BANGUNAN KACA DAN LINGKUNGAN TROPIS Oleh: Parfi Khadiyanta Fakultas Teknik Universitas Diponegoro Pendahuluan Pergeseran pola dan aktifitas manusia, dari kehidupantradisional agraris yang bergantung kepada alam, menjadi suatu kehidupan modernindustrialistis, sangat bergantung terhadap kemampuan teknologi modern tersebut.Pada sisi fisik muka bumipun terjadi perubahan-perubahan yang mencolok. Kawasan hutanberubah menjadi kawasan pertanian, bahkan akhirnya desa berubah menjadi kota kecil, kota kecil berubah menjadi kota besar, dan selanjutnya. Lahan kosongpun habis, tanaman tinggal tersisa sedikit sekali. Perubahan-perubahan fisik kulit bumi ini pada akhirnya mempengaruhi perubahan iklim lokal ditempat di mana perubahan fisik tersebut terjadi, serta mempengaruhi terjadinya perubahan iklimregional di tempat lain, yang akhirnya mempengaruhi perubahan iklim global.Konon perubahan iklim global ini mempengaruhi rasa nyaman untuk bertempat tinggal, baik di dalam ruang maupun di luar ruangan. Peneliti kenyamanan termis dari Inggris, Webb (An Analysis of Some Observations of Thermal Comfort in An Equatorial Climate, British Journal of Industrial Medicine, vol. 16), manyatakan bahwa sejak400 tahun sebelum Masehi, Hippocrates telah memperkenalkan effek fisik dari iklim terhadapmanusia yakni dalam bentuk suhu udara, kelembaban, angin dan radiasi sinar matahari. Dalambahasa Inggris kata „nyaman‟ atau „comfort‟ diartikan sebagai bebas dari rasa sakit atau bebasdari masalah (Macfarlane, dalam Tri Harso Karyono, 2007).Dalam kaitan dengan bangunan, kenyamanan didefinisikan sebagai suatu kondisi tertentuyang dapat memberikan sensasi yang menyenangkan (atau tidak menyulitkan) bagi penggunabangunan tersebut (Karyono, T.H., 1989). 1 Sementara ini, kenyamanan biasanya hanya diukur dari termis saja, karena memang penelitian dan definisi tentang termis yang nyaman sudah banyak dilakukan, tetapi nyaman dalam arti sesungguhnya (total) rasanya belum ada yang meneliti sampai tuntas. Nyaman bisa bermakna merasa puas [Jawa: betah]. Manusia dinyatakan nyaman secara termis ketika ia tidak dapatmenyatakan apakah ia menghendaki perubahan suhu udara yang lebih panas atau lebih dingin dalam ruangan tersebut (McIntyre, D.A., 1980). Olgyay (1963) merumuskan suatu „daerah nyaman‟ sebagai suatukondisi di mana manusia berhasil meminimalkan pengeluaran energi dari dalam tubuhnya dalamrangka menyesuaikan (mengadaptasi) terhadap lingkungan termis di sekitarnya. Kalau dari sisi suhu, orang bisa betah tinggal disuatu tempat, lalu bagaimana dengan indera lainnya, yaitu keinginan untuk memberi kenikmatan pada mata. Inilah yang ingin diungkap dalam makalah ini yaitu kenyamanan “mata” dalam suatu ruang tertutup, tetapi masih bisa menikmati indahnya alam yang ada di luarnya, bagaimana caranya, yaitu dengan memanfaatkan pembatas ruang yang dari bahan tembus pandang, yaitu kaca. Bagaimana penempatan kaca, agar masih tetap bernuansa ekologis, khususnya untuk wilayah tropis seperti di Indonesia ini. 2 Kaca untuk iklim Tropis Kita mengenal istilah rumah kaca, sebenarnya ini tidak ada hubungannya dengan arsitektur permukiman, lebih ke masalah pertanian. Jelasnya adalah sebagai berikut, rumah kaca (atau juga dikenal dengan istilah green house) adalah sebuah bangunan di mana tanaman dibudidayakan. Sebuah rumah kaca terbuat dari gelas; Dia menjadi panas karena radiasi elektromagnetik yang datang dari matahari memanaskan tumbuhan, tanah, dan barang lainnya di dalam bangunan ini. Kaca yang digunakan untuk rumah bekerja sebagai medium transmisi yang dapat memilih frekuensi spektral yang berbeda-beda, dan efeknya adalah untuk menangkap energi di dalam rumah kaca, yang memanaskan tumbuhan dan tanah di dalamnya yang juga memanaskan udara dekat tanah, dan udara ini dicegah naik ke atas dan mengalir keluar. Oleh karena itu rumah kaca bekerja menangkap radiasi elektromagnetik dan mencegah konveksi. 3 Rumah kaca sering kali digunakan untuk mengembangkan bunga, buah dan tanaman tembakau. Selain tembakau, banyak sayuran dan bunga juga dikembangkan di rumah kaca pada akhir musim dingin atau awal musim semi, yang kemudian dipindahkan ke luar begitu cuaca menjadi hangat. Ruangan yang tertutup dari rumah kaca mempunyai kebutuhan yang unik, dibandingkan dengan produksi luar ruangan. Hama dan penyakit, panas tinggi dan kelembaban, harus dikontrol, dan irigasi dibutuhkan untuk menyediakan air. Rumah kaca menjadi penting dalam penyediaan makanan di negara garis lintang tinggi. Kompleks rumah kaca terbesar di dunia terletak di Leamington, Ontario (Kanada) di mana sekitar 0.8 km² tomat dikembangkan dalam gelas.Rumah kaca melindungi tanaman dari panas dan dingin yang berlebihan, melindungi tanaman dari badai debu, dan menolong mencegah hama. Pengontrolan cahaya dan suhu dapat mengubah tanah tak subur menjadi subur. Itulah sejarah rumah kaca, yaitu dibangun dan diadakan untuk memanaskan suhu, hanya diperlukan pada daerah dingin. Lalu bagaimana dengan kita yang ada di Indonesia? Apakah kaca itu cocok untuk kondisi iklim di Indonesia. Sebenarnya iklim tropis itu adalah iklim yang paling bersahabat dengan kehidupan mahluk termasuk manusia, dari sisi termal tidak pernah terjadi ekstrimitas yang tajam, maka di daerah inilah berbagai macam spesies banyak berkembang dan hidup dengan aman, mampu berkembang biak dengan baik. Bahkan rumah tanpa dindingpun terasa nyaman dan masih aman untuk kehidupan, asalkan punya teritis yang lebar untuk menanggulangi air hujan dan terik matahari. Itulah masalahnya, sekarang untuk membuat teritis yang lebar dibutuhkan lahan yang sangat luas. Tanpa teritisan lebar, maka harus ada dinding agar nyaman. Kalau semua sekeliling bangunan ditutup dinding, bangunan menjadi terasa mengungkung penghuni, untuk itu perlu dibuat bukaan, yaitu jendela atau bahan transparan [kaca] agar hubungan ke luar masih bisa dirasakan. 4 Tetapi cocok-kah kaca untuk membuat batas ruangan di daerah tropis? Bukankah sifat kaca mengirim cahaya dan panas ke dalam ruangan, dan menahan panas tersebut untuk tidak keluar lagi? Kalau hal ini terjadi maka salah satu kenyamanan dalam ruang menjadi terganggu, yaitu kenyamanan termal. Secara teknologi sudah ada kaca dengan kemampuan khusus yang mengurangi kesilauan dan mengurangi radiasi panas dengan lapisan kimia tertentu. Tetapi biayanya juga masih mahal. Kaca dengan ketebalan tertentu dan lebar tertentu yang non standar butuh teknologi dan biaya yang tinggi, menjadikan bahan ini kurang mendapat tempat di pasaran untuk produk bangunan. Prinsip manusia yang memiliki sifat ekonomis (homo economicus) adalah ingin mendapatkan sesuatu yang paling baik dengan biaya yang paling rendah [hasil maksimal, pengorbanan minimal], yang kemudian melahirkan budaya efisiensi. Maka diperlukan suatu model desain penempatan dinding kaca agar tidak menjebak manusia terkungkung seperti tanaman dalam rumah kaca,terlihat indah dipandang, tetapi kepanasan. Keinginan memasang dinding kaca adalah agar orang dari dalam bisa menikmati keindahan alam di luar, dan orang luar bisa melihat keindahan interior yang ada di dalam ruangan. Inilah tantangan bagi arsitek untuk menciptakan bangunan nyaman dengan pembatas kaca di daerah iklim tropis. Komunikasi keluar bisa tercipta tanpa mengurangi rasa nyaman untuk termalnya. Manusia dengan alam Soemarwoto (1983: 54) mengatakan bahwa manusia berinteraksi dengan lingkungan hidupnya. Ia membentuk dan terbentuk oleh lingkungan hidupnya. Pengaruh lingkungan hidup tersebut disebut pengaruh fenotip, yaitu perwujudan yang dihasilkan oleh interaksi sifat keturunan dengan faktor lingkungan. Lebih ditegaskan lagi bahwa lingkungan berpengaruh terbesar terhadap makhluk hidup dibandingkan sifat genetisnya, begitupula pengaruh lingkungan terhadap manusia. Manusia tidak dapat hidup tanpa lingkungan sedangkan alam dapat melangsungkan hidupnya tanpa manusia. 5 Hal ini jelas bahwa manusia membutuhkan lingkungan. Bahkan Keraf (2002: 53) menegaskan bahwa kualitas hidup dapat terjamin jika ada kearifan yang mulia terhadap lingkungan hidup (abiotik dan biotik) yang bersifat ekosentris. Banyak pakar ekologi yang menyatakan bahwa kualitas hidup hanya dapat terjamin pada kualitas lingkungan hidup yang baik. Hal ini karena lingkungan hidup bertindak sebagai sumber daya yang memberikan kebutuhan bagi manusia yang menempati. Kualitas hidup memiliki hubungan korelatif dengan kualitas lingkungan, jika kualitas lingkungan buruk maka buruklah kualitas hidup manusia yang menempatinya begitu pula sebaliknya. Bahkan Naess (dalam Keraf, 2002: 78) menegaskan bahwa jika ada kearifan mengatur hidup selaras dengan alam sebagai sebuah rumah tangga dalam arti luas maka akan didapatkan suatu hubungan yang harmonis, sehingga yang didapatkan adalah kemakmuran manusia, kemakmuran alam dan pada akhirnya tercipta keberlanjutan. Hal ini menunjukkan bahwa manusia sangat tergantung pada lingkungan hidup. Kondisi lingkungan hidup mengindikasikan kualitas hidup manusia yang menempatinya. Lalu kalau kita mau mempelajari warna yang bisa tertangkap oleh indera kita dengan baik, terkenal dengan sebutan warna pelangi, yaitutujuh spektrum warna dari merah, jingga, kuning, hijau, biru, nila, hingga warna ungu [me-ji-ku-hi-bi-ni-u], semakin ke tepi, baik ke kiri atau kanan, akan membutuhkan akomodasi mata secara berlebihan, hingga akhirnya infra merah tak bisa terlihat, demikian juga untuk ultra ungu. Hal ini bisa diartikan bahwa warna yang paling sejuk bagi mata normal, tidak perlu berakomodasi berlebihan adalah warna yang ada di tengah spektrum, yaitu warna hijau, makanya ada sebagian kelompok adat tradisional yang menyatakan kalau mau sehat matanya, perbanyaklah melihat warna hijau. Dan ternyata kehidupanpun diawali dengan warna hijau, karena dengan warna hijau muncullah proses fotosintesis yang menghasilkan O 2, inilah awal kehidupan yang kemudian ditunjang dengan air, jadi air hanya membantu kehidupan berlangsung, sedangkan awal kehidupan adalah kehijauan. 6 Daerah tropis memberikan warna hijau yang sangat berlebih, mengapa tidak dimanfaatkan. Maka menciptakan bukaan rumah ke luar dengan pemandangan hijau sangatlah menyehatkan, menambah tingkat kenyamanan. Satu-satunya cara agar bukaan tetap aman, yaitu dengan pemberian dinding transparan berupa kaca.Disini akan disajikan beberapa contoh desain bukaan kaca pada ruangruang tertentu. Ruang tidur yang menyatu dengan ruang luar, menikmati indahnya warna hijau sebelum mata terpejam, dan melihat warna hijau ketika mata pertama kali terbuka, sungguh menyehatkan. 7 Pemasangan kaca disesuaikan dengan teknologi yang dikuasai, tidak perlu dengan bidang kaca lebar yang butuh bahan mahal dan teknologi tinggi, bisa disiasati dengan kaca-kaca kecil tetapi banyak, maka terasa ada aksen dalam menikmati suasana ruang luar. Kaca juga bisa dimanfaatkan untuk atap sebagai penekan suasana sekaligus sebagai penerangan dan pengarah ruangan, dengan falsafah konstruksi tropis yang ramah lingkungan, yaitu membuat atap miring untuk menghindari genangan air dan penciptaan pantulan cahaya pada kaca 8 DINDING KACA YANG MENUMBUHKAN SUATU SENSASI DI DALAM RUANG KAMAR MANDI TEMBUS PANDANG, SAMBIL MANDI MENIKMATI KEINDAHAN ALAM DI LUAR, KEMBALI KE MASA KECIL, SEOLAH MANDI SAMBIL BERLARI DI HALAMAN RUANG TAMU YANG TIDAK BEGITU LUAS BISA TERASA NYAMAN UNTUK DITEMPATI DALAM WAKTU YANG LAMA, KARENA MATA BEBAS MEMANDANG KELUAR 9 DAFTAR PUSTAKA: Webb, C.G., (1959), An Analysis of Some Observations of Thermal Comfort in An Equatorial Climate, British Journal of Industrial Medicine, vol. 16, pp. 297-310. Karyono, T.H. (1989), Solar Energy and Architecture: A Study of Solar Passive Design for Hospital Wards in Indonesia, MA dissertation, Institute of Advanced Architectural Studies, University of York, UK. ________, (2007), Dari Kenyamanan Termis Hingga Pemanasan Bumi: Suatu Tinjauan Arsitektur dan Energi, Pidato Pengukuhan Guru Besar Tetap DalamIlmu Arsitektur Pada Fakultas Teknik Universitas Tarumanagara – Jakarta Disampaikan di Jakarta pada hari Sabtu 10 Nopember 2007 McIntyre, D.A., (1980), Indoor Climate, Applied Science, UK. Olgyay, V (1963), Design with Climate: Bioclimatic Approach to Architectural Regionalism, Princenton University Press, Princenton Keraf, A. S. 2002. Etika Lingkungan. Penerbit Kompas. Jakarta Soemarwoto, Otto. 1983. Ekologi, Lingkungan Hidup dan Pembangunan. Bandung : Djambatan 10