Studi Biologi Reproduksi Ikan Kerapu Sunu (Plectropomus

advertisement
Jurnal Mina Laut Indonesia
Vol. 01 No. 01
(73 – 83)
ISSN : 2303-3959
Studi Biologi Reproduksi Ikan Kerapu Sunu (Plectropomus areolatus) Pada Musim
Tangkap
Study on Biological Reproduction of Coral Grouper (Plectropomus areolatus) in Fishing Season
Ahmad Saiful Alamsyah*), La Sara**), dan Ahmad Mustafa***)
Program Studi Manajemen Sumber Daya Perairan FPIK Universitas Haluoleo
Kampus Bumi Tridharma Anduonohu Kendari 93232
e-mail : *[email protected],**[email protected],***[email protected]
Abstrak
Penelitian ini dilaksanakan pada bulan Januari-Februari 2012 di Perairan Karang Kapota Kabupaten Wakatobi.
Penelitian ini dilakukan untuk mengetahui beberapa aspek biologi reproduksi ikan P. areolatus yang meliputi
hubungan panjang berat, tingkat kematangan gonad (TKG), indeks kematangan gonad (IKG), fekunditas, dan
faktor kondisi. Jumlah sampel ikan P. areolatus yang diperoleh selama periode penelitian untuk pengukuran
panjang berat dan faktor kondisi sebanyak 115 ekor, 24 ekor ikan jantan dan 91 ekor ikan betina. Pengamatan
TKG sebanyak 32 ekor dan fekunditas 12 ekor. Hasil penelitian diperoleh panjang total ikan berkisar 29-46 cm.
41-46 cm untuk ikan jantan dan 29-40 cm untuk ikan betina. Tipe pertumbuhan ikan P. areolatus jantan maupun
betina bersifat allometrik negatif. Ikan jantan ditemukan memiliki TKG I sampai TKG IV dan ikan betina
memiliki TKG I sampai TKG V. Ikan jantan didominasi oleh TKG IV dan betina di dominasi oleh TKG III.
Fekunditas ikan dihitung pada ikan betina yang mencapai TKG III dan IV dengan kisaran 13.950-880.892 butir.
Nilai faktor kondisi ikan jantan dan betina berkisar 0,763-2,136 yang memiliki badan yang kurang pipih.
Kata Kunci : Biologi reproduksi, Plectropomus areolatus, musim penangkapan, Karang Kapota
Abstract
This research was conducted from January to February 2012 in Karang Kapota reef, Wakatobi Marine National
Park. This research was done to identify biological reproduction parameters of P. areolatus which consisted of
length-weight relationship, gonadal maturity stage, gonadal maturity index, fecundity, and conditional factor.
The number of samples of P. areolatus for length and weight analysis as well as conditional factor were 115
fishes (24 male fishes and 91 female fishes). Observation of gonadal maturity stage and fecundity was on 32
fishes and 12 fishes. Result showed that total length of the fishes ranged 29-46 cm which consisted of male fishes were 41-46 cm and female fishes were 29-40 cm. Growth type was negative allometric. Male fishes tended
to have maturity stage of gonad I to IV, while female fishes tended to have maturity stage of gonad I to V. Male
fishes were dominated by maturity stage of gonad IV, while female fishes were dominated by maturity stage of
gonad III. Fecundity of the fishes were measured to female fishes which reached maturity stage of gonad III and
IV in which it consisted of 13.950-880.892 granules. Value of conditional factors from male and female fishes
was 0.763-2.136. Those fishes had a slightly flat body.
Keywords: Biological reproduction, Plectropomus areolatus, fishing season, Karang Kapota
Pendahuluan
Sumber daya ikan merupakan sumber
daya yang dapat pulih (renewable resources)
dan berdasarkan habitatnya di laut secara garis
besar dibagi menjadi dua kelompok yaitu jenis
ikan pelagis dan ikan demersal. Newlan (2004)
menjelaskan bahwa ikan pelagis adalah
kelompok ikan yang berada pada lapisan
permukaan hingga kolom air dan mempunyai
ciri khas utama, yaitu dalam beraktivitas selalu
membentuk gerembolan (schooling) dan
melakukan migrasi untuk berbagai kebutuhan
hidupnya, sedangkan ikan demersal adalah ikanikan yang berada pada lapisan yang lebih dalam
hingga dasar perairan, dimana umumnya hidup
secara soliter dalam lingkungan spesiesnya.
Ikan demersal menurut pemanfaatannya
dibagi menjadi dua yaitu ikan karang untuk
konsumsi dan ikan hias. Salah satu jenis ikan
karang untuk konsumsi adalah ikan kerapu sunu.
Jenis ikan ini merupakan ikan demersal
ekonomis penting yang mempunyai peluang
cukup baik untuk dikembangkan, karena
didukung oleh potensi yang cukup besar.
Menurut Adrian (2010), secara nasional potensi
komoditas ikan kerapu sekitar 35.000 ton/tahun,
dengan potensi budidaya laut mencapai total
luas lahan sebesar 3.776.000 ha.
73
Jurnal Mina Laut Indonesia, Januari 2013 @FPIK UNHALU
Perairan Kepulauan Wakatobi memiliki
beberapa kawasan terumbu karang dengan
potensi sumber daya ikan karang yang sangat
beraneka ragam. Berdasarkan kajian ekologi
The Nature Conservation (TNC) dan WWF
Indonesia Marine Program (2003), perairan
Wakatobi ditemukan 590 jenis ikan termasuk
jenis ikan kerapu (Serranidae) didapatkan di
perairan karang penghalang (barrier reef) di
sebelah Barat Kepulauan Wakatobi. Beberapa
kawasan terumbu karang di perairan tersebut
adalah Karang Tomia, Karang Kaledupa dan
Karang Kapota.
Karang Kapota merupakan hamparan
terumbu karang yang sejak tahun 1992 sampai
sekarang terus dimanfaatkan oleh nelayan
sebagai salah satu daerah penangkapan ikan
karang.
Berdasarkan
hasil
observasi
pendahuluan, nelayan setempat menduga bahwa
di Karang Kapota terdapat beberapa titik daerah
pemijahan ikan P. areolatus saat musim
pemijahan.
Menurut nelayan setempat musim
penangkapan ikan kerapu di perairan Karang
Kapota berlangsung antara bulan September
sampai April pada beberapa titik penangkapan
yang bersifat permanen. Sepanjang periode
tersebut ikan kerapu sunu yang ditemukan
berada dalam keadaan matang gonad bahkan
seringkali teramati secara langsung adanya
tingkah laku pemijahan. Nelayan melakukan
kegiatan penangkapan ikan kerapu sunu di
Karang Kapota hampir setiap hari sepanjang
periode tersebut dengan alat tangkap pancing
ulur (hand line).
Apabila penangkapan dilakukan secara
terus menerus dalam periode pemijahan tanpa
pengaturan dan pengendalian yang baik
dikhawatirkan dapat menyebabkan tekanan
terhadap populasi ikan tersebut di Karang
Kapota. Oleh karena itu dibutuhkan informasi
biologis yang baik dalam periode dan dilokasi
penangkapan ikan P. areolatus melalui
penelitian tentang biologi reproduksinya.
Informasi tersebut dapat dimanfaatkan untuk
pengaturan penangkapan ikan P. areolatus di
perairan Karang Kapota.
Periode penangkapan ikan P. areolatus
di perairan Karang Kapota Kepulauan Wakatobi
berdasarkan pengalaman nelayan selama
bertahun-tahun adalah pada bulan September
sampai Februari. Sepanjang periode tersebut
ikan P. areolatus betina seringkali ditemukan
matang gonad. P. areolatus bersifat hermaprodit
protogini yaitu proses diferensiasi gonadnya
berjalan dari fase betina ke fase jantan
(Effendie, 2002). Ikan ini juga berada dalam
ukuran yang bervariasi di lokasi tersebut. Oleh
karena itu dipandang perlu melakukan penelitian
untuk memperoleh informasi ilmiah tentang
kondisi beberapa aspek biologi reproduksi ikan
P. areolatus pada periode penangkapannya di
perairan Karang Kapota Kepulauan Wakatobi.
Penelitian
ini
bertujuan
untuk
mengetahui beberapa aspek biologi reproduksi
ikan P. areolatus yang tertangkap di perairan
Karang Kapota Kepulauan Wakatobi yang
meliputi hubungan panjang berat, tingkat
kematangan gonad (TKG), indeks kematangan
gonad (IKG), fekunditas, dan faktor kondisi.
Metode Penelitian
Penelitian ini dilaksanakan pada bulan
Januari - Februari 2012 di Perairan Karang
Kapota Kecamatan Wangi-Wangi Selatan
Kabupaten Wakatobi.
Alat dan bahan yang digunakan dalam
penelitian ini adalah mistar, timbangan gantung,
timbangan analitik, pisau bedah, cawan petri,
pipet tetes, lup, alat tulis menulis dan kamera
sedangkan bahan yang digunakan adalah ikan
P. areolatus dan akuades.
Ikan P. areolatus yang dijadikan sampel
diperoleh dari hasil tangkapan 15 orang nelayan
di perairan Karang Kapota selama satu siklus
penangkapan yaitu antara 14-28 hari bulan.
Sampel untuk analisis hubungan panjang-berat
diambil dari seluruh hasil tangkapan setiap hari
(total 115 ekor), sedangkan sampel untuk
analisis gonad diambil secara acak sebanyak 32
ekor. Sampel tersebut diukur panjang totalnya
(cm) dengan mistar dan ditimbang berat totalnya
(kg) dengan timbangan gantung. Pengukuran
panjang berat tersebut dilakukan setiap hari di
lapangan selama penelitian.
Pengamatan gonad dilakukan melalui
pembedahan pada perut ikan. Gonad diambil
dan ditimbang dengan menggunakan timbangan
analitik ketelitian 0,01g, selanjutnya dilakukan
pengamatan tingkat kematangan gonad dan jenis
kelaminnya berdasarkan (warna dan berat
gonad). Analisis gonad tersebut dilakukan di
lapangan sebanyak 3 kali dalam selang waktu 1
minggu dengan jumlah sampel gonad yang
diamati sebanyak 32 ekor.
Penentuan fekunditas dilakukan dengan
mengambil ovari ikan betina yang matang gonad
pada TKG III dan IV. Fekunditas total dihitung
74
Jurnal Mina Laut Indonesia, Januari 2013 @FPIK UNHALU
dengan menggunakan metode sub contoh bobot
gonad atau disebut metode gravimetrik. Sub
contoh bobot gonad tersebut ditimbang beratnya
(g) kemudian dilakukan pengenceran dengan air
selanjutnya butiran telur dihitung dengan
bantuan lup.
Analisis Data
Hubungan panjang berat dihitung
menggunakan persamaan menurut (Ricker,
2001).
W = aLb
Persamaan
tersebut
dapat
ditransformasikan ke dalam bentuk logaritma
dan diperoleh persamaan linear sebagai berikut :
Log W = Log a + b Log L
dimana:
W
= Berat ikan contoh (g) ;
L
= Panjang ikan contoh (cm) ;
dan b = Konstanta dari persamaan tersebut
Kriteria data hasil analisis hubungan
panjang berat :
b = 3 : Pertumbuhan isometrik
b ≠ 3 : Pertumbuhan alometrik
Penentuan tingkat kematangan gonad
(TKG) ikan kerapu dilakukan menurut Tan dan
Tan (2002) yaitu terlebih dahulu menghitung
indeks gonadnya, kemudian dilanjutkan dengan
menentukan tingkat kematangan gonadnya
berdasarkan nilai indeks gonad tersebut sebagai
berikut:
GI = W/L3x 107
dimana:
GI = Indeks gonad
W = Berat gonad (g)
L3 = Panjang ikan (cm)
Menurut Tan dan Tan (1974) klasifikasi
TKG berdasarkan indeks gonadnya tertera pada
Tabel 1.
Tabel 1. Hubungan antara Indeks Gonad dengan Tingkat Kematangan Gonad
Indeks Gonad
Lebih kecil dari 1
1,0-5,0
5,0-10,0
10,0-20,0
Lebih besar dari 20
gonad belum matang
gonad mematang
gonad mematang
gonad matang
gonad lanjut matang
Indeks kematangan gonad ditentukan
dengan membandingkan bobot gonad dengan
bobot tubuh (Effendie, 2002) yaitu :
IKG = Bg/Bt x 100%
dimana:
IKG = Indeks Kematangan Gonad ;
Bg = Bobot gonad (g) ;
Bt = Berat tubuh termasuk gonad (g) .
Pengukuran
jumlah
butir
telur
(fekunditas
total)
dilakukan
dengan
menggunakan “ raising factor “ dengan rumus
sebagai berikut (La Sara, 2001)
š‘Š
F = nšœ›
dimana:
F = Fekunditas ;
n = Rata-rata jumlah telur dari 3 sub sampel;
W = Berat total telur ;
š›” = Berat rata-rata dari 3 sub sampel telur.
Faktor kondisi ditentukan dengan
persamaan Effendie (2002) adalah sebagai
berikut :
K
=
š‘Š š‘„ 10 2
šæ3
Kelas (TKG)
I
II
III
IV
V
dimana :
K = Faktor kondisi ;
L = Panjang total ikan (cm);
W = Berat ikan (g).
Hasil
Kabupaten
Wakatobi
merupakan
wilayah kepulauan yang terletak antara
123o15’00”-124o45’00” Bujur Timur dan
05o15’00”-06o10’00” Lintang Selatan. Secara
keseluruhan kepulauan ini terdiri atas 39 pulau,
3 karang gosong (patch reef) dan 5 karang atol
(TNC, 2003). Karang Kapota merupakan bagian
dari karang penghalang yang ada di Kepulauan
Wakatobi. Karang Kapota berada di sebelah
barat daya Pulau Kapota yang memanjang dari
arah Barat Laut ke arah Tenggara. Beberapa
kawasan di perairan Karang Kapota termasuk
dalam Zona Pariwisata Bahari. Selain itu
terdapat Zona Pemanfaatan Lokal sehingga
nelayan masih dapat melakukan aktivitas
penangkapan di luar Zona Pariwisata tersebut.
Sejak tahun 1996, Kepulauan Wakatobi
telah ditetapkan sebagai Taman Nasional
Kepulauan Wakatobi (TNKW), berdasarkan
Surat Keputusan Menteri Kehutanan No.
75
Jurnal Mina Laut Indonesia, Januari 2013 @FPIK UNHALU
393/Kpts-VI/1996.
Kawasan
tersebut
mempunyai luas 1.390 juta ha, yang terbagi
dalam beberapa zona pengelolaan. Beberapa
kawasan di perairan Karang Kapota termasuk
dalam Zona Pariwisata Bahari. Selain itu
terdapat Zona Pemanfaatan Lokal sehingga
nelayan masih dapat melakukan aktivitas
penangkapan di luar Zona Pariwisata tersebut.
Gambar 1. Lokasi penelitian
Di perairan Karang Kapota terdapat
rataan terumbu karang yang sangat luas di
bawah tubir yang landai pada kedalaman
10-40 m terdapat hamparan karang yang
didominasi oleh bentuk pertumbuhan (life form)
karang pipih (coral foliose). Di areal karang
tersebut
nelayan
melakukan
aktivitas
penangkapan ikan kerapu.
Berdasarkan informasi nelayan Desa
Mola Selatan diketahui bahwa daerah
penangkapan ikan kerapu (Serranidae) di
Kepulauan Wakatobi sebanyak 36 titik daerah
penangkapan. Daerah penangkapan tersebut
terdapat di Karang Kamponaone, Karang
Kaledupa, Karang Tomia, Karang Runduma,
Karang Koko, Karang Koromaho dan Karang
Kapota. Di Karang Kapota terdapat 5 titik
daerah penangkapan dimana 3 titik masih
dimanfaatkan dan 2 titik lainnya sudah tidak
dimanfaatkan lagi karena telah mengalami
kerusakan akibat penggunaan bahan peledak.
Aktivitas penangkapan ikan kerapu
dengan menggunakan alat tangkap pancing ulur
(hand line) di perairan Karang Kapota hanya
dilakukan oleh nelayan Suku Bajo yang berasal
dari pulau Wangi-Wangi. Nelayan tersebut
melakukan penangkapan pada 14 hari bulan
sampai 28 hari bulan yang berlangsung pada
bulan September sampai Maret. Penangkapan
ikan kerapu dilakukan pada jam 06.00 sampai
16.00 Wita.
Cara penangkapan ikan kerapu sunu
yaitu nelayan melemparkan mata pancing ke
arah depan sampan, kemudian mengamati
keberadaan ikan dari atas perahu dengan
mencelupkan wajah ke permukaan air
menggunakan masker sambil mendayung
menggunakan kaki. Apabila ikan target sudah
terlihat maka mata pancing yang telah dipasang
umpan hidup diarahkan menuju ikan kerapu
dengan jarak ± 30 cm dari mulut ikan sambil
mata pancing yang berisi umpan hidup tersebut
digerakkan agar ikan tertarik dan langsung
menyergap umpan.
Hasil penangkapan ikan kerapu di
Karang Kapota selama musim penangkapan
(September 2011 sampai Maret 2012) dapat
dilihat pada Tabel 2.
76
Jurnal Mina Laut Indonesia, Januari 2013 @FPIK UNHALU
Tabel 2. Jumlah produksi penangkapan ikan kerapu sunu dan kerapu jenis lainnya pada musim
penangkapan bulan September 2011 sampai Maret 2012 di Karang Kapota
Kerapu Sunu
Kerapu lainnya
N
N
Berat
Berat (kg)
(ekor)
(ekor)
(kg)
1.
Sept-Okt
I
825
610
100
92
2.
Okt-Nov
II
900
685
160
145
3
Nov-Des
III
992
702
304
280
4
Des-Jan
IV
880
631
350
365
5
Jan-Feb
V
760
540
403
430
6
Feb-Mar
VI
612
445
265
298
∑
Total
6
4.969
3.613
1.582
1.610
Sumber : Data hasil tangkapan nelayan Mola Kepulauan Wakatobi
Catatan : Kerapu sunu adalah : P. areolatus, P. oligacantus, dan P. leopardus
Kerapu lainnya adalah : E. fuscoguttatus, dan E. coioides
No
Bulan
Periode
Tinggi rendahnya hasil tangkapan ikan
kerapu di Karang Kapota dalam setiap periode
penangkapannya dipengaruhi oleh adanya upaya
penangkapan yang fluktuasi disebabkan oleh
faktor lingkungan yang kurang mendukung
seperti angin, arus, dan gelombang. Ukuran
P. areolatus yang tertangkap selama satu
periode penangkapan berkisar 29-46 cm.
Total
N
Berat
(ekor)
(kg)
925
702
1060
830
1296
982
1230
996
1163
970
877
743
6.551
5.223
Ukuran tersebut merupakan ukuran ikan
P. areolatus yang umum tertangkap saat ini.
Panjang ikan betina berkisar antara 29-40 cm
sedangkan ikan jantan 40-46 cm. Hubungan
panjang dan berat ikan P. areolatus di Karang
Kapota digambarkan dalam bentuk grafik
persamaan regresi linear seperti pada Gambar 3.
Jantan
3.5000
3.0000
Log W
2.5000
2.0000
Log W = -0,342 + 2.097 Log L
R² = 0,303
r = 0,550
n = 24
1.5000
1.0000
0.5000
0.0000
1.6100 1.6200 1.6300 1.6400 1.6500 1.6600 1.6700
Log L
Betina
3.5000
3.0000
Log W
2.5000
2.0000
Log W = - 1,279 + 2,639 Log L
R² = 0,440
r = 0,663
n = 91
1.5000
1.0000
0.5000
0.0000
1.4500
1.5000
1.5500
1.6000
1.6500
Log L
Gambar 2. Hubungan logaritma panjang dan logaritma berat ikan P. areolatus
jantan dan betina
77
Jurnal Mina Laut Indonesia, Januari 2013 @FPIK UNHALU
Berdasarkan
persamaan
regresi
hubungan panjang berat pada Gambar 2 dapat
dilihat bahwa pola pertumbuhan ikan
P. areolatus adalah pertumbuhan allomterik
negatif dengan nilai b = 2,097 untuk ikan
jantan dan b = 2,639 untuk ikan betina. Hal ini
menunjukkan bahwa pertumbuhan berat ikan
P. areolatus tidak secepat pertumbuhan
panjangnya.
Adanya
perbedaan
pola
pertumbuhan antara ikan P. areolatus jantan
dan betina disebabkan oleh perbedaan TKG,
dan ketersedian makanan, karena pada saat
pengambilan sampel ukuran setiap individu
ikan berbeda-beda dan telah matang gonad.
Dari hasil regresi terhadap hubungan
berat tubuh dan panjang ikan P. areolatus
jantan dan betina masing masing diperoleh nilai
koefisien korelasi yang cukup kuat dan bersifat
positif antara pertambahan panjang dan
pertambahan beratnya, sebagaimana yang
ditunjukkan oleh nilai r = 0,550 untuk ikan
jantan dan r = 0,663 untuk ikan betina (Gambar
2). Nilai koefesien korelasi r yang mendekati
+1 hal ini berarti bahwa pertumbuhan ikan
cenderung bertambah apabila panjang ikan juga
bertambah, sedangkan apabila nilai r mendekati
-1 menunjukkan berat ikan cenderung menurun
apabila panjang ikan bertambah.
Diantara sampel ikan yang diukur (115
ekor) diambil secara acak sebanyak 32 ekor
untuk diamati gonadnya ditemukan 9 ekor
berkelamin jantan dan 23 ekor berkelamin
betina. Tingkat kematangan gonad ikan
P. areolatus selama penelitian dapat dilihat
pada Gambar 3.
Persentase (%)
Jantan
50
45
40
35
30
25
20
15
10
5
0
I
II
III
IV
TKG
45
40
Persentase (%)
35
Betina
30
25
20
15
10
5
0
I
II
III
IV
V
TKG
Gambar 3. Sebaran nilai TKG ikan P. areolatus jantan dan betina
Gambar 3 menunjukkan bahwa selama
penelitian ikan P. areolatus jantan ditemukan
memiliki TKG I sampai TKG IV dan ikan
betina ditemukan memiliki TKG I sampai TKG
V. Persentase tertinggi dari TKG ikan
P. areolatus jantan berada pada TKG IV,
terendah TKG I dan II sedangkan persentase
TKG tertinggi untuk ikan betina berada pada
TKG III dan terendah berada pada TKG I dan
V. Komposisi TKG tersebut menggambarkan
78
Jurnal Mina Laut Indonesia, Januari 2013 @FPIK UNHALU
bahwa semua sampel telah matang gonad.
Dengan demikian lokasi pengambilan sampel
atau daerah penangkapan P. areolatus ini ada
indikasi daerah pemijahan atau dekat dengan
daerah pemijahan. Ikan jantan maupun betina
ditemukan adanya TKG I hal ini menunjukkan
bahwa ikan ini telah berada di area ini sejak
TKG I.
Perubahan yang terjadi didalam gonad
secara kuantitatif dapat dinyatakan dengan
indeks kematangan gonad (IKG). Hasil analisis
IKG ikan P. areolatus jantan dan betina dapat
dilihat pada Tabel 3.
Tabel 3. Hasil analisis IKG ikan P. areolatus jantan dan betina
Kelamin
Jantan
Betina
TKG
Jumlah
I
II
III
IV
I
II
III
IV
V
1
1
3
4
1
7
9
3
1
IKG (%)
Kisaran
0,63
1,83
3,19-6,26
7,21-11,30
0,59
1,13-3,61
2,79-6,30
7,90-10,95
12,68
Pada Tabel 3 terlihat bahwa kisaran
indeks kematangan gonad ikan P. areolatus
selama penelitian berkisar 0,63 % sampai
12,68 %. Tabel 4 juga menunjukkan bahwa ada
perbedaan dari IKG jantan dan betina, dimana
IKG betina lebih besar dari IKG ikan jantan
pada TKG yang sama.
Fekunditas adalah jumlah telur yang
akan dikeluarkan pada saat melakukan
pemijahan. Fekunditas yang diperoleh dapat
Rata-rata
0,63
1,83
5,5497
9,0650
0,59
2,05
4,94
9,41
12,68
dibandingkan dengan ukuran dari setiap individu
ikan sehingga akan didapatkan informasi tentang
jumlah anak yang dihasilkan pada ukuran yang
berbeda-beda. Fekunditas ikan ditentukan
berdasarkan pengamatan jumlah telur dalam
gonad ikan P. areolatus betina. Dari 23 ekor
ikan betina, terdapat 12 ekor yang telah
mencapai TKG III dan IV. Hasil perhitungan
fekunditas ikan, dapat dilihat pada Gambar 4.
900000
800000
Fekunditas (Butir)
700000
600000
500000
400000
300000
200000
100000
0
29
30
32
37
38
39
40
Panjang (cm)
Gambar 4. Nilai rata-rata fekunditas ikan P. areolatus berdasarkan panjang tubuh
Berdasarkan Gambar 4 diperoleh nilai
fekunditas tertinggi 807.749 butir dan nilai
fekunditas terendah 13.959 butir. Tinggi
rendahnya fekunditas tersebut disebabkan oleh
perbedaan berat gonad dan besar kecilnya telur.
Salah satu derivat penting dari
pertumbuhan ialah faktor kondisi atau indeks
ponderal dan sering disebut pula sebagai faktor
K. Faktor kondisi ini menunjukkan keadaan ikan
dilihat dari segi kapasitas fisik untuk survival
dan produksi (Effendie, 2002).
Nilai rata-rata faktor kondisi selama
penelitian dihitung sesuai jenis kelamin dan
ukuran ikan dapat dilihat pada Gambar 5.
79
Jurnal Mina Laut Indonesia, Januari 2013 @FPIK UNHALU
Faktor Kondisi
Jantan
1.80
1.60
1.40
1.20
1.00
0.80
0.60
0.40
0.20
0.00
41-42
43-44
Faktor Kondisi
Panjang (cm)
2.00
1.80
1.60
1.40
1.20
1.00
0.80
0.60
0.40
0.20
0.00
29-31
32-35
45-46
Betina
Betina
36-40
Panjang (cm)
Gambar 5. Nilai faktor kondisi rata-rata ikan P. areolatus jantan dan betina
berdasarkan kelas panjang tubuh
Berdasarkan hasil penelitian nilai faktor
kondisi rata-rata pada ikan jantan dan betina
ditemukan berbeda-beda untuk setiap ukuran
tubuh ikan. Dari setiap ukuran tubuh ikan
tersebut diperoleh faktor kondisi ikan
P. areolatus menyebar pada kisaran 1,173-2,024
untuk ikan jantan dan 0,592-2,136 untuk ikan
betina. Dari hal tersebut dapat dikatakan bahwa
ikan P. areolatus betina agak gemuk daripada
ikan P. areolatus jantan.
Pembahasan
Berdasarkan data hasil tangkapan
(Tabel 2) dapat diduga bahwa potensi ikan
kerapu sunu di Karang Kapota lebih dominan
dibandingkan dengan ikan kerapu jenis lainnya.
Jenis kerapu yang termasuk kerapu sunu adalah
P. areolatus, P. oligacantus dan, P. leopardus
dan kerapu lainnya adalah E. fuscoguttatus dan
E. coiodes. Spesies yang banyak tertangkap oleh
nelayan adalah ikan kerapu spesies P. areolatus
dan E. fuscoguttatus.
Ikan ini tergolong spesies berukuran kecil
diantara ikan sunu lainnya seperti P. leopardus
yang memiliki panjang total 70 cm
(Sitepu, 2007). P. maculatus 1200 cm dan P.
leavis 100 cm (Smith,1996). Ukuran berbeda
ditemukan Damayanti (2005) pada P. areolatus
di Kabupaten Lombok Timur bahwa ukuran
yang tertangkap memiliki panjang 53,9 cm
sedangkan Sitepu (2007) pada perairan
Spermonde menemukan ikan P. leopardus
berukuran panjang berkisar 32-55,3 cm.
Perbedaan ukuran tersebut diduga disebabkan
oleh perbedaan lingkungan perairan misalnya
habitat dan makanan (Sudirman dan Karim,
2008).
Berdasarkan hasil pengamatan gonad
didapatkan bahwa ikan P. areolatus betina
memiliki kisaran panjang 29-40 cm dengan
bobot tubuh 300-1200 g sedangkan ikan jantan
memiliki kisaran ukuran panjang 41-46 cm
dengan bobot tubuh 1000-1500 g. Beberapa
hasil penelitian menyebutkan bahwa ikan kerapu
bersifat
hermaprodit
protogini,
yaitu
80
Jurnal Mina Laut Indonesia, Januari 2013 @FPIK UNHALU
deferensiasi gonadnya berjalan dari fase betina
ke fase jantan, misalnya pada ikan P. leopardus
menunjukkan perubahan jenis kelamin dari
betina ke jantan pada ukuran panjang 45 cm
(Trisakti, 2003). kerapu bebek (C. altivelis)
mulai matang gonad pada ukuran panjang 36 cm
atau bobot 1000 g, sedangkan jantan mulai
matang gonad pada ukuran panjang 48 cm atau
bobot 2500 g dan ikan E. coiodes mulai matang
gonad pada ukuran panjang 55cm (Widodo,
2006). Menurut Mujimin (2008), bahwa
hermaprodit yang terjadi pada ikan kerapu sunu
yaitu pada waktu ikan kerapu sunu masih kecil
akan terlihat betina setelah besar akan menjadi
jantan dan tidak akan kembali lagi ke betina.
Perubahan tersebut tergantung pada ukuran,
umur dan jenisnya (Tridjoko, 2010).
Dari 32 sampel ikan yang diamati
gonadnya, diketahui bahwa ikan yang memiliki
gonad betina berada pada kisaran ukuran
panjang 29-40 cm, sedangkan jantan pada
kisaran panjang tubuh 41-46 cm. Bila mengacu
pada perbedaan tersebut maka dari 115 ekor
sampel ikan yang diukur panjangnya
diperkirakan terdiri dari 24 ekor jantan dan 91
ekor ikan betina.
Berdasarkan jumlah hasil tangkapan dan
ukuran ikan yang tertangkap tersebut dapat
diduga bahwa ikan P. areolatus yang tertangkap
di perairan Karang Kapota lebih banyak ikan
betina dibandingkan ikan jantan. Hal ini sejalan
dengan Sadovy (1996) bahwa dalam melakukan
pemijahan ikan kerapu sifatnya berkelompok
dimana betina lebih banyak dari jantan.
Adanya perbedaan pola pertumbuhan
antara ikan P. areolatus disebabkan oleh
perbedaan, TKG, dan ketersedian makanan,
karena pada saat pengambilan sampel ukuran
setiap individu ikan berbeda-beda dan telah
matang gonad. Berdasarkan persamaan regresi
hubungan panjang berat pada Gambar 2 dapat
dilihat bahwa pola pertumbuhan ikan
P. areolatus adalah pertumbuhan allomterik
negatif dengan nila b = 2,097 untuk ikan jantan
dan b = 2,639 untuk ikan betina. Hal ini
menunjukkan bahwa pertumbuhan berat ikan
P. areolatus tidak secepat pertumbuhan
panjangnya. Secara umum, nilai b tergantung
pada kondisi fisiologis dan lingkungan seperti
suhu, pH, salinitas, letak geografis dan teknik
sampling (Jenning et al., 2001) dan juga kondisi
biologis seperti perkembangan gonad dan
ketersediaan makanan (Froese, 2006). Fafioye
dan Oluajon (2005) menyatakan bahwa
pertumbuhan ikan umumnya bersifat relatif
artinya dapat berubah menurut waktu. Apabila
terjadi perubahan terhadap lingkungan dan
ketersediaan makanan diperkirakan nilai
panjang dan berat juga akan berubah (Arteaga,
et al,1997). Hal ini disebabkan oleh beberapa
faktor
yang
mempengaruhinya,
seperti
keturunan, seks, umur, suhu, dan ketersediaan
makanan untuk menunjang kehidupannya
(Effendie, 2002).
Menurut Mariskha dan Abdulgani
(2012) bahwa musim pemijahan ikan
E. sexfasciatus di Perairan Glondonggede Tuban
berlangsung bulan Oktober-November hal ini
diindikasikan dengan ditemukannya TKG I-V
pada ikan tersebut. Oleh karena itu, berdasarkan
sebaran nilai TKG yang diperoleh pada ikan
P. areolatus (Gambar 3) dapat dikatakan bahwa
periode penelitian adalah musim pemijahan ikan
kerapu sunu. Adanya perbedaan TKG dan
ukuran pertama kali matang gonad pada setiap
individu
dalam
lingkungan
pemijahan
dipengaruhi oleh faktor luar seperti kondisi
lingkungan, ketersediaan makanan, suhu,
salinitas, dan kecepatan pertumbuhan ikan,
adanya individu yang berjenis kelamin yang
berbeda dan faktor dalam seperti umur, ukuran,
dan perbedaan spesies (Umar dan Lismining,
2006).
TKG yang dimiliki oleh setiap individu
tidak selamanya berbanding lurus dengan
ukuran tubuh, misalnya pada ikan P. areolatus
yang memiliki panjang 40 cm tingkat
kematangan gonadnya atau berat gonadnya lebih
kecil (TKG III) dibandingkan dengan ikan
berukuran panjang 38 cm namun sudah
mencapai tingkat kematangan gonad yang besar
(TKG IV). Hal ini dapat dikatakan setelah
berada pada ukuran pertama kali matang gonad
pematangan gonad tidak serempak atau
berbanding lurus dengan panjang tubuh. Hal
yang sama ditemukan Slamet, et al., (2010) pada
ikan P. leavis, bahwa tidak selamanya ikan yang
berukuran besar memiliki bobot gonad yang
tinggi. Pada pengamatan tersebut ikan P. leavis
memiliki kematangan gonad yang bervariasi.
Kisaran indeks kematangan gonad ikan
P. areolatus selama penelitian berkisar 0,63 %
sampai 12,68 %. Selama penelitian nilai IKG
ikan P. areolatus baik ikan jantan maupun
betina mengalami peningkatan mengikuti
perkembangan tingkat kematangan gonad. Hal
ini sesuai dengan Effendie (2002), yang
menyatakan
bahwa
sejalan
dengan
perkembangan gonad, indeks kematangan gonad
akan semakin bertambah besar dan nilai indeks
kematangan gonad akan mencapai batas kisaran
maksimum pada saat akan terjadi pemijahan.
Tabel 3 menunjukkan bahwa ada
perbedaan dari IKG jantan dan betina, dimana
81
Jurnal Mina Laut Indonesia, Januari 2013 @FPIK UNHALU
IKG betina lebih besar dari IKG ikan jantan
pada TKG yang sama. Hal ini sesuai dengan
Slamet et al., (2010) yang menyatakan bahwa
ikan jantan umumnya mempunyai nilai indeks
kematangan gonad (IKG) yang lebih rendah
dibandingkan dengan ikan betina.
Nilai fekunditas ikan P. areolatus
tertinggi 807.749 butir dan nilai fekunditas
terendah 13.959 butir. Riyanto (2005),
menemukan bahwa fekunditas pada ikan
P. leoapardus adalah 45.768-492.243 butir.
Tinggi
rendahnya
fekunditas
tersebut
disebabkan oleh perbedaan berat gonad dan
besar kecilnya telur. Fekunditas pada setiap
ukuran panjang dan berat ikan tidak selamanya
berbanding lurus dengan ukuran tubuh, dimana
ikan yang ukuran tubuhnya kecil memiliki
fekunditas yang kecil, sebaliknya ikan yang
berukuran besar memiliki nilai fekunditas yang
besar, akan tetapi ada juga ikan yang ukuran
tubuhnya besar namun memiliki fekunditas yang
kecil misalnya pada ikan P. areolatus yang
memilki ukuran tubuh 39 cm memiliki
fekunditas
807.749
butir
lebih
besar
dibandingkan dengan ikan P. areolatus yang
memiliki ukuran tubuh 40 cm namun memilki
fekunditas 600.624 butir yang lebih kecil.
Menurut Effendie (2002), jika harga K
berkisar antara 1-3 maka ikan tersebut memiliki
badan yang kurang pipih. Jadi dapat dikatakan
bahwa ikan P. areolatus jantan dan betina
memiliki badan yang kurang pipih.
Faktor kondisi dipengaruhi oleh jenis
kelamin dimana faktor kondisi P. areolatus
jantan lebih kecil daripada ikan P. areolatus
betina. Hal ini sesuai dengan pernyataan
Effendie (2002) yang menyatakan bahwa berat
gonad ikan betina lebih besar daripada ikan
jantan. Dari hal tersebut dapat dikatakan bahwa
ikan P. areolatus betina agak gemuk daripada
ikan P. areolatus jantan. Nilai faktor kondisi
sangat dipengaruhi oleh kematangan gonad dan
makanannya (Effendie, 2002).
Peningkatan dan penurunan nilai faktor
kondisi rata-rata baik ikan jantan maupun ikan
betina disebabkan oleh berat indivdu yang tidak
seragam dalam kelas panjang yang sama. Hal
tersebut menunjukkan bahwa tidak selamanya
ikan yang panjang tubuhnya sama memiliki
faktor kondisi yang sama. Hal tersebut
disebabkan oleh beberapa faktor diantaranya
makanan dan tingkat kematangan gonad karena
ikan yang sedang matang gonad berat tubuhnya
semakin bertambah sampai ikan itu melakukan
pemijahan dibanding ikan yang belum matang
gonad.
Simpulan
Karakteristik beberapa aspek biologi
reproduksi ikan P. areolatus pada periode
matang gonad pada lokasi penangkapan di
Karang Kapota adalah panjang total ikan yang
memijah untuk ikan betina berkisar antara 29-40
cm sedangkan ikan jantan 40-46 cm, tipe
pertumbuhan ikan P. areolatus jantan maupun
betina bersifat allometrik negatif, ikan jantan
ditemukan memilki TKG I sampai TKG IV dan
Ikan betina memiliki TKG I sampai TKG V,
fekunditas berkisar 13.950-880.892 butir, nilai
faktor kondisi ikan tersebut berkisar 0,7632,136, sehingga dikatakan bahwa ikan
P. areolatus memiliki badan yang kurang pipih.
Persantunan
Penulis
mengucapkan
terimakasih
kepada bapak Jono dan Mimi, nelayan Mola
Kabupaten Wakatobi atas bantuannya selama di
lokasi penelitian.
Daftar Pustaka
Adrian.
2010. Tujuh Alasan Melakukan
Budidaya Kerapu. Buletin Teknologi
Perikanan dan Kelautan.
Arteaga, J.,P Garcia.,R.Carlo., S and Valle.
1997. Lengh-weight Relationships of
Cuban Marine Fishes. Journal
Ichthyology, 2 (1) : 38-43.
Damayanti, A, A. 2005. Keramahan Lingkungan
Unit Penangkapan Ikan Karang
Menggunakan Rawai Dasar di
Kabupaten Lombok Timur, Nusa
Tenggara Barat. Skripsi Sarjana,
Fakultas Perikanan dan Ilmu Kelautan,
Institut Pertanian Bogor. Bogor. 6977hal
Effendie, M,I. 2002. Biologi Perikanan.
Yayasan
Pustaka
Nusantara.
Yogyakarta. 163 hal.
Fafioye, O. and O.A. Oluajon. 2005. LengthWeight Relationships of Five Fish
Species In Efe Lagoon. Nigeria,
African. Journal of Biotechnologi. 4
(7) : 749-751.
Froese, R. 2006. Cube Law, Condition Factor
and Weight Length Relationship:
History,
Meta-Analysis
and
Recommendations. Journal of Applied
Ichthyology, 22: 241-253.
Jenning, S., M.J.Kaiser, J.D.Reynolds.2001.
Marine Fishery Ecology. Blackwell
Publishing
Company
Sciences,
Oxford. 417p.
82
Jurnal Mina Laut Indonesia, Januari 2013 @FPIK UNHALU
La Sara. 2001. Ecology and Fisheries of Mud
Crab (Scylla serrata) in Lawele Bay,
Southheast Sulawesi, Indonesia. Ph.D.
Dissertation College of Fisheries and
Ocean Science, University of the
Philippines, Miagao,Iloilo. Philippines.
Mariskha, P.,R dan Abdulgani, N. 2012. Aspek
Reproduksi Ikan Kerapu Macan
(Epinephelus sexfasciatus) di Perairan
Glondonggede Tuban. Jurnal Sains
dan Seni Institut Teknologi Sepuluh
Nopember. 1(1) : 27-31.
Mujimin.
2008.
Histologi
Berbagai
Jenis/Tingkatan Ikan Kerapu Sunu
(Plectropomus leopardus). Teknisi
Litkaya Pada Balai Besar Riset
Perikanan Budidaya Laut. Gondol.
101-103hal.
Newlan, A. 2004. Pengembangan Kawasan
Perairan menjadi Daerah Penangkapan
Ikan. Makalah Pribadi Falsafah Sains
(PPS 702) Sekolah Pasca Sarjana/S3
Institut pertanian Bogor. Bogor. 34hal
Ricker, W,E. 2001. Computation and
Interpretation of Biological Statistic of
Fish Population. Bulletin Fisheries
Resources Board. Canada.
Riyanto, S. 2005. Aspek Reproduksi Ikan
Kerapu
Sunu
(Plectropomus
leopardus) di Perairan Sulawesi dan
Maluku. Jurnal Penelitian Perikanan
Indonesia, Badan Riset Kelautan dan
Perikanan. 11(7) : 69-74 hal.
Sadovy, J. 1996. Sexual development and
Sexuality In the Nassau Grouper.
Journal Fish Biology. 2(1) 961-976.
Sitepu, F,G. 2007. The Fecundity, Gonad, and
Sex Reversal of Coral Trout,
Plectropomus leopardus From the
Water of Spermonde Archipelago,
South Sulawesi. Fakulty of Marine
Science and Fisheries, Universitas
Makassar. Journal of Biological
Science, 17 (2) :100-107.
Slamet, B.,Suwirya, K.,Apri, I., Supii.,Setyadi,
I. 2010. Beberapa Aspek Biologi
Reproduksi Ikan Kerapu Raja Sunu
(Plectropomus leavis). Balai Besar
Riset Perikanan Budidaya Laut. Bali.
375hal.
Smith.
K.M.M.
1996.
Length-Weight
Relationship of Fishes in a Diverse
Tropical Fresh Water Community,
Sabah. Malaysia. Journal of Fish
Biology (49) : 731 -734.
Sudirman dan Karim, M.Y. 2008. Ikan Kerapu
(Biologi, Eksploitasi, Manajemen dan
Budidayanya. Yasrif
Watampone.
Sulawesi Selatan. 98hal.
Tan, S.M. and K.S. Tan. 2002. Biology of
Tropical
Grouper
(Epinephelus
tauvina) Forskal. Preliminary Studi on
Hermaproditism in E. tauvina.
Singapore.J. Pri.ind.,2(2), 133p.
TNC dan WWF. 2003. Informasi Taman
Nasional Laut Wakatobi. Balai Kantor
Taman Nasional Wakatobi. Kabupaten
Wakatobi.
Tridjoko. 2010. Keragaan Reproduksi Ikan
Kerapu Bebek (Cromileptes altivelis)
dari Alam (F-0), Induk Generasi
Pertama (F-1) dan Induk Generasi ke
dua (F-2). Jurnal Ilmu dan Teknologi
Kelautan Tropis. 2(2), 25hal.
Trisakti, B. 2003. Aplikasi Data Landsat Untuk
Budidaya Ikan Kerapu. Berita Indraja,
2 (3) : 12-15 hal.
Umar, C., dan Lismining. 2006. Analisis
Hubungan Panjang Berat Beberapa
Jenis Ikan Asli Danau Sentani Papua.
Prosiding Seminar Nasional Ikan IV.
Jati Luhur, 29-30 Agustus 2006.
Widodo, M,S. 2006. Deferensiasi Gonad/Seks
(Hermaprodit Protogyni) pada Ikan
Kerapu
Lumpur
(Epinephelus
coiodes) pada Kisaran Berat Tubuh
yang Berbeda di Perairan Tanjung
Luar, Lombok Timur. Jurnal Protein
Jurusan
Perikanan
Universitas
Brawijaya. 13(2) : 168-171.
83
Jurnal Mina Laut Indonesia, Januari 2013 @FPIK UNHALU
Download