“ PERDA KETERTIBAN UMUM DI WILAYAH DKI JAKARTA DALAM PERSPEKTIF ISLAM DAN HAM” Skripsi Diajukan untuk Memenuhi Persyaratan Memperoleh Gelar Sarjana Hukum Islam (SHI) Oleh : Arief Rahman Nim : 0045219457 KONSENTRASI SIYASAH SYAR’IYYAH PROGRAM STUDI JINAYAH SIYASAH FAKULTAS SYARIAH DAN HUKUM UIN SYARIF HIDAYATULLAH JAKARTA 1429 H / 2008 M “ PERDA KETERTIBAN UMUM DI WILAYAH DKI JAKARTA DALAM PERSPEKTIF ISLAM DAN HAM” Skripsi Diajukan Kepada Fakultas Syariah dan Hukum untuk Memenuhi Persyaratan Memperoleh Gelar Sarjana Hukum Islam (SHI) Oleh : Arief Rahman Nim : 0045219457 Di bawah Bimbingan : Pembimbing I (Drs. Abu Thamrin, SH.M.Hum) NIP : 19650908 199503 1 001 Pembimbing II (Dr. Rumadi, M.Ag) NIP : 19690304 199703 1 012 KONSENTRASI SIYASAH SYAR’IYYAH PROGRAM STUDI JINAYAH SIYASAH FAKULTAS SYARIAH DAN HUKUM UIN SYARIF HIDAYATULLAH JAKARTA 1429 H / 2008 M PENGESAHAN PANITIA UJIAN Skripsi yang berjudul “ PERDA KETERTIBAN UMUM DI WILAYAH DKI JAKARTA DALAM PERSPEKTIF ISLAM DAN HAM”, telah diujikan dalam sidang munaqosah Fakultas Syariah dan Hukum UIN Syarif Hidayatullah Jakarta pada tanggal 23 Juni 2008. Skripsi ini telah diterima sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar Sarjana Hukum Islam (SH.I) pada Program Studi Jinayah Siyasah Konsentrasi Ketatanegaraan Islam (Siyasah Syar’iyyah). Jakarta, 23 Juni 2008 Dekan, (Prof. DR. H. Muhammad Amin Suma, SH, MA, MM NIP : 19550505 198203 1 012 PANITIA UJIAN MUNAQOSAH 1. Ketua ----------------) : Dr. Asmawi, M.Ag (-------- NIP : 19721010 199703 1 008 2. Sekretaris -----------------) : Sri Hidayati, M.Ag (-------- NIP : 19710215 199703 2 002 3. Pembimbing I -----------------) : Drs. Abu Thamrin, SH, M.Hum (-------- NIP : 19650908 199503 1 001 4. Pembimbing II ------------------) : Dr. Rumadi, M.Ag NIP : 19690304 199703 1 012 (-------- 5. Penguji I ------------------) : H. Abdul Wahab Abd Muhaimin, Lc, MA (-------- NIP : 19500817 198903 1 001 6. Penguji II ------------------) : Kamarusdiana, S.Ag, M.H NIP : 19720224 199803 1 003 (-------- ا ا ا KATA PENGANTAR Alhamdulillah Segala Puji bagi Allah Yang Maha Kuasa, atas kekuatan dan kesempatan yang diberikan kepada penulis, sehingga dapat menyelesaikan skripsi ini tepat pada waktunya. Tak ada kemampuan dalam diri penulis, kecuali semua ini karena Nikmat dan Karunia dari Allah Yang Maha Pengasih dan Maha Penyayang. Penulisan skripsi ini tidak akan selesai tanpa ada do’a dan bantuan yang diberikan kepada penulis. Oleh karena itu dalam kesempatan ini penulis mengucapkan terima kasih yang besar-besarnya, kepada : 1. Bapak Prof Dr. H. Muhammad Amin, SH, MA, MM selaku Dekan Fakultas Syariah dan Hukum. 2. Bapak Asmawi, M.Ag dan Ibu Sri Hidayati, M.Ag selaku Kajur Jinayah Siyasah dan Sekjur Jinayah Siyasah Fakultas Syariah dan Hukum, yang selalu mengingatkan penulis untuk menyelesaikan skripsi ini. 3. Bapak Drs. Abu Thamrin, M.Hum dan Bpk. Dr. Rumadi, M.Ag selaku Pembimbing skripsi, yang telah banyak mengarahkan dan membimbing penulis dalam menyelesaikan skripsi ini. 4. Bapak – Ibu Dosen Fakultas Syariah dan Hukum UIN Syarif Hidayatullah Jakarta. 5. Lembaga Kajian Komnas HAM, Lembaga LBH Jakarta, LBH APIK, Elsham yang telah mengizinkan penulis untuk meneliti masalah Ketertiban Umum dan membantu dalam pengadaan data-data yang menunjang demi terselesainya skripsi ini. 6. Kedua Orang Tua Tercinta, H. Abdul Cholik, MS dan Hj. Nur Azizah dan tak terlupakan pula Almh. Hj. Maisuri yang telah memberikan cinta dan kasih sayangnya yang tak terhingga kepada penulis. 7. Kepada Kakak-kakakku Elin Herlina, SH dan Heri Hermawan, ST dan adikadikku tersayang Diana Kusumawati, Nur Faizah, Ahmad Sofwan Mulyawan dan Nurlaila. 8. Serta penulis ucapkan kepada keluarga Bapak Soemarjono dan Ibu Karminah serta keluarga Bapak Yasin dan Ibu Rohani yang telah mengizinkan tempat tinggalnya digunakan untuk berteduh serta tidak capeknya memberikan semangat dan support kepada penulis untuk menyelesaikan skripsi ini. 9. Kepada sahabat-sahabat sekalian, Eko Hadi Prasetyo, S.Sos, Adi Syahlani, S.HI, Rio Tamara, S.HI, Faisal Anwar, S.Pd.I dan Etty Herawati, S.Pd.I serta seluruh teman-teman Jurusan Jinayah Siyasah yang tidak dapat penulis sebutkan satu persatu yang sudah bersama-sama penulis, baik dalam keadaan suka maupun duka telah memberikan dorongan, semangat kepada penulis untuk menyelesaikan skripsi yang melelahkan ini. 10. Tidak lupa juga penulis ucapkan terima kasih kepada Budiman, S.Sos.I dan Imam Soeyuti, S.Sos.I yang telah membantu penulis dalam penyelesaian skripsi ini. Semoga Allah SWT membalas segala kebaikan dan do’a yang ditujukan kepada penulis dengan Rahmat dan Kasih Sayang-Nya yang berlipat ganda. Peribahasa mengatakan, “Tak Ada Gading Yang Tak Retak”, penulis sadar bahwa masih banyak kekurangan dalam skripsi ini. Untuk itu penulis mengharapkan kritik, saran serta masukan dari berbagai pihak demi sempurnanya tulisan ini. Akhirnya semoga tulisan ini dapat berguna, bermanfaat dan menambah khazanah keilmuan. Jakarta : 23 Juni 2008 M 19 Jumadil Awal 1429 H Penulis, DAFTAR ISI KATA PENGANTAR ............................................................................ i DAFTAR ISI ............................................................................................ iv BAB I : PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah ………………………………… 1 BAB II B. Pembatasan dan Perumusan Masalah …………………... 7 C. Tujuan Penelitian ……………………………………….. 8 D. Tinjauan Pustaka ……………………………………….. 9 E. Manfaat Yang Diharapkan……………………………… 15 F. Metode Kajian ………………………………………. 15 G. Sistem Matika Penulisan ………………………………... 17 : HAM, ISLAM DAN KETERTIBAN UMUM A. Konsep HAM dan Perkembangannya di Indonesia …….. 20 B. HAM dalam Sistem Perudangan di Indonesia ………….. 25 C. Negara, HAM dan Ketertiban Umum …………………… 29 D. Ketertiban Umum dalam Islam…………… ……………. 34 BAB III : PERDA TENTANG KETERTIBAN UMUM : TINJAUAN TERHADAP ISI DAN IMPLEMENTASINYA A. Latar Belakang Terbitnya Perda 11 Tahun 1988 dan Perda Nomor 8 Tahun 2007……………………..………. 37 B. Telaah Terhadap Isi Perda tentang Ketertiban Umum B.1. Perda Nomor 11 Tahun 1988………………………. 39 B.2. Perda Nomor 8 Tahun 2007 ..................................... 49 B.3. Matrik Perbandingan Isi Perda Nomor 11 Tahun 1988 dengan Perda Nomor 8 Tahun 2007........................... 60 C. Implementasi Perda Tentang Ketertiban Umum ………… 63 BAB IV : PERDA TENTANG KETERTIBAN UMUM DI DKI JAKARTA DALAM TINJAUAN ISLAM DAN HAM A. Tinjauan Islam Terhadap Perda Tentang Ketertiban Umum di DKI Jakarta............ ……………………………….... 67 B. Tinjauan HAM Terhadap Perda Tentang Ketertiban Umum di DKI Jakarta ................................................……….... 74 C. Solusi atas Masalah Isi dan Implementasi Tentang BAB V Ketertibang Umum di DKI Jakarta................................ 82 : PENUTUP A. Kesimpulan …………………………………………… 86 B. Sara-saran …………………………………………….. 89 DAFTAR PUSTAKA ………………………………………………. 90 BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Secara filosofis, salah satu tujuan dari keberadaan negara adalah melindungi hak-hak warganya dan mewujudkan serta menjaga ketertiban umum. Melalui mekanisme kontraktual, penyelenggara Negara ‘diberi’ kewenangan oleh warganya untuk membentuk aparatus negara yang bertugas melindungi hak-hak warga dan menjaga ketertiban umum. Sayangnya, di banyak negara, kewenangan untuk menjaga ketertiban umum seringkali disalahgunakan justru untuk melanggar dan menindas hak-hak warga. Dengan dalih mendahulukan kepentingan negara dan menegakkan ketertiban umum, penyelenggara Negara merasa berhak dan absah untuk melakukan penggusuran, pengusiran dan pencabutan akan hak-hak warga, termasuk hak asasi manusianya. Di sini terjadi ketidakseimbangan negara di dalam meletakkan secara proporsional kewajibannya untuk melindungi hak-hak warganya dengan kewenangannya untuk mewujudkan ketertiban umum. Padahal keduanya harus diletakkan dalam posisi yang berimbang dan proporsional. Melulu mementingkan hak warga dapat memicu anarki dan instabilitas sosial. Terlalu berpihak pada penegakan ketertiban umum rentan memunculkan tirani. Itulah sebabnya negara harus memiliki regulasi yang mengatur dua hal tersebut secara adil, berimbang dan proporsional. Sejak reformasi bergulir, Indonesia merupakan negara yang tergolong sangat progresif dalam regulasi dan ratifikasi berbagai peraturan tentang HAM. Meski demikian, tidak serta merta dapat disimpulkan bahwa Indonesia telah menjunjung tinggi nilai-nilai HAM. Berbagai kasus pelanggaran HAM berat yang terjadi pada masa lampau tak kunjung terselesaikan hingga kini. 1 Bahkan belakangan muncul berbagai kasus baru yang terindikasi kuat merupakan bentuk pelanggaran HAM yang juga semakin tidak jelas penanganannya, seperti penggusuran, penganiayaan dan perusakan properti milik warga oleh aparat negara. Celakanya, dalam banyak kasus penggusuran, perusakan dan penganiayaan, berbagai pelanggaran HAM yang dilakukan aparat negara seringkali dianggap sah karena didasarkan atas berbagai peraturan yang diduga kuat bertentangan dengan prinsip-prinsip HAM dan umumnya terbit pada era Orde Baru. Salah satu peraturan yang sampai saat ini tidak pernah sepi dari kontroversi adalah Peraturan Daerah (Perda) Nomor 11 tahun 1988 tentang Ketertiban Umum dalam Wilayah Daerah Khusus Ibu Kota Jakarta. Perda yang dibuat pada masa Gubernur Wiyogo Atmodarminto dan masih berlaku sampai saat ini, dinilai banyak kalangan bertentangan dengan prinsip-prinsip HAM yang telah diakomodasi dalam berbagai peraturan dan perundangan yang lebih tinggi dan berlaku sekarang ini.2 Perda 11/1988 selama ini selalu dijadikan dasar justifikasi oleh Pemerintah DKI Jakarta untuk melakukan ‘penertiban’ berupa 1 Diantara kasus pelanggaran HAM yang menyita perhatian public adalah penculikan para aktivis pada era Orde Baru dan kasus Trisakti, kasus Semanggi I, Kasus Semanggi II dan kasus tewasnya aktivis HAM Munir. 2 Kalangan LSM yang kritis terhadap Perda ini antara lain LBH Jakarta, LBH APIK, Elsham, dll. Selain itu, sejumlah kalangan akademisi juga prihatin dengan Perda ini, diantaranya; Prof. Dr. Saparinah Sadli, Prof. Dr. Sayogjo, Prof. Dr. Toety Herati, Ir. Marco Kusumawijaya, Prof. Dr. Franz Magnis Suseno dan banyak tokoh lagi. Keprihatinan mereka dituangkan dalam petisi Forum Keprihatinan Akademisi berjudul “Menata Kembali Hak Warga Negara”, 11 Nopember 2003. penggusuran, pengusiran dan perusakan terhadap properti warga yang dianggap tidak sesuai dengan ketentuan yang diatur di dalam Perda. Faktanya, dalam kurun enam tahun terakhir ini aktivitas ‘penertiban’ yang dilakukan aparat Pemda DKI Jakarta menunjukkan intensitas yang semakin tinggi, dengan dampak dan cakupan ‘korban’ yang semakin luas.3 Yang penting untuk dicatat adalah Pemerintah DKI Jakarta selalu menjadikan Perda Nomor 11 Tahun 1988 sebagai dasar hukum untuk melakukan semua aktivitas ‘penertiban’ tersebut di atas. Dengan alasan pemukiman berada di jalur hijau, pemukiman berada di bantara kali, pemukiman berada di bantaran rel kereta api, atau lahan usaha berada di taman dan trotoar, dengan serta merta Pemda DKI Jakarta merasa berwenang untuk menghilangkan hak warga untuk mendapatkan pekerjaan dan penghidupan yang layak yang ironisnya telah diakui dan dijamin dalam berbagai peraturan perundangan yang lebih tinggi. Upaya untuk menghapus Perda ini bukan tidak dilakukan. Berbagai kalangan LSM aktif melakukan demonstrasi menuntut agar Perda 11/1988 dicabut.4 Demikian juga telah ditempuh langkah-langkah hukum, namun hasilnya masih nihil. Terakhir, setelah gugatan citizen law suit yang dilakukan oleh gabungan Urban Poor Consortium (UPC), Lembaga Bantuan Hukum (LBH) Jakarta dan LBH APIK di tolak oleh Majelis Hakim Pengadilan Negeri Jakarta 3 Koran Tempo, 26 Januari 2007, Data detail penggusuran dan berbagai pelanggaran hak warga lihat dokumen Forum Keprihatinan Akademisi, ibid. 4 Ribuan pedagang kaki lima korban gusuran yang tergabung dalam Pedagang Kaki Lima Bersatu pada bulan Januari lalu berunjuk rasa di Balaikota DKI menuntut pencabutan Perda 11/1988. Lihat Warta Kota dan Indopos 17 Januari 2007. Pusat, Mereka kemudian berupaya melakukan judicial review terhadap Perda ini ke Mahkamah Agung, yang hasilnya sampai saat ini juga juga tidak menentu.5 Perkembangan terakhir, justru menunjukkan gejala yang semakin meresahkan kalangan LSM dan warga miskin kota. Pemerintah DKI Jakarta, mulai 1 Januari 2008 resmi memberlakukan Perda Nomor 8 tahun 2007 yang merupakan penyempurnaan terhadap Perda 11 Tahun 1988. Oleh banyak kalangan Perda baru ini dianggap lebih represif dan anti rakyat miskin kota.6 Secara faktual harus diakui bahwa persoalan penegakan ketertiban melalui Perda ini adalah masalah yang rumit. Pihak Pemerintah DKI sering berargumen, sebagai Ibu Kota dan sekaligus ‘etalase’ Negara, Jakarta dituntut untuk menghadirkan suasana yang tertib, teratur, aman, sehat, bersih dan nyaman bagi warga dan tamu-tamunya. Sehingga untuk itu, regulasi yang tepat dan penegakan hukum secara konsekwen mutlak dibutuhkan. Di sisi lain, kompleksitas persoalan yang ada di Jakarta, sejak dari himpitan ekonomi sampai keterbatasan lahan membuat banyak dari warganya tidak memiliki pilihan lain selain tinggal atau mencari nafkah di lokasi-lokasi yang menurut Perda di larang. Padahal menurut Pemda DKI, jika hal ini dibiarkan terus berlangsung, Jakarta tentu akan menjadi semakin semrawut, dan bukan tidak mungkin dapat mengganggu kepentingan dan hak-hak publik yang lebih besar.7 5 Lihat di situs www.hukumonline.com, tanggal 27 Februari 2007. Lihat, www.hukumonline.com, Perda Ketertiban Umum, Niat Baik yang Tidak Didukung Kemampuan, 6 januari 2008. 7 PKL yang berjualan di trotoar dan bahu jalan raya seringkali menjadi sumber kemacetan. Tinggal di bantara rel kereta api, bukan saja membahayakan mereka yang tinggal, melainkan juga membahayakan penumpang kereta dan mempengaruhi keawetan rel kereta, dst. 6 Secara filosofis, hakikat penghormatan dan perlindungan terhadap HAM adalah menjaga keselamatan eksistensi manusia secara utuh melalui aksi keseimbangan, yaitu keseimbangan antara hak dan kewajiban serta keseimbangan antara kepentingan perseorangan dengan kepentingan umum. Upaya menghormati, melindungi dan menjunjung tinggi HAM menjadi kewajiban dan tanggungjawab bersama antara individu, pemerintah (aparatur pemerintah baik sipil maupun militer) bahkan Negara. Jadi di dalam memenuhi dan menuntut hak, tidak terlepas dari pemenuhan kewajiban yang harus dilaksanakan. Begitu juga dalam memenuhi kepentingan perseorangan tidak boleh merusak kepentingan orang banyak (kepentingan umum). Karena itu, pemenuhan, perlindungan dan penghormatan terhadap HAM harus diikuti pemenuhan terhadap KAM (kewajiban asasi manusia) dan TAM (Tanggungjawab Asasi Manusia) dalam kehidupan pribadi, bermasyarakat dan bernegara.8 Jadi dapat disimpulkan bahwa hakikat dari HAM adalah keterpaduan antara hak, kewajiban dan tanggungjawab yang berlangsung secara sinergis dan berimbang. Bila ketiga unsur asasi yang melekat pada setiap individu manusia, baik dalam tatanan kehidupan pribadi, kemasyarakatan, kebangsaan, kenegaraan dan pergaulan global tidak berjalan secara seimbang, dapat dipastikan menimbulkan kekacauan, anarkisme dan kesewenang-wenangan dalam tata kehidupan umat manusia. Di dalam Islam, hak dan kewajiban ibarat dua sisi mata uang yang tak dapat dipisahkan. Tidak seorangpun manusia yang boleh dibiarkan menyisihkan 8 Mansour Fakih dkk, Menegakkan Keadilan dan Kemanusiaan : Pegangan Untuk Membangun Gerakan HAM, Yogyakarta : Insist Press, 2003 hal. 78 hak istimewa untuk dirinya sehingga terbebas dari kewajibannya. Hak dan kewajiban setiap pribadi warga Negara adalah sama. Hak seseorang terhadap yang lain adalah kewajiban orang lain itu, dan kewajiban seseorang terhadap orang lain adalah hak orang yang bersangkutan. Jika dikaitkan dengan masalah kekuasaan negara, menurut Nurcholis Madjid, dalam masyarakat secara minimal harus ditegakkan hak-hak yang tak terpisahkan dari perikehidupan yang sentosa. Yaitu, hak-hak pribadi untuk hidup dan memperoleh jaminan keamaan atas hidupnya; hak-hak pribadi untuk tidak disiksa baik fisik mapun mental; hak-hak pribadi untuk memperoleh pengadilan yang tidak memihak dan fair; hak-hak pribadi untuk tidak mengalami penangkapan dan penahanan sewenang-wenang.9 Pelanggaran atas hak pribadi tersebut, menurut Nurcholis, akan merupakan pelanggaran hak asasi yang paling telanjang. Pelanggaran atas hak-hak itu juga merupakan penyelewengan paling gawat dari dasar dan falsafah kenegaraan. Dan karena hak-hak itu ada dalam konteks kekuasaan, maka usaha melindungi dan menegakkannya memerlukan sistem dan tatanan kekuasaan yang adil dan tidak memihak kepada kepentingan diri sendiri dan golongan. Di dalam Al Qur’an ditegaskan bahwa menjalankan kekuasaan harus dengan tujuan menegakkan keadilan, tanpa perasaan suka atau tidak suka , dan meskipun mengenai diri sendiri, kedua orang tua maupun sanak kerabat. Quran surat Al Maidah/5:8, “Wahai sekalian orang yang beriman, jadilah kamu orang yang adil karena Allah, menjadi saksi yang adil. Dan janganlah kebencianmu kepada suatu 9 Nurcholis Madjid, Masyarakat Religius : Membumikan Nilai-Nilai Islam dalam Kehidupan Masyarakat, Jakarta : Paramadina, cet II, 2000, hal 50 golongan membuatmu tidak adil. Tegakkanlah keadilan, itulah yang lebih dekat kepada taqwa. Dan takutlah kepada Allah, sesungguhnya Allah mengetahui apapun yangkamu kerjakan”. Atas dasar fakta-fakta dan pemikiran tersebut di atas, penulis merasa penting untuk mengkaji isi Perda Nomor 11 tahun 1988 (yang meskipun tidak lagi berlaku namun penting untuk dijadikan pijakan analisis karena Perda yang baru belum dapat dilihat dampak implementasinya) dan Perda Nomor 8 Tahun 1988 dilihat dari perspektif Islam dan HAM terkhusus hak-hak sipil, ekonomi dan sosial warga. Karena jika selama ini pemerintah daerah DKI Jakarta selalu berargumen bahwa Perda ini merupakan instrument hukum yang penting bagi penegakan ketertiban umum yang sesungguhnya di dalamnya juga terkandung hak publik dan hak asasi warga, maka fakta bahwa Perda ini juga selalu menjadi dasar justifikasi hukum bagi terjadinya serangkaian penggusuran, pengusiran dan perusakan warga oleh aparat Negara menunjukkan bahwa ada yang bermasalah dari isi Perda ini sendiri. Untuk itu, telaah terhadap isi (content analysis) Perda, dikaitkan dengan Islam dan berbagai produk hukum lainnya yang mengatur tentang HAM menjadi penting untuk dilakukan. B. Pembatasan Dan Perumusan Masalah Mengingat spektrum cakupan HAM yang luas, telaah perspektif HAM terhadap Perda 11 tahun 1988 dan perda 8 Tahun 2007 akan dibatasi pada kajian isi masing-masing perda, tinjauan islam terhadap perda tibum, dan kajian khusus terhadap perda 8 tahun 2007 mengenai pasal-pasal yang akan membatasi dan atau akan mengakibatkan pelanggaran hak atas pekerjaan. Setiap pasal yang dimaksud akan dibandingkan dengan peraturan perundang-undangan yang mengatur mengenai hak atas pekerjaan. Atas dasar pembatasan tersebut di atas, maka pertanyaan dalam penelitian ini dapat dirumuskan sebagai berikut : 1. Bagaimana isi dan implementasi Perda Nomor 11 tahun 1988 tentang Ketertiban Umum Dalam Wilayah Daerah Khusus Ibu Kota Jakarta? 2. Bagaimana isi Perda Nomor 8 tahun 2007 yang merupakan revisi atas Perda Nomor 11 tahun 1988? 3. Bagaimana tinjauan Islam terhadap isi dan impelementasi dari Perda Nomor 11 Tahun 1988 dan Perda Nomor 8 tahun 2007? 4. Bagaimana isi dan kajian perda 8 tahun 2007 terhadap pasal-pasal yang akan membatasi dan/atau akan mengakibatkan pelanggaran hak atas pekerjaan.? C. Tujuan Penelitian Secara umum penelitian ini bertujuan melakukan pengayaan wacana akademis berkaitan dengan materi ketertiban umum dalam hubungannya dengan penegakan hak asasi manusia. Sedangkan secara khusus penelitian ini bertujuan: 1. Mengetahui isi dan implementasi dari Perda 11 tahun 1988 tentang Ketertiban Umum Dalam Wilayah Daerah Khusus Ibu Kota Jakarta. 2. Mengetahui isi dari Perda 8 tahun 2007 tentang Ketertiban Umum. 3. Mengetahui perspektif Islam terhadap isi dan implementasi Perda Nomor 11 Tahun 1988 tentang Ketertiban Umum Dalam Wilayah Daerah Khusus Ibu Kota Jakarta dan isi Perda Nomor 8 Tahun 2007. 4. Mengetahui perspektif HAM terhadap pasal-pasal yang membatasai dan/atau mengakibatkan pelanggaran hak atas pekerjaan. D. Tinjauan Pustaka Terdapat tiga variable utama yang akan dikaji dalam penelitian ini, yakni variable ketertiban umum yang dalam konteks ini secara konseptual-substansial dibatasi dan direpresentasikan oleh Perda 11 tahun 1988 dan Perda Nomor 8 tahun 2007, variable HAM, dan variable Islam yang dikaitkan dengan HAM dan ketertiban umum. Untuk mengetahui fokus dan posisi penelitian ini, penting untuk dijelaskan konsep-konsep tersebut dengan cara mereview literatur-literatur baik berupa buku maupun hasil penelitian sebelumnya yang berkenaan dengan Perda 11/1988 dan Perda 8/2007 , ketertiban umum, HAM dan Islam. Hasil penelusuran kami menunjukkan bahwa penelitian tentang Perda 11 tahun 1988 bukanlah yang pertama dilakukan. Pada tahun 2002, LBH APIK telah melakukan kajian terhadap Perda ini, dimana fokus kajian lebih diarahkan kepada dampak penerapan perda ini yang lebih banyak merugikan kaum perempuan dan anak-anak. 10 10 Lihat LBH-APIK, Kajian Terhadap Perda 11 tahun 1988 tentang Ketertiban Umum di Wilayah DKI Jakarta, 2005. lihat juga, LBH APIK Jakarta, “Hak Asasi Kaum Perempuan, Langkah demi Langkah”. Berdasarkan kajian LBH APIK, Penerapan Perda 11/1988 berupa penggusuran ternyata tidak hanya menyisakan penderitaan fisik dan kerugian material pada rakyat miskin, tapi lebih jauh lagi dampak psikologis yang dirasakan oleh perempuan dan anak memberikan trauma yang berkepanjangan yang hal ini tidak terpikirkan oleh Pemda DKI Jakarta. Trauma menghadapi kekerasan dari tingkah laku petugas Tramtib ketika menghancurkan rumah dan perkampungan membekas dalam ingatan anak-anak dan perempuan. Ditambah lagi dengan tidak diberinya kesempatan pada mereka menyelamatkan barangbarang menambah penderitaan ini. Anak-anak kehilangan kesempatan sekolah karena perlengkapan sekolahnya musnah terkubur puing-puing rumahnya, anak dan perempuan tidak mempunyai akses pelayanan kesehatan termasuk kesehatan reproduksi. Menurut LBH-APIK ini semua merupakan kejahatan terhadap kemanusiaan karena telah melanggar konvensi Internasional tentang Hak Asasi Manusia, Hak Anak dan Hak Perempuan. Kajian LBH-APIK juga menemukan bahwa Perda 11/88 ini juga menjadi salah satu senjata yang paling ampuh dalam melakukan penertiban bagi para perempuan prostitut baik yang berada di lokalisasi maupun yang berada di jalanan. Pada saat dilakukannya operasi penertiban itu, seringkali para perempuan prostitut tersebut mengalami kekerasan (misal dengan dikejar, dipukul atau dicekal keras-keras tangannya serta pelecehan seksual berupa kata-kata dan pandangan tak menyenangkan). Dalam penertiban terhadap perempuan prostitut ini, jelas Pemda DKI telah menempatkan perempuan prostitut sebagai kriminal atau penyakit sosial yang harus diberantas. Selain itu, usaha pemulihan atau rehabilitasi yang dilakukan Pemda juga tidak betul-betul dilakukan, dimana dana untuk panti-panti sosial dan rehabilitasi hanya sebagian kecil saja dari seluruh dana APBD. Sehingga ketika di panti rehabilitasi itu para perempuan prostitut yang terjaring operasi harusnya mendapatkan pendidikan ketrampilan serta kebutuhan hidup yang layak dan sesuai dengan keputusan berapa lama mereka harus menjalani rehabilitasi tersebut ternyata hanya mampu dilayani beberapa hari saja karena panti-panti tersebut tidak bisa menanggung biaya operasionalnya. LBH APIK juga menemukan bahwa pelanggaran ini berkaitan dengan dialihfungsikannya fasilitas umum dan fasilitas sosial untuk pembangunan yang berorientasi pada investasi. Dan yang perlu diingat dalam pelaksanaan Perda 11/88 ini, Pemerintah DKI Jakarta hanya sebatas melaksanakan saja padahal kalau memang ada niat baik dari Pemerintah harus ada penyediaan layanan umum dan fasilitas-fasilitas pendukung lainnya. Tapi itu tidak dilakukan oleh Pemda DKI Jakarta. Pada variable Islam dan HAM terdapat cukup banyak literatur baik berupa buku maupun hasil riset yang dapat dijadikan titik pijak dan alat bantu peneliti dalam mengkaji tema penelitian ini. Literatur dalam bentuk buku yang mengulas tentang Islam dan HAM antara lain buku Tengku Muhammad Hasbie As Shiddiqi yang berjudul, Islam dan HAM.11 Bukan hanya memberikan tinjauan filosofis seputar posisi HAM dalam perspektif Islam, buku ini juga mengutip nilai-nlai dasar HAM yang telah diletakkan oleh Nabi. Buku ini juga mengulas komponen11 Lihat, Teungku Muhammad Hasbi As Shiddiqi, “Islam dan HAM”, Semarang : Pustaka Rizqi Utama, 1999. komponen HAM yang dicantumkan di dalam Deklarasi Cairo yang kemudian sering dijadikan dasar oleh kalangan masyarakat Muslim untuk menyatakan bahwa Islam bukan hanya kompatibel dengan HAM, bahkan memberi perhatian yang sangat besar kepada HAM. Hal itu ditunjukkan dengan justifikasi ayat-ayat al Quran yang terkait dengan HAM di dalam Deklarasi ini. Buku-buku lain yang membahas tentang Islam dan HAM antara lain, Hak Asasi Manusia dalam Islam, yang merupakan terjemahan karya Abu A’la Al Maududi, buku Islam dan HAM karya Tengku Muhammad hasby As Shiddiqy, buku Hak Asasi Manusia dalam Islam karya Harun Nasution dan Bahtiar Effendi, dan lain-lain. Selain buku-buku, literatur tentang HAM dan Islam dalam bentuk makalah atau artikel yang merupakan hasil riset juga cukup banyak tersedia. Misalnya hasil riset Ahmad Ali Nurdin yang berjudul Islam dan HAM. Makalah ini berusaha menelaah dua isu pokok. Pertama, kontroversi apakah HAM harus dipahami sebagai prinsip universal yang bisa diterapkan bagi seluruh umat manusia atau hanya dipandang sebagai nilai esensial yang dibentuk oleh suatu negara yang hanya berlaku bagi negara tertentu. Kedua, hubungan Universal Declaration of Human Rights di satu sisi dan nilai-nilai universal Islam di sisi lain, adakah kontradiksi atau konflik nilai di dalamnya. Dalam membahas hubungan Islam dan HAM, Nurdin menemukan bahwa cendekiawan Muslim yang konsen terhadap isu relativisme budaya dan HAM secara garis besar terbagi kepada dua kelompok. Afshari sebagaimana dikutip Nurdin menyebutnya sebagai kelompok old-traditionalist dan new-traditionalist, sementara Bielefeldt menyebut mereka sebagai kelompok konservatif dan liberal. Kelompok konservatif menolak untuk memaksakan standar Barat diterapkan pada masalah-masalah publik masyarakat Muslim. Bagi mereka, urusan publik dalam masyarakat Islam telah diatur secara jelas oleh norma agama. Bagi kelompok ini, universalitas HAM yang dipromosikan oleh PBB dan negara-negara Barat adalah ancaman bagi kelangsungan hidup masyarakat Muslim. Meskipun demikian, kelompok ini tidak serta-merta menolak seluruh konsep tentang HAM yang ditawarkan Barat, mereka menawarkan solusi dengan penekanan pada perlunya masyarakat Islam merumuskan konsep HAM dengan framework yang islami. Kelompok liberal di pihak lain telah jauh melangkah dengan mencoba menafsirkan teks-teks sakral agama dengan cara mengembangkan metodologi penafsiran baru. Bagi kelompok ini diperlukan reinterpretasi baru atas nilai-nilai Islam untuk memenuhi tuntunan norma global. Ahmed An-Naim, seorang cendekiawan hukum Islam yang konsen dengan HAM, kutip Nurdin, mengatakan bahwa secara substantif nilai-nilai Islam sangat mendukung dan sejalan dengan norma legal HAM yang dikembangkan Barat jika nilai-nilai Islam ditafsirkan secara akurat. Untuk mendukung pernyataannya, Naim menunjuk elastisitas Islam yang memiliki kafabilitas tinggi dalam mengakomodasi variasi interpretasi teks. Lebih jauh, kaum liberal Muslim memandang bahwa tidak ada kontradiksi yang prinsipil antara nilai-nilai Islam dan standard HAM internasional yang dikembangkan PBB. Ide-ide Al Quran tentang tingginya martabat manusia, perlunya solidaritas kemanusiaan bahkan tidak adanya pemaksaan dalam beragama menunjukkan bahwa Islam sangat menghargai HAM. Menurut Nurdin, sampai sekarang, kontroversi antara kaum konservatif dan liberal Muslim tentang hubungan antara Islam dan HAM masih belum berakhir. Namun, untuk menyinergikan dan membangun suatu konsep tentang HAM dengan framework islami, seperti ditekankan kaum konservatif, masyarakat Muslim telah berhasil menyusun dua deklarasi tentang HAM: The Universal Islamic Declaration of Human Rights yang dirumuskan oleh Islamic-Council Eropa pada tahun 1981 dan Cairo Declaration of Human Rights in Islam yang diadopsi oleh Organisasi Konferensi Islam pada Agustus 1991 sebagai acuan HAM dalam Islam.12 Berdasarkan penelusuran sementara terhadap literatur yang tersedia terlihat bahwa pengkajian terhadap Perda Nomor 8 Tahun 1988 meskipun telah pernah dilakukan sebelumnya, namun kajian tersebut –meskipun juga menyinggung HAM- masih dalam kacamata yang sangat spesifik pada aspek HAM perempuan dan anak-anak. Demikian pula, kajian tentang Islam dan HAM juga telah banyak dilakukan oleh para Ahli, namun mengaitkan Islam dan HAM denan ketertiban umum yang secara praktis sering memicu terjadinya benturan 12 Lihat, Ahmad Ali Nurdin, Islam dan Hak Asasi Manusia, paper untuk Post Graduate Student University of New England-Australia. nilai, belum –atau belum banyak- di kaji orang. Untuk mengisi ‘kekosongan’ itulah fokus kajian penelitian ini diarahkan. E. Manfaat Yang Diharapkan Penelitian ini diharapkan akan memberikan kontribusi positif dalam pengembangan wacana bidang ketertiban umum dan HAM. Secara lebih spesifik, penelitian ini mempunyai dua manfaat berikut : 1. Manfaat Akademis Secara akademis, penelitian ini diharapkan berkontribusi menambah khazanah ilmu dalam lapangan hukum, khususnya hukum Islam dan hukum Hak Asasi Manusia berkait dengan penegakan ketertiban umum oleh Negara. 2. Manfaat Praktis Secara praktis, hasil penelitian ini diharapkan dapat dimanfaatkan oleh pemerintah daerah dan DPRD dalam rangka revisi dan penyempurnaan terhadap Perda Nomor 8 Tahun 2007 yang saat ini sedang menjalani proses evaluasi di Kementerian dalam Negeri. F. Metode Kajian 1. Sifat dan Pendekatan Penelitian ini merupakan library research yang bersifat deskriptif-analitis, dengan berupaya menggali, memaparkan dan menganalisa data-data berupa pasalpasal yang menjadi isi dan substansi Perda nomor 11 tahun 1998 dan Perda 8 Tahun 2007 untuk kemudian ditelaah secara kritis, dikaitkan dengan perspektif Islam tentang HAM dan peraturan perundang-undangan tentang HAM yang berlaku, dalam konteks ini dibatasai pada Undang-undang Nomor 11 Tahun 2005 dan Undang-undang Nomor 12 Tahun 2005. Pendekatan penelitian menggunakan pendekatan kualitatif.13 2. Pengumpulan Data Data di dalam kajian ini terdiri dari dua macam, yaitu data primer dan data sekunder. Data primer merupakan dokumen-dokumen pokok yang akan dijadikan objek kajian, yang meliputi; Peraturan Daerah DKI Jakarta Nomor 11 tahun 1988 tentang Ketertiban Umum, Undang-undang Nomor 11 Tahun 2005 Tentang Pengesahan Kovenan Internasional Tentang Hak-hak Ekonomi, Sosial dan Budaya, dan UU Nomor 12 Tahun 2005 Tentang Pengesahan Kovenan Internasional Tentang Hak-hak Sipil dan Politik. Sedangkan data sekunder merupakan data-data pendukung yang terkait dengan tema kajian, baik pada tataran teoritis, maupun data-data praktis berupa fakta-fakta dari implementasi Perda Nomor 11 tahun 1988. Data sekunder berupa buku-buku, laporan penelitian, pemberitaan di koran dan majalah, artikel serta dokumen-dokumen lain yang relevan. Pengumpulan data, baik primer maupun sekunder dilakukan melalui studi dokumen 3. Teknik Analisa Data Teknik analisa menggunakan content analysis. Teknik ini ini diawali dengan mengkompilasi dan menelaah berbagai perspektif Islam tentang HAM dan Undang-undang Nomor 11 tahun 2005 serta Undang-undang Nomor 12 tahun 13 Lihat, Suharsimi Arikonto, “Manajemen Penelitian”, Jakarta : Rineka Cipta, Cetakan Kelima tahun 2000. 2005, yang akan digunakan sebagai dasar untuk menganalisa Perda 11 tahun 1988. Selanjutnya dari kumpulan perundang-undangan tersebut dikaji konten isinya, baik terkait kata-kata (words), makna (meanings), simbol, ide, tema-tema dan pelbagai pesan lainnya yang disampaikan oleh perundang-undangan dimaksud. Unit analisa perundang-undangan mencakup beberapa aspek penting, yaitu hak mendapat penghidupan yang layak, hak kebebasan untuk mengeluarkan pendapat, hak untuk hidup, hak mengembangkan diri, hak memperoleh keadilan, hak atas rasa aman, hak atas kesejahteraan serta hak atas kebebasan pribadi (UUD 1945 dan UU Nomor 39 tahun 1999). Berdasarkan mesing-masing aspek tersebut Perda 11 Tahun 1988 kemudian ditelaah, dikritisi, dikomparasi, diuji, dan disimpulkan berdasarkan karakteristik term masing-masing teks perundang- undangan.14 G. Sistematika Penulisan Untuk memudahkan pembahasan, penulisan hasil penelitian ini akan disistematisasi dalam lima bab dengan sistematika bahasan sebagai berikut : Bab I : Pendahuluan Bab ini membahas latar belakang masalah, pembatasan dan pertanyaan penelitian, tujuan dan kegunaan penelitian, tinjauan pustaka, metode penelitian yang digunakan dan sistematika penulisan. Bab II : Islam, HAM dan Ketertiban Umum 14 Lihat, Mattew B Miles & A. Michael Huberman, “Analisis Data Kualitatif : Buku Sumber Tentang Metode-Metode Baru”, Jakarta : UI Press, cetakan pertama, tahun 1992. Bab ini akan membahas teori-teori tentang hak asasi manusia, hak asasi manusia dalam sistem perundangan di Indonesia dan peran negara terhadap penegakan HAM dan ketertiban umum dan perspektif Islam ketertiban umum. Bab III : Perda Nomor 11 Tahun 1988 dan Perda Nomor 8 tahun 2007: Tinjauan Terhadap Isi dan Implementasinya Di dalam bab ini akan dibahas tiga sub tema. Pertama-tama akan diulas latar belakang munculnya Perda Nomor 11 tahun 1988 dan Perda Nomor 8 tahun 2007 berikut kondisi sosial Jakarta yang turut melatari terbitnya Perda ini. Selanjutnya ditelaah isi Perda berikut implementasinya. Bab IV: Perda Nomor 11 tahun 1988 dan Perda Nomor 8 Tahun 2007 dalam Tinjauan Islam dan HAM Bab ini akan membahas Perda 11 Tahun 1988 dan Perda Nomor 8 Tahun 2007 dalam perspektif Islam dan HAM. Perspektif HAM yang akan digunakan adalah Undang-undang yang merupakan ratifikasi terhadap dua kovenan internasional, yakni; Undang-undang Nomor 11 Tahun 2005 Tentang Pengesahan Kovenan Internasional Tentang Hak-hak Ekonomi, Sosial dan Budaya, dan UU Nomor 12 Tahun 2005 Tentang Pengesahan Kovenan Internasional Tentang Hak-hak Sipil dan Politik. Dan mengkaji pasal-pasal pada perda no 8 tahun 2007 yang akan membatasai dan/atau akan mengakibatkan pelanggaran hak atas pekerjaan. Bab V : Kesimpulan dan Saran Bab ini menyimpulkan hasil penelitian dan merumuskan sejumlah saran bagi perbaikan ke depan. BAB II HAM, ISLAM DAN KETERTIBAN UMUM A. Konsep Ham Dan Perkembangannya Di Indonesia Apa yang disebut hak-hak asasi manusia adalah konsep yang mempunyai riwayat yang panjang, terolah dan tersempurnakan dalam sejarah sosial politik bangsa-bangsa di dunia. Jika kini konsep dan masalah-masalah HAM telah menjadi wacana global, harus diakui bahwa menilik riwayatnya, konsep ini berkecambah dan berkembang di negara-negara barat. Secara konseptual, HAM didefinisikan secara beragam. Menurut Jan Matterson, sebagaimana dikutip Baharudin Lopa, HAM adalah hak-hak yang melekat pada setiap manusia, yang tanpanya manusia mustahil dapat hidup sebagai manusia.15 Menurut John Locke, seperti terdapat dalam buku Masyhur Effendi, hak asasi manusia adalah hak-hak yang diberikan langsung oleh Tuhan Yang Maha Pencipta sebagai hak yang kodrati, yang karenanya tidak ada kekuasaan apapun di dunia dapat mencabutnya.16 Sedangkan di dalam Undangundang Nomor 39 Tahun 1999 tentang HAM pasal 1 disebutkan bahwa, “Hak Asasi Manusia (HAM) adalah seperangkat hak yang melekat pada hakikat dan keberadaan manusia sebagai makhluk Tuhan Yang Maha Esa dan merupakan anugerah-Nya yang wajib dihormati, dijunjung tinggi, dan dilindungi oleh negara, hokum, pemerintah dan setiap orang demi kehormatan serta perlindungan harkat dan martabat manusia”. 15 Masyhur Effendi, Dimensi dan Dinamika Hak Asasi Manusia Dalam Hukum Nasional dan Internasional, Jakarta : Ghalia Indonesia, 1994, hal. 17 16 Ibid. Menurut Soetandyo Wignjosoebroto HAM -lebih tepat disebut hak-hak manusia (human rights)17 saja- adalah hak-hak yang (seharusnya) diakui secara universal sebagai hak-hak yang melekat pada manusia karena hakekat dan kodrat kelahiran manusia itu sebagai manusia. Dikatakan ‘universal’ karena hak-hak itu dinyatakan sebagai bagian dari kemanusiaan setiap sosok manusia, tak peduli apapun warna kulitnya, jenis kelaminnya, usianya, latar belakang kultural dan agama atau kepercayaannya. Sementara dikatakan ‘melekat’ atau ‘inheren’ karena hak-hak itu dimiliki siapapun manusia karena kodrat kelahirannya sebagai manusia dan bukan karena pemberian suatu organisasi atau kekuasaan manapun. Karena dikatakan ‘melekat’ inilah, maka hak-hak ini tidak sesaatpun dapat dicabut atau dirampas.18 Menurut Soetandjo, pengakuan atas adanya hak-hak manusia yang asasi memberikan jaminan – secara moral maupun demi hukum - kepada setiap manusia untuk menikmati kebebasan dari segala bentuk perhambaan, penindasan, perampasan, penganiayaan atau perlakuan apapun lainnya yang menyebabkan manusia itu tak dapat hidup secara layak sebagai manusia. Berabad-abad lamanya manusia dalam jumlah missal hidup tanpa pengakuan atas hak-haknya. Jutaan manusia dalam sejarah hidup dalam kedudukannya yang rendah sebagai hambahamba. Banyak pula yang harus hidup sebagai tawanan yang dapat diperjual belikan oleh para majikannya. Dalam keadaan seperti itu, berabad-abad lamanya 17 Sebelum istilah ‘human rights’ pada mulanya Barat menggunakan istilah ‘right of man’ yang menggantikan istilah ‘natural right’. Istilah ‘right of man’ ternyata tidak secara otomatis mengakomodasi ‘right of woman’. Karenanya istilah itu kemudian diganti oleh Eleanor Roosevelt dengan istilah ‘human rights’ yang dipandang lebih netral dan universal. 18 Soetandjo Wignjosoebroto, Hak Asasi Manusia : Konsep Dasar dan Perkembangan Pengertiannya Dari Masa ke Masa, Jakarta : ELSAM, 2005. hal. 2 manusia dalam jumlah massal harus hidup dalam kondisi yang amat tak bermartabat, tak mempunyai harta milik sebagai bekal hidup yang layak, dan bahkan tidak memiliki diri dan kepribadiannya sendiri.19 Berdasarkan beberapa rumusan HAM di atas, dapat ditarik kesimpulan beberapa cirri pokok dari HAM, yakni; 1). HAM tidak data diberikan, dibeli maupun diwarisi. HAM merupakan bagian dari manusia secara otomatis; 2). HAM berlaku untuk semua orang tanpa memandang jenis kelamin, ras, agama, etnis, pandangan politik dan asal-usul sosial dan bangsa; 3). HAM tidak bias dilanggar. Tidak seorangpun mempunyai hak untuk membatasi atau melanggar hak orang lain. Orang tetap mempunyai HAM walaupun sebuah negara membuat hukum yang tidak melindungi atau melanggar HAM. Bagir Manan membagi perkembangan pemahaman HAM di Indonesia dalam dua periode, yaitu periode sebelum kemerdekaan dan periode paska kemerdekaan. Pemikiran HAM pra-kemerdekaan mulai bersemai dalam organisasi-organisasi pergerakan seperti Boedi Oetomo, Perhimpunan Indonesia, Syarekat Islam, Partai Komunis Indonesia, Indische Partij, Partai Nasional Indonesia dan perdebatan dalam BPUPKI. Pada masa ini, pemikiran tentang HAM di dominasi oleh gagasan-gagasan tentang hak untuk berserikat dan mengeluarkan pendapat, hak untuk menentukan nasib sendiri (the right of selfdetermination), hak untuk memperoleh penghidupan yang layak dan bebas dari penindasan dan diskriminasi rasial, hak sosial untuk mengakses alat produksi, 19 Ibid. hak mendapatkan perlakuan yang sama dan kemerdekaan, hak persamaan dimuka hukum dan hak mengeluarkan pikiran dengan lisan dan tulisan.20 Setelah merdeka, pada masa-masa awal kemerdekaan gagasan tentang HAM masih lebih terfokus pada hak untuk merdeka, hak kebebasan untuk berserikat melalui organisasi politik, serta hak untuk menyampaikan pendapat terutama di parlemen. Pada masa ini, pemikiran tentang HAM telah mendapatkan legitimasi formal dalam UUD 1945. Pemikiran tentang HAM semakin berkembang ketika demokrasi parlementer diterapkan pada 1950-1959. Dalam istilah Bagir Manan, pemikiran dan aktualisasi HAM pada periode ini mengalami “pasang” dan menikmati “bulan madu” kebebasan. Namun hal ini tidak berlangsung lama, setelah Presiden Soekarno mengeluarkan dekrit 5 Juli 1959 yang diikuti dengan kebijakan restriktif (pembatasan yang ketat oleh kekuasaan) terhadap hak sipil dan politik warga, HAM layu dengan seketika sampai masa kekuasaan Soekarno berakhir pada 1966 dan lahirnya Orde Baru.21 Pada masa-masa awal pemerintahan Orde Baru, muncul gejala di kalangan parlemen untuk kembali menyuburkan pemikirn tentang HAM. MPRS melalui Panitia Ad Hoc IV menyiapkan rumusan yang akan dituangkan dalam piagam tentang hak-hak asasi manusia dan hak-hak serta kewajiban warga negara. Namun niat ini tidak pernah tercapai. Seiring dengan semakin kuatnya konsolidasi kekuasaan oleh Soeharto, atas nama stabilitas politik dan pembangunan ekonomi, pemerintah sejak awal tahun 1970-an mulai menerapkan kebijakan yang bersifat defensive dan represif yang dicerminkan oleh produk hukum yang umumnya 20 Lebih lengkap lihat Bagir Manan, Perkembangan Pemikiran dan Pengaturan Hak Asasi Manusia di Indonesia, Bandung : PT. Alumni, 2001. 21 Ibid restriktif terhadap HAM. Meski demikian, dalam situasi yang restriktif, pemikiran tentang HAM justru tumbuh subur di kalangan LSM dan akademisi yang terus bergerak membentuk jejaring dan lobi-lobi internasional.22 Upaya yang dilakukan oleh kalangan LSM dan akademisi mulai menampakkan hasil pada periode 1990-an ketika pemerintah mulai menggeser kebijakan yang defensive dan represif terhadap HAM menjadi kebijakan yang lebih akomodatif terhadap tuntutan penegakan HAM. Bentuk paling nyata sikap akomodatif pemerintah adalah dibentuknya Komisi Nasional Hak Asasi Manusia (Komnas HAM) berdasar Kepres Nomor 50 tahun 1993. Meski upaya penegakan HAM pada masa ini oleh banyak pihak dinilai masih setengah hati, namun hal penting yang patut dicatat menurut Manan adalah sikap akomodatif pemerintah terhadap HAM juga menggeser paradigma pemerintah terhadap HAM yang partikularistik menjadi universalistik. Berakhirnya kekuasaan Orde Baru pada 1998 memberi dampak yang besar pada upaya pemajuan dan penegakan HAM di Indonesia. Era keterbukaan telah memungkinkan berbagai elemen bangsa untuk melakukan pengkajian terhadap berbagai kebijakan pemerintah Orde Baru yang berlawanan dengan pemajuan dan perlindungan HAM. Untuk selanjutnya dilakukan penyusunan peraturan perundang-undangan yang berkaitan dengan penegakan HAM. Masa pemerintahan Habibie merupakan periode awal yang cukup siginifikan bagi perkembangan dan pemajuan HAM di Indonesia. Pada masa ini, TAP MPR Nomor XVII/MPR/1998 tentang HAM disahkan, dan sejumlah konvensi tentang 22 Ibid HAM diratifikasi, antara lain; Konvensi Menentang Penyiksaan dan Perlakuan Kejam lainnya dengan UU Nomor 5 Tahun 1998; Konvensi Penghapusan Segala Bentuk Diskriminasi Rasial dengan UU Nomor 29 Tahun 1998; Konvensi ILO Nomor 87 tentang Kebebasan Berserikat dan Perlindungan untuk Berorganisasi dengan Kepres Nomor 83 tahun 1998; dan lain-lain.23 Saat ini, Indonesia menjadi salah satu negara yang paling progresif menerbitkan berbagai peraturan perundangan dan meratifikasi konvensi tentang HAM. Dikukuhkannya Makarim Wibisono sebagai Ketua Komisi HAM PBB beberapa waktu lalu menunjukkan pengakuan dunia akan keseriusan pemerintah Indonesia dalam menegakkan HAM. B. Ham Dalam Sistem Perundangan Di Indonesia Secara legal formal, dalam kurun satu dasawarsa terakhir, Indonesia mengalami perkembangan yang cukup signifikan dalam hal legalisasi berbagai peraturan dan perundangan yang terkait dengan penegakan HAM. Hal tersebut tidak lepas dari akibat pergantian rezim pemerintahan pada tahun 1998 yang dengan cepat membangkitkan kesadaran berbagai kalangan masyarakat akan pentingnya penegakan HAM melalui berbagai regulasi. Euforia reformasi dan tekanan politik yang kuat dari berbagai elemen pro-demokrasi mencatatkan masamasa awal era reformasi pada 1998-1999 sebagai saat paling penting dalam perkembangan legalisasi HAM di Indonesia. Pada kurun ini dihasilkan berbagai produk perundang-undangan yang mengadopsi ataupun meratifikasi instrument 23 Suparman Marzuki & Sobirin Malian, Pendidikan Kewarganegaraan dan HAM, Yogyakarta : UII Press, 2002, hal 67. HAM internasional dalam berbagai UU, TAP MPR, Peraturan Pemerintah maupun Keputusan Presiden. Beberapa produk perundangan tentang HAM yang dihasilkan pada masa ini antara lain; TAP MPR Nomor XVII tahun 1998 tentang Pandangan dan Sikap Bangsa Indonesia Terhadap HAM dan Piagam HAM Nasional; UU Nomor 5 tahun 1998 tentang Ratifikasi Konvensi Anti Penyiksaan, Perlakuan dan Penghukuman yang Kejam, Tidak Manusiawi dan Merendahkan Martabat; UU Nomor 9 tahun 1998 tentang Kebebasan Menyatakan Pendapat; UU Nomor 26 Tahun 1999 tentang Pencabutan UU Nomor 11 tahun 1963 tentang Tindak Pidana Subversi; UU Nomor 29 tahun 1999 tentang Ratifikasi Konvensi Penghapusan Segala Bentuk Diskriminasi dan yang paling penting adalah UU Nomor 39 Tahun 1999 tentang Hak Asasi Manusia yang dilanjutkan dengan UU Nomor 26 Tahun 2000 tentang Pengadilan HAM.24 Selain di tingkat TAP MPR dan Undang-undang, regulasi tentang HAM juga telah diakomodasi dalam berbagai Peraturan Pemerintah dan Keputusan Presiden. Misalnya; Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang (Perpu) Nomor 1 tahun 1999 tentang Pengadilan HAM; Keputusan Presiden (Kepres) Nomor 129 Tahun 1998 tentang Rencana Aksi Nasional Hak Asasi Manusia tahun 1998-2003, yang memuat rencana ratifikasi berbagai instrument hak asasi manusia Perserikatan Bangsa-bangsa serta tindak lanjutnya; Kepres Nomor 31 tahun 2001 tentang Pembentukan Pengadilan HAM pada Pengadilan Negeri Jakarta Pusat, Pengadilan Negeri Surabaya, dan Pengadilan Negeri Makasar; dan 24 Ibid. Kepres Nomor 181 Tahun 1998 tentang Komisi Nasional Anti kekerasan Terhadap Perempuan.25 Terakhir, melalui UU Nomor 11 dan UU Nomor 12 Tahun 2005, Indonesia meratifikasi dua kovenan penting tentang HAM. UU Nomor 11 tahun 2005 meratifikasi International Covenant on Economic, Social and Cultural Rights, dan UU Nomor 12 Tahun 2005 mengesahkan International Covenant on Civil and Political Rights. Dengan adanya kedua undang-undang tersebut di atas, maka Indonesia telah melengkapi penerimaan atas Undang-undang Internasional Hak Asasi Manusia, yang telah dilakukan sebelumnya. Karenanya, Indonesia perlu mempunyai komitmen yang kuat untuk melaksanakan isi dari ketiga undang-undang tersebut di atas, terutama isi yang terdapat di dalam Kovenan Internasional tentang Hak Ekonomi, Sosial dan Budaya, dan Kovenan Internasional tentang Hak Sipil dan Politik. Komitmen yang kuat tersebut, tidak hanya berupa penegakan hukum, tetapi juga pembenahan hukum yang mendukung penegakan hukum atau penegakan kovenan-kovenan tersebut. Penegakan hukum dan pembenahan hukum yang mendukung penegakan hukum atau penegakan kovenan-kovenan tersebut, merupakan arti penting dari ratifikasi dua kovenan HAM tersebut. Pembenahan hukum juga diartikan sebagai menyesuaikan atau mengharmonisasikan peraturan perundang-undangan yang telah mengatur mengenai HAM, mulai dari tingkat undang-undang hingga peraturan di bawah nya, dengan kovenan-kovenan tersebut.26 25 Ibid, hal. 69 Lihat release Komisi Hukum Nasional, 17 Maret 2006, “Arti Pengesahan Dua Kovenan HAM bagi Penegakan Hukum” 26 Ada beberapa poin penting yang secara mutatis terdapat dalam kedua kovenan tersebut dan hak-hak khusus dalam bidang sipil dan politik, serta ekonomi, sosial, dan budaya, yaitu; Pertama, kewajiban pihak negara untuk mengambil langkah-langkah bagi tercapainya secara bertahap perwujudan hakhak yang diakui dalam kovenan, memastikan pelaksanaan hak-hak itu tanpa diskriminasi apapun yang berkenaan dengan ras, warna kulit, jenis kelamin, agama, bahasa, pandangan politik atau pandangan lain, asal usul kebangsaan atau sosial, hak milik, status kelahiran atau status lainnya; Kedua. Persamaan hak antara laki-laki dan perempuan; Ketiga, Tidak ada satu ketentuan pun dalam Kovenan ini yang dapat ditafsirkan sebagai memberi hak kepada negara, kelompok, atau seseorang untuk melibatkan diri dalam kegiatan yang bertujuan menghancurkan hak atau kebebasan manapun yang diakui dalam Kovenan ini. Keempat, Khusus di bidang sipil dan politik setiap manusia mempunyai hak melekat untuk hidup, bahwa hak ini dilindungi oleh hukum, dan bahwa tidak seorangpun dapat dirampas hak hidupnya secara sewenang-wewenang sebagaimana bunyi pasal 6. Tidak seorangpun boleh dikenai siksaan, atau perlakuan, atau penghukuman yang kejam, tidak manusiawi, atau merendahkan martabat dilanjutkan dalam pasal 7. Tidak seorangpun boleh diperbudak, bahwa perbudakan dan perdagangan budak dilarang, dan bahwa tidak seorangpun boleh diperhamba, atau diharuskan melakukan kerja paksa atau kerja wajib diperkuat dalam pasal 8. Tidak seorangpun boleh ditangkap atau ditahan secara sewenangwenang ditegaskan dalam pasal 10. Tidak seorangpun boleh dipenjarakan hanya atas dasar ketidakmampuannya memenuhi kewajiban kontraktualnya bunyi pasal 11. Kelima, Khusus di bidang, ekonomi, sosial, dan budaya, setiap manusia dijamin haknya atas pekerjaan, pasal 6. Hak untuk menikmati kondisi kerja yang adil dan menyenangkan, pasal 7. Hak untuk membentuk dan ikut serikat buruh, pasal 8. Hak atas jaminan sosial, termasuk asuransi sosial, pasal 9. Hak atas perlindungan dan bantuan seluas mungkin bagi keluarga, ibu, dan anak, dan orang muda, pasal 10. Hak atas standar hidup yang memadai, pasal 11. Hak untuk menikmati standar kesehatan fisik dan mental yang tertinggi yang dapat dicapai, pasal 12. Hak atas pendidikan, pasal 13 dan 14. Hak untuk ikut serta dalam kehidupan budaya, pasal 15.27 C. Negara, Ham Dan Ketertiban Umum Mendiskusikan peran negara dalam penegakan HAM dan ketertiban umum harus kembali pada perdebatan seputar posisi dan hakikat hubungan kekuasaan dengan warga negaranya. Teori dan filsafat tentang terbentuknya negara sebagai pihak yang menerima delegasi wewenang dari rakyat untuk mengatur kehidupan masyarakat dan sekaligus juga kewajiban untuk menjamin dan melindungi hakhaknya dapat dijadikan pijakan untuk memahami persoalan ini. Konsep tentang hubungan negara, HAM dan ketertiban umum berkembang tatkala sejumlah pemikir Eropa Barat yang tercerahkan pada paruh kedua abad 18 mulai mempertanyakan keabsahan kekuasaan dan monarkhi yang absolut berikut wawasan tradisionalnya amat diskriminatif dan memperbudak. 27 Selengkapnya lihat UU Nomor 11 Tahun 2005 dan UU Nomor 12 Tahun 2005 Ketika gagasan-gagasan baru tersebut semakin berpengaruh luas dan menguat, cita-cita kebebasan dan egalitarianisme menjadi tak terbendung lagi. Komunitaskomunitas warga sebangsa diorganisir dalam wujud institusi politik baru yang memproklamasikan diri sebagai negara republik yang demokratik. Di dalam sistem kenegaraan yang baru, rakyat dapat berartikulasi untuk menuntut pengakuan atas statusnya yang baru sebagai warga pengemban hak kodrati, atas dasar gagasan bahwa kekuasaan kolektif mereka adalah sesungguhnya suara Tuhan. Vox populi, vox dei. Penguasa tidak lagi memiliki kekuasaan tak terbatas yang diklaim sebagai representasi kekuasaan Tuhan, melainkan dibatasi oleh dan berdasarkan perjanjian dengan rakyat. Inilah yang oleh Rousseau disebut sebagai kontrak sosial. Di dalam kontrak sosial itu, apparatur negara menerima delegasi wewenang rakyat untuk mengatrur dan menciptakan ketertiban diantara warga masyarakat, termasuk menjatuhkan punishment kepada warga yang melanggar perjanjian bersama dan pada saat bersamaan juga berkewajiban melindungi hakhak warganya tanpa terkecuali.28 Berdasarkan paradigma ini, menjadi jelas negaralah yang bertanggungjawab menjaga dan menjamin HAM setiap warga terpenuhi. Bukan hanya menjaga, negara juga mempunyai tanggungjawab dan kewajiban untuk menegakkan (respection), memajukan (promotion), melindungi (protection), dan memenuhi (fulfill) HAM. Itulah sebabnya adalah kewajiban negara juga untuk memfasilitasi penyelenggaraan pendidikan HAM bagi rakyatnya. Negara yang tidak memfasilitasi rakyat melalui pendidikan HAM berarti negara telah 28 Soetandjo, op.cit, hal. 4 mengabaikan amanat rakyat. Oleh karena itu, deklarasi PBB tentang HAM yang dikenal dengan Piagam HAM Dunia, Beberapa Kovenan, Hukum Perjanjian Internasional, Piagam Madinah, Deklarasi Kairo dan sebagainya harus diletakkan sebagai norma hukum internasional yang mengatur bagaimana negara-negara di dunia menjamin hak-hak individualnya. Dalam perkembangan pengkajian tentang HAM, dikenal dua jenis HAM, yakni hak asasi manusia yang tidak dapat dikurangi dalam kondisi apapun (nonderogable rights) dan hak asasi yang dapat dibatasi oleh negara dengan alasan dan tujuan tertentu. Di dalam konstitusi kita, hak-hak asasi yang tidak dapat dikurangi dalam keadaan apapun dan oleh siapapun (derogable rights) diatur dalam pasal 4 UU Nomor 39 Tahun 1999. Hak-hak tersebut adalah; hak untuk hidup, hak untuk tidak disiksa, hak kemerdekaan pikiran dan hati nurani, hak beragama, hak untuk tidak diperbudak, hak untuk diakui sebagai pribadi dihadapan hukum, dan hak untuk tidak dituntut atas dasar hukum yang berlaku surut.29 Terkait dengan hak yang tidak termasuk dalam non-derogable rights, konstitusi kita menyatakan diperbolehkannya pembatasan dan pengurangan hakhak dalam kondisi tertentu. Hal tersebut diatur dalam UUD 1945 Perubahan Kedua Pasal 28 J yang menyatakan : (1) Setiap orang wajib menghormati hak asasi manusia orang lain dalam tertib kehidupan bermasyarakat, berbangsa dan bernegara. (2) Dalam menjalankan hak dan kebebasanya, setiap orang wajib tunduk pada pembatasan yang ditetapkan dengan Undang-undang engan maksud semata-mata untuk menjamin pengakuan serta penghormatan atas hak dan kebebasan orang lain dan untuk memenuhi tuntutan yang adil sesuai 29 Lihat Undang-undang Nomor 39 Tahun 1999 tentang Hak Asasi Manusia, pasal 4. dengan pertimbangan moral, nilai-nilai agama, keamanan, dan ketertiban umum dalam suatu masyarakat demokratis. Lebih lanjut, UU Nomor 39 Tahun 1999 menyatakan bahwa kebebasan dan HAM hanya bisa diatur oleh dan berdasarkan undang-undang, semata-mata untuk menjamin pengakuan dan penghormatan terhadap HAM serta kebebasan dasar orang lain, kesusilaan, ketertiban umum dan kepentingan bangsa.30 Lebih terperinci, Kovenan Internasional Hak Sipil dan Politik dan Kovenan Internasional Ekonomi, Sosial dan Budaya menetapkan beberapa klausul pembatasan terhadap HAM sebagai berikut; diatur berdasarkan hukum (prescribed by law/conformity with the law), dalam masyarakat yang demokratis (in a democratic society), ketertiban umum (public order/ordre public), kesehatan publik (public health), moral publik (public moral), keamanan nasional (national security) dan keamanan publik (public safety), hak dan kebebasan orang lain (rights and freedom of others) dan hak atau reputasi orang lain (rights and reputations of others), serta kepentingan kehidupan pribadi pihak lain (the interest of private lives of parties) yang berkaitan dengan pembatasan terhadap Pers dan publik pada pengadilan (restriction on public trial).31 Pembatasan dan pengurangan hak-hak asasi manusia yang diatur dalam Kovenan Internasional Hak Sipil dan Politik diterjemahkan secara lebih detil di dalam Prinsip-prinsip Siracusa (Siracusa Principles). Di dalam prinsip ini disebutkan bahwa pembatasan tidak boleh membahayakan esensi hak. Semua 30 Ibid, pasal 73. Lihat Laporan Kajian Terhadap Peraturan Daerah DKI Jakarta Nomor 8 Tahun 2007 tentang Ketertiban Umum, Komnas HAM, 2008, hal. 10. Lebih lanjut lihat UU Nomor 11 Tahun 2005 dan UU Nomor 12 Tahun 2005. 31 klausul pembatasan harus ditafsirkan secara tegas dan ditujukan untuk mendukung hak-hak. Semua pembatasan harus ditafsirkan secara jelas dan dalam konteks hak-hak tertentu yang terkait, artinya pembatasan hak tidak boleh dilakukan secara sewenang-wenang.32 Di dalam berbagai peraturan perudangan tersebut di atas, disebutkan bahwa salah satu alasan yang dapat dijadikan dasar oleh negara untuk melakukan pembatasan dan pengurangan hak adalah pertimbangan untuk menjamin ketertiban umum (public order). Berdasarkan siracusa principles –sebagaimana dikutip dalam laporan Kajian Komnas HAM-, dinyatakan bahwa ungkapan ketertiban umum (public order/ordre public) yang digunakan dalam kovenan (hak sipil dan politik) harus diartikan sebagai sejumlah aturan yang menjamin berfungsinya masyarakat atau serangkaian prinsip-prinsip mendasar yang mendari berdirinya masyarakat. Penghormatan hak asasi merupakan bagian dari ketertiban umum (public order/ordre public). Siracusa principles juga menyatakan bahwa organ negara atau agen negara yang bertanggungjawab untuk menjaga ketertiban umum harus dapat dkontrol dalam pelaksanaan kekuasaan mereka melalui parlemen, pengadilan atau badanbadan yang kompeten lainnya. Selain itu, ketertiban umum harus ditafsirkan dalam konteks maksud dari hak asasi manusia tertentu yang dibatasi berdasarkan 32 Siracusa principles merupakan prinsip-prinsip mengenai ketentuan pembatasan dan pengurangan hak yang diatur di dalam kovenan Interasional Hak Sipil dan Politik. Prinsip-prinsip ni dihasilkan oleh seelmpok ahli hkum internasional yang bertemu di Siracusa, Italia pada April dan Mei 1984. Lihat Ibid, hal, 11. ketertiban umum tersebut. Dengan demikian, pembatasan hak yang didasarkan atas alasan ketertiban umum harus dilihat kasus perkasus.33 Berdasarkan prinsip-prinsip tersebut datas, kajian Komnas HAM menyimpulkan bahwa pembatasan hak tertentu yang didasarkan pada alasan ketertiban umum haruslah sesuai dengan persyaratan ketertiban untuk kasus-kasus khusus. Hal itu hanya dapat dibenarkan dalam situasi atau tindakan seseorang yang merupakan ancaman yang cukup serius terhadap ketertiban umum. Oleh karena itu, kontrol dari badan mandiri, apakah itu lembaga politik (parlemen), badan peradilan (pengadilan) atau badan apapun lainya amatlah penting.34 D. Ketertiban Umum Dalam Islam Islam sangat menghargai dan menganjurkan terciptanya suasana tertib dan stabil, baik dalam kehidupan sosial, politik maupun ekonomi. Tugas utama seorang pemimpin, di dalam banyak literatur keislaman adalah hirasat al- di’n wa siyasat al-dunya (melindungi agama dan memelihara ketertiban sosial-politik), menunjukkan bahwa Islam menaruh perhatian yang besar bagi terciptanya tata kehidupan yang tertib dan stabil.35 Kekacauan sosial, instabilitas politik dan kesemerawutan tata kehidupan sangat tidak dikehendaki didalam Islam. 36 Ketertiban umum merupakan bagian dari –apa yang di dalam Islam dikenal sebagai konsep al-maslahah al-‘ammah (kemaslahatan umum). 33 Ibid, hal. 17. Ibid, hal. 17. 35 Abdul Muin Salim, Konsepsi Kekuasaan Politik dalam Al-Qur`an, Jakarta: Rajawali Press, 2002, hal. 17. 36 Lihat, Abu Ihsan Al-Atsari, Koreksi Total Masalah Politik & Pemikiran dalam Perspektif Al34 Qur’an & As-Sunnah, Jakarta : Darul Haq, 2002, hal 24-29. Secara etimologi, maslahah berarti manfaat, kemanfaatan atau pekerjaan yang mengandung manfaat. Sedangkan secara terminologis maslahah berarti mengambil manfaat dan menolak mudlarat untuk memelihara tujuan-tujuan syari’at. Ditinjau dari materinya, maslahat terbagi dalam dua jenis, yakni almaslahah al-amah (kemaslahatan umum) dan al-maslahah al-kh’assah/almaslahah al-ainiyah (kemaslahatan pribadi). Menurut KH. Ali Yafie, mengutip Imam Ar Rafi’i, al-maslahah al-‘ammah adalah urusan umum yang menyangkut kepentingan-kepentingan (mashalih) tegaknya urusan agama dan dunia dalam kehidupan kita, di antara al-maslahah al-‘ammah adalah mencegah kemelaratan orang banyak (kaum muslim), menciptakan lapangan kerja untuk mewujudkan mata pencaharian bagi anggota-anggota masyarakat, menegakkan kontrol sosial melalui amar ma'ruf nahi mungkar, mencerdaskan kehidupan masyarakat melalui pendidikan, bimbingan keagamaan (fatwa) dan penyebaran buku-buku.37 Islam memelihara kemaslahatan pribadi dan umum secara bersamaan tanpa harus ada yang dikorbankan. Namun demikian di saat terjadi pertentangan antara kepentingan pribadi dan umum maka yang didahulukan adalah kemaslahatan umum, dengan catatan, kemaslahatan umum tetap harus selaras dengan tujuan dari syariat itu sendiri, yakni terpeliharanya lima hak dan jaminan dasar manusia (al-dharuriyat al-khamsah) yang meliputi; keselamatan jiwa (hifdzu al-nafs), keselamatan akal (hifdzu al-aql), keselamatan keturunan (hifdzu al-nasl), keselamatan harta benda (hifdzu al-maal), dan keselamatan agama (hifdzu al-din). 37 Ali Yafie, Konsep-konsep Istihsan, Istishlah, dan Mashlahat Al Ammah, Makalah pada Seminar MUI, 1999. Catatan ini penting untuk digarisbawahi karena sekali-kali tidak dibenarkan adanya sebuah keputusan yang dibuat, dengan mengatasnamakan kemaslahatan umum, kemudian melanggar hak-hak dasar manusia yang menjadi tujuan syariat. Sebab diturunkannya syariat di tengah kehidupan umat manusia adalah untuk mewujudkan keamanan dan kesejahteraan (kemaslahatan) umat manusia di dunia dan di akhirat. Oleh sebab itu, agar keamanan dan kesejahteraan kemaslahatan) umat manusia di dunia dan di akhirat dapat terwujud maka segala ikhtiar yang dilakukan umat manusia di muka bumi harus selalu sejalan dengan tuntunan syariat. Untuk memenuhi tuntutan dan kepentingan manusia serta merespon berbagai dinamika kehidupan, maka setiap pengambilan keputusan harus memenuhi kriteria kepentingan umum (al maslahah al ammah) yang dibenarkan oleh syara’. BAB III PERDA TENTANG KETERTIBAN UMUM DI DKI JAKARTA: TINJAUAN TERHADAP ISI DAN IMPLEMENTASINYA A. Latar Belakang Terbitnya Perda 11 Tahun 1988 dan Perda Nomor 8 Tahun 2007 Secara makro, terbitnya Perda Nomor 11 Tahun 1988 yang kemudian disempurnakan menjadi Perda Nomor 8 Tahun 2007 tidak terlepas dari penerapan ideologi developmentalisme sebagai strategi pembangunan yang dipilih oleh rezim Orde Baru. Ideologi developmentalisme menjadikan pertumbuhan ekonomi sebagai tolok ukur utama keberhasilan pembangunan. Demi mengejar pertumbuhan ekonomi yang tinggi, pemerintah giat berhutang ataupun mengundang investor untuk mendanai proyek-proyek dan pembukaan usaha berskala besar. Dalam konteks kota Jakarta, program pembangunan kota yang dilaksanakan sejak Orde Baru lebih memprioritaskan pada industrialisasi, dimana implementasinya adalah pembangunan proyek-proyek besar seperti real estate, lapangan golf, pabrik, waduk, mal, jalan tol dan jalan layang susun tiga (triple decker), gedung-gedung bertingkat dan sebagainya. Karena kebijakan pembangunan yang lebih mengarah pada pembangunan investasi, menyebabkan semakin meningkatnya orang miskin di Jakarta. Kebijakan yang mensentralisir kegiatan ekonomi ke pusat kota semakin meminggirkan orang miskin karena dampak pembangunan investasi tersebut kemudian menjadikan perumahan, tanah dan lainnya semakin mahal. Padahal, implementasi proyek-proyek besar di suatu kawasan seharusnya tidak akan menciptakan orang miskin baru jika kompensasi yang diberikan cukup memadai dan ada syarat bagi pemilik proyek disamping dari Pemda sendiri untuk turut andil dalam menyiapkan lokasi pengganti serta tidak menggunakan security approach dalam menangani dan mendekati masyarakat yang tergusur. Masyarakat miskin yang semakin bertambah dan urbanisasi yang tak terkendali di satu sisi, terbatasnya lapangan pekerjaan dan sempitnya lahan di sisi lain membuat berbagai permasalahan sosial ekonomi di Jakarta seperti pengangguran, kejahatan, pemukiman liar dan berbagai gangguan keamanan dan ketertiban umum juga menjadi semakin meningkat.38 Untuk mengatasi permasalahan kota Jakarta tersebut, Pemerintahan Propinsi DKI Jakarta mengeluarkan sejumlah kebijakan yang selanjutnya dituangkan dalam perda, seperti kebijakan ekonomi, sosial, budaya, politik, penataan kota, pendirian bangunan, pengolahan limbah, perburuhan dan lain sebagainya. Itu semua dimaksudkan untuk menciptakan Jakarta yang tertib, indah, aman, nyaman dan bersahabat. Dalam konteks inilah, Peraturan Daerah Nomor 11 Tahun 1988 tentang Ketertiban Umum di wilayah DKI Jakarta dibuat dan diberlakukan. 38 Lihat, Andrinof Chaniago “Bisnis yang Diaku Pembangunan” dalam “Gagalnya Pembangunan”, Jakarta : LP3ES, 2000. Perkembangan kota yang semakin pesat berjalan seiring dengan berbagai problematika sosial yang mengikutinya. Atas dasar pemikiran tersebut, Pemerintah DKI Jakarta menganggap bahwa Perda Nomor 11 Tahun 1988 tidak lagi mampu mengakomodasi dan merespon berbagai persoalan sosial yang berkembang, sehingga membutuhkan penyesuaian. Maka revisi terhadap Perda 11 Tahun 1988 dilakukan dan kemudian muncullah Perda Nomor 8 Tahun 2007. Namun demikian, meski tujuan dari pemberlakuan perda ini dalam rangka mewujudkan tata kehidupan kota Jakarta yang tertib dan melindungi seluruh warga kota dan prasarana kota beserta kelengkapannya, dalam praktiknya objek dari perda ini bukanlah seluruh warga Jakarta, melainkan kaum miskin kota dan masyarakat yang termarjinalkan seperti gelandangan, pengemis, asongan, pak ogah, joki three in one, becak, PKL, WTS dan penyandang masalah kesejahteraan sosial (PMKS) lainnya. Dilihat dari prioritas sasarannya, perda ini sepertinya menjadikan rakyat miskin sebagai sumber terjadinya pelanggaran hukum dan menghalangi ketertiban umum kota Jakarta. B. Telaah Terhadap Isi Perda Tentang Ketertiban Umum B.1. Perda Nomor 11 Tahun 1988 Perda Nomor 11 Tahun 1988 tentang Ketertiban Umum Dalam Wilayah Daerah Khusus Ibu Kota Jakarta yang tercatat dalam Lembaran Daerah Khusus Ibu Kota Jakarta Nomor 72 tahun 1989 Seri C Nomor 1, tediri atas 16 Bab dan 32 Pasal. Perda ini merupakan penyempurnaan dari Perda Nomor 3 Tahun 1972 yang dirasakan tidak sesuai lagi dengan tuntutan perkembangan masyarakat kota Jakarta, terutama pada aspek ketertiban dan kebersihan. Di dalam konsideran perda tersebut disebutkan, tujuan diterbitkannya Perda ini adalah dalam rangka mewujudkan kota Jakarta yang tertib, teratur, nyaman dan tenteram, serta untuk menumbuhkan rasa disiplin diri dan berperilaku tertib setiap warga kota.39 Namun demikian, meski tujuan diterbitkannya Perda untuk mewujudkan rasa aman, nyaman dan tenteram bagi warga, faktanya Perda ini justru oleh sebagian besar warga miskin Jakarta justru dianggap ancaman bagi keamanan, dan pengusik kenyamanan dan ketentraman mereka dalam menjalani kehidupan di Jakarta. Di dalam sub bab ini akan dipaparkan isi dari Perda Nomor 11 Tahun 1988 bab demi bab yang diikuti dengan analisa terhadap pasal-pasal dari perda tersebut di atas. Bab I dari Perda 11 Tahun 1988 terdiri dari 1 pasal yang mengatur tentang ketentuan umum terkait dengan definisi operasional dari konsep-konsep yang dipergunakan di dalam perda tersebut. Di dalam bab ini antara lain didefinisikan konsep; Daerah, Pemerintah Daerah, Gubernur Kepala Daerah, Ketertiban Umum, Kepentingan Dinas, Jalan, Jalur Hijau, Taman dan Badan. Dalam kaitannya dengan pembahasan kajian ini, penting untuk dikemukakan definisi Perda tentang ketertiban umum, yakni “suatu keadaan dimana pemerintah dan rakyat dapat melakukan kegiatan secara tertib, teratur, nyaman dan tentram”.40 Di dalam bab ini, terdapat dua konsep terkait dengan ketertiban umum yang tidak memiliki definisi yang jelas, yakni konsep kepentingan umum dan konsep jalur hijau. Di dalam perda ini, kepentingan umum selalu dijadikan dasar untuk melarang sesuatu aktivitas atau memberikan perkecualian bagi berbagai 39 40 Lihat, konsideran menimbang pada Perda 11 Tahun 1988. Lihat, pasal 1 Perda 11 Tahun 1988 larangan. Meski demikian Perda ini tidak mendefinisikan secara spesifik apa yang dimaksud dengan kepentingan umum. Tafsir terhadap kepentingan umum selama ini menjadi hak mutlak pemerintah daerah, sehingga dalam praktiknya, istilah kepentingan umum justru banyak digunakan untuk menindas kelompok yang lemah dan terpinggirkan secara sosial, ekonomi dan politik, untuk kepentingan segelintir elit. Seyogyanya, kepentingan umum didefinisikan secara lebih jelas dengan memasukkan kepentingan mayoritas rakyat miskin dan kelompokkelompok marjinal perkotaan. Istilah kedua yang tidak jelas definisinya adalah jalur hijau. Definisi dari jalur hijau harus jelas dan menyebutkan kawasan apa saja yang termasuk dalam jalur hijau serta mempertimbangkan aksesibilitas rakyat miskin terhadap pembangunan kota. Bab II tentang Tertib Jalan dan Angkutan Jalan Raya. Bab ini terdiri atas 6 pasal (pasal 2-7). Di dalam bab ini antara lain diatur kewajiban pengguna jalan baik pejalan kaki maupun angkutan umum untuk mematuhi ketentuan penggunaan jalan (pasal 2) dan larangan bagi pengguna jalan yang dapat mengganggu ketertiban penggunaan jalan raya (pasal 3 sampai 6). Di dalam bab ini juga ditegaskan larangan bagi siapapun untuk bertempat tinggal atau tidur di jalan, di atas atau di bawah jembatan dan jembatan penyeberangan, kecuali untuk kepentingan dinas (pasal 7). Pengaturan tertib di jalan raya ini menjadi kurang relevan diterapkan karena dalam kenyataannya kondisi tertib di jalan telah berkembang di luar kendali dari pihak aparat sendiri. Pembangunan jalan tidak lagi mendukung orang untuk tertib di jalan, seperti tidak terawatnya/berfungsinya rambu lalu lintas, hilangnya pembatas ruas jalan, terbatasnya halte pemberhentian bis, beralih fungsinya trotoar, halte dan ruas jalan yang hal tersebut di diamkan oleh aparat, bahkan dijadikan sumber pendapatan restribusi dan membuka peluang adanya praktek pungli. Terkait dengan pasal 7, konsekuensi dari Pemda terhadap pelaksanaan pasal ini adalah Pemda harus menjamin tersedianya tempat alternatif (perumahan dan lahan usaha), sarana prasarana bagi korban penggusuran berikut kompensasinya. Dalam pasal ini, Pemda DKI tidak memberikan alternatif tempat dan tidak mengatur sarana dan prasarana bagi korban penggusuran, juga kompensasi bagi korban penggusuran. Kepentingan Dinas selalu dijadikan alasan, sehingga memungkinkan terjadinya praktek Pungli jika ada masyarakat yang terpaksa melakukan seperti apa yang disebutkan dalam pasal 7. Bab III mengatur tentang Tertib jalur Hijau, Taman dan Tempat Umum. Yang dimaksud dengan jalur hijau adalah setiap jalur yang terbuka sesuai dengan rencana kota, sedangkan taman adalah jalur hijau yang dipergunakan dan diolah untuk pertamanan. Di dalam bab yang hanya terdiri dari 1 pasal ini antara lain ditegaskan larangan warga untuk memasuki atau berada di jalur hijau atau taman yang tidak secara khusus diperuntukkan bagi umum. Selain itu di dalam bab ini juga dicantumkan larangan setiap warga untuk bertempat tinggal dan merusak jalur hijau dan taman-taman (pasal 8). Berdasarkan pasal-pasal di dalam bab ini, Pemda DKI sudah membatasi akses rakyat untuk bisa menikmati taman dan jalur hijau karena itu semua merupakan kawasan terlarang bagi masyarakat umum, bahkan untuk memasukinyapun tidak diperbolehkan. Jadi Pemda DKI seperti membuat ‘taman dalam akuarium’, yang hanya bisa dipandangi saja oleh masyarakat. Jika benarbenar Pemda DKI ingin melaksanakan Perda ini, sebelum pemberlakuan, sarana dan prasarana (struktur maupun infrastruktur) dari Pemda sendiri harus sudah dibentuk dan dipersiapkan. Karena jika Perda ini dilaksanakan dengan sepenuhnya, justru akan menyebabkan konflik horizontal antar masyarakat sendiri. Bab IV mengatur tentang Tertib Sungai, Saluran Kolam dan Lepas Pantai. Terdiri atas lima pasal (pasal 9-13). Di dalam bab ini antara lain diatur larangan bagi setiap orang untuk bertempat tinggal atau tidur di tanggul, bantaran sungai, di pinggirkali dan saluran (pasal 9). Bukan hanya dilarang untuk tinggal di bantaran sungai, setiap warga juga dilarang untuk mandi, membersihkan angota badan, mencuci pakaian, bahan makanan, binatang, kendaraan atau benda-benda di sungai, saluran dan kolam-kolam serta memanfaatkannya untuk kepentingan usaha.41 Dalam bab ini, Pemda DKI seperti lepas tangan dengan melarang orang bertempat tinggal di bantaran sungai dan sejenisnya. Padahal di Jakarta, rakyat kecil sudah mengalami marginalisasi diberbagai bidang termasuk pemukiman akibat dikalahkan oleh kepentingan pembangunan yang mengutamakan pembangunan fisik kota dan modernisasi. Rakyat kecil sebenarnya terpaksa tinggal di bantaran sungai karena memang kemampuan mereka hanya sampai disitu saja. Dengan pasal-pasal ini mereka semakin tersisih dari kota dan tidak tahu harus dimana lagi bertempat tinggal karena Pemda DKI tidak memberikan 41 Lebih lengkap lihat pasal 10 Perda 11 tahun 1988 solusi misalnya dengan pembangunan pemukiman sederhana, atau dengan penataan pemukiman. Kebijakan pembangunan pemukiman rakyat yang kemudian justru dibelokkan oleh pengusaha untuk membangun perumahan mewah juga menjadi penyebab mengapa rakyat miskin umumnya berada di pinggiran dan membangun rumah seadanya di lahan-lahan kosong yang masih ada karena harga rumah sudah tidak terjangkau lagi oleh mereka sebagai akibat dari orientasi pembangunan yang lebih mengarah pada pembangunan investasi. Bab ini juga mengatur penggunaan air, tetapi Pemda DKI Jakarta justru belum menyediakan pelayanan umum menyangkut penggunaan air seperti bak mandi umum ataupun pompa air umum (MCK umum). Sehingga rakyat kecil yang aksesnya terbatas untuk mendapatkan air bersih terpaksa menggunakan sumber air yang mudah didapat meskipun itu tidak layak seperti air dari sungai ataupun menampung air hujan. Bab V tentang Tertib Lingkungan terdiri atas 2 pasal (pasal 14 dan pasal 15). Pasal 14 mengatur larangan setiap orang untuk menangkap, memburu atau membunuh binatang tertentu yang jenisnya ditetapkan sesuai dengan ketentuan yang berlaku. Sedangkan pasal 15 menegaskan larangan bagi setiap warga untuk bermain-main di jalan, di atas atau di bawah jembatan, dipinggir rel kereta api, pinggir kali, pinggir saluran dan tempat-tempat umum. Pasal 15 yang melarang orang bermain di tempat-tempat umum ini mengingkari realita yang terjadi di Jakarta bahwa lahan untuk bermain dan refreshing yang terbuka yang dibutuhkan oleh masyarakat tidak tersedia lagi di Jakarta. Rakyat kecil kembali terpinggirkan dalam hal bermain dan refreshing di kota karena semuanya harus diperoleh dengan uang yang tidak sedikit. Pemda seharusnya tidak bisa melarang sebelum dipenuhinya hak-hak rakyat dengan menyediakan ruang untuk bermain dan refreshing khususnya bagi rakyat yang tidak mampu. Bab VI tentang Tertib Usaha Tertentu terdiri atas 4 pasal (pasal 16-19). Di dalam bab inilah larangan bagi pedagang kaki lima di jalur hijau dilarang. Pada pasal 16 disebutkan “Setiap orang dilarang menempatkan benda-benda dengan maksud melakukan suatu usaha di jalan, di pinggir rel kereta api, jalur hijau, taman dan tempat-tempat umum kecuali atas seizin Gubernur. Setiap orang atau badan dilarang menjajakan barang dagangan, membagikan selebaran atau melakukan usaha-usaha tertentu dengan mengharapkan imbalan di jalan, jalur hijau, taman dan tempat-tempat umum, kecuali ditempat yang telah ditetapkan oleh Gubernur”. Di dalam bab ini pula, larangan tentang becak yang sangat kontroversial itu diatur. Di dalam pasal 18 disebutkan, “Setiap orang atau badan di larang melakukan usaha pembuatan, perakitan, dan penjualan becak di wilayah DKI Jakarta, memasukkan becak ke DKI Jakarta, dan mengusahakan kendaraan bermotor atau tidak bermotor sebagai alat angkutan umum yang tidak termasuk dalam pola angkutan umum yang ditetapkan”. Pasal-pasal di dalam bab inilah yang dalam praktiknya sering dijadikan alasan oleh Pemda DKI untuk menggusur usaha kecil yang dilakukan oleh rakyat miskin untuk menyambung hidupnya. Semua usaha rakyat kecil seperti asongan, pedagang kaki lima, pengecer koran, penyemir sepatu dan lainnya bisa terjaring dengan pasal ini. Padahal Pemda seyogyanya dilarang/tidak boleh menggusur perekonomian rakyat, sebaliknya wajib melindungi serta mengusahakan hak rakyat atas lahannya yang sudah dibisniskan selama ini. Pelarangan usaha transportasi becak dan sejenisnya juga sangat patut dipertanyakan, karena justru dalam usaha mengurangi dan mengantisipasi pencemaran lingkungan, transportasi semacam itu adalah yang ramah terhadap lingkungan. Tinggal pengaturan dan pembagian wilayah operasinya saja yang perlu diatur lebih lanjut. Jadi dengan mengatur wilayah operasi transportasi yang ramah lingkungan itu, Pemda DKI Jakarta sudah membantu usaha perekonomian rakyat kecil. Bab VII mengatur tentang Tertib Bangunan. Di dalam bab yang hanya terdiri dari 1 pasal ini (pasal 20) larangan untuk mendirikan bangunan di pinggiran jalan atau bantaran sungai dan di pinggiran rel kereta api ditegaskan. Di dalam pasal 20 point 2 disebutkan, “Setiap orang atau badan dilarang mendirikan bangunan pada daerah milik jalan dan/atau saluran/sungai, kecuali untuk kepentingan dinas”. Sedangkan di point 3 disebutkan, “Setiap orang atau badan dilarang mendirikan bangunan di pinggir rel kereta api pada jarak yang ditetapkan sesuai dengan ketentuan yang berlaku”. Pasal di dalam bab ini yang selama ini dijadikan dasar oleh aparat untuk menggusur pemukiman warga di bantaran kali dan rel kereta api. Ini merupakan pasal yang semakin meminggirkan rakyat kecil, dimana rakyat yang sudah tidak mampu membeli tanah dan mendirikan bangunan di kota karena harga yang tak terjangkau dan terkena penggusuran, kini harus terpinggirkan dan terusir dari daerah yang selama ini masih bisa dijangkau oleh mereka seperti di pinggiran kota, bantaran sungai, pinggiran rel dan lainnya. Bab VIII tentang Tertib Pemilik, Penghuni Bangunan. Di dalam bab ini diatur kewajiban bagi setiap pemilik dan penghuni bangunan untuk memelihara pagar pekarangan, memelihara dan mencegah perusakan bahu jalan atau trotoar dan memberi penerangan lampu di pekarangan untuk menerangi jalan (pasal 21 point 1). Selain itu, di dalam bab ini juga diatur larangan bagi setiap orang untuk memotong dan menebang pohon tanpa seizin Gubernur (pasal 21 point 2). Bab IX tentang Tertib Sosial, terdiri dari 4 pasal (pasal 22-25). Pasal-pasal di dalam bab ini lebih dikenal sebagai pasal anti-prostitusi. Di dalam pasal 24 disebutkan, setiap orang dilarang bertingkah laku asusila di jalan, jalur hijau, taman dan tempat-tempat umum. Sementara di dalam pasal 25 lebih ditegaskan lagi larangan bagi setiap orang atau badan menyediakan fasilitas prostitusi. Sebenarnya bab ini tidak hanya mengatur tentang prostitusi, melainkan juga larangan bagi mereka yang berpenyakit yang mengganggu pemandangan umum untuk berada di tempat-tempat umum (pasal 23), suatu aturan yang oleh banyak kalangan dianggap sangat diskrminatif bagi warga yang justru membutuhkan pertolongan. Bab ini berisi pasal-pasal yang mengatur kehidupan sosial masyarakat. Namun jika dicermati isinya, segera nampak bahwa yang diatur hanyalah masyarakat miskin seperti orang cacat, orang miskin, anak jalanan, perempuan dalam prostitusi dan semacamnya. Pelarangan tampil ke muka umum bagi orang yang mengidap penyakit yang mengganggu pandangan umum dan meresahkan masyarakat sangat tidak jelas maksudnya, dan merupakan diskriminasi bagi orang-orang yang menderita penyakit yang masuk kategori tersebut di atas. Definisi dan Kriteria dari penyakit yang mengganggu pandangan dan meresahkan masyarakat tidak jelas. Pemda DKI Jakarta secara tidak langsung telah menutup dan melanggar hak aksesibilitas atas kota bagi penderita cacat dalan arti luas. Padahal sebagai warga negara mereka mempunyai kesempatan dan hak yang sama dalam pembangunan dan aksesibilitas kota. Pasal 24 dan 25 sering dijadikan alat untuk ‘menertibkan’ --sering dengan penggunaan kekerasan-- para perempuan yang terlibat dalam prostitusi. Dengan demikian pasal ini telah membuat kelompok perempuan tertentu rentan terhadap kekerasan. Mereka dipandang secara hitam putih dari sudut moralitas saja dan bahkan dikategorikan sebagai penyakit sosial yang harus dilenyapkan. Bab X tentang Tertib Kesehatan menegaskan larangan bagi setiap orang atau badan untuk menyelenggarakan praktek/kegiatan usaha pengobatan dengan cara tradisional dan atau pengobatan yang bersifat kebatinan dan praktek yang ada hubungannya dengan bidang kesehatan tanpa izin tertulis dari Gubernur DKI Jakarta. Bab yang terdiri dari satu pasal yakni pasal 26 ini melarang usaha atau praktek pengobatan tradisional atau alternatif selain kedokteran. Tapi dalam kondisi perekonomian yang buruk dimana subsidi kesehatan belum dapat menjangkau keseluruhan warga miskin kota dan pengobatan dengan kedokteran sangat mahal biayanya, maka pengobatan tradisional dan alternatif lainnya merupakan pilihan terakhir. Apalagi sejarah pengobatan Indonesia adalah merupakan pengobatan tradisional. Yang lebih penting adalah pengelolaan dan pembinaan terhadap masyarakat dan pelaku pengobatan alternatif ini agar mengutamakan mutu dan keselamatan pasien, bukannya langsung melarangnya. Bab XI sampai dengan Bab XVI mengatur tentang Ketentuan Pidana (Bab XI), Pembinaan (Bab XII), Pengawasan (Bab XIII), Penyidikan (Bab XIV), Ketentuan Peralihan (Bab XV) dan Ketentuan Penutup (Bab XVI). B.2. Perda Nomor 8 Tahun 2007 Terhitung mulai bulan Januari 2008, Perda Nomor 8 Tahun 2007 resmi diberlakukan. Meski menuai protes banyak kalangan, Pemprov DKI Jakarta tetap berkukuh untuk memberlakukan peraturan yang merupakan revisi atas Perda Nomor 11 Tahun 1988.42 Menurut keterangan Kepala Dinas Ketentraman, Ketertiban, dan Perlindungan Masyarakat DKI Jakarta, implementasi Perda 8/2007 akan dilakukan secara bertahap dalam periode 3 bulanan. Pada Bulan Januari-Maret adalah masa sosialisasi. Bulan April-Juni sosialisasi disertai dengan tindakan persuasi. Mulai bulan Juli penerapan secara penuh Perda akan dilakukan.43 Dari segi isi, secara umum Perda Nomor 8 Tahun 2007 tidak jauh berbeda dengan Perda sebelumnya, kecuali terjadi penambahan berbagai detail peraturan di sana-sini. Hal tersebut tercermin dari jumlah pasal pada Perda 8/2007 yang mencapai 67 pasal, bandingkan dengan Perda 11 Tahun 1988 yang hanya 34 Pasal. Padahal jumlah Bab dalam kedua Perda ini sama yakni 16 bab. Terdapat 42 Pada konsideran menimbang, huruf c Perda 8/2007 disebutkan bahwa, “Peraturan daerah Nomor 11 tahun 1988 tentang Ketertiban Umum Dalam Wilayah Daerah Khusus Ibukota Jakarta tidak sesuai lagi dengan jiwa dan semangat penyelenggaraan pemerintah daerah serta perubahan dan perkembangan tata nilai kehidupan bermasyarakat warga kota Jakarta”. 43 Kompas, Perda Ketertiban Diberlakukan Januari 2008 Meski Kontroversial, 26 November 2008 dua bab baru dalam Perda 8/2007 yang tidak tercantum dalam Perda 11/1988, yakni bab yang mengatur tentang Tertib Tempat Hiburan dan Keramaian (bab X) dan bab tentang Tertib Peran Serta Masyarakat (bab XI). Meski demikian, penambahan bab baru tidak menambah jumlah keseluruhan bab karena beberapa bab pada Perda 11/1988 dipadatkan hanya menjadi satu bab saja pada Perda 8/2007. Misalnya, bab tentang Tertib Bangunan, Tertib Pemilik dan Penghuni Bangunan yang pada Perda 11/1988 dipisah dalam dua bab (bab VII dan bab VIII), pada Perda 8/2007 disatukan hanya dalam satu bab saja, yakni bab tentang Tertib Bangunan (bab VII). Demikian juga bab tentang Pembinaan dan Pengawasan yang pada Perda 11/1988 dipisah menjadi dua bab (bab XII dan bab XIII), pada Perda 8/2007 dijadikan satu bab saja (bab XII). Untuk lebih detail mengetahui isi Perda 8/2007, berikut akan ditelaah bab perbab dari Perda dimaksud di atas. Pada beberapa hal akan diperbandingkan antara Perda 8/2007 dengan Perda 11/1988 untuk mengetahui komponen-komponen perubahan ataupun penambahan. Bab I Perda 8/2007 hanya terdiri atas 1 pasal yang mengatur tentang Ketentuan Umum. Jika dibandingkan dengan Perda 11/1988 yang hanya mendefinisikan 9 konsep, maka Perda Tibum yang baru mendefinisikan 20 konsep. Beberapa konsep baru yang dijelaskan dalam Perda ini adalah; DPRD, ketentraman masyarakat, kendaraan umum, tempat umum, pedagang kaki lima, parkir, hiburan, ternak potong, pencemaran dan keadaan darurat. Penting untuk dikritisi adalah definisi tentang ketertiban umum dan ketentraman masyarakat dihubungkan dengan sudut pandang penilaian terhadap konsep tersebut. Penilaian tentang keadaan tertib, teratur, tenteram dan nyaman seyogyanya tidak hanya dilakukan oleh pemerintah melainkan juga oleh masyarakat. Artinya, baik pemerintah maupun masyarakat mempunyai tanggungjawab dan hak yang sama untuk merumuskan pemahaman tentang kondisi tertib dan tenteram. Akan menjadi persoalan jika tidak ada pemahaman yang sama antara masyarakat dan pemerintah, atau pemahaman tentang tertib dan tenteram hanya didominasi oleh pemerintah. Karena yang akan terjadi adalah benturan yang tak kunjung habisnya. Bab II mengatur tentang Tertib Jalan, Angkutan Jalan dan Angkutan Sungai, terdiri atas 10 pasal. Bandingkan dengan bab II Perda 11/1988 yang hanya terdiri atas 6 pasal. Dari segi judul bab, terdapat penambahan aturan tentang angkutan sungai, meskipun pada isinya hanya terdapat satu ayat saja yang secara eksplisit mengatur tentang angkutan sungai, yakni pada pasal 2 ayat 8.44 Beberapa hal baru yang diatur dalam bab II Perda ini adalah larangan menggunakan atau menawarkan diri menjadi joki three in one (pasal 4), larangan bagi pengatur lalu lintas ilegal di persimpangan jalan, lebih dikenal dengan sebutan pak ogah atau polisi cepek (pasal 7), larangan memarkir kendaraan atau menyelenggarakan parkir tanpa izin (pasal 10 dan 1). Terkait dengan masalah joki three ini one, penggunaan joki di kawasan pengendalian lalu lintas pada waktu-waktu tertentu membuktikan bahwa pengendalian lalu lintas dengan cara ini kurang mencapai tujuan. Semestinya 44 Pasal 2 ayat 8, ”Setiap orang atau badan dilarang membuat rakit, keramba, dan angkutan penyeberangan lainnya di sepanjang jalur kendaraan umum sungai/water way”. Pemprov DKI mengkaji hal ini dan menerapkan pendekatan-pendekatan yang lebih efektif. Proporsi kendaraan pribadi yang mencapai lebih dari 89% perlu dikendalikan dengan cara-cara yang lebih menjawab masalah. Misalnya, meninggikan pajak kendaraan pribadi dan memperbaiki kualitas dan kuantitas sarana angkutan umum. Atau pengendalian dilakukan di semua kawasan, bukan hanya di kawasan-kawasan tertentu. Larangan dan ancaman pidana tidak menjamin efektivitas aturan bila sistemnya masih membuka peluang korupsi bagi aparat penegak hukum. Aturan hukum dalam sistem seperti ini hanya akan membuat hukum semakin tidak berwibawa. Menyangkut pasal 7 yang terkesan kuat mengkriminalkan kerja “polisi cepek” atau “pak ogah”, larangan ini melupakan akar masalah munculnya pak ogah adalah kesemrawutan dan kemacetan. Tanpa menghilangkan kesemrawutan dan kemacetan, orang-orang yang berperan sebagai pak ogah akan selalu muncul karena masyarakat sendiri juga terbantu oleh kehadiran mereka Pada Bab III, mengatur tentang Tertib Jalur Hijau, Taman dan Tempat Umum. Hanya terdiri dari satu pasal, sama seperti dengan Perda Tibum sebelumnya. Secara isi, tidak ada perubahan yang signifikan. Yang penting untuk dikritisi dari bab ini adalah atas nama kepentingan dinas, pasal-pasal di dalam bab ini membuka peluang bagi pemerintah DKI Jakarta untuk melakukan penyelewengan dalam bentuk penyalahgunaan atau pengalihan fungsi jalur hijau, taman dan tempat-tempat umum, seperti yang telah terjadi selama ini. Padahal dengan kondisi Jakarta yang ruang terbukanya hanya 9% (dari yang semestinya 30% untuk kota yang sehat), alih fungsi jalur hijau dan taman semestinya dilarang dengan alasan apapun. Bab IV terdiri dri 4 pasal mengatur tentang Tertib Sungai, Saluran, Kolam dan Lepas pantai. Dibandingkan dengan Perda sebelumnya pada bab ini berkurang 1 pasal, meski tidak merubah isinya secara signifikan. Pasal 13 dan 14 ayat 3 45 merupakan pasal yang paling banyak disorot oleh masyarakat. Catatan kritis Jakarta Center for Street Children (JCSC) menyatakan bahwa, di berbagai kota di dunia, penataan kawasan sungai, setu, waduk dan danau dilakukan tidak dengan menggusur warga yang ada, tetapi dengan melibatkan mereka sebagai subyek atau pelaku utama yang turut bertanggung jawab dalam melakukan penataan dan menjaga kebersihan dan keberlangsungan layanan alam dari sungai, waduk, setu dan danau. Dalam hal ini semestinya pemerintah bertindak sebaai fasilitator pemberdayaan warga agar warga dapat menjalankan perannya sebagai pelaku utama penataan dan penjaga kebersihan serta keberlangsungan layanan alam di lingkungan sungai, waduk, setu dan danau. Tindakan pengusiran atau penggusuran selama ini terbukti tidak menyelesaikan masalah dan hanya memindahkan masalah di tempat lain.46 Bab V mengatur tentang Tertib Lingkungan, terdiri dari 7 pasal. Lebih banyak 5 pasal dibanding Perda sebelumnya yang hanya 2 pasal. Beberapa hal 45 Pasal 13, ”Kecuali dengan izin Gubernur atau pejabat yang ditunjuk, setiap orang atau badan dilarang : 1) membangun tempat mandi, cuci, kakus, hunian/tempat tinggal atau tempat usaha di atas saluran sungai dan bantaran sungai serta di dalam kawasan setu, waduk dan danau; 2) memasang/menempatkan kabel atau pipa di bawah atau melintai saluran sungai serta d dalam kawasan situ, waduk dan danau”, pasal 14 ayat 3, ”setiap orang dilarang memanfaatkan air sungai dan danau untk kepentingan usaha kecuali atas izin Gubernur atau pejabat yang ditunjuk”. 46 JCSC, Catatan Kritis Terhadap Perda Nomor 8 Tahun 2007, 8 Oktober 2007. yang ditambahkan pada bab V dalam Perda Tibum yang baru antara lain; larangan merusak hutan mangrove (pasal 18), larangan membuat, menyimpan dan menjual petasan (pasal 19), melakukan aksi vandalisme dan mengotori lingkungan (pasal 21) pengaturan air minum dan air permukaan tanah (pasal 22 dan pasal 23). Perubahan terjadi pada pasal 15 Perda 11/1988 yang menyatakan larangan bermain di bawah jalan layang, jalan tol, pinggiran rel kereta api, jalur hijau, tamn dan tempat umum, menjadi larangan untuk membangun (lihat pasal 19). Bab VI mengatur tentang Tertib Tempat dan Usaha Tertentu, terdiri dari 12 pasal. Jauh lebih banyak ketimbang Bab VI Perda sebelumnya yang hanya mencantumkan 4 pasal saja. Sejauh pengamatan peneliti, pasal-pasal pada bab VI ini yang paling banyak memicu protes dan menimbulkan kontroversi di kalangan warga masyarakat. Beberapa pasal yang sangat kontroversial tersebut antara lain; pasal 25 yang bukan hanya melarang pedagang kaki lima untuk berjualan melainkan juga mengancam para pembelinya. Bukan hanya mengancam para pedagang kaki lima dan pembelinya, bab ini juga mengancam para pedagang kecil dan pencari derma yang banyak beroperasi di jalan raya dan tempat-tempat umum (pasal 26). Juga menegaskan kembali larangan pengoperasian becak dan kendaraan tak bermotor lainnya (ojek sepeda seperti di kota) serta menancam para penggunanya (pasal 29). Beberapa catatan kritis yang diberikan oleh kalangan LSM terhadap pasalpasal ini antara lain; 47 Pertama, perda ini tidak mengatur ketentuan pidana terhadap pelanggaran pasal 25 ayat 1. Jadi kalau gubernur tidak menjalankan 47 Lihat, JCSC, op.cit. kewajibannya menetapkan tempat usaha untuk pedagang kaki lima, gubernur tidak dikenai ancaman pidana. Kedua, berdasarkan pasal 25 ayat 1 bisa dilihat bahwa ruang untuk PKL adalah “ruang-ruang sisa”, di mana ada atau tidaknya ruang tersebut sangat bergantung pada “selera” gubernur dan tidak didasarkan pada kebutuhan dan kepentingan warga. Tidak ada mekanisme partisipasi publik dalam menentukan lokasi usaha untuk PKL. Ketiga, sikap diskriminatif Pemprov DKI terhadap kelompok miskin dan sektor informal terlihat dari alokasi ruang usaha bagi usaha kecil menengah, termasuk PKL. Berbeda dengan alokasi ruang komersial untuk usaha besar macam pusat perbelanjaan/mall, pemberian tempat untuk usaha kecil menengah tidak dieksplisitkan dalam rencana tata ruang, tetapi lebih didasarkan pada “belas kasih” gubernur. Keempat, alokasi ruang usaha untuk usaha kecil menengah, termasuk PKL tidak pernah transparan dan terbuka sehingga dapat diketahui lokasi-lokasi mana saja yang bisa diakses oleh para PKL. Tiadanya transparansi ini membuka peluang terjadinya KKN. Kelima, mayoritas warga Jakarta yang berdaya beli lemah, di manapun mereka berada, termasuk yang bekerja di sektor formal sekalipun, pada kenyataannya bergantung pada keberadaan sektor informal. Larangan terhadap setiap orang untuk membeli barang dari PKL akan menyengsarakan warga yang hanya mampu membeli barang dari PKL, termasuk dalam memenuhi kebutuhan dasarnya untuk makan. Keenam, pemerintah DKI Jakarta benar-benar menutup mata terhadap realitas bahwa menghapus sektor informal dari Jakarta tidak pernah berhasil. Pemprov DKI juga menutup mata terhadap sumbangan sektor informal bagi pengembangan kota. Kota-kota besar di dunia, khususnya di Asia, telah belajar banyak dari kegagalan mereka untuk menghapus informalitas dengan kebijakan yang lebih partisipatif, yaitu penataan, baik lokasi di tempat-tempat tertentu, waktu berdagang maupun integrasinya dengan sektor formal. Bandingkan dengan pengalaman Bangkok dan Singapura, yang memilih kebijakan menata dan bukan menggusur sektor informal macam PKL. Baik Singapura maupun Bangkok mampu mewujudkan kota yang bersih sekaligus menjadikan PKL sebagai daya tarik industri pariwisata mereka. Sementara Jakarta cenderung melihat sektor informal macam PKL sebagai musuh kota. Toh dengan anggaran milyaran rupiah Jakarta tetap tak mampu mengusir PKL. Bab VII mengatur tentang Tertib Bangunan, terdiri dari 3 pasal. Sebagaimana telah dijelaskan terdahulu, bab VII pada Perda 8/2007 menggabungkan dua bab tentang bangunan dan pemilik bangunan pada Perda 11/1988. Secara substansi tidak terdapat perubahan yang signifikan dalam bab ini kecuali adanya penambahan pasal khusus yang mengatur larangan untuk membangun menara/tower komunikasi, dan keharusan pegelolanya melakukan perawatan (pasal 37). Bab VIII mengatur tentang Tertib Sosial, terdiri atas 8 pasal, atau lebih banyak 4 pasal jika dibandingkan dengan Perda sebelumnya yang hanya mencantumkan 4 pasal. Beberapa pasal dalam bab ini juga menjadi sumber kontroversi terus berlangsung sampai saat ini. Pada bab ini misalnya ditegaskan larangan bagi individu maupun badan untuk meminta bantuan dan sumbangan di jalan, pemukiman dan tempat-tempat umum (pasal 39), larangan untuk menjadi pengemis, pengamen, pedagang asongan dan pengelap mobil ataupun membeli dan memberi kepada kelompok masyarakat tersebut di atas (pasal 40), larangan bagi PSK untuk beroperasi di tempat umum (pasal 42). Beberapa catatan yang dapat diberikan untuk pasal-pasal ini adalah Pertama, pemprov memiliki asumsi bahwa ada mafia yang mengorganisir kaum miskin yang dipekerjakan sebagai pengemis, pengamen, pedagang asongan, dan pengelap mobil. Pasal ini juga didasarkan pada stigma bahwa para pengemis itu adalah orang-orang yang malas dan tidak mau bekerja. Pemda DKI menutup mata pada realitas bahwa mereka menjadi pengemis karena desakan kebutuhan hidup dan minimnya peluang kerja. Kedua, dengan aturan ini Pemprov DKI benar-benar hendak menjadikan Jakarta sebagai kota yang bersih dari orang miskin. Karena seluruh jenis kegiatan dan pekerjaan yang masih mungkin dilakukan kaum miskin untuk dapat bertahan hidup )seperti pedagang asongan, pengamen dan pengelap mobil) dikriminalkan dan dikenai ancaman pidana. Menjadi pengemis diancam pidana, tetapi bekerja secara halal dengan kekuatan dan modal sendiri pun juga dikriminalkan. Bukan hanya itu. Warga yang membeli barang dari mereka atau sekedar memberi sedikit uang recehan pun dikenakan ancaman pidana. Ketiga, Perda ini mengajak seluruh warga masyarakat untuk bersama-sama menghukum orang miskin, sebab dengan Perda Tibum ini orang miskin di wilayah DKI ini telah ditetapkan sebagai makhluk ilegal yang mengancam kehidupan kota, sehingga membeli barang dari mereka atau sekedar bersimpati pada mereka dengan sedikit uang recehan dianggap sebagai tindakan ilegal dan bersekutu dengan musuh kota dan karenanya pantas dikenakan ancaman pidana.Yang mengherankan adalah premanisme tidak disentuh dalam Perda ini. Barangkali di wilayah Jakarta status dan peran preman lebih baik dari PKL, pedagang asongan, pengelap mobil, tukang ojek, tukang becak, apalagi pemulung dan pengemis. Sebab dalam menggusur orang miskin, Pemprov DKI selama ini sering menggunakan preman. Bab IX mengatur tentang Tertib Kesehatan yang terdiri hanya atas 1 pasal. Tidak ada perubahan pada bab ini dari Perda sebelumnya. Seterusnya pada bab X sampai dengan bab XVI tidak terlalu banyak terjadi perubahan yang mendasar kecuali menyangkut 2 hal saja. Pertama, ditambahkannya aturan yang mengatur Tertib Hiburan, Keramaian dan Tertib Peran Serta Masyarakat. Kedua, diaturnya Penyidikan dan Ketentuan Pidana secara lebih rinci. Perda Tibum yang baru mencantumkan 4 pasal dan 12 ayat untuk mengatur ketentuan pidana. Bandingkan dengan Perda sebelumnya yang hanya mencantumkan 1 pasal dan 3 ayat saja. Dari segi isi, ketentuan pidana dari Perda Tibum yang baru juga banyak dikeluhkan oleh masyarakat dan diragukan dapat dijalankan dengan baik. Pada aspek Penyidikan terdapat beberapa hal yang patut untuk diperhatikan, yakni; Pertama, pada pasal 60 ayat 2 butir (i) memberi peluang pada aparat Pemprov DKI untuk melakukan tindakan sewenang-wenang karena aparat Pemprov DKI mendapat wewenang untuk melakukan tindakan lain menurut hukum yang dapat dipertanggungjawabkan. Dalam kasus penggusuran dan pengusiran kaum miskin, selama ini aparat Pemprov DKI banyak melakukan tindakan kekerasan dan juga pembakaran tanpa mendapatkan sanksi. Karenanya tindakan kekerasan oleh aparat Pemprov dianggap sebagai tindakan yang sah dan bukan pelanggaran. Kedua, Perda ini tidak berbicara tentang pelanggaran dalam hal penyidikan, khususnya pelanggaran terhadap pasal 60 ayat 3 tidak ada ketentuan tentang sanksi pidana bagi PPNS yang melakukan pelanggaran, dalam hal ini adalah melakukan tindakan penangkapan dan/atau penahanan. Ketiga, tidak adanya ketentuan pidana bagi pelanggaran yang dilakukan aparat/pejabat Pemprov DKI menunjukkan bahwa Perda ini mempunyai peluang besar untuk gagal karena Perda ini membuka peluang bagi Pemprov DKI untuk melanggar ketertiban tanpa ancaman sanksi pidana. Kalau aparat penegak, pembina dan pengendali ketertiban sendiri sudah tidak tertib, tidak masuk akal kalau kemudian Pemprov DKI menuntut warganya untuk tertib. Kajian terhadap isi Perda Tentang Ketertiban Umum yang dilakukan Komnas HAM menyimpulkan bahwa sejumlah pasal di dalam perda ini bertentangan dengan prinsip-prinsip hak asasi manusia yang diakui oleh negara Republik Indonesia dan juga kalangan internasional. Hal tersebut diantaranya disebabkan oleh definisi ketertiban umum yang tercantum dalam Perda tidak secara eksplisit memasukkan penghormatan terhadap HAM sebagai bagian dari definisi ketertiban umum dan/atau penghormatan HAM bukan merupakan bagian penting dalam definisi ketertiban umum dalam Perda. Menurut kajian Komnas HAM, isi perda yang bermasalah adalah sebagai berikut; 1) Pasal 2 ayat 1, pasal 2 ayat 2 dan pasal 33 bermasalah karena sulit untuk dilaksanakan; 2) Pasal 47 ayat 1 a dan b dan pasal 14 ayat 2, pasal 47 ayat 1c dan pasal 46, bermasalah karena perumusan yang tidak jelas terhada berbagai konsep, seperti praktik pengobatan tradisional dan kebatinan, dan lain-lain; 3) pasal 12 e, f dan h (kecuali membuang permen karet), pasal 25 ayat 3, pasal 29 ayat 3 seharusnya tidak ada kriminalisasi; 4) pasal 42 a, pasal 49 dan pasal 51 sudah diatur dalam KUHP dan undang-undang mengenai unjuk rasa. Pasal dalam Perda Tibum juga merupakan kemunduran karena mengatur perijinan yang sudah menjadi wilayah kewenangan aparat kepolisian. B.3. Matrik Perbandingan Isi Perda Nomor 11 Tahun 1988 dengan Perda Nomor 8 Tahun 2007. Sebagaimana telah dijelaskan terdahulu bahwa secara substansi tidak terdapat perbedaan yang signifikan antara isi Perda 11 Tahun 1988 dengan isi Perda 8 Tahun 2007, kecuali berbagai penambahan dan perincian aturan pada Perda 8 Tahun 2007 yang pada mulanya tidak diatur secara detail pada Perda 11 Tahun 1988. Untuk memudahkan memahami aspek apa saja yang ditambahkan pada Perda 8 Tahun 2007 dari Perda sebelumnya, penulis menuangkannya dalam matrik berikut : Matrik Perbandingan Isi Perda Nomor 11 Tahun 1988 dengan Perda Nomor 11 Tahun 2007 Aspek Umum Perda 11/1988 Terdiri dari 16 bab dan 34 pasal Perda 8/2007 Terdiri dari 16 bab dan 67 pasal Bab I Membahas tentang Ketentuan Umum, tediri atas 1 pasal yang mendefinisikan 9 konsep kunci yang digunakan dalam Perda. Bab II Tentang Tertib Jalan dan Angkutan Jalan Raya. Terdiri atas 6 pasal. Membahas ketentuan yang sama. Terjadi penambahan konsep yang didefinisikan dalam ketentuan umum menjadi 20 konsep. Tentang Tertib Jalan, Angkutan Jalan dan Angkutan Sungai. Terdiri atas 10 pasal. Bab III Tentang Tertib Jalur Hijau, Taman dan Tempat Umum. Terdiri dari 1 pasal. Tentang Tertib Bab IV Tentang Tertib Jalur Hijau, Taman dan Tempat Umum. Terdiri dari 1 pasal. Tentang Tertib Keterangan Terdapat dua bab baru dalam Perda 8/2007, yakni bab tentang Tertib Tempat Hiburan dan Keramaian (bab X) dan bab tentang Tertib Peran Serta masyarakat. Penambahan dua bab ini tidak mempegaruhi jumlah keserluruhan bab karena pemadatan isi pada Perda 8/2007, yakni bab tentang Tertib Bangunan, Tertib Pemilik dan Penghuni Bangunan yang pada Perda 11/1988 dipisah dalam dua bab (bab VII dan bab VIII), pada Perda 8/2007 disatukan hanya dalam satu bab saja, yakni bab tentang Tertib Bangunan (bab VII). Demikian juga bab tentang Pembinaan dan Pengawasan yang pada Perda 11/1988 dipisah menjadi dua bab (bab XII dan bab XIII), pada Perda 8/2007 dijadikan satu bab saja (bab XII). Konsep-konsep yang ditambahkan dalam ketentuan umum pada Perda 8 Tahun 2007 adalah pengertian tentang; DPRD, ketentraman masyarakat, kendaraan umum, tempat umum, pedagang kaki lima, parkir, hiburan, ternak potong, pencemaran dan keadaan darurat. Pada perda 8/2007 ditambahkan aturan tentang angkutan sungai (pasal 2 ayat 3). Beberapa hal baru yang diatur dalam bab II Perda ini adalah larangan menggunakan atau menawarkan diri menjadi joki three in one (pasal 4), larangan bagi pengatur lalu lintas ilegal di persimpangan jalan, lebih dikenal dengan sebutan pak ogah atau polisi cepek (pasal 7), larangan memarkir kendaraan atau menyelenggarakan parkir tanpa izin (pasal 10 dan 1). Tidak ada perubahan isi pada bab ini dari Perda 11/1988 ke Perda 8/2007. Dibandingkan dengan Perda 11 Tahun Sungai, Saluran, Kolam dan Lepas Pantai. Terdiri atas 5 pasal. Tentang Tertib Lingkungan. Terdiri 2 pasal. Sungai, Saluran, Kolam dan Lepas Pantai. Terdiri atas 4 pasal. Tentang Tertib Lingkungan. Terdiri dari 7 pasal. Bab VI Tentang Tertib Usaha Tertentu. Terdiri atas 4 pasal. Tentang Tertib Tempat dan Usaha Tertentu. Terdiri atas 12 pasal. Bab VII Tentang Tertib Bangunan. Terdiri atas 1 pasal. Tentang Tertib Bangunan. Terdiri atas 3 pasal. Bab VIII Tentang Tertib Pemilik dan Penghuni Bangunan. Tentang Tertib Sosial. Bab IX Tentang Tertib Sosial. Terdiri dari 4 pasal. Bab X Tentang Tertib Kesehatan Tentang Tertib Kesehatan. Terdiri dari 1 pasal. Tertib Hiburan, Keramaian dan Peran Serta Masyarakat Bab V 1988 terjadi pengurangan 1 pasal pada Perda 8 tahun 2007. Secara substansi tidak terdapat perubahan yang signifikan diantara keduanya. Terdapat penambahan 5 pasal pada Perda 8 Tahun 2007. Beberapa hal yang ditambahkan antara lain; larangan merusak hutan mangrove (pasal 18), larangan membuat, menyimpan dan menjual petasan (pasal 19), melakukan aksi vandalisme dan mengotori lingkungan (pasal 21) pengaturan air minum dan air permukaan tanah (pasal 22 dan pasal 23). Terdapat penambahan 8 pasal pada Perda 8 Tahun 2007. Penambahan paling krusial dan kontroversial adalah pada pengaturan masalah PKL dimana bukan hanya pedagang saja yang diancam dengan pidana melainkan juga meraka yang membeli barang dari PKL. Perda 8/2007 menggabungkan 2 bab pada Perda 11/1988, yakni bab VII tentang tertib bangunan dan bab VIII tentang Pemilik Bangunan. Secara substansi tidak terdapat perubahan yang signifikan dalam bab ini pada Perda 8/2007 kecuali adanya penambahan pasal khusus yang mengatur larangan untuk membangun menara/tower komunikasi, dan keharusan pegelolanya melakukan perawatan (pasal 37). Bab VIII pada Perda 11/1988 telah dipadatkan dalam bab VII Perda 8/2007. Karenanya pada bab VIII ini terjadi perbedaan signifikan karena adanya pemadatan sebagaimana disebut diatas. Dibandingkan dengan bab tentang Tertib Sosial pada Perda 11/1988, terdapat penambahan 4 pasal dari sebelumnya 4 pasal. Hal paling kontroversial dari Perda 8/2007 pada bab ini adalah larangan bukan hanya menjadi pengemis melainkan juga memberi pengemis. Disesuaikan Seiring dengan semakin menjamurnya tempat-tempat hiburan dan berbagai aktivitas yang mengundang keramaian, Perda Nomor 8 Tahun 2007 menambahkan masalah tertib hiburan, Bab XI Bab XII Bab XIII Bab XIV Bab XV Bab XVI C. Tentang Ketentuan Pidana Tentang Ketentuan Pembinaan Tentang Pengawasan Tentang Penyidikan Tentang Ketentuan Peralihan Tentang Ketentuan Penutup Tentang Ketentuan Pidana Tentang Ketentuan Pembinaan Tentang Pengawasan Tentang Penyidikan Tentang Ketentuan Peralihan Tentang Ketentuan Penutup yang tidak terdapat dalam Perda 11 Tahun 1988. Tidak terjadi perubahan signifikan dari Perda 11/1988 ke Perda 8/2007 tentang ketentuan Pidana sampai ke ketentuan penutup, kecuali Perda 8/2007 lebih memerinci tentang ketentuan pidana seiring dengan semakin banyaknya klausul tambahan yang diatur dala perda dimaksud di atas. Implementasi Perda Tentang Ketertiban Umum Untuk dapat menilai implementasi Perda tentang Ketertiban Umum, penulis menjadikan Perda 11 Tahun 1988 sebagai pijakan, mengingat Perda yang baru, yakni Perda 8 tahun 2007 baru diberlakukan pada awal Januari 2008. Menjadikan implementasi Perda 8 Tahun 2007 sebagai dasar penilaian dalam kajian ini tidak mungkin dilakukan dan rentan menjadikan penelitian ini bias dalm penilaian mengingat masih sangat terbatasnya waktu pelaksanaan. Berdasarkan hasil riset LBH APIK Jakarta,48 implementasi Perda yang seharusnya diberlakukan pada semua warga Jakarta dalam pelaksanaannya hanya mengatur masyarakat miskin saja, karena faktanya semua pasal dalam Perda ini ditujukan pada rakyat miskin kota. Perda ini memuat larangan-larangan orang berada ditempat umum yang sekiranya dapat mengganggu pandangan umum dan meresahkan masyarakat tanpa melihat latar belakang keberadaan rakyat miskin kota yang tidak mempunyai akses ke tempat-tempat yang dianjurkan yang 48 Lebih lengkap lihat, LBH APIK, Kajian Terhadap Perda 11 tahun 1988 tentang Ketertiban Umum di Wilayah DKI Jakarta, 2005.. notabene mesti mengeluarkan uang ekstra. Tak heran jika Perda ini – meskipun berjudul perda ketertiban umum - namun di kalangan rakyat miskin Jakarta lebih dikenal sebagai ‘Perda Penggusuran’. Faktanya, Perda 11 tahun 1988 selama ini memang selalu dijadikan dasar justifikasi oleh Pemerintah DKI Jakarta untuk melakukan penertiban berupa penggusuran, pengusiran dan perusakan terhadap properti warga yang dianggap menyalahi ketentuan yang diatur di dalam Perda ini. Sejak diundangkannya Perda ini tahun 1988, tak terhitung lagi jumlah warga miskin Jakarta yang digusur dengan dalih ketertiban umum ataupun kepentingan dinas. Tidak terhitung pula jumlah becak yang dijaring dalam razia untuk kemudian dimusnahkan, padahal itu menjadi gantungan hidup para pemiliknya. Dalam kurun waktu enam tahun terakhir ini aktivitas ‘penertiban’ yang dilakukan aparat Pemda DKI Jakarta menunjukkan intensitas yang semakin tinggi. Data yang dilansir oleh Forum Keprihatinan Akademisi (FKA)49 menunjukkan bahwa pada tahun 2001 saja tercatat 45 kasus penggusuran pemukiman dengan 6588 rumah dan 5 sekolah dihancurkan, 6774 kepala keluarga dan 34.514 jiwa kehilangan tampat tinggal. Penggusuran yang tak jarang disertai dengan tindakan kekerasan membuat 19 orang meninggal, 67 orang luka, 50 orang sakit, 1000 orang depresi dan 4525 orang kehilangan pekerjaan. Selain penggusuran pemukiman, pada tahun itu juga tercatat 54 kasus penggusuran terhadap pedagang kaki lima (PKL). Sebanyak 2700 PKL 49 Forum Keprihatinan Akademisi beranggotakan Prof. Dr. Saparinah Sadli, Prof. Dr. Sayogyo, Prof. Dr.Toety Herati, Ir. Marco Kusumawijaya, Prof. Dr. Franz Magnis-Suseno dan banyak tokoh akademisi dan LSM lainnya. Keprihatinan mereka akan akan penggusuran dan model penerapan Perda 11 Tahun 1988dituangkan dalam petisi berjudul “Menata Kembali Hak Warga Negara”, 11 Nopember 2003. kehilangan tempat usaha dan barang dagangannya dengan kerugian mencapai Rp. 540 juta akibat penggusuran disertai dengan kekerasan, perampasan dan penjarahan oleh aparat. Padahal, selama berdagang, secara rutin PKL dipungut retribusi. Pada tahun ini juga dilakukan penggarukan becak secara besar-besaran. Pemerintah DKI Jakarta mengeluarkan setidaknya Rp. 1,24 milyar untuk menggusur becak dari bumi Jakarta. Akibatnya 6000 jiwa kehilangan pekerjaan dan 3000 becak dirampas. Pada tahun 2002, data FKA mencatat setidaknya terjadi 26 kasus penggusuran pemukiman dengan sedikitnya 4908 rumah dihancurkan, 18.732 jiwa kehilangan tempat tinggal, 15 orang terluka, 11 orang ditangkap dan ditahan. Selain itu, juga terjadi 20 kasus penggusuran terhadap pedagang kaki lima (PKL), dimana sedikitnya 7770 lapak kios PKL dihancurkan. Pada tahun 2003 Hasil investigasi Forum Warga Jakarta (FAKTA) dan Institut Sosial Jakarta (ISJ) mencatat setidaknya terjadi 15 kasus penggusuran pemukiman warga. Sedikitnya 7280 keluarga kehilangan tempat tinggal. Sebagian besar dari mereka tidak mendapatkan ganti rugi, dan hanya sebagian kecil saja yang mendapatkan uang kerohiman. Pada tahun 2005, dengan alasan melanggar jalur hijau sebagaimana diatur dalam Perda11/1988, belasan aktivis Falun Gong ditangkap saat berunjuk rasa memprotes Presiden Hu Jin Tao yang sedang berkunjung ke Jakarta. Pada tahun 2006 ratusan pedagang kaki lima di depan pasar Bendungan Hilir Jakarta Pusat yang mendapatkan giliran penertiban. Terakhir, pada awal tahun 2007, kasus penggusuran 700-an rumah di kolong tol Kalijodo Pejagalan Kecamatan Penjaringan Jakarta Utara yang berujung bentrok antara warga dengan Satpol PP mengakibatkan tak kurang dari 3000 warga terusir dan kehilangan tempat tinggal.50 Kesemua aktivitas penertiban dan penggusuran tersebut di atas selalau menjadikan Perda 11 Tahun 1988 sebagai dasar hukum. Dengan alasan pemukiman berada di jalur hijau, bantaran kali, pinggir rel kereta api, atau lahan usaha berada di trotoar, dengan serta merta Pemda DKI Jakarta merasa berwenang untuk menghilangkan hak warga untuk mendapatkan pekerjaan dan penghidupan yang layak. Ironisnya, sebelum digusur baik pemukiman maupun pedagang kaki lima umumnya secara rutin ditarik retribusi oleh aparat pemerintah daerah. Dan setelah digusur, tidak sedikit dari lahan yang mereka tempati dibangun Mal, apartemen, dan berbagai kepentingan usaha bagi kelompok elit. Di sisi lain, banyak perumahan mewah, mal-mal dan berbagai tempat usaha menengah atas yang dibangun di lahan-lahan hijau tidak tersentuh penertiban oleh Pemda DKI Jakarta. Dengan demikian menjadi jelas bahwa Perda Nomor 11 Tahun 1988 yang seharusnya mengatur ketertiban umum seluruh warga Jakarta, dalam implementasinya hanya menjadikan warga miskin dan termarjinalkan sebagai objek dari pemberlakuan Perda. Di dalam banyak kasus, implementasi Perda 11 Tahun 1988 juga ditengarai sarat dengan pelanggaran terhadap Hak Asasi Manusia warga miskin kota Jakarta. 50 Laporan Koran Tempo, 26 Januari 2007 BAB IV PERDA TENTANG KETERTIBAN UMUM DI DKI JAKARTA DALAM TINJAUAN ISLAM DAN HAM A. Tinjauan Islam Terhadap Perda Tentang Ketertiban Umum Di DKI Jakarta Islam sangat menghargai dan melindungi hak-hak dasar setiap manusia. Pentingnya perlindungan terhadap hak-hak dasar manusia ini ditegaskan oleh AlMaududi. Menurutnya, dalam suatu kelompok hak-hak seseorang ditetapkan dan dijamin oleh kewajiban anggota-anggota kelompok yang lain, baik secara individual maupun kelompok. Prinsip-prinsip di dalam Al-Qur’an tentang keadilan, kejujuran, dan solidaritas kemanusiaan menimbulkan kewajiban bagi setiap anggota masyarakat Islam, orang perorangan. Prinsip-prinsip tersebut menimbulkan iklim saling hormat menghormati, dan jaga menjaga yang terjadi secara timbal balik. Tetapi dasar dari filsafat Islam menurut Mawardi tetap, yakni otonomi pribadi seseorang, yang menekankan hak-hak dasar manusia.51 Menurut Al-Maududi, Islam seperti halnya semua sistem politik, menempatkan kepentingan umum di atas kepentingan pribadi. Tetapi jika pun kepentingan umum harus ditegakkan, negara tidak diperbolehkan melanggar sifat kemanusiaan warganya atau menyebabkan hilangnya kemerdekaan dan hak dasarnya.52 Apa saja sifat kemanusiaan dan hak dasar yang tidak dapat dilanggar oleh negara meskipun sedang menegakkan kepentingan umum tersebut?, ialah prinsip-prinsip dasar yang dikembangkan oleh Nabi ketika menyampaikan pidato 51 Abul A’la Al Maududi, Esensi Al Qur’an : Filsafat Politik, Ekonomi, Etika, Bandung : Mizan, 1987, hal 87. 52 Ibid, hl. 88. perpisahan di padang Arafah. Prinsip-prinsip tersebut adalah hak dasar setiap manusia untuk hidup (al-dima), hak dasar setiap manusia untuk bebas memiliki sesuatu (al-amwal), dan hak dasar setiap manusia mendapatkan pengakuan dan kehormatan (al-a’rad). Dengan demikian, didalam Islam, setiap manusia, baik muslim maupun tidak harus dijamin hal-haknya dan negara mempunyai kewajiban untuk melindungi warganya terhadap segala jenis pelanggaran yang dapat mengancam hak-hak tersebut. Adapun hak-hak warga yang harus dilindungi tersebut antara lain; a) Hak untuk mendapatkan jaminan keamanan jiwa (QS 49 : 11-1); b) Perlindungan terhadap hak milik (QS 24 : 27, QS 49 : 12); c) Hak mendapatkan kehormatan diri (QS 4 : 148); d) Hak kerahasiaan (QS 3 : 110, 5 : 78-79, 7 : 165); e) Hak untuk melakukan protes terhadap ketidakadilan (QS 3 : 11); f) Hak melakukan kritik, menyuruh kebaikan dan mencegah kejahatan (QS 8 : 61), g) Kemerdekaan untuk berserikat, h) Perlakuan yang sama bagi setiap warga tanpa diskriminasi.53 Di dalam perkembangannya, umat Islam mengembangkan dan mengakui hak-hak yang menjadi hak dasar manusia yang tidak dapat dilanggar yang kemudian disahkan dalam Cairo Declaration of Human Rights in Islam yang diadopsi oleh Organisasi Konferensi Islam (OKI) pada Agustus 1991. Hak-hak asasi manusia yang diadopsi dalam Deklarasi Kairo tersebut meliputi; a) Hak persamaan dan kebebasan, b) Hak hidup, c) Hak perlindungan diri, d) Hak kehormatan pribadi, e) Hak berkeluarga, f) Hak kesetaraan wanita dengan pria, g) 53 Teguh Prasetyo, Hak Asasi Manusia Dalam Tradisi Islam, dalam Jurnal Ilmu Hukum, Vol 10 Nomor 1, Maret 2007, hal 49-50 Hak anak dari orang tua, h) Hak mendapatkan pendidikan, i) Hak kebebasan beragama, j) Hak kebebasan mencari suaka, k) Hak memperoleh perlakuan sama, l) Hak kepemilikan.54 Jika Islam sedemikian menghormati kepentingan kemaslahatan umum namun sekaligus juga menjadikan hak dasar manusia sebagai tujuan dari syariat agama (maqasid syariah), bagaimana perspektif Islam terhadap Perda Nomor 11 Tahun 1988 yang oleh pemerintah di klaim mewakili kepentingan ketertiban dan kemaslahatan umum, sementara oleh sebagian masyarakat dituding melanggar hak-hak dasar manusia (yang menjadi tujuan dari syariat agama). Sebelum memberikan justifikasi perspektif Islam tentang Perda Nomor 11 Tahun 1988 dan Perda Nomor 8 Tahun 2007, tentu penting untuk dilihat dan ditelaah terlebih dahulu, aspek-aspek apa saja dalam perda tersebut yang diklaim oleh pemerintah mewakili kepentingan dan kemaslahatan umum, dan aspek apa saja yang dituding oleh masyarakat melanggar hak dasar manusia. Berdasarkan hasil bacaan dan telaah penulis terhadap materi Perda 11 Tahun 1988 dan Perda Nomor 8 Tahun 2007, setidaknya terdapat dua persoalan yang selama ini menjadi pokok perdebatan antara Pemerintah DKI dengan warga masyarakat. Kedua persoalan tersebut adalah; masalah akses ke tempat-tempat umum dan masalah pekerjaan dan mendapatkan penghidupan yang layak bagi warga Jakarta. 54 Sebelum Cairo Declaration of Human Rights in Islam disahkan pada 1991,satu dasawarsa sebelumnya umat Islam yang tergabung dalam Islamic Council Eropa telah menyusun deklarasi HAM yang bernama The Universal Islamic Declaration of Human Rights, yang dirumuskan pada tahun 1981.Lihat, Ahmad Ali Nurdin, Islam dan Hak Asasi Manusia, dalam Kompas 21/7/2005 Untuk masalah yang pertama, yakni persoalan akses masyarakat ke tempat-tempat umum, pada Perda 11 Tahun 1988 setidaknya terdapat empat pasal di dalam Perda yang mengaturnya, yaitu pasal 8, 9, 10, dan 15. Pasal 8 melarang setiap orang untuk memasuki atau berada di jalur hijau atau taman yang bukan untuk umum, termasuk juga tidur dan bertempat tinggal di dalamnya. Pasal 9 melarang setiap orang bertempat tinggal atau tidur di tanggul, bantaran sungai, di pinggir kali dan saluran. Pasal 10 melarang setiap orang untuk mandi, membersihkan anggota badan, mencuci pakaian, bahan makanan, binatang, kendaraan dan benda-benda di sungai, saluran dan kolam, termasuk juga dilarang memanfaatkan air sungai untuk kepentingan usaha. Sementara pasal 15 melarang setiap orang untuk bermain-main di jalan, di atas atau di bawah jembatan, di pinggir rel kereta api, pinggir kali, pinggir saluran dan tempat-tempat umum lainnya. Pada Perda Nomor 8 tahun 2007 persoalan akses ke tempat umum diatur dalam pasal 6, pasal 12, pasal 13, pasal 14, pasal 20, dan pasal 39. Secara umum isi dari pasal-pasal pada Perda 8 tahun 2007 tidak jauh berbeda dengan isi Perda sebelumnya yang melarang warga untuk tinggal atau memanfaatkan beberapa kawasan seperti sungai, waduk, situ danau, pinggiran rel kereta dan seterusnya. Pemerintah DKI selalu berargumen bahwa peraturan untuk menjaga jalur hijau, sungai dan tempat-tempat umum merupakan bagian dari upaya untuk memelihara ketertiban umum. Itulah sebabnya, berbagai penggusuran yang dilakukan oleh aparat trantib, baik di pada pemukiman warga di kolong-kolong jembatan, bantaran rel kereta api, bantaran sungai atau tempat-tempat yang oleh Pemda DKI di kategorikan sebagai jalur hijau, Pemda DKI merasa absah untuk melakukannya. Di sisi lain, bagi sebagian masyarakat, berbagai pasal yang termuat dalam Perda tersebut di atas sangatlah mengada-ada. Larangan untuk tinggal di bantaran sungai, ketika pemerintah tidak mampu menyediakan lahan yang terjangkau dan layak bagi kaum miskin. Larangan untuk memanfaatkan air sungai ketika air bersih sedemikian mahal, dan larangan untuk bermain di berbagai tempat umum ketika masyarakat tidak lagi memiliki ruang bermain akibat ketiakmampuan pemerintah menyediakan fasilitas publik, adalah bentukbentuk pengebirian dan pelanggaran hak-hak dasar warga untuk mendapatkan jaminan perlindungan dan kehidupan yang layak dari Negara. Dan ketika Pemerintah melakukan penggusuran atas nama ketertiban umum, maka bertambah pula hak-hak dasar warga yang dilanggarnya, yakni; hak untuk mendapatkan jaminan keamanan jiwa (QS 49 : 11-1); hak mendapatkan perlindungan terhadap hak milik (QS 24 : 27, QS 49 : 12); dan hak mendapatkan kehormatan diri. Untuk masalah yang kedua, yaitu persoalan akses warga terhadap pekerjaan dan penghidupan yang layak, terdapat beberapa pasal di dalam Perda 11 Tahun 1988 yang mengaturnya, yakni pasal 16, pasal 18, pasal 19 dan pasal 26. Pasal 16 melarang setiap untuk melakukan kegiatan usaha di jalan, pinggir rel kereta api, jalur hijau, taman dan tempat-tempat umum. Pasal 18 melarang setiap orang untuk melakukan usaha pembuatan, perakitan dan penjualan becak, memasukkan becak ke wilayah DKI Jakarta dan mengusahakan kendaraan bermotor atau tidak bermotor sebagai alat angkutan umum yang tidak termasuk dalam pola angkutan umum yang ditetapkan. Pasal 19 melarang setiap orang atau badan melakukan usaha pengumpulan, penyaluran pembantu rumah tangga. Sementara pasal 26 melarang setiap orang/badan menyelenggarakan praktek/kegiatan usaha pengobatan dengan cara tradisional dan atau pengobatan yang bersifat kebatinan dan praktek yang ada hubungannya dengan bidang kesehatan. Pada Perda Nomor 8 tahun 2007, masalah akses terhadap pekerjaan diatur dalam pasal 4 (larangan menjadi joki three in one), pasal 7 (larangan bagi ”pak ogah/polisis cepek”), pasal 10 (larangan menyelenggarakan parkir), pasal 25 (laangan bagi pedagang kaki lima), pasal 27 (larangan usaha kecil), pasal 28 (larangan menjadi calo), pasal 29 (larangan menarik becak), pasal 39 (larangan mengemis dan meminta sumbangan/derma), pasal 40 (larangan menjadi pengemis, pengamen, pedagang asongan dan pengelap mobil) dan pasal 47 (larangan menjalankan praktik pengobatan tradisional). Pasal-pasal di atas adalah pasal-pasal yang selama ini digunakan oleh Pemerintah DKI Jakarta untuk menertibkan para pedagang kaki lima, melakukan razia becak atau menutup berbagai usaha pengobatan tradisional, tanpa diikuti oleh solusi yang memadai. Kebijakan yang selama ini amat ditentang oleh sebagian besar warga miskin Jakarta, terutama yang menjadi korban. Menurut mereka, memberikan penghidupan dan pekerjaan yang layak adalah kewajiban negara dan adalah hak warganya untuk mendapatkan jaminan penghidupan dari negara. Namun ironisnya, bukan hanya tidak memenuhi kewajibannya, Pemerintah DKI dengan dalih ketertiban dan keindahan kota justru melanggar hak warganya untuk bekerja dan mendapatkan penghidupan yang layak (QS 24 : 27, QS 49 : 12). Jika isi dan implementasi Perda 11 Tahun 1988 dan Perda Nomor 8 Tahun 2007 ternyata banyak mengundang perdebatan seputar konflik antara hak-hak perseorangan dengan apa yang oleh Pemerintah DKI dianggap sebagai kepentingan umum, bagaimana Islam menanggapi persoalan ini. Sebagaimana telah diulas dalam bab terdahulu, Islam memelihara kemaslahatan pribadi dan umum secara bersamaan tanpa harus ada yang dikorbankan. Namun demikian di saat terjadi pertentangan antara kepentingan pribadi dan umum maka yang didahulukan adalah kemaslahatan umum, dengan catatan, kemaslahatan umum tetap harus selaras dengan tujuan dari syariat itu sendiri, yakni terpeliharanya lima hak dan jaminan dasar manusia (al dharuriyat al khamsah) yang meliputi; keselamatan jiwa (hifdzu al nafs), keselamatan akal (hifdzu al aql), keselamatan keturunan (hifdzu al nasl), keselamatan harta benda (hifdzu al maal), dan keselamatan agama (hifdzu al din). Itu berarti, apapun upaya yang dilakukan – baik oleh individu maupun lembaga tertentu - dalam rangka menegakkan kemaslahatan dan ketertiban umum tidak dibenarkan melanggar hak-hak dasar yang dimiliki oleh manusia. Berdasarkan data-data yang selama ini terekam dalam berbagai media dan laporan penelitian, pelaksanaan Perda Nomor 11 Tahun 1988 dalam rangka penertiban umum telah terbukti membahayakan setidaknya dua dari lima jaminan dasar manusia (al-dharuriyat al khamsah), yakni keselamatan jiwa (hifdzu al-nafs) dan keselamatan harta benda (hifdzu al-maal). Dengan demikian, dalam perspektif Islam, penghapusan ataupun revisi terhadap peraturan yang selama ini menjadi sumber ancaman bagi jaminan dasar keselamatan manusia (aldharuriyat al-khamsah) telah menjadi suatu keharusan. B. Tinjauan HAM Terhadap Perda Tentang Keteriban Umum Di DKI Jakarta Sejak era reformasi, berbagai upaya penegakan, pemajuan, perlindungan dan pemenuhan HAM yang dilakukan oleh Pemerintah Indonesia mendapatkan apresiasi yang cukup luas, baik dari dalam maupun luar negeri. Apresiasi yang diberikan kepada pemerintah Indonesia terutama terkait dengan langkah-langkah progresif untuk mengakomodasi HAM dalam berbagai peraturan perundangan kita. Setelah disahkannya UU Nomor 39 Tahun 1999 tentang Hak Asasi Manusia dan UU Nomor 26 Tahun 2000 tentang Pengadilan Hak Asasi Manusia, Pemerintah Indonesia kembali membuat langkah progresif dengan mengesahkan dua kovenan penting dalam peraturan perundangan kita. Dua kovenan tersebut adalah International Covenant on Economic, Social and Cultural Rights yang disahkan dalam Undang-undang Nomor 11 Tahun 2005, dan International Covenant on Civil and Political Rights yang ditetapkan dalam Undang-undang Nomor 12 Tahun 2005. UU Nomor 11 Tahun 2005 mengatur tentang hak-hak ekonomi, social dan budaya yang harus dilindungi dan dipenuhi oleh negara. Sedangkan UU Nomor 12 Tahun 2005 mengatur tentang hak-hak sipil dan politik warga yang harus dijamin dan dilindungi oleh negara. Secara umum kovenan tentang hak-hak ekonomi, social dan budaya dan kovenan tentang hak-hak sipil dan politik–yang diratifikasi dalam UU 11 Tahun 2005 dan UU 12 Tahun 2005 - merupakan instrument yang mengukuhkan dan menjabarkan pokok-pokok HAM di bidang ekonomi, social dan budaya dan HAM di bidang sipil dan politik dari Deklarasi Universal Hak Asasi Manusia (DUHAM) dalam ketentuan-ketentuan yang mengikat secara hukum. Pembukaan kedua kovenan mengingatkan negara-negara akan kewajibannya menurut Piagam PBB untuk memajukan dan melindungi HAM, mengingatkan individu akan tanggungjawabnya untuk bekerja keras bagi pemajuan dan penataan HAM yang diatur dalam kovenan ini dalam kaitannya dengan individu lain dan masyarakatnya. Selain itu mengakui bahwa, sesuai dengan DUHAM, cita-cita umat manusia untuk menikmati kebebasan sipil dan politik serta kebebasan dari rasa takut dan kekurangan hanya dapat tercapai apabila telah tercipta kondisi bagi setiap orang untuk dapat menikmati hak-hak ekonomi, sosial dan budaya serta hak-hak sipil dan politiknya. Undang-undang Nomor 11 Tahun 2005 mengatur setidaknya ada 8 hak ekonomi, sosial dan budaya warga yang wajib dipenuhi dan dilindungi oleh negara pihak, yaitu negara yang telah meratifikasi kovenan dimaksud. Hak-hak ekonomi, sosial dan budaya tersebut meliputi; hak atas pekerjaan (pasal 6), hak menikmati kondisi kerja yang adil dan menguntungkan (pasal 7), hak setiap orang membentuk serikat pekerja (pasal 8), hak setiap orang atas jaminan social, termasuk asuransi social (pasal 9), hak atas perlindungan dan bantuan seluas mungkin (pasal 10), hak atas standar hidup yang layak, baginya ataupun keluarganya termasuk sandang pangan dan perumahan (pasal 11), hak menikmati standar tertinggi kesehatan fisik dan mental (pasal 12) dan hak atas pendidikan (pasal 13). Yang penting untuk dicatat adalah, Kovenan yang diratifikasi dalam UU ini bukan hanya menetapkan kewajiban negara Pihak untuk mengambil langkah bagi tercapainya secara bertahap hak-hak yang diakui dalam kovenan dan memastikan pelaksanaan hak tersebut tanpa pembedaan apapun, melainkan juga melarang keras negara, kelompok atau perseorangan untuk melibatkan diri dalam kegiatan atau melakukan suatu tindakan yang bertujuan menghancurkan hak atau kebebasan manapun yang diakui dalam kovenan ini.55 Berdasarkan kajian penulis, jika kita gunakan UU ini menjadi perspektif untuk melihat isi materi Perda 11 Tahun 1988 dan Perda Nomor 8 tahun 2007, terdapat beberapa pasal di dalam Perda 11 Tahun 1988 yang mempunyai indikasi kuat atau sekurangnya berpotensi bertentangan dengan pasal-pasal di dalam UU 11 tahun 2005. Pasal-pasal di dalam Perda 11/1988 yang terindikasi bertentangan dengan UU terutama pasal-pasal yang terkait dengan tertib jalur hijau taman dan tempat umum (pasal 8), tertib sungai, saluran kolam dan lepas pantai (pasal 9, 10, 15) dan tertib usaha tertentu (pasal 16, 17 , 18). Sementara pada Perda Nomor 8 Tahun 2007 beberapa pasal sebagaimana telah disebutkan di atas terindikasi kuat bertentangan dengan UU. Sebagaimana telah diulas terdahulu, pasal-pasal tersebut di atas telah mengebiri hak-hak warga untuk mengakses fasilitas umum, mendapatkan pekerjaan dan penghidupan dan mendapatkan pemukiman. Padahal hak atas pekerjaan (pasal 6), hak atas perlindungan (pasal 10) dan hak atas kehidupan yang layak (pasal 11) jelas-jelas dijamin di dalam UU 11 Tahun 2005. 55 Lihat pasal 2 dan pasal 5 UU Nomor 11 Tahun 2005 Jika dari sisi isi materi, terdapat indikasi kuat dimana materi Perda 11 tahun 1988 bertentangan atau sekurangnya berpotensi bertentangan dengan UU Nomor 11 Tahun 2005, dalam implementasinya oleh Pemerintah DKI Jakarta Perda 11 Tahun 1988 nyata-nyata telah banyak melanggar hak-hak ekonomi, social dan budaya warga sebagaimana diakui di dalam UU Nomor 11 tahun 2005. Aksi-aksi penggusuran pemukiman melanggar hak warga untuk mendapatkan sandang, pangan dan pemukiman yang layak (pasal 11), aksi razia becak dan pedagang kaki lima melanggar hak warga atas pekerjaan (pasal 6) dan hak warga untuk menikmati kondisi kerja yang adil dan menguntungkan. Belum lagi dampak ikutan penggusuran dan razia yang membuat anak-anak korban kehilangan hak mendapatkan pendidikan (pasal 13) dan hak menikmati kesehatan fisik dan mental (pasal 12). Sedangkan UU Nomor 12 Tahun 2005 yang disahkan satu paket dengan UU Nomor 11 Tahun 2005 mengakui terdapat sekurangnya 21 macam hak sipil dan politik warga yang harus dilindungi oleh negara. Dan seperti halnya di dalam UU Nomor 11 Tahun 2005, UU Nomor 12 tahun 2005 juga menetapkan kewajiban negara sebagai pihak pengambil langkah bagi tercapainya secara bertahap hak-hak yang diakui dalam kovenan dan memastikan pelaksanaan pelaksanaan hak tersebut tanpa pembedaan apapun. Selain itu, UU ini juga melarang keras negara, kelompok atau perseorangan untuk melibatkan diri dalam kegiatan atau melakukan suatu tindakan yang bertujuan menghancurkan hak atau kebebasan manapun yang diakui dalam kovenan ini. Adapun jenis hak-hak yang dilindungi dalam UU ini dapat diuraikan sebagai berikut; setiap manusia mempunyai hak hidup, bahwa hak ini dilindungi oleh hukum, dan bahwa tidak seorang pun dapat dirampas hak hidupnya secara sewenang-wenang (Pasal 6); bahwa tidak seorang pun boleh dikenai siksaan, perlakuan atau penghukuman yang kejam, tidak manusiawi, atau merendahkan martabat (Pasal 7); bahwa tidak seorang pun boleh diperbudak, bahwa perbudakan dan perdagangan budak dilarang, dan bahwa tidak seorang pun boleh diperhamba, atau diharuskan melakukan kerja paksa atau kerja wajib (Pasal 8); bahwa tidak seorang pun boleh ditangkap atau ditahan secara sewenang-wenang (Pasal 10). Tidak seorang pun boleh dipenjarakan hanya atas dasar ketidakmampuannya memenuhi kewajiban kontraktualnya (Pasal 11). setiap orang yang berada secara sah di wilayah suatu negara untuk berpindah tempat dan memilih tempat tinggalnya di wilayah itu, untuk meninggalkan negara manapun termasuk negara sendiri, dan bahwa tidak seorang pun dapat secara sewenangwenang dirampas haknya untuk memasuki negaranya sendiri (Pasal 12); pengaturan yang diberlakukan bagi pengusiran orang asing yang secara sah tinggal di negara pihak (Pasal 13); persamaan semua orang di depan pengadilan dan badan peradilan, hak atas pemeriksaan yang adil dan terbuka oleh badan peradilan yang kompeten, bebas dan tidak berpihak, hak atas praduga tak bersalah bagi setiap orang yang dituduh melakukan tindak pidana, dan hak setiap orang yang dijatuhi hukuman atas peninjauan kembali keputusan atau hukumannya oleh badan peradilan yang lebih tinggi (Pasal 14); Pelarangan pemberlakuan secara retroaktif peraturan perundang-undangan pidana (Pasal 15); hak setiap orang untuk diakui sebagai pribadi di depan hukum (Pasal 16); tidak boleh dicampurinya secara sewenang-wenang atau secara tidak sah privasi, keluarga, rumah atau surat menyurat seseorang (Pasal 17). Lebih lanjut UU menetapkan hak setiap orang atas kebebasan berpikir, berkeyakinan dan beragama serta perlindungan atas hak-hak tersebut (Pasal 18); hak orang untuk mempunyai pendapat tanpa campur tangan pihak lain dan hak atas kebebasan untuk menyatakan pendapat (Pasal 19); pelarangan atas propaganda perang serta tindakan yang menganjurkan kebencian atas dasar kebangsaan, ras atau agama yang merupakan hasutan untuk melakukan tindak diskriminasi, permusuhan atau kekerasan (Pasal 20); pengakuan hak untuk berkumpul yang bersifat damai (Pasal 21); hak setiap orang atas kebebasan berserikat (Pasal 22); pengakuan atas hak laki-laki dan perempuan usia kawin untuk melangsungkan perkawinan dan membentuk keluarga, prinsip bahwa perkawinan tidak boleh dilakukan tanpa persetujuan bebas dan sepenuhnya dari para pihak yang hendak melangsungkan perkawinan (Pasal 23); hak anak atas perlindungan yang dibutuhkan oleh statusnya sebagai anak dibawah umur, keharusan segera didaftarkannya setiap anak setelah lahir dan keharusan mempunyai nama, dan hak anak atas kewarganegaraan (Pasal 24); hak setiap warga negara untuk ikut serta dalam penyelenggaraan urusan publik, untuk memilih dan dipilih, serta mempunyai akses berdasarkan persyaratan umum yang sama pada jabatan publik di negaranya (Pasal 25); persamaan kedudukan semua orang di depan hukum dan hak semua orang atas perlindungan hukum yang sama tanpa diskriminasi (Pasal 26); dan tindakan untuk melindungi golongan etnis, agama, atau bahasa minoritas yang mungkin ada di negara pihak (Pasal 27). Jika kita gunakan UU ini untuk melihat pelaksanaan Perda 11 Tahun 1988, tak kurang banyaknya hak-hak sipil dan politik warga yang telah dilanggar oleh Pemerintah DKI Jakarta. Penggusuran disertai kekerasan yang telah merenggut puluhan korban jiwa jelas merupakan bentuk pelanggaran dan perampasan akan hak hidup (pasal 6). Kekerasan yang dilakukan aparat trantib dalam melakukan penertiban merupakan perbuatan tidak manusiawi yang melanggar hak martabat warga (pasal 7), dan penangkapan secara paksa dan sewenang wenang yang sering dilakukan aparat jelas langgar haknya sebagai manusia bebas dan merdeka (pasal 10). Selain itu, fakta bahwa objek dari pelaksanaan Perda ini hanyalah kaum miskin dan kelompok marjinal perkotaan nyata-nyata melanggar pasal 26 yang mengakui persamaan kedudukan semua orang di depan hukum dan hak semua orang atas perlindungan hukum yang sama tanpa diskriminasi. Berdasarkan kajian tersebut di atas menjadi jelas bahwa, Perda Nomor 11 Tahun 1988 yang pembuatannya dilakukan jauh sebelum dua UU nomor 11 dan 12 tahun 2005 disahkan, baik dari segi isi materi maupun implementasinya banyak bertentangan dengan kedua UU tersebut di atas. Dan di dalam tata aturan hirarki perundangan kita, jika ada peraturan perundangan berkedudukan hukum lebih rendah bertentangan dengan peraturan di atasnya maka peraturan yang lebih rendah wajib dibatalkan atau direvisi demi tegaknya hukum. Kesimpulan penulis yang menggunakan perspektif UU Nomor 11 Tahun 2005 dan UU Nomor 12 Tahun 2005 yang menyatakan bahwa Perda Tibum DKI Jakarta tidak sesuai dan bertentangan dengan prinsip-prinsip hak asasi manusia sebagaimana diakui dalam konstitusi kita, sejalan dengan hasil kajian Komnas HAM terhadap Perda Nomor 8 Tahun 2007, dapat ditarik kesimpulan bahwa perda ketertiban umum di DKI Jakarta bertentangan dengan prinsip-prinsip tentang HAM yang diakui oleh konstitusi. Bahkan perda tibum banyak yang bertabrakan dan bertentangan dengan peraturan perundang-undangan pada hirarki yang lebih tinggi, yakni; UUD 1945 dan perudang-undangan lainnya. Perda tibum tidak memenuhi prinsip-prinsip keperluan yang dipersyaratkan dalam pembatasan hak sebagaimana diatur dalam standar internasional yang dapat melanggar hak atas perumahan, hak atas pekerjaan, dan hak atas kebebasan untuk bergerak. Yang paling berbahaya adalah sejumlah pembatasan di dalam Perda Tibum berpotensi menimbulkan pelanggaran hak-hak asasi manusia mengingat isi dari perda ini adalah menggusur hak-hak kelompok marjinal di Jakarta atas nama ”ketertiban” dan ”keindahan”. Tanpa memberi solusi bagi pemecahan masalah kemiskinan dan masalah sosial secara utuh. Penyebabnya adalah dari segi proses, penyusunan perda tentang tibum berlangsung secara tertutup dan minim akan konsultasi publik. Selain itu, prosedur penyusunan perda ini juga tak melewati proses harmonisasi yang melibatkan Panitia Rencana Aksi Nasional Hak Asasi Manusia (RANHAM).56 56 Secara utuh lihat Laporan Kajian Komnas Ham, 2008, hal 39-40. C. Solusi Atas Masalah Isi Dan Implementasi Perda Tentang Ketertiban Umum Di DKI Jakarta Hasil kajian menunjukkan bahwa Perda Nomor 11 tahun 1988 bermasalah setidaknya pada dua ranah, yaitu ranah materi peraturan dan ranah implementasi. Pada ranah materi peraturan, isi Perda Nomor 11 Tahun 1988 diduga kuat banyak bertentangan dengan isi UU Nomor 11 dan UU Nomor 12 Tahun 2005 yang terbit belakangan. Mengingat Perda dalam hirarki system perundang-undangan kita lebih rendah status hukumnya jika dibandingkan dengan Undang-undang, maka sudah sepatutnya Perda Nomor 11 Tahun 1988 ditinjau ulang untuk kemudian diselaraskan dengan isi dan semangat dari peraturan perundangan yang berada di atasnya. Bukan hanya bertentangan dengan UU 11 dan 12 tahun 2005, isi Perda 11 Tahun 1988 juga banyak bertentangan dengan prinsip-prinsip kemaslahatan umum dalam Islam yang dalam penegakannya harus tetap berpijak pada pemeliharaan maqasid al-syari’ah dan al-dharuriyat al-khamsah. Sementara pada ranah implementasi, sebagaimana telah dikemukakan dalam bab terdahulu, Perda 11 Tahun 1988 ditengarai menjadi sumber legitimasi bagi aparat trantib untuk melakukan berbagai pelanggaran HAM atas nama kepentingan umum. Akan halnya Perda Nomor 8 tahun 2007, mengingat isinya yang tidak jauh berbeda –atau bahkan terindikasi lebih represif- meskipun belum diuji pelaksanaanya, namun dapat dikatakan akan memunculkan persoalan-persoalan yang tidak jauh berbeda dengan Perda 11 Tahun 1988. Sebagian kalangan masyarakat bahkan meyakini Perda ini akan menjadi lebih represif terhadap masyarakat miskin Jakarta dan lebih berpeluang membuka terjadinya pelanggaran HAM. Terhadap dua persoalan tersebut, terdapat dua pendekatan yang dapat ditempuh sebagai solusi. Pertama, solusi teknis jangka pendek. Kedua, solusi strategis jangka panjang. Solusi teknis jangka pendek dilakukan dengan melakukan pembenahan langsung pada sumber masalah, yakni pembatalan atau revisi terhadap Perda 8 Tahun 2007 agar lebih selaras dengan semangat berbagai peraturan perundangan tentang HAM. Bagaimanapun situasi social, politik, dan ekonomi Jakarta khususnya dan Indonesi umumnya telah berubah sangat jauh dari situasi social politik ketika Perda itu dibuat. Padahal peraturan harus senantiasa diletakkan dalam ruang yang kontekstual. Oleh karenanya, mempertahankan Perda dalam situasi yang telah berubah merupakan sikap konyol yang tidak perlu. Dalam hal ini, Menteri Dalam Negeri diharapkan dapat lebih arif dalam melihat dan menyikapi berbagai keberatan yang diajukan oleh kalangan masyarakat terhadap pemberlakuan Perda 8 tahun 2007 dengan jalan membatalkan atau memerintahkan revisi terhadap isi Perda agar lebih sensitif terhadap HAM. Solusi strategis jangka panjang, merupakan solusi yang harus diupayakan baik oleh pemerintah daerah maupun masyarakat kota, yaitu kebijakan pemerintah yang lebih pro terhadap rakyat. Bagaimanapun harus disadari bahwa masalah penegakan ketertiban umum terkait erat dengan masalah pemenuhan hak-hak social dan ekonomi masyarakat, terutama masyarakat miskin yang selalu terpinggirkan. Menegakkan ketertiban umum, tanpa terlebih dahulu memenuhi hak-hak social ekonomi warga miskin kota ibarat ‘membedaki wajah bopeng’. Bedak hanya mampu menutupi sementara, namun tidak dapat menghilangkan bopeng itu sendiri. Kebijakan pemerintah daerah yang pro rakyat dan berorientasi pada pemenuhan hak-hak warga miskin kota, dipastikan akan menjamin terpeliharanya ketertiban umum secara lebih hakiki dan sutainabel. Yang penting untuk dicatat adalah ternyata Jakarta mempunyai pengalaman tentang itu. Tahun 1980, pada masa pemerintahan Gubernur Ali Sadikin, Jakarta mendapatkan Aga Khan Award for Architecture (AKAA) atas Program Perbaikan Kampung yang dirintis dan digalakkan oleh Gubernur yang legendaris ini. Sebagaimana diketahui, di dalam memberikan penghargaan, AKAA sangat mempertimbangkan dan memberikan penekanan yang kuat pada proses pembangunan, yang menempatkan manusia bukan sebagai obyek yang digusurgusur dan dipinggirkan dari pembangunan kota. AKAA merupakan bentuk rangsangan terhadap upaya menciptakan arsitektur dan tata kota yang sanggup memberikan vitalitas kepada permukiman- permukiman warganya, tak terkecuali pemukiman warga miskin yang terpinggirkan. Melalui Program Perbaikan Kampung, Jakarta sempat dijadikan model oleh kota-kota berbagai negara Asia dan Amerika Selatan dalam hal penataan kota yang peduli terhadap rakyat miskin. Program Perbaikan Kampung sebenarnya terkait erat dengan konsep desa kota yang dikemukakan Terry McGee (1987), yakni sebuah kawasan yang semula merupakan kawasan pertanian yang berpadu dengan permukiman, kemudian diperluas fungsinya melalui berbagai kegiatan ekonomi, terdiri dari pertanian, industri, perumahan, dan lain-lain. 57 Dengan model seperti ini Jakarta terbukti menjadi lebih tertib dan bebas dari penggusuran. Dan itu dapat dicapai ketika pemerintah memiliki kebijakan yang jelas, tegas dan berpihak pada kepentingan rakyat. 57 Kompas, 22/2/2003, “Jakarta Pernah Menjadi Model Partisipasi Rakyat”. BAB V PENUTUP A. Kesimpulan 1. Dari segi isi, Perda Nomor 11 Tahun 1988 dan Perda Nomor 8 tahun 2007 memiliki beberapa problem yang membutuhkan kajian lebih mendalam untuk revisi. Beberapa problem tersebut adalah : a. Tidak jelasnya definisi kepentingan umum, jalur hijau dan tempat umum yang dikehendaki di dalam perda. Padahal sebagian besar larangan dan pengaturan di dalam perda terkait dengan ketiga konsep tersebut. b. Kepentingan dinas selalu dijadikan excuse (perkecualian) atas berbagai larangan bagi warga yang dicantumkan dalam Perda, tanpa ada batasan dan kejelasan kepentingan dinas yang seperti apa. Materi peraturan yang seperti ini akan rawan menimbulkan penyimpangan oleh oknum-oknum aparat dengan mengatasnamakan kepentingan dinas. c. Berbagai larangan di dalam Perda untuk memanfaatkan lahan umum seperti sungai dan saluran air untuk keperluan sehari-hari seperti mandi, membersihkan anggota badan, mencuci dan seterusnya patut untuk ditinjau ulang. Mengingat vitalnya fungsi sungai sebagai penyuplai kebutuhan air warga miskin ditengah semakin sulitnya masyarakat mendapatkan akses air. d. Ketentuan yang melarang setiap orang atau badan mengusahakan kendaraan baik bermotor maupun tidak bermotor yang tidak termasuk dalam pola angkutan umum sebagai alat angkutan umum – seperti becak, ojek motor, ojek sepeda, dst - perlu untuk ditinjau ulang. Ditengah semakin tingginya angka pengangguran di DKI Jakarta, sector informal seperti ojek, becak dst ternyata menjadi alternative yang cukup ampuh bagi warga Jakarta untuk tetap mendapatkan penghasilan. e. Ketentuan yang melarang berjualan di jalur hijau, taman dan tempat umum juga perlu ditinjau ulang. Yang dibutuhkan Jakarta mungkin adalah pengaturan dan bukan pelarangan. 2. Dari segi implementasi, meskipun secara formal objek sasaran pemberlakuan perda adalah seluruh warga Jakarta, hasil kajian menunjukkan bahwa secara faktual objek utama dari Perda ini adalah warga miskin dan kaum marjinal perkotaan. Hal itu terlihat dari fakta bahwa usaha penertiban, penggusuran dan razia yang selama ini dilakukan aparat trantib umumnya ditujukan pada pemukiman warga miskin, meksipun banyak juga pemukiman mewah, mal, dan apartemen yang melanggar ketentuan Perda juga. Di samping itu, hasil kajian juga menunjukkan bahwa implementasi Perda juga telah membuat banyak warga Jakarta mengalami pelanggaran HAM. 3. Dalam perspektif Islam, meskipun Islam lebih mengutamakan kemaslahatan umum jika bertentangan dengan kepentingan pribadi, namun hal tersebut harus tetap dalam konteks mewujudkan tujuan dari syariah (maqasid syariah), yaitu terjaminnya hak-hak dasar manusia atau yang dikenal dengan istilah al dharuriyat al khamsah. Tidak dibenarkan atas nama kemaslahatan umum melanggar hak-hak dasar manusia. Mengingat dalam pelaksanaannya Perda Nomor 11 tahun 1988 telah terbukti banyak melanggar hak-hak dasar warga Jakarta, dalam perspektif Islam hal tersebut tidak dapat dibenarkan dan harus ditentang. Mengingat Perda 8 tahun 2007 tidak banyak berbeda isinya dengan Perda 11/1988 dikhawatirkan juga akan menghasilkan dampak yang sama. 4. Dalam perspektif HAM sebagaimana diatur dalam UU Nomor 11 Tahun 2005 dan UU Nomor 12 Tahun 2005, baik isi materi maupun implementasinya Perda Nomor 11 tahun 1988 dan Perda Nomor 8 Tahun 2007 banyak bertentangan dengan kedua perundangan tersebut di atas. Terutama implementasai pasal-pasal yang menyangkut tertib jalur hijau, tertib sungai dan tertib usaha tertentu. B. Saran - Saran 1. Perlunya dilakukan uji materi terhadap Perda Nomor 8 Tahun 2007 terutama terkait dengan berbagai peraturan perundangan tentang HAM 2. Mengingat Perda 8 tahun 2007 sedang menjalani proses evaluasi di Departemen Dalam Negeri, disarankan kepada Menteri Dalam Negeri untuk lebih arif dalam merespon tuntutan dan keberatan masyarakat dengan menyarakan agar Perda 8 tahun 2007 direvisi untuk lebih disesuaikan dengan Perspektif HAM dan kemaslahatan umum (al maslahah al ammah) sebagaimana diamanatkan dalam Islam. A. DAFTAR PUSTAKA Peraturan Perundang-Undangan Perda Nomor 11 Tahun 1988 tentang Ketertiban Umum dalam Wilayah Daerah Khusus Ibukota Jakarta. TAP MPR Nomor XVII tahun 1998 tentang Pandangan dan Sikap Bangsa Indonesia Terhadap HAM dan Piagam HAM Nasional. Undang-Undang (UU) Nomor 11 Tahun 2005 Tentang Pengesahan International Covenant on Economic, Social, and Cultural Right (Kovenan Internasional Tentang Hak-Hak Ekonomi, Sosial, dan Budaya), Undang-Undang (UU) Nomor 12 Tahun 2005 Tentang Pengesahan International Covenant on Civil and Political Right (Kovenan Internasional Tentang Hak-Hak Sipil dan Politik) Undang-Undang Dasar (UUD) 1945. Undang-Undang (UU) Nomor 5 Tahun 1988 Tentang Ratifikasi Kovenan Anti Penyiksaan, Perlakuan dan Penghukuman yang Kejam, Tidak Manusiawi, dan Merendahkan Martabat. Undang-Undang (UU) Nomor 9 Tahun 1988 Tentang Kebebasan Menyatakan Pendapat. Undang-Undang (UU) Nomor 26 Tahun 1999 Tentang Pencabutan UU Nomor 11 Tahun 1963 Tentang Tindak Pidana Subversi. Undang-Undang (UU) Nomor 29 Tahun 1999 Tentang Ratifikasi Kovenan Penghapusan Segala Bentuk Diskriminasi. Undang-Undang Nomor 39 Tahun 1999 Tentang Hak Asasi Manusia (HAM) B. Buku-Buku Al-Atsari, Abu Ihsan., Koreksi Total Masalah Politik & Pemikiran dalam Perspektif Al-Qur’an & As-Sunnah, Jakarta : Darul Haq, 2002. Al-Maududi, Abu A’la., Hak Asasi Manusia dalam Islam, Jakarta : YAPI, 1988. Arikunto, Suharsimi., ”Manajemen Penelitian”, Jakarta : Rieneka Cipta, Cetakan Kelima Tahun 2000. Baehr, Peter., (et.al), Instrumen Internasional Pokok Hak-Hak Asasi Manusia, Jakarta : Yayasan Obor Indonesia, 2001. Davies, Peter., Hak-Hak Asasi Manusia : Sebuah Bunga Rampai : Jakarta : Yayasan Obor Indonesia, 2001. Effendi, Manshur., Dimensi dan Dinamika Hak Asasi Manusia dalam Hukum Nasional dan Internasional, Jakarta : Ghalia Indonesia, 1994. Fakih, Mansur dkk., Menekan Keadilan dan Kemanusian : Pegangan Untuk Membangun Gerakan HAM, Yogyakarta : Insist Press, 2003. Manan, Bagir., Perkembangan Pemikiran dan Pengaturan Hak Asasi Manusia di Indonesia, Bandung : PT. Alumni, 2001. Mattew B Miles & A. Michael Huberman, ”Analisis Data Kualitatif :Buku Sumber Tentang Metode-Metode Baru”, Jakarta : UI Press, Cetakan Pertama, Tahun 1992. Muin Salim, Abdul., Konsepsi Kekuasaan Politik dalam Al-Qur’an, Jakarta : Rajawali Press, 2002. Muhammad Hasbi As Shiddiqi, Teungku., “Islam dan HAM”, Semarang : Pustaka Rizqi Utama, 1999. Marzuki, Suparman & Sobirin Malian, Pendidikan Kewarganegaraan dan HAM”, Yogyakarta : UII Press, 2002. Nasution, Harun dan Bahtiar Effendi., Hak Asasi Manusia dalam Islam, Jakarta : Yayasan Obor Indonesia, 1987. Soetandjo Wignjosoebroto, Hak Asasi Manusia dalam Islam : Konsep Dasar dan Perkembangan Pengertiannya Dari Masa ke Masa, Jakarta : Elsam, 2005. C. Artikel, Makalah dan Berita Koran Ariyanto., “Ada Pelanggaran HAM di Kalijodo”, Artikel diterbitkan Indopos, 31 Januari 2007. Artikel., “Hak Asasi Kaum Perempuan, Langkah demi Langkah” Risalah diterbitkan oleh LBH APIK, 2005. Ali Nurdin, Ahmad., “Islam dan Hak Asasi Manusia, Paper untuk Post Graduate Student University of New England-Australia. Berita, Gugatan “Citizen Law Suit” Opreasi Yustisia Sudah digelar, disitus www.hukumonline.com, tanggal 18 Januari 2007. Berita., 65 PKL di Pluit Ditertibkan, Berita Jakarta, 30 Maret 2007. Berita., Ribuan PKL Tuntut Penghapusan Perda 11 Tahun 1988, Indopos, 17 Januari 2007. Heraty, Toety, Prof. Dr. Dkk., “Menata Kembali Hak Warga Negara”, Risalah Akademis Forum Keprihatinan Akademis, 23 November 2003. Yafie, Ali., “Konsep-Konsep Istihsan, Istihlah, dan Mashlahat Al Ummah, Makalah pada Seminar MUI, 1999.