II KAJIAN KEPUSTAKAAN 2.1 Kitosan 2.1.1 Deskripsi Kitosan Kitosan merupakan biopolimer alami turunan dari kitin. Kitin merupakan zat penyusun pada cangkang udang. Menurut Knorr, cangkang udang mengandung 30-40% protein, 30-50% kalsium karbonat dan kalsium fosfat, dan 20-30% kitin. Dalam pembuatan kitosan yang merupakan turunan dari kitin ini, diperlukan penghilangan protein, kalsium karbonat dan kalsium fosfat yang ada (Fernandez, 2004). Kitosan diperoleh melalui beberapa tahapan proses yaitu deproteinasi, demineralisasi, depigmentasi dari cangkang udang sehingga diperoleh kitin. Kitin kemudian dideasetilasi melalui proses hidrolisis basa menggunakan basa kuat dan pekat sehingga diperoleh kitosan. Proses deasetilasi melibatkan pembuangan gugus asetil dengan reaksi kimia dari rantai molekul, meninggalkan gugus kitosan dalam berbagai tingkatan gugus amino . Dalam tahap ini kitosan didapat dengan menggunakan larutan natrium hidroksida (40-50%) pada suhu atau lebih dalam waktu 30 menit hingga gugus asetil hilang sebagian atau seluruhnya dari polimer (No HK and Lee, 1995). Kitosan mempunyai karakteristik kimia dan biologi sebagai berikut (Dutta, 2004) : Karakteristik Kimia Memiliki gugus amino reaktif Memiliki gugus hidroksil reaktif Mampu mengkelat logam-logam transisi 11 Karekteristik Biologi : Biokompatibel (polimer alami, biodegradabel di dalam tubuh manusia, aman, dan tidak toksis) Mampu berikatan dengan sel mamalia dan mikroba dengan kuat Mempercepat pembentukan osteoblas yang bertanggung jawab untuk pembentukan tulang Hemostatik Fungistatik dan spermisid Antitumor dan antikolestrol 2.1.2 Struktur Kimia Kitosan Kitosan adalah poli-(2-amino-2-deoksi-β(1-4)-D-glukopiranosa) dengan rumus molekul ( )n yang dapat diperoleh dari deasetilasi kitin. Kitosan juga dijumpai secara alamiah di beberapa organisme (Sugita, 2009). Gambar 1. Kitosan Pada Gambar 1 Terlihat perbedaan kitin dan kitosan, pada –NH- -CO yang dimiliki kitin, dan gugus –NH-H pada kitosan. Proses penyingkiran gugus 12 asetil yang merupakan proses deasetilasi, bertujuan untuk membuat kitin menjadi kitosan. Gambar 2.2 Perbedaan antara kitosan dan kitin Gambar 2. Perbedaan antara Kitin dan Kitosan Sumber; Fernandez-Kim S-O. Physicochemilcal and Functional Properties of Crawfish Chitosan as Affected by Different Processing Protocols. Louisiana: Louisiana State University: 2004. Kitosan bersifat nontoksis dan mudah terdegradasi. Kitosan merupakan amina polisakarida hasil proses deasetilasi kitin. Senyawa kitosan bersifat polikationik sehingga dapat diaplikasikan dalam berbagai bidang seperti adsorben logam, penyerap zat warna tekstil, bahan pembuatan kosmetik serta agen antibakteri (Bhuvana, 2006). Kitin dan kitosan merupakan bahan yang berasal dari alam sehingga lebih bersifat biodergradable, biokompetibel dan juga nontoksik dibanding dengan polimer sintetik. Sifat kristalinitas kitosan yang disebabkan oleh ikatan hidrogen intermolekuler maupun intramolekuler lebih rendah dibandingkan kitin sehingga lebih mudah diaplikasikan dalam beberapa bahan. Kitosan memiliki gugus amino yang relatif lebih banyak dibandingkan kitin sehingga lebih nukleofilik dan bersifat basa. Sifat yang basa ini menjadikan kitosan : 13 a. Dapat larut dalam media asam encer membentuk larutan yang kental sehingga dapat digunakan dalam pembuatan gel. Dalam beberapa variasi konfigurasi seperti butiran, membran, pelapis kapsul, serat dan spons. b. Membentuk kompleks yang tidak larut dengan air dengan polianion yang dapat juga digunakan untuk pembuatan butiran gel, kapsul dan membran. c. Dapat digunakan sebagai pengkelat ion logam berat dimana gelnya menyediakan system produksi terhadap efek dekstruksi dari ion (Meriaty, 2002). 2.1.3 Manfaat Kitosan Kitosan telah banyak dimanfaatkan dalam berbagai bidang mulai dari pangan, mikrobiologi, kesehatan, pertanian, industri dan sebagainya. Situs aktif kitosan baik dalam bentuk ataupun dalam keadaan terprontonasi NH3+ mampu mengadsorbsi logam–logam berat melalui mekanisme pembentukan khelat dan atau penukar ion. Kitosan telah digunakan secara luas di industri makanan, kosmetik, kesehatan, farmasi dan pertanian serta pada pengolahan limbah. Di industri makanan, kitosan dapat digunakan sebagai suspensi padat, pengawet, penstabil makanan, bahan pengisi, pembentuk gel, tambahan makanan hewan dan sebagainya (Aranaz et al., 2009). Sifat polikationik kitosan dapat dimanfaatkan sebagai agensia penggumpal dalam penanganan limbah terutama limbah berprotein yang kemudian dapat dimanfaatkan sebagai pakan ternak. Pada penanganan limbah cair, kitosan sebagai chelating agent yang dapat menyerap logam beracun seperti mercuri, timah, tembaga, pluranium, dan uranium dalam perairan dan untuk mengikat zat warna tekstil dalam air limbah (Krissetiana, 2004). 14 Sifat kitosan yang khas seperti bioaktivitas, biodegradasi, dan kelihatannya kitosan dapat memberikan kegunaan yang diterapkan dalam berbagai bidang (Manskarya, 1968). Aktivitas kitosan akan meningkat seiring dengan peningkatan derajat deasetilasi (DD) kitosan, karena semakin besar DD menunjukkan semakin banyaknya gugus asetil dari kitin yang diubah menjadi situs aktif dalam kitosan. 2.2 Timbal (Pb) 2.2.1 Definisi dan Sifat Timbal Timbal atau dikenal dengan sebutan timah hitam, dan dalam bahasa ilmiah disebut logam plumbum dengan simbol Pb. Timbal merupakan bahan kimia yang termasuk kelompok logam berat berwarna abu-abu kebiruan atau kelabu keperakan. Logam berat merupakan bahan kimia golongan logam yang sama sekali tidak dibutuhkan oleh tubuh, dan jika masuk kedalam tubuh organisme hidup dalam jumlah yang berlebihan akan menimbulkan efek negatif terhadap fungsi fisiologis tubuh (Palar, 2008). Timbal (Pb) pada awalnya adalah logam berat yang terbentuk secara alami. Namun, Pb juga bisa berasal dari kegiatan manusia bahkan mampu mencapai jumlah 300 kali lebih banyak dibandingkan Pb alami. Pb meleleh pada suhu 328ºC (662ºF); titik didih 1740ºC (3164ºF); dan memiliki berat jenis 11,34 dengan berat atom 207,20 (Widowati, 2008). Timbal adalah logam yang lunak berwarna abu-abu kebiruan mengkilat dan memiliki bilangan oksidasi +2 (Sunarya, 2007). Menurut Palar (1994), bahwa logam Pb pada suhu 500-600ºC dapat menguap dan membentuk oksigen di udara dalam bentuk timbal oksida (PbO). 15 2.2.2 Sumber Pencemar Timbal Penyebaran logam timbal (Pb) di bumi sangat sedikit. Menurut Palar (2008), jumlah Pb yang terdapat di seluruh lapisan bumi hanya 0,0002% dari jumlah seluruh kerak bumi. Jumlah ini sangat sedikit jika dibandingkan dengan jumlah kandungan logam berat lainnya yang ada di bumi. Pb secara alami terdapat di lingkungan. Tetapi walaupun begitu, sebagian besar keberadaan Pb di lingkungan berasal dari kegiatan manusia. Pb dapat masuk ke lingkungan dari kegiatan pertambangan Pb dan logam lainnya, juga dari industri yang menggunakan Pb atau pun dalam bentuk alloy (ATSDR, 2005). Industri yang berpotensi sebagai sumber pencemaran Pb adalah semua industri yang memakai Pb sebagai bahan baku maupun bahan tambahan, misalnya: a. Industri pengecoran maupun pemurnian. Industri ini menghasilkan timbal konsentrat (primary lead), maupun secondary lead yang berasal dari potongan logam (scrap). b. Industri baterai. Industri ini banyak menggunakan logam Pb terutama lead antimony alloy dan lead oxides sebagai bahan dasarnya. c. Industri bahan bakar. Pb berupa tetra ethyl lead dan tetra methyl lead banyak dipakai sebagai anti knock pada bahan bakar, sehingga baik industri maupun bahan bakar yang dihasilkan merupakan sumber pencemaran Pb. d. Industri kabel. Industri kabel memerlukan Pb untuk melapisi kabel. Saat ini pemakaian Pb di industri kabel mulai berkurang, walaupun masih digunakan campuran logam Cd, Fe, Cr, Au dan arsenik yang juga membahayakan untuk kehidupan makluk hidup. 16 e. Industri kimia, yang menggunakan bahan pewarna. Pada industri ini seringkali dipakai Pb karena toksisitasnya relatif lebih rendah jika dibandingkan dengan logam pigmen yang lain. Sebagai pewarna merah pada cat biasanya dipakai red lead, sedangkan untuk warna kuning dipakai lead chromate (Sudarmaji dkk, 2006). Meningkatnya pemanfaatan laut dapat menyebabkan pencemaran, yang akan mempengaruhi produktivitasnya (Michael, 1995). Manusia menyerap timbal melalui udara, debu, air dan makanan. Salah satu pencemaran timbal yang dapat terjadi yaitu di laut. Laut juga merupakan tempat pembuangan langsung sampah atau limbah dari berbagai aktivitas manusia dengan cara yang mudah dan murah (Siahainenia, 2001). Pembuangan limbah logam berat ke lingkungan muara dan pantai mendapat perhatian serius dari para pemerhati lingkungan, karena (1) beracun bagi organisme dan persisten di lingkungan akuatik; (2) kebanyakan berasal dari sumber antropogenik yang terus meningkat; (3) informasi mengenai perilaku dan biotoksisitasnya masih terbatas; dan (4) terjadi akumulasi pada organisme akuatik (Cohen et al., 2001 dalam Setyawan dkk., 2004) 2.2.3 Bahaya Timbal terhadap Kesehatan Ternak Timbal merupakan salah satu logam berat yang sangat berbahaya bagi makhluk hidup karena bersifat karsinogenik, dapat menyebabkan mutasi, terurai dalam jangka waktu lama (Brass & Strauss, 1981). Logam berat Cd, Hg, dan Pb dinamakan sebagai logam non esensial dan pada tingkat tertentu menjadi logam beracun bagi makhluk hidup (Subowo dkk, 1999). Hewan ruminansia mengabsorpsi mineral Pb dalam jumlah yang relatif rendah dibandingkan dengan 17 hewan non ruminansia. Absorpsi mineral melalui paru-paru mencapai 30–40 % dari mineral yang dihirup (Pilliang, 2002). Menurut Sudarmaji (2006), efek dari paparan Pb akan menimbulkan gangguan pada organ tubuh, sebagai berikut: 1) Gangguan terhadap Sintesa Hemoglobin Pb dapat menyebabkan terjadinya anemia akibat penurunan sintesis globin, walaupun tak tampak adanya penurunan kadar zat besi dalam serum. Anemia ringan yang terjadi disertai dengan sedikit peningkatan kadar ALA (Amino Levulinic Acid). Dapat dikatakan bahwa gejala anemia merupakan gejala dini dari keracunan Pb pada manusia. Jika dibandingkan dengan orang dewasa, anak-anak lebih sensitif terhadap terjadinya anemia akibat paparan Pb. 2) Gangguan terhadap Sistem Syaraf Paparan menahun dengan Pb dapat menyebabkan lead encephalopathy. Gambaran klinis yang timbul adalah rasa malas, mudah tersinggung, sakit kepala, tremor, halusinasi, mudah lupa, sulit konsentrasi dan menurunnya kecerdasan. Pada anak dengan kadar Pb darah (Pb-B) sebesar 40–80 μg/100 ml dapat timbul gejala gangguan hematologis, namun belum tampak adanya gejala lead encephalopathy. Gejala yang timbul pada lead encephalopathy antara lain adalah rasa canggung, mudah tersinggung, dan penurunan pembentukan konsep. Apabila pada masa bayi sudah mulai terpapar oleh Pb, maka pengaruhnya pada profil psikologis dan penampilan pendidikannya akan tampak pada umur sekitar 5–15 tahun. 3) Gangguan terhadap Fungsi Ginjal Pb dapat menyebabkan tidak berfungsinya tubulus renal, nephropati irreversible, sclerosis vaskuler, sel tubulus atropi, fibrosis dan sclerosis 18 glumerolus. Akibatnya dapat menimbulkan aminoaciduria dan glukosuria, dan jika paparannya terus berlanjut dapat terjadi nefritis kronis. 4) Gangguan terhadap Sistem Reproduksi Logam Pb dapat menyebabkan gangguan pada sistem reproduksi berupa keguguran, kesakitan dan kematian janin. Logam berat Pb mempunyai efek racun terhadap gamet dan dapat menyebabkan cacat kromosom. Anak-anak sangat peka terhadap paparan timbal di udara. Paparan timbal dengan kadar yang rendah yang berlangsung cukup lama dapat menurunkan IQ. 2.2.4 Mekanisme Toksisitas Timbal Logam berat merupakan bahan pencemar berbahaya karena bersifat toksik dan mempengaruhi berbagai aspek biologi dan ekologi (Dahuri dkk, 1996). Logam merupakan kelompok toksikan yang unik. Logam dapat ditemukan dan menetap di alam, tetapi bentuk kimianya dapat berubah akibat pengaruh fisika, kimia, biologis atau akibat aktivitas manusia. Toksisitasnya dapat berubah drastis apabila bentuk kimianya berubah. Umumnya logam bermanfaat bagi manusia karena penggunaannya di bidang industri, pertanian atau kedokteran. Sebagian merupakan unsur penting karena dibutuhkan dalam berbagai fungsi biokimia atau faali, di lain pihak, logam dapat berbahaya bagi kesehatan bila terdapat dalam makanan, air atau udara (Darmono, 2001). Pb tidak larut dalam air, akan tetapi larut dalam cairan saluran pencernaan. Timbal yang diserap dalam saluran pencernaan, terutama disimpan dalam hati dan ginjal. Bila konsumsi Pb meningkat, maka akan terakumulasi dalam hati, ginjal, tulang dan rambut (Dinius et al., 1973) dalam Parakkasi (1999). 19 Berdasarkan toksisitasnya, logam berat di golongkan ke dalam tiga golongan, yaitu: 1. Hg, Cd, Pb, As, Cu dan Zn yang mempunyai sifat toksik yang tinggi 2. Cr, Ni dan Co yang mempunyai sifat toksik menengah 3. Mn dan Fe yang mempunyai sifat toksik rendah (Connel and Miller, 1995) Pb menjadi beracun yaitu karena menggantikan kation-kation logam yang bersifat aktif seperti kalsium dan seng dari protein-proteinnya. Calmodulin mengikat empat kation kalsium dan apabila plumbum menggantikan empat kation tersebut maka akan terjadi defisiensi enzim, dan ketika Pb menggantikan kation Zn tunggal maka akan mengganggu proses pembentukan darah sehingga akan anemia yang parah. 2. 2. 5 Penyimpanan Timbal dalam Tubuh Timbal yang masuk melalui saluran pencernaan bersumber dari makanan dan minuman yang tercemar Pb, sedangkan yang masuk melalui saluran pernapasan bersumber dari udara yang tercemar Pb. Pb yang diabsorpsi melalui saluran pencernaan didistribusikan ke dalam jaringan lain melalui darah (Darmono, 1995). Masuknya Pb ke aliran darah tergantung pada ukuran partikel daya larut, volume pernafasan dan variasi faal antar individu (Palar, 1994). Timbal menurut Lu (1995), dapat diserap dari usus dengan sistem transport aktif. Transport aktif melibatkan carrier untuk memindahkan molekul melalui membran berdasarkan perbedaan kadar atau jika molekul tersebut merupakan ion. Pada saat terjadi perbedaan muatan transport, maka terjadi pengikatan dan membutuhkan energi untuk metabolisme (Rahde, 1991). Menurut 20 Ardyanto (2005), Pb yang diabsorpsi diangkut oleh darah ke organ-organ tubuh, sebanyak 95% Pb dalam darah diikat oleh eritrosit. Sebagian Pb disimpan dalam jaringan lunak dan tulang, sebagian lagi diekskresikan lewat kulit, ginjal dan usus besar. Sebagian Pb plasma dalam bentuk yang dapat berdifusi dan diperkirakan dalam keseimbangan dengan pool Pb tubuh lainnya dibagi menjadi dua yaitu ke jaringan lunak (sumsum tulang, sistem saraf, ginjal, hati) dan ke jaringan keras (tulang, kuku, rambut, gigi) (Palar, 1994). Gigi dan tulang panjang mengandung Pb yang lebih banyak dibandingkan tulang lainnya. Pada gusi dapat terlihat lead line yaitu pigmen berwarna abu-abu pada perbatasan antara gigi dan gusi (Goldstein & Kipen, 1994 dalam Ardyanto, 2005). Hal itu merupakan ciri khas keracunan Pb. Pada jaringan lunak sebagian Pb disimpan dalam aorta, hati, ginjal, otak, dan kulit. Timah hitam yang ada di jaringan lunak bersifat toksik. Menurut Darmono (2001), menyatakan bahwa logam berat seperti timbal dapat masuk kedalam tubuh hewan melalui pembuluh darah, selanjutnya berkaitan dengan protein darah yang kemudian didistribusikan ke seluruh jaringan tubuh. Kerusakan jaringan timbal biasanya terdapat baik pada tempat masuknya maupun tempat penimbunannya. Tetapi, karena keterbatasan fungsi organ penetralisir racun (hati) dan organ filtrasi (ginjal) maka timbal dapat terakumulasi di berbagai jaringan dalam tubuhnya seperti daging, selain itu proses penyerapan nutrisinutrisi esensial juga akan terganggu sehingga menghambat produktivitas dan pertumbuhan ternak (Darmono, 1995). 21 2.2.6 Ekskresi Timbal Ekskresi Pb melalui beberapa cara, yang terpenting adalah melalui ginjal dan saluran cerna (Ardiyanto, 2005). Ekskresi Pb selain dapat melalui urine, dan feses, sebagian kecil lainnya dapat melalui empedu dan keringat. Ekskresi Pb melalui urine sebanyak 75–80%, melalui feces 15% dan lainnya melalui empedu, keringat, rambut, dan kuku (Palar,1994). Ekskresi Pb melalui saluran cerna dipengaruhi oleh saluran aktif dan pasif kelenjar saliva, pankreas dan kelenjar lainnya di dinding usus, regenerasi sel epitel, dan ekskresi empedu, sedangkan proses eksresi Pb melalui ginjal adalah melalui filtrasi glomerulus (Goldstein & Kippen, 1994). 2.2.7 Interaksi antara Timbal dan Kalsium Sejumlah zat nutrisi yang berbeda mempengaruhi kerentanan terhadap toksisitas Pb. Dari berbagai zat makanan ini termasuk beberapa mineral yaitu kalsium, fosfor, ferrum, dan zincum. Beberapa vitamin juga mempengaruhi absorbsi plumbum, termasuk vitamin B1, vitamin C dan vitamin E (Mahaffey, 1990). Toksisitas Pb mempengaruhi kandungan logam essensial seperti contohnya besi (Fe), kalsium (Ca), seng (Zn) dan yang lainnya. Pada umumnya, defisiensi mineral esensial tersebut akan dapat meningkatkan absorpsi Pb sehingga dapat menyebabkan keracunan. Sebaliknya bila kelebihan mineral essensial, akan dapat mencegah toksisitas Pb (Darmono, 1999). 22 2. 3 Kalsium (Ca) 2.3.1 Deskripsi dan Fungsi Kalsium Kalsium adalah unsur kimia dengan nomor atom 20 dan massa atom 40,08. Berupa logam, dengan titik lebur 842°C dan titik didih 1480°C. Ditemukan pada tahun 1808 oleh H. Davy, J Berzelias, dan M. Portin. Kalsium adalah mineral yang sangat penting dalam tubuh, terbentuk dari 1,5 sampai 2 % dari berat badan dan 39 % dari total mineral tubuh (Mahan Kathlen, 2000). Kalsium merupakan mineral yang paling banyak terdapat dalam tubuh. Sekitar 99 persen total kalsium ditemukan dalam jaringan keras yaitu tulang dan gigi terutama dalam hidoksiapatit, hanya sebagian kecil dalam plasma cairan ekstravaskuler (Almatsier, 2000). Fungsi penting kalsium di luar sel (ekstraselkuler) ialah mencegah terjadinya gumpalan darah, gumpalan ini adalah merupakan protein darah yang tidak larut, sedangkan peranan Ca dalam sel (intraseluler) yang penting adalah dalam eksitasi saraf dan kontraksi otot. Kalsium juga berperan dalam proses pembentukan darah dan kontraksi otot, apabila tubuh kekurangan kalsium maka otot tidak akan rileks setelah kontraksi sehingga tubuh akan menampakkan gejala kejang-kejang (Nieves, 2005). Kontraksi otot merupakan proses yang kompleks dimana terjadinya perubahan permeabilitas membran sehingga terbebaskan dan menyebabkan kontraksi. Aktifitas Ca tersebut dalam protein tidak dapat digantikan oleh ion lain (Darmono, 1995). 2.3.2 Absorbsi dan Eksresi Kalsium Absorbsi kalsium terutama terjadi dibagian atas usus halus yaitu duodenum. Dalam keadaan normal, dari sekitar 1000 mg Ca++ yang rata-rata dikonsumsi perhari, hanya sekitar dua pertiga yang diserap di usus halus dan 23 sisanya keluar melalui feses (Sherwood, 2001). Namun absorbsi kalsium dapat terjadi dalam dua cara yaitu transpor aktif dan difusi pasif. Transpor aktif dipengaruhi oleh status kalsium dan vitamin D individu. Umur, kehamilan dan laktasi. Transfor aktif terjadi saat asupan kalsium rendah. Transpor aktif diatur melalui 1,25-dihidroksi vitamin D dan reseptor usus (Gibson, 2005). Kalsium diabsorbsi dari saluran cerna dan pengeluaran kalsium terjadi melalui saluran cerna, ginjal dan tulang, absorbsi kalsium terutama terjadi di dalam usus halus yang ditingkatkan oleh kerja hormon paratiroid yang sinergis serta metabolit aktif dari vitamin D (Rachmawati, 2006). Faktor-faktor yang meningkatkan Absorbsi : Lemak meningkatkan waktu transit makanan melalui saluran cerna, dengan demikian memberi waktu lebih banyak untuk absorbsi kalsium. Absorbsi kalsium lebih baik bila dikonsumsi bersamaan dengan makanan (Almatsier, 2004). Ransum yang memiliki kandungan nutrient cukup lengkap akan membantu dalam proses absorbsi kalsium, sedangkan ransum yang memiliki kandungan nutrient tidak lengkap akan menjadikan kalsium sulit untuk diserap (Piliang, 2000) Jumlah kalsium yang dikonsumsi mempengaruhi absorbsi kalsium. Penyerapan akan meningkat apabila kalsium yang dikonsumsi menurun (Almatsier, 2004). Vitamin D dalam bentuk aktif 1,25 (OH)D3 merangsang absorbsi kalsium melalui langkah-langkah kompleks. Vitamin D meningkatkan absorbsi pada mukosa usus dengan cara merangsang produksi-protein pengikat kalsium. 24 Absorbsi kalsium paling baik terjadi dalam keadaan asam. Asam klorida yang dikeluarkan lambung membantu absorbsi kalsium dengan cara menurunkan pH di bagian atas duodenum. Asam amino tertentu meningkatkan pH saluran cerna, dengan demikian membantu absorbsi kalsium (Almatsier, 2004). Faktor-faktor yang menghambat absorbsi : Kekurangan vitamin D dalam bentuk aktif menghambat absorbsi kalsium. Asam fitat, ikatan yang mengandung fosfor yag terutama terdapat di dalam sekam serealia, membentuk kalsium fosfat yang juga tidak dapat larut sehingga tidak dapat diabsorbsi (Almatsier, 2004). Mengkonsumsi tinggi serat dapat menurunkan absorpsi kalsium, diduga karena serat menurunkan waktu transit makanan dalam saluran cerna sehingga mengurangi kesempatan untuk absorbsi (Guthrie dan Picciano, 1995; Krummel, 1996). Kalsium yang dikonsumsi dan tidak diserap setiap harinya akan dibuang melalui ekresi (urine dan feses), keringat, dan paru-paru saat bernapas dan hal tersebut adalah normal. Kalsium feses bervariasi tergantung pada ransum yang dikonsumsi pada setiap individunya (Martin, Rodwell dan Graner, 1987). 2.3.3 Gangguan Metabolisme Kalsium Terdapat beberapa kelainan yang disebabkan oleh gangguan kadar kalsium tubuh diantaranya yaitu : a. Steatorea Steatorea terjadi akibat dari peningkatan hebat eksresi kalsium feses, ditemukan bila absorbsi kalsium berkurang (Baron, 1995). 25 b. Hipokalsemia Disebabkan oleh defisiensi masukkan dan atau absorbsi kalsium karena hipoparatiroidisme atau karena kehilangan kalsium yang berlebihan melalui ginjal pada kerusakan tubulus atau asidosis. Sering hipokalsemia merupakan sindroma kegagalan ginjal kronik. Kadang-kadang juga terlihat pada pankreatitis akut. Pada neonantus, hal ini mungkin disebabkan oleh makanan yang tinggi fosfat, sehingga meningkatkan kalsium di dalam usus (Baron, 1995). c. Hiperkalsemia Biasanya karena kelebihan pemecahan tulang, baik karena hiperparatiroidisme, maupun karena keganasan, termasuk mielomatosis atau kadang-kadang karena imobilisasi. Hal ini hanya akibat absorbsi berlebihan, bila terdapat kelebihan dosis atau hipersensitivitas terhadap vitamin D atau kelebihan kemasukan alkali beserta kalsium di dalam diet. Hiperkalsemia menyebabkan kelemahan otot, gejala-gejala gastrointestinalis, giddiness, haus hebat dan kelemahan yang nyata serta kerusakan ginjal disertai poliuria. (Baron, 1995). Gejala permukaan kalsifikasi ginjal adalah poliuria karena kerusakan tubulus dan kegagalan ginjal timbul jika hiperkalsemia memanjang. Hiperkalsemia menyebabkan hiperkalsiuria dan sering menyebabkan kalkulus renalis. Hiperkalsemia berat membawa resiko bagi berhentinya jantung (cardiac arrest). (Baron, 1995). d. Osteoporosis Pada saat terjadi osteoporosis, terdapat pengurangan masa tulang yang normal, matriks dan kalsium. Osteoporosis timbul jika pembentukan matriks 26 dan kalsium. Bila ada efek kalsium yang memanjang, destruksi tulang mungkin meningkat dan gangguan tulang akibatnya dapat menyerupai osteoporosis. Pada osteoporosis kronik, umumnya kadar kalsium ke dalam urin dapat meningkat (Baron, 1995). 2.4 Ginjal 2.4.1 Deskripsi Ginjal Ginjal pada unggas berjumlah satu pasang. Ginjal unggas mempunyai tipe metanephros yaitu evolusi dan kombinasi dari tipe ren mamalia dan reptilia (Sakas, 2002; Kardong, 2002) Sekresi urine unggas didominasi oleh asam urat ( ) yang proses pengeluaran asam urat tersebut hampir sempurna dari ginjal, karena adanya aliran darah ke ginjal melalui sistem porta renalis. Saat urine terkonsentrasi akibat pemindahan air di tubulus ginjal, maka asam urat dan urea terpresipitasi namun tidak mempengaruhi tekanan osmolaritas urine. Hal ini menyebabkan kemampuan unggas untuk mensekresi urine yang hypotonik dengan konsentrasi asam yang tinggi (Marshall, 1960). Pada unggas sepasang ginjalnya berbentuk irreguler, dengan warna coklat gelap, terletak pada dorsal abdomen di dinding eksternal peritoneum dalam rongga synsacrum, ukurannya bervariasi menurut jenis dan umur unggas. Batas kranial sepasang ginjal tepat di kaudal paru diantara vertebrae toraksalis ke 6 dan 7 mengikuti bentuk tulang synsacrum, sedangkan bagian ventralnya terlihat lebih rata dan terbagi-bagi menjadi 3-4 bagian yang disebut lobus (Hodges, 1974). Tiap-tiap lobus dibagi lagi menjadi beberapa lobulus yang lebih kecil (Andrew and Hickman, 1974). Berbeda dengan hewan karnivora dan ruminansia kecil, karena setiap ginjalnya berbentuk seperti kacang polong, halus. Pada kuda, ginjal 27 cenderung mirip dengan bentuk jantung. Pada sapi, kambing, domba dan unggas, ginjal terdiri dari beberapa lobus (Bank’s, 1993). Akumulasi logam berat yang tertinggi biasanya dalam organ detoksikasi (hati) dan ekskresi (ginjal), (Darmono, 2001). 2.4.2 Peranan Serta Ekskresi Pada Ginjal Ginjal berperanan penting dalam fungsi tubuh, tidak hanya berfungsi menyaring darah dan mengeluarkan produk-produk sisa, namun juga dengan menyeimbangkan tingkat-tingkat elektrolit dalam tubuh, mengontrol tekanan darah, dan menstimulasi produksi dari sel-sel darah merah. Menurut Marshall (1960), Sistema urinasi pada manusia dan hewan dimulai dari ginjal. Sekresi urine unggas didominasi oleh asam urat ( ) proses pengeluaran asam urat hampir seluruhnya dari ginjal, karena adanya aliran darah ke ginjal melalui sistem porta renalis. Saat urin terkonsentrasi akibat pemindahan air di tubulus ginjal, maka asam urat dan urea terpresipitasi namun tidak mempengaruhi tekanan osmolaritas urine. Hal ini yang menyebabkan unggas memiliki kemampuan untuk mensekresi urine yang hipotonik dengan konsentrasi asam yang tinggi. Pada ginjal terdapat beberapa proses yang terjadi di dalam ginjal yaitu ultrafiltrasi, reabsorbsi dan sekresi dimana tiga hal tersebut sangat penting bagi tubuh. Ultrafiltrasi merupakan proses penyaringan semua molekul berukuran kecil sperti air, glukosa dan urea. Prinsip penyaringan pada glomerulus adalah perpindahan cairan menuju kapsul bownman dengan menembus membran filtrasi (Reece, 2005). 28 2.5 Daging Otot hewan dapat dikatakan daging setelah terjadi pemotongan karena fungsi fisiologis tubuhnya telah berhenti, dapat diartikan sebagai jaringan otot dari hewan yang telah disembelih (Heinz dan Hautzinger, 2007) dan telah mengalami perubahan post-mortem. Serat-serat daging terdiri dari miofibril, sedangkan miofibril tersusun oleh beberapa miofilamen, dimana miofilamen merupakan struktur terkecil pembentuk daging. Serat-serat daging tersebut dipersatukan oleh sarkoplama dan terbungkus oleh lapisan sarkolema yang sangat tipis (Muchtadi, 2010). Daging merupakan bagian dari karkas, namun tidak termasuk lemak (yang terdapat dibawah kulit maupun yang melindungi organ dalam), yang juga sering disebut dengan lean meat. Proporsi lean meat dari karkas berbeda-beda pada setiap jenis ternak, 35% pada sapi, 45% pada babi, 38% pada sapi muda (veal),dan 35% pada domba (Feiner, G. 2006). Daging merupakan bahan makanan yang bernilai gizi tinggi. Komposisi daging relatif mirip satu dengan yang lainnya, terutama kandungan protein sebesar 15-20%. Jika dibandingkan dengan bahan pangan sumber protein nabati, kandungan asam amino di dalam daging lebih tinggi dan bervariasi sehingga memberikan pengaruh yang baik bagi pertumbuhan tubuh. Daging juga merupakan sumber Niasin, Riboflavin, dan Tiamin (Deptan, 2001). 2.6 Puyuh Puyuh merupakan salah satu komoditi unggas yang mendukung ketersediaan protein hewani sebagai penghasil telur dan daging yang banyak diminati. Puyuh tipe liar memiliki bulu dengan warna dominan coklat gelap. Akan 29 tetapi, puyuh betina dewasa memiliki bulu dengan warna yang pucat dengan bintik-bintik gelap. Berbeda dengan puyuh betina, puyuh jantan dewasa memiliki warna bulu yang gelap dan seragam pada bagian dada dan pipi (Vali, 2008). Klasifikasi zoologi burung puyuh, menurut Radiopoetro (1996) adalah : Kingdom : Animalia Phylum : Chordata Sub phylum : Vertebrata Class : Aves Ordo : Galliformes Famili : Phasianidae Sub Famili : Phasianidae Genus : Coturnix Species : Coturnix-coturnix japonica Puyuh (coturnix-coturnix japonica) atau japanese quail telah tersebar luas di Eropa dan Asia. Puyuh dapat dibedakan jenis kelaminnya pada umur 3 minggu berdasarkan warna kulitnya. Puyuh jantan memiliki warna bulu coklat pada bagian leher dan dada serta mencapai dewasa kelamin pada umur 5-6 minggu dengan bobot badan 100-140 gram. Puyuh betina dapat diidentifikasi dengan melihat bulu pada bagian leher dan dada yang warnanya lebih cerah. Puyuh betina mulai bertelur pada umur 35 hari pada kondisi yang baik dan memproduksi sekitar 200-300 telur per tahun (Varghese, 2007). Puyuh merupakan hewan yang memiliki saluran pencernaan yang dapat menyesuaikan diri terhadap kondisi lingkungan. Gizzard dan usus halus puyuh 30 memberikan respons yang fleksibel terhadap ransum dengan kandungan serat kasar yang tinggi (Starck dan Rahmaan, 2003). Puyuh mempunyai dua fase pemeliharaan yaitu fase pertumbuhan dan fase produksi (bertelur). Fase pertumbuhan dibagi menjadi dua fase yaitu starter (0-3 minggu) dan grower (3-5 minggu), sedangkan fase produksi berumur di atas 5 minggu. Anak puyuh yang baru berumur 0-3 minggu membutuhkan protein 25% dan energi metabolisme 2900 kkal/kg. Pada umur 3-5 minggu kadar protein dikurangi menjadi 20% dan energi metabolisme 2600 kkal/kg. Kebutuhan energi dan protein puyuh lebih dari 5 minggu sama dengan kebutuhan energi dan protein puyuh umur 3-5 minggu (Listiyowati dan Roospitasari, 2000). Manfaat umum dari puyuh yaitu (1) sebagai unggas penghasil telur dan daging dengan cita rasa yang unik, (2) biaya pemeliharaan murah yang diasosiasikan dengan ukuran tubuh yang kecil (80 – 300 gram), (3) memiliki selang generasi yang pendek (3-4 generasi per tahun) sehingga memungkinkan memiliki generasi yang lebih banyak dalam setahun, (4) tahan (resisten) terhadap wabah dan penyakit unggas, (5) memiliki produksi telur yang tinggi, (6) dapat digunakan sebagai hewan percobaan, dan (7) merupakan unggas dengan ukuran tubuh terkecil yang diternakkan untuk menghasilkan telur dan daging (Vali, 2008).