potensi interaksi obat antidepresan di rumah sakit jiwa

advertisement
POTENSI INTERAKSI OBAT ANTIDEPRESAN DI RUMAH SAKIT
JIWA “X” JAWA TENGAH PERIODE JANUARI – SEPTEMBER
TAHUN 2015
NASKAH PUBLIKASI
Oleh:
IRNA FITRIANA
K 100 120 158
FAKULTAS FARMASI
UNIVERSITAS MUHAMMADIYAH SURAKARTA
SURAKARTA
2015
2
POTENSI INTERAKSI OBAT ANTIDEPRESAN DI RUMAH SAKIT JIWA “X”
JAWA TENGAH PERIODE JANUARI – SEPTEMBER TAHUN 2015
POTENTIAL DRUG INTERACTION OF ANTIDEPRESSANTS IN “X” MENTAL
HOSPITAL CENTRAL JAVA IN THE PERIOD OF JANUARY TO SEPTEMBER
2015
Irna Fitriana, Nurul Mutmainah
Fakultas Farmasi, Universitas Muhammadiyah Surakarta,
Jl AYani Tromol Pos 1, Pabelan Kartasura Surakarta 57102
#E-mail: [email protected]
ABSTRAK
Interaksi obat merupakan salah satu drug related problems (DRPs) sehingga yang dapat
mempengaruhi outcome klinis pasien. Depresi lebih banyak dijumpai pada seseorang dengan kepribadian
tertentu yang banyak ditentukan oleh genetik. Antidepresan pada pasien yang mengalami gangguan depresi,
banyak dikonsumsi bersamaan dengan obat lain sehingga berpotensi mengakibatkan terjadinya
interaksi.Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui kemungkinan terjadinya potensi interaksi obat yang
terjadi pada pasien yang mendapatkan terapi antidepresan di Rumah Sakit Jiwa “X” Jawa Tengah periode
Januari - September tahun 2015. Penelitian ini merupakan penelitian non eksperimental dengan rancangan
analisis deskriptif dan pengambilan data rekam medik secara retrospektif. Sampel diambil menggunakan
metode purposive sampling dengan jumlah sampel sebanyak 73 yang memenuhi kriteria inklusi meliputi
pasien yang mendapatkan terapi antidepresan, mendapatkan minimal 2 obat dan data rekam medik lengkap,
terdiri dari 52 pasien rawat inap dan 21 rawat jalan. Kemudian data dianalisis secara deskriptif
menggunakan buku-buku standar dan database seperti www.medscape.com pada menu drugs interaction
checker.Hasil penelitian menunjukkan obat antidepresan yang paling banyak digunakan adalah amitriptilin
sebanyak 65,3%. Pasien yang mengalami potensi interaksi farmakokinetik sebanyak 59,19%, interaksi
farmakodinamik 40,80%. Pasien yang mengalami potensi interaksi dengan level minor sebanyak 0,61%,
level signifikan sebanyak 51,18% dan level serius sebanyak 41,21%.
Kata kunci: Depresi,obat, antidepresan, potensi interaksi.
ABSTRACT
Drug interaction is one kind of drug related problems (DRPs), therefore it can influence the clinical
outcome of patient. Depression is commonly found in someone with a certain personality which is merely
determined by genetics. Antidepressant for the patient who suffers from depression is usually consumed
together with other drugs. In this case, it has tendency to the potential cause of interaction incident. This
research was aimed to find out the possibility of the potential drug interaction incident occurred in patients
having an antidepressant therapy at “X” Mental Hospital in Central Java in the period of January to
September 2015. This is non experimental research was done by using a descriptive analysis design and
medical record data which was conducted retrospectively. The sample was taken by using purposive
sampling method. The number of sample taken was 73 people who met the criteria of inclusion including the
patients who had an antidepressant therapy, with minimum of two drugs and complete medical record data,
consisting of 52 inpatients and21 outpatients. Then, the data were analyzed descriptively by using standard
books and database such as www.medscape.com on the menu of drugs interaction checker. The results of the
research showed that the antidepressant drug that was commonly used is amitriptilin, 65.3%. Patients
whohad the potential of pharmacokinetic interaction were a 59.19%, pharmacodynamic interaction was
40.80%. Patients who had the potential of interaction with a minor level were 0.61%, the level of
significance was 51.18% and the level of severe reaction was 41.21%.
Keywords: Depression, drug, antidepressant, potentialinteraction.
1
PENDAHULUAN
Penggunaan obat rasional dalam pelayanan kesehatan di Indonesia masih
merupakan masalah. Adanya penggunaan polifarmasi lebih dari 50% menerima 4 atau
lebih obat untuk setiap lembar resepnya, penggunaan antibiotika yang berlebihan (43%),
waktu konsultasi yang singkat yang rata-rata berkisar 3 menit saja serta tidak adanya
kepatuhan (Syamsudin, 2011). Penggunaan antidepresan pada pasien yang mengalami
gangguan depresi, banyak dikonsumsi bersamaan dengan obat lain sehingga berpotensi
mengakibatkan terjadinya interaksi, prevalensi interaksi obat secara keseluruhan adalah
50% hingga 60%, obat-obatan yang mempengaruhi farmakodinamika atau farmakokinetika
menunjukkan prevalensi sekitar 5% hingga 9%, sekitar 7% efek samping pemberian obat
di rumah sakit disebabkan oleh interaksi obat (Syamsudin, 2011).
Obat antidepresan memiliki banyak interaksi yang bermakna klinis dengan obat-obat
yang lain. Penelitian (Miguel and Albuquerque, 2011) menunjukkan adanya interaksi obat
antidepresan golongan trisiklik dengan obat antineoplastik, dimana antidepresan trisiklik
menghambat isoenzim CYP2C19 dan CYP2D6, selain itu antidepresan golongan SSRI
juga dapat menghambat isoenzim CYP2C19,sehingga interaksi tersebut dapat mengganggu
efektivitasantineoplastikdanmeningkatkantoksisitas.Banyaknya interaksi yang bermakna
klinis ini melandasi adanya penelitian tentang interaksi obat antidepresan di RSJ “X” Jawa
Tengah.
METODOLOGI PENELITIAN
Penelitian ini merupakan penelitian non eksperimental yang dilakukan dengan
mengumpulkan data rekam medik pasien rawat inap dan rawat jalan megunakan studi
retrospektif yang kemudian dianalisis dengan metode deskriptif. Data dicatat dalam lembar
pengumpulan data. Subjek penelitian yang digunakan adalah pasien yang mendapatkan
obat antidepresan dan yang menjalani rawat inap dan rawat jalan di RSJ “X” Jawa Tengah.
ALAT DAN BAHAN
Alat yang digunakan dalam penelitian ini adalah lembar pengumpulan data, bukubuku standar seperti Stockley’s Drug Interaction 8th Edition dan Drug Interaction Fact
serta programdatabase seperti www.medscape.com pada menu drug interaction
checker.Bahan yang digunakan dalam penelitian ini adalah data rekam medik pasien yang
menjalani rawat inap dan rawat jalan di RSJ “X” Jawa Tengah.
2
JALANNYA PENELITIAN
1. Tahap pertama adalah tahap perijinan
Surat ijin penelitian dari fakultas diberikan kepada bagian penelitian dan
pengembangan RSJ “X” Jawa Tengah untuk mendapatkan ijin melakukan penelitian.
2. Tahap kedua adalah presentasi proposal
Presentasi dilakukan untuk menilai kelayakan dari sisi etik dan hukum. Proposal
yang sudah dinilai layak dapat dilanjutkan untuk melakukan penelitian.
3. Tahap ketiga adalah penelusuran data
Proses penelusuran data dimulai dengan permohonan pengambilan sampel di
Instalasi Rekam Medik (IRM). IRM, berdasarkan kebijakan rumah sakit, memberikan
sampel yang berupa daftar nama pasien dan nomor rekam medik beserta obat antidepresan
yang diterima sebanyak 110 sampel, cara pengambilan sampel ditentukan dengan
menyeleksi sampel-sampel tersebut sesuai dengan kriteria inklusi yang telah ditentukan,
kemudian dilakukan pencatatan semua data dari rekam medis meliputi nomer rekam medik
pasien, usia, diagnosa, nama obat , dosis yang diberikan, rute pemberian, frekuensi, lama
pemberian, tanggal pemberian dan waktu pemberian obat.
4. Tahap keempat adalah pengolahan data
Data rekam medis yang terpilih diolah untuk dianalisis apakah ada potensi interaksi
secara teori berdasarkan hasil program databasewww.medscape.compada menu drug
interaction checker, kemudian dari hasil tersebut dihitung persentase kejadian interaksi
yang berpotensial. Data disajikan dalam bentuk tabel meliputi karakteristik pasien,
distribusi penggunaan obat, dan persentase hasil potensi interaksi yang meliputi interaksi
obat berdasarkan mekanisme, dan interaksi obat berdasarkan level signifikansinya.
5. Tahap kelima adalah presentasi hasil penelitian
Presentasi dilakukan melaporkan seluruh hasil penelitian yang dilakukan sebagai
syarat untuk mendapatkan surat keterangan selesai penelitian.
ANALISIS DATA
Analisis data diperoleh dengan cara mengolah data penggunaan obat pada rekam
medik
pasien
yang
mendapatkan
terapi
antidepresan
menggunakan
programdatabasewww.medscape.com pada menu drug interaction checker.
Hasil dari
analisis data tersebut dilakukan secara kuantitatif untuk mengetahui persentase kejadian
interaksi obat yang meliputi interaksi minor, signifikan dan serius. Data pemberian obat
dianalisis dengan buku Drug Interaction Handbook (Stockley, 2008)dan Drug Interaction
Fact (Tatro, 2001).
3
HASIL & PEMBAHASAN
Data yang diperoleh dari penelitian ini menggunakan data rekam medik pasien
rawat inap dan rawat jalan di Rumah Sakit Jiwa (RSJ) “X” Jawa Tengah. Sepanjang
periode Januari-September tahun 2015 terdapat 2382 pasien rawat inapdan rawat jalan
dengan profil pengobatan menggunakan satu atau lebih obat antidepresan. Kebijakan
Rumah Sakit mengijinkan pengambilan sampel sebanyak 110 data rekam medik. Sampelsampel tersebut selanjutnya diseleksi menggunakan kriteria inklusi dan didapatkan 73 data
yang memenuhi kriteria tersebut.
A. Karakteristik Pasien
Tabel 1. Distribusi Pasien yang Menerima Pengobatan Antidepresan di RSJ “X” Jawa Tengah periode JanuariSeptember tahun 2015 (n= 73)
Kriteria
Jumlah
Persentase
(%)
Usia(Tahun)
15-30
31-46
47-62
63-78
2
49
19
3
2,7
67,1
26,0
4,2
Jenis Kelamin
Perempuan
Laki-laki
27
46
40
60
Diagnosa
Depresi tipe skizoafektif
Skizofrenia paranoid
Depresi pasca skizofrenia
Skizofrenia residual
Depresi berat
Depresi akut
Skizofrenia katatonik
Depresi gejala paranoid
30
16
10
8
4
2
2
1
41,1
21,9
13,7
11
5,5
2,7
2,7
1,4
52
21
78,1
28,8
Status perawatan
Rawat jalan
Rawat inap
Berdasarkan usia, pasien dengan rentang usia 31-46 memiliki prevalensi tertinggi
mendapatkan terapi antidepresan. Gangguan depresi umumnya mulai muncul pada masa
remaja dan terjadi dalam satu keluarga. Walaupun depresi dapat terjadi pada semua usia,
namun kejadian terbesar gangguan depresi terjadi pada usia 18-44 tahun (Pieter et al.,
2011).
Hasil penelitian ini menunjukkan pengguna obat antidepresan lebih banyak pada
laki-laki (Tabel 1). Secara teoritis, karakteristik gender pada kejadian depresi klinis
maupun subklinis lebih tinggi dialami oleh perempuan(Darmayanti, 2002).
Diagnosa terbanyak dari pasien yang didapat adalahSkizoafektif tipe depresi (Tabel
1). Skizoafektif tipe depresi dapat ditegakan apabila terdapat suatu tanda yaitu pada saat
episode yang sama terdapat episode yang bersamaan antara depresi dengan gejala pada
4
skizofrenia yakni halusinasi, disorganisasi dalam berbicara, prilaku yang tidak terkontrol,
katatonik, gejala negatif dan lain-lain. Dasar utama dari farmakoterapi untuk gangguan
skizoafektif adalah pemberian protokol antidepresan dan antimania jika semuanya
diindikasikan dan diberikan antipsikotik hanya digunakan jika diperlukan untuk
pengendalian jangka pendek (Surbakti, 2014).
B. Karakteristik Obat
Distribusi penggunaan obat pada pasien di RSJ. Prof. Dr. Soerojo Magelang
dapat dilihat pada tabel 2.
Tabel 2. Distribusi Penggunaan Obat pada Pasien diRSJ. “X” Jawa Tengah Periode Januari-September Tahun 2015 (n=73)
Kelas Terapi
Golongan
Antidepresan
Antidepresan trisiklik (TCA)
SSRI
Antipsikotik
Atipikal
Fenotiazin
Benzodiazepin
Antikolinergik
Antihipertensi
Antibiotik
Butirofenon
Antagonis kalsium
Sefalosporin
Neurotropik
Antihistamin
Antimania
Vitamin
-
Analgesik
NSAID
Laksatif
Anti jamur
Anti gastritis
Suplemen
Lubrikan
Imidazol
Proton pumb Inhibitor
-
Nama Obat
Amitriptilin
Fluoksetin
Sertralin
Escitalopram
Risperidon
Clozapin
Olanzapin
Quetiapin
Trifluoroperazin
Klorpromazin
Alprazolam
Clobazam
Quetiapin
Haloperidol
Triheksifenidil
Amlodipin
Ceftazidim
Ceftriaxon
Piracetam
Difenhidramin
Lithium
Vitamin B complex
Vitamin B1
Ibuprofen
Ketorolac
Bisakodil
Ketokonazol
Omeprazole
Curcuma
Jumlah
49
24
1
1
45
21
5
1
21
15
4
1
1
21
70
3
1
1
4
3
2
3
2
1
1
1
1
1
1
Persentase
(% )
65,3
32
1,3
1,3
61,6
28,8
6,8
1,4
28,8
20,6
5,5
1,4
1,4
28,8
95,9
4,1
1,4
1,4
5,5
4,1
2,7
4,1
2,7
1,4
1,4
1,4
1,4
1,4
1,4
Berdasarkan tabel 2, Pada penelitian ini antidepresan trisiklik paling banyak
digunakan yaitu amitriptilin yang diresepkan pada 49 pasien sedangkan golongan Selective
Serotonine Reuptake Inhibitors and Related Drugs (SSRI) diresepkan pada 26 pasien
(Tabel 2). Anderson, (2000) menyatakan bahwa TCA lebih menguntungkan dari pada
SSRI pada beberapa pasien rawat inap. Kedua obat memiliki efektifitas yang sama atau
sebanding sebagai antidepresan, namun SSRI lebih mudah ditoleransi oleh pasien
dibandingkan TCA.Golongan antidepresan trisiklik merupakan obat generasi pertama dan
digunakan secara luas pada penanganan depresi. Obat ini efektif karena meningkatkan efek
serotonergik dan noradrenergik. Namun antidepresan trisiklik juga memblok histamin,
kolinergik, alpa 1 adrenergik yang menyebabkan efek samping yang tidak diinginkan yaitu
5
peningkatan berat badan, mulut kering dan konstipasi (Feighner, 1999) . Dosis harian total
amitriptilin adalah 75-150mg/hari untuk rawat jalan dan 200-300mg/hari untuk rawat inap.
Berdasarkan tabel 2, antipsikotik yang paling banyak digunakan adalah Risperidon
yang diresepkan pada 45 pasien atau sebesar 61,6% (tabel 2). Risperidon adalah
antipsikotik golongan atipikal. Risperidon merupakan obat utama pada penatalaksanaan
semua fase dan semua tipe skizofrenia (Evoy, 2008). Penambahan antagonis serotonin
pada antagonis dopamine (mekanisme neuroleptik klasik) diperkirakan dapat memperbaiki
gejala negatif dan menurunkan insiden efek samping ekstrapiramidal (Fuller and Sajatoviv,
2002).Dari tabel 2 dapat dilihat bahwa hampir semua pasien menggunakan Triheksifenidil.
Triheksifenidil merupakan obat golongan antikolinergik. Antikolinergik digunakan
bersama dengan antipsikotik bertujuan untuk meniadakan efek samping ekstrapiramidal
dari antipsikotik (Stockley, 2008).
C. Interaksi Obat
Tabel 3. Distribusi Interaksi Obat Antidepresan dengan Obat Lain Berdasarkan Mekanisme pada Pasien di RSJ “X” Jawa
Tengah Periode Januari-September Tahun 2015 (n=174)
Mekanisme
Farmakokinetik
Obat A
Jumlah
Kejadian
p.o
17
Risperidon
p.o
28
Klorpromazin
p.o
12
Haloperidol
p.o
18
Clozapin
p.o
6
Risperidon
p.o
17
Amitriptilin
Klorpromazin
Ibuprofen
Clozapin
Amitriptilin
p.o
p.o
p.o
p.o
p.o
1
1
1
1
1
Amitriptilin
Triheksifenidil
p.o
36
Fluoksetin
Alprazolam
Olanzapin
Ecitalopram
Clobazam
Risperidon
p.o
p.o
p.o
p.o
p.o
2
1
1
1
17
Sertralin
Escitalopram
Amitriptilin
Haloperidol
Clobazam
Klorpromazin
Quantapin
Trifluoroperazin
Haloperidol
p.o
p.o
p.o
p.o
p.o
p.o
p.o
2
4
1
3
1
1
1
174
Escitalopram
Jumlah
Rute
Trifluoroperazin
Amitriptilin
Fluoksetin
Farmakodinamik
Obat B
Presentase (%)
59,19
40,80
100
6
Interaksi obat dengan mekanisme farmakokinetik memiliki tingkat kejadian yang
paling
banyak
yaitu
103
atau
sebesar
59,19%.Interaksi
dengan
mekanisme
farmakodinamik terjadi sebanyak 71 kejadian atau sebesar 40,80% (tabel 4).Interaksi
farmakokinetik terjadi bila salah satu obat mempengaruhi obat yang kedua dalam hal
ADME (Absorbsi, Distribusi, Metabolisme, Ekskresi), sehingga kadar obat kedua dalam
plasma darah menjadi meningkat atau menurun, sedangkan interaksi farmakodinamik
merupakan interaksi antara 2 obat yang bekerja pada sistem reseptor, tempat kerja atau
sistem fisiologi yang sama sehingga menimbulkan efek aditif, sinergis atau antagonis tanpa
menimbulkan perubahan kadar obat dalam plasma (Ganiswara, 2008).
Distribusi interaksi obat antidepresan dengan obat-obat lain berdasarkan level
signifikikansinya dapat dilihat pada tabel 5.
Tabel 5. Distribusi Interaksi Obat Antidepresan dengan Obat Lain berdasarkan Level Signifikansi pada Pasien di RSJ “X”
Jawa Tengah Periode Januari-September Tahun 2015 (n=165)
Level
Signifikansi
Minor
Obat A
Sertralin
Signifikan
Amitriptilin
Ecitalopram
Fluoksetin
Serius
Amitriptilin
Fluoksetin
Obat B
Trifluoroperazin
Interaksi yang terjadi
((Medscape, 2015)
Peningkatan kadar atau efek trifluoroperazin
Jumlah
kejadian
1
Persentase
(%)
0,61
Triheksifenidil
Risperidon
Clozapin
Alprazolam
Olanzapin
Clobazam
Clozapin
Haloperidol
Clozapin
Ibuprofen
Clobazam
Chlorpromazin
Quetiapin
Lithium
Menurunkan efek atau transmisi kolinergik
Menyebabkan efek samping ekstrapiramidal
Peningkatan efek sedasi
Peningkatan efek sedasi (sinergisme)
Peningkatan efek sedasi (sinergisme)
Peningkatan kadat atau efek amitriptilin
Peningkatan kadar clozapin dalam darah
Penurunan dosis haloperidol
Penurunan dosis clozapin
Peningkatan kadar atau efek ibuprofen
Peningkatan kadar atau efek fluoksetin
Peningkatan kadar atau efek klorprimazin
Peningkatan QTC interval
Menyebabkan sindrom serotonin
43
26
9
4
2
1
1
1
4
1
1
1
1
1
58,18
Trifluoroperazin
Haloperidol
Klorpromazin
Escitalopram
Risperidon
Haloperidol
Amitriptilin
Klorpromazin
Peningkatan QTC interval
Peningkatan kadar amitriptilin dalam darah
Peningkatan kadar klorpromazin dalam darah
Menyebabkan sindrom serotonin
Menyebabkan efek samping ekstrapiramidal
Menyebabkan efek samping ekstrapiramidal
Menyebabkan toksisitas
Peningkatan klorpromazin dalam darah
17
15
12
1
17
3
2
1
165
41,21
Jumlah
100
Interaksi obat paling banyak terjadi adalah interaksi dengan level signifikan, yaitu
sebanyak 96 kejadian atau sebesar 58,18%. Kemudian diikuti level signifikansi serius
sebanyak 68 kejadian atau sebesar 41,21% dan level signifikansi minor sebanyak 1 kasus
atau sebesar 0,61% (tabel 5).
7
Rincian penjelasan mengenai interaksi obat-obat diatas adalah sebagai berikut:
1. Interaksi obat berdasarkan level serius
a.
Amitriptilin – Haloperidol
Penggunaan secara bersamaan antara amitriptilin dengan haloperidol menyebabkan
terjadinya peningkatan kadar amitriptilin dalam darah. Hal ini dikarenakan haloperidol
menurunkan metabolisme dari amitriptilin. Manajemen dari interaksi ini adalah dengan
memonitor konsentrasi serum dan efek amitriptilin. Dosis amitriptilin dapat dinaikan
apabila diperlukan(Tatro, 2009).
b.
Amitriptilin – Klorpromazin
Penggunaan
secara
bersamaan
antara
amitriptilin
dengan
klorpromazin
menyebabkan peningkatan konsentrasi yang signifikan dari klorpromazin di dalam darah.
Jika terapi kombinasi ini diberikan, maka dosis klorpromazin (75-300mg/hari) harus
diturunkan atau saat pemberian dari kedua obat ini, dosis harus diturunkan untuk menjaga
kadar terapetik dari klorpromazin (Rasheed et al., 1994). Amitriptilin dan klorpromazin
sama-sama merupakan substrat CYP2D6 sehingga kompetisi antar keduanya untuk
menduduki reseptor enzim tersebut menyebabkan peningkatan klorpromazin dalam darah
(Mental, 2011).
c.
Amitriptilin – Trifluoroperazin
Penggunaan secara bersamaan antara amitriptilin dengan trifluoroperazin
menyebabkankeduanya meningkatan QTC interval(Medscape, 2015)yaitu suatu bentuk
aritmia jantung dimana terjadi perpanjangan interval QT sehingga dapat menyebabkan
takikardi yang dapat berakibat fatal pada pasien bila tidak tertangani (Naibaho, 2008).
Abnormalitas dan perubahan pada EKG dapat disebabkan karena penggunaan dosis
amitriptilin yang berlebih dan diikuti oleh pemberian trifluoperazin pada dosis terapetik
(Yap & Camm, 2003).
d.
Amitriptilin-Escitalopram
Penggunaan secara bersamaan antara amitriptilin dengan escitalopram dapat
meningkatkan kadar serotonin. Hal ini berpotensi serius dan merupakan interaksi yang
dapat mengancam jiwa. Oleh karena itu, kombinasi kedua obat ini dikontraindikasikan,
kecuali bila terdapat pertimbangan keuntungan yang lebih besar dari pada risikonya atau
ketidaktersediaan obat lain sebagai penggantinya (Medscape, 2015). Amitriptilin dengan
escitalopram menghambat reuptake serotonin akibatnya serotonin berada dalam jumlah
yang banyak di celah sinaps. Antidepresan serotonergik dimetabolisme oleh sitokrom
P450. Obat-obat yang menghambat enzim tersebut bertanggung jawab pada proses
8
metabolisme ini sehingga berdampak dan menyebabkan terjadinya sindrom serotonin
(Bishop & Bishop, 2011). e.
Fluoksetin – Risperidon
Penggunaan secara bersamaan antara fluoksetin dengan risperidon dapat
menyebabkan ekstrapiramidal yang gejalanya yaitu distonia,akatisia, gangguan parkinson
(tremor, bradikardi) dan diduga terjadi peningkatan kadar prolaktin dan ginekomastia pada
pasien. Fluoksetin menghambat metabolisme risperidon dengan menghambat enzim
pemetabolismenya yaitu sitokrom P450 isoenzim CYP2D6. Reaksi lain seperti sedasi,
retensi urin, juga bisa terjadi sebagai efek samping dari pemberian risperidon dengan
fluoksetin (Stockley, 2008).
f.
Fluoksetin – Haloperidol
Penggunaan secara bersamaan antara fluoksetin dengan haloperidol menyebabkan
terjadinya gejala ekstrapiramidal seperti parkinson atau akhatisia. Pada kasus lain, pasien
yang mendapatkan kombinasi ini mengalami efek samping antimuskarinik yang parah,
selain itu juga mengalami tremor dan akhatisia. Kondisi pasien biasanya membaik setelah
satu minggu pemberian kedua obat ini dihentikan (Stockley, 2008). Kombinasi tersebut
perlu dimonitoring secara ketat terhadap efek ekstrapiramidal yang mungkin dialami
pasien (Hansten & Horn, 2000).
g.
Fluoksetin – Amitriptilin
Penggunaan secara bersamaan antara fluoksetin dengan amitriptilin dapat
menyebabkan peningkatan kadar amitriptilin dalam darah sehingga meningkatkan kadar
dari metabolit aktifnya nortriptilin. Walaupun kombinasi antara antidepresan trisiklik
(TCA) dan Selective Serotonine Reuptake Inhibitors and Related Drugs (SSRI) sering
digunakan dan memberikan hasil yang positif, respon pasien terhadap TCA harus
dimonitoring secara ketat apabila SSRI dihentikan ataupun diubah dosisnya (Hansten &
Horn, 2000).
h.
Fluoksetin – Klorpromazin
Penggunaan secara bersamaan antara fluoksetin dengan klorpromazin, dapat
menyebabkan peningkatan kadar atau efek dari klorpromazin melalui mekanisme
penghambatan metabolisme oleh enzim CYP2D6 di hati. Interaksi ini berpotensi serius
atau mengancam jiwa sehingga perlu dimonitoring secara ketat dan diberikan obat lain
sebagai pengganti bila tersedia (Medscape, 2015). Fluoksetin dan klorpromazin sama-sama
merupakan substrat CYP2D6 sehingga kompetisi antar keduanya untuk menduduki
reseptor enzim tersebut menyebabkan peningkatan klorpromazin dalam darah (Mental,
2011).
9
2. Interaksi obat dengan level signifikan
a.
Amitriptilin – Triheksifenidil
Penggunaan secara bersamaan antara amitriptilin dengan triheksifenidil dapat
menurunkan efek atau transmisi kolinergik. Interaksi bersifat potensial untuk terjadinya
efek aditif antikolinergik. Interaksi ini perlu dimonitoring secara ketat dan bila perlu
dilakukan penggantian obat (Medscape, 2015). Penggunaan obat-obat antidepresan
(amitriptilin)
dengan
antikolinergik
(triheksifenidil)
pada
dosis
terapetik
dapat
menyebabkan delirium akut karena aktivitas kolinergik (Moreau et al., 1986).
b.
Amitriptilin – Risperidon
Penggunaan secara bersamaan antara amitriptilin dengan risperidon dapat
menyebabkan terjadinya reaksi ekstrapiramidal karena efek samping dari risperidon,
mekanisme yang terjadi diduga karena terjadinya interaksi baik farmakokinetik maupun
farmakodinamik. Oleh karena itu peresepan kedua obat ini perlu mendapatkan perhatian
dan dimonitorng secara ketat(Stockley, 2008).
c.
Amitriptilin – Clozapin
Penggunaan secara bersamaan antara amitriptilin dengan clozapin dapat
menyebabkan peningkatan efek sedasi (sinergisme). Pemberian kedua obat ini memiliki
potensi interaksi yang besar sehingga perlu monitoring terhadap penggunaan keduanya
(Medscape, 2015). Pemberian amitriptilin yang merupakan suatu antikolinergik bersamaan
dengan clozapin akan meningkatkan efek antikolinergik yang juga dimiliki oleh clozapin
(Young et al., 1998).
d.
Amitriptilin- Olanzapin
Olanzapin mengeblok reseptor serotonin (5-HT2C) menyebabkan kadar serotonin
tinggi dan amitriptilin bekerja dengan memperpanjang aksi serotonin sedangkan salah satu
efek serotonin adalah menyebabkan sedasi (Sharpley et al., 2000). Penggunaan secara
bersamaan antara amitriptilin dengan olanzapin dapat menyebabkan peningkatan efek
sedasi (sinergisme). Pemberian kedua obat ini memiliki potensi interaksi yang besar
sehingga perlu monitoring terhadap penggunaan keduanya (Medscape, 2015).
e.
Amitriptilin-Alprazolam
Alprazolam dapat meningkatkan kadar serotonin dan amitriptilin bekerja dengan
memperpanjang aksi serotonin sedangkan salah satu efek serotonin adalah sedasi (BentueFerrer et al., 2001). Penggunaan secara bersamaan antara amitriptilin dengan
alprazolamdapat menyebabkan peningkatan efek sedasi (sinergisme). Pemberian kedua
10
obat ini memiliki potensi interaksi yang besar sehingga perlu monitoring terhadap
penggunaan keduanya (Medscape, 2015).
f.
Amitriptilin- Clobazam
Clobazam merupakan inhibitor CYP2D6 sedangkan amitriptilin merupakan obat
yang dimetabolisme oleh CYPD26 sehingga penghambatan terhadap enzim tersebut
meningkatkan kadar amitriptilin(Walzer et al., 2012) Interaksi bersifat signifikan sehingga
perlu dimonitor secara ketat. Penurunan dosis obat yang dimetabolisme oleh CYP2D6
diperlukan apabila kedua obat ini digunakan secara bersamaan (Medscape, 2015).
g.
Escitalopram-Haloperidol
Escitalopram merupakan inhibitor sitokrom P450 isoenzim CYP2D6 sehingga
menghambat metabolisme haloperidol. Penanganan dari interaksi ini adalah dengan
menurunkan dosis haloperidol (Stockley, 2008).
h.
Escitalopram-Clozapin
Escitalopram meningkatkan kadar clozapin dengan mempengaruhi CYP2D6
Interaksi bersifat signifikan sehingga perlu dimonitor secara ketat. Penurunan dosis
clozapin diperlukan apabila kedua obat ini digunakan secara bersamaan (Medscape, 2015).
Escitalopram merupakan inhibitor CYP2D6 yang dapat meningkatkan konsentrasi clozapin
dalam plasma dan risiko kejang (Ewald Howarth et al., 2004).
i.
Fluoksetin- Clozapin
Fluoksetin meningkatkan kadar clozapin dengan mempengaruhi CYP2D6.
Interaksi bersifat signifikan sehingga perlu dimonitor secara ketat. Diperlukan penurunan
dosis clozapin(Stockley, 2008). Fluoksetin merupakan inhibitor yang poten dan selektif
untuk CYP2D6 sehingga penghambatan ini berdampak pada peningkatan clozapin dalam
darah (Wenzel-Seifert et al., 2011).
j.
Fluoksetin-Ibuprofen
Ibuprofen merupakan substrat dari enzim sitokrom CYP2C9. Fluoksetin adalah
obat yang bekerja dengan menghambat (inhibitor) enzim sitokrom CYP2C9 (Lynch and
Price, 2007), sehingga adanya fluoksetin akan meningkatkan kadar atau efek dari
ibuprofen dengan mempengaruhi enzim CYP2C9. Interaksi ini memerlukan monitoring
yang ketat (Medscape, 2015).
k.
Fluoksetin-Clobazam
Penggunaan secara bersamaan antara fluoksetin dengan clobazam dapat
menyebabkan peningkatan kadar atau efek fluoksetin dengan mempengaruhi enzim
CYP2D6. Interaksi bersifat signifikan sehingga perlu dimonitor secara ketat. Penurunan
11
dosis fluoksetin obat yang dimetabolisme oleh CYP2D6 diperlukan apabila kedua obat ini
digunakan secara bersamaan (Medscape, 2015). Clobazam yang memiliki aktivitas
menghambat CYP2D6 akan berdampak pada peningkatan serum fluoksetin secara
signifikan (Italiano et al., 2014).
l.
Fluoksetin-Quetiapin
Penggunaan secara bersamaan antara fluoksetin dengan quetiapin menyebabkan
keduanya meningkatkan QTC interval. Interaksi ini berpotensi membahayakan pasien. Hal
ini mengakibatkan penggunaan kedua obat ini perlu mendapatkan perhatian dan dimonitor
secara ketat (Medscape, 2015). Fluoksetin berpengaruh moderat terhadap prolongasi QTC
sedangkan quetiapin berpengaruh secara severesehingga kombinasi keduanya berpengaruh
signifikan terhadap peningkatan QTC interval (Wenzel-Seifert et al., 2011).
m. Fluoksetin-Lithium
Fluoksetin dan lithium menyebabkan sindrom serotonin (Stockley, 2008).
Fluoksetin merupakan inhibitor reuptake serotonin dan lithium adalah obat yang bekerja
sebagai agonis reseptor serotonin sehingga kombinasi keduanya menyebabkan peningkatan
kadar serotonin (Cooper & Sejnowski, 2013). Interaksi ini berpotensi membahayakan,
perlu perhatian dan monitoring secara ketat (Medscape, 2015).
3. Interaksi obat dengan level minor
a.
Sertralin – Trifluoroperazin
Penggunaan secara bersamaan antara sertralin dengan trifluoperazin akan
menyebabkan peningkatan kadar atau efek dari trifluoroperazin dengan mempengaruhi
metabolisme enzim CYP2D6 di hati. Interaksi ini bersifat tidak signifikan (Medscape,
2015). Sertralin merupakan inhibitor yang bersifat lemah terhadap CYP2D6 sehingga
peningkatan kadar atau efek trifluoroperazin yang terjadi juga tidak bermakna klinis
(Ewald Howarth et al., 2004).
Peran farmasis sangat penting dalam mengantisipasi atau menghindari
kemungkinan terjadinya interaksi obat. Strategi yang dapat dilakukan oleh farmasis untuk
mencegah dan menangani interaksi obat adalah:
1) Mencegah kombinasi secara keseluruhan. Kombinasi perlu dihindari apabila risiko
yang kemungkinan terjadi lebih besar dari manfaatnya.
2) Penyesuaian dosis obat obyek. Dua obat yang berinteraksi bisa diberikan secara aman
selama dosis obyeknya disesuaikan.
3) Memberi jarak waktu pemberian obat untuk mencegah interaksi.
12
4) Monitoring untuk deteksi dini. Interaksi bisa diatasi dengan monitoring laboratorium
secara ketat untuk melihat, evidence based tentang interaksi obat sehingga bisa
dilakukan perubahan dosis atau penghentian obat jika pelu.
5) Pemberian informasi tentang faktor risiko pasien yang meningkatkan risiko outcome
negatif.
6) Perbaikan sistem terkomputerisasi.
(Syamsudin, 2011).
KESIMPULAN
1.
Pasien yang diteliti sebanyak 73 orang dan terdapat potensi interaksi obat antidepresan
dengan obat-obat lain pada seluruh resep obat yang didapatkan oleh pasien-pasien
tersebut.
2.
Obat antidepresan yang paling banyak digunakan adalah amitiptilin sebanyak 65,3%.
3.
Berdasarkan mekanismenya, dari 174 potensi interaksi tersebut, terdapat interaksi
farmakokinetik sebanyak 103 atau sebesar 59,19% dan interaksi dengan mekanisme
farmakodinamik terjadi sebanyak 71 kasus atau sebesar 40,80%, sedangkan ditinjau
dari sisi dampaknya terdapat 165 potensi interaksi, dengan 1 potensi interaksi atau
sebersar 0,61% berdampak minor, 96 potensi interaksi sigifikan atau sebesar 58,18%,
dan 68 potensi interaksi serius atau sebesar 41,21%.
DAFTAR PUSTAKA
Anderson, I., 2000. Review : selective serotonin reuptake inhibitors are as effective as
tricyclic antidepressants overall but may be less effective in some patient subgroups.
Affect Disord 3, 2000.
Bentue-Ferrer, D., Reymann, J., Tribut, O., Allain, H., Vasar, E., Bourin, M., 2001. Role of
dopaminergic and serotonergic systems on behavioral stimulatory effects of low-dose
alprazolam and lorazepam. Eur Neuropsychopharmacol 11, 41–5.
Bishop, J.R., Bishop, D.L., 2011. How to prevent serotonin syndrome from drug-drug
interactions. Curr. Psychiatr. 10, 81–83.
Cooper, B.E., Sejnowski, C.A., 2013. serotonin syndrome : Recognition and Treatment.
AACN Adv. Crit. Care 24, 15–20.
Darmayanti, N., 2002. Meta Analisis : Gender Dan Depresi Pada Remaja 35, 164–180.
Evoy, G.K.M., 2008. American Society of health-system pharmacists formulary service.
Bethesda.
Ewald Howarth, Wainberg, M., Cournos, F., 2004. Psychiatric Medications and HIV
13
Antiretrovirals : A Guide to Interactions For Clinical. In: NY/NJ AETC and the
Columbia University HIV Mental Health Training Project.
Feighner, J., 1999. Mechanism of Action of Antidepressant Medications. J Clin Psychiatry
4, 11.
Fuller, M., Sajatoviv, M., 2002. Drug Information Handbook for Psychiatry. Lexy Comp,
Kanada.
Ganiswara, S.G., 2008. Farmakologi dan Terapi Edisi 5. FKUI, Jakarta.
Hansten, philip D., Horn, J.R., 2000. Managing Clinically Important Drug Interactions.
Fact & Comparisions.
Italiano, D., Spina, E., de Leon, J., 2014. Pharmacokinetic and pharmacodynamic
interactions between antiepileptics and antidepressants. Expert Opin. Drug Metab.
Toxicol. 10, 1457–89.
Lynch, T., Price, A., 2007. The effect of cytochrome P450 metabolism on drug response,
interactions, and adverse effects. Am. Fam. Physician 76, 391–396.
Medscape, 2015. Drug Interaction Cheker [www Document].
http://www.reference.medscape.com/drug-interactionchecker
online.
URL
Mental, H., 2011. Graylands Hospital Drug Bulletin Cytochromes and Psychotripics. North
Metrop. Area Heal. Serv. 18.
Miguel, C., Albuquerque, E., 2011. Drug interaction in psycho-oncology: Antidepressants
and antineoplastics. Pharmacology 88, 333–339.
Moreau, A., Jones, B., Banno, J., 1986. Chronic central anticholinergic toxicity in manic
depressive illness mimicking dementia. Can J Psychiatry 31, 339–41.
Naibaho, D., 2008. Hubungan Interval QTc Memanjang Dengan Derajat Disfungsi Hati
pada. Uviversitas Sumatera Utara.
Pieter, H.Z., Janiwarti, B., Ns. Marti Saragih, 2011. Pengantar Psikopatologi untuk
Keperawatan. Kencana, Jakarta.
Rahmawati, F., Handayani, R., Gosal, V., 2006. Kajian Retrospektif Interaksi Obat di
Rumah Sakit Pendidikan Dr. SardjitoYogyakarta. Maj. Farm. Indones. 17, 177–183.
Rasheed, A., Javed, M., Nazir, S., Khawaja, O., 1994. Interaction of chlorpromazine with
tricyclic anti-depressants in schizophrenic patients. J Pak Med Assoc 44, 233–4.
Sharpley, A.L., Vassallo, C.M., Cowen, P.J., 2000. Olanzapine increases slow-wave sleep:
evidence for blockade of central 5-HT(2C) receptors in vivo. Biol Psychiatry 47, 468–
470.
Stockley, 2008. Stockley’s Drug Interaction, 8th Edition. Pharmaceutical Press., London.
14
Surbakti, R. br, 2014. Case Report A 30 Years Old Man With Depressed Type Of
Schizoaffective Disorder. J Medula Unila 3, 89–95.
Syamsudin, 2011. Interaksi Obat Konsep Dasar dan Klinis. Universitas Indonesia (UIPress), Jakarta.
Tatro, D., 2001. Drug Interaction Fact 6Ty edition, Facts Comparison. a Wolter Kluwers,
St Louis.
Tatro, D.., 2009. Drug Interaction Fact The Autority Drug Interactions, Fact And
Comparison. Wolter Kluwers, St Louis.
Walzer, M., Bekersky, I., Blum, R., Tolbert, D., 2012. Pharmacokinetic drug interactions
between clobazam and drugs metabolized by cytochrome P450 isoenzymes.
Pharmacotherapy 32, 340–53.
Wenzel-Seifert, K., Wittmann, M., Haen, E., 2011. QTc prolongation by psychotropic
drugs and the risk of Torsade de Pointes. Dtsch. Arztebl. Int. 108, 687–93.
Yap, G., Camm, A., 2003. Drug induced QT prolongation and Torsades de Pointes. Heart
89, 1363–1372.
Young, C.R., Bowers, M.B., Mazure, C.M., 1998. Management of the adverse effects of
clozapine. Schizophr. Bull. 24, 381–390.
15
Download