet, pewarna, penyedap rasa yang banyak mengandung bahan kimia berbahaya, olah raga teratur dan makan buah atau sayuran yang banyak mengandung anti-oksidan (Prawirohardjono et al., 2000). Penelitian Neeven (2010) menyebutkan stres oksidatif yang didapatkan dari pemaparan MSG juga bisa menyebabkan degenerasi sel saraf contohnya seperti Parkinson, dan Alzheimer. Monosodium glutamate (MSG) sudah lama digunakan di seluruh dunia sebagai penambah rasa makanan dengan L-glutamic acid sebagai komponen asam amino (Geha et al., 2000) disebabkan penambahan MSG akan membuat rasa makanan menjadi lebih lezat. Konsumsi MSG terbanyak dijumpai pada masyarakat Korea yang mencapai 1,6 gr/hari, sedangkan di Indonesia sekitar 0,6 gr/hari. Taiwan adalah negara yang paling tinggi konsumsi MSG per kapita, Universitas Sumatera Utara mencapai 3 gr/hari, sedangkan Amerika adalah negara yang paling rendah konsumsi MSG per kapita, hanya 0,5 gr/hari (Uke, 2008). Konsumsi tersebut bisa tergantung pada isi kandungan MSG dalam makanan dan pilihan rasa seseorang (Geha et al., 2000), berkisar antara 0,1 % dan 0,8 % dari makanan yang disajikan. Glutamat yang dikonsumsi secara oral diabsorbsi di rongga usus dan masuk secara langsung melalui vena portal ke dalam hati, di dalam hati glutamat yang diabsorbsi itu, konsentrasinya diubah sesuai kebutuhan. Telah dilaporkan bahwa pemberian MSG pada dosis 3 dan 6 gr/grBB pada mencit dewasa secara oral selama 14 hari berturut-turut dapat menghambat perkembangan sel-sel hati. Bahkan dosis oral 6 gr/hari selama 14 hari terus menerus akan merangsang efek parasimpatik dan menghasilkan asetilkolin dalam darah sehingga kolinesterase meningkat dalam plasma, masuk ke dalam hati dan menyebabkan dilatasi vena sentral, lisis eritrosit, kerusakan hepatosit secara akut, nekrosis serta atropi (Eweka, 2008). Dilaporkan pula pemberian MSG dosis tinggi melalui penyuntikan dapat menyebabkan nekrosis pada neuron, kemandulan, dan berkurangnya jumlah anak (Verity, 1981). Bahkan pemberian lebih dari 6 gr/hari akan menyebabkan terganggunya fungsi hati (Eweka, 2008). Di Amerika serikat, Food and Drugs Administration (FDA, 1995) mengkategorikan MSG sebagai bahan yang aman dikonsumsi dan Prawirohardjono et al. (2000) melaporkan tidak ada perbedaan yang bermakna antara kelompok orang sehat yang mengkonsumsi MSG 1,5 gr/hari selama tiga hari, kelompok orang sehat yang mengkonsumsi MSG 3 gr/hari selama tiga hari, dan kelompok plasebo (Prawirohardjo et al., 2000). Tetapi ada laporan yang menyatakan asupan MSG Universitas Sumatera Utara dalam jumlah besar pada orang yang sensitif dapat menimbulkan beberapa gejala seperti nyeri pada bagian belakang leher yang berangsur-angsur menjalar ke lengan dan punggung, badan lemah dan jantung berdebar, gejala-gejala ini dikenal sebagai Chinese restaurant syndrome (Geha et al., 2000). Penelitian terhadap mencit dewasa yang disuntikkan MSG secara subkutan selama enam hari dengan dosis 4 mg/grBB dan 8 mg/grBB menyebabkan peningkatan kadar glukosa eritrosit, meningkatkan kadar peroksidasi lipid, kadar total glutation, dan protein yang terikat glutation serta peningkatan aktivitas enzim glutathione reductase (GR), glutathione-S-transferase (GST), dan glutathione peroxidase (GPX). Hal ini menggambarkan bahwa dengan pemberian MSG 4 mg/grBB mengakibatkan terjadinya stres oksidatif yang diantisipasi tubuh dengan meningkatkan kadar glutation dengan cara meningkatkan aktifitas enzim metaboliknya (Ahluwalia et al., 1996). Penggunaan obat tradisional dalam pengobatan dapat mengurangi biaya, dan tanpa harus konsultasi sebelumnya kepada dokter. Sebuah survei dari Amerika Serikat (Parkin DM et al., 2008) menyatakan, prevalensi penggunaan obat tradisional tanpa memikirkan efek sampingnya mencapai 37,5 - 67% (Fialka Moser, 2003; dan Tasmuth T, 2006). Pengobatan tradisional di Indonesia telah berlangsung sejak dahulu kala, dan juga telah digunakan secara luas secara turun-temurun. Pada umumnya obat tradisional digunakan untuk memelihara kesehatan, mencegah dan mengobati penyakit, serta memulihkan kesehatan (Dirjen BPOM, 2000). Sampai saat ini, telah banyak pemanfaatan tanaman obat tradisional oleh masyarakat Indonesia Universitas Sumatera Utara untuk menanggulangi berbagai penyakit. Manfaat obat tradisional sebagai pengobatan telah dirasakan secara luas oleh masyarakat. Hal ini juga tercermin dengan semakin meningkatnya penggunaan obat tradisional, yang diikuti peningkatan produksi obat dari industri-industri obat tradisional. Seiring dengan adanya slogan “back to nature”, dan dilatarbelakangi oleh krisis ekonomi yang berkepanjangan sehingga mengakibatkan daya beli masyarakat terutama masyarakat golongan menengah ke bawah menurun, dan penggunaan obat tradisional menjadi alternatif pengobatan di samping obat-obatan modern (Prihatman, 2007). Hati merupakan tempat utama untuk memetabolisme obat dan zat toksik, dikenal sebagai proses biotransformasi. Hasil akhir dari reaksi ini berupa bahan yang tidak aktif dan lebih larut dalam air, sehingga secara cepat dapat di ekskresi melalui empedu atau urin. (Morgan, 1996). Gejala awal hepatotoksik ditandai dengan peningkatan enzim-enzim transaminase dalam serum. Ada dua jenis aminotransferase yang sering diukur yaitu SGPT (glutamate pyruvate transaminase) / ALT (alanin transaminase) dan SGOT (glutamate oksaloasetat transaminase)/AST (aspartate transaminase) (Morgan, 1996; Huriawati, 2002; Siti, 1995). Kedua enzim ini ikut serta dalam mengkatalisisis reaksi kimia tanpa mengalami perubahan secara kimia, mengatur metabolisme dan ikut serta dalam semua fungsi sel. Adanya enzim di dalam sel, menyebabkan peningkatan jumlah enzim yang merupakan konsekuensi dari jejas sel sehingga molekul-molekul intrasel dapat lolos keluar. (Huriawati, 2002). Bila kedua enzim aminotransferase Universitas Sumatera Utara meningkat, ini mengindikasikan bahwa terdapat kerusakan pada hati. (Huriawati, 2002; Siti,1995; Sherlock, 2002). Sel hepatosit adalah sel-sel parenkim hati, yang akan segera beregenerasi bila mengalami trauma baik fisik maupun kimiawi. Pada penelitian terhadap organ hati mencit yang telah menjalani hepatektomi, sebagian organ hati yang tersisa akan beregenerasi dan mencapai masa seperti organnya semula dalam kurun waktu 3 minggu. Trauma pada tingkat sel dapat menyebabkan kerusakan ireversibel dalam waktu 20-60 menit pertama. Perubahan ireversibel akan berakhir dengan kematian sel yang meliputi kerusakan membran, pembengkakan lisosom dan vakuolisasi mitokondria yang mengakibatkan penurunan kapasitas ATP. Berkurangnya ATP dan penurunan sintesisnya, dapat disebabkan keadaan hipoksia dan toksik (trauma kimia). Bila terjadi gangguan fungsi mitokondria dan membran sel, maka sel-sel hepatosit akan mengeluarkan enzim-enzim transminase. Peningkatan enzim transminase merupakan penanda dini hepatotoksik (Kumar et al., 2005). Tumor Necrosis Factor (TNF) merupakan faktor pertama dalam peningkatan inflamasi dan berguna dalam mengaktifkan makrofag pada pertahanan host terhadap mikroba yang menginvasi selama terjadinya infeksi. Sehingga TNF dapat memediasi efek menguntungkan dan efek merugikan tergantung pada keadaan proses penyakitnya. Tumor Necrosis Factor kini diketahui terlibat dalam merangsang produksi sitokin, meningkatkan ekspresi molekul adhesi dan aktivasi netrofil, juga merupakan stimulator tambahan untuk aktivasi sel T dan produksi antibodi oleh sel B. Meskipun tingkat sirkulasi level Universitas Sumatera Utara TNF sangat bervariasi, peningkatan regulasi dari ekspresi gen telah dilibatkan dalam patogenesis berbagai jenis penyakit dengan komponen inflamasi, autoimun, proses infeksi akut dan kronis (Jimena Cuenca, 2001). Sel tubuh manusia yang selama kehidupannya bermetabolisme menghasilkan energi selalu menghasilkan Reactive Oxygen Species (ROS) yang selanjutnya menghasilkan senyawa radikal bebas. Telah lama diketahui bahwa radikal bebas berpengaruh buruk terhadap kehidupan dan diyakini dapat menimbulkan kerusakan pada komponen sel seperti lipid, protein dan asam nukleat serta dapat menyebabkan mutasi dan bersifat karsinogenik (Thannical, 2000; Clarkson, 2000; Droge, 2002). Tingkat kerusakan oksidatif sel atau jaringan tubuh akibat radikal bebas dapat ditentukan dengan mengukur kadar malondialdehide (MDA) di dalam darah dan pantane di dalam pernafasan yang merupakan indikator untuk peroksidasi lipid (Clarkson, 2000). Kadar radikal bebas di dalam tubuh dapat meningkat melalui beberapa proses seperti aktivitas fisik yang berat sehingga metabolisme juga meningkat, reperfusi iskemik, sinar matahari, radiasi, toksin, dan peningkatan enzim lipoksigenase dan siklooksigenase (Tjokroprawiro, 1993; Thannical, 2000; dan Droge, 2002). Akhir-akhir ini kehidupan dengan aktivitas fisik yang berat dan pengaruh lingkungan dapat menyebabkan terbentuknya radikal bebas yang sulit dihindari. Anti-oksidan diketahui dapat mencegah terbentuknya radikal bebas. Anti-oksidan dapat dibagi menjadi dua kelompok yaitu anti-oksidan enzimatik dan non-enzimatik. Anti-oksidan enzimatik yang di kenal juga sebagai antioksidan pencegah terdiri atas superoxide dismutase, catalase dan glutathione Universitas Sumatera Utara peroksidase. Anti-oksidan non-enzimatik disebut juga anti-oksidan pemutus rantai meliputi vitamin C, vitamin E, dan juga beta karoten (Tjokroprawiro, 1993; Ji, 1999; dan Chevion, 2003). Selain vitamin C dan vitamin E, beberapa flavonoid yang terdapat pada tumbuh-tumbuhan terbukti berkhasiat sebagai anti-oksidan. seperti antosianin (zat pewarna alami). Kadar antosianin yang cukup tinggi terdapat pada berbagai macam tumbuh-tumbuhan seperti bilberries (Vaccinium myrtillus), red wine, grape (Craig, 2002). Penelitian sebelumnya menunjukkan bahwa kulit buah manggis mengandung antosianin sebanyak 59,3mg/100gr kulit buah manggis (Wiwin et al., 2010). Beberapa jenis vitamin telah terbukti memiliki aktivitas anti-oksidan yang cukup tinggi. Contoh vitamin yang banyak berperan sebagai senyawa anti-oksidan di dalam tubuh adalah vitamin C dan vitamin E (Alstucl et al., 1995). Vitamin E berperan dalam menjaga kesehatan berbagai jaringan di dalam tubuh, mulai dari jaringan kulit, mata, sel darah merah hingga hati. Selain itu, vitamin ini juga dapat melindungi paru-paru manusia dari polusi udara. Nilai kesehatan ini terkait dengan kerja vitamin E di dalam tubuh sebagai senyawa anti-oksidan alami. Vitamin E banyak ditemukan pada ikan, ayam, kuning telur, ragi, dan minyak tumbuh-tumbuhan. Walaupun hanya dibutuhkan dalam jumlah sedikit, kekurangan vitamin E dapat menyebabkan gangguan kesehatan yang fatal bagi tubuh, antara lain kemandulan baik bagi pria maupun wanita. Selain itu fungsi saraf dan otot akan mengalami gangguan yang berkepanjangan (Hidgon, 2002). Manggis (dalam bahasa Latin dikenal sebagai Garcinia mangostana Linn) merupakan buah tropis, yang termasuk dalam family Clusiaceae (Guttiferae), Universitas Sumatera Utara buahnya terasa manis dengan campuran sedikit rasa asam dan beraroma wangi, dagingnya putih, lunak dan gurih, sehingga buah manggis dikenal juga sebagai "ratu buah". Kulitnya (pericarp) yang tebal, keras dan berwarna ungu tua, telah banyak digunakan dalam pengobatan pada negara di Asia Tenggara seperti Indonesia, Malaysia, Srilanka, Philipina dan Thailand. Masyarakat luas menggunakan ekstrak kulit manggis untuk menyembuhkan diare, luka infeksi, nyeri perut, peradangan dan penyembuhan berbagai penyakit (Pedraza-Chaverri et al., 2008). Buah manggis dengan anti-oksidannya yang terdapat pada kulitnya dikenal sebagai anti-oksidan yang efektif, karena mengandung senyawa biologi xanthones. (Sitiatava, 2011). Penelitian terhadap toksisitas ekstrak kulit manggis perlu dilakukan untuk melindungi masyarakat dari efek yang mungkin merugikan. Efek toksik obatobatan sering terjadi di dalam hati, karena hati merupakan tempat utama untuk memetabolisme semua obat dan bahan-bahan asing yang masuk ke dalam tubuh. Hati akan mengubah struktur obat yang lipofilik menjadi hidrofilik sehingga mudah dikeluarkan dari tubuh melalui urin atau empedu (Setiawati dkk., 2007). Ekskresi melalui empedu memungkinkan terjadinya penimbunan xenobiotik di organ hati sehingga akan menimbulkan efek hepatotoksik (Donatus, 2001). Berdasarkan uraian diatas, peneliti tertarik untuk melakukan pemeriksaan pengaruh pemberian ekstrak etanol kulit manggis (Garcinia mangostana Linn) terhadap perubahan kadar enzim ALT, AST serta perubahan gambaran makroskopik dan histopatologi hati mencit jantan (Mus musculus L) strain DDW Universitas Sumatera Utara (Double Ditsch Webster) setelah diberi Monosodium glutamate (MSG) bila dibandingkan dengan vitamin E. 1.2 Rumusan Masalah Adakah pengaruh pemberian ekstrak etanol kulit manggis terhadap perubahan kadar enzim ALT, AST serta perubahan gambaran makroskopik dan histopatologi hati mencit jantan strain DDW setelah diberi MSG dibandingkan dengan vitamin E? 1.3 Tujuan Penelitian 1.3.1 Tujuan Umum Untuk mengetahui pengaruh pemberian ekstrak etanol kulit manggis terhadap perubahan kadar enzim ALT, AST serta perubahan makroskopik dan histopatologi hati mencit jantan strain DDW setelah diberi MSG dibandingkan dengan vitamin E. 1.3.2 Tujuan Khusus 1. Untuk mengetahui pengaruh pemberian MSG terhadap perubahan kadar enzim AST dan ALT pada hati mencit jantan strain DDW yang diberi ekstrak etanol kulit manggis dan vitamin E. 2. Untuk mengetahui pengaruh pemberian MSG terhadap perubahan hati secara makroskopik (berat, perubahan warna, konsistensi dan permukaan) pada hati mencit jantan strain DDW yang diberi ekstrak etanol kulit manggis dan vitamin E. Universitas Sumatera Utara 3. Untuk mengetahui pengaruh pemberian MSG terhadap histopatologi hati mencit jantan strain DDW yang diberi ekstrak etanol kulit manggis dibandingkan vitamin E dinilai dengan pewarnaan Hematoksilin Eosin. 4. Untuk mengetahui pengaruh pemberian MSG terhadap sel hati mencit jantan strain DDW yang diberi ekstrak etanol kulit manggis dibandingkan vitamin E dinilai dengan tampilan pewarnaan imunohistokimia TNF-α . 1.4 Hipotesis Ada perbedaan pengaruh pemberian ekstrak etanol kulit manggis terhadap perubahan kadar enzim ALT, AST serta perubahan makroskopik dan histopatologi hati mencit jantan strain DDW setelah diberi MSG dibandingkan dengan vitamin E. 1.5 Manfaat Penelitian − Penelitian ini diharapkan dapat memberikan informasi ilmiah tentang manfaat ekstrak etanol kulit manggis dan dijadikan bahan pertimbangan bagi masyarakat untuk menggunakan ekstrak etanol kulit manggis sebagai anti-oksidan alamiah dalam mencegah kerusakan hati akibat radikal bebas dari MSG. − Penelitian ini dapat berguna sebagai acuan untuk penelitian selanjutnya dalam pengembangan obat-obatan tradisional, khususnya potensi sebagai anti-oksidan dan mencegah terjadinya inflamasi pada tingkat selular. Universitas Sumatera Utara