BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Good

advertisement
BAB I
PENDAHULUAN
1.1 Latar Belakang
Good Governance dan Good Management menjadi tema yang marak dibicarakan karena
terkait dengan agenda reformasi birokrasi. Hal ini penting untuk mewujudkan akuntabilitas
pemerintah sebagai pihak yang dipercaya untuk mengelola sumber-sumber dana dan berbagai
hal yang bersangkutan dengan sumber dana tersebut. Kualitas penata kelolaan dapat dilihat
dari aspek program, administrasi keuangan dan pelaporan keuangan. Apabila instansi
pemerintah melaksanakan hal tersebut, maka akan membawa dampak pemerintahan yang
dipercaya (trusted), dihargai (respected) dan didukung (supported) oleh masyarakat.
Manajemen atau penatakelolaan keuangan pemerintah merupakan salah satu kunci
penentu keberhasilan pembangunan dan penyelenggaraan pemerintahan. Adanya manajemen
keuangan pemerintah yang baik akan menjamin tercapainya tujuan pembangunan, berbangsa
dan bernegara. Langkah-langkah strategis dalam konteks penciptaan, pengembangan, dan
penegakkan sistem manajemen keuangan yang baik merupakan tuntutan sekaligus kebutuhan
yang semakin tak terelakkan dalam dinamika pemerintahan dan pembangunan.
Munculnya perhatian yang besar akan pentingnya manajemen keuangan pemerintah
dilatarbelakangi oleh banyaknya tuntutan, kebutuhan atau aspirasi yang harus diakomodasi di
satu sisi dan terbatasnya sumber daya keuangan pemerintah di sisi lain. Hal ini
mencerminkan bahwa pencapaian efektivitas dan efisiensi keuangan pemerintah semakin
marak untuk diperjuangkan perwujudannya. Bertentangan dengan perkembangan perwujudan
good governance tersebut, meningkatnya kasus kecurangan akhir-akhir ini menjadi masalah
yang cukup serius. Banyak kasus kecurangan yang mulai terungkap di negara kita baik di
lingkungan pemerintahan (public) maupun privat.
Berdasarkan definisi dari Pusdiklatwas Badan Pengawas Keuangan dan Pembangunan
(2008:11) yang dimaksud dengan fraud adalah sebagai berikut :
“Dalam istilah sehari-hari, fraud dimaknai sebagai ketidakjujuran. Dalam terminologi
awam fraud lebih ditekankan pada aktivitas penyimpangan perilaku yang berkaitan dengan
konsekuensi hukum, seperti penggelapan, pencurian dengan tipu muslihat, fraud pelaporan
keuangan, korupsi, kolusi, nepotisme, penyuapan, penyalahgunaan wewenang, dan lain-lain.”
Fraud merupakan kecurangan yang dapat terjadi dimana saja dan dapat dilakukan oleh siapa
saja. Jika dalam suatu entitas atau organisasi, kecurangan dapat dilakukan oleh pegawai atau
karyawan yang terdapat di dalamnya termasuk atasannya, sehingga yang dapat mendeteksi
lebih awal juga orang-orang yang terdapat dalam entitas atau organisasi tersebut yaitu
pegawai atau karyawan. Kecurangan yang tidak ditangani dapat mengakibatkan kinerja dari
entitas atau suatu organisasi menjadi buruk, baik dalam segi manajemen ataupun pelayanan
yang dapat menimbulkan ketidakpercayaan (distrust) bagi organisasi.
Untuk menangani kecurangan ini, perlu dilakukan tindakan pencegahan (preventif) dan
pendeteksian (detection). Kecurangan dapat diketahui lebih awal jika dapat memperhatikan
dan memahami red flag atau tanda-tanda yang terjadi sebagai signal adanya kecurangan
sehingga dapat dicegah ataupun diminimalkan. Moeller (2009) menjelaskan bahwa red flag
diartikan dengan pencarian indikator di awal kegiatan. Red flag dapat menjadi petunjuk atau
indikator akan adanya sesuatu yang tidak biasa dan memerlukan penyidikan lebih lanjut.
Pada saat seseorang dapat memperhatikan dan memahami tanda-tanda kecurangan,
terdapat berbagai kemungkinan tindakan untuk dilakukan. Orang tersebut dapat melapor atau
mengadukan kepada atasan secara terang-terangan atau secara rahasia atau orang tersebut
tidak akan melaporkan sama sekali. Hal ini dipengaruhi oleh berbagai faktor dalam
mempengaruhi kondisi psikologis seseorang untuk memutuskan tindakannya.
Istilah pengaduan (whistleblowing) merupakan tindakan yang dilakukan oleh seseorang
atau beberapa orang karyawan untuk membocorkan kecurangan, baik yang dilakukan oleh
entitas ataupun atasannya kepada pihak lain yang merupakan atasan yang lebih tinggi atau
kepada masyarakat luas. Menurut Dozier (1985), pengaduan adalah melaporkan suatu
tindakan atau keputusan organisasi yang menyimpang dari peraturan dan undang-undang
yang dilakukan oleh seorang anggota organisasi itu kepada pihak lain seperti pemerintah,
media massa atau pihak-pihak yang berkaitan.
Pengaduan dapat bersifat internal dan eksternal. Bersifat internal jika yang melaporkan
adalah orang dalam dari organisasi dan dilaporkan kepada atasannya atau atasan yang lebih
tinggi jabatannya, dan bersifat eksternal jika orang dalam ataupun orang dari luar organisasi
yang melaporkannya kepada masyarakat luas karena dianggap merugikan masyarakat luas.
Menurut Lembaga Perlindungan Saksi dan Korban (2011) setidaknya ada empat pilihan
yang dihadapi oleh pegawai untuk melaporkan atau tidak melaporkan suatu pelanggaran atau
dugaan pidana (kecurangan) di tempatnya bekerja. Pilihan-pilihan tersebut meliputi berdiam
diri, melaporkan kekhawatiran melalui prosedur internal, melaporkan kekhawatiran ke
lembaga luar, atau membeberkan ke media.
Saat ini organisasi baik sektor privat maupun sektor publik banyak dihadapkan pada
pelanggaran terselubung yang menuntut keterbukaan informasi. Hal ini tentunya tidak
mengherankan mengingat pelaporan dan keterbukaan informasi terkadang harus dibayar
mahal oleh pelapor yang mengakibatkan terjadinya pemecatan. Budaya diam yang dilakukan
karyawan pada sektor bisnis maupun pemerintahan menyebabkan adanya beberapa fakta
yang tidak dapat terungkap.
Keengganan karyawan untuk melaporkan adanya pelanggaran yang diketahui dapat
diatasi melalui penerapan pengaduan, transparan dan bertanggungjawab. Hal ini diharapkan
dapat meningkatkan tingkat partisipasi karyawan atau pegawai dalam melaporkan
penyimpangan atau pelanggaran yang terjadi di sektor bisnis maupun sektor publik
(pemerintahan).
Beberapa
peneliti
menganggap
pengaduan
sebagai
suatu
bentuk
tindakan
kewarganegaraan yang baik (Dworkin & Near, 1997) sehingga harus didorong dan bahkan
dianugerahi penghargaan. Penelitian Near & Miceli (1985) mengungkapkan bahwa
pengaduan biasanya dipandang sebagai perilaku menyimpang karena dapat merugikan pihak
yang dilaporkan dan dapat berujung sebagai aksi balas dendam. Pengadu lebih memilih
melakukan aksi balas dendam apabila mereka tidak mendapat dukungan yang mereka
inginkan dari atasannya, insiden yang terjadi tergolong serius dan menggunakan sarana
eksternal untuk melaporkan kesalahan yang ada.
Peran dalam tindakan pengaduan ini sangat menguntungkan jika lebih ditonjolkan di
dalam kehidupan masyarakat. Hal ini diharapkan dapat mencegah setiap kejahatan atau
kecurangan yang dapat merugikan publik. Untuk itu, mengetahui informasi tentang seberapa
besar keinginan individu untuk melakukan pelaporan atau melaporkan kecurangan
merupakan hal yang sangat bermanfaat bagi suatu organisasi untuk mengembangkan sikap
tegas dalam menindak lanjuti temuan yang berupa kecurangan dan memungkinkan
melakukan tindakan pengaduan. Pelaporan kecurangan sangat penting dalam suatu entitas
atau organisasi sehingga diperlukan sistem atau prosedur yang jelas di dalamnya.
Menurut Miceli dan Near (1985) ; Randal dan Gibson(1991) ; Schultz et al. (1993),
penelitian yang mengungkapkan pentingnya model komprehensif yang digunakan untuk
menjelaskan perilaku pengadu telah banyak dilakukan. Model yang digunakan untuk meneliti
intensi pelaporan kecurangan salah satunya adalah Theory Planned Behavior (TPB) yang
dikemukakan oleh Ajzen (1991). Teori ini telah digunakan untuk memprediksi keinginan
untuk melakukan pengaduan di luar konteks akuntansi yaitu keinginan untuk melakukan
pengaduan pada petugas polisi (Park dan Blenkinsopp, 2009) dan profesional kesehatan
(Randall dan Gibson, 1991).
Ajzen (2005) memaparkan bahwa terdapat tiga prediktor utama yang mempengaruhi
intensi individu untuk melakukan suatu perilaku, yaitu sikap terhadap suatu perilaku (attitude
toward the behavior), norma subjektif tentang perilaku (subjective norm) dan kontrol perilaku
persepsian (perceived behavioral control). Konsep tentang intensi diajukan oleh Fishbein dan
Ajzen (1975) yang diartikan sebagai kemungkinan subjektif seseorang untuk melakukan
suatu perilaku tertentu.
Berbagai riset penelitian seperti akuntansi, pemasaran, kesehatan dan lainnya telah
banyak menggunakan TPB. Berikut ini merupakan beberapa penelitian yang menggunakan
teori tersebut menurut Sihombing (2004) :
Tabel 1.1
Penggunaan Theory Planned Behavioral dalam Penelitian
Peneliti
Chang (1998)
Parker, Manstead, & Stradling (1995)
Lin et al. (1999)
Mengkonsumsi Ganja
Corner dan McMillan (1999)
Etika Bisnis
Weber dan Gillespie (1998)
Donasi Darah
Trafimow dan Duran (1995)
Giles dan Cairns (1995)
Profesi Medis
Randall dan Gibson (1991)
Pemahaman diri
Spatz et al. (2003)
Trafimow (2001)
Sheeran dan Orbell (1999)
Terry et al. (1999)
Perilaku Belajar
Armitage et al. (1999)
Tkachev dan Kolvereid (1999)
Chatzisarantis dan Biddle (1998)
Trafimow dan Duran (1998)
Orbell, Hodgkins & Sheeran (1997)
Leone, Perugini & Ercolani (1999)
Koslowsky (1993)
Randall (1994)
Pengurangan berat badan Sheeran dan Orbell (2000)
Bagozzi dan Kimmel (1995)
Terry dan O'Leary (1995)
Perugini dan Bagozzi (1992)
Bagozzi dan Warshaw (1990)
Schifter dan Ajzen (1985)
Pembelian
George (2002)
Dharmmesta dan Khasanah (1999)
Kalafatis, Pollard, East, & Tsogas (1999)
Kokkinaki (1999)
Kanler dan Todd (1998)
Thompson (1996)
Keuangan
Sahni (1994)
Perilaku komplain
East (2000)
Perilaku Organisasional
Cordano dan Frieze (2000)
Morris dan Vankatesh (2000)
Maurer dan Palmer (1999)
Aktivitas Luar Ruang
Hrubes, Ajzen, & Daigle (2001)
Lingkungan Perilaku
Perilaku Tidak Etis
Alat analisis
SEM
Regresi
SEM
Regresi
Regresi
Regresi
Regresi
Regresi
Multiple Discriminant
Regresi
Manova
Regresi
Regresi
korelasi
SEM
Regresi
Regresi
SEM
Regresi
Regresi
Regresi
SEM
SEM
SEM
Regresi
Regresi
PLS
Regresi
SEM
Regresi
SEM
Regresi
Regresi
Regresi
SEM
Regresi
Regresi
Regresi
Secara ringkas, pengertian intensi adalah ubahan yang paling dekat dengan perilaku yang
dilakukan oleh individu, dan merupakan ubahan yang menjembatani antara sikap dan
perilaku nyata (Ajzen, 1988). Ajzen (1988) juga berpendapat bahwa intensi adalah suatu
kebulatan tekad untuk melakukan aktivitas tertentu atau menghasilkan suatu keadaan tertentu
di masa yang akan datang.
Menurut Kreitner & Kinicki (2001), norma subjektif diartikan sebagai penerimaan
tekanan sosial untuk menampilkan sebuah perilaku yang spesifik. Selanjutnya Fishbein dan
Ajzen (1975:302) menerangkan bahwa:
“The Subjective norm is the person’s perception that most people who are important to
him think he should or should not perform the behavior in question”.
Mereka mendefinisikan norma subyektif sebagai suatu persepsi individu yang berhubungan
dengan kebanyakan orang-orang yang penting bagi dirinya yang mengharapkan individu
untuk melakukan atau tidak melakukan tingkah laku tertentu. Orang – orang yang penting
bagi dirinya tersebut kemudian dijadikan acuan atau patokan untuk mengarahkan tingkah
laku.
Dalam kamus lengkap psikologi (Chaplin, 2002), dijelaskan bahwa sikap adalah satu
predisposisi atau kecenderungan yang relatif stabil dan berlangsung terus menerus untuk
bertingkah laku atau untuk mereaksi dengan satu cara tertentu terhadap pribadi lain, objek,
lembaga, atau persoalan tertentu. P. Alleyne et.al (2013) menjelaskan bahwa sikap adalah
penilaian seseorang atas tingkat persetujuan atau ketidaksetujuan dari perilaku tertentu. Sikap
terhadap perilaku adalah jumlah dari keyakinan individu dari konsekuensi perilaku dan
evaluasi individu atas konsekuensi tersebut.
Ajzen (1988:132) mendefinisikan PBC sebagai berikut:
“this factor refresh to the perceived ease or difficulty peforming the behavior and it
assume to reflect past experience as well as anticipates impediment and obstacles.”
Faktor ini menggambarkan persepsi individu mengenai mudah atau tidaknya individu untuk
melakukan tingkah laku dan diasumsikan merupakan refleksi dari pengalaman yang telah
terjadi sebelumnya serta hambatan-hambatan yang diantisipasi.
Lembaga atau badan pelayanan publik di sektor pemerintahan cukup rawan dengan
terjadinya kecurangan, seperti dugaan praktik penyalahgunaan wewenang, pelanggaran,
penyuapan atau tindak pidana. Oleh karena itu, pengawasan terhadap praktik administrasi dan
keuangan pada lembaga sektor pemerintahan sangatlah penting.
Pada organisasi pemerintah, pengadu bukanlah sesuatu yang baru melainkan sesuatu
yang sudah lama ada. Pengadu menjadi sangat populer di Indonesia karena pemberitaan yang
menimpa Komisi Pemilihan Umum dengan pihak pengadu (Khairiansyah, mantan auditor
Badan Pemeriksa Keuangan (BPK). Pengadu adalah seorang pegawai atau karyawan dalam
suatu organisasi yang melaporkan, menyaksikan dan mengetahui adanya kejahatan ataupun
adanya praktik yang menyimpang dan mengancam kepentingan publik di dalam
organisasinya dan yang memutuskan untuk mengungkap penyimpangan tersebut kepada
publik atau instansi yang berwenang (wikipedia, encyclopedia)
Di Indonesia sudah cukup banyak lembaga pengawas yang dibentuk untuk mengawasi
kinerja lembaga pemerintah, seperti Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK), Pusat Pelaporan
dan Analisis Transaksi Keuangan (PPATK), Komisi Kepolisian Nasional (Kompolnas),
Komisi Kejaksaan, Komisi Yudisial dan Ombudsman. Lembaga – lembaga tersebut berperan
untuk mengawasi aparatur dan lembaga pemerintah yang diduga melakukan kecurangan.
Dalam Pemerintahan Daerah pun telah dibuat hirarki manajemen atau instansi untuk
mengawasi kinerja pemerintah daerah, mulai dari adanya Inspektorat Daerah dan Badan
Pengawas Keuangan dan Pembangunan (BPKP) sebagai auditor internal dan Badan
Pemeriksa Keuangan (BPK) sebagai auditor eksternal yang mengawasi Satuan Kerja
Perangkat Daerah (SKPD) dan instansi pemerintah sebagai tindakan pencegahan dan
meminimalkan adanya kecurangan.
Pada Pemerintahan Kota atau daerah, dibentuk berbagai SKPD untuk melaksanakan
tugas pemerintahan daerah. Salah satu SKPD yang mendapat perhatian intensif adalah Dinas
Pendapatan Pengelolaan Keuangan dan Aset Daerah (DPPKAD). DPPKAD merupakan dinas
yang memiliki tugas melaksanakan urusan pemerintahan daerah berdasarkan asas otonomi
dan tugas pembantuan di bidang pendapatan, pengelolaan Keuangan dan aset daerah.
DPPKAD ditunjuk sebagai unsur pelaksana otonomi daerah di bidang pendapatan,
pengelolaan keuangan dan aset daerah. Seluruh laporan pemasukan atau pendapatan dari
daerah akan diberikan kepada dinas tersebut kemudian akan diatur pengelolaan keuangan
untuk keperluan pemerintahan daerah.
Melihat kekomplekan tugas dan fungsinya yaitu memiliki tugas yang berkenaan dengan
laporan administrasi keuangan daerah dan hal tersebut merupakan hal yang sensitif dan
memiliki risiko kecurangan yang tinggi, sehingga sangatlah berpotensi adanya pengaduan
apabila terjadi kecurangan. Akan tetapi, karena alasan sosial tidak enak sesama teman atau
pegawai dan takut terhadap ancaman karir maka keinginan individu dalam melaporkan
kecurangan terkadang menimbulkan konflik. Pelaporan kecurangan ini dapat memberikan
dampak bagi kehidupan pribadi maupun karir mereka.
Dalam pengambilan keputusan untuk melaporkan kecurangan, individu akan melakukan
berbagai pertimbangan dan menganalisis sebab akibat dari hasil tindakan pelaporan
kecurangan tersebut. Konflik antara keinginan dan resiko dalam pelaporan kecurangan akan
mempengaruhi intensitas individu untuk mengambil keputusan akhir. Untuk membantu
mengukur seberapa besar keinginan individu untuk melaporkan kecurangan, penulis
melakukan penelitian tentang topik hal tersebut dengan menggunakan variabel dari TPB.
1.2 Rumusan Masalah
Menurut Koesmana et al. (2007), semua organisasi dilihat dari jenis, skala dan jenis
aktivitas tidak terhindar dari risiko terjadinya kecurangan. Dalam hal ini, pelaporan
kecurangan menjadi hal yang sangat penting dalam pencegahan terjadinya kecurangan.
Adanya sistem pelaporan kecurangan yang baik dan terstruktur merupakan salah satu sarana
yang baik dalam suatu organisasi, akan tetapi sistem yang baik ini tidak akan berfungsi jika
intensi atau keinginan individu dalam organisasi tidak ada.
Pemerintahan Kota Pekalongan merupakan salah satu Pemerintahan Kota di Indonesia
yang memiliki perkembangan dan kemajuan yang pesat dalam perekonomian daerahnya.
Pengembangan sektor pariwisata dan budaya serta salah satu jalur pantura membuat kota ini
dinilai strategis untuk memulai bisnis dan meningkatkan Pendapatan Asli Daerah (PAD).
Menurut DPPKAD, Kota Pekalongan mengalami kenaikan sekitar 20 Milyar setiap tahunnya,
akan tetapi beberapa tahun terakhir, hasil pemeriksaan BPK atas Pemerintahan Kota ini
adalah Wajar Dengan Pengecualian (WDP). Berbagai kasus juga tengah ditangani yang
mengindikasikan terjadinya kecurangan, seperti kasus pengadaan barang dan jasa
pembangunan gedung sekolah, pemeriksaan beberapa camat yang terindikasi kasus suap. Hal
ini menunjukkan masih lemahnya pengawasan internal sehingga indikasi kecurangan terus
terjadi.
Hal tersebut menunjukkan bahwa pengendalian internal Pemerintahan Kota
Pekalongan masih perlu ditingkatkan untuk meminimalkan terjadinya kecurangan.
Pemerintahan Kota Pekalongan memiliki 13 SKPD dan DPPKAD merupakan salah satu dari
SKPD tersebut. Tugas utama dari instansi ini adalah melaksanakan urusan pemerintahan
daerah berdasarkan asas otonomi dan tugas pembantuan dibidang pengelolaan keuangan dan
aset-aset daerah. DPPKAD memiliki fungsi sebagai berikut:
1. Perumusan Kebijakan teknis di bidang pendapatan, pengelolaan keuangan dan aset
daerah,
2. Penyelenggaraan urusan pemerintahan dan pelayanan umum di bidang pendapatan,
pengelolaan keuangan dan aset daerah,
3. Pembinaan dan pelaksanaan tugas bidang pendapatan, pengelolaan keuangan dan
aset daerah,
4. Pelaksanaan tugas lain yang diberikan oleh Kepala Daerah,
5. Pengkoordinasian, fasilitasi, dan pembinaan kegiatan di bidang pendapatan,
pengelolaan keuangan dan aset daerah,
6. Pelaksanaan, monitoring, evaluasi dan pelaporan kegiatan di bidang pendapatan,
pengelolaan keuangan dan aset daerah,
7. Pengelolaan urusan ketatausahaan.
Mengingat pentingnya tugas dan peran instansi ini, maka pengendalian internal di
lingkungan DPPKAD juga sangat perlu diawasi termasuk sumber daya manusia secara
personal dalam kewajibannya untuk melaporkan kecurangan ketika menemukan adanya
gejala kecurangan. Dengan mengembangkan intensi pelaporan kecurangan tersebut, tindakan
kecurangan akan dapat diminimalkan dan diketahui lebih awal.
Menurut Near dan Miceli (1995), hasil penelitian mengenai korelasi pribadi antara intensi
dan tindakan pada pengaduan biasanya ditafsirkan melalui lensa teori perilaku psikologis.
Miceli dan Near (2002) dalam Banda (2012) mengungkapkan bahwa sebagian besar pengadu
akan mengungkapkan penemuannya kepada internal untuk pertama kali sebelum
mengungkapkan kepada publik. Alasan utama dari para pengadu dengan membayar mahal
tindakan pelaporannya dengan kehidupan karirnya yang begitu tinggi menjadi fenomena yang
sangat menarik untuk dikaji.
1.3 Pertanyaan Penelitian
Pertanyaan penelitian dirumuskan sebagai berikut :
1. Apakah sikap terhadap suatu perilaku individu berpengaruh positif terhadap keinginan
untuk melaporkan kecurangan secara internal ?
2. Apakah norma subjektif tentang perilaku individu berpengaruh positif terhadap
keinginan untuk melaporkan kecurangan secara internal ?
3. Apakah kontrol perilaku persepsian individu berpengaruh positif terhadap keinginan
untuk melaporkan kecurangan secara internal ?
1.4 Tujuan Penelitian
Tujuan penelitian ini adalah untuk menguji :
1. Pengaruh sikap terhadap suatu perilaku individu terhadap keinginan untuk
melaporkan kecurangan secara internal
2. Pengaruh norma subjektif tentang perilaku individu terhadap keinginan untuk
melaporkan kecurangan secara internal
3. Pengaruh kontrol perilaku persepsian individu terhadap keinginan untuk melaporkan
kecurangan secara internal
1.5 Motivasi Penelitian
Penulis tertarik untuk melakukan penelitian tentang intensi individu untuk melaporkan
kecurangan terlebih pada lingkungan instansi DPPKAD. Pengendalian internal di lingkungan
dinas ini sangat perlu diawasi, salah satunya adalah sumber daya manusia secara personal
dalam kewajibannya untuk mematuhi kode etik dan melaporkan kecurangan ketika
menemukan gejala terjadinya kecurangan.
Penulis memilih intensi individu bukan lingkungan karena perilaku individu lebih
memproksikan tindakan yang sebenarnya. Chiu (2002) dalam P. Alleyne (2013)
mengungkapkan bahwa memprediksi keinginan untuk melakukan pengaduan tergolong sulit
sehingga keinginan untuk melakukan pengaduan didefinisikan sebagai probabilitas individu
untuk benar-benar terlibat dalam perilaku pengaduan yang merupakan proksi untuk tindakan
yang sebenarnya.
Kekomplekan tugas yang ditangani oleh dinas ini menimbulkan risiko yang tinggi terjadi
kecurangan, terlebih hasil pemeriksaan BPK pada tiga tahun terakhir adalah WDP, sehingga
terdapat risiko terjadinya kecurangan dan berpotensi adanya tindakan pengaduan. Hal
tersebut juga menjadi faktor ketertarikan peneliti untuk memilih DPPKAD sebagai
responden. Penelitian ini dilakukan dengan harapan dapat membantu memberikan konstribusi
bagi pemerintahan Kota Pekalongan dalam pembangunan dan pengembangan pelaporan
kecurangan secara internal untuk meminimalkan kasus kecurangan.
1.6 Kontribusi Penelitian
Penelitian ini diharapkan dapat memberikan gambaran tentang kemungkinan tindakan
pelaporan kecurangan yang akan dilakukan para pegawai di lingkungan DPPKAD apabila
ditemukan adanya praktik yang tidak sesuai dengan kode etik organisasi terutama yang
terkait dengan korupsi. Intensi individu untuk melaporkan kecurangan sangat penting untuk
diperhatikan. Hal tersebut dapat menjadi sarana untuk meminimalkan kecurangan dan dapat
membantu untuk pendeteksian kecurangan sehingga intensi individu untuk melakukan
kecurangan perlu ditingkatkan dari waktu ke waktu.
Intensi individu pegawai DPPKAD untuk melaporkan kecurangan jika menemui gejala
atau tindakan kecurangan sangat perlu dikembangkan sehingga diperlukan sistem pengaduan
sebagai sarana pelaporan sebagai tindakan selanjutnya dan tindakan kecurangan dapat
diketahui lebih awal. Jika tindakan pencegahan lebih dimaksimalkan maka tindakan yang
mengarah pada kecurangan dapat diminimalkan.
Download