3 metode penelitian

advertisement
11
3 METODE PENELITIAN
Waktu dan Tempat
Penelitian ini dilaksanakan di Desa Kanekes Kecamatan Leuwidamar
Kabupaten Lebak Provinsi Banten dengan subyek penelitian masyarakat Baduy
Dalam dan Baduy Luar. Penelitian ini dilakukan pada bulan Agustus hingga
Oktober 2012.
Jenis Data
Jenis data yang dikumpulkan dalam penelitian ini meliputi spesies
tumbuhan pangan tradisional penting (Cultural Significant Plant) dan penggunaan
pengetahuan tradisional dalam ketahanan pangan, serta data spesies tumbuhan
yang dimanfaatkan oleh masyarakat Baduy dan kondisi umum lokasi yang
dikumpulkan melalui studi pustaka (Tabel 1).
Tabel 1 Parameter data penelitian
Parameter
1. Pengetahuan tradisional
dalam ketahanan pangan
2. Spesies tumbuhan
pangan penting
3. Spesies tumbuhan
pangan yang
dimanfaatkan oleh
masyarakat Baduy
4. Kondisi umum lokasi
Variabel
a. Pengetahuan tradisional
tentang penamaan dan
identifikasi spesies tumbuhan
pangan.
b. Sistem sosiokultur dalam
pemanfaatan spesies tumbuhan
pangan:
1. Infrastruktur material
2. Struktur sosial
3. Super struktur ideologis
a. Tanaman pangan budidaya
b. Tumbuhan pangan liar penting
Nama spesies, manfaat, cara
pemanfaatan, potensi
pemanfaatan
Letak, luas, iklim, topografi,
demografi penduduk.
Pengumpulan Data
Focus Group Discussion
Wawancara semi terstruktur
Wawancara semi terstruktur,
eksplorasi lapang, dan
observasi partisipatif
Buku identifikasi “Tumbuhan
Berguna Indonesia” (Heyne
1987 dan herbarium
Studi Pustaka
Metode Pengumpulan Data
Kegiatan pengumpulan data pada penelitian ini akan dilakukan dengan
observasi partisipatif, wawancara (Focus Group Discussion dan wawancara semi
terstruktur), eksplorasi lapang, dan pembuatan herbarium untuk identifikasi
spesies, serta studi pustaka (Tabel 1).
a.
Observasi partisipatif
Pencatatan dilakukan selama penulis mengikuti dan terlibat pada aktivitas
masyarakat yang sedang dikaji. Sebagai contoh, peneliti mengikuti proses
pengambilan/pemanenan padi di ladang masyarakat Baduy.
12
Wawancara (Focus Group Discussion dan wawancara semi terstruktur)
Focus Group Discussion (FGD) dilakukan untuk mengetahui data
keseluruhan komunitas, atau data umum sebanyak-banyaknya yang dihasilkan
dari informan kunci meliputi tetua adat (Jaro Dainah, Jaro Sami, dan Jaro Darni),
perangkat desa (Panggiwa Rasudin dan Panggiwa Sajum), dan beberapa
masyarakat yang sangat terkait dengan pemanfaatan tumbuhan pangan (Idrus
2009). Selanjutnya hasil FGD digunakan sebagai data dasar (konsep kuisioner)
dalam pengukuran penerapan pengetahuan etnobotani masyarakat Baduy.
Wawancara semi terstruktur dilakukan sebanyak dua kali, yaitu pada saat
penentuan spesies tumbuhan bernilai budaya tinggi, dan pada pengukuran
penggunaan pengetahuan etnobotani dalam ketahanan pangan. Wawancara
dilakukan secara langsung dengan bantuan panduan wawancara dan kuisioner.
Penentuan responden dilakukan dengan quota sampling yaitu sebanyak 30
responden yang berasal dari Baduy Dalam dan 30 responden dari Baduy Luar. Hal
ini dimaksudkan untuk memenuhi jumlah minimal responden dalam suatu
pengolahan data yang bersifat korelasional (Gay 1981). Selanjutnya pemilihan
responden dilakukan dengan purposive sampling (terpilih) dengan pertimbangan
usia, jenis kelamin, dan asal (Tabel 2).
b.
Tabel 2 Pemilihan responden penelitian
Asal
Baduy Dalam
Baduy Luar
c.
Kelas umur
Jenis Kelamin
Laki-laki
Perempuan
Laki-laki
Perempuan
I
<24
tahun
3 orang
3 orang
3 orang
3 orang
II
25-39
tahun
3 orang
3 orang
3 orang
3 orang
III
40-54
tahun
3 orang
3 orang
3 orang
3 orang
IV
55-69
tahun
3 orang 3 orang 3 orang 3 orang V
>69
tahun
3 orang 3 orang 3 orang 3 orang Eksplorasi
Kegiatan ini dilakukan untuk mengetahui ketersediaan tumbuhan pangan
yang dimanfaatkan oleh masyarakat Baduy dan pengambilan spesimen untuk
identifikasi tumbuhan pada masing-masing tipe penggunaan lahan. Selain untuk
mengetahui ketersediaan tumbuhan di berbagai tipe penggunaan lahan masyarakat
Baduy, eksplorasi juga bertujuan untuk mengambil bagian tumbuhan untuk
dijadikan herbarium. Lahan tersebut meliputi hutan (leuweung), ladang (huma),
pinggir rumah (pipir imah), sekitar kampung (tatajuran), ladang yang diberakan
1-2 tahun (jami), di sempadan sungai (pipir cai), pinggir saung (pipir saung), dan
hutan sekunder atau kebun (reuma) yang terbagi di Baduy Dalam, Baduy Luar,
dan luar Desa Kanekes.
d.
Pembuatan herbarium
Kegiatan ini dilakukan untuk membantu proses identifikasi spesies
tumbuhan dengan mengoleksi atau mendokumentasikan spesimen dari lapangan
berupa bagian tumbuhan yang terdiri dari ranting, daun, bunga, dan buah jika ada.
Adapun tahapan dari pembuatan herbarum meliputi:
1. Mengambil spesimen herbarium yang terdiri dari ranting lengkap dengan
daunnya, jika ada bunga dan buahnya juga diambil. Pengambilan contoh
herbarium dilakukan bersamaan dengan pelaksanaan kegiatan eksplorasi
dan wawancara.
13
2.
3.
4.
5.
6.
7.
8.
Contoh herbarium dipotong dengan panjang ± 40 cm menggunakan
gunting.
Kemudian contoh herbarium dimasukkan ke dalam kertas koran dengan
memberikan label berukuran (3 cm x 5 cm). Label berisi keterangan
tentang nomor spesies, nama lokal, dan lokasi pengumpulan.
Selanjutnya herbarium disusun dan disemprot dengan alkohol 70%.
Kemudian herbarium disimpan di dalam trash bag, untuk di bawa ke
Laboratorium Konservasi Tumbuhan Fakultas Kehutanan IPB.
Tahapan selanjutnya adalah pengeringan herbarium yang meliputi:
penggantian kertas koran, penyusunan herbarium di atas sasak, dan
pengovenan pada suhu 60° C selama 5 hari.
Herbarium yang sudah kering lengkap dengan keterangan-keterangan yang
diperlukan dalam proses identifikasi untuk mendapatkan nama ilmiah,
habitus, dan data taksonomi yang dibutuhkan.
Selanjutnya herbarium yang telah selesai diidentifikasi dengan buku
identifikasi dan sebagian dikirim kepada pakar identifikasi tumbuhan.
e.
Studi pustaka
Identifikasi spesies tumbuhan dilakukan pula dengan mencocokan ciri dan
nama lokal spesies tumbuhan dengan buku “Tumbuhan Berguna Indonesia”
(Heyne 1987). Data pendukung meliputi spesies tumbuhan pangan yang
dimanfaatkan masyarakat Baduy dan kondisi umum lokasi penelitian (luas, letak,
iklim, dan demografi penduduk) diperoleh melalui studi pustaka.
Analisis Data
Tumbuhan pangan penting
a.
Tanaman pangan budidaya
Analisis data tanaman pangan budidaya penting dilakukan secara
kuantitatif dengan modifikasi persamaan Pieroni (2001) dan Johns (1990):
CFCI=QI x (AI + FuI+CoI) x EI
Keterangan
CFCI : Cultural Food Cultivated Index (Spesies tanaman pangan budidaya
penting)
QI
: Quotation Index (tingkat penyebutan tumbuhan pangan )
AI
: Availability Index (tingkat ketersediaan tumbuhan pangan)
CoI
: Commercial Index (nilai komersial tumbuhan pangan)
FuI
: Food use Index (penggunaan tumbuhan pangan)
EI
: Exclusivity Index (penggunaan tumbuhan pangan dalam kegiatan/ ritual
adat)
QI (Quotation Index) merupakan nilai sejumlah spesies tanaman pangan
penting yang mampu disebutkan oleh responden secara spontan. Spesies yang
hanya disebutkan oleh 1 atau 2 orang dianggap bukan spesies tumbuhan bernilai
budaya penting sehingga dapat diabaikan.
AI (Availability Index) yaitu tingkat ketersediaan tanaman pangan yang
ditunjukkan oleh ada (skor: 2) dan tidaknya (skor: 1) teknologi penyimpanan atau
pengawetan yang memungkinkan tanaman/ bagian tanaman tersebut tersedia
sepanjang tahun.
14
CoI (Commercial Index) merupakan tingkat komersial suatu spesies
tanaman dimana kategori dibagi menjadi tanaman yang digunakan hanya untuk
memenuhi kebutuhan pribadi/ subsisten (skor: 1) dan dapat dijual (skor: 2)
FuI (Food use Index) merupakan tingkat penggunaan tumbuhan dalam
pemenuhan nutrisi tubuh yang terbagi dalam tiga kategori. Pangan pokok sebagai
penghasil karbohidrat (skor: 3), sayur dan buah sebagai penghasil vitamin dan
mineral (skor: 2), dan sebagai bahan tambahan pangan (skor 1).
EI (Exclusivity Index) merupakan tingkat kekhususan tumbuhan pangan
yang digunakan pada upacara dan ritual adat. Selain itu penerapan aturan khusus
yang membuat tanaman pangan budidaya menjadi sangat diperhatikan (skor: 2)
menjadikan nilai tumbuhan ini lebih besar dari tumbuhan lainnya (skor: 1).
b.
Tumbuhan pangan liar
Analisis data tumbuhan pangan bernilai budaya penting dilakukan secara
kuantitatif dengan persamaan yang dikembangkan oleh Pieroni (2001):
CFSI= QI x AI x FUI x PUI x MFFI x TSAI x FMRI x 10-2
Keterangan:
CFSI : Cultural Food Significant Index (spesies tumbuhan pangan tradisional
penting)
QI
: Quotation Index (tingkat penyebutan tumbuhan pangan )
AI
: Availability Index (tingkat ketersediaan tumbuhan pangan)
FUI : Frequency of Use Index (frekuensi pemanfaatan tumbuhan pangan)
PUI : Part of Use Index (bagian tumbuhan pangan yang dimanfaatkan)
MFFI : Multi-Functional Food Use Index (keanekaragaman penggunaan
tumbuhan pangan)
TSAI : Taste Score Appreciation Index (rasa dan kesukaan tumbuhan pangan)
FMRI : Food-Medicinal Role Index (tingkat penggunaan tumbuhan pangan untuk
kesehatan)
QI (Quotation Index) merupakan nilai sejumlah spesies tumbuhan pangan
penting yang mampu disebutkan oleh responden secara spontan. Spesies yang
hanya disebutkan oleh 1 atau 2 orang dianggap bukan spesies tumbuhan bernilai
budaya penting sehingga dapat diabaikan.
AI (Availability Index) yaitu tingkat keterjangkauan dan ketersediaan yang
dirasakan oleh masyarakat. Nilai keterjangkauan ditunjukkan dengan kemudahan
dalam memperoleh tumbuhan yang dirasakan oleh responden, sedangkan
ketersediaan diukur dari perjumpaan spesies tumbuhan di lapangan. Adapun
kategori yang digunakan adalah mudah, biasa, agak sulit, dan sulit sedangkan
untuk koreksi lapang ketersediaan spesies dikategorikan dalam lebih dari 2 lahan,
terdapat di 2 lahan saja, dan hanya ada di 1 lahan yang bersifat lokal (Tabel 3).
Tabel 3 Nilai indeks tingkat ketersediaan
Ketersediaan
Mudah
Biasa
Agak sulit
Sulit
Kondisi lapang
Lebih dari 2 lahan
Terdapat di 2 lahan berbeda
Hanya ada di 1 lahan
Sumber: Pieroni (2001)
Nilai indeks
4,0
3,0
2,0
1,0
Nilai indeks
-0,5
-1,0
15
Hasil dari wawancara terhadap tingkat ketersediaan selanjutnya dikoreksi
secara kuantitatif dengan nilai indeks yang ada. Sebagai contoh spesies peutag
(Syzigium lineata Duthie.) disebutkan agak sulit ditemukan oleh masyarakat
namun berdasarkan hasil eksplorasi hanya ditemukan di dua lahan saja, yaitu di
hutan (leuweung) dan kebun (reuma). Maka nilai indeks ketersediaan dari spesies
tersebut adalah 2,0+ (-0,5)= 1,5.
FUI (Frequency of Use Index) atau tingkat frekuensi pemanfaatan
menggambarkan seberapa sering tumbuhan tersebut digunakan. Kategori dalam
frekuensi penggunaan meliputi lebih dari 1 kali dalam seminggu, 1 kali dalam
seminggu, satu kali dalam sebulan, hingga penggunaan 30 tahun lalu (Tabel 4).
Tabel 4 Nilai indeks frekuensi pemanfaatan
Frekuensi penggunaan
>1 kali/minggu
1 kali/minggu
1kali/ bulan
>1 kali/tahun dan <1 kali/bulan
1kali/tahun
Lebih dari 30 tahun tidak menggunakan
Sumber: Pieroni (2001)
Nilai indeks
5,0
4,0
3,0
2,0
1,0
0,5
PUI (Part of Use Index) atau tingkat keanekaragaman bagian yang
dimanfaatkan. Pada aspek ini spesies tumbuhan yang dimanfaatkan pada beberapa
bagian dengan tujuan yang berbeda memiliki nilai yang lebih tinggi daripada
spesies yang dimanfaatkan seluruh bagian mudanya untuk satu tujuan (Tabel 5).
Tabel 5 Nilai indeks bagian yang dimanfaatkan
Bagian yang digunakan
Kulit
Akar dan rimpang/stolon
Akar muda
Umbi
Batang
Daun
Tangkai daun
Daun muda
Tuak
Tunas
Pucuk daun
Bunga
Buah
Biji
Seluruh bagian tumbuhan
Seluruh bagian tumbuhan muda
Caps atau tudung jamur
Seluruh tubuh buah pada jamur
Sumber: Pieroni (2001)
Nilai indeks
1,00
1,50
1,00
1,50
1,00
1,50
1,00
1,00
1,00
1,25
0,75
0,75
1,50
1,00
3,00
2,00
1,50
2,00
MFFI (Multi Fuctional Food Use Index) atau keanekaragaman
penggunaan pangan merupakan penilaian terhadap cara atau pengolahan
tumbuhan pangan mulai dari pemanfaatan secara sederhana hingga tahapan yang
16
lebih kompleks/rumit. Semakin rumit proses dalam pengolahan tumbuhan pangan,
nilai indeks akan semakin besar (Tabel 6).
Tabel 6 Nilai indeks keanekaragaman penggunaan pangan
Penggunaan
Bahan mentah sebagai makanan kecil
Bahan mentah sebagai lalaban
Digoreng dengan atau tidak dengan kocokan telur
Dididihkan
Didihkan kemudian digoreng
Didihkan kemudian diisi bahan lain
Sup (campuran)
Direbus perlahan
Dibakar/dipanggang
Bumbu/rempah-rempah
Bumbu untuk tujuan tertentu atau spesifik
Selai
Sirup
Digunakan hanya sebagai campuran
Sumber: Pieroni (2001)
Nilai indeks
0,50
1,50
1,00
1,00
1,50
1,50
0,75
1,00
1,00
1,00
0,75
1,00
1,00
-0,50
TSAI (Taste Score Appreciation Index) atau tingkat rasa dan kesukaan
yaitu nilai indeks dari rasa dan kesukaan responden terhadap suatu jenis tumbuhan
pangan. Penilaian tersebut dibagi dalam rentang nilai 4 hingga 10 dengan interval
yang berbeda (Tabel 7).
Tabel 7 Nilai indeks tingkat rasa dan kesukaan
Rasa dan kesukaan
Paling enak
Sangat enak
Enak
Biasa
Kurang enak
Tidak enak
Sumber: Pieroni (2001)
Nilai indeks
10,0
9,0
7,5
6,5
5,5
4,0
FMRI (Food Medical Role Index) atau tingkat penggunaan tumbuhan
pangan untuk kesehatan. Nilai indeks ini menggambarkan nilai manfaat kesehatan
yang dimiliki oleh tumbuhan pangan. Sehingga tumbuhan tersebut memiliki nilai
yang lebih penting. Sebagai contoh, jika suatu spesies tumbuhan dikonsumsi
karena manfaatnya sebagai obat maka akan memiliki nilai indeks yang lebih besar
dibandingkan dengan tumbuhan yang tidak diketahui manfaat untuk kesehatan
manusia (Tabel 8). Karena kesehatan juga memiliki peranan yang penting dalam
kehidupan manusia.
Tabel 8 Nilai indeks penggunaan tumbuhan pangan untuk kesehatan
Peranan pangan-obat
Sangat tinggi (pangan ini adalah obat)
Tinggi (pangan ini berkhasiat obat)
Menengah keatas (pangan ini sangat menyehatkan)
Menengah ke bawah (pangan ini sehat)
Tidak diketahui
Sumber: Pieroni (2001)
Nilai indeks
5,0
4,0
3,0
2,0
1,0
17
Penerapan Pengetahuan tradisional dalam ketahanan pangan
Penggunaan pengetahuan tradisional masyarakat adat tentang tumbuhan
pangan dan ketahanan pangan dinilai melalui pengenalan spesies tumbuhan
pangan tradisional penting dan sistem sosiokultur (infrastruktur material, struktur
sosial, dan superstruktur ideologi) yang berlaku di masyarakat Baduy. Selanjutnya
dapat dianalisis secara kuantitatif dengan persamaan Phillips dan Gentry (1993)
diacu dalam Pei et al. (2009) untuk menghitung indeks pengetahuan etnobotani.
Mgj= 1 ∑ Vi
n
Keterangan:
Mgj : rata-rata tingkat pengetahuan etnobotani yang dimiliki oleh anggota
kelompok j
n : jumlah anggota dalam kelompok j
Vi : jumlah pengetahuan tradisional yang dimiliki anggota i dari kelompok j
j
: kelas umur atau jenis kelamin
Selanjutnya, untuk mengetahui signifikansi dari faktor-faktor yang
mempengaruhi tingkat pengetahuan tradisional dilakukan pengolahan data
menggunakan SPSS 15.0. Analisis yang digunakan adalah statistika non
parametrik (Zent 2009), yaitu uji statistik yang kesahihannya tidak bergantung
kepada asumsi-asumsi yang kaku (Daniel 1990). Uji non parametrik yang
digunakan adalah:
1.
Kruskal Wallis Test, yaitu pengujian hipotesis komparatif dengan k sampel
independen dari populasi yang sama. Tes ini digunakan untuk menguji
perbedaan dari setiap kelas umur (KU).
2.
Mann Whitney Test, yaitu pengujian hipotesis komparatif dengan dua
sampel independen dari populasi yang sama. Tes ini digunakan untuk
menguji perbedaan dari setiap jenis kelamin dan tempat tinggal.
Nilai MGj digunakan untuk menilai perubahan pengetahuan. Nilai MGj
akan dikelompokkan berdasarkan kelas umur yang memiliki interval 15 tahun.
Penilaian terhadap perubahan pengetahuan etnobotani menggunakan persamaan
yang dikembangkan oleh Zent (2009). Aspek yang diukur adalah tingkat retensi
(RG), tingkat retensi komulatif (RC), dan tingkat perubahan tahunan (CA).
1. RGt = Mgt
Mgr
keterangan:
RGt : tingkat retensi kelas umur t
gt
: rata-rata pengetahuan kelas umur t
gr
: rata-rata pengetahuan kelas umur t+1
2. RCt = RCr 10log(RGt)
keterangan:
RCt : tingkat retensi komulatif kelas umur t
RCr : tingkat retensi komulatif kelas umur t+1
3. CAt = RCt-1
ygt
keterangan:
CAt : tingkat perubahan tahunan kelas umur t
ygt
: interval waktu kelas umur.
Download