konsentrasi siyasah syar`iyyah program studi

advertisement
“ PERDA KETERTIBAN UMUM DI WILAYAH DKI JAKARTA DALAM
PERSPEKTIF ISLAM DAN HAM”
Skripsi
Diajukan untuk Memenuhi Persyaratan Memperoleh
Gelar Sarjana Hukum Islam (SHI)
Oleh :
Arief Rahman
Nim : 0045219457
KONSENTRASI SIYASAH SYAR’IYYAH
PROGRAM STUDI JINAYAH SIYASAH
FAKULTAS SYARIAH DAN HUKUM
UIN SYARIF HIDAYATULLAH
JAKARTA
1429 H / 2008 M
“ PERDA KETERTIBAN UMUM DI WILAYAH DKI JAKARTA DALAM
PERSPEKTIF ISLAM DAN HAM”
Skripsi
Diajukan Kepada Fakultas Syariah dan Hukum
untuk Memenuhi Persyaratan Memperoleh
Gelar Sarjana Hukum Islam (SHI)
Oleh :
Arief Rahman
Nim : 0045219457
Di bawah Bimbingan :
Pembimbing I
(Drs. Abu Thamrin, SH.M.Hum)
NIP : 19650908 199503 1 001
Pembimbing II
(Dr. Rumadi, M.Ag)
NIP : 19690304 199703 1 012
KONSENTRASI SIYASAH SYAR’IYYAH
PROGRAM STUDI JINAYAH SIYASAH
FAKULTAS SYARIAH DAN HUKUM
UIN SYARIF HIDAYATULLAH
JAKARTA
1429 H / 2008 M
PENGESAHAN PANITIA UJIAN
Skripsi yang berjudul “ PERDA KETERTIBAN UMUM DI WILAYAH DKI
JAKARTA DALAM PERSPEKTIF ISLAM DAN HAM”, telah diujikan
dalam sidang munaqosah Fakultas Syariah dan Hukum UIN Syarif Hidayatullah
Jakarta pada tanggal 23 Juni 2008. Skripsi ini telah diterima sebagai salah satu
syarat untuk memperoleh gelar Sarjana Hukum Islam (SH.I) pada Program Studi
Jinayah Siyasah Konsentrasi Ketatanegaraan Islam (Siyasah Syar’iyyah).
Jakarta, 23 Juni 2008
Dekan,
(Prof. DR. H. Muhammad Amin Suma, SH, MA, MM
NIP : 19550505 198203 1 012
PANITIA UJIAN MUNAQOSAH
1. Ketua
----------------)
: Dr. Asmawi, M.Ag
(--------
NIP : 19721010 199703 1 008
2. Sekretaris
-----------------)
: Sri Hidayati, M.Ag
(--------
NIP : 19710215 199703 2 002
3. Pembimbing I
-----------------)
: Drs. Abu Thamrin, SH, M.Hum
(--------
NIP : 19650908 199503 1 001
4. Pembimbing II
------------------)
: Dr. Rumadi, M.Ag
NIP : 19690304 199703 1 012
(--------
5. Penguji I
------------------)
: H. Abdul Wahab Abd Muhaimin, Lc, MA
(--------
NIP : 19500817 198903 1 001
6. Penguji II
------------------)
: Kamarusdiana, S.Ag, M.H
NIP : 19720224 199803 1 003
(--------
‫ ا
ا ا‬
KATA PENGANTAR
Alhamdulillah Segala Puji bagi Allah Yang Maha Kuasa, atas kekuatan
dan kesempatan yang diberikan kepada penulis, sehingga dapat menyelesaikan
skripsi ini tepat pada waktunya. Tak ada kemampuan dalam diri penulis, kecuali
semua ini karena Nikmat dan Karunia dari Allah Yang Maha Pengasih dan Maha
Penyayang.
Penulisan skripsi ini tidak akan selesai tanpa ada do’a dan bantuan yang
diberikan kepada penulis. Oleh karena itu dalam kesempatan ini penulis
mengucapkan terima kasih yang besar-besarnya, kepada :
1. Bapak Prof Dr. H. Muhammad Amin, SH, MA, MM selaku Dekan Fakultas
Syariah dan Hukum.
2. Bapak Asmawi, M.Ag dan Ibu Sri Hidayati, M.Ag selaku Kajur Jinayah
Siyasah dan Sekjur Jinayah Siyasah Fakultas Syariah dan Hukum, yang selalu
mengingatkan penulis untuk menyelesaikan skripsi ini.
3. Bapak Drs. Abu Thamrin, M.Hum dan Bpk. Dr. Rumadi, M.Ag selaku
Pembimbing skripsi, yang telah banyak mengarahkan dan membimbing
penulis dalam menyelesaikan skripsi ini.
4. Bapak – Ibu Dosen Fakultas Syariah dan Hukum UIN Syarif Hidayatullah
Jakarta.
5. Lembaga Kajian Komnas HAM, Lembaga LBH Jakarta, LBH APIK, Elsham
yang telah mengizinkan penulis untuk meneliti masalah Ketertiban Umum dan
membantu dalam pengadaan data-data yang menunjang demi terselesainya
skripsi ini.
6. Kedua Orang Tua Tercinta, H. Abdul Cholik, MS dan Hj. Nur Azizah dan tak
terlupakan pula Almh. Hj. Maisuri yang telah memberikan cinta dan kasih
sayangnya yang tak terhingga kepada penulis.
7. Kepada Kakak-kakakku Elin Herlina, SH dan Heri Hermawan, ST dan adikadikku tersayang Diana Kusumawati, Nur Faizah, Ahmad Sofwan Mulyawan
dan Nurlaila.
8. Serta penulis ucapkan kepada keluarga Bapak Soemarjono dan Ibu Karminah
serta keluarga Bapak Yasin dan Ibu Rohani yang telah mengizinkan tempat
tinggalnya digunakan untuk berteduh serta tidak capeknya memberikan
semangat dan support kepada penulis untuk menyelesaikan skripsi ini.
9. Kepada sahabat-sahabat sekalian, Eko Hadi Prasetyo, S.Sos, Adi Syahlani,
S.HI, Rio Tamara, S.HI, Faisal Anwar, S.Pd.I dan Etty Herawati, S.Pd.I serta
seluruh teman-teman Jurusan Jinayah Siyasah yang tidak dapat penulis
sebutkan satu persatu yang sudah bersama-sama penulis, baik dalam keadaan
suka maupun duka telah memberikan dorongan, semangat kepada penulis
untuk menyelesaikan skripsi yang melelahkan ini.
10. Tidak lupa juga penulis ucapkan terima kasih kepada Budiman, S.Sos.I dan
Imam Soeyuti, S.Sos.I yang telah membantu penulis dalam penyelesaian
skripsi ini.
Semoga Allah SWT membalas segala kebaikan dan do’a yang ditujukan
kepada penulis dengan Rahmat dan Kasih Sayang-Nya yang berlipat ganda.
Peribahasa mengatakan, “Tak Ada Gading Yang Tak Retak”, penulis sadar
bahwa masih banyak kekurangan dalam skripsi ini. Untuk itu penulis
mengharapkan kritik, saran serta masukan dari berbagai pihak demi sempurnanya
tulisan ini. Akhirnya semoga tulisan ini dapat berguna, bermanfaat dan menambah
khazanah keilmuan.
Jakarta :
23 Juni 2008 M
19 Jumadil Awal 1429 H
Penulis,
DAFTAR ISI
KATA PENGANTAR ............................................................................ i
DAFTAR ISI ............................................................................................ iv
BAB I : PENDAHULUAN
A. Latar Belakang Masalah ………………………………… 1
BAB II
B. Pembatasan dan Perumusan Masalah …………………...
7
C. Tujuan Penelitian ………………………………………..
8
D. Tinjauan Pustaka ………………………………………..
9
E. Manfaat Yang Diharapkan………………………………
15
F. Metode Kajian ……………………………………….
15
G. Sistem Matika Penulisan ………………………………...
17
: HAM, ISLAM DAN KETERTIBAN UMUM
A. Konsep HAM dan Perkembangannya di Indonesia ……..
20
B. HAM dalam Sistem Perudangan di Indonesia …………..
25
C. Negara, HAM dan Ketertiban Umum …………………… 29
D. Ketertiban Umum dalam Islam…………… …………….
34
BAB III : PERDA TENTANG KETERTIBAN UMUM :
TINJAUAN TERHADAP ISI DAN IMPLEMENTASINYA
A. Latar Belakang Terbitnya Perda 11 Tahun 1988 dan
Perda Nomor 8 Tahun 2007……………………..……….
37
B. Telaah Terhadap Isi Perda tentang Ketertiban Umum
B.1. Perda Nomor 11 Tahun 1988……………………….
39
B.2. Perda Nomor 8 Tahun 2007 .....................................
49
B.3. Matrik Perbandingan Isi Perda Nomor 11 Tahun 1988
dengan Perda Nomor 8 Tahun 2007........................... 60
C. Implementasi Perda Tentang Ketertiban Umum ………… 63
BAB IV : PERDA TENTANG KETERTIBAN UMUM DI DKI JAKARTA
DALAM TINJAUAN ISLAM DAN HAM
A. Tinjauan Islam Terhadap Perda Tentang Ketertiban Umum
di DKI Jakarta............ ………………………………....
67
B. Tinjauan HAM Terhadap Perda Tentang Ketertiban Umum
di DKI Jakarta ................................................………....
74
C. Solusi atas Masalah Isi dan Implementasi Tentang
BAB V
Ketertibang Umum di DKI Jakarta................................
82
: PENUTUP
A. Kesimpulan ……………………………………………
86
B. Sara-saran ……………………………………………..
89
DAFTAR PUSTAKA ……………………………………………….
90
BAB I
PENDAHULUAN
A.
Latar Belakang Masalah
Secara filosofis, salah satu tujuan dari keberadaan negara adalah
melindungi hak-hak warganya dan mewujudkan serta menjaga ketertiban umum.
Melalui mekanisme kontraktual, penyelenggara Negara ‘diberi’ kewenangan oleh
warganya untuk membentuk aparatus negara yang bertugas melindungi hak-hak
warga dan menjaga ketertiban umum. Sayangnya, di banyak negara, kewenangan
untuk menjaga ketertiban umum seringkali disalahgunakan justru untuk
melanggar dan menindas hak-hak warga. Dengan dalih mendahulukan
kepentingan negara dan menegakkan ketertiban umum, penyelenggara Negara
merasa berhak dan absah untuk melakukan penggusuran, pengusiran dan
pencabutan akan hak-hak warga, termasuk hak asasi manusianya. Di sini terjadi
ketidakseimbangan negara di dalam meletakkan secara proporsional kewajibannya
untuk melindungi hak-hak warganya dengan kewenangannya untuk mewujudkan
ketertiban umum. Padahal keduanya harus diletakkan dalam posisi yang
berimbang dan proporsional. Melulu mementingkan hak warga dapat memicu
anarki dan instabilitas sosial. Terlalu berpihak pada penegakan ketertiban umum
rentan memunculkan tirani. Itulah sebabnya negara harus memiliki regulasi yang
mengatur dua hal tersebut secara adil, berimbang dan proporsional.
Sejak reformasi bergulir, Indonesia merupakan negara yang tergolong
sangat progresif dalam regulasi dan ratifikasi berbagai peraturan tentang HAM.
Meski demikian, tidak serta merta dapat disimpulkan bahwa Indonesia telah
menjunjung tinggi nilai-nilai HAM. Berbagai kasus pelanggaran HAM berat yang
terjadi pada masa lampau tak kunjung terselesaikan hingga kini. 1 Bahkan
belakangan muncul berbagai kasus baru yang terindikasi kuat merupakan bentuk
pelanggaran HAM yang juga semakin tidak jelas penanganannya, seperti
penggusuran, penganiayaan dan perusakan properti milik warga oleh aparat
negara.
Celakanya,
dalam
banyak
kasus
penggusuran,
perusakan
dan
penganiayaan, berbagai pelanggaran HAM yang dilakukan aparat negara
seringkali dianggap sah karena didasarkan atas berbagai peraturan yang diduga
kuat bertentangan dengan prinsip-prinsip HAM dan umumnya terbit pada era
Orde Baru.
Salah satu peraturan yang sampai saat ini tidak pernah sepi dari
kontroversi adalah Peraturan Daerah (Perda)
Nomor 11 tahun 1988 tentang
Ketertiban Umum dalam Wilayah Daerah Khusus Ibu Kota Jakarta. Perda yang
dibuat pada masa Gubernur Wiyogo Atmodarminto dan masih berlaku sampai
saat ini, dinilai banyak kalangan bertentangan dengan prinsip-prinsip HAM yang
telah diakomodasi dalam berbagai peraturan dan perundangan yang lebih tinggi
dan berlaku sekarang ini.2 Perda 11/1988
selama ini selalu dijadikan dasar
justifikasi oleh Pemerintah DKI Jakarta untuk melakukan ‘penertiban’ berupa
1
Diantara kasus pelanggaran HAM yang menyita perhatian public adalah penculikan para
aktivis pada era Orde Baru dan kasus Trisakti, kasus Semanggi I, Kasus Semanggi II dan kasus
tewasnya aktivis HAM Munir.
2
Kalangan LSM yang kritis terhadap Perda ini antara lain LBH Jakarta, LBH APIK,
Elsham, dll. Selain itu, sejumlah kalangan akademisi juga prihatin dengan Perda ini, diantaranya;
Prof. Dr. Saparinah Sadli, Prof. Dr. Sayogjo, Prof. Dr. Toety Herati, Ir. Marco Kusumawijaya,
Prof. Dr. Franz Magnis Suseno dan banyak tokoh lagi. Keprihatinan mereka dituangkan dalam
petisi Forum Keprihatinan Akademisi berjudul “Menata Kembali Hak Warga Negara”, 11
Nopember 2003.
penggusuran, pengusiran dan perusakan terhadap properti warga yang dianggap
tidak sesuai dengan ketentuan yang diatur di dalam Perda.
Faktanya, dalam kurun enam tahun terakhir ini aktivitas ‘penertiban’ yang
dilakukan aparat Pemda DKI Jakarta menunjukkan intensitas yang semakin tinggi,
dengan dampak dan cakupan ‘korban’ yang semakin luas.3
Yang penting untuk dicatat adalah Pemerintah DKI Jakarta selalu
menjadikan Perda Nomor 11 Tahun 1988 sebagai dasar hukum untuk melakukan
semua aktivitas ‘penertiban’ tersebut di atas. Dengan alasan pemukiman berada di
jalur hijau, pemukiman berada di bantara kali, pemukiman berada di bantaran rel
kereta api, atau lahan usaha berada di taman dan trotoar, dengan serta merta
Pemda DKI Jakarta merasa berwenang untuk menghilangkan hak warga untuk
mendapatkan pekerjaan dan penghidupan yang layak yang ironisnya telah diakui
dan dijamin dalam berbagai peraturan perundangan yang lebih tinggi.
Upaya untuk menghapus Perda ini bukan tidak dilakukan. Berbagai
kalangan LSM aktif melakukan demonstrasi menuntut agar Perda 11/1988
dicabut.4 Demikian juga telah ditempuh langkah-langkah hukum, namun hasilnya
masih nihil. Terakhir, setelah gugatan citizen law suit yang dilakukan oleh
gabungan Urban Poor Consortium (UPC), Lembaga Bantuan Hukum (LBH)
Jakarta dan LBH APIK di tolak oleh Majelis Hakim Pengadilan Negeri Jakarta
3
Koran Tempo, 26 Januari 2007, Data detail penggusuran dan berbagai pelanggaran hak
warga lihat dokumen Forum Keprihatinan Akademisi, ibid.
4
Ribuan pedagang kaki lima korban gusuran yang tergabung dalam Pedagang Kaki Lima
Bersatu pada bulan Januari lalu berunjuk rasa di Balaikota DKI menuntut pencabutan Perda
11/1988. Lihat Warta Kota dan Indopos 17 Januari 2007.
Pusat, Mereka kemudian berupaya melakukan judicial review terhadap Perda ini
ke Mahkamah Agung, yang hasilnya sampai saat ini juga juga tidak menentu.5
Perkembangan terakhir, justru menunjukkan gejala yang semakin meresahkan
kalangan LSM dan warga miskin kota. Pemerintah DKI Jakarta, mulai 1 Januari
2008 resmi memberlakukan Perda Nomor 8 tahun 2007 yang merupakan
penyempurnaan terhadap Perda 11 Tahun 1988. Oleh banyak kalangan Perda baru
ini dianggap lebih represif dan anti rakyat miskin kota.6
Secara faktual harus diakui bahwa persoalan penegakan ketertiban melalui
Perda ini adalah masalah yang rumit. Pihak Pemerintah DKI sering berargumen,
sebagai Ibu Kota dan sekaligus ‘etalase’ Negara,
Jakarta dituntut
untuk
menghadirkan suasana yang tertib, teratur, aman, sehat, bersih dan nyaman bagi
warga dan tamu-tamunya. Sehingga untuk itu, regulasi yang tepat dan penegakan
hukum secara konsekwen mutlak dibutuhkan. Di sisi lain, kompleksitas persoalan
yang ada di Jakarta, sejak dari himpitan ekonomi sampai keterbatasan lahan
membuat banyak dari warganya tidak memiliki pilihan lain selain tinggal atau
mencari nafkah di lokasi-lokasi yang menurut Perda di larang. Padahal menurut
Pemda DKI, jika hal ini dibiarkan terus berlangsung, Jakarta tentu akan menjadi
semakin semrawut, dan bukan tidak mungkin dapat mengganggu kepentingan dan
hak-hak publik yang lebih besar.7
5
Lihat di situs www.hukumonline.com, tanggal 27 Februari 2007.
Lihat, www.hukumonline.com, Perda Ketertiban Umum, Niat Baik yang Tidak
Didukung Kemampuan, 6 januari 2008.
7
PKL yang berjualan di trotoar dan bahu jalan raya seringkali menjadi sumber
kemacetan. Tinggal di bantara rel kereta api, bukan saja membahayakan mereka yang tinggal,
melainkan juga membahayakan penumpang kereta dan mempengaruhi keawetan rel kereta, dst.
6
Secara filosofis, hakikat penghormatan dan perlindungan terhadap HAM
adalah menjaga keselamatan eksistensi manusia secara utuh melalui aksi
keseimbangan, yaitu keseimbangan antara hak dan kewajiban serta keseimbangan
antara
kepentingan
perseorangan
dengan
kepentingan
umum.
Upaya
menghormati, melindungi dan menjunjung tinggi HAM menjadi kewajiban dan
tanggungjawab bersama antara individu, pemerintah (aparatur pemerintah baik
sipil maupun militer) bahkan Negara. Jadi di dalam memenuhi dan menuntut hak,
tidak terlepas dari pemenuhan kewajiban yang harus dilaksanakan. Begitu juga
dalam memenuhi kepentingan perseorangan tidak boleh merusak kepentingan
orang banyak (kepentingan umum). Karena itu, pemenuhan, perlindungan dan
penghormatan terhadap HAM harus diikuti pemenuhan terhadap KAM
(kewajiban asasi manusia) dan TAM (Tanggungjawab Asasi Manusia) dalam
kehidupan pribadi, bermasyarakat dan bernegara.8 Jadi dapat disimpulkan bahwa
hakikat dari HAM adalah keterpaduan antara hak, kewajiban dan tanggungjawab
yang berlangsung secara sinergis dan berimbang. Bila ketiga unsur asasi yang
melekat pada setiap individu manusia, baik dalam tatanan kehidupan pribadi,
kemasyarakatan, kebangsaan, kenegaraan dan pergaulan global tidak berjalan
secara seimbang, dapat dipastikan menimbulkan kekacauan, anarkisme dan
kesewenang-wenangan dalam tata kehidupan umat manusia.
Di dalam Islam, hak dan kewajiban ibarat dua sisi mata uang yang tak
dapat dipisahkan. Tidak seorangpun manusia yang boleh dibiarkan menyisihkan
8
Mansour Fakih dkk, Menegakkan Keadilan dan Kemanusiaan : Pegangan Untuk
Membangun Gerakan HAM, Yogyakarta : Insist Press, 2003 hal. 78
hak istimewa untuk dirinya sehingga terbebas dari kewajibannya. Hak dan
kewajiban setiap pribadi warga Negara adalah sama. Hak seseorang terhadap yang
lain adalah kewajiban orang lain itu, dan kewajiban seseorang terhadap orang lain
adalah hak orang yang bersangkutan. Jika dikaitkan dengan masalah kekuasaan
negara, menurut Nurcholis Madjid, dalam masyarakat secara minimal harus
ditegakkan hak-hak yang tak terpisahkan dari perikehidupan yang sentosa. Yaitu,
hak-hak pribadi untuk hidup dan memperoleh jaminan keamaan atas hidupnya;
hak-hak pribadi untuk tidak disiksa baik fisik mapun mental; hak-hak pribadi
untuk memperoleh pengadilan yang tidak memihak dan fair; hak-hak pribadi
untuk tidak mengalami penangkapan dan penahanan sewenang-wenang.9
Pelanggaran atas hak pribadi tersebut, menurut Nurcholis, akan merupakan
pelanggaran hak asasi yang paling telanjang. Pelanggaran atas hak-hak itu juga
merupakan penyelewengan paling gawat dari dasar dan falsafah kenegaraan. Dan
karena hak-hak itu ada dalam konteks kekuasaan, maka usaha melindungi dan
menegakkannya memerlukan sistem dan tatanan kekuasaan yang adil dan tidak
memihak kepada kepentingan diri sendiri dan golongan. Di dalam Al Qur’an
ditegaskan bahwa
menjalankan kekuasaan harus dengan tujuan menegakkan
keadilan, tanpa perasaan suka atau tidak suka , dan meskipun mengenai diri
sendiri, kedua orang tua maupun sanak kerabat. Quran surat Al Maidah/5:8,
“Wahai sekalian orang yang beriman, jadilah kamu orang yang adil karena
Allah, menjadi saksi yang adil. Dan janganlah kebencianmu kepada suatu
9
Nurcholis Madjid, Masyarakat Religius : Membumikan Nilai-Nilai Islam dalam
Kehidupan Masyarakat, Jakarta : Paramadina, cet II, 2000, hal 50
golongan membuatmu tidak adil. Tegakkanlah keadilan, itulah yang lebih dekat
kepada taqwa. Dan takutlah kepada Allah, sesungguhnya Allah mengetahui
apapun yangkamu kerjakan”.
Atas dasar fakta-fakta dan pemikiran tersebut di atas, penulis merasa
penting untuk mengkaji isi Perda Nomor 11 tahun 1988 (yang meskipun tidak lagi
berlaku namun penting untuk dijadikan pijakan analisis karena Perda yang baru
belum dapat dilihat dampak implementasinya) dan Perda Nomor 8 Tahun 1988
dilihat dari perspektif Islam dan HAM terkhusus hak-hak sipil, ekonomi dan
sosial warga. Karena jika selama ini pemerintah daerah DKI Jakarta selalu
berargumen bahwa Perda ini merupakan instrument hukum yang penting bagi
penegakan ketertiban umum yang sesungguhnya di dalamnya juga terkandung hak
publik dan hak asasi warga, maka fakta bahwa Perda ini juga selalu menjadi dasar
justifikasi hukum bagi terjadinya serangkaian penggusuran, pengusiran dan
perusakan warga oleh aparat Negara menunjukkan bahwa ada yang bermasalah
dari isi Perda ini sendiri. Untuk itu, telaah terhadap isi (content analysis) Perda,
dikaitkan dengan Islam dan berbagai produk hukum lainnya yang mengatur
tentang HAM menjadi penting untuk dilakukan.
B.
Pembatasan Dan Perumusan Masalah
Mengingat spektrum cakupan HAM yang luas, telaah perspektif HAM
terhadap Perda 11 tahun 1988 dan perda 8 Tahun 2007 akan dibatasi pada kajian
isi masing-masing perda, tinjauan islam terhadap perda tibum, dan kajian khusus
terhadap perda 8 tahun 2007 mengenai pasal-pasal yang akan membatasi dan atau
akan mengakibatkan pelanggaran hak atas pekerjaan. Setiap pasal yang dimaksud
akan dibandingkan dengan peraturan perundang-undangan yang mengatur
mengenai hak atas pekerjaan.
Atas dasar pembatasan tersebut di atas, maka pertanyaan dalam penelitian
ini dapat dirumuskan sebagai berikut :
1. Bagaimana isi dan implementasi Perda Nomor 11 tahun 1988 tentang
Ketertiban Umum Dalam Wilayah Daerah Khusus Ibu Kota Jakarta?
2. Bagaimana isi Perda Nomor 8 tahun 2007 yang merupakan revisi atas Perda
Nomor 11 tahun 1988?
3. Bagaimana tinjauan Islam terhadap isi dan impelementasi dari Perda Nomor
11 Tahun 1988 dan Perda Nomor 8 tahun 2007?
4. Bagaimana isi dan kajian perda 8 tahun 2007 terhadap pasal-pasal yang akan
membatasi dan/atau akan mengakibatkan pelanggaran hak atas pekerjaan.?
C.
Tujuan Penelitian
Secara umum penelitian ini bertujuan melakukan pengayaan wacana
akademis berkaitan dengan materi ketertiban umum dalam hubungannya dengan
penegakan hak asasi manusia.
Sedangkan secara khusus penelitian ini bertujuan:
1. Mengetahui isi dan implementasi dari Perda 11 tahun 1988 tentang Ketertiban
Umum Dalam Wilayah Daerah Khusus Ibu Kota Jakarta.
2. Mengetahui isi dari Perda 8 tahun 2007 tentang Ketertiban Umum.
3. Mengetahui perspektif Islam terhadap isi dan implementasi Perda Nomor 11
Tahun 1988 tentang Ketertiban Umum Dalam Wilayah Daerah Khusus Ibu
Kota Jakarta dan isi Perda Nomor 8 Tahun 2007.
4. Mengetahui perspektif HAM terhadap pasal-pasal yang membatasai dan/atau
mengakibatkan pelanggaran hak atas pekerjaan.
D.
Tinjauan Pustaka
Terdapat tiga variable utama yang akan dikaji dalam penelitian ini, yakni
variable ketertiban umum yang dalam konteks ini secara konseptual-substansial
dibatasi dan direpresentasikan oleh Perda 11 tahun 1988 dan Perda Nomor 8 tahun
2007, variable HAM, dan variable Islam yang dikaitkan dengan HAM dan
ketertiban umum. Untuk mengetahui fokus dan posisi penelitian ini, penting untuk
dijelaskan konsep-konsep tersebut dengan cara mereview literatur-literatur baik
berupa buku maupun hasil penelitian sebelumnya yang berkenaan dengan Perda
11/1988 dan Perda 8/2007 , ketertiban umum, HAM dan Islam.
Hasil penelusuran kami menunjukkan bahwa penelitian tentang Perda 11
tahun 1988 bukanlah yang pertama dilakukan. Pada tahun 2002, LBH APIK telah
melakukan kajian terhadap Perda ini, dimana fokus kajian lebih diarahkan kepada
dampak penerapan perda ini yang lebih banyak merugikan kaum perempuan dan
anak-anak. 10
10
Lihat LBH-APIK, Kajian Terhadap Perda 11 tahun 1988 tentang Ketertiban Umum di
Wilayah DKI Jakarta, 2005. lihat juga, LBH APIK Jakarta, “Hak Asasi Kaum Perempuan,
Langkah demi Langkah”.
Berdasarkan kajian LBH APIK, Penerapan Perda 11/1988 berupa
penggusuran ternyata tidak hanya menyisakan penderitaan fisik dan kerugian
material pada rakyat miskin, tapi lebih jauh lagi dampak psikologis yang
dirasakan oleh perempuan dan anak memberikan trauma yang berkepanjangan
yang hal ini tidak terpikirkan oleh Pemda DKI Jakarta. Trauma menghadapi
kekerasan dari tingkah laku petugas Tramtib ketika menghancurkan rumah dan
perkampungan membekas dalam ingatan anak-anak dan perempuan. Ditambah
lagi dengan tidak diberinya kesempatan pada mereka menyelamatkan barangbarang menambah penderitaan ini. Anak-anak kehilangan kesempatan sekolah
karena perlengkapan sekolahnya musnah terkubur puing-puing rumahnya, anak
dan perempuan tidak mempunyai akses pelayanan kesehatan termasuk kesehatan
reproduksi. Menurut LBH-APIK ini semua merupakan kejahatan terhadap
kemanusiaan karena telah melanggar konvensi Internasional tentang Hak Asasi
Manusia, Hak Anak dan Hak Perempuan.
Kajian LBH-APIK juga menemukan bahwa Perda 11/88 ini juga menjadi
salah satu senjata yang paling ampuh dalam melakukan penertiban bagi para
perempuan prostitut baik yang berada di lokalisasi maupun yang berada di
jalanan. Pada saat dilakukannya operasi penertiban itu, seringkali para perempuan
prostitut tersebut mengalami kekerasan (misal dengan dikejar, dipukul atau
dicekal keras-keras tangannya serta pelecehan seksual berupa kata-kata dan
pandangan tak menyenangkan). Dalam penertiban terhadap perempuan prostitut
ini, jelas Pemda DKI telah menempatkan perempuan prostitut sebagai kriminal
atau penyakit sosial yang harus diberantas. Selain itu, usaha pemulihan atau
rehabilitasi yang dilakukan Pemda juga tidak betul-betul dilakukan, dimana dana
untuk panti-panti sosial dan rehabilitasi hanya sebagian kecil saja dari seluruh
dana APBD. Sehingga ketika di panti rehabilitasi itu para perempuan prostitut
yang terjaring operasi harusnya mendapatkan pendidikan ketrampilan serta
kebutuhan hidup yang layak dan sesuai dengan keputusan berapa lama mereka
harus menjalani rehabilitasi tersebut ternyata hanya mampu dilayani beberapa hari
saja karena panti-panti tersebut tidak bisa menanggung biaya operasionalnya.
LBH APIK juga menemukan bahwa pelanggaran ini berkaitan dengan
dialihfungsikannya fasilitas umum dan fasilitas sosial untuk pembangunan yang
berorientasi pada investasi. Dan yang perlu diingat dalam pelaksanaan Perda
11/88 ini, Pemerintah DKI Jakarta hanya sebatas melaksanakan saja padahal kalau
memang ada niat baik dari Pemerintah harus ada penyediaan layanan umum dan
fasilitas-fasilitas pendukung lainnya. Tapi itu tidak dilakukan oleh Pemda DKI
Jakarta.
Pada variable Islam dan HAM terdapat cukup banyak literatur baik berupa
buku maupun hasil riset yang dapat dijadikan titik pijak dan alat bantu peneliti
dalam mengkaji tema penelitian ini. Literatur dalam bentuk buku yang mengulas
tentang Islam dan HAM antara lain buku Tengku Muhammad Hasbie As Shiddiqi
yang berjudul, Islam dan HAM.11 Bukan hanya memberikan tinjauan filosofis
seputar posisi HAM dalam perspektif Islam, buku ini juga mengutip nilai-nlai
dasar HAM yang telah diletakkan oleh Nabi. Buku ini juga mengulas komponen11
Lihat, Teungku Muhammad Hasbi As Shiddiqi, “Islam dan HAM”, Semarang :
Pustaka Rizqi Utama, 1999.
komponen HAM yang dicantumkan di dalam Deklarasi Cairo yang kemudian
sering dijadikan dasar oleh kalangan masyarakat Muslim untuk menyatakan
bahwa Islam bukan hanya kompatibel dengan HAM, bahkan memberi perhatian
yang sangat besar kepada HAM. Hal itu ditunjukkan dengan justifikasi ayat-ayat
al Quran yang terkait dengan HAM di dalam Deklarasi ini.
Buku-buku lain yang membahas tentang Islam dan HAM antara lain, Hak
Asasi Manusia dalam Islam, yang merupakan terjemahan karya Abu A’la Al
Maududi, buku Islam dan HAM karya Tengku Muhammad hasby As Shiddiqy,
buku Hak Asasi Manusia dalam Islam karya Harun Nasution dan Bahtiar Effendi,
dan lain-lain.
Selain buku-buku, literatur tentang HAM dan Islam dalam bentuk makalah
atau artikel yang merupakan hasil riset juga cukup banyak tersedia. Misalnya
hasil riset Ahmad Ali Nurdin yang berjudul Islam dan HAM.
Makalah ini
berusaha menelaah dua isu pokok. Pertama, kontroversi apakah HAM harus
dipahami sebagai prinsip universal yang bisa diterapkan bagi seluruh umat
manusia atau hanya dipandang sebagai nilai esensial yang dibentuk oleh suatu
negara yang hanya berlaku bagi negara tertentu. Kedua, hubungan Universal
Declaration of Human Rights di satu sisi dan nilai-nilai universal Islam di sisi
lain, adakah kontradiksi atau konflik nilai di dalamnya.
Dalam membahas hubungan Islam dan HAM, Nurdin menemukan bahwa
cendekiawan Muslim yang konsen terhadap isu relativisme budaya dan HAM
secara garis besar terbagi kepada dua kelompok. Afshari sebagaimana dikutip
Nurdin menyebutnya sebagai kelompok old-traditionalist dan new-traditionalist,
sementara Bielefeldt menyebut mereka sebagai kelompok konservatif dan liberal.
Kelompok konservatif menolak untuk memaksakan standar Barat diterapkan pada
masalah-masalah publik masyarakat Muslim. Bagi mereka, urusan publik dalam
masyarakat Islam telah diatur secara jelas oleh norma agama. Bagi kelompok ini,
universalitas HAM yang dipromosikan oleh PBB dan negara-negara Barat adalah
ancaman bagi kelangsungan hidup masyarakat Muslim.
Meskipun demikian, kelompok ini tidak serta-merta menolak seluruh
konsep tentang HAM yang ditawarkan Barat, mereka menawarkan solusi dengan
penekanan pada perlunya masyarakat Islam merumuskan konsep HAM dengan
framework yang islami.
Kelompok liberal di pihak lain telah jauh melangkah dengan mencoba
menafsirkan teks-teks sakral agama dengan cara mengembangkan metodologi
penafsiran baru. Bagi kelompok ini diperlukan reinterpretasi baru atas nilai-nilai
Islam untuk memenuhi tuntunan norma global. Ahmed An-Naim, seorang
cendekiawan hukum Islam yang konsen dengan HAM, kutip Nurdin, mengatakan
bahwa secara substantif nilai-nilai Islam sangat mendukung dan sejalan dengan
norma legal HAM yang dikembangkan Barat jika nilai-nilai Islam ditafsirkan
secara akurat. Untuk mendukung pernyataannya, Naim menunjuk elastisitas Islam
yang memiliki kafabilitas tinggi dalam mengakomodasi variasi interpretasi teks.
Lebih jauh, kaum liberal Muslim memandang bahwa tidak ada kontradiksi yang
prinsipil antara nilai-nilai Islam dan standard HAM internasional yang
dikembangkan PBB. Ide-ide Al Quran tentang tingginya martabat manusia,
perlunya solidaritas kemanusiaan bahkan tidak adanya pemaksaan dalam
beragama menunjukkan bahwa Islam sangat menghargai HAM.
Menurut Nurdin, sampai sekarang, kontroversi antara kaum konservatif
dan liberal Muslim tentang hubungan antara Islam dan HAM masih belum
berakhir. Namun, untuk menyinergikan dan membangun suatu konsep tentang
HAM dengan framework islami, seperti ditekankan kaum konservatif, masyarakat
Muslim telah berhasil menyusun dua deklarasi tentang HAM: The Universal
Islamic Declaration of Human Rights yang dirumuskan oleh Islamic-Council
Eropa pada tahun 1981 dan Cairo Declaration of Human Rights in Islam yang
diadopsi oleh Organisasi Konferensi Islam pada Agustus 1991 sebagai acuan
HAM dalam Islam.12
Berdasarkan penelusuran sementara terhadap literatur yang tersedia
terlihat bahwa pengkajian terhadap Perda Nomor 8 Tahun 1988 meskipun telah
pernah dilakukan sebelumnya,
namun
kajian tersebut –meskipun juga
menyinggung HAM- masih dalam kacamata yang sangat spesifik pada aspek
HAM perempuan dan anak-anak. Demikian pula, kajian tentang Islam dan HAM
juga telah banyak dilakukan oleh para Ahli, namun mengaitkan Islam dan HAM
denan ketertiban umum yang secara praktis sering memicu terjadinya benturan
12
Lihat, Ahmad Ali Nurdin, Islam dan Hak Asasi Manusia, paper untuk Post Graduate
Student University of New England-Australia.
nilai, belum –atau belum banyak- di kaji orang. Untuk mengisi ‘kekosongan’
itulah fokus kajian penelitian ini diarahkan.
E.
Manfaat Yang Diharapkan
Penelitian ini diharapkan akan memberikan kontribusi positif dalam
pengembangan wacana bidang ketertiban umum dan HAM. Secara lebih spesifik,
penelitian ini mempunyai dua manfaat berikut :
1. Manfaat Akademis
Secara akademis, penelitian ini diharapkan berkontribusi menambah khazanah
ilmu dalam lapangan hukum, khususnya hukum Islam dan hukum Hak Asasi
Manusia berkait dengan penegakan ketertiban umum oleh Negara.
2. Manfaat Praktis
Secara praktis, hasil penelitian ini diharapkan dapat dimanfaatkan oleh
pemerintah daerah dan DPRD dalam rangka revisi dan penyempurnaan
terhadap Perda Nomor 8 Tahun 2007 yang saat ini sedang menjalani proses
evaluasi di Kementerian dalam Negeri.
F.
Metode Kajian
1. Sifat dan Pendekatan
Penelitian ini merupakan library research yang bersifat deskriptif-analitis,
dengan berupaya menggali, memaparkan dan menganalisa data-data berupa pasalpasal yang menjadi isi dan substansi Perda nomor 11 tahun 1998 dan Perda 8
Tahun 2007 untuk kemudian ditelaah secara kritis, dikaitkan dengan perspektif
Islam tentang HAM dan peraturan perundang-undangan tentang HAM yang
berlaku, dalam konteks ini dibatasai pada Undang-undang Nomor 11 Tahun 2005
dan Undang-undang Nomor 12 Tahun 2005. Pendekatan penelitian menggunakan
pendekatan kualitatif.13
2. Pengumpulan Data
Data di dalam kajian ini terdiri dari dua macam, yaitu data primer dan data
sekunder. Data primer merupakan dokumen-dokumen pokok yang akan dijadikan
objek kajian, yang meliputi; Peraturan Daerah DKI Jakarta Nomor 11 tahun 1988
tentang Ketertiban Umum, Undang-undang Nomor 11 Tahun 2005 Tentang
Pengesahan Kovenan Internasional Tentang Hak-hak Ekonomi, Sosial dan
Budaya, dan UU Nomor 12 Tahun 2005 Tentang Pengesahan Kovenan
Internasional Tentang Hak-hak Sipil dan Politik. Sedangkan data sekunder
merupakan data-data pendukung yang terkait dengan tema kajian, baik pada
tataran teoritis, maupun data-data praktis berupa fakta-fakta dari implementasi
Perda Nomor 11 tahun 1988. Data sekunder berupa buku-buku, laporan penelitian,
pemberitaan di koran dan majalah, artikel serta dokumen-dokumen lain yang
relevan. Pengumpulan data, baik primer maupun sekunder dilakukan melalui studi
dokumen
3. Teknik Analisa Data
Teknik analisa menggunakan content analysis. Teknik ini ini diawali
dengan mengkompilasi dan menelaah berbagai perspektif Islam tentang HAM dan
Undang-undang Nomor 11 tahun 2005 serta Undang-undang Nomor 12 tahun
13
Lihat, Suharsimi Arikonto, “Manajemen Penelitian”, Jakarta : Rineka Cipta, Cetakan
Kelima tahun 2000.
2005, yang akan digunakan sebagai dasar untuk menganalisa Perda 11 tahun
1988. Selanjutnya dari kumpulan perundang-undangan tersebut dikaji konten isinya, baik terkait kata-kata (words), makna (meanings), simbol, ide, tema-tema dan
pelbagai pesan lainnya yang disampaikan oleh perundang-undangan dimaksud.
Unit analisa perundang-undangan mencakup beberapa aspek penting, yaitu
hak mendapat penghidupan yang layak, hak kebebasan untuk mengeluarkan
pendapat, hak untuk hidup, hak mengembangkan diri, hak memperoleh keadilan,
hak atas rasa aman, hak atas kesejahteraan serta hak atas kebebasan pribadi (UUD
1945 dan UU Nomor 39 tahun 1999). Berdasarkan mesing-masing aspek tersebut
Perda 11 Tahun 1988 kemudian ditelaah, dikritisi, dikomparasi, diuji, dan
disimpulkan berdasarkan karakteristik term masing-masing teks
perundang-
undangan.14
G.
Sistematika Penulisan
Untuk memudahkan pembahasan, penulisan hasil penelitian ini akan
disistematisasi dalam lima bab dengan sistematika bahasan sebagai berikut :
Bab I : Pendahuluan
Bab ini membahas latar belakang masalah, pembatasan dan pertanyaan
penelitian, tujuan dan kegunaan penelitian, tinjauan pustaka, metode
penelitian yang digunakan dan sistematika penulisan.
Bab II : Islam, HAM dan Ketertiban Umum
14
Lihat, Mattew B Miles & A. Michael Huberman, “Analisis Data Kualitatif : Buku
Sumber Tentang Metode-Metode Baru”, Jakarta : UI Press, cetakan pertama, tahun 1992.
Bab ini akan membahas teori-teori tentang hak asasi manusia, hak asasi
manusia dalam sistem perundangan di Indonesia dan peran negara
terhadap penegakan HAM dan ketertiban umum dan perspektif Islam
ketertiban umum.
Bab III : Perda Nomor 11 Tahun 1988 dan Perda Nomor 8 tahun 2007: Tinjauan
Terhadap Isi dan Implementasinya
Di dalam bab ini akan dibahas tiga sub tema. Pertama-tama akan diulas
latar belakang munculnya Perda Nomor 11 tahun 1988 dan Perda Nomor
8 tahun 2007 berikut kondisi sosial Jakarta yang turut melatari terbitnya
Perda ini. Selanjutnya ditelaah isi Perda berikut implementasinya.
Bab IV: Perda Nomor 11 tahun 1988 dan Perda Nomor 8 Tahun 2007 dalam
Tinjauan Islam dan HAM
Bab ini akan membahas Perda 11 Tahun 1988 dan Perda Nomor 8 Tahun
2007 dalam perspektif Islam dan HAM. Perspektif HAM yang akan
digunakan adalah Undang-undang yang merupakan ratifikasi terhadap
dua kovenan internasional, yakni; Undang-undang Nomor 11 Tahun
2005 Tentang Pengesahan Kovenan Internasional Tentang Hak-hak
Ekonomi, Sosial dan Budaya, dan UU Nomor 12 Tahun 2005 Tentang
Pengesahan Kovenan Internasional Tentang Hak-hak Sipil dan Politik.
Dan mengkaji pasal-pasal pada perda no 8 tahun 2007 yang akan
membatasai dan/atau akan mengakibatkan pelanggaran hak atas
pekerjaan.
Bab V : Kesimpulan dan Saran
Bab ini menyimpulkan hasil penelitian dan merumuskan sejumlah saran
bagi perbaikan ke depan.
BAB II
HAM, ISLAM DAN KETERTIBAN UMUM
A.
Konsep Ham Dan Perkembangannya Di Indonesia
Apa yang disebut hak-hak asasi manusia adalah konsep yang mempunyai
riwayat yang panjang, terolah dan tersempurnakan dalam sejarah sosial politik
bangsa-bangsa di dunia. Jika kini konsep dan masalah-masalah HAM telah
menjadi wacana global, harus diakui bahwa menilik riwayatnya, konsep ini
berkecambah dan berkembang di negara-negara barat.
Secara konseptual, HAM didefinisikan secara beragam. Menurut Jan
Matterson, sebagaimana dikutip Baharudin Lopa, HAM adalah hak-hak yang
melekat pada setiap manusia, yang tanpanya manusia mustahil dapat hidup
sebagai manusia.15 Menurut John Locke, seperti terdapat dalam buku Masyhur
Effendi, hak asasi manusia adalah hak-hak yang diberikan langsung oleh Tuhan
Yang Maha Pencipta sebagai hak yang kodrati, yang karenanya tidak ada
kekuasaan apapun di dunia dapat mencabutnya.16 Sedangkan di dalam Undangundang Nomor 39 Tahun 1999 tentang HAM pasal 1 disebutkan bahwa, “Hak
Asasi Manusia (HAM) adalah seperangkat hak yang melekat pada hakikat dan
keberadaan manusia sebagai makhluk Tuhan Yang Maha Esa dan merupakan
anugerah-Nya yang wajib dihormati, dijunjung tinggi, dan dilindungi oleh negara,
hokum, pemerintah dan setiap orang demi kehormatan serta perlindungan harkat
dan martabat manusia”.
15
Masyhur Effendi, Dimensi dan Dinamika Hak Asasi Manusia Dalam Hukum Nasional
dan Internasional, Jakarta : Ghalia Indonesia, 1994, hal. 17
16
Ibid.
Menurut Soetandyo Wignjosoebroto HAM -lebih tepat disebut hak-hak
manusia (human rights)17 saja- adalah hak-hak yang (seharusnya) diakui secara
universal sebagai hak-hak yang melekat pada manusia karena hakekat dan kodrat
kelahiran manusia itu sebagai manusia. Dikatakan ‘universal’ karena hak-hak itu
dinyatakan sebagai bagian dari kemanusiaan setiap sosok manusia, tak peduli
apapun warna kulitnya, jenis kelaminnya, usianya, latar belakang kultural dan
agama atau kepercayaannya. Sementara dikatakan ‘melekat’ atau ‘inheren’ karena
hak-hak itu dimiliki siapapun manusia karena kodrat kelahirannya sebagai
manusia dan bukan karena pemberian suatu organisasi atau kekuasaan manapun.
Karena dikatakan ‘melekat’ inilah, maka hak-hak ini tidak sesaatpun dapat dicabut
atau dirampas.18
Menurut Soetandjo, pengakuan atas adanya hak-hak manusia yang asasi
memberikan jaminan – secara moral maupun demi hukum - kepada setiap
manusia untuk menikmati kebebasan dari segala bentuk perhambaan, penindasan,
perampasan, penganiayaan atau perlakuan apapun lainnya yang menyebabkan
manusia itu tak dapat hidup secara layak sebagai manusia. Berabad-abad lamanya
manusia dalam jumlah missal hidup tanpa pengakuan atas hak-haknya. Jutaan
manusia dalam sejarah hidup dalam kedudukannya yang rendah sebagai hambahamba. Banyak pula yang harus hidup sebagai tawanan yang dapat diperjual
belikan oleh para majikannya. Dalam keadaan seperti itu, berabad-abad lamanya
17
Sebelum istilah ‘human rights’ pada mulanya Barat menggunakan istilah ‘right of man’
yang menggantikan istilah ‘natural right’. Istilah ‘right of man’ ternyata tidak secara otomatis
mengakomodasi ‘right of woman’. Karenanya istilah itu kemudian diganti oleh Eleanor Roosevelt
dengan istilah ‘human rights’ yang dipandang lebih netral dan universal.
18
Soetandjo Wignjosoebroto, Hak Asasi Manusia : Konsep Dasar dan Perkembangan
Pengertiannya Dari Masa ke Masa, Jakarta : ELSAM, 2005. hal. 2
manusia dalam jumlah massal harus hidup dalam kondisi yang amat tak
bermartabat, tak mempunyai harta milik sebagai bekal hidup yang layak, dan
bahkan tidak memiliki diri dan kepribadiannya sendiri.19
Berdasarkan beberapa rumusan HAM di atas, dapat ditarik kesimpulan
beberapa cirri pokok dari HAM, yakni; 1). HAM tidak data diberikan, dibeli
maupun diwarisi. HAM merupakan bagian dari manusia secara otomatis; 2).
HAM berlaku untuk semua orang tanpa memandang jenis kelamin, ras, agama,
etnis, pandangan politik dan asal-usul sosial dan bangsa; 3). HAM tidak bias
dilanggar. Tidak seorangpun mempunyai hak untuk membatasi atau melanggar
hak orang lain. Orang tetap mempunyai HAM walaupun sebuah negara membuat
hukum yang tidak melindungi atau melanggar HAM.
Bagir Manan membagi perkembangan pemahaman HAM di Indonesia
dalam dua periode, yaitu periode sebelum kemerdekaan dan periode paska
kemerdekaan. Pemikiran HAM pra-kemerdekaan mulai bersemai dalam
organisasi-organisasi pergerakan seperti Boedi Oetomo, Perhimpunan Indonesia,
Syarekat Islam, Partai Komunis Indonesia, Indische Partij, Partai Nasional
Indonesia dan perdebatan dalam BPUPKI. Pada masa ini, pemikiran tentang
HAM di dominasi oleh gagasan-gagasan tentang hak untuk berserikat dan
mengeluarkan pendapat, hak untuk menentukan nasib sendiri (the right of
selfdetermination), hak untuk memperoleh penghidupan yang layak dan bebas
dari penindasan dan diskriminasi rasial, hak sosial untuk mengakses alat produksi,
19
Ibid.
hak mendapatkan perlakuan yang sama dan kemerdekaan, hak persamaan dimuka
hukum dan hak mengeluarkan pikiran dengan lisan dan tulisan.20
Setelah merdeka, pada masa-masa awal kemerdekaan gagasan tentang
HAM masih lebih terfokus pada hak untuk merdeka, hak kebebasan untuk
berserikat melalui organisasi politik, serta hak untuk menyampaikan pendapat
terutama di parlemen. Pada masa ini, pemikiran tentang HAM telah mendapatkan
legitimasi formal dalam UUD 1945. Pemikiran tentang HAM semakin
berkembang ketika demokrasi parlementer diterapkan pada 1950-1959. Dalam
istilah Bagir Manan, pemikiran dan aktualisasi HAM pada periode ini mengalami
“pasang” dan menikmati “bulan madu” kebebasan. Namun hal ini tidak
berlangsung lama, setelah Presiden Soekarno mengeluarkan dekrit 5 Juli 1959
yang diikuti dengan kebijakan restriktif (pembatasan yang ketat oleh kekuasaan)
terhadap hak sipil dan politik warga, HAM layu dengan seketika sampai masa
kekuasaan Soekarno berakhir pada 1966 dan lahirnya Orde Baru.21
Pada masa-masa awal pemerintahan Orde Baru, muncul gejala di kalangan
parlemen untuk kembali menyuburkan pemikirn tentang HAM. MPRS melalui
Panitia Ad Hoc IV menyiapkan rumusan yang akan dituangkan dalam piagam
tentang hak-hak asasi manusia
dan hak-hak serta kewajiban warga negara.
Namun niat ini tidak pernah tercapai. Seiring dengan semakin kuatnya konsolidasi
kekuasaan oleh Soeharto, atas nama stabilitas politik dan pembangunan ekonomi,
pemerintah sejak awal tahun 1970-an mulai menerapkan kebijakan yang bersifat
defensive dan represif yang dicerminkan oleh produk hukum yang umumnya
20
Lebih lengkap lihat Bagir Manan, Perkembangan Pemikiran dan Pengaturan Hak
Asasi Manusia di Indonesia, Bandung : PT. Alumni, 2001.
21
Ibid
restriktif terhadap HAM. Meski demikian, dalam situasi yang restriktif, pemikiran
tentang HAM justru tumbuh subur di kalangan LSM dan akademisi yang terus
bergerak membentuk jejaring dan lobi-lobi internasional.22
Upaya yang dilakukan oleh kalangan LSM dan akademisi mulai
menampakkan hasil pada periode 1990-an ketika pemerintah mulai menggeser
kebijakan yang defensive dan represif terhadap HAM menjadi kebijakan yang
lebih akomodatif terhadap tuntutan penegakan HAM. Bentuk paling nyata sikap
akomodatif pemerintah adalah dibentuknya Komisi Nasional Hak Asasi Manusia
(Komnas HAM) berdasar Kepres Nomor 50 tahun 1993. Meski upaya penegakan
HAM pada masa ini oleh banyak pihak dinilai masih setengah hati, namun hal
penting yang patut dicatat menurut Manan adalah sikap akomodatif pemerintah
terhadap HAM juga menggeser paradigma
pemerintah terhadap HAM yang
partikularistik menjadi universalistik.
Berakhirnya kekuasaan Orde Baru pada 1998 memberi dampak yang besar
pada upaya pemajuan dan penegakan HAM di Indonesia. Era keterbukaan telah
memungkinkan berbagai elemen bangsa untuk melakukan pengkajian terhadap
berbagai kebijakan pemerintah Orde Baru yang berlawanan dengan pemajuan dan
perlindungan HAM. Untuk selanjutnya dilakukan penyusunan peraturan
perundang-undangan
yang
berkaitan
dengan
penegakan
HAM.
Masa
pemerintahan Habibie merupakan periode awal yang cukup siginifikan bagi
perkembangan dan pemajuan HAM di Indonesia. Pada masa ini, TAP MPR
Nomor XVII/MPR/1998 tentang HAM disahkan, dan sejumlah konvensi tentang
22
Ibid
HAM diratifikasi, antara lain; Konvensi Menentang Penyiksaan dan Perlakuan
Kejam lainnya dengan UU Nomor 5 Tahun 1998; Konvensi Penghapusan Segala
Bentuk Diskriminasi Rasial dengan UU Nomor 29 Tahun 1998; Konvensi ILO
Nomor 87 tentang Kebebasan Berserikat dan Perlindungan untuk Berorganisasi
dengan Kepres Nomor 83 tahun 1998; dan lain-lain.23 Saat ini, Indonesia menjadi
salah satu negara yang paling progresif menerbitkan berbagai peraturan
perundangan dan meratifikasi konvensi tentang HAM. Dikukuhkannya Makarim
Wibisono sebagai Ketua Komisi HAM PBB beberapa waktu lalu menunjukkan
pengakuan dunia akan keseriusan pemerintah Indonesia dalam menegakkan
HAM.
B.
Ham Dalam Sistem Perundangan Di Indonesia
Secara legal formal, dalam kurun satu dasawarsa terakhir, Indonesia
mengalami perkembangan yang cukup signifikan dalam hal legalisasi berbagai
peraturan dan perundangan yang terkait dengan penegakan HAM. Hal tersebut
tidak lepas dari akibat pergantian rezim pemerintahan pada tahun 1998 yang
dengan cepat membangkitkan kesadaran berbagai kalangan masyarakat akan
pentingnya penegakan HAM melalui berbagai regulasi. Euforia reformasi dan
tekanan politik yang kuat dari berbagai elemen pro-demokrasi mencatatkan masamasa awal era reformasi pada 1998-1999 sebagai saat paling penting dalam
perkembangan legalisasi HAM di Indonesia. Pada kurun ini dihasilkan berbagai
produk perundang-undangan yang mengadopsi ataupun meratifikasi instrument
23
Suparman Marzuki & Sobirin Malian, Pendidikan Kewarganegaraan dan HAM,
Yogyakarta : UII Press, 2002, hal 67.
HAM internasional dalam berbagai UU, TAP MPR, Peraturan Pemerintah
maupun Keputusan Presiden.
Beberapa produk perundangan tentang HAM yang dihasilkan pada masa
ini antara lain; TAP MPR Nomor XVII tahun 1998 tentang Pandangan dan Sikap
Bangsa Indonesia Terhadap HAM dan Piagam HAM Nasional; UU Nomor 5
tahun 1998 tentang Ratifikasi Konvensi Anti Penyiksaan, Perlakuan dan
Penghukuman yang Kejam, Tidak Manusiawi dan Merendahkan Martabat; UU
Nomor 9 tahun 1998 tentang Kebebasan Menyatakan Pendapat; UU Nomor 26
Tahun 1999 tentang Pencabutan UU Nomor 11 tahun 1963 tentang Tindak Pidana
Subversi; UU Nomor 29 tahun 1999 tentang Ratifikasi Konvensi Penghapusan
Segala Bentuk Diskriminasi dan yang paling penting adalah UU Nomor 39 Tahun
1999 tentang Hak Asasi Manusia yang dilanjutkan dengan UU Nomor 26 Tahun
2000 tentang Pengadilan HAM.24
Selain di tingkat TAP MPR dan Undang-undang, regulasi tentang HAM
juga telah diakomodasi dalam berbagai Peraturan Pemerintah dan Keputusan
Presiden. Misalnya; Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang (Perpu)
Nomor 1 tahun 1999 tentang Pengadilan HAM; Keputusan Presiden (Kepres)
Nomor 129 Tahun 1998 tentang Rencana Aksi Nasional Hak Asasi Manusia tahun
1998-2003, yang memuat rencana ratifikasi berbagai instrument hak asasi
manusia Perserikatan Bangsa-bangsa serta tindak lanjutnya; Kepres Nomor 31
tahun 2001 tentang Pembentukan Pengadilan HAM pada Pengadilan Negeri
Jakarta Pusat, Pengadilan Negeri Surabaya, dan Pengadilan Negeri Makasar; dan
24
Ibid.
Kepres Nomor 181 Tahun 1998 tentang Komisi Nasional Anti kekerasan
Terhadap Perempuan.25
Terakhir, melalui UU Nomor 11 dan UU Nomor 12 Tahun 2005,
Indonesia meratifikasi dua kovenan penting tentang HAM. UU Nomor 11 tahun
2005 meratifikasi International Covenant on Economic, Social and Cultural
Rights, dan UU Nomor 12 Tahun 2005 mengesahkan International Covenant on
Civil and Political Rights. Dengan adanya kedua undang-undang tersebut di atas,
maka Indonesia telah melengkapi penerimaan atas Undang-undang Internasional
Hak Asasi Manusia, yang telah dilakukan sebelumnya. Karenanya, Indonesia
perlu mempunyai komitmen yang kuat untuk melaksanakan isi dari ketiga
undang-undang tersebut di atas, terutama isi yang terdapat di dalam Kovenan
Internasional tentang Hak Ekonomi, Sosial dan Budaya, dan Kovenan
Internasional tentang Hak Sipil dan Politik. Komitmen yang kuat tersebut, tidak
hanya berupa penegakan hukum, tetapi juga pembenahan hukum yang
mendukung penegakan hukum atau penegakan kovenan-kovenan tersebut.
Penegakan hukum dan pembenahan hukum yang mendukung penegakan
hukum atau penegakan kovenan-kovenan tersebut, merupakan arti penting dari
ratifikasi dua kovenan HAM tersebut. Pembenahan hukum juga diartikan sebagai
menyesuaikan atau mengharmonisasikan peraturan perundang-undangan yang
telah mengatur mengenai HAM, mulai dari tingkat undang-undang hingga
peraturan di bawah nya, dengan kovenan-kovenan tersebut.26
25
Ibid, hal. 69
Lihat release Komisi Hukum Nasional, 17 Maret 2006, “Arti Pengesahan Dua Kovenan
HAM bagi Penegakan Hukum”
26
Ada beberapa poin penting yang secara mutatis terdapat dalam kedua
kovenan tersebut dan hak-hak khusus dalam bidang sipil dan politik, serta
ekonomi, sosial, dan budaya, yaitu; Pertama, kewajiban pihak negara untuk
mengambil langkah-langkah bagi tercapainya secara bertahap perwujudan hakhak yang diakui dalam kovenan, memastikan pelaksanaan hak-hak itu tanpa
diskriminasi apapun yang berkenaan dengan ras, warna kulit, jenis kelamin,
agama, bahasa, pandangan politik atau pandangan lain, asal usul kebangsaan atau
sosial, hak milik, status kelahiran atau status lainnya; Kedua. Persamaan hak
antara laki-laki dan perempuan; Ketiga, Tidak ada satu ketentuan pun dalam
Kovenan ini yang dapat ditafsirkan sebagai memberi hak kepada negara,
kelompok, atau seseorang untuk melibatkan diri dalam kegiatan yang bertujuan
menghancurkan hak atau kebebasan manapun yang diakui dalam Kovenan ini.
Keempat, Khusus di bidang sipil dan politik setiap manusia mempunyai
hak melekat untuk hidup, bahwa hak ini dilindungi oleh hukum, dan bahwa tidak
seorangpun
dapat
dirampas
hak
hidupnya
secara
sewenang-wewenang
sebagaimana bunyi pasal 6. Tidak seorangpun boleh dikenai siksaan, atau
perlakuan, atau penghukuman yang kejam, tidak manusiawi, atau merendahkan
martabat dilanjutkan dalam pasal 7. Tidak seorangpun boleh diperbudak, bahwa
perbudakan dan perdagangan budak dilarang, dan bahwa tidak seorangpun boleh
diperhamba, atau diharuskan melakukan kerja paksa atau kerja wajib diperkuat
dalam pasal 8. Tidak seorangpun boleh ditangkap atau ditahan secara sewenangwenang ditegaskan dalam pasal 10. Tidak seorangpun boleh dipenjarakan hanya
atas dasar ketidakmampuannya memenuhi kewajiban kontraktualnya bunyi pasal
11.
Kelima, Khusus di bidang, ekonomi, sosial, dan budaya, setiap manusia
dijamin haknya atas pekerjaan, pasal 6. Hak untuk menikmati kondisi kerja yang
adil dan menyenangkan, pasal 7. Hak untuk membentuk dan ikut serikat buruh,
pasal 8. Hak atas jaminan sosial, termasuk asuransi sosial, pasal 9. Hak atas
perlindungan dan bantuan seluas mungkin bagi keluarga, ibu, dan anak, dan orang
muda, pasal 10. Hak atas standar hidup yang memadai, pasal 11. Hak untuk
menikmati standar kesehatan fisik dan mental yang tertinggi yang dapat dicapai,
pasal 12. Hak atas pendidikan, pasal 13 dan 14. Hak untuk ikut serta dalam
kehidupan budaya, pasal 15.27
C.
Negara, Ham Dan Ketertiban Umum
Mendiskusikan peran negara dalam penegakan HAM dan ketertiban umum
harus kembali pada perdebatan seputar posisi dan hakikat hubungan kekuasaan
dengan warga negaranya. Teori dan filsafat tentang terbentuknya negara sebagai
pihak yang menerima delegasi wewenang dari rakyat untuk mengatur kehidupan
masyarakat dan sekaligus juga kewajiban untuk menjamin dan melindungi hakhaknya dapat dijadikan pijakan untuk memahami persoalan ini.
Konsep
tentang hubungan negara,
HAM dan ketertiban umum
berkembang tatkala sejumlah pemikir Eropa Barat yang tercerahkan pada paruh
kedua abad 18 mulai mempertanyakan keabsahan kekuasaan dan monarkhi yang
absolut berikut wawasan tradisionalnya amat diskriminatif dan memperbudak.
27
Selengkapnya lihat UU Nomor 11 Tahun 2005 dan UU Nomor 12 Tahun 2005
Ketika gagasan-gagasan baru tersebut semakin berpengaruh luas dan menguat,
cita-cita kebebasan dan egalitarianisme menjadi tak terbendung lagi. Komunitaskomunitas warga sebangsa diorganisir dalam wujud institusi politik baru yang
memproklamasikan diri sebagai negara republik yang demokratik. Di dalam
sistem kenegaraan yang baru, rakyat dapat berartikulasi untuk menuntut
pengakuan atas statusnya yang baru sebagai warga pengemban hak kodrati, atas
dasar gagasan bahwa kekuasaan kolektif mereka adalah sesungguhnya suara
Tuhan. Vox populi, vox dei. Penguasa tidak lagi memiliki kekuasaan tak terbatas
yang diklaim sebagai representasi kekuasaan Tuhan, melainkan dibatasi oleh dan
berdasarkan perjanjian dengan rakyat. Inilah yang oleh Rousseau disebut sebagai
kontrak sosial. Di dalam kontrak sosial itu, apparatur negara menerima delegasi
wewenang rakyat untuk mengatrur dan menciptakan ketertiban diantara warga
masyarakat, termasuk menjatuhkan punishment kepada warga yang melanggar
perjanjian bersama dan pada saat bersamaan juga berkewajiban melindungi hakhak warganya tanpa terkecuali.28
Berdasarkan
paradigma
ini,
menjadi
jelas
negaralah
yang
bertanggungjawab menjaga dan menjamin HAM setiap warga terpenuhi. Bukan
hanya menjaga, negara juga mempunyai tanggungjawab dan kewajiban untuk
menegakkan (respection), memajukan (promotion), melindungi (protection), dan
memenuhi (fulfill) HAM. Itulah sebabnya adalah kewajiban negara juga untuk
memfasilitasi penyelenggaraan pendidikan HAM bagi rakyatnya. Negara yang
tidak memfasilitasi rakyat melalui pendidikan HAM berarti negara telah
28
Soetandjo, op.cit, hal. 4
mengabaikan amanat rakyat. Oleh karena itu, deklarasi PBB tentang HAM yang
dikenal dengan Piagam HAM Dunia, Beberapa Kovenan, Hukum Perjanjian
Internasional, Piagam Madinah, Deklarasi Kairo dan sebagainya harus diletakkan
sebagai norma hukum internasional yang mengatur bagaimana negara-negara di
dunia menjamin hak-hak individualnya.
Dalam perkembangan pengkajian tentang HAM, dikenal dua jenis HAM,
yakni hak asasi manusia yang tidak dapat dikurangi dalam kondisi apapun (nonderogable rights) dan hak asasi yang dapat dibatasi oleh negara dengan alasan dan
tujuan tertentu.
Di dalam konstitusi kita, hak-hak asasi yang tidak dapat dikurangi dalam
keadaan apapun dan oleh siapapun (derogable rights) diatur dalam pasal 4 UU
Nomor 39 Tahun 1999. Hak-hak tersebut adalah; hak untuk hidup, hak untuk
tidak disiksa, hak kemerdekaan pikiran dan hati nurani, hak beragama, hak untuk
tidak diperbudak, hak untuk diakui sebagai pribadi dihadapan hukum, dan hak
untuk tidak dituntut atas dasar hukum yang berlaku surut.29
Terkait dengan hak yang tidak termasuk dalam non-derogable rights,
konstitusi kita menyatakan diperbolehkannya pembatasan dan pengurangan hakhak dalam kondisi tertentu. Hal tersebut diatur dalam UUD 1945 Perubahan
Kedua Pasal 28 J yang menyatakan :
(1) Setiap orang wajib menghormati hak asasi manusia orang lain dalam
tertib kehidupan bermasyarakat, berbangsa dan bernegara.
(2) Dalam menjalankan hak dan kebebasanya, setiap orang wajib tunduk
pada pembatasan yang ditetapkan dengan Undang-undang engan maksud
semata-mata untuk menjamin pengakuan serta penghormatan atas hak
dan kebebasan orang lain dan untuk memenuhi tuntutan yang adil sesuai
29
Lihat Undang-undang Nomor 39 Tahun 1999 tentang Hak Asasi Manusia, pasal 4.
dengan pertimbangan moral, nilai-nilai agama, keamanan, dan ketertiban
umum dalam suatu masyarakat demokratis.
Lebih lanjut, UU Nomor 39 Tahun 1999 menyatakan bahwa kebebasan
dan HAM hanya bisa diatur oleh dan berdasarkan undang-undang, semata-mata
untuk menjamin pengakuan dan penghormatan terhadap HAM serta kebebasan
dasar orang lain, kesusilaan, ketertiban umum dan kepentingan bangsa.30 Lebih
terperinci, Kovenan Internasional Hak Sipil dan Politik dan Kovenan
Internasional Ekonomi, Sosial dan Budaya menetapkan beberapa klausul
pembatasan terhadap HAM sebagai berikut; diatur berdasarkan hukum
(prescribed by law/conformity with the law), dalam masyarakat yang demokratis
(in a democratic society), ketertiban umum (public order/ordre public), kesehatan
publik (public health), moral publik (public moral), keamanan nasional (national
security) dan keamanan publik (public safety), hak dan kebebasan orang lain
(rights and freedom of others) dan hak atau reputasi orang lain (rights and
reputations of others), serta kepentingan kehidupan pribadi pihak lain (the interest
of private lives of parties) yang berkaitan dengan pembatasan terhadap Pers dan
publik pada pengadilan (restriction on public trial).31
Pembatasan dan pengurangan hak-hak asasi manusia yang diatur dalam
Kovenan Internasional Hak Sipil dan Politik diterjemahkan secara lebih detil di
dalam Prinsip-prinsip Siracusa
(Siracusa Principles). Di dalam prinsip ini
disebutkan bahwa pembatasan tidak boleh membahayakan esensi hak. Semua
30
Ibid, pasal 73.
Lihat Laporan Kajian Terhadap Peraturan Daerah DKI Jakarta Nomor 8 Tahun 2007
tentang Ketertiban Umum, Komnas HAM, 2008, hal. 10. Lebih lanjut lihat UU Nomor 11 Tahun
2005 dan UU Nomor 12 Tahun 2005.
31
klausul pembatasan harus ditafsirkan secara tegas dan ditujukan untuk mendukung
hak-hak. Semua pembatasan harus ditafsirkan secara jelas dan dalam konteks
hak-hak tertentu yang terkait, artinya pembatasan hak tidak boleh dilakukan
secara sewenang-wenang.32
Di dalam berbagai peraturan perudangan tersebut di atas, disebutkan
bahwa salah satu alasan yang dapat dijadikan dasar oleh negara untuk melakukan
pembatasan dan pengurangan hak adalah pertimbangan untuk menjamin
ketertiban umum (public order). Berdasarkan siracusa principles –sebagaimana
dikutip dalam laporan Kajian Komnas HAM-, dinyatakan bahwa ungkapan
ketertiban umum (public order/ordre public) yang digunakan dalam kovenan (hak
sipil dan politik) harus diartikan sebagai sejumlah aturan
yang menjamin
berfungsinya masyarakat atau serangkaian prinsip-prinsip mendasar yang mendari
berdirinya masyarakat. Penghormatan hak asasi merupakan bagian dari ketertiban
umum (public order/ordre public).
Siracusa principles juga menyatakan bahwa organ negara atau agen negara
yang bertanggungjawab untuk menjaga ketertiban umum harus dapat dkontrol
dalam pelaksanaan kekuasaan mereka melalui parlemen, pengadilan atau badanbadan yang kompeten lainnya. Selain itu, ketertiban umum harus ditafsirkan
dalam konteks maksud dari hak asasi manusia tertentu yang dibatasi berdasarkan
32
Siracusa principles merupakan prinsip-prinsip mengenai ketentuan pembatasan dan
pengurangan hak yang diatur di dalam kovenan Interasional Hak Sipil dan Politik. Prinsip-prinsip
ni dihasilkan oleh seelmpok ahli hkum internasional yang bertemu di Siracusa, Italia pada April
dan Mei 1984. Lihat Ibid, hal, 11.
ketertiban umum tersebut. Dengan demikian, pembatasan hak yang didasarkan
atas alasan ketertiban umum harus dilihat kasus perkasus.33
Berdasarkan prinsip-prinsip tersebut datas, kajian Komnas HAM
menyimpulkan bahwa pembatasan hak tertentu yang didasarkan pada alasan
ketertiban umum haruslah sesuai dengan persyaratan ketertiban untuk kasus-kasus
khusus. Hal itu hanya dapat dibenarkan dalam situasi atau tindakan seseorang
yang merupakan ancaman yang cukup serius terhadap ketertiban umum. Oleh
karena itu, kontrol dari badan mandiri, apakah itu lembaga politik (parlemen),
badan peradilan (pengadilan) atau badan apapun lainya amatlah penting.34
D.
Ketertiban Umum Dalam Islam
Islam sangat menghargai dan menganjurkan terciptanya suasana tertib dan
stabil, baik dalam kehidupan sosial, politik maupun ekonomi. Tugas utama
seorang pemimpin, di dalam banyak literatur keislaman adalah hirasat al- di’n wa
siyasat al-dunya (melindungi agama dan memelihara ketertiban sosial-politik),
menunjukkan bahwa Islam menaruh perhatian yang besar bagi terciptanya tata
kehidupan yang tertib dan stabil.35 Kekacauan sosial, instabilitas politik dan
kesemerawutan tata kehidupan sangat tidak dikehendaki didalam Islam. 36
Ketertiban umum merupakan bagian dari –apa yang di dalam Islam dikenal
sebagai konsep al-maslahah al-‘ammah (kemaslahatan umum).
33
Ibid, hal. 17.
Ibid, hal. 17.
35
Abdul Muin Salim, Konsepsi Kekuasaan Politik dalam Al-Qur`an, Jakarta: Rajawali
Press, 2002, hal. 17.
36
Lihat, Abu Ihsan Al-Atsari, Koreksi Total Masalah Politik & Pemikiran dalam Perspektif Al34
Qur’an & As-Sunnah, Jakarta : Darul Haq, 2002, hal 24-29.
Secara etimologi, maslahah berarti manfaat, kemanfaatan atau pekerjaan
yang mengandung manfaat. Sedangkan secara terminologis maslahah berarti
mengambil manfaat dan menolak mudlarat untuk memelihara tujuan-tujuan
syari’at. Ditinjau dari materinya, maslahat terbagi dalam dua jenis, yakni almaslahah al-amah (kemaslahatan umum) dan al-maslahah al-kh’assah/almaslahah al-ainiyah (kemaslahatan pribadi). Menurut KH. Ali Yafie, mengutip
Imam Ar Rafi’i, al-maslahah al-‘ammah adalah urusan umum yang menyangkut
kepentingan-kepentingan (mashalih) tegaknya urusan agama dan dunia dalam
kehidupan kita, di antara al-maslahah al-‘ammah adalah mencegah kemelaratan
orang banyak (kaum muslim), menciptakan lapangan kerja untuk mewujudkan
mata pencaharian bagi anggota-anggota masyarakat, menegakkan kontrol sosial
melalui amar ma'ruf nahi mungkar, mencerdaskan kehidupan masyarakat
melalui pendidikan, bimbingan keagamaan (fatwa) dan penyebaran buku-buku.37
Islam memelihara kemaslahatan pribadi dan umum secara bersamaan
tanpa harus ada yang dikorbankan. Namun demikian di saat terjadi pertentangan
antara kepentingan pribadi dan umum maka yang didahulukan adalah
kemaslahatan umum, dengan catatan, kemaslahatan umum tetap harus selaras
dengan tujuan dari syariat itu sendiri, yakni terpeliharanya lima hak dan jaminan
dasar manusia (al-dharuriyat al-khamsah) yang meliputi; keselamatan jiwa
(hifdzu al-nafs), keselamatan akal (hifdzu al-aql), keselamatan keturunan (hifdzu
al-nasl), keselamatan harta benda (hifdzu al-maal), dan keselamatan agama
(hifdzu al-din).
37
Ali Yafie, Konsep-konsep Istihsan, Istishlah, dan Mashlahat Al Ammah, Makalah pada
Seminar MUI, 1999.
Catatan ini penting untuk digarisbawahi karena sekali-kali tidak
dibenarkan adanya sebuah keputusan yang dibuat, dengan mengatasnamakan
kemaslahatan umum, kemudian melanggar hak-hak dasar manusia yang menjadi
tujuan syariat. Sebab diturunkannya syariat di tengah kehidupan umat manusia
adalah untuk mewujudkan keamanan dan kesejahteraan (kemaslahatan) umat
manusia di dunia dan di akhirat. Oleh sebab itu, agar keamanan dan kesejahteraan
kemaslahatan) umat manusia di dunia dan di akhirat dapat terwujud maka segala
ikhtiar yang dilakukan umat manusia di muka bumi harus selalu sejalan dengan
tuntunan syariat. Untuk memenuhi tuntutan dan kepentingan manusia serta
merespon berbagai dinamika kehidupan, maka setiap pengambilan keputusan
harus memenuhi kriteria kepentingan umum (al maslahah al ammah) yang
dibenarkan oleh syara’.
BAB III
PERDA TENTANG KETERTIBAN UMUM DI DKI JAKARTA:
TINJAUAN TERHADAP ISI DAN IMPLEMENTASINYA
A.
Latar Belakang Terbitnya Perda 11 Tahun 1988 dan Perda Nomor 8 Tahun
2007
Secara makro, terbitnya Perda Nomor 11 Tahun 1988 yang kemudian
disempurnakan menjadi Perda Nomor 8 Tahun 2007 tidak terlepas dari penerapan
ideologi developmentalisme sebagai strategi pembangunan yang dipilih oleh
rezim Orde Baru. Ideologi developmentalisme menjadikan pertumbuhan ekonomi
sebagai tolok ukur utama keberhasilan pembangunan. Demi mengejar
pertumbuhan ekonomi yang tinggi, pemerintah giat berhutang ataupun
mengundang investor untuk mendanai proyek-proyek dan pembukaan usaha
berskala besar. Dalam konteks kota Jakarta, program pembangunan kota yang
dilaksanakan sejak Orde Baru lebih memprioritaskan pada industrialisasi, dimana
implementasinya adalah pembangunan proyek-proyek besar seperti real estate,
lapangan golf, pabrik, waduk, mal, jalan tol dan jalan layang susun tiga (triple
decker), gedung-gedung bertingkat dan sebagainya.
Karena kebijakan pembangunan yang lebih mengarah pada pembangunan
investasi, menyebabkan semakin meningkatnya orang miskin di Jakarta.
Kebijakan yang mensentralisir kegiatan ekonomi ke pusat kota semakin
meminggirkan orang miskin karena dampak pembangunan investasi tersebut
kemudian menjadikan perumahan, tanah dan lainnya semakin mahal. Padahal,
implementasi proyek-proyek besar di suatu kawasan seharusnya tidak akan
menciptakan orang miskin baru jika kompensasi yang diberikan cukup memadai
dan ada syarat bagi pemilik proyek disamping dari Pemda sendiri untuk turut
andil dalam menyiapkan lokasi pengganti serta tidak menggunakan security
approach dalam menangani dan mendekati masyarakat yang tergusur.
Masyarakat miskin yang semakin bertambah dan urbanisasi yang tak
terkendali di satu sisi, terbatasnya lapangan pekerjaan dan sempitnya lahan di sisi
lain membuat berbagai permasalahan sosial ekonomi di Jakarta seperti
pengangguran, kejahatan, pemukiman liar dan berbagai gangguan keamanan dan
ketertiban umum juga menjadi semakin meningkat.38
Untuk mengatasi permasalahan kota Jakarta tersebut, Pemerintahan
Propinsi DKI Jakarta mengeluarkan sejumlah kebijakan yang selanjutnya
dituangkan dalam perda, seperti kebijakan ekonomi, sosial, budaya, politik,
penataan kota, pendirian bangunan, pengolahan limbah, perburuhan dan lain
sebagainya. Itu semua dimaksudkan untuk menciptakan Jakarta yang tertib, indah,
aman, nyaman dan bersahabat. Dalam konteks inilah, Peraturan Daerah Nomor 11
Tahun 1988 tentang Ketertiban Umum di wilayah DKI Jakarta dibuat dan
diberlakukan.
38
Lihat, Andrinof Chaniago “Bisnis yang Diaku Pembangunan” dalam “Gagalnya
Pembangunan”, Jakarta : LP3ES, 2000.
Perkembangan kota yang semakin pesat berjalan seiring dengan berbagai
problematika sosial yang mengikutinya. Atas dasar pemikiran tersebut,
Pemerintah DKI Jakarta menganggap bahwa Perda Nomor 11 Tahun 1988 tidak
lagi mampu mengakomodasi dan merespon berbagai persoalan sosial yang
berkembang, sehingga membutuhkan penyesuaian. Maka revisi terhadap Perda 11
Tahun 1988 dilakukan dan kemudian muncullah Perda Nomor 8 Tahun 2007.
Namun demikian, meski tujuan dari pemberlakuan perda ini dalam rangka
mewujudkan tata kehidupan kota Jakarta yang tertib dan melindungi seluruh
warga kota dan prasarana kota beserta kelengkapannya, dalam praktiknya objek
dari perda ini bukanlah seluruh warga Jakarta, melainkan kaum miskin kota dan
masyarakat yang termarjinalkan seperti gelandangan, pengemis, asongan, pak
ogah, joki three in one, becak, PKL, WTS dan penyandang masalah kesejahteraan
sosial (PMKS) lainnya. Dilihat dari prioritas sasarannya, perda ini sepertinya
menjadikan rakyat miskin sebagai sumber terjadinya pelanggaran hukum dan
menghalangi ketertiban umum kota Jakarta.
B.
Telaah Terhadap Isi Perda Tentang Ketertiban Umum
B.1. Perda Nomor 11 Tahun 1988
Perda Nomor 11 Tahun 1988 tentang Ketertiban Umum Dalam Wilayah
Daerah Khusus Ibu Kota Jakarta yang tercatat dalam Lembaran Daerah Khusus
Ibu Kota Jakarta Nomor 72 tahun 1989 Seri C Nomor 1, tediri atas 16 Bab dan 32
Pasal. Perda ini merupakan penyempurnaan dari Perda Nomor 3 Tahun 1972 yang
dirasakan tidak sesuai lagi dengan tuntutan perkembangan masyarakat kota
Jakarta, terutama pada aspek ketertiban dan kebersihan. Di dalam konsideran
perda tersebut disebutkan, tujuan diterbitkannya Perda ini adalah dalam rangka
mewujudkan kota Jakarta yang tertib, teratur, nyaman dan tenteram, serta untuk
menumbuhkan rasa disiplin diri dan berperilaku tertib setiap warga kota.39 Namun
demikian, meski tujuan diterbitkannya Perda untuk mewujudkan rasa aman,
nyaman dan tenteram bagi warga, faktanya Perda ini justru oleh sebagian besar
warga miskin Jakarta justru dianggap ancaman bagi keamanan, dan pengusik
kenyamanan dan ketentraman mereka dalam menjalani kehidupan di Jakarta. Di
dalam sub bab ini akan dipaparkan isi dari Perda Nomor 11 Tahun 1988 bab demi
bab yang diikuti dengan analisa terhadap pasal-pasal dari perda tersebut di atas.
Bab I dari Perda 11 Tahun 1988 terdiri dari 1 pasal yang mengatur tentang
ketentuan umum terkait dengan definisi operasional dari konsep-konsep yang
dipergunakan di dalam perda tersebut. Di dalam bab ini antara lain didefinisikan
konsep; Daerah, Pemerintah Daerah, Gubernur Kepala Daerah, Ketertiban Umum,
Kepentingan Dinas, Jalan, Jalur Hijau, Taman dan Badan. Dalam kaitannya
dengan pembahasan kajian ini, penting untuk dikemukakan definisi Perda tentang
ketertiban umum, yakni “suatu keadaan dimana pemerintah dan rakyat dapat
melakukan kegiatan secara tertib, teratur, nyaman dan tentram”.40
Di dalam bab ini, terdapat dua konsep terkait dengan ketertiban umum
yang tidak memiliki definisi yang jelas, yakni konsep kepentingan umum dan
konsep jalur hijau. Di dalam perda ini, kepentingan umum selalu dijadikan dasar
untuk melarang sesuatu aktivitas atau memberikan perkecualian bagi berbagai
39
40
Lihat, konsideran menimbang pada Perda 11 Tahun 1988.
Lihat, pasal 1 Perda 11 Tahun 1988
larangan. Meski demikian Perda ini tidak mendefinisikan secara spesifik apa yang
dimaksud dengan kepentingan umum. Tafsir terhadap kepentingan umum selama
ini menjadi hak mutlak pemerintah daerah, sehingga dalam praktiknya, istilah
kepentingan umum justru banyak digunakan untuk menindas kelompok yang
lemah dan terpinggirkan secara sosial, ekonomi dan politik, untuk kepentingan
segelintir elit. Seyogyanya, kepentingan umum didefinisikan secara lebih jelas
dengan memasukkan kepentingan mayoritas rakyat miskin dan kelompokkelompok marjinal perkotaan. Istilah kedua yang tidak jelas definisinya adalah
jalur hijau. Definisi dari jalur hijau harus jelas dan menyebutkan kawasan apa saja
yang termasuk dalam jalur hijau serta mempertimbangkan aksesibilitas rakyat
miskin terhadap pembangunan kota.
Bab II tentang Tertib Jalan dan Angkutan Jalan Raya. Bab ini terdiri atas
6 pasal (pasal 2-7). Di dalam bab ini antara lain diatur kewajiban pengguna jalan
baik pejalan kaki maupun angkutan umum untuk mematuhi ketentuan penggunaan
jalan (pasal 2) dan larangan bagi pengguna jalan yang dapat mengganggu
ketertiban penggunaan jalan raya (pasal 3 sampai 6). Di dalam bab ini juga
ditegaskan larangan bagi siapapun untuk bertempat tinggal atau tidur di jalan, di
atas atau di bawah jembatan dan jembatan penyeberangan, kecuali untuk
kepentingan dinas (pasal 7).
Pengaturan tertib di jalan raya ini menjadi kurang relevan diterapkan
karena dalam kenyataannya kondisi tertib di jalan telah berkembang di luar
kendali dari pihak aparat sendiri. Pembangunan jalan tidak lagi mendukung orang
untuk tertib di jalan, seperti tidak terawatnya/berfungsinya rambu lalu lintas,
hilangnya pembatas ruas jalan, terbatasnya halte pemberhentian bis, beralih
fungsinya trotoar, halte dan ruas jalan yang hal tersebut di diamkan oleh aparat,
bahkan dijadikan sumber pendapatan restribusi dan membuka peluang adanya
praktek pungli. Terkait dengan pasal 7, konsekuensi dari Pemda terhadap
pelaksanaan pasal ini adalah Pemda harus menjamin tersedianya tempat alternatif
(perumahan dan lahan usaha), sarana prasarana bagi korban penggusuran berikut
kompensasinya. Dalam pasal ini, Pemda DKI tidak memberikan alternatif tempat
dan tidak mengatur sarana dan prasarana bagi korban penggusuran, juga
kompensasi bagi korban penggusuran. Kepentingan Dinas selalu dijadikan alasan,
sehingga memungkinkan terjadinya praktek Pungli jika ada masyarakat yang
terpaksa melakukan seperti apa yang disebutkan dalam pasal 7.
Bab III mengatur tentang Tertib jalur Hijau, Taman dan Tempat Umum.
Yang dimaksud dengan jalur hijau adalah setiap jalur yang terbuka sesuai dengan
rencana kota, sedangkan taman adalah jalur hijau yang dipergunakan dan diolah
untuk pertamanan. Di dalam bab yang hanya terdiri dari 1 pasal ini antara lain
ditegaskan larangan warga untuk memasuki atau berada di jalur hijau atau taman
yang tidak secara khusus diperuntukkan bagi umum. Selain itu di dalam bab ini
juga dicantumkan larangan setiap warga untuk bertempat tinggal dan merusak
jalur hijau dan taman-taman (pasal 8).
Berdasarkan pasal-pasal di dalam bab ini, Pemda DKI sudah membatasi
akses rakyat untuk bisa menikmati taman dan jalur hijau karena itu semua
merupakan
kawasan
terlarang
bagi
masyarakat
umum,
bahkan
untuk
memasukinyapun tidak diperbolehkan. Jadi Pemda DKI seperti membuat ‘taman
dalam akuarium’, yang hanya bisa dipandangi saja oleh masyarakat. Jika benarbenar Pemda DKI ingin melaksanakan Perda ini, sebelum pemberlakuan, sarana
dan prasarana (struktur maupun infrastruktur) dari Pemda sendiri harus sudah
dibentuk dan dipersiapkan. Karena jika Perda ini dilaksanakan dengan
sepenuhnya, justru akan menyebabkan konflik horizontal antar masyarakat
sendiri.
Bab IV mengatur tentang Tertib Sungai, Saluran Kolam dan Lepas Pantai.
Terdiri atas lima pasal (pasal 9-13). Di dalam bab ini antara lain diatur larangan
bagi setiap orang untuk bertempat tinggal atau tidur di tanggul, bantaran sungai, di
pinggirkali dan saluran (pasal 9). Bukan hanya dilarang untuk tinggal di bantaran
sungai, setiap warga juga dilarang untuk mandi, membersihkan angota badan,
mencuci pakaian, bahan makanan, binatang, kendaraan atau benda-benda di
sungai, saluran dan kolam-kolam serta memanfaatkannya untuk kepentingan
usaha.41
Dalam bab ini, Pemda DKI seperti lepas tangan dengan melarang orang
bertempat tinggal di bantaran sungai dan sejenisnya. Padahal di Jakarta, rakyat
kecil sudah mengalami marginalisasi diberbagai bidang termasuk pemukiman
akibat dikalahkan oleh kepentingan pembangunan
yang mengutamakan
pembangunan fisik kota dan modernisasi. Rakyat kecil sebenarnya terpaksa
tinggal di bantaran sungai karena memang kemampuan mereka hanya sampai
disitu saja. Dengan pasal-pasal ini mereka semakin tersisih dari kota dan tidak
tahu harus dimana lagi bertempat tinggal karena Pemda DKI tidak memberikan
41
Lebih lengkap lihat pasal 10 Perda 11 tahun 1988
solusi misalnya dengan pembangunan pemukiman sederhana, atau dengan
penataan pemukiman. Kebijakan pembangunan pemukiman rakyat yang
kemudian justru dibelokkan oleh pengusaha untuk membangun perumahan
mewah juga menjadi penyebab mengapa rakyat miskin umumnya berada di
pinggiran dan membangun rumah seadanya di lahan-lahan kosong yang masih ada
karena harga rumah sudah tidak terjangkau lagi oleh mereka sebagai akibat dari
orientasi pembangunan yang lebih mengarah pada pembangunan investasi. Bab
ini juga mengatur penggunaan air, tetapi Pemda DKI Jakarta justru belum
menyediakan pelayanan umum menyangkut penggunaan air seperti bak mandi
umum ataupun pompa air umum (MCK umum). Sehingga rakyat kecil yang
aksesnya terbatas untuk mendapatkan air bersih terpaksa menggunakan sumber air
yang mudah didapat meskipun itu tidak layak seperti air dari sungai ataupun
menampung air hujan.
Bab V tentang Tertib Lingkungan terdiri atas 2 pasal (pasal 14 dan pasal
15). Pasal 14 mengatur larangan setiap orang untuk menangkap, memburu atau
membunuh binatang tertentu yang jenisnya ditetapkan sesuai dengan ketentuan
yang berlaku. Sedangkan pasal 15 menegaskan larangan bagi setiap warga untuk
bermain-main di jalan, di atas atau di bawah jembatan, dipinggir rel kereta api,
pinggir kali, pinggir saluran dan tempat-tempat umum.
Pasal 15 yang melarang orang bermain di tempat-tempat umum ini
mengingkari realita yang terjadi di Jakarta bahwa lahan untuk bermain dan
refreshing yang terbuka yang dibutuhkan oleh masyarakat tidak tersedia lagi di
Jakarta. Rakyat kecil kembali terpinggirkan dalam hal bermain dan refreshing di
kota karena semuanya harus diperoleh dengan uang yang tidak sedikit. Pemda
seharusnya tidak bisa melarang sebelum dipenuhinya hak-hak rakyat dengan
menyediakan ruang untuk bermain dan refreshing khususnya bagi rakyat yang
tidak mampu.
Bab VI tentang Tertib Usaha Tertentu terdiri atas 4 pasal (pasal 16-19). Di
dalam bab inilah larangan bagi pedagang kaki lima di jalur hijau dilarang. Pada
pasal 16 disebutkan “Setiap orang dilarang menempatkan benda-benda dengan
maksud melakukan suatu usaha di jalan, di pinggir rel kereta api, jalur hijau,
taman dan tempat-tempat umum kecuali atas seizin Gubernur. Setiap orang atau
badan dilarang menjajakan barang dagangan, membagikan selebaran atau
melakukan usaha-usaha tertentu dengan mengharapkan imbalan di jalan, jalur
hijau, taman dan tempat-tempat umum, kecuali ditempat yang telah ditetapkan
oleh Gubernur”. Di dalam bab ini pula, larangan tentang becak yang sangat
kontroversial itu diatur. Di dalam pasal 18 disebutkan, “Setiap orang atau badan
di larang melakukan usaha pembuatan, perakitan, dan penjualan becak di
wilayah DKI Jakarta, memasukkan becak ke DKI Jakarta, dan mengusahakan
kendaraan bermotor atau tidak bermotor sebagai alat angkutan umum yang tidak
termasuk dalam pola angkutan umum yang ditetapkan”.
Pasal-pasal di dalam bab inilah yang dalam praktiknya sering dijadikan
alasan oleh Pemda DKI untuk menggusur usaha kecil yang dilakukan oleh rakyat
miskin untuk menyambung hidupnya. Semua usaha rakyat kecil seperti asongan,
pedagang kaki lima, pengecer koran, penyemir sepatu dan lainnya bisa terjaring
dengan pasal ini. Padahal Pemda seyogyanya dilarang/tidak boleh menggusur
perekonomian rakyat, sebaliknya wajib melindungi serta mengusahakan hak
rakyat atas lahannya yang sudah dibisniskan selama ini. Pelarangan usaha
transportasi becak dan sejenisnya juga sangat patut dipertanyakan, karena justru
dalam usaha mengurangi dan mengantisipasi pencemaran lingkungan, transportasi
semacam itu adalah yang ramah terhadap lingkungan. Tinggal pengaturan dan
pembagian wilayah operasinya saja yang perlu diatur lebih lanjut. Jadi dengan
mengatur wilayah operasi transportasi yang ramah lingkungan itu, Pemda DKI
Jakarta sudah membantu usaha perekonomian rakyat kecil.
Bab VII mengatur tentang Tertib Bangunan. Di dalam bab yang hanya
terdiri dari 1 pasal ini (pasal 20) larangan untuk mendirikan bangunan di
pinggiran jalan atau bantaran sungai dan di pinggiran rel kereta api ditegaskan. Di
dalam pasal 20 point 2 disebutkan, “Setiap orang atau badan dilarang mendirikan
bangunan pada daerah milik jalan dan/atau saluran/sungai, kecuali untuk
kepentingan dinas”. Sedangkan di point 3 disebutkan, “Setiap orang atau badan
dilarang mendirikan bangunan di pinggir rel kereta api pada jarak yang
ditetapkan sesuai dengan ketentuan yang berlaku”.
Pasal di dalam bab ini yang selama ini dijadikan dasar oleh aparat untuk
menggusur pemukiman warga di bantaran kali dan rel kereta api. Ini merupakan
pasal yang semakin meminggirkan rakyat kecil, dimana rakyat yang sudah tidak
mampu membeli tanah dan mendirikan bangunan di kota karena harga yang tak
terjangkau dan terkena penggusuran, kini harus terpinggirkan dan terusir dari
daerah yang selama ini masih bisa dijangkau oleh mereka seperti di pinggiran
kota, bantaran sungai, pinggiran rel dan lainnya.
Bab VIII tentang Tertib Pemilik, Penghuni Bangunan. Di dalam bab ini
diatur kewajiban bagi setiap pemilik dan penghuni bangunan untuk memelihara
pagar pekarangan, memelihara dan mencegah perusakan bahu jalan atau trotoar
dan memberi penerangan lampu di pekarangan untuk menerangi jalan (pasal 21
point 1). Selain itu, di dalam bab ini juga diatur larangan bagi setiap orang untuk
memotong dan menebang pohon tanpa seizin Gubernur (pasal 21 point 2).
Bab IX tentang Tertib Sosial, terdiri dari 4 pasal (pasal 22-25). Pasal-pasal
di dalam bab ini lebih dikenal sebagai pasal anti-prostitusi. Di dalam pasal 24
disebutkan, setiap orang dilarang bertingkah laku asusila di jalan, jalur hijau,
taman dan tempat-tempat umum. Sementara di dalam pasal 25 lebih ditegaskan
lagi larangan bagi setiap orang atau badan menyediakan fasilitas prostitusi.
Sebenarnya bab ini tidak hanya mengatur tentang prostitusi, melainkan juga
larangan bagi mereka yang berpenyakit yang mengganggu pemandangan umum
untuk berada di tempat-tempat umum (pasal 23), suatu aturan yang oleh banyak
kalangan dianggap sangat diskrminatif bagi warga yang justru membutuhkan
pertolongan.
Bab ini berisi pasal-pasal yang mengatur kehidupan sosial masyarakat.
Namun jika dicermati isinya, segera nampak bahwa yang diatur hanyalah
masyarakat miskin seperti orang cacat, orang miskin, anak jalanan, perempuan
dalam prostitusi dan semacamnya. Pelarangan tampil ke muka umum bagi orang
yang mengidap penyakit yang mengganggu pandangan umum dan meresahkan
masyarakat sangat tidak jelas maksudnya, dan merupakan diskriminasi bagi
orang-orang yang menderita penyakit yang masuk kategori tersebut di atas.
Definisi dan Kriteria dari penyakit yang mengganggu pandangan dan meresahkan
masyarakat tidak jelas. Pemda DKI Jakarta secara tidak langsung telah menutup
dan melanggar hak aksesibilitas atas kota bagi penderita cacat dalan arti luas.
Padahal sebagai warga negara mereka mempunyai kesempatan dan hak yang sama
dalam pembangunan dan aksesibilitas kota. Pasal 24 dan 25 sering dijadikan alat
untuk ‘menertibkan’ --sering dengan penggunaan kekerasan-- para perempuan
yang terlibat dalam prostitusi. Dengan demikian pasal ini telah membuat
kelompok perempuan tertentu rentan terhadap kekerasan. Mereka dipandang
secara hitam putih dari sudut moralitas saja dan bahkan dikategorikan sebagai
penyakit sosial yang harus dilenyapkan.
Bab X tentang Tertib Kesehatan menegaskan larangan bagi setiap orang
atau badan untuk menyelenggarakan praktek/kegiatan usaha pengobatan dengan
cara tradisional dan atau pengobatan yang bersifat kebatinan dan praktek yang ada
hubungannya dengan bidang kesehatan tanpa izin tertulis dari Gubernur DKI
Jakarta.
Bab yang terdiri dari satu pasal yakni pasal 26 ini melarang usaha atau
praktek pengobatan tradisional atau alternatif selain kedokteran. Tapi dalam
kondisi perekonomian yang buruk dimana subsidi kesehatan belum dapat
menjangkau keseluruhan warga miskin kota dan pengobatan dengan kedokteran
sangat mahal biayanya, maka pengobatan tradisional dan alternatif lainnya
merupakan pilihan terakhir. Apalagi sejarah pengobatan Indonesia adalah
merupakan pengobatan tradisional. Yang lebih penting adalah pengelolaan dan
pembinaan terhadap masyarakat dan pelaku pengobatan alternatif ini agar
mengutamakan mutu dan keselamatan pasien, bukannya langsung melarangnya.
Bab XI sampai dengan Bab XVI mengatur tentang Ketentuan Pidana (Bab
XI), Pembinaan (Bab XII), Pengawasan (Bab XIII), Penyidikan (Bab XIV),
Ketentuan Peralihan (Bab XV) dan Ketentuan Penutup (Bab XVI).
B.2. Perda Nomor 8 Tahun 2007
Terhitung mulai bulan Januari 2008, Perda Nomor 8 Tahun 2007 resmi
diberlakukan. Meski menuai protes banyak kalangan, Pemprov DKI Jakarta tetap
berkukuh untuk memberlakukan peraturan yang merupakan revisi atas Perda
Nomor 11 Tahun 1988.42 Menurut keterangan Kepala Dinas Ketentraman,
Ketertiban, dan Perlindungan Masyarakat DKI Jakarta, implementasi Perda
8/2007 akan dilakukan secara bertahap dalam periode 3 bulanan. Pada Bulan
Januari-Maret adalah masa sosialisasi. Bulan April-Juni sosialisasi disertai dengan
tindakan persuasi. Mulai bulan Juli penerapan secara penuh Perda akan
dilakukan.43
Dari segi isi, secara umum Perda Nomor 8 Tahun 2007 tidak jauh berbeda
dengan Perda sebelumnya, kecuali terjadi penambahan berbagai detail peraturan
di sana-sini. Hal tersebut tercermin dari jumlah pasal pada Perda 8/2007 yang
mencapai 67 pasal, bandingkan dengan Perda 11 Tahun 1988 yang hanya 34
Pasal. Padahal jumlah Bab dalam kedua Perda ini sama yakni 16 bab. Terdapat
42
Pada konsideran menimbang, huruf c Perda 8/2007 disebutkan bahwa, “Peraturan
daerah Nomor 11 tahun 1988 tentang Ketertiban Umum Dalam Wilayah Daerah Khusus Ibukota
Jakarta tidak sesuai lagi dengan jiwa dan semangat penyelenggaraan pemerintah daerah serta
perubahan dan perkembangan tata nilai kehidupan bermasyarakat warga kota Jakarta”.
43
Kompas, Perda Ketertiban Diberlakukan Januari 2008 Meski Kontroversial, 26
November 2008
dua bab baru dalam Perda 8/2007 yang tidak tercantum dalam Perda 11/1988,
yakni bab yang mengatur tentang Tertib Tempat Hiburan dan Keramaian (bab X)
dan bab tentang Tertib Peran Serta Masyarakat (bab XI).
Meski demikian, penambahan bab baru tidak menambah jumlah
keseluruhan bab karena beberapa bab pada Perda 11/1988 dipadatkan hanya
menjadi satu bab saja pada Perda 8/2007. Misalnya, bab tentang
Tertib
Bangunan, Tertib Pemilik dan Penghuni Bangunan yang pada Perda 11/1988
dipisah dalam dua bab (bab VII dan bab VIII), pada Perda 8/2007 disatukan hanya
dalam satu bab saja, yakni bab tentang Tertib Bangunan (bab VII). Demikian juga
bab tentang Pembinaan dan Pengawasan yang pada Perda 11/1988 dipisah
menjadi dua bab (bab XII dan bab XIII), pada Perda 8/2007 dijadikan satu bab
saja (bab XII). Untuk lebih detail mengetahui isi Perda 8/2007, berikut akan
ditelaah bab perbab dari Perda dimaksud di atas. Pada beberapa hal akan
diperbandingkan antara Perda 8/2007 dengan Perda 11/1988 untuk mengetahui
komponen-komponen perubahan ataupun penambahan.
Bab I Perda 8/2007 hanya terdiri atas 1 pasal yang mengatur tentang
Ketentuan Umum. Jika dibandingkan dengan Perda 11/1988 yang hanya
mendefinisikan 9 konsep, maka Perda Tibum yang baru mendefinisikan 20
konsep. Beberapa konsep baru yang dijelaskan dalam Perda ini adalah; DPRD,
ketentraman masyarakat, kendaraan umum, tempat umum, pedagang kaki lima,
parkir, hiburan, ternak potong, pencemaran dan keadaan darurat.
Penting untuk dikritisi adalah definisi tentang ketertiban umum dan
ketentraman masyarakat dihubungkan dengan sudut pandang penilaian terhadap
konsep tersebut. Penilaian tentang keadaan tertib, teratur, tenteram dan nyaman
seyogyanya tidak hanya dilakukan oleh pemerintah melainkan juga oleh
masyarakat.
Artinya,
baik
pemerintah
maupun
masyarakat
mempunyai
tanggungjawab dan hak yang sama untuk merumuskan pemahaman tentang
kondisi tertib dan tenteram. Akan menjadi persoalan jika tidak ada pemahaman
yang sama antara masyarakat dan pemerintah, atau pemahaman tentang tertib dan
tenteram hanya didominasi oleh pemerintah. Karena yang akan terjadi adalah
benturan yang tak kunjung habisnya.
Bab II mengatur tentang Tertib Jalan, Angkutan Jalan dan Angkutan
Sungai, terdiri atas 10 pasal. Bandingkan dengan bab II Perda 11/1988 yang hanya
terdiri atas 6 pasal. Dari segi judul bab, terdapat penambahan aturan tentang
angkutan sungai, meskipun pada isinya hanya terdapat satu ayat saja yang secara
eksplisit mengatur tentang angkutan sungai, yakni pada pasal 2 ayat 8.44
Beberapa hal baru yang diatur dalam bab II Perda ini adalah larangan
menggunakan atau menawarkan diri menjadi joki three in one (pasal 4), larangan
bagi pengatur lalu lintas ilegal di persimpangan jalan, lebih dikenal dengan
sebutan pak ogah atau polisi cepek (pasal 7), larangan memarkir kendaraan atau
menyelenggarakan parkir tanpa izin (pasal 10 dan 1).
Terkait dengan masalah joki three ini one, penggunaan joki di kawasan
pengendalian lalu lintas pada waktu-waktu tertentu membuktikan bahwa
pengendalian lalu lintas dengan cara ini kurang mencapai tujuan. Semestinya
44
Pasal 2 ayat 8, ”Setiap orang atau badan dilarang membuat rakit, keramba, dan
angkutan penyeberangan lainnya di sepanjang jalur kendaraan umum sungai/water way”.
Pemprov DKI mengkaji hal ini dan menerapkan pendekatan-pendekatan yang
lebih efektif. Proporsi kendaraan pribadi yang mencapai lebih dari 89% perlu
dikendalikan dengan cara-cara yang lebih menjawab masalah. Misalnya,
meninggikan pajak kendaraan pribadi dan memperbaiki kualitas dan kuantitas
sarana angkutan umum. Atau pengendalian dilakukan di semua kawasan, bukan
hanya di kawasan-kawasan tertentu. Larangan dan ancaman pidana tidak
menjamin efektivitas aturan bila sistemnya masih membuka peluang korupsi bagi
aparat penegak hukum. Aturan hukum dalam sistem seperti ini hanya akan
membuat hukum semakin tidak berwibawa.
Menyangkut pasal 7 yang terkesan kuat mengkriminalkan kerja “polisi
cepek” atau “pak ogah”, larangan ini melupakan akar masalah munculnya pak
ogah adalah kesemrawutan dan kemacetan. Tanpa menghilangkan kesemrawutan
dan kemacetan, orang-orang yang berperan sebagai pak ogah akan selalu muncul
karena masyarakat sendiri juga terbantu oleh kehadiran mereka
Pada Bab III, mengatur tentang Tertib Jalur Hijau, Taman dan Tempat
Umum. Hanya terdiri dari satu pasal, sama seperti dengan Perda Tibum
sebelumnya. Secara isi, tidak ada perubahan yang signifikan. Yang penting untuk
dikritisi dari bab ini adalah atas nama kepentingan dinas, pasal-pasal di dalam
bab
ini membuka peluang bagi pemerintah DKI Jakarta untuk melakukan
penyelewengan dalam bentuk penyalahgunaan atau pengalihan fungsi jalur hijau,
taman dan tempat-tempat umum, seperti yang telah terjadi selama ini. Padahal
dengan kondisi Jakarta yang ruang terbukanya hanya 9% (dari yang semestinya
30% untuk kota yang sehat), alih fungsi jalur hijau dan taman semestinya dilarang
dengan alasan apapun.
Bab IV terdiri dri 4 pasal mengatur tentang Tertib Sungai, Saluran, Kolam
dan Lepas pantai. Dibandingkan dengan Perda sebelumnya pada bab ini berkurang
1 pasal, meski tidak merubah isinya secara signifikan. Pasal 13 dan 14 ayat 3
45
merupakan pasal yang paling banyak disorot oleh masyarakat.
Catatan kritis Jakarta Center for Street Children (JCSC) menyatakan
bahwa, di berbagai kota di dunia, penataan kawasan sungai, setu, waduk dan
danau dilakukan tidak dengan menggusur warga yang ada, tetapi dengan
melibatkan mereka sebagai subyek atau pelaku utama yang turut bertanggung
jawab dalam melakukan penataan dan menjaga kebersihan dan keberlangsungan
layanan alam dari sungai, waduk, setu dan danau. Dalam hal ini semestinya
pemerintah bertindak sebaai fasilitator pemberdayaan warga agar warga dapat
menjalankan perannya sebagai pelaku utama penataan dan penjaga kebersihan
serta keberlangsungan layanan alam di lingkungan sungai, waduk, setu dan danau.
Tindakan pengusiran atau penggusuran selama ini terbukti tidak menyelesaikan
masalah dan hanya memindahkan masalah di tempat lain.46
Bab V mengatur tentang Tertib Lingkungan, terdiri dari 7 pasal. Lebih
banyak 5 pasal dibanding Perda sebelumnya yang hanya 2 pasal. Beberapa hal
45
Pasal 13, ”Kecuali dengan izin Gubernur atau pejabat yang ditunjuk, setiap orang atau
badan dilarang : 1) membangun tempat mandi, cuci, kakus, hunian/tempat tinggal atau tempat
usaha di atas saluran sungai dan bantaran sungai serta di dalam kawasan setu, waduk dan
danau; 2) memasang/menempatkan kabel atau pipa di bawah atau melintai saluran sungai serta d
dalam kawasan situ, waduk dan danau”, pasal 14 ayat 3, ”setiap orang dilarang memanfaatkan
air sungai dan danau untk kepentingan usaha kecuali atas izin Gubernur atau pejabat yang
ditunjuk”.
46
JCSC, Catatan Kritis Terhadap Perda Nomor 8 Tahun 2007, 8 Oktober 2007.
yang ditambahkan pada bab V dalam Perda Tibum yang baru antara lain; larangan
merusak hutan mangrove (pasal 18), larangan membuat, menyimpan dan menjual
petasan (pasal 19), melakukan aksi vandalisme dan mengotori lingkungan (pasal
21) pengaturan air minum dan air permukaan tanah (pasal 22 dan pasal 23).
Perubahan terjadi pada pasal 15 Perda 11/1988 yang menyatakan larangan
bermain di bawah jalan layang, jalan tol, pinggiran rel kereta api, jalur hijau, tamn
dan tempat umum, menjadi larangan untuk membangun (lihat pasal 19).
Bab VI mengatur tentang Tertib Tempat dan Usaha Tertentu, terdiri dari
12 pasal. Jauh lebih banyak ketimbang Bab VI Perda sebelumnya yang hanya
mencantumkan 4 pasal saja. Sejauh pengamatan peneliti, pasal-pasal pada bab VI
ini yang paling banyak memicu protes dan menimbulkan kontroversi di kalangan
warga masyarakat. Beberapa pasal yang sangat kontroversial tersebut antara lain;
pasal 25 yang bukan hanya melarang pedagang kaki lima untuk berjualan
melainkan juga mengancam para pembelinya. Bukan hanya mengancam para
pedagang kaki lima dan pembelinya, bab ini juga mengancam para pedagang kecil
dan pencari derma yang banyak beroperasi di jalan raya dan tempat-tempat umum
(pasal 26). Juga menegaskan kembali larangan pengoperasian becak dan
kendaraan tak bermotor lainnya (ojek sepeda seperti di kota) serta menancam para
penggunanya (pasal 29).
Beberapa catatan kritis yang diberikan oleh kalangan LSM terhadap pasalpasal ini antara lain; 47 Pertama, perda ini tidak mengatur ketentuan pidana
terhadap pelanggaran pasal 25 ayat 1. Jadi kalau gubernur tidak menjalankan
47
Lihat, JCSC, op.cit.
kewajibannya menetapkan tempat usaha untuk pedagang kaki lima, gubernur
tidak dikenai ancaman pidana. Kedua, berdasarkan pasal 25 ayat 1 bisa dilihat
bahwa ruang untuk PKL adalah “ruang-ruang sisa”, di mana ada atau tidaknya
ruang tersebut sangat bergantung pada “selera” gubernur dan tidak didasarkan
pada kebutuhan dan kepentingan warga. Tidak ada mekanisme partisipasi publik
dalam menentukan lokasi usaha untuk PKL.
Ketiga, sikap diskriminatif Pemprov DKI terhadap kelompok miskin dan
sektor informal terlihat dari alokasi ruang usaha bagi usaha kecil menengah,
termasuk PKL. Berbeda dengan alokasi ruang komersial untuk usaha besar
macam pusat perbelanjaan/mall, pemberian tempat untuk usaha kecil menengah
tidak dieksplisitkan dalam rencana tata ruang, tetapi lebih didasarkan pada “belas
kasih” gubernur. Keempat, alokasi ruang usaha untuk usaha kecil menengah,
termasuk PKL tidak pernah transparan dan terbuka sehingga dapat diketahui
lokasi-lokasi mana saja yang bisa diakses oleh para PKL. Tiadanya transparansi
ini membuka peluang terjadinya KKN.
Kelima, mayoritas warga Jakarta yang berdaya beli lemah, di manapun
mereka berada, termasuk yang bekerja di sektor formal sekalipun, pada
kenyataannya bergantung pada keberadaan sektor informal. Larangan terhadap
setiap orang untuk membeli barang dari PKL akan menyengsarakan warga yang
hanya mampu membeli barang dari PKL, termasuk dalam memenuhi kebutuhan
dasarnya untuk makan. Keenam, pemerintah DKI Jakarta benar-benar menutup
mata terhadap realitas bahwa menghapus sektor informal dari Jakarta tidak pernah
berhasil. Pemprov DKI juga menutup mata terhadap sumbangan sektor informal
bagi pengembangan kota. Kota-kota besar di dunia, khususnya di Asia, telah
belajar banyak dari kegagalan mereka untuk menghapus informalitas dengan
kebijakan yang lebih partisipatif, yaitu penataan, baik lokasi di tempat-tempat
tertentu, waktu berdagang maupun integrasinya dengan sektor formal.
Bandingkan dengan pengalaman Bangkok dan Singapura, yang memilih kebijakan
menata dan bukan menggusur sektor informal macam PKL. Baik Singapura
maupun Bangkok mampu mewujudkan kota yang bersih sekaligus menjadikan
PKL sebagai daya tarik industri pariwisata mereka. Sementara Jakarta cenderung
melihat sektor informal macam PKL sebagai musuh kota. Toh dengan anggaran
milyaran rupiah Jakarta tetap tak mampu mengusir PKL.
Bab VII mengatur tentang Tertib Bangunan, terdiri dari 3 pasal.
Sebagaimana
telah dijelaskan terdahulu, bab
VII pada
Perda 8/2007
menggabungkan dua bab tentang bangunan dan pemilik bangunan pada Perda
11/1988. Secara substansi tidak terdapat perubahan yang signifikan dalam bab ini
kecuali adanya penambahan pasal khusus yang mengatur larangan untuk
membangun menara/tower komunikasi, dan keharusan pegelolanya melakukan
perawatan (pasal 37).
Bab VIII mengatur tentang Tertib Sosial, terdiri atas 8 pasal, atau lebih
banyak 4 pasal jika dibandingkan dengan Perda sebelumnya yang hanya
mencantumkan 4 pasal. Beberapa pasal dalam bab ini juga menjadi sumber
kontroversi terus berlangsung sampai saat ini. Pada bab ini misalnya ditegaskan
larangan bagi individu maupun badan untuk meminta bantuan dan sumbangan di
jalan, pemukiman dan tempat-tempat umum (pasal 39), larangan untuk menjadi
pengemis, pengamen, pedagang asongan dan pengelap mobil ataupun membeli
dan memberi kepada kelompok masyarakat tersebut di atas (pasal 40), larangan
bagi PSK untuk beroperasi di tempat umum (pasal 42).
Beberapa catatan yang dapat diberikan untuk pasal-pasal ini adalah
Pertama, pemprov memiliki asumsi bahwa ada mafia yang mengorganisir kaum
miskin yang dipekerjakan sebagai pengemis, pengamen, pedagang asongan, dan
pengelap mobil. Pasal ini juga didasarkan pada stigma bahwa para pengemis itu
adalah orang-orang yang malas dan tidak mau bekerja. Pemda DKI menutup mata
pada realitas bahwa mereka menjadi pengemis karena desakan kebutuhan hidup
dan minimnya peluang kerja.
Kedua, dengan aturan ini Pemprov DKI benar-benar hendak menjadikan
Jakarta sebagai kota yang bersih dari orang miskin. Karena seluruh jenis kegiatan
dan pekerjaan yang masih mungkin dilakukan kaum miskin untuk dapat bertahan
hidup )seperti pedagang asongan, pengamen dan pengelap mobil) dikriminalkan
dan dikenai ancaman pidana. Menjadi pengemis diancam pidana, tetapi bekerja
secara halal dengan kekuatan dan modal sendiri pun juga dikriminalkan. Bukan
hanya itu. Warga yang membeli barang dari mereka atau sekedar memberi sedikit
uang recehan pun dikenakan ancaman pidana.
Ketiga, Perda ini mengajak seluruh warga masyarakat untuk bersama-sama
menghukum orang miskin, sebab dengan Perda Tibum ini orang miskin di
wilayah DKI ini telah ditetapkan sebagai makhluk ilegal yang mengancam
kehidupan kota, sehingga membeli barang dari mereka atau sekedar bersimpati
pada mereka dengan sedikit uang recehan dianggap sebagai tindakan ilegal dan
bersekutu dengan musuh kota dan karenanya pantas dikenakan ancaman
pidana.Yang mengherankan adalah premanisme tidak disentuh dalam Perda ini.
Barangkali di wilayah Jakarta status dan peran preman lebih baik dari PKL,
pedagang asongan, pengelap mobil, tukang ojek, tukang becak, apalagi pemulung
dan pengemis. Sebab dalam menggusur orang miskin, Pemprov DKI selama ini
sering menggunakan preman.
Bab IX mengatur tentang Tertib Kesehatan yang terdiri hanya atas 1 pasal.
Tidak ada perubahan pada bab ini dari Perda sebelumnya. Seterusnya pada bab X
sampai dengan bab XVI tidak terlalu banyak terjadi perubahan yang mendasar
kecuali menyangkut 2 hal saja. Pertama, ditambahkannya aturan yang mengatur
Tertib Hiburan, Keramaian dan Tertib Peran Serta Masyarakat. Kedua, diaturnya
Penyidikan dan Ketentuan Pidana secara lebih rinci.
Perda Tibum yang baru mencantumkan 4 pasal dan 12 ayat untuk
mengatur ketentuan pidana. Bandingkan dengan Perda sebelumnya yang hanya
mencantumkan 1 pasal dan 3 ayat saja. Dari segi isi, ketentuan pidana dari Perda
Tibum yang baru juga banyak dikeluhkan oleh masyarakat dan diragukan dapat
dijalankan dengan baik. Pada aspek Penyidikan terdapat beberapa hal yang patut
untuk diperhatikan, yakni; Pertama, pada pasal 60 ayat 2 butir (i) memberi
peluang pada aparat Pemprov DKI untuk melakukan tindakan sewenang-wenang
karena aparat Pemprov DKI mendapat wewenang untuk melakukan tindakan lain
menurut hukum yang dapat dipertanggungjawabkan. Dalam kasus penggusuran
dan pengusiran kaum miskin, selama ini aparat Pemprov DKI banyak melakukan
tindakan kekerasan dan juga pembakaran tanpa mendapatkan sanksi. Karenanya
tindakan kekerasan oleh aparat Pemprov dianggap sebagai tindakan yang sah dan
bukan pelanggaran.
Kedua, Perda ini tidak berbicara tentang pelanggaran dalam hal
penyidikan, khususnya pelanggaran terhadap pasal 60 ayat 3 tidak ada ketentuan
tentang sanksi pidana bagi PPNS yang melakukan pelanggaran, dalam hal ini
adalah melakukan tindakan penangkapan dan/atau penahanan. Ketiga, tidak
adanya ketentuan pidana bagi pelanggaran yang dilakukan aparat/pejabat
Pemprov DKI menunjukkan bahwa Perda ini mempunyai peluang besar untuk
gagal karena Perda ini membuka peluang bagi Pemprov DKI untuk melanggar
ketertiban tanpa ancaman sanksi pidana. Kalau aparat penegak, pembina dan
pengendali ketertiban sendiri sudah tidak tertib, tidak masuk akal kalau kemudian
Pemprov DKI menuntut warganya untuk tertib.
Kajian terhadap isi Perda Tentang Ketertiban Umum yang dilakukan
Komnas HAM menyimpulkan bahwa sejumlah pasal di dalam perda ini
bertentangan dengan prinsip-prinsip hak asasi manusia yang diakui oleh negara
Republik Indonesia dan juga kalangan internasional. Hal tersebut diantaranya
disebabkan oleh definisi ketertiban umum yang tercantum dalam Perda tidak
secara eksplisit memasukkan penghormatan terhadap HAM sebagai bagian dari
definisi ketertiban umum dan/atau penghormatan HAM bukan merupakan bagian
penting dalam definisi ketertiban umum dalam Perda.
Menurut kajian Komnas HAM, isi perda yang bermasalah adalah sebagai
berikut; 1) Pasal 2 ayat 1, pasal 2 ayat 2 dan pasal 33 bermasalah karena sulit
untuk dilaksanakan; 2) Pasal 47 ayat 1 a dan b dan pasal 14 ayat 2, pasal 47 ayat
1c dan pasal 46, bermasalah karena perumusan yang tidak jelas terhada berbagai
konsep, seperti praktik pengobatan tradisional dan kebatinan, dan lain-lain; 3)
pasal 12 e, f dan h (kecuali membuang permen karet), pasal 25 ayat 3, pasal 29
ayat 3 seharusnya tidak ada kriminalisasi; 4) pasal 42 a, pasal 49 dan pasal 51
sudah diatur dalam KUHP dan undang-undang mengenai unjuk rasa. Pasal dalam
Perda Tibum juga merupakan kemunduran karena mengatur perijinan yang sudah
menjadi wilayah kewenangan aparat kepolisian.
B.3. Matrik Perbandingan Isi Perda Nomor 11 Tahun 1988 dengan Perda
Nomor 8 Tahun 2007.
Sebagaimana telah dijelaskan terdahulu bahwa secara substansi tidak terdapat
perbedaan yang signifikan antara isi Perda 11 Tahun 1988 dengan isi Perda 8
Tahun 2007, kecuali berbagai penambahan dan perincian aturan pada Perda 8
Tahun 2007 yang pada mulanya tidak diatur secara detail pada Perda 11 Tahun
1988. Untuk memudahkan memahami aspek apa saja yang ditambahkan pada
Perda 8 Tahun 2007 dari Perda sebelumnya, penulis menuangkannya dalam
matrik berikut :
Matrik Perbandingan Isi
Perda Nomor 11 Tahun 1988 dengan Perda Nomor 11 Tahun 2007
Aspek
Umum
Perda 11/1988
Terdiri dari 16 bab
dan 34 pasal
Perda 8/2007
Terdiri dari 16
bab dan 67 pasal
Bab I
Membahas
tentang Ketentuan
Umum, tediri atas
1 pasal yang
mendefinisikan 9
konsep kunci yang
digunakan dalam
Perda.
Bab II
Tentang Tertib
Jalan dan
Angkutan Jalan
Raya. Terdiri atas
6 pasal.
Membahas
ketentuan yang
sama. Terjadi
penambahan
konsep yang
didefinisikan
dalam ketentuan
umum menjadi 20
konsep.
Tentang Tertib
Jalan, Angkutan
Jalan dan
Angkutan Sungai.
Terdiri atas 10
pasal.
Bab III
Tentang Tertib
Jalur Hijau,
Taman dan
Tempat Umum.
Terdiri dari 1
pasal.
Tentang Tertib
Bab IV
Tentang Tertib
Jalur Hijau,
Taman dan
Tempat Umum.
Terdiri dari 1
pasal.
Tentang Tertib
Keterangan
Terdapat dua bab baru dalam Perda
8/2007, yakni bab tentang Tertib
Tempat Hiburan dan Keramaian (bab
X) dan bab tentang Tertib Peran Serta
masyarakat. Penambahan dua bab ini
tidak mempegaruhi jumlah
keserluruhan bab karena pemadatan isi
pada Perda 8/2007, yakni bab tentang
Tertib Bangunan, Tertib Pemilik dan
Penghuni Bangunan yang pada Perda
11/1988 dipisah dalam dua bab (bab
VII dan bab VIII), pada Perda 8/2007
disatukan hanya dalam satu bab saja,
yakni bab tentang Tertib Bangunan
(bab VII). Demikian juga bab tentang
Pembinaan dan Pengawasan yang pada
Perda 11/1988 dipisah menjadi dua bab
(bab XII dan bab XIII), pada Perda
8/2007 dijadikan satu bab saja (bab
XII).
Konsep-konsep yang ditambahkan
dalam ketentuan umum pada Perda 8
Tahun 2007 adalah pengertian tentang;
DPRD, ketentraman masyarakat,
kendaraan umum, tempat umum,
pedagang kaki lima, parkir, hiburan,
ternak potong, pencemaran dan
keadaan darurat.
Pada perda 8/2007 ditambahkan aturan
tentang angkutan sungai (pasal 2 ayat
3). Beberapa hal baru yang diatur
dalam bab II Perda ini adalah larangan
menggunakan atau menawarkan diri
menjadi joki three in one (pasal 4),
larangan bagi pengatur lalu lintas ilegal
di persimpangan jalan, lebih dikenal
dengan sebutan pak ogah atau polisi
cepek (pasal 7), larangan memarkir
kendaraan atau menyelenggarakan
parkir tanpa izin (pasal 10 dan 1).
Tidak ada perubahan isi pada bab ini
dari Perda 11/1988 ke Perda 8/2007.
Dibandingkan dengan Perda 11 Tahun
Sungai, Saluran,
Kolam dan Lepas
Pantai. Terdiri
atas 5 pasal.
Tentang Tertib
Lingkungan.
Terdiri 2 pasal.
Sungai, Saluran,
Kolam dan Lepas
Pantai. Terdiri
atas 4 pasal.
Tentang Tertib
Lingkungan.
Terdiri dari 7
pasal.
Bab VI
Tentang Tertib
Usaha Tertentu.
Terdiri atas 4
pasal.
Tentang Tertib
Tempat dan
Usaha Tertentu.
Terdiri atas 12
pasal.
Bab VII
Tentang Tertib
Bangunan. Terdiri
atas 1 pasal.
Tentang Tertib
Bangunan. Terdiri
atas 3 pasal.
Bab VIII
Tentang Tertib
Pemilik dan
Penghuni
Bangunan.
Tentang Tertib
Sosial.
Bab IX
Tentang Tertib
Sosial. Terdiri dari
4 pasal.
Bab X
Tentang Tertib
Kesehatan
Tentang Tertib
Kesehatan.
Terdiri dari 1
pasal.
Tertib Hiburan,
Keramaian dan
Peran Serta
Masyarakat
Bab V
1988 terjadi pengurangan 1 pasal pada
Perda 8 tahun 2007. Secara substansi
tidak terdapat perubahan yang
signifikan diantara keduanya.
Terdapat penambahan 5 pasal pada
Perda 8 Tahun 2007. Beberapa hal
yang ditambahkan antara lain; larangan
merusak hutan mangrove (pasal 18),
larangan membuat, menyimpan dan
menjual petasan (pasal 19), melakukan
aksi vandalisme dan mengotori
lingkungan (pasal 21) pengaturan air
minum dan air permukaan tanah (pasal
22 dan pasal 23).
Terdapat penambahan 8 pasal pada
Perda 8 Tahun 2007. Penambahan
paling krusial dan kontroversial adalah
pada pengaturan masalah PKL dimana
bukan hanya pedagang saja yang
diancam dengan pidana melainkan juga
meraka yang membeli barang dari
PKL.
Perda 8/2007 menggabungkan 2 bab
pada Perda 11/1988, yakni bab VII
tentang tertib bangunan dan bab VIII
tentang Pemilik Bangunan. Secara
substansi tidak terdapat perubahan yang
signifikan dalam bab ini pada Perda
8/2007 kecuali adanya penambahan
pasal khusus yang mengatur larangan
untuk membangun menara/tower
komunikasi, dan keharusan pegelolanya
melakukan perawatan (pasal 37).
Bab VIII pada Perda 11/1988 telah
dipadatkan dalam bab VII Perda
8/2007. Karenanya pada bab VIII ini
terjadi perbedaan signifikan karena
adanya pemadatan sebagaimana disebut
diatas. Dibandingkan dengan bab
tentang Tertib Sosial pada Perda
11/1988, terdapat penambahan 4 pasal
dari sebelumnya 4 pasal. Hal paling
kontroversial dari Perda 8/2007 pada
bab ini adalah larangan bukan hanya
menjadi pengemis melainkan juga
memberi pengemis.
Disesuaikan
Seiring dengan semakin menjamurnya
tempat-tempat hiburan dan berbagai
aktivitas yang mengundang keramaian,
Perda Nomor 8 Tahun 2007
menambahkan masalah tertib hiburan,
Bab XI
Bab XII
Bab XIII
Bab XIV
Bab XV
Bab XVI
C.
Tentang
Ketentuan Pidana
Tentang
Ketentuan
Pembinaan
Tentang
Pengawasan
Tentang
Penyidikan
Tentang
Ketentuan
Peralihan
Tentang
Ketentuan
Penutup
Tentang
Ketentuan Pidana
Tentang
Ketentuan
Pembinaan
Tentang
Pengawasan
Tentang
Penyidikan
Tentang
Ketentuan
Peralihan
Tentang
Ketentuan
Penutup
yang tidak terdapat dalam Perda 11
Tahun 1988.
Tidak terjadi perubahan signifikan dari
Perda 11/1988 ke Perda 8/2007 tentang
ketentuan Pidana sampai ke ketentuan
penutup, kecuali Perda 8/2007 lebih
memerinci tentang ketentuan pidana
seiring dengan semakin banyaknya
klausul tambahan yang diatur dala
perda dimaksud di atas.
Implementasi Perda Tentang Ketertiban Umum
Untuk dapat menilai implementasi Perda tentang Ketertiban Umum,
penulis menjadikan Perda 11 Tahun 1988 sebagai pijakan, mengingat Perda yang
baru, yakni Perda 8 tahun 2007 baru diberlakukan pada awal Januari 2008.
Menjadikan implementasi Perda 8 Tahun 2007 sebagai dasar penilaian dalam
kajian ini tidak mungkin dilakukan dan rentan menjadikan penelitian ini bias dalm
penilaian mengingat masih sangat terbatasnya waktu pelaksanaan.
Berdasarkan hasil riset LBH APIK Jakarta,48 implementasi Perda yang
seharusnya diberlakukan pada semua warga Jakarta dalam pelaksanaannya hanya
mengatur masyarakat miskin saja, karena faktanya semua pasal dalam Perda ini
ditujukan pada rakyat miskin kota. Perda ini memuat larangan-larangan orang
berada ditempat umum yang sekiranya dapat mengganggu pandangan umum dan
meresahkan masyarakat tanpa melihat latar belakang keberadaan rakyat miskin
kota yang tidak mempunyai akses ke tempat-tempat yang dianjurkan yang
48
Lebih lengkap lihat, LBH APIK, Kajian Terhadap Perda 11 tahun 1988 tentang
Ketertiban Umum di Wilayah DKI Jakarta, 2005..
notabene mesti mengeluarkan uang ekstra. Tak heran jika Perda ini – meskipun
berjudul perda ketertiban umum - namun di kalangan rakyat miskin Jakarta lebih
dikenal sebagai ‘Perda Penggusuran’. Faktanya, Perda 11 tahun 1988 selama ini
memang selalu dijadikan dasar justifikasi oleh Pemerintah DKI Jakarta untuk
melakukan penertiban berupa penggusuran, pengusiran dan perusakan terhadap
properti warga yang dianggap menyalahi ketentuan yang diatur di dalam Perda
ini.
Sejak diundangkannya Perda ini tahun 1988, tak terhitung lagi jumlah
warga miskin Jakarta yang digusur dengan dalih ketertiban umum ataupun
kepentingan dinas. Tidak terhitung pula jumlah becak yang dijaring dalam razia
untuk kemudian dimusnahkan, padahal itu menjadi gantungan hidup para
pemiliknya. Dalam kurun waktu enam tahun terakhir ini aktivitas ‘penertiban’
yang dilakukan aparat Pemda DKI Jakarta menunjukkan intensitas yang semakin
tinggi. Data yang dilansir oleh Forum Keprihatinan Akademisi (FKA)49
menunjukkan bahwa pada tahun 2001 saja tercatat 45 kasus penggusuran
pemukiman dengan 6588 rumah dan 5 sekolah dihancurkan, 6774 kepala keluarga
dan 34.514 jiwa kehilangan tampat tinggal. Penggusuran yang tak jarang disertai
dengan tindakan kekerasan membuat 19 orang meninggal, 67 orang luka, 50 orang
sakit, 1000 orang depresi dan 4525 orang kehilangan pekerjaan.
Selain penggusuran pemukiman, pada tahun itu juga tercatat 54 kasus
penggusuran terhadap pedagang kaki lima (PKL). Sebanyak 2700 PKL
49
Forum Keprihatinan Akademisi beranggotakan Prof. Dr. Saparinah Sadli, Prof. Dr.
Sayogyo, Prof. Dr.Toety Herati, Ir. Marco Kusumawijaya, Prof. Dr. Franz Magnis-Suseno dan
banyak tokoh akademisi dan LSM lainnya. Keprihatinan mereka akan akan penggusuran dan
model penerapan Perda 11 Tahun 1988dituangkan dalam petisi berjudul “Menata Kembali Hak
Warga Negara”, 11 Nopember 2003.
kehilangan tempat usaha dan barang dagangannya dengan kerugian mencapai Rp.
540 juta akibat penggusuran disertai dengan kekerasan, perampasan dan
penjarahan oleh aparat. Padahal, selama berdagang, secara rutin PKL dipungut
retribusi. Pada tahun ini juga dilakukan penggarukan becak secara besar-besaran.
Pemerintah DKI Jakarta mengeluarkan setidaknya Rp. 1,24 milyar untuk
menggusur becak dari bumi Jakarta. Akibatnya 6000 jiwa kehilangan pekerjaan
dan 3000 becak dirampas.
Pada tahun 2002, data FKA mencatat setidaknya terjadi 26 kasus
penggusuran pemukiman dengan sedikitnya 4908 rumah dihancurkan, 18.732 jiwa
kehilangan tempat tinggal, 15 orang terluka, 11 orang ditangkap dan ditahan.
Selain itu, juga terjadi 20 kasus penggusuran terhadap pedagang kaki lima (PKL),
dimana sedikitnya 7770 lapak kios PKL dihancurkan.
Pada tahun 2003 Hasil investigasi Forum Warga Jakarta (FAKTA) dan
Institut Sosial Jakarta (ISJ) mencatat setidaknya terjadi 15 kasus penggusuran
pemukiman warga. Sedikitnya 7280 keluarga kehilangan tempat tinggal. Sebagian
besar dari mereka tidak mendapatkan ganti rugi, dan hanya sebagian kecil saja
yang mendapatkan uang kerohiman. Pada tahun 2005, dengan alasan melanggar
jalur hijau sebagaimana diatur dalam Perda11/1988, belasan aktivis Falun Gong
ditangkap saat berunjuk rasa memprotes Presiden Hu Jin Tao yang sedang
berkunjung ke Jakarta. Pada tahun 2006 ratusan pedagang kaki lima di depan
pasar Bendungan Hilir Jakarta Pusat yang mendapatkan giliran penertiban.
Terakhir, pada awal tahun 2007, kasus penggusuran 700-an rumah di kolong tol
Kalijodo Pejagalan Kecamatan Penjaringan Jakarta Utara yang berujung bentrok
antara warga dengan Satpol PP mengakibatkan tak kurang dari 3000 warga terusir
dan kehilangan tempat tinggal.50
Kesemua aktivitas penertiban dan penggusuran tersebut di atas selalau
menjadikan Perda 11 Tahun 1988 sebagai dasar hukum. Dengan alasan
pemukiman berada di jalur hijau, bantaran kali, pinggir rel kereta api, atau lahan
usaha berada di trotoar, dengan serta merta Pemda DKI Jakarta merasa berwenang
untuk menghilangkan hak warga untuk mendapatkan pekerjaan dan penghidupan
yang layak. Ironisnya, sebelum digusur baik pemukiman maupun pedagang kaki
lima umumnya secara rutin ditarik retribusi oleh aparat pemerintah daerah. Dan
setelah digusur, tidak sedikit dari lahan yang mereka tempati dibangun Mal,
apartemen, dan berbagai kepentingan usaha bagi kelompok elit. Di sisi lain,
banyak perumahan mewah, mal-mal dan berbagai tempat usaha menengah atas
yang dibangun di lahan-lahan hijau tidak tersentuh penertiban oleh Pemda DKI
Jakarta.
Dengan demikian menjadi jelas bahwa Perda Nomor 11 Tahun 1988 yang
seharusnya
mengatur
ketertiban
umum
seluruh
warga
Jakarta,
dalam
implementasinya hanya menjadikan warga miskin dan termarjinalkan sebagai
objek dari pemberlakuan Perda. Di dalam banyak kasus, implementasi Perda 11
Tahun 1988 juga ditengarai sarat dengan pelanggaran terhadap Hak Asasi
Manusia warga miskin kota Jakarta.
50
Laporan Koran Tempo, 26 Januari 2007
BAB IV
PERDA TENTANG KETERTIBAN UMUM DI DKI JAKARTA
DALAM TINJAUAN ISLAM DAN HAM
A.
Tinjauan Islam Terhadap Perda Tentang Ketertiban Umum Di DKI Jakarta
Islam sangat menghargai dan melindungi hak-hak dasar setiap manusia.
Pentingnya perlindungan terhadap hak-hak dasar manusia ini ditegaskan oleh AlMaududi. Menurutnya, dalam suatu kelompok hak-hak seseorang ditetapkan dan
dijamin oleh kewajiban anggota-anggota kelompok yang lain, baik secara
individual maupun kelompok. Prinsip-prinsip di dalam Al-Qur’an tentang
keadilan, kejujuran, dan solidaritas kemanusiaan menimbulkan kewajiban bagi
setiap anggota masyarakat Islam, orang perorangan. Prinsip-prinsip tersebut
menimbulkan iklim saling hormat menghormati, dan jaga menjaga yang terjadi
secara timbal balik. Tetapi dasar dari filsafat Islam menurut Mawardi tetap, yakni
otonomi pribadi seseorang, yang menekankan hak-hak dasar manusia.51
Menurut Al-Maududi, Islam seperti halnya semua sistem politik,
menempatkan kepentingan umum di atas kepentingan pribadi. Tetapi jika pun
kepentingan umum harus ditegakkan, negara tidak diperbolehkan melanggar sifat
kemanusiaan warganya atau menyebabkan hilangnya kemerdekaan dan hak
dasarnya.52 Apa saja sifat kemanusiaan dan hak dasar yang tidak dapat dilanggar
oleh negara meskipun sedang menegakkan kepentingan umum tersebut?, ialah
prinsip-prinsip dasar yang dikembangkan oleh Nabi ketika menyampaikan pidato
51
Abul A’la Al Maududi, Esensi Al Qur’an : Filsafat Politik, Ekonomi, Etika, Bandung :
Mizan, 1987, hal 87.
52
Ibid, hl. 88.
perpisahan di padang Arafah. Prinsip-prinsip tersebut adalah hak dasar setiap
manusia untuk hidup (al-dima), hak dasar setiap manusia untuk bebas memiliki
sesuatu (al-amwal), dan hak dasar setiap manusia mendapatkan pengakuan dan
kehormatan (al-a’rad).
Dengan demikian, didalam Islam, setiap manusia, baik muslim maupun
tidak harus dijamin hal-haknya dan negara mempunyai kewajiban untuk
melindungi warganya terhadap segala jenis pelanggaran yang dapat mengancam
hak-hak tersebut. Adapun hak-hak warga yang harus dilindungi tersebut antara
lain; a) Hak untuk mendapatkan jaminan keamanan jiwa (QS 49 : 11-1); b)
Perlindungan terhadap hak milik (QS 24 : 27, QS 49 : 12); c) Hak mendapatkan
kehormatan diri (QS 4 : 148); d) Hak kerahasiaan (QS 3 : 110, 5 : 78-79, 7 : 165);
e) Hak untuk melakukan protes terhadap ketidakadilan (QS 3 : 11); f) Hak
melakukan kritik, menyuruh kebaikan dan mencegah kejahatan (QS 8 : 61), g)
Kemerdekaan untuk berserikat, h) Perlakuan yang sama bagi setiap warga tanpa
diskriminasi.53
Di dalam perkembangannya, umat Islam mengembangkan dan mengakui
hak-hak yang menjadi hak dasar manusia yang tidak dapat dilanggar yang
kemudian disahkan dalam Cairo Declaration of Human Rights in Islam yang
diadopsi oleh Organisasi Konferensi Islam (OKI) pada Agustus 1991. Hak-hak
asasi manusia yang diadopsi dalam Deklarasi Kairo tersebut meliputi; a) Hak
persamaan dan kebebasan, b) Hak hidup, c) Hak perlindungan diri, d) Hak
kehormatan pribadi, e) Hak berkeluarga, f) Hak kesetaraan wanita dengan pria, g)
53
Teguh Prasetyo, Hak Asasi Manusia Dalam Tradisi Islam, dalam Jurnal Ilmu Hukum,
Vol 10 Nomor 1, Maret 2007, hal 49-50
Hak anak dari orang tua, h) Hak mendapatkan pendidikan, i) Hak kebebasan
beragama, j) Hak kebebasan mencari suaka, k) Hak memperoleh perlakuan sama,
l) Hak kepemilikan.54
Jika Islam sedemikian menghormati kepentingan kemaslahatan umum
namun sekaligus juga menjadikan hak dasar manusia sebagai tujuan dari syariat
agama (maqasid syariah), bagaimana perspektif Islam terhadap Perda Nomor 11
Tahun 1988 yang oleh pemerintah di klaim mewakili kepentingan ketertiban dan
kemaslahatan umum, sementara oleh sebagian masyarakat dituding melanggar
hak-hak dasar manusia (yang menjadi tujuan dari syariat agama).
Sebelum memberikan justifikasi perspektif Islam tentang Perda Nomor 11
Tahun 1988 dan Perda Nomor 8 Tahun 2007, tentu penting untuk dilihat dan
ditelaah terlebih dahulu, aspek-aspek apa saja dalam perda tersebut yang diklaim
oleh pemerintah mewakili kepentingan dan kemaslahatan umum, dan aspek apa
saja yang dituding oleh masyarakat melanggar hak dasar manusia.
Berdasarkan hasil bacaan dan telaah penulis terhadap materi Perda 11
Tahun 1988 dan Perda Nomor 8 Tahun 2007, setidaknya terdapat dua persoalan
yang selama ini menjadi pokok perdebatan antara Pemerintah DKI dengan warga
masyarakat. Kedua persoalan tersebut adalah; masalah akses ke tempat-tempat
umum dan masalah pekerjaan dan mendapatkan penghidupan yang layak bagi
warga Jakarta.
54
Sebelum Cairo Declaration of Human Rights in Islam disahkan pada 1991,satu
dasawarsa sebelumnya umat Islam yang tergabung dalam Islamic Council Eropa telah menyusun
deklarasi HAM yang bernama The Universal Islamic Declaration of Human Rights, yang
dirumuskan pada tahun 1981.Lihat, Ahmad Ali Nurdin, Islam dan Hak Asasi Manusia, dalam
Kompas 21/7/2005
Untuk masalah yang pertama, yakni persoalan akses masyarakat ke
tempat-tempat umum, pada Perda 11 Tahun 1988 setidaknya terdapat empat pasal
di dalam Perda yang mengaturnya, yaitu pasal 8, 9, 10, dan 15. Pasal 8 melarang
setiap orang untuk memasuki atau berada di jalur hijau atau taman yang bukan
untuk umum, termasuk juga tidur dan bertempat tinggal di dalamnya. Pasal 9
melarang setiap orang bertempat tinggal atau tidur di tanggul, bantaran sungai, di
pinggir kali dan saluran. Pasal 10 melarang setiap orang untuk mandi,
membersihkan anggota badan, mencuci pakaian, bahan makanan, binatang,
kendaraan dan benda-benda di sungai, saluran dan kolam, termasuk juga dilarang
memanfaatkan air sungai untuk kepentingan usaha. Sementara pasal 15 melarang
setiap orang untuk bermain-main di jalan, di atas atau di bawah jembatan, di
pinggir rel kereta api, pinggir kali, pinggir saluran dan tempat-tempat umum
lainnya.
Pada Perda Nomor 8 tahun 2007 persoalan akses ke tempat umum diatur
dalam pasal 6, pasal 12, pasal 13, pasal 14, pasal 20, dan pasal 39. Secara umum
isi dari pasal-pasal pada Perda 8 tahun 2007 tidak jauh berbeda dengan isi Perda
sebelumnya yang melarang warga untuk tinggal atau memanfaatkan beberapa
kawasan seperti sungai, waduk, situ danau, pinggiran rel kereta dan seterusnya.
Pemerintah DKI selalu berargumen bahwa peraturan untuk menjaga jalur
hijau, sungai dan tempat-tempat umum merupakan bagian dari upaya untuk
memelihara ketertiban umum. Itulah sebabnya, berbagai penggusuran yang
dilakukan oleh aparat trantib, baik di pada pemukiman warga di kolong-kolong
jembatan, bantaran rel kereta api, bantaran sungai atau tempat-tempat yang oleh
Pemda DKI di kategorikan sebagai jalur hijau, Pemda DKI merasa absah untuk
melakukannya. Di sisi lain, bagi sebagian masyarakat, berbagai pasal yang
termuat dalam Perda tersebut di atas sangatlah mengada-ada. Larangan untuk
tinggal di bantaran sungai, ketika pemerintah tidak mampu menyediakan lahan
yang terjangkau dan layak bagi kaum miskin. Larangan untuk memanfaatkan air
sungai ketika air bersih sedemikian mahal, dan larangan untuk bermain di
berbagai tempat umum ketika masyarakat tidak lagi memiliki ruang bermain
akibat ketiakmampuan pemerintah menyediakan fasilitas publik, adalah bentukbentuk pengebirian dan pelanggaran hak-hak dasar warga untuk mendapatkan
jaminan perlindungan dan kehidupan yang layak dari Negara. Dan ketika
Pemerintah melakukan penggusuran atas nama ketertiban umum, maka bertambah
pula hak-hak dasar warga yang dilanggarnya, yakni; hak untuk mendapatkan
jaminan keamanan jiwa (QS 49 : 11-1); hak mendapatkan perlindungan terhadap
hak milik (QS 24 : 27, QS 49 : 12); dan hak mendapatkan kehormatan diri.
Untuk masalah yang kedua, yaitu persoalan akses warga terhadap
pekerjaan dan penghidupan yang layak, terdapat beberapa pasal di dalam Perda 11
Tahun 1988 yang mengaturnya, yakni pasal 16, pasal 18, pasal 19 dan pasal 26.
Pasal 16 melarang setiap untuk melakukan kegiatan usaha di jalan, pinggir rel
kereta api, jalur hijau, taman dan tempat-tempat umum. Pasal 18 melarang setiap
orang untuk melakukan usaha pembuatan, perakitan dan penjualan becak,
memasukkan becak ke wilayah DKI Jakarta dan mengusahakan kendaraan
bermotor atau tidak bermotor sebagai alat angkutan umum yang tidak termasuk
dalam pola angkutan umum yang ditetapkan. Pasal 19 melarang setiap orang atau
badan melakukan usaha pengumpulan, penyaluran pembantu rumah tangga.
Sementara
pasal
26
melarang
setiap
orang/badan
menyelenggarakan
praktek/kegiatan usaha pengobatan dengan cara tradisional dan atau pengobatan
yang bersifat kebatinan dan praktek yang ada hubungannya dengan bidang
kesehatan.
Pada Perda Nomor 8 tahun 2007, masalah akses terhadap pekerjaan diatur
dalam pasal 4 (larangan menjadi joki three in one), pasal 7 (larangan bagi ”pak
ogah/polisis cepek”), pasal 10 (larangan menyelenggarakan parkir), pasal 25
(laangan bagi pedagang kaki lima), pasal 27 (larangan usaha kecil), pasal 28
(larangan menjadi calo), pasal 29 (larangan menarik becak), pasal 39 (larangan
mengemis dan meminta sumbangan/derma), pasal 40 (larangan menjadi
pengemis, pengamen, pedagang asongan dan pengelap mobil) dan pasal 47
(larangan menjalankan praktik pengobatan tradisional).
Pasal-pasal di atas adalah pasal-pasal yang selama ini digunakan oleh
Pemerintah DKI Jakarta untuk menertibkan para pedagang kaki lima, melakukan
razia becak atau menutup berbagai usaha pengobatan tradisional, tanpa diikuti
oleh solusi yang memadai. Kebijakan yang selama ini amat ditentang oleh
sebagian besar warga miskin Jakarta, terutama yang menjadi korban. Menurut
mereka, memberikan penghidupan dan pekerjaan yang layak adalah kewajiban
negara dan adalah hak warganya untuk mendapatkan jaminan penghidupan dari
negara. Namun ironisnya, bukan hanya tidak memenuhi kewajibannya,
Pemerintah DKI dengan dalih ketertiban dan keindahan kota justru melanggar hak
warganya untuk bekerja dan mendapatkan penghidupan yang layak (QS 24 : 27,
QS 49 : 12).
Jika isi dan implementasi Perda 11 Tahun 1988 dan Perda Nomor 8 Tahun
2007 ternyata banyak mengundang perdebatan seputar konflik antara hak-hak
perseorangan dengan apa yang oleh Pemerintah DKI dianggap sebagai
kepentingan umum, bagaimana Islam menanggapi persoalan ini. Sebagaimana
telah diulas dalam bab terdahulu, Islam memelihara kemaslahatan pribadi dan
umum secara bersamaan tanpa harus ada yang dikorbankan. Namun demikian di
saat terjadi pertentangan antara kepentingan pribadi dan umum maka yang
didahulukan adalah kemaslahatan umum, dengan catatan, kemaslahatan umum
tetap harus selaras dengan tujuan dari syariat itu sendiri, yakni terpeliharanya lima
hak dan jaminan dasar manusia (al dharuriyat al khamsah) yang meliputi;
keselamatan jiwa (hifdzu al nafs), keselamatan akal (hifdzu al aql), keselamatan
keturunan (hifdzu al nasl), keselamatan harta benda (hifdzu al maal), dan
keselamatan agama (hifdzu al din). Itu berarti, apapun upaya yang dilakukan –
baik oleh individu maupun lembaga tertentu - dalam rangka menegakkan
kemaslahatan dan ketertiban umum tidak dibenarkan melanggar hak-hak dasar
yang dimiliki oleh manusia. Berdasarkan data-data yang selama ini terekam dalam
berbagai media dan laporan penelitian, pelaksanaan Perda Nomor 11 Tahun 1988
dalam rangka penertiban umum telah terbukti membahayakan setidaknya dua dari
lima jaminan dasar manusia (al-dharuriyat al khamsah), yakni keselamatan jiwa
(hifdzu al-nafs) dan keselamatan harta benda (hifdzu al-maal). Dengan demikian,
dalam perspektif Islam, penghapusan ataupun revisi terhadap peraturan yang
selama ini menjadi sumber ancaman bagi jaminan dasar keselamatan manusia (aldharuriyat al-khamsah) telah menjadi suatu keharusan.
B.
Tinjauan HAM Terhadap Perda Tentang Keteriban Umum Di DKI Jakarta
Sejak era reformasi, berbagai upaya penegakan, pemajuan, perlindungan
dan pemenuhan HAM yang dilakukan oleh Pemerintah Indonesia mendapatkan
apresiasi yang cukup luas, baik dari dalam maupun luar negeri. Apresiasi yang
diberikan kepada pemerintah Indonesia terutama terkait dengan langkah-langkah
progresif untuk mengakomodasi HAM dalam berbagai peraturan perundangan
kita. Setelah disahkannya UU Nomor 39 Tahun 1999 tentang Hak Asasi Manusia
dan UU Nomor 26 Tahun 2000 tentang Pengadilan Hak Asasi Manusia,
Pemerintah Indonesia kembali membuat langkah progresif dengan mengesahkan
dua kovenan penting dalam peraturan perundangan kita. Dua kovenan tersebut
adalah International Covenant on Economic, Social and Cultural Rights yang
disahkan dalam Undang-undang Nomor 11 Tahun 2005, dan International
Covenant on Civil and Political Rights yang ditetapkan dalam Undang-undang
Nomor 12 Tahun 2005.
UU Nomor 11 Tahun 2005 mengatur tentang hak-hak ekonomi, social dan
budaya yang harus dilindungi dan dipenuhi oleh negara. Sedangkan UU Nomor
12 Tahun 2005 mengatur tentang hak-hak sipil dan politik warga yang harus
dijamin dan dilindungi oleh negara.
Secara umum kovenan tentang hak-hak ekonomi, social dan budaya dan
kovenan tentang hak-hak sipil dan politik–yang diratifikasi dalam UU 11 Tahun
2005 dan UU 12 Tahun 2005 - merupakan instrument yang mengukuhkan dan
menjabarkan pokok-pokok HAM di bidang ekonomi, social dan budaya dan HAM
di bidang sipil dan politik dari Deklarasi Universal Hak Asasi Manusia
(DUHAM) dalam ketentuan-ketentuan yang mengikat secara hukum.
Pembukaan
kedua
kovenan
mengingatkan
negara-negara
akan
kewajibannya menurut Piagam PBB untuk memajukan dan melindungi HAM,
mengingatkan individu akan tanggungjawabnya untuk bekerja keras bagi
pemajuan dan penataan HAM yang diatur dalam kovenan ini dalam kaitannya
dengan individu lain dan masyarakatnya. Selain itu mengakui bahwa, sesuai
dengan DUHAM, cita-cita umat manusia untuk menikmati kebebasan sipil dan
politik serta kebebasan dari rasa takut dan kekurangan hanya dapat tercapai
apabila telah tercipta kondisi bagi setiap orang untuk dapat menikmati hak-hak
ekonomi, sosial dan budaya serta hak-hak sipil dan politiknya.
Undang-undang Nomor 11 Tahun 2005 mengatur setidaknya ada 8 hak
ekonomi, sosial dan budaya warga yang wajib dipenuhi dan dilindungi oleh
negara pihak, yaitu negara yang telah meratifikasi kovenan dimaksud. Hak-hak
ekonomi, sosial dan budaya tersebut meliputi; hak atas pekerjaan (pasal 6), hak
menikmati kondisi kerja yang adil dan menguntungkan (pasal 7), hak setiap orang
membentuk serikat pekerja (pasal 8), hak setiap orang atas jaminan social,
termasuk asuransi social (pasal 9), hak atas perlindungan dan bantuan seluas
mungkin (pasal 10), hak atas standar hidup yang layak, baginya ataupun
keluarganya termasuk sandang pangan dan perumahan (pasal 11), hak menikmati
standar tertinggi kesehatan fisik dan mental (pasal 12) dan hak atas pendidikan
(pasal 13).
Yang penting untuk dicatat adalah, Kovenan yang diratifikasi dalam UU
ini bukan hanya menetapkan kewajiban negara Pihak untuk mengambil langkah
bagi tercapainya secara bertahap hak-hak yang diakui dalam kovenan dan
memastikan pelaksanaan hak tersebut tanpa pembedaan apapun, melainkan juga
melarang keras negara, kelompok atau perseorangan untuk melibatkan diri dalam
kegiatan atau melakukan suatu tindakan yang bertujuan menghancurkan hak atau
kebebasan manapun yang diakui dalam kovenan ini.55
Berdasarkan kajian penulis, jika kita gunakan UU ini menjadi perspektif
untuk melihat isi materi Perda 11 Tahun 1988 dan Perda Nomor 8 tahun 2007,
terdapat beberapa pasal di dalam Perda 11 Tahun 1988 yang mempunyai indikasi
kuat atau sekurangnya berpotensi bertentangan dengan pasal-pasal di dalam UU
11 tahun 2005. Pasal-pasal di dalam Perda 11/1988 yang terindikasi bertentangan
dengan UU terutama pasal-pasal yang terkait dengan tertib jalur hijau taman dan
tempat umum (pasal 8), tertib sungai, saluran kolam dan lepas pantai (pasal 9, 10,
15) dan tertib usaha tertentu (pasal 16, 17 , 18). Sementara pada Perda Nomor 8
Tahun 2007 beberapa pasal sebagaimana telah disebutkan di atas terindikasi kuat
bertentangan dengan UU.
Sebagaimana telah diulas terdahulu, pasal-pasal tersebut di atas telah
mengebiri hak-hak warga untuk mengakses fasilitas umum, mendapatkan
pekerjaan dan penghidupan dan mendapatkan pemukiman. Padahal hak atas
pekerjaan (pasal 6), hak atas perlindungan (pasal 10) dan hak atas kehidupan yang
layak (pasal 11) jelas-jelas dijamin di dalam UU 11 Tahun 2005.
55
Lihat pasal 2 dan pasal 5 UU Nomor 11 Tahun 2005
Jika dari sisi isi materi, terdapat indikasi kuat dimana materi Perda 11
tahun 1988 bertentangan atau sekurangnya berpotensi bertentangan dengan UU
Nomor 11 Tahun 2005, dalam implementasinya oleh Pemerintah DKI Jakarta
Perda 11 Tahun 1988 nyata-nyata telah banyak melanggar hak-hak ekonomi,
social dan budaya warga sebagaimana diakui di dalam UU Nomor 11 tahun 2005.
Aksi-aksi penggusuran pemukiman melanggar hak warga untuk mendapatkan
sandang, pangan dan pemukiman yang layak (pasal 11), aksi razia becak dan
pedagang kaki lima melanggar hak warga atas pekerjaan (pasal 6) dan hak warga
untuk menikmati kondisi kerja yang adil dan menguntungkan. Belum lagi dampak
ikutan penggusuran dan razia yang membuat anak-anak korban kehilangan hak
mendapatkan pendidikan (pasal 13) dan hak menikmati kesehatan fisik dan mental
(pasal 12).
Sedangkan UU Nomor 12 Tahun 2005 yang disahkan satu paket dengan
UU Nomor 11 Tahun 2005 mengakui terdapat sekurangnya 21 macam hak sipil
dan politik warga yang harus dilindungi oleh negara. Dan seperti halnya di dalam
UU Nomor 11 Tahun 2005, UU Nomor 12 tahun 2005 juga menetapkan
kewajiban negara sebagai pihak pengambil langkah bagi tercapainya secara
bertahap hak-hak yang diakui dalam kovenan dan memastikan pelaksanaan
pelaksanaan hak tersebut tanpa pembedaan apapun. Selain itu, UU ini juga
melarang keras negara, kelompok atau perseorangan untuk melibatkan diri dalam
kegiatan atau melakukan suatu tindakan yang bertujuan menghancurkan hak atau
kebebasan manapun yang diakui dalam kovenan ini.
Adapun jenis hak-hak yang dilindungi dalam UU ini dapat diuraikan
sebagai berikut; setiap manusia mempunyai hak hidup, bahwa hak ini dilindungi
oleh hukum, dan bahwa tidak seorang pun dapat dirampas hak hidupnya secara
sewenang-wenang (Pasal 6); bahwa tidak seorang pun boleh dikenai siksaan,
perlakuan atau penghukuman yang kejam, tidak manusiawi, atau merendahkan
martabat (Pasal 7); bahwa tidak seorang pun boleh diperbudak, bahwa perbudakan
dan perdagangan budak dilarang, dan bahwa tidak seorang pun boleh diperhamba,
atau diharuskan melakukan kerja paksa atau kerja wajib (Pasal 8); bahwa tidak
seorang pun boleh ditangkap atau ditahan secara sewenang-wenang (Pasal 10).
Tidak
seorang
pun
boleh
dipenjarakan
hanya
atas
dasar
ketidakmampuannya memenuhi kewajiban kontraktualnya (Pasal 11). setiap orang
yang berada secara sah di wilayah suatu negara untuk berpindah tempat dan
memilih tempat tinggalnya di wilayah itu, untuk meninggalkan negara manapun
termasuk negara sendiri, dan bahwa tidak seorang pun dapat secara sewenangwenang dirampas haknya untuk memasuki negaranya sendiri (Pasal 12);
pengaturan yang diberlakukan bagi pengusiran orang asing yang secara sah
tinggal di negara pihak (Pasal 13); persamaan semua orang di depan pengadilan
dan badan peradilan, hak atas pemeriksaan yang adil dan terbuka oleh badan
peradilan yang kompeten, bebas dan tidak berpihak, hak atas praduga tak bersalah
bagi setiap orang yang dituduh melakukan tindak pidana, dan hak setiap orang
yang dijatuhi hukuman atas peninjauan kembali keputusan atau hukumannya oleh
badan peradilan yang lebih tinggi (Pasal 14);
Pelarangan pemberlakuan secara retroaktif peraturan perundang-undangan
pidana (Pasal 15); hak setiap orang untuk diakui sebagai pribadi di depan hukum
(Pasal 16); tidak boleh dicampurinya secara sewenang-wenang atau secara tidak
sah privasi, keluarga, rumah atau surat menyurat seseorang (Pasal 17).
Lebih lanjut UU menetapkan hak setiap orang atas kebebasan berpikir,
berkeyakinan dan beragama serta perlindungan atas hak-hak tersebut (Pasal 18);
hak orang untuk mempunyai pendapat tanpa campur tangan pihak lain dan hak
atas kebebasan untuk menyatakan pendapat (Pasal 19); pelarangan atas
propaganda perang serta tindakan yang menganjurkan kebencian atas dasar
kebangsaan, ras atau agama yang merupakan hasutan untuk melakukan tindak
diskriminasi, permusuhan atau kekerasan (Pasal 20); pengakuan hak untuk
berkumpul yang bersifat damai (Pasal 21); hak setiap orang atas kebebasan
berserikat (Pasal 22); pengakuan atas hak laki-laki dan perempuan usia kawin
untuk melangsungkan perkawinan dan membentuk keluarga, prinsip bahwa
perkawinan tidak boleh dilakukan tanpa persetujuan bebas dan sepenuhnya dari
para pihak yang hendak melangsungkan perkawinan (Pasal 23); hak anak atas
perlindungan yang dibutuhkan oleh statusnya sebagai anak dibawah umur,
keharusan segera didaftarkannya setiap anak setelah lahir dan keharusan
mempunyai nama, dan hak anak atas kewarganegaraan (Pasal 24); hak setiap
warga negara untuk ikut serta dalam penyelenggaraan urusan publik, untuk
memilih dan dipilih, serta mempunyai akses berdasarkan persyaratan umum yang
sama pada jabatan publik di negaranya (Pasal 25); persamaan kedudukan semua
orang di depan hukum dan hak semua orang atas perlindungan hukum yang sama
tanpa diskriminasi (Pasal 26); dan tindakan untuk melindungi golongan etnis,
agama, atau bahasa minoritas yang mungkin ada di negara pihak (Pasal 27).
Jika kita gunakan UU ini untuk melihat pelaksanaan Perda 11 Tahun 1988,
tak kurang banyaknya hak-hak sipil dan politik warga yang telah dilanggar oleh
Pemerintah DKI Jakarta. Penggusuran disertai kekerasan yang telah merenggut
puluhan korban jiwa jelas merupakan bentuk pelanggaran dan perampasan akan
hak hidup (pasal 6). Kekerasan yang dilakukan aparat trantib dalam melakukan
penertiban merupakan perbuatan tidak manusiawi yang melanggar hak martabat
warga (pasal 7), dan penangkapan secara paksa dan sewenang wenang yang sering
dilakukan aparat jelas langgar haknya sebagai manusia bebas dan merdeka (pasal
10).
Selain itu, fakta bahwa objek dari pelaksanaan Perda ini hanyalah kaum
miskin dan kelompok marjinal perkotaan nyata-nyata melanggar pasal 26 yang
mengakui persamaan kedudukan semua orang di depan hukum dan hak semua
orang atas perlindungan hukum yang sama tanpa diskriminasi.
Berdasarkan kajian tersebut di atas menjadi jelas bahwa, Perda Nomor 11
Tahun 1988 yang pembuatannya dilakukan jauh sebelum dua UU nomor 11 dan
12 tahun 2005 disahkan, baik dari segi isi materi maupun implementasinya
banyak bertentangan dengan kedua UU tersebut di atas. Dan di dalam tata aturan
hirarki perundangan kita, jika ada peraturan perundangan berkedudukan hukum
lebih rendah bertentangan dengan peraturan di atasnya maka peraturan yang lebih
rendah wajib dibatalkan atau direvisi demi tegaknya hukum.
Kesimpulan penulis yang menggunakan perspektif UU Nomor 11 Tahun
2005 dan UU Nomor 12 Tahun 2005 yang menyatakan bahwa Perda Tibum DKI
Jakarta tidak sesuai dan bertentangan dengan prinsip-prinsip hak asasi manusia
sebagaimana diakui dalam konstitusi kita, sejalan dengan hasil kajian Komnas
HAM terhadap Perda Nomor 8 Tahun 2007, dapat ditarik kesimpulan bahwa
perda ketertiban umum di DKI Jakarta bertentangan dengan prinsip-prinsip
tentang HAM yang diakui oleh konstitusi. Bahkan perda tibum banyak yang
bertabrakan dan bertentangan dengan peraturan perundang-undangan pada hirarki
yang lebih tinggi, yakni; UUD 1945 dan perudang-undangan lainnya. Perda tibum
tidak memenuhi prinsip-prinsip keperluan yang dipersyaratkan dalam pembatasan
hak sebagaimana diatur dalam standar internasional yang dapat melanggar hak
atas perumahan, hak atas pekerjaan, dan hak atas kebebasan untuk bergerak. Yang
paling berbahaya adalah sejumlah pembatasan di dalam Perda Tibum berpotensi
menimbulkan pelanggaran hak-hak asasi manusia mengingat isi dari perda ini
adalah menggusur hak-hak kelompok marjinal di Jakarta atas nama ”ketertiban”
dan ”keindahan”. Tanpa memberi solusi bagi pemecahan masalah kemiskinan dan
masalah sosial secara utuh. Penyebabnya adalah dari segi proses, penyusunan
perda tentang tibum berlangsung secara tertutup dan minim akan konsultasi
publik. Selain itu, prosedur penyusunan perda ini juga tak melewati proses
harmonisasi yang melibatkan Panitia Rencana Aksi Nasional Hak Asasi Manusia
(RANHAM).56
56
Secara utuh lihat Laporan Kajian Komnas Ham, 2008, hal 39-40.
C.
Solusi Atas Masalah Isi Dan Implementasi Perda Tentang Ketertiban Umum
Di DKI Jakarta
Hasil kajian menunjukkan bahwa Perda Nomor 11 tahun 1988 bermasalah
setidaknya pada dua ranah, yaitu ranah materi peraturan dan ranah implementasi.
Pada ranah materi peraturan, isi Perda Nomor 11 Tahun 1988 diduga kuat banyak
bertentangan dengan isi UU Nomor 11 dan UU Nomor 12 Tahun 2005 yang terbit
belakangan. Mengingat Perda dalam hirarki system perundang-undangan kita
lebih rendah status hukumnya jika dibandingkan dengan Undang-undang, maka
sudah sepatutnya Perda Nomor 11 Tahun 1988 ditinjau ulang untuk kemudian
diselaraskan dengan isi dan semangat dari peraturan perundangan yang berada di
atasnya. Bukan hanya bertentangan dengan UU 11 dan 12 tahun 2005, isi Perda
11 Tahun 1988 juga banyak bertentangan dengan prinsip-prinsip kemaslahatan
umum dalam Islam yang dalam penegakannya harus tetap berpijak pada
pemeliharaan maqasid al-syari’ah dan al-dharuriyat al-khamsah. Sementara pada
ranah implementasi, sebagaimana telah dikemukakan dalam bab terdahulu, Perda
11 Tahun 1988 ditengarai menjadi sumber legitimasi bagi aparat trantib untuk
melakukan berbagai pelanggaran HAM atas nama kepentingan umum.
Akan halnya Perda Nomor 8 tahun 2007, mengingat isinya yang tidak jauh
berbeda –atau bahkan terindikasi lebih represif- meskipun belum diuji
pelaksanaanya, namun dapat dikatakan akan memunculkan persoalan-persoalan
yang tidak jauh berbeda dengan Perda 11 Tahun 1988. Sebagian kalangan
masyarakat bahkan meyakini Perda ini akan menjadi lebih represif terhadap
masyarakat miskin Jakarta dan lebih berpeluang membuka terjadinya pelanggaran
HAM.
Terhadap dua persoalan tersebut, terdapat dua pendekatan yang dapat
ditempuh sebagai solusi. Pertama, solusi teknis jangka pendek. Kedua, solusi
strategis jangka panjang. Solusi teknis jangka pendek dilakukan dengan
melakukan pembenahan langsung pada sumber masalah, yakni pembatalan atau
revisi terhadap Perda 8 Tahun 2007 agar lebih selaras dengan semangat berbagai
peraturan perundangan tentang HAM. Bagaimanapun situasi social, politik, dan
ekonomi Jakarta khususnya dan Indonesi umumnya telah berubah sangat jauh dari
situasi social politik ketika Perda itu dibuat. Padahal peraturan harus senantiasa
diletakkan dalam ruang yang kontekstual. Oleh karenanya, mempertahankan
Perda dalam situasi yang telah berubah merupakan sikap konyol yang tidak perlu.
Dalam hal ini, Menteri Dalam Negeri diharapkan dapat lebih arif dalam melihat
dan menyikapi berbagai keberatan yang diajukan oleh kalangan masyarakat
terhadap pemberlakuan Perda 8 tahun 2007 dengan jalan membatalkan atau
memerintahkan revisi terhadap isi Perda agar lebih sensitif terhadap HAM.
Solusi strategis jangka panjang, merupakan solusi yang harus diupayakan
baik oleh pemerintah daerah maupun masyarakat kota, yaitu kebijakan pemerintah
yang lebih pro terhadap rakyat. Bagaimanapun harus disadari bahwa masalah
penegakan ketertiban umum terkait erat dengan masalah pemenuhan hak-hak
social dan ekonomi masyarakat, terutama masyarakat miskin yang selalu
terpinggirkan. Menegakkan ketertiban umum, tanpa terlebih dahulu memenuhi
hak-hak social ekonomi warga miskin kota ibarat ‘membedaki wajah bopeng’.
Bedak hanya mampu menutupi sementara, namun tidak dapat menghilangkan
bopeng itu sendiri.
Kebijakan pemerintah daerah yang pro rakyat dan berorientasi pada
pemenuhan hak-hak warga miskin kota, dipastikan akan menjamin terpeliharanya
ketertiban umum secara lebih hakiki dan sutainabel. Yang penting untuk dicatat
adalah ternyata Jakarta mempunyai pengalaman tentang itu. Tahun 1980, pada
masa pemerintahan Gubernur Ali Sadikin, Jakarta mendapatkan Aga Khan Award
for Architecture (AKAA) atas Program Perbaikan Kampung yang dirintis dan
digalakkan oleh Gubernur yang legendaris ini.
Sebagaimana diketahui, di dalam memberikan penghargaan, AKAA sangat
mempertimbangkan dan memberikan penekanan yang kuat pada proses
pembangunan, yang menempatkan manusia bukan sebagai obyek yang digusurgusur dan dipinggirkan dari pembangunan kota. AKAA merupakan bentuk
rangsangan terhadap upaya menciptakan arsitektur dan tata kota yang sanggup
memberikan vitalitas kepada permukiman- permukiman warganya, tak terkecuali
pemukiman warga miskin yang terpinggirkan. Melalui Program Perbaikan
Kampung, Jakarta sempat dijadikan model oleh kota-kota berbagai negara Asia
dan Amerika Selatan dalam hal penataan kota yang peduli terhadap rakyat miskin.
Program Perbaikan Kampung sebenarnya terkait erat dengan konsep desa kota
yang dikemukakan Terry McGee (1987), yakni sebuah kawasan yang semula
merupakan kawasan pertanian yang berpadu dengan permukiman, kemudian
diperluas fungsinya melalui berbagai kegiatan ekonomi, terdiri dari pertanian,
industri, perumahan, dan lain-lain. 57 Dengan model seperti ini Jakarta terbukti
menjadi lebih tertib dan bebas dari penggusuran. Dan itu dapat dicapai ketika
pemerintah memiliki kebijakan yang jelas, tegas dan berpihak pada kepentingan
rakyat.
57
Kompas, 22/2/2003, “Jakarta Pernah Menjadi Model Partisipasi Rakyat”.
BAB V
PENUTUP
A.
Kesimpulan
1. Dari segi isi, Perda Nomor 11 Tahun 1988 dan Perda Nomor 8 tahun 2007
memiliki beberapa problem yang membutuhkan kajian lebih mendalam untuk
revisi. Beberapa problem tersebut adalah :
a. Tidak jelasnya definisi kepentingan umum, jalur hijau dan tempat umum
yang dikehendaki di dalam perda. Padahal sebagian besar larangan dan
pengaturan di dalam perda terkait dengan ketiga konsep tersebut.
b. Kepentingan dinas selalu dijadikan excuse (perkecualian) atas berbagai
larangan bagi warga yang dicantumkan dalam Perda, tanpa ada batasan
dan kejelasan kepentingan dinas yang seperti apa. Materi peraturan yang
seperti ini akan rawan menimbulkan penyimpangan oleh oknum-oknum
aparat dengan mengatasnamakan kepentingan dinas.
c.
Berbagai larangan di dalam Perda untuk memanfaatkan lahan umum
seperti sungai dan saluran air untuk keperluan sehari-hari seperti mandi,
membersihkan anggota badan, mencuci dan seterusnya patut untuk ditinjau
ulang. Mengingat vitalnya fungsi sungai sebagai penyuplai kebutuhan air
warga miskin ditengah semakin sulitnya masyarakat mendapatkan akses
air.
d. Ketentuan yang melarang setiap orang atau badan mengusahakan
kendaraan baik bermotor maupun tidak bermotor yang tidak termasuk
dalam pola angkutan umum sebagai alat angkutan umum – seperti becak,
ojek motor, ojek sepeda, dst - perlu untuk ditinjau ulang. Ditengah
semakin tingginya angka pengangguran di DKI Jakarta, sector informal
seperti ojek, becak dst ternyata menjadi alternative yang cukup ampuh
bagi warga Jakarta untuk tetap mendapatkan penghasilan.
e. Ketentuan yang melarang berjualan di jalur hijau, taman dan tempat umum
juga perlu ditinjau ulang. Yang dibutuhkan Jakarta mungkin adalah
pengaturan dan bukan pelarangan.
2. Dari segi implementasi, meskipun secara formal objek sasaran pemberlakuan
perda adalah seluruh warga Jakarta, hasil kajian menunjukkan bahwa secara
faktual objek utama dari Perda ini adalah warga miskin dan kaum marjinal
perkotaan. Hal itu terlihat dari fakta bahwa usaha penertiban, penggusuran dan
razia yang selama ini dilakukan aparat trantib umumnya ditujukan pada
pemukiman warga miskin, meksipun banyak juga pemukiman mewah, mal,
dan apartemen yang melanggar ketentuan Perda juga. Di samping itu, hasil
kajian juga menunjukkan bahwa implementasi Perda juga telah membuat
banyak warga Jakarta mengalami pelanggaran HAM.
3. Dalam perspektif Islam, meskipun Islam lebih mengutamakan kemaslahatan
umum jika bertentangan dengan kepentingan pribadi, namun hal tersebut
harus tetap dalam konteks mewujudkan tujuan dari syariah (maqasid syariah),
yaitu terjaminnya hak-hak dasar manusia atau yang dikenal dengan istilah al
dharuriyat al khamsah. Tidak dibenarkan atas nama kemaslahatan umum
melanggar hak-hak dasar manusia. Mengingat dalam pelaksanaannya Perda
Nomor 11 tahun 1988 telah terbukti banyak melanggar hak-hak dasar warga
Jakarta, dalam perspektif Islam hal tersebut tidak dapat dibenarkan dan harus
ditentang. Mengingat Perda 8 tahun 2007 tidak banyak berbeda isinya dengan
Perda 11/1988 dikhawatirkan juga akan menghasilkan dampak yang sama.
4. Dalam perspektif HAM sebagaimana diatur dalam UU Nomor 11 Tahun 2005
dan UU Nomor 12 Tahun 2005, baik isi materi maupun implementasinya
Perda Nomor 11 tahun 1988 dan Perda Nomor 8 Tahun 2007 banyak
bertentangan dengan kedua perundangan tersebut di atas. Terutama
implementasai pasal-pasal yang menyangkut tertib jalur hijau, tertib sungai
dan tertib usaha tertentu.
B.
Saran - Saran
1. Perlunya dilakukan uji materi terhadap Perda Nomor 8 Tahun 2007 terutama
terkait dengan berbagai peraturan perundangan tentang HAM
2. Mengingat Perda 8 tahun 2007 sedang menjalani proses evaluasi di
Departemen Dalam Negeri, disarankan kepada Menteri Dalam Negeri
untuk lebih arif dalam merespon tuntutan dan keberatan masyarakat
dengan menyarakan agar Perda 8 tahun 2007 direvisi untuk lebih
disesuaikan dengan Perspektif HAM dan kemaslahatan umum (al
maslahah al ammah) sebagaimana diamanatkan dalam Islam.
A.
DAFTAR PUSTAKA
Peraturan Perundang-Undangan
Perda Nomor 11 Tahun 1988 tentang Ketertiban Umum dalam Wilayah
Daerah Khusus Ibukota Jakarta.
TAP MPR Nomor XVII tahun 1998 tentang Pandangan dan Sikap Bangsa
Indonesia Terhadap HAM dan Piagam HAM Nasional.
Undang-Undang (UU) Nomor 11 Tahun 2005 Tentang Pengesahan
International Covenant on Economic, Social, and Cultural Right (Kovenan
Internasional Tentang Hak-Hak Ekonomi, Sosial, dan Budaya),
Undang-Undang (UU) Nomor 12 Tahun 2005 Tentang Pengesahan
International Covenant on Civil and Political Right (Kovenan Internasional
Tentang Hak-Hak Sipil dan Politik)
Undang-Undang Dasar (UUD) 1945.
Undang-Undang (UU) Nomor 5 Tahun 1988 Tentang Ratifikasi Kovenan
Anti Penyiksaan, Perlakuan dan Penghukuman yang Kejam, Tidak Manusiawi,
dan Merendahkan Martabat.
Undang-Undang (UU) Nomor 9 Tahun 1988 Tentang Kebebasan
Menyatakan Pendapat.
Undang-Undang (UU) Nomor 26 Tahun 1999 Tentang Pencabutan UU
Nomor 11 Tahun 1963 Tentang Tindak Pidana Subversi.
Undang-Undang (UU) Nomor 29 Tahun 1999 Tentang Ratifikasi Kovenan
Penghapusan Segala Bentuk Diskriminasi.
Undang-Undang Nomor 39 Tahun 1999 Tentang Hak Asasi Manusia
(HAM)
B.
Buku-Buku
Al-Atsari, Abu Ihsan., Koreksi Total Masalah Politik & Pemikiran dalam
Perspektif Al-Qur’an & As-Sunnah, Jakarta : Darul Haq, 2002.
Al-Maududi, Abu A’la., Hak Asasi Manusia dalam Islam, Jakarta : YAPI,
1988.
Arikunto, Suharsimi., ”Manajemen Penelitian”, Jakarta : Rieneka Cipta,
Cetakan Kelima Tahun 2000.
Baehr, Peter., (et.al), Instrumen Internasional Pokok Hak-Hak Asasi
Manusia, Jakarta : Yayasan Obor Indonesia, 2001.
Davies, Peter., Hak-Hak Asasi Manusia : Sebuah Bunga Rampai : Jakarta :
Yayasan Obor Indonesia, 2001.
Effendi, Manshur., Dimensi dan Dinamika Hak Asasi Manusia dalam
Hukum Nasional dan Internasional, Jakarta : Ghalia Indonesia, 1994.
Fakih, Mansur dkk., Menekan Keadilan dan Kemanusian : Pegangan
Untuk Membangun Gerakan HAM, Yogyakarta : Insist Press, 2003.
Manan, Bagir., Perkembangan Pemikiran dan Pengaturan Hak Asasi
Manusia di Indonesia, Bandung : PT. Alumni, 2001.
Mattew B Miles & A. Michael Huberman, ”Analisis Data Kualitatif :Buku
Sumber Tentang Metode-Metode Baru”, Jakarta : UI Press, Cetakan Pertama,
Tahun 1992.
Muin Salim, Abdul., Konsepsi Kekuasaan Politik dalam Al-Qur’an,
Jakarta : Rajawali Press, 2002.
Muhammad Hasbi As Shiddiqi, Teungku., “Islam dan HAM”, Semarang :
Pustaka Rizqi Utama, 1999.
Marzuki, Suparman & Sobirin Malian, Pendidikan Kewarganegaraan dan
HAM”, Yogyakarta : UII Press, 2002.
Nasution, Harun dan Bahtiar Effendi., Hak Asasi Manusia dalam Islam,
Jakarta : Yayasan Obor Indonesia, 1987.
Soetandjo Wignjosoebroto, Hak Asasi Manusia dalam Islam : Konsep Dasar dan
Perkembangan Pengertiannya Dari Masa ke Masa, Jakarta : Elsam, 2005.
C.
Artikel, Makalah dan Berita Koran
Ariyanto., “Ada Pelanggaran HAM di Kalijodo”, Artikel diterbitkan
Indopos, 31 Januari 2007.
Artikel., “Hak Asasi Kaum Perempuan, Langkah demi Langkah” Risalah
diterbitkan oleh LBH APIK, 2005.
Ali Nurdin, Ahmad., “Islam dan Hak Asasi Manusia, Paper untuk Post
Graduate Student University of New England-Australia.
Berita, Gugatan “Citizen Law Suit” Opreasi Yustisia Sudah digelar, disitus
www.hukumonline.com, tanggal 18 Januari 2007.
Berita., 65 PKL di Pluit Ditertibkan, Berita Jakarta, 30 Maret 2007.
Berita., Ribuan PKL Tuntut Penghapusan Perda 11 Tahun 1988, Indopos,
17 Januari 2007.
Heraty, Toety, Prof. Dr. Dkk., “Menata Kembali Hak Warga Negara”,
Risalah Akademis Forum Keprihatinan Akademis, 23 November 2003.
Yafie, Ali., “Konsep-Konsep Istihsan, Istihlah, dan Mashlahat Al Ummah,
Makalah pada Seminar MUI, 1999.
Download