BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Good Governance dan Good Management menjadi tema yang marak dibicarakan karena terkait dengan agenda reformasi birokrasi. Hal ini penting untuk mewujudkan akuntabilitas pemerintah sebagai pihak yang dipercaya untuk mengelola sumber-sumber dana dan berbagai hal yang bersangkutan dengan sumber dana tersebut. Kualitas penata kelolaan dapat dilihat dari aspek program, administrasi keuangan dan pelaporan keuangan. Apabila instansi pemerintah melaksanakan hal tersebut, maka akan membawa dampak pemerintahan yang dipercaya (trusted), dihargai (respected) dan didukung (supported) oleh masyarakat. Manajemen atau penatakelolaan keuangan pemerintah merupakan salah satu kunci penentu keberhasilan pembangunan dan penyelenggaraan pemerintahan. Adanya manajemen keuangan pemerintah yang baik akan menjamin tercapainya tujuan pembangunan, berbangsa dan bernegara. Langkah-langkah strategis dalam konteks penciptaan, pengembangan, dan penegakkan sistem manajemen keuangan yang baik merupakan tuntutan sekaligus kebutuhan yang semakin tak terelakkan dalam dinamika pemerintahan dan pembangunan. Munculnya perhatian yang besar akan pentingnya manajemen keuangan pemerintah dilatarbelakangi oleh banyaknya tuntutan, kebutuhan atau aspirasi yang harus diakomodasi di satu sisi dan terbatasnya sumber daya keuangan pemerintah di sisi lain. Hal ini mencerminkan bahwa pencapaian efektivitas dan efisiensi keuangan pemerintah semakin marak untuk diperjuangkan perwujudannya. Bertentangan dengan perkembangan perwujudan good governance tersebut, meningkatnya kasus kecurangan akhir-akhir ini menjadi masalah yang cukup serius. Banyak kasus kecurangan yang mulai terungkap di negara kita baik di lingkungan pemerintahan (public) maupun privat. Berdasarkan definisi dari Pusdiklatwas Badan Pengawas Keuangan dan Pembangunan (2008:11) yang dimaksud dengan fraud adalah sebagai berikut : “Dalam istilah sehari-hari, fraud dimaknai sebagai ketidakjujuran. Dalam terminologi awam fraud lebih ditekankan pada aktivitas penyimpangan perilaku yang berkaitan dengan konsekuensi hukum, seperti penggelapan, pencurian dengan tipu muslihat, fraud pelaporan keuangan, korupsi, kolusi, nepotisme, penyuapan, penyalahgunaan wewenang, dan lain-lain.” Fraud merupakan kecurangan yang dapat terjadi dimana saja dan dapat dilakukan oleh siapa saja. Jika dalam suatu entitas atau organisasi, kecurangan dapat dilakukan oleh pegawai atau karyawan yang terdapat di dalamnya termasuk atasannya, sehingga yang dapat mendeteksi lebih awal juga orang-orang yang terdapat dalam entitas atau organisasi tersebut yaitu pegawai atau karyawan. Kecurangan yang tidak ditangani dapat mengakibatkan kinerja dari entitas atau suatu organisasi menjadi buruk, baik dalam segi manajemen ataupun pelayanan yang dapat menimbulkan ketidakpercayaan (distrust) bagi organisasi. Untuk menangani kecurangan ini, perlu dilakukan tindakan pencegahan (preventif) dan pendeteksian (detection). Kecurangan dapat diketahui lebih awal jika dapat memperhatikan dan memahami red flag atau tanda-tanda yang terjadi sebagai signal adanya kecurangan sehingga dapat dicegah ataupun diminimalkan. Moeller (2009) menjelaskan bahwa red flag diartikan dengan pencarian indikator di awal kegiatan. Red flag dapat menjadi petunjuk atau indikator akan adanya sesuatu yang tidak biasa dan memerlukan penyidikan lebih lanjut. Pada saat seseorang dapat memperhatikan dan memahami tanda-tanda kecurangan, terdapat berbagai kemungkinan tindakan untuk dilakukan. Orang tersebut dapat melapor atau mengadukan kepada atasan secara terang-terangan atau secara rahasia atau orang tersebut tidak akan melaporkan sama sekali. Hal ini dipengaruhi oleh berbagai faktor dalam mempengaruhi kondisi psikologis seseorang untuk memutuskan tindakannya. Istilah pengaduan (whistleblowing) merupakan tindakan yang dilakukan oleh seseorang atau beberapa orang karyawan untuk membocorkan kecurangan, baik yang dilakukan oleh entitas ataupun atasannya kepada pihak lain yang merupakan atasan yang lebih tinggi atau kepada masyarakat luas. Menurut Dozier (1985), pengaduan adalah melaporkan suatu tindakan atau keputusan organisasi yang menyimpang dari peraturan dan undang-undang yang dilakukan oleh seorang anggota organisasi itu kepada pihak lain seperti pemerintah, media massa atau pihak-pihak yang berkaitan. Pengaduan dapat bersifat internal dan eksternal. Bersifat internal jika yang melaporkan adalah orang dalam dari organisasi dan dilaporkan kepada atasannya atau atasan yang lebih tinggi jabatannya, dan bersifat eksternal jika orang dalam ataupun orang dari luar organisasi yang melaporkannya kepada masyarakat luas karena dianggap merugikan masyarakat luas. Menurut Lembaga Perlindungan Saksi dan Korban (2011) setidaknya ada empat pilihan yang dihadapi oleh pegawai untuk melaporkan atau tidak melaporkan suatu pelanggaran atau dugaan pidana (kecurangan) di tempatnya bekerja. Pilihan-pilihan tersebut meliputi berdiam diri, melaporkan kekhawatiran melalui prosedur internal, melaporkan kekhawatiran ke lembaga luar, atau membeberkan ke media. Saat ini organisasi baik sektor privat maupun sektor publik banyak dihadapkan pada pelanggaran terselubung yang menuntut keterbukaan informasi. Hal ini tentunya tidak mengherankan mengingat pelaporan dan keterbukaan informasi terkadang harus dibayar mahal oleh pelapor yang mengakibatkan terjadinya pemecatan. Budaya diam yang dilakukan karyawan pada sektor bisnis maupun pemerintahan menyebabkan adanya beberapa fakta yang tidak dapat terungkap. Keengganan karyawan untuk melaporkan adanya pelanggaran yang diketahui dapat diatasi melalui penerapan pengaduan, transparan dan bertanggungjawab. Hal ini diharapkan dapat meningkatkan tingkat partisipasi karyawan atau pegawai dalam melaporkan penyimpangan atau pelanggaran yang terjadi di sektor bisnis maupun sektor publik (pemerintahan). Beberapa peneliti menganggap pengaduan sebagai suatu bentuk tindakan kewarganegaraan yang baik (Dworkin & Near, 1997) sehingga harus didorong dan bahkan dianugerahi penghargaan. Penelitian Near & Miceli (1985) mengungkapkan bahwa pengaduan biasanya dipandang sebagai perilaku menyimpang karena dapat merugikan pihak yang dilaporkan dan dapat berujung sebagai aksi balas dendam. Pengadu lebih memilih melakukan aksi balas dendam apabila mereka tidak mendapat dukungan yang mereka inginkan dari atasannya, insiden yang terjadi tergolong serius dan menggunakan sarana eksternal untuk melaporkan kesalahan yang ada. Peran dalam tindakan pengaduan ini sangat menguntungkan jika lebih ditonjolkan di dalam kehidupan masyarakat. Hal ini diharapkan dapat mencegah setiap kejahatan atau kecurangan yang dapat merugikan publik. Untuk itu, mengetahui informasi tentang seberapa besar keinginan individu untuk melakukan pelaporan atau melaporkan kecurangan merupakan hal yang sangat bermanfaat bagi suatu organisasi untuk mengembangkan sikap tegas dalam menindak lanjuti temuan yang berupa kecurangan dan memungkinkan melakukan tindakan pengaduan. Pelaporan kecurangan sangat penting dalam suatu entitas atau organisasi sehingga diperlukan sistem atau prosedur yang jelas di dalamnya. Menurut Miceli dan Near (1985) ; Randal dan Gibson(1991) ; Schultz et al. (1993), penelitian yang mengungkapkan pentingnya model komprehensif yang digunakan untuk menjelaskan perilaku pengadu telah banyak dilakukan. Model yang digunakan untuk meneliti intensi pelaporan kecurangan salah satunya adalah Theory Planned Behavior (TPB) yang dikemukakan oleh Ajzen (1991). Teori ini telah digunakan untuk memprediksi keinginan untuk melakukan pengaduan di luar konteks akuntansi yaitu keinginan untuk melakukan pengaduan pada petugas polisi (Park dan Blenkinsopp, 2009) dan profesional kesehatan (Randall dan Gibson, 1991). Ajzen (2005) memaparkan bahwa terdapat tiga prediktor utama yang mempengaruhi intensi individu untuk melakukan suatu perilaku, yaitu sikap terhadap suatu perilaku (attitude toward the behavior), norma subjektif tentang perilaku (subjective norm) dan kontrol perilaku persepsian (perceived behavioral control). Konsep tentang intensi diajukan oleh Fishbein dan Ajzen (1975) yang diartikan sebagai kemungkinan subjektif seseorang untuk melakukan suatu perilaku tertentu. Berbagai riset penelitian seperti akuntansi, pemasaran, kesehatan dan lainnya telah banyak menggunakan TPB. Berikut ini merupakan beberapa penelitian yang menggunakan teori tersebut menurut Sihombing (2004) : Tabel 1.1 Penggunaan Theory Planned Behavioral dalam Penelitian Peneliti Chang (1998) Parker, Manstead, & Stradling (1995) Lin et al. (1999) Mengkonsumsi Ganja Corner dan McMillan (1999) Etika Bisnis Weber dan Gillespie (1998) Donasi Darah Trafimow dan Duran (1995) Giles dan Cairns (1995) Profesi Medis Randall dan Gibson (1991) Pemahaman diri Spatz et al. (2003) Trafimow (2001) Sheeran dan Orbell (1999) Terry et al. (1999) Perilaku Belajar Armitage et al. (1999) Tkachev dan Kolvereid (1999) Chatzisarantis dan Biddle (1998) Trafimow dan Duran (1998) Orbell, Hodgkins & Sheeran (1997) Leone, Perugini & Ercolani (1999) Koslowsky (1993) Randall (1994) Pengurangan berat badan Sheeran dan Orbell (2000) Bagozzi dan Kimmel (1995) Terry dan O'Leary (1995) Perugini dan Bagozzi (1992) Bagozzi dan Warshaw (1990) Schifter dan Ajzen (1985) Pembelian George (2002) Dharmmesta dan Khasanah (1999) Kalafatis, Pollard, East, & Tsogas (1999) Kokkinaki (1999) Kanler dan Todd (1998) Thompson (1996) Keuangan Sahni (1994) Perilaku komplain East (2000) Perilaku Organisasional Cordano dan Frieze (2000) Morris dan Vankatesh (2000) Maurer dan Palmer (1999) Aktivitas Luar Ruang Hrubes, Ajzen, & Daigle (2001) Lingkungan Perilaku Perilaku Tidak Etis Alat analisis SEM Regresi SEM Regresi Regresi Regresi Regresi Regresi Multiple Discriminant Regresi Manova Regresi Regresi korelasi SEM Regresi Regresi SEM Regresi Regresi Regresi SEM SEM SEM Regresi Regresi PLS Regresi SEM Regresi SEM Regresi Regresi Regresi SEM Regresi Regresi Regresi Secara ringkas, pengertian intensi adalah ubahan yang paling dekat dengan perilaku yang dilakukan oleh individu, dan merupakan ubahan yang menjembatani antara sikap dan perilaku nyata (Ajzen, 1988). Ajzen (1988) juga berpendapat bahwa intensi adalah suatu kebulatan tekad untuk melakukan aktivitas tertentu atau menghasilkan suatu keadaan tertentu di masa yang akan datang. Menurut Kreitner & Kinicki (2001), norma subjektif diartikan sebagai penerimaan tekanan sosial untuk menampilkan sebuah perilaku yang spesifik. Selanjutnya Fishbein dan Ajzen (1975:302) menerangkan bahwa: “The Subjective norm is the person’s perception that most people who are important to him think he should or should not perform the behavior in question”. Mereka mendefinisikan norma subyektif sebagai suatu persepsi individu yang berhubungan dengan kebanyakan orang-orang yang penting bagi dirinya yang mengharapkan individu untuk melakukan atau tidak melakukan tingkah laku tertentu. Orang – orang yang penting bagi dirinya tersebut kemudian dijadikan acuan atau patokan untuk mengarahkan tingkah laku. Dalam kamus lengkap psikologi (Chaplin, 2002), dijelaskan bahwa sikap adalah satu predisposisi atau kecenderungan yang relatif stabil dan berlangsung terus menerus untuk bertingkah laku atau untuk mereaksi dengan satu cara tertentu terhadap pribadi lain, objek, lembaga, atau persoalan tertentu. P. Alleyne et.al (2013) menjelaskan bahwa sikap adalah penilaian seseorang atas tingkat persetujuan atau ketidaksetujuan dari perilaku tertentu. Sikap terhadap perilaku adalah jumlah dari keyakinan individu dari konsekuensi perilaku dan evaluasi individu atas konsekuensi tersebut. Ajzen (1988:132) mendefinisikan PBC sebagai berikut: “this factor refresh to the perceived ease or difficulty peforming the behavior and it assume to reflect past experience as well as anticipates impediment and obstacles.” Faktor ini menggambarkan persepsi individu mengenai mudah atau tidaknya individu untuk melakukan tingkah laku dan diasumsikan merupakan refleksi dari pengalaman yang telah terjadi sebelumnya serta hambatan-hambatan yang diantisipasi. Lembaga atau badan pelayanan publik di sektor pemerintahan cukup rawan dengan terjadinya kecurangan, seperti dugaan praktik penyalahgunaan wewenang, pelanggaran, penyuapan atau tindak pidana. Oleh karena itu, pengawasan terhadap praktik administrasi dan keuangan pada lembaga sektor pemerintahan sangatlah penting. Pada organisasi pemerintah, pengadu bukanlah sesuatu yang baru melainkan sesuatu yang sudah lama ada. Pengadu menjadi sangat populer di Indonesia karena pemberitaan yang menimpa Komisi Pemilihan Umum dengan pihak pengadu (Khairiansyah, mantan auditor Badan Pemeriksa Keuangan (BPK). Pengadu adalah seorang pegawai atau karyawan dalam suatu organisasi yang melaporkan, menyaksikan dan mengetahui adanya kejahatan ataupun adanya praktik yang menyimpang dan mengancam kepentingan publik di dalam organisasinya dan yang memutuskan untuk mengungkap penyimpangan tersebut kepada publik atau instansi yang berwenang (wikipedia, encyclopedia) Di Indonesia sudah cukup banyak lembaga pengawas yang dibentuk untuk mengawasi kinerja lembaga pemerintah, seperti Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK), Pusat Pelaporan dan Analisis Transaksi Keuangan (PPATK), Komisi Kepolisian Nasional (Kompolnas), Komisi Kejaksaan, Komisi Yudisial dan Ombudsman. Lembaga – lembaga tersebut berperan untuk mengawasi aparatur dan lembaga pemerintah yang diduga melakukan kecurangan. Dalam Pemerintahan Daerah pun telah dibuat hirarki manajemen atau instansi untuk mengawasi kinerja pemerintah daerah, mulai dari adanya Inspektorat Daerah dan Badan Pengawas Keuangan dan Pembangunan (BPKP) sebagai auditor internal dan Badan Pemeriksa Keuangan (BPK) sebagai auditor eksternal yang mengawasi Satuan Kerja Perangkat Daerah (SKPD) dan instansi pemerintah sebagai tindakan pencegahan dan meminimalkan adanya kecurangan. Pada Pemerintahan Kota atau daerah, dibentuk berbagai SKPD untuk melaksanakan tugas pemerintahan daerah. Salah satu SKPD yang mendapat perhatian intensif adalah Dinas Pendapatan Pengelolaan Keuangan dan Aset Daerah (DPPKAD). DPPKAD merupakan dinas yang memiliki tugas melaksanakan urusan pemerintahan daerah berdasarkan asas otonomi dan tugas pembantuan di bidang pendapatan, pengelolaan Keuangan dan aset daerah. DPPKAD ditunjuk sebagai unsur pelaksana otonomi daerah di bidang pendapatan, pengelolaan keuangan dan aset daerah. Seluruh laporan pemasukan atau pendapatan dari daerah akan diberikan kepada dinas tersebut kemudian akan diatur pengelolaan keuangan untuk keperluan pemerintahan daerah. Melihat kekomplekan tugas dan fungsinya yaitu memiliki tugas yang berkenaan dengan laporan administrasi keuangan daerah dan hal tersebut merupakan hal yang sensitif dan memiliki risiko kecurangan yang tinggi, sehingga sangatlah berpotensi adanya pengaduan apabila terjadi kecurangan. Akan tetapi, karena alasan sosial tidak enak sesama teman atau pegawai dan takut terhadap ancaman karir maka keinginan individu dalam melaporkan kecurangan terkadang menimbulkan konflik. Pelaporan kecurangan ini dapat memberikan dampak bagi kehidupan pribadi maupun karir mereka. Dalam pengambilan keputusan untuk melaporkan kecurangan, individu akan melakukan berbagai pertimbangan dan menganalisis sebab akibat dari hasil tindakan pelaporan kecurangan tersebut. Konflik antara keinginan dan resiko dalam pelaporan kecurangan akan mempengaruhi intensitas individu untuk mengambil keputusan akhir. Untuk membantu mengukur seberapa besar keinginan individu untuk melaporkan kecurangan, penulis melakukan penelitian tentang topik hal tersebut dengan menggunakan variabel dari TPB. 1.2 Rumusan Masalah Menurut Koesmana et al. (2007), semua organisasi dilihat dari jenis, skala dan jenis aktivitas tidak terhindar dari risiko terjadinya kecurangan. Dalam hal ini, pelaporan kecurangan menjadi hal yang sangat penting dalam pencegahan terjadinya kecurangan. Adanya sistem pelaporan kecurangan yang baik dan terstruktur merupakan salah satu sarana yang baik dalam suatu organisasi, akan tetapi sistem yang baik ini tidak akan berfungsi jika intensi atau keinginan individu dalam organisasi tidak ada. Pemerintahan Kota Pekalongan merupakan salah satu Pemerintahan Kota di Indonesia yang memiliki perkembangan dan kemajuan yang pesat dalam perekonomian daerahnya. Pengembangan sektor pariwisata dan budaya serta salah satu jalur pantura membuat kota ini dinilai strategis untuk memulai bisnis dan meningkatkan Pendapatan Asli Daerah (PAD). Menurut DPPKAD, Kota Pekalongan mengalami kenaikan sekitar 20 Milyar setiap tahunnya, akan tetapi beberapa tahun terakhir, hasil pemeriksaan BPK atas Pemerintahan Kota ini adalah Wajar Dengan Pengecualian (WDP). Berbagai kasus juga tengah ditangani yang mengindikasikan terjadinya kecurangan, seperti kasus pengadaan barang dan jasa pembangunan gedung sekolah, pemeriksaan beberapa camat yang terindikasi kasus suap. Hal ini menunjukkan masih lemahnya pengawasan internal sehingga indikasi kecurangan terus terjadi. Hal tersebut menunjukkan bahwa pengendalian internal Pemerintahan Kota Pekalongan masih perlu ditingkatkan untuk meminimalkan terjadinya kecurangan. Pemerintahan Kota Pekalongan memiliki 13 SKPD dan DPPKAD merupakan salah satu dari SKPD tersebut. Tugas utama dari instansi ini adalah melaksanakan urusan pemerintahan daerah berdasarkan asas otonomi dan tugas pembantuan dibidang pengelolaan keuangan dan aset-aset daerah. DPPKAD memiliki fungsi sebagai berikut: 1. Perumusan Kebijakan teknis di bidang pendapatan, pengelolaan keuangan dan aset daerah, 2. Penyelenggaraan urusan pemerintahan dan pelayanan umum di bidang pendapatan, pengelolaan keuangan dan aset daerah, 3. Pembinaan dan pelaksanaan tugas bidang pendapatan, pengelolaan keuangan dan aset daerah, 4. Pelaksanaan tugas lain yang diberikan oleh Kepala Daerah, 5. Pengkoordinasian, fasilitasi, dan pembinaan kegiatan di bidang pendapatan, pengelolaan keuangan dan aset daerah, 6. Pelaksanaan, monitoring, evaluasi dan pelaporan kegiatan di bidang pendapatan, pengelolaan keuangan dan aset daerah, 7. Pengelolaan urusan ketatausahaan. Mengingat pentingnya tugas dan peran instansi ini, maka pengendalian internal di lingkungan DPPKAD juga sangat perlu diawasi termasuk sumber daya manusia secara personal dalam kewajibannya untuk melaporkan kecurangan ketika menemukan adanya gejala kecurangan. Dengan mengembangkan intensi pelaporan kecurangan tersebut, tindakan kecurangan akan dapat diminimalkan dan diketahui lebih awal. Menurut Near dan Miceli (1995), hasil penelitian mengenai korelasi pribadi antara intensi dan tindakan pada pengaduan biasanya ditafsirkan melalui lensa teori perilaku psikologis. Miceli dan Near (2002) dalam Banda (2012) mengungkapkan bahwa sebagian besar pengadu akan mengungkapkan penemuannya kepada internal untuk pertama kali sebelum mengungkapkan kepada publik. Alasan utama dari para pengadu dengan membayar mahal tindakan pelaporannya dengan kehidupan karirnya yang begitu tinggi menjadi fenomena yang sangat menarik untuk dikaji. 1.3 Pertanyaan Penelitian Pertanyaan penelitian dirumuskan sebagai berikut : 1. Apakah sikap terhadap suatu perilaku individu berpengaruh positif terhadap keinginan untuk melaporkan kecurangan secara internal ? 2. Apakah norma subjektif tentang perilaku individu berpengaruh positif terhadap keinginan untuk melaporkan kecurangan secara internal ? 3. Apakah kontrol perilaku persepsian individu berpengaruh positif terhadap keinginan untuk melaporkan kecurangan secara internal ? 1.4 Tujuan Penelitian Tujuan penelitian ini adalah untuk menguji : 1. Pengaruh sikap terhadap suatu perilaku individu terhadap keinginan untuk melaporkan kecurangan secara internal 2. Pengaruh norma subjektif tentang perilaku individu terhadap keinginan untuk melaporkan kecurangan secara internal 3. Pengaruh kontrol perilaku persepsian individu terhadap keinginan untuk melaporkan kecurangan secara internal 1.5 Motivasi Penelitian Penulis tertarik untuk melakukan penelitian tentang intensi individu untuk melaporkan kecurangan terlebih pada lingkungan instansi DPPKAD. Pengendalian internal di lingkungan dinas ini sangat perlu diawasi, salah satunya adalah sumber daya manusia secara personal dalam kewajibannya untuk mematuhi kode etik dan melaporkan kecurangan ketika menemukan gejala terjadinya kecurangan. Penulis memilih intensi individu bukan lingkungan karena perilaku individu lebih memproksikan tindakan yang sebenarnya. Chiu (2002) dalam P. Alleyne (2013) mengungkapkan bahwa memprediksi keinginan untuk melakukan pengaduan tergolong sulit sehingga keinginan untuk melakukan pengaduan didefinisikan sebagai probabilitas individu untuk benar-benar terlibat dalam perilaku pengaduan yang merupakan proksi untuk tindakan yang sebenarnya. Kekomplekan tugas yang ditangani oleh dinas ini menimbulkan risiko yang tinggi terjadi kecurangan, terlebih hasil pemeriksaan BPK pada tiga tahun terakhir adalah WDP, sehingga terdapat risiko terjadinya kecurangan dan berpotensi adanya tindakan pengaduan. Hal tersebut juga menjadi faktor ketertarikan peneliti untuk memilih DPPKAD sebagai responden. Penelitian ini dilakukan dengan harapan dapat membantu memberikan konstribusi bagi pemerintahan Kota Pekalongan dalam pembangunan dan pengembangan pelaporan kecurangan secara internal untuk meminimalkan kasus kecurangan. 1.6 Kontribusi Penelitian Penelitian ini diharapkan dapat memberikan gambaran tentang kemungkinan tindakan pelaporan kecurangan yang akan dilakukan para pegawai di lingkungan DPPKAD apabila ditemukan adanya praktik yang tidak sesuai dengan kode etik organisasi terutama yang terkait dengan korupsi. Intensi individu untuk melaporkan kecurangan sangat penting untuk diperhatikan. Hal tersebut dapat menjadi sarana untuk meminimalkan kecurangan dan dapat membantu untuk pendeteksian kecurangan sehingga intensi individu untuk melakukan kecurangan perlu ditingkatkan dari waktu ke waktu. Intensi individu pegawai DPPKAD untuk melaporkan kecurangan jika menemui gejala atau tindakan kecurangan sangat perlu dikembangkan sehingga diperlukan sistem pengaduan sebagai sarana pelaporan sebagai tindakan selanjutnya dan tindakan kecurangan dapat diketahui lebih awal. Jika tindakan pencegahan lebih dimaksimalkan maka tindakan yang mengarah pada kecurangan dapat diminimalkan.