Sufi, Benarkah Itu Ajaran Nabi?

advertisement
Sufi, Benarkah Itu Ajaran Nabi?
muslim.or.id /450-sufi-benarkah-ajaran-nabi.html
Ari Wahyudi,
Ssi.
Segala puji bagi Allah, shalawat dan salam semoga terlimpah kepada Nabi akhir zaman
dan da’i yang menyeru kepada jalan Allah dengan ilmu dan keterangan.
2/12/2008
Amma ba’du. Saudara-saudaraku sekalian kaum muslimin -semoga Allah semakin mempererat tali
persaudaraan kita karena-Nya- perjalanan hidup kita di alam dunia merupakan sebuah proses perjuangan untuk
menggapai keridhaan-Nya. Kita hidup bukan untuk berhura-hura atau memuaskan hawa nafsu tanpa kendali
agama. Allah ta’ala berfirman (yang artinya), “Dan tidaklah Aku ciptakan jin dan manusia melainkan supaya
mereka beribadah (hanya) kepada-Ku.” (QS. Adz-Dzariyat: 56)
Saudara-saudaraku sekalian -semoga Allah menumbuhkan kecintaan yang dalam di dalam hati kita kepada alQur’an, as-Sunnah dan para sahabat radhiyallahu ta’ala ‘anhum– sebagaimana kita sadari bersama bahwa
agama Islam adalah ajaran yang sempurna. Tidak ada yang mengingkarinya kecuali orang yang tidak paham
dan orang yang menyombongkan dirinya. Allah ta’ala berfirman (yang artinya), “Pada hari ini Aku telah
sempurnakan bagi kalian agama kalian, Aku telah cukupkan nikmat-Ku atas kalian, dan Aku ridha Islam sebagai
agama kalian.” (QS. Al-Maa’idah: 3)
Saudara-saudaraku sekalian -semoga Allah mencurahkan hidayah dan taufik-Nya kepada kita untuk meniti jalan
yang lurus dan tidak berpaling darinya- Allah ta’ala berfirman (yang artinya), “Barangsiapa yang menentang
Rasul setelah petunjuk terang benderang baginya dan dia malah mengikuti selain jalan orang-orang yang
beriman, maka Kami akan membiarkan dia terombang-ambing di dalam kesesatan yang dipilihnya, dan Kami
akan memasukkan dirinya ke dalam neraka jahannam. Dan sungguh jahannam itu adalah seburuk-buruk tempat
kembali.” (QS. An-Nisaa’: 115)
Bagi kita ajaran atau Sunnah Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam adalah satu-satunya jalan untuk
menyelamatkan diri dari kehancuran dan mata air yang akan mengalirkan kesejukan iman. Irbadh bin Sariyah
radhiyallahu ‘anhu mengisahkan bahwa Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda, “Wajib bagi kalian
untuk berpegang teguh dengan Sunnah/ajaranku dan ajaran para khalifah yang berpetunjuk lagi lurus
sesudahku, berpegang teguhlah dengannya dan gigitlah ia dengan gigi-gigi geraham serta jauhilah perkaraperkara baru yang diada-adakan (dalam agama), sebab setiap yang diada-adakan itu adalah bid’ah. Dan setiap
bid’ah pasti sesat.” (HR. Abu Dawud dan Tirmidzi, Tirmidzi menilai hadits ini hasan)
Oleh karena itu sudah semestinya kita -sebagai orang yang mengaku beriman- untuk mengembalikan segala
bentuk perselisihan kepada Hakim yang paling bijaksana yaitu Allah subhanahu wa ta’ala. Allah ta’ala berfirman
(yang artinya), “Kemudian apabila kalian berselisih dalam suatu perkara maka kembalikanlah kepada Allah (alQur’an) dan rasul (as-Sunnah), hal itu pasti lebih baik bagi kalian dan lebih bagus hasilnya, jika kalian benarbenar beriman kepada Allah dan hari akhir.” (QS. An-Nisaa’: 59)
Mujahid dan para ulama salaf yang lainnya menafsirkan perintah kembali kepada Allah dan rasul yang terdapat
dalam ayat ini dengan mengatakan yaitu kembali kepada Kitabullah dan Sunnah Rasul-Nya shallallahu ‘alaihi
wa sallam. Kemudian Ibnu Katsir rahimahullah mengatakan, “Ini merupakan perintah dari Allah ‘azza wa jalla
yang menunjukkan bahwa segala sesuatu yang diperselisihkan orang -dalam hal pokok agama maupun cabangcabangnya- maka perselisihan itu harus diselesaikan dengan merujuk kepada Al-Kitab dan As-Sunnah.
Sebagaimana disebutkan dalam firman Allah ta’ala (yang artinya), “Apa saja perkara yang kalian perselisihkan
maka keputusannya dikembalikan kepada Allah.” (QS. Asy-Syura: 10). Maka apa pun yang telah diputuskan
oleh Al-Kitab dan As-Sunnah serta didukung oleh dalil yang benar dari keduanya itulah kebenaran, “dan tiada
lagi sesudah kebenaran melainkan kesesatan.” (lihat Tafsir Al-Qur’an Al-‘Azhim , jilid 2 hal. 250).
Di hadapan kita terdapat persoalan yang telah membuat lisan sebagian orang melontarkan tuduhan-tuduhan
yang tak pantas kepada Ahlus Sunnah dan dakwahnya, bahkan saking getolnya memuja keyakinan sufi yang
dianggapnya benar maka dia pun tidak segan melontarkan ucapan-ucapan aneh yang menunjukkan kerancuan
aqidah yang tertancap di dalam dadanya.
1/7
Orang tersebut -semoga Allah menunjukinya- berkata, “Kita berasal dari Allah. Menyembah hanya untuk Allah,
Hidup dan mati di dalam Allah. Karena kita bagian dari Allah.” Orang tersebut -semoga Allah menunjukinyaberkata, “Allah ada di mana-mana. Tapi bukan berarti ada di mana-mana. Seluruh dunia ini terjadi [karena]
Campur tangan Allah. Karena Allah tidak tidur. Di dalam diri kita ada Tuhan, manusia sendiri yang membuat
HIJAB ( batasan) kepada Allah.” Orang tersebut -semoga Allah menunjukinya- berkata, “Akan tetapi Dzat Tuhan
dapat dijumpai dan menyatu dalam diri manusia. Karena sebegitu dekatnya…” Orang tersebut -semoga Allah
menunjukinya- berkata, “Seluruh Imam Madzhab pada Akhirnya kembali kepada Sufi. Kecuali Wahabi…” ?!
Baiklah, memang pahit di lidah dan panas di telinga, namun terpaksa kalimat-kalimat ini kami sebutkan di sini
demi menerangkan kebenaran dan membantah kebatilan, semoga Allah memberikan taufik kepada kita untuk
bersatu di atas kebenaran, Allahul musta’aan.
Sebagai jalan untuk memecahkan persoalan ini maka akan saya kutip ucapan indah dari orang yang sama yang
telah mengucapkan kalimat-kalimat di atas. Orang tersebut -semoga Allah menambahkan hidayah kepada-Nyamengatakan dengan jujur dan tulus, “Maka sebaiknya kita tanya dulu kepada Orang yang lebih tahu daripada
Kita, Karena di atas langit masih ada langit.” Alangkah bagus ucapannya sebab bersesuaian dengan sebuah
firman Allah yang mulia (yang artinya), “Maka bertanyalah kepada ahli ilmu jika kalian tidak mengetahui suatu
perkara, dengan dasar keterangan dan kitab-kitab…” (QS.An-Nahl: 43-44). Tentu saja tempat kita bertanya
adalah para ulama yang mengikuti pemahaman Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam dan para sahabatnya.
Insya Allah ucapan dan keterangan mereka akan kami sebutkan untuk menenangkan hati dan pikiran kita.
Sebelum lebih jauh menanggapi hal ini, dengan memohon taufik dari-Nya maka kami perlu kemukakan
beberapa hal di sini agar duduk perkaranya menjadi jelas dan tidak terjadi kesalahpahaman.
Saudaraku sekalian -semoga Allah mengokohkan kita di atas kebenaran, bukan di atas kebatilan- ajaran Sufi
yang populer dan kata orang mengajarkan penyucian jiwa, pendekatan diri kepada Allah serta membuang jauhjauh ketergantungan hati kepada dunia serta mengikatkan hati manusia hanya kepada Allah, kita telah akrab
dengan istilah ini. Meskipun demikian, sebagai muslim yang baik tentunya kita tidak akan berbicara dan
bersikap kecuali dengan landasan dalil dari Allah ta’ala. Allah berfirman (yang artinya), “Janganlah kamu
mengikuti sesuatu yang kamu tidak memiliki ilmu tentangnya, sesungguhnya pendengaran, penglihatan dan
hati, itu semua pasti dimintai pertanggung jawabannya.” (QS. Al-Israa’: 36)
Saudaraku sekalian, sesungguhnya perkara penyucian jiwa, melembutkan hati dan pendekatan diri kepada
Allah serta melepaskan ketergantungan hati kepada dunia dan mengikatkan hati manusia kepada Rabbnya
merupakan ajaran Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam tanpa kita ragukan barang sedikit pun. Allah ta’ala
berfirman (yang artinya), “Sungguh Allah telah mengaruniakan nikmat bagi orang-orang yang beriman ketika
mengutus rasul dari kalangan mereka sendiri, yang membacakan kepada mereka ayat-ayat-Nya, menyucikan
jiwa mereka, dan mengajarkan kepada mereka Al-Kitab dan Al Hikmah (As-Sunnah) padahal sebelumnya
mereka dulu berada di dalam kesesatan yang nyata.” (QS. Ali Imran: 164). Maka tugas Nabi shallallahu ‘alaihi
wa sallam adalah membacakan dan menerangkan ayat-ayat Allah, menyucikan jiwa manusia dari berbagai
kotoran dosa dan kesyirikan, dan mengajarkan Al-Kitab dan As-Sunnah kepada mereka.
Oleh karena itulah apabila kita membuka kitab-kitab hadits akan kita jumpai di sana sebuah bab khusus yang
menyebutkan riwayat-riwayat hadits Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam yang mengajarkan penyucian jiwa dan
melembutkan hati. Contohnya di dalam Sahih Bukhari, Al-Bukhari rahimahullah menulis Kitab Ar-Riqaaq (hal-hal
yang dapat melembutkan hati), di sana beliau membawakan hadits-hadits Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam
yang terkait dengan hal ini sebanyak seratus hadits lebih, yaitu hadits no. 6412-6593 (lihat Sahih Bukhari cet.
Maktabah Al-Iman, halaman. 1306-1332)
Demikian juga murid Al-Bukhari yaitu Muslim rahimahullah membuat Kitab Ar-Riqaaq, Kitab At-Taubah, Kitab
Shifatul Munafiqin wa ahkamuhum, Kitab Shifatul qiyamah wal jannah wan naar , dan lain sebagainya hingga
Kitab Az-Zuhd wa raqaa’iq yang mencantumkan dua ratus hadits lebih tentang penyucian jiwa dan hal-hal yang
terkait dengannya di dalam Sahihnya (lihat Sahih Muslim yang dicetak bersama Syarah Nawawi, hal. 5-259).
Demikian pula di antara para ulama ada yang menyusun kitab khusus tentangnya seperti Adz-Dzahabi yang
menulis kitab Al-Kaba’ir tentang dosa-dosa besar. An-Nawawi yang menulis Riyadhush Shalihin yang mencakup
2/7
berbagai pembahasan tentang penempaan diri dan penyucian jiwa. Shifatu Shafwah dan Al-Latha’if karya Ibnul
Jauzi. Bahkan banyak kitab hadits yang dinamakan dengan kitab Az-Zuhd, seperti Az-Zuhd karya Abu Hatim ArRazi, Az-Zuhd karya Abu Dawud, Az-Zuhd karya Imam Ahmad bin Hanbal, dan lain-lain, semoga Allah
merahmati mereka semua. Bukankah dengan membaca ayat-ayat Al-Qur’an, kemudian riwayat-riwayat hadits
sahih serta penjelasan ulama yang ada di dalam kitab-kitab tersebut kita dapat mempelajari bagaimanakah
menyucikan jiwa, bagaimana mendekatkan diri kepada Allah dan bagaimana melepaskan ketergantungan hati
kepada selain-Nya…
Inilah pelajaran-pelajaran akhlak dan penyucian jiwa yang disampaikan oleh para ulama kepada kita. Sehingga
kalau yang dimaksud sufi adalah itu semua (penyucian jiwa dsb) maka akan kita katakan bahwa itulah yang
diajarkan oleh Ahlus Sunnah wal Jama’ah alias manhaj salaf kepada umat manusia. Oleh sebab itu Syaikhul
Islam Ibnu Taimiyah rahimahullah berkata mengenai salah satu sifat Ahlus Sunnah, “Mereka memerintahkan
untuk sabar ketika tertimpa musibah, bersyukur ketika lapang, serta merasa ridha dengan ketetapan takdir yang
terasa pahit. Mereka juga menyeru kepada kemuliaan akhlak dan amal-amal yang baik, mereka meyakini makna
sabda Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam, ‘Orang beriman yang paling sempurna keimanannya adalah yang
paling baik akhlaknya.’…” (Aqidah Wasithiyah, hal. 87). Kalau ajaran menyucikan diri dan menggantungkan
hati hanya kepada Allah -sebagaimana yang diajarkan oleh Nabi dan para sahabat- disebut sufi maka
saksikanlah bahwa saya adalah seorang sufi!
Namun, ketahuilah saudaraku -semoga Allah merahmatimu- kalau kita cermati lebih jauh ajaran sufi atau
tasawuf dan berbagai macam tarekat yang dinisbatkan ke dalamnya beserta tetek bengek ajaran dan lontaranlontaran aneh yang mereka angkat, niscaya akan teranglah bagi kita bahwa sebenarnya ajaran Sufi yang
berkembang hingga hari ini -di dunia secara umum ataupun dinegeri kita secara khusus- telah banyak
menyeleweng dari rambu-rambu Al-Kitab dan As-Sunnah. Sebagaimana pernah disinggung oleh Buya HAMKA
rahimahullah di dalam pidatonya dalam acara penganugerahan gelar Doktor Honoris Causa dari Universitas AlAzhar di Mesir pada tanggal 21 Januari 1958 -lima puluh tahun yang silam-, beliau mengatakan, “Daripada
gambaran yang saya kemukakan selayang pandang itu, dapatlah kita memahamkan bagaimana sangat
perlunya pembersihan aqidah daripada syirik dan bid’ah dan ajaran tasawuf yang salah, yang telah menimpa
negeri kami sejak beberapa zaman, dan perlunya kepada kemerdekaan pikiran dan memperbaharui paham
tentang ajaran Islam sejati.” (Sejarah Perkembangan Pemurnian Ajaran Islam di Indonesia , penerbit Tintamas
Djakarta, hal. 6-7)
Inilah ucapan yang adil dan bijak dari orang besar seperti beliau. Berikut ini akan kami kutip penjelasan yang
diberikan oleh Bapak Hartono Ahmad Jaiz -semoga Allah membalas kebaikannya- yang telah memaparkan
mengenai sejarah ajaran sufi ini di dalam bukunya ‘Tasawuf Belitan Iblis’. Beliau mengatakan: “Abdur Rahman
Abdul Khaliq, dalam bukunya Al-Fikrus Shufi fi Dhauil Kitab was Sunnah menegaskan, tidak diketahui secara
tepat siapa yang pertama kali menjadi sufi di kalangan ummat Islam. Imam Syafi’i ketika memasuki kota Mesir
mengatakan, “Kami tinggalkan kota Baghdad sementara di sana kaum zindiq (aliran yang menyeleweng, aliran
yang tidak percaya kepada Tuhan, berasal dari Persia, orang yang menyelundup ke dalam Islam, berpura-pura
–menurut Leksikon Islam, 2, hal 778) telah mengadakan sesuatu yang baru yang mereka namakan assama’
(nyanyian).
Kaum zindiq yang dimaksud Imam Syafi’i adalah orang-orang sufi. Dan assama’ yang dimaksudkan adalah
nyanyian-nyanyian yang mereka dendangkan. Sebagaimana dimaklumi, Imam Syafi’i masuk Mesir tahun 199H.
Perkataan Imam Syafi’i ini mengisyaratkan bahwa masalah nyanyian merupakan masalah baru. Sedangkan
kaum zindiq tampaknya sudah dikenal sebelum itu. Alasannya, Imam Syafi’i sering berbicara tentang mereka, di
antaranya beliau mengatakan: “Seandainya seseorang menjadi sufi pada pagi hari, maka siang sebelum zhuhur
ia menjadi orang yang dungu.” Dia (Imam Syafi’i) juga pernah berkata: “Tidaklah seseorang menekuni tasawuf
selama 40 hari, lalu akalnya (masih bisa) kembali normal selamanya.” (Lihat Talbis Iblis, hal 371). Sekian
nukilan kami dari Tasawuf Belitan Iblis.
Pembaca sekalian, dari keterangan di atas kita mengetahui bahwa Imam Syafi’i rahimahullah sendiri termasuk
ulama yang mengecam kaum sufi dan ajaran tasawufnya yang menyimpang. Agar tidak terlalu berpanjanglebar, maka baiklah untuk membuktikan penyimpangan mereka akan kita akan kutip kembali pendapat dan
keyakinan mereka beserta komentar atas kerancuan yang ada di dalamnya, Allahlah pemberi petunjuk dan
3/7
pertolongan kepada kita.
Pertama:
Orang tersebut -semoga Allah menunjukinya- berkata, “Kita berasal dari Allah. Menyembah hanya untuk Allah,
Hidup dan mati di dalam Allah. Karena kita bagian dari Allah.”
Tanggapan:
Yang menjadi masalah di sini adalah ucapannya “(kita) Hidup dan mati di dalam Allah. Karena kita bagian dari
Allah.” Apakah maksud dari ucapan ini? Apakah artinya manusia adalah bagian dari Allah sebagaimana makna
yang bisa secara langsung ditangkap dari ucapannya ataukah yang lainnya? Kalau yang dimaksud adalah yang
pertama, maka sangat jelas kebatilannya. Allah bukan hamba dan hamba bukan Allah. Allah berfirman (yang
artinya), “Dan tidaklah Aku ciptakan jin dan manusia melainkan untuk beribadah kepada-Ku.” (QS. Adz-Dzariyat:
56). Ayat ini menunjukkan bahwa manusia adalah ciptaan Allah, alias hamba dan bukan tuhan atau bagian dari
tuhan!
Kalau ada orang yang meyakini demikian -dirinya adalah Allah- maka dia telah kafir. Lantas kalau yang
dimaksud adalah makna yang lain, kita akan bertanya apa maknanya? Kalau pun maksud yang mereka
inginkan benar, maka kita katakan bahwa ucapan-ucapan semacam ini adalah ucapan yang tidak pada
tempatnya bahkan bid’ah! Adakah Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam mengajarkan demikian? Adakah para
sahabat, imam yang empat mengajarkan demikian? Bacalah kitab-kitab tafsir dan hadits… Wajarlah apabila
Imam Syafi’i rahimahullah mengatakan, “Seandainya seseorang menjadi sufi pada pagi hari, maka siang
sebelumz dhuhur ia menjadi orang yang dungu.” Cobalah kaum sufi itu berguru kepada Imam Syafi’i. Beliau
rahimahullah mengatakan, “Aku beriman kepada Allah serta apa yang datang dari Allah sebagaimana yang
diinginkan oleh Allah. Dan aku beriman kepada Rasulullah serta apa yang disampaikan oleh Rasulullah
sebagaimana yang diinginkan oleh Rasulullah.” (lihat Lum’at Al-I’tiqad). Apakah Allah atau Rasul-Nya
mengajarkan kepada kita bahwa kita adalah bagian dari-Nya? Kita hidup dan mati di dalam diri-Nya? Allah
Maha suci dari ucapan mereka.
Kedua:
Orang tersebut -semoga Allah menunjukinya- berkata, “Allah ada di mana-mana. Tapi bukan berarti ada di
mana-mana. Seluruh dunia ini terjadi [karena] Campur tangan Allah. Karena Allah tidak tidur. Di dalam diri kita
ada Tuhan, manusia sendiri yang membuat HIJAB ( batasan) kepada Allah.”
Tanggapan:
Aneh bin ajaib! Menurutnya Allah di mana-mana tapi tidak ada di mana-mana. Di dalam diri kita -katanya- ada
Tuhan… [?] Maha suci Allah… Ucapan semacam inilah yang membuat orang semakin bertambah dungu sebagaimana disinggung oleh Imam Syafi’i di atas-, adakah orang berakal yang mengucapkan perkataan
seperti ini, “Allah ada di mana-mana tapi tidak ada di mana-mana” Allahu akbar! Apakah ada anak kecil yang
mengatakan, “Saya laki-laki tapi bukan laki-laki” [?]
Padahal Allah ta’ala sendiri berfirman tentang diri-Nya (yang artinya), “Ar-Rahman menetap tinggi di atas Arsy.”
(QS. Thaha: 5). Bagaimanakah kita memahami ayat ini? Ibnu Katsir rahimahullah berkata, “Jalan yang selamat
dalam hal ini adalah jalan ulama salaf yaitu memberlakukannya sebagaimana adanya di dalam Al-Kitab dan AsSunnah tanpa membagaimanakan, tanpa menyelewengkan, tanpa menolak, dan tanpa menyerupakan.” (Tafsir
Al-Qur’an Al-‘Azhim, jilid 5 hal. 202). Apakah ayat ini menunjukkan bahwa Allah membutuhkan Arsy
sebagaimana sangkaan sebagian orang? Sama sekali tidak. Abu Ja’far Ath-Thahawi rahimahullah di dalam kitab
Aqidah Thahawiyahnya, yang menjadi rujukan ulama dari keempat madzhab mengatakan, “Dan Dia (Allah) tidak
membutuhkan Arsy dan apa pun yang berada di bawahnya, Allah meliputi segala sesuatu dan Dia berada di
atasnya…” (dinukil dari Syarah Ibnu Abil ‘Izz dengan tahqiq Al-Albani, hal. 280)
Dikisahkan bahwa Abu Hanifah rahimahullah pernah ditanya mengenai orang yang mengatakan, “Aku tidak
mengetahui apakah Rabbku di atas langit atau di bumi.” Maka beliau menjawab bahwa orang yang
4/7
mengucapkan itu telah kafir, sebab Allah telah berfirman (yang artinya), “Ar-Rahman menetap tinggi di atas
Arsy.” (QS. Thaha: 5). Sedangkan Arsy-Nya berada di atas tujuh lapis langit-Nya.” Kemudian ditanyakan lagi
kepadanya bagaimana kalau dia mengatakan, “Allah berada di atas Arsy, tapi aku tidak tahu apakah Arsy itu di
atas langit atau di bumi.” Maka Abu Hanifah berkata, “Dia juga kafir. Sebab dia telah mengingkari Allah berada di
atas langit. Barangsiapa yang mengingkari Allah berada di atas langit maka dia kafir.” (Syarh Ath-Thahawiyah ,
hal. 288). (Akan tetapi dalam prakteknya sekarang tentunya kita tidak begitu saja mengatakan kafir apabila
bertemu orang yang berkata seperti di atas, karena untuk mengafirkan masih ada syarat-syarat lain yang harus
dipenuhi -ed)
Ketiga:
Orang tersebut -semoga Allah menunjukinya- berkata, “Akan tetapi Dzat Tuhan dapat dijumpai dan menyatu
dalam diri manusia. Karena sebegitu dekatnya…”
Tanggapan:
Subhanallah, tidak henti-hentinya kaum sufi ini berdusta dan mempermainkan kata-kata semaunya. Apakah AlQur’an dan As-Sunnah menyatakan bahwa Dzat Tuhan dapat dijumpai dan menyatu dalam diri manusia, karena
sebegitu dekatnya? Sekali lagi inilah bukti bahwa orang-orang sufi telah meninggalkan ilmu dan terpedaya
dengan akal mereka yang rusak. Untuk menanggapi ucapan semacam ini cukuplah kami kutip fakta sejarah
yang dibawakan oleh penulis buku Tasawuf Belitan Iblis berikut ini:
“Jika kita meneliti gerakan sufisme sejak awal perkembangannya hingga kemunculan secara terang-terangan,
kita akan mengetahui bahwa seluruh tokoh pemikiran sufi pada abad ketiga dan keempat Hijriyah berasal dari
Parsi (kini namanya Iran, dulu pusat agama Majusi, kemusyrikan yang menyembah api, kemudian menjadi pusat
Agama Syi’ah), tidak ada yang berasal dari Arab.
Sesungguhnya tasawuf mencapai puncaknya, dari segi aqidah dan hukum, pada akhir abad ketiga Hijriyah, yaitu
tatakla Husain bin Manshur Al-Hallaj berani menyatakan keyakinannya di depan penguasa, yakni dia
menyatakan bahwa Allah menyatu dengan dirinya, sehingga para ulama yang semasa dengannya menyatakan
bahwa dia telah kafir dan harus dibunuh. Pada tahun 309H/ 922M ekskusi (hukuman bunuh) terhadap Husain
bin Manshur Al-Hallaj dilaksanakan. Meskipun demikian, sufisme tetap menyebar di negeri Parsi, bahkan
kemudian berkembang di Irak.” (Sekian nukilan kami)
Kalau mereka mengatakan bahwa Allah bisa menyatu dalam diri mereka, lantas buat apa mereka beribadah,
lantas untuk apa mereka menyembah, kalau semua orang mengaku dirinya adalah Allah maka siapakah yang
akan disembah? Maha suci Allah, ini adalah kedustaan yang sangat besar! Kemudian, kalau mereka
maksudkan dengan ucapan-ucapan itu makna yang lain, maka akan kita katakan bahwa ucapan ini adalah
bid’ah dan tidak dikenal oleh para ulama salaf. Kalau ucapan-ucapan semacam ini dibiarkan maka syariat Islam
akan berantakan. Ketika ada seorang lelaki yang berkata kepada orang tua mempelai perempuan, “Saya terima
nikahnya Fulanah binti Fulan.” Kemudian setelah itu dia akan berkata kepada si mertua “Saya terima nikahnya
tapi tidak menerima nikahnya.” Lah, bagaimana ini? Sejak kapan orang-orang itu menjadi kehilangan akalnya?
Rumah sakit jiwa lebih layak bagi orang-orang semacam itu daripada masjid.
Keempat:
Orang tersebut -semoga Allah menunjukinya- berkata, “Seluruh Imam Madzhab pada Akhirnya kembali kepada
Sufi. Kecuali Wahabi..”
Tanggapan:
Saudaraku, kalau memang ajaran sufi dengan berbagai macam aliran tarekatnya adalah benar dan para imam
madzhab mengikutinya apa alasan kami untuk tidak mengikuti kalian? Namun yang menjadi masalah adalah
ajaran-ajaran sufi telah jelas terbukti penyimpangannya. Imam Syafi’i, Imam Ahmad, Imam Abu Hanifah, dan
para ulama yang lain telah memaparkan kepada kita tentang kesesatan ajaran mereka. Al-Qur’an dan AsSunnah bagi orang sufi sekedar kata-kata yang bisa dipermainkan ke sana kemari. Allah ta’ala mengatakan
5/7
bahwa Allah itu esa (Qul Huwallahu Ahad ). Sementara orang-orang sufi mengatakan Allah menyatu dalam diri
hamba-hambaNya, padahal hamba Allah itu banyak. Allah mengatakan bahwa diri-Nya tinggi berada di atas
Arsy-Nya, sementara orang-orang sufi mengatakan Allah di mana-mana tapi juga tidak di mana-mana. Allahul
musta’an, kalau memang boleh mengatakan demikian maka kita juga akan mengatakan “Semua Imam
Madzhab pada akhirnya kembali kepada Wahabi. Kecuali sufi.” Allahu yahdik.
Saudaraku, kami tidak bermaksud untuk mencaci maki siapa pun, kami hanya ingin saudara kami kembali ke
jalan yang benar, itu saja. Syaikh Ihsan Ilahi Zahir –rahimahullah– dalam kitabnya: Tashawwuf Al-Mansya’
Walmashdar (Tasawuf, Asal Muasal dan Sumber-Sumbernya) [halaman 28] berkata: “Jika kita amati ajaranajaran tasawuf dari generasi pertama hingga akhir serta ungkapan-ungkapan yang bersumber dari mereka dan
yang terdapat dalam kitab-kitab tasawuf yang dulu hingga kini, maka akan kita dapatkan bahwa di sana terdapat
perbedaan yang sangat jauh antara tasawuf dengan ajaran-ajaran al-Quran dan as-Sunnah, begitu juga kita
tidak akan mendapatkan landasan dan dasarnya dalam sirah (sejarah) Rasulullah serta para sahabatnya yang
mulia yang merupakan makhluk-makhluk pilihan Allah. Bahkan sebaliknya kita dapatkan bahwa tasawuf
diadopsi dari ajaran kependetaan kristen, kerahiban Hindu, ritual Yahudi dan kezuhudan Buda” (sebagaimana
dikutip oleh Syaikh Dr. Shalih bin Fauzan hafizhahullah -salah seorang ulama besar Saudi Arabia- dalam
bukunya Hakikat Tasawuf [terjemah], hal. 20)
Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah rahimahullah mengatakan, “Orang yang meniti jalan kefakiran, tasawuf, zuhud dan
ibadah; apabila dia tidak berjalan dengan bekal ilmu yang sesuai dengan syariat maka akibat tanpa bimbingan
ilmu itulah yang membuatnya tersesat di jalan, dan dia akan lebih banyak merusak daripada memperbaiki.
Sedangkan orang yang meniti jalan fikih, ilmu, pengkajian dan kalam; apabila dia tidak mengikuti aturan syariat
dan tidak beramal dengan ilmunya, maka akibatnya akan menjerumuskan dia menjadi orang yang fajir (berdosa)
dan tersesat di jalan. Inilah prinsip yang wajib dipegang oleh setiap muslim. Adapun sikap fanatik untuk
membela suatu urusan apa saja tanpa landasan petunjuk dari Allah maka hal itu termasuk perbuatan kaum
jahiliyah.” (Majmu’ Fatawa, juz 2 hal. 444. Asy-Syamilah)
Sebelum menutup tulisan ini, perlu kiranya kita ingat bersama dampak yang timbul akibat merebaknya ajaran
sufi ini di masyarakat -khususnya di negeri kita ini- sebagaimana yang pernah kami saksikan sendiri bahkan
kami dahulu termasuk di antara mereka -dengan taufik dari Allahlah kami meninggalkannya dan menemukan
manhaj salaf yang mulia ini-, perhatikanlah dengan mata yang jernih dan pikiran yang tenang… bukankah
tersebarnya pemujaan kubur-kubur wali dan orang-orang salih -yang notabene adalah syirik dan bid’ah- di
negeri ini timbul karena dakwah dan ajaran sufi? Cermatilah wahai saudaraku yang cerdas… betapa ramainya
kubur para wali dikunjungi dan dijadikan tempat untuk mencari berkah, berdoa, beristighotsah dan bertawassul
dengan orang-orang yang sudah mati. Dimanakah gerangan itu terjadi?, apakah di pusat-pusat dakwah
salafiyah -yang hakiki- ataukah di pusat-pusat dakwah salafiyah yang sebenarnya lebih layak untuk disebut sufi?
Padahal, kita semua mestinya sudah mengerti bahwa dosa kesyirikan adalah dosa yang tidak diampuni. Allah
ta’ala berfirman (yang artinya), “Sesungguhnya Allah tidak mengampuni dosa syirik dan Dia akan mengampuni
dosa di bawah tingkatan syirik itu bagi orang yang dikehendaki-Nya.” (QS. An-Nisaa’: 48)
Sebagaimana pula kebid’ahan bukan semakin menambah pelakunya dekat dengan Allah, namun justru semakin
dekat dengan syaitan. Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda, “Barangsiapa yang mengerjakan suatu
amal yang tidak ada tuntunannya dari kami maka tertolak.” (HR. Bukhari dan Muslim, ini salah satu lafazh
Muslim). Simaklah keterangan Ibnu Hajar dan An-Nawawi berikut ini… semoga hati kita menjadi semakin
mantap mengikuti kebenaran…. Al-Hafizh Ibnu Hajar rahimahullah berkata, “Hadits ini tergolong pokok ajaran
Islam dan salah satu kaidahnya. Makna dari hadits ini adalah; barangsiapa yang mereka-reka sesuatu dalam
urusan agama yang tidak didukung dengan dalil di antara dalil-dalil agama yang ada maka hal itu tidak diakui.”
(Fath Al-Bari, 5/341, lihat juga keterangan serupa oleh An-Nawawi dalam Syarh Muslim, 6/295). An-Nawawi
rahimahullah berkata, “Di dalamnya terkandung bantahan bagi segala bentuk perkara yang baru (dalam
agama), sama saja apakah yang menciptakan itu adalah pelakunya atau ada orang lain yang lebih dulu
membuatnya.” (Syarh Muslim, 6/295). Itulah ucapan yang adil dan bijak dari dua orang ulama besar penganut
madzhab Syafi’i…
Sungguh bijak ucapan buya HAMKA rahimahullah yang mengatakan, “Daripada gambaran yang saya
kemukakan selayang pandang itu, dapatlah kita memahamkan bagaimana sangat perlunya pembersihan aqidah
6/7
dari syirik, bid’ah dan ajaran tasawuf yang salah, yang telah menimpa negeri kami sejak beberapa zaman, dan
perlunya kepada kemerdekaan pikiran dan memperbaharui paham tentang ajaran Islam sejati.” (Sejarah
Perkembangan Pemurnian Ajaran Islam di Indonesia, penerbit Tintamas Djakarta, hal. 6-7. Buku ini dapat
didownload di perpustakaanislam.com).
Semoga Allah berkenan memberikan taufik kepada saudara-saudara kami yang meninggalkan jalan yang lurus
agar mereka kembali menuju jalan yang lurus itu kembali. Alangkah senangnya hati kami jika saudara-saudara
kami mendapatkan hidayah, sebagaimana kami juga meminta kepada-Nya dengan nama-namaNya yang
terindah dan sifat-sifatNya yang maha tinggi untuk mewafatkan kita di atas jalan yang lurus itu dalam keadaan
Allah meridhai kita dan mengampuni segala dosa dan kesalahan kita. Sesungguhnya Allah Maha mendengar
lagi Maha mengabulkan doa.
Wa shallallahu ‘ala nabiyyina Muhammadin wa ‘ala alihi wa shahbihi wa sallam. Walhamdulillahi Rabbil ‘alamin.
***
Penulis: Abu Mushlih Ari Wahyudi
Artikel www.muslim.or.id
Dukung pendidikan Islam yang berdasarkan Al Qur'an dan As Sunnah sesuai dengan pemahaman salafus shalih
dengan mendukung pembangunan SDIT YaaBunayya Yogyakarta http://bit.ly/YaaBunayya
Berhutang Dalam Pandangan Islam , Apakah Iman
Mempengaruhi Agama Seseorang, Apakah Bermaksiat
Membatalkan Puasa, Pinjaman Uang Bank,bolehkah???,
Apakah Tobat Itu Harus Ada Penyaksian , Niat Mengqodo Shat
Dzuhur, Penyimpangan Pada Sistem Monarki , Toleransi
Rosulluah Terhadap Agama Lain Serta Dalil Nya, Apa Makna
Ulang Tahun Menurut Islam, Mengeluarkan Zakat Maal Hukum
Islam Yg Benar, Hukum Baca Alquran Tidak Seauai Tajwid ,
Keluar Keringat Hadas Kecil , Sponge Apakah Harus Junub , Cara
Mengqadha Shalat Terbaik, Manfaat Ikhlas Dalam Beribadah ,
Hukum Memotong Uang Downpoint Dalam Jual Beli Fikih Islam ,
Cara Mandi Biasa Yang Di Sunnahkan, Tidak Masuk Sorga Sebelum Beriman , Contoh Mading Yg Bertema Adab Kpd
Guru, Doa Menkodo Sholat Dhuhur Ashar
© 2015 Yayasan Pendidikan Islam Al Atsary, Yogyakarta
Kembali ke atas
7/7
Download