pengelolaan lahan sulfat masam untuk usaha pertanian

advertisement
PENGELOLAAN LAHAN SULFAT MASAM
UNTUK USAHA PERTANIAN
Didi Ardi Suriadikarta
Pusat Penelitian dan Pengembangan Tanah dan Agroklimat, Jalan Ir. H. Juanda No. 98, Bogor 16123
ABSTRAK
Luas lahan rawa di Indonesia diperkirakan 33,40 juta ha, yang terdiri atas 20 juta ha rawa pasang surut dan 13,40
juta ha rawa lebak. Lahan sulfat masam merupakan bagian dari lahan rawa pasang surut dan luasnya sekitar 6,70 juta
ha. Lahan sulfat masam dapat diklasifikasikan menurut letak dan posisi bahan sulfidik di dalam pedon tanah. Kunci
keberhasilan usaha pertanian di lahan pasang surut atau rawa adalah pengelolaan tanah dan air baik tingkat makro
maupun mikro. Tata air makro meliputi pengaturan tata air pada saluran primer, sekunder dan tersier, sedangkan
tata air mikro adalah pengelolaan tata air di lahan petani mulai dari saluran tersier, kuarter hingga ke lahan petani.
Pengaturan tata air mikro bertujuan untuk mencuci lahan dari unsur yang beracun seperti Fe, Al, dan SO4. Pengelolaan
tata air ini berkaitan dengan tipologi lahan dan tipe luapan. Lahan sulfat masam sesuai untuk sawah tergenang
karena dengan penggenangan bahan sulfidik atau pirit akan stabil. Lahan sulfat masam dengan tipe luapan A atau
B sesuai untuk sawah dengan sistem aliran satu arah, dan bila tipe luapannya C atau D maka saluran air perlu ditabat.
Ameliorasi dan pengapuran diperlukan untuk meningkatkan produktivitas lahan sulfat masam. Bahan amelioran
yang diperlukan adalah kaptan dengan takaran untuk tanah sulfat masam potensial 2 t/ha, sedangkan untuk tanah
sulfat masam aktual 4−8 t/ha bergantung pada kadar pirit dalam tanah. Semakin tinggi kadar pirit maka kebutuhan
kapur untuk meningkatkan pH tanah semakin tinggi pula. Rock Phospate (RP) dapat digunakan pada tanah sulfat
masam sebagai pengganti pupuk SP-36 dengan takaran 200 kg RP/ha setara dengan 125 kg SP-36/ha. Pupuk kalium
umumnya cukup diberikan 100 kg KCl/ha. Pada lahan sulfat masam yang tersedia sumber air tawar dapat digunakan
untuk tambak udang atau bandeng.
Kata kunci: Tanah sulfat masam, pengelolaan lahan, pembangunan pertanian
ABSTRACT
Management of acid sulphate soil for agricultural development
The development of swampland in Indonesia is relatively slow due to low production of food crops caused by high
input of agriculture materials. The area of swampland in Indonesia is about 33.40 million ha, and consists of 20
million ha of tidal land and 13.40 million ha of nontidal land. The acid sulphate soil is a part of tidal land and
occupied about 6.70 million ha, and it is associated with peat soil and salin soil. Soil and water management is the
success key to reclaim swampland for agricultural development. Soil and water management aimed to leach out
toxic materials from the land like iron, aluminum, and sulphate. The design of water management on farming land
is correlated with soil type and neap tide. If the soil type is actual acid sulphate soil and the type of neap tide is A,
the design of soil and water management should be the one for lowland rice since in anaerobic condition pyrite will
be stable. Soil ameliorant such as lime is required to increase soil pH and acid sulphate soil productivity. The general
rate of lime for potential acid sulphate soil is about 2 t/ha, while for actual acid sulphate soil is 4–8 t/ha depends on
the pyrite content of the soil. Furthermore, rock phosphate (RP) can replace SP-36 use; 200 kg RP/ha is required
to replace 125 kg SP-36/ha. The use of adapted rice variety on acid sulphate soil is recommended to obtain high
yield. Fisheries can also be done on acid sulphate soil if the surrounding areas have a source of fresh water.
Keywords: Acid sulphate soil, soil management, agricultural development
L
ahan rawa di Indonesia cukup luas
dan tersebar di tiga pulau besar, yaitu
Sumatera, Kalimantan, dan Irian Jaya
(Papua). Menurut Widjaja-Adhi et al.
(1992), luas lahan rawa Indonesia sekitar
33,40 juta ha, yang terdiri atas rawa
pasang surut 20 juta ha dan rawa lebak
13,40 juta ha.
Pembukaan lahan rawa pasang surut
dilakukan berkaitan dengan program
36
transmigrasi yang dimulai tahun 1969
melalui Proyek Pembukaan Persawahan
Pasang Surut (P4S). Pemanfaatan lahan
pasang surut untuk pertanian merupakan
pilihan yang strategis untuk mengimbangi
penciutan lahan produktif di Jawa akibat
alih fungsi ke sektor nonpertanian, seperti
perumahan dan industri. Menurut Suriadikarta et al. (1999), lahan rawa yang telah
dibuka mencapai 2,40 juta ha, yaitu 1,50
juta ha di Kalimantan dan 0,90 ha di
Sumatera. Lahan rawa di Papua sampai
saat ini belum dibuka untuk pertanian.
Pengembangan lahan rawa memerlukan perencanaan, pengelolaan, dan
pemanfaatan yang tepat serta penerapan
teknologi yang sesuai, terutama pengelolaan tanah dan air. Dengan upaya
seperti itu diharapkan lahan rawa dapat
menjadi lahan pertanian yang produktif,
Jurnal Litbang Pertanian, 24(1), 2005
berkelanjutan, dan berwawasan lingkungan (Widjaja-Adhi 1995a; 1995b).
Pengembangan lahan rawa yang
dimulai dengan P4S tahun 1970-an dan
dilanjutkan dengan proyek Swamp I,
Swamp II, kerja sama dengan Belanda
(LAWOO) tahun 1980-an, Proyek Penelitian Pengembangan Lahan Rawa
Terpadu (ISDP) dan Proyek Pertanian
PLG tahun 1990-an, telah menghasilkan
berbagai teknologi pengelolaan lahan
(Suriadikarta dan Abdurachman 1999).
Teknologi itu antara lain adalah pengelolaan tanah, tata air mikro, ameliorasi
tanah dan pemupukan, penggunaan varietas yang adaptif, pengendalian hama
dan penyakit, dan model usaha tani.
Namun, umumnya teknologi tersebut
tidak dapat diterapkan secara berkelanjutan karena adanya berbagai kendala,
seperti modal petani yang rendah, infrastruktur yang terbatas, kelembagaan
pedesaan yang kurang berkembang, dan
kurangnya perhatian pemerintah dalam
pemeliharaan jaringan tata air makro.
Berbagai kegagalan dan keberhasilan
telah mewarnai kegiatan pengembangan
lahan rawa. Terjadinya lahan bongkor
misalnya, yaitu lahan yang ditinggalkan
petani karena telah mengalami oksidasi
pirit sehingga produksinya sangat rendah, merupakan akibat dari reklamasi
yang kurang tepat. Kegagalan ini dapat
menjadi pelajaran dalam pengembangan
lahan sulfat masam di masa yang akan
datang.
Potensi lahan rawa yang demikian
besar dapat dimanfaatkan untuk menunjang pogram peningkatan ketahanan
pangan dan agribisnis yang menjadi
program utama sektor pertanian. Sebagaimana disampaikan oleh Menteri
Pertanian (Departemen Pertanian 1999),
lahan rawa, baik rawa pasang surut
maupun lebak dapat menjadi basis
pengembangan ketahanan pangan untuk
kepentingan jangka pendek, menengah
maupun jangka panjang. Oleh karena itu,
investasi pemerintah dan swasta dalam
pemanfaatan lahan rawa seyogianya
dapat lebih ditingkatkan.
SIFAT TANAH SULFAT
MASAM
Tanah sulfat masam potensial mengandung pirit yang bila terbuka ke udara akan
terjadi reaksi oksidasi membentuk asam
sulfat dan oksida besi sehingga tanah
Jurnal Litbang Pertanian, 24(1), 2005
tidak dapat digunakan untuk pertanian.
Tanah sulfat masam mempunyai pH
rendah, kandungan yang bersifat toksis
H+, Al, Fe (III), dan Mn tinggi. Keadaan
ini diikuti dengan P tersedia dan kejenuhan basa yang rendah serta kekahatan
hara-hara lainnya (Andriesse dan Sukardi
1990).
Reaksi oksidasi pirit menurut Boyd
(1982) adalah sebagai berikut:
1) FeS2 + H2O + 3,5 O2 → FeSO4 + H2SO4
2) 2 FeSO4 + ½ O2 + H2SO4 → Fe2(SO4)3 +
H2O
3) FeS2 + 7 Fe2(SO4)3 + 8 H2O → 15 FeSO4
+ 8 H2SO4
Produksi ferri sulfat dari ferro
sulfat sangat besar karena proses pembentukannya dipercepat oleh aktivitas
bakteri Thiobacillus ferrooxidans (No. 2),
dan pada kondisi yang masam reaksi pirit
dengan ferri sulfat (No. 3) berlangsung
sangat cepat. Ferri sulfat juga dapat terhidrolisis sehingga menambah kemasaman seperti diperlihatkan reaksi berikut:
Fe2(SO4)3 + 6 H2O → 2 Fe(OH)3 + 3 H2SO4
Asam sulfat akan melarutkan sejumlah
besar logam-logam berat antara lain Al,
Mn, Zn, dan Cu. Dengan demikian aliran
permukaan (run off) atau air rembesan
(sepage) dari galian tanah berpirit mencapai kemasaman sangat tinggi dan berisi
ion-ion yang berpotensi sebagai racun.
Menurut Widjaja-Adhi (1986), di
dalam lumpur yang anaerob, pirit tidak
membahayakan karena stabil, tetapi bila
lumpur itu mengering, potensi redok (Eh)
meningkat dan pirit tidak lagi stabil. Pirit
diubah menjadi asam sulfat oleh bakteri
Thiobacillus thiooxidans. Pada keadaan
agak masam sampai netral terjadi reaksi:
FeS2 + 3 H2O
→ Fe(OH)3 + S2 + 3 H
+
Ferri hidroksida yang terjadi dicirikan oleh
warna cokelat dan terlihat pada bahan
galian baru dari lapisan yang mengandung
pirit. Dalam keadaan masam (pH kurang
dari 3), pirit berdisosiasi menjadi ion ferro
dan sulfur:
FeS2
→ Fe2+ + S2 + 2 e
Sulfur yang dilepas dari reaksi di atas
oleh bakteri T. thiooxidans diubah menjadi asam sulfat:
S2 + 8 H2O
→ 2 SO42- + 16 H+ + 12 e
Ion H+ yang terbentuk cukup banyak
ketika pirit terkena udara. Menurut
Driessen dan Soepraptohardjo (1974),
penurunan pH dihalangi oleh tanah itu
sendiri melalui beberapa cara, yaitu: 1)
pembentukan jarosit, 2) penetralan oleh
hasil disosiasi beberapa mineral hijau
seperti khlorit, chamosit, dan glaukonit,
3) reaksi pertukaran dengan kation pada
kompleks adsorpsi, dan 4) penetralan
bahan kapur seperti kulit kering.
Selanjutnya van Breemen (1976)
mengemukakan bahwa Fe2+, H+, dan SO42yang dihasilkan selama oksidasi pirit
biasanya mengalami berbagai reaksi lanjut
di dalam tanah. Fe2+ dioksidasi menjadi
Fe 3+, yang akan mengendap sebagai
jarosit, goethite atau amorphous ferri
oksida. Sejumlah besar sulfat dihasilkan
selama pembentukan pirit, tetapi tetap
tinggal dalam larutan dan hilang dari
tanah melalui pencucian dan difusi ke
permukaan air. Sulfat yang tersisa sebagian mengendap sebagai jarosit atau
sebagai Al sulfat (AlOHSO4), dan sebagian
diadsorpsi terutama oleh ferri oksida.
Dalam kondisi relatif kering, gipsum (CaSO 4 .2H 2 O) akan terbentuk,
sedangkan bila terjadi penguapan hebat,
pada retakan permukaan terdapat sulfat
yang masih dapat larut seperti sodium
alum (NaAl(SO4)2.12H2O), tamarugit (Na
Al(SO 4) 2.6H2O), pickeringite (MgAl 2
(SO4). 22 H2O) dan rezenite (Fe SO4 .4
H2O). Penggenangan akan mengurangi
kemasaman, membuat tanah menjadi
anaerob, serta memudahkan penguraian
ulang bahan organik, reduksi besi (III),
sulfat dan oksida lainnya oleh bakteri
anaerob.
1) SO42- + 2 H+ + 2 CH2O
H2O + 2 CO2
2) Fe(OH)3 + 2 H+ + ¼ CH2O
+ 1¼ H2O + ¼ CO2
H2S + 2
Fe2+
Dalam kondisi anaerob (tergenang), asam
sulfat tidak terbentuk tetapi sulfat dapat
direduksi lagi menjadi sulfida oleh bakteri
Desulfovibrio sp., yang mungkin sementara terikat sebagai FeS. Pada tanah sulfat
masam yang sangat muda yang masih di
bawah pengaruh pasang surut, sulfida
mungkin kembali membentuk pirit.
TEKNOLOGI PENGELOLAAN TANAH SULFAT MASAM
Pengelolaan Tanah dan Air
Pengelolaan tanah dan air (soil and water
management) merupakan kunci utama
keberhasilan pengembangan pertanian di
37
1234567890
1234567890
1234567890
Flapgate (inlet)
A
Flapgate (outlet)
1234567890
1234567890
1234567890
Saluran sekunder pengeluaran
Flapgate (inlet)
123
123
123
123
123
123
123
123
123
123
Saluran tersier pemasukan
A
A
s
38
Pada sistem aliran satu arah, saluran
irigasi dan saluran drainase dirancang
secara terpisah. Pintu klep (flapgate)
dipasang berlawanan arah. Pada saluran
irigasi, pintu klep membuka ke arah dalam
sedangkan pada saluran drainase pintu
klep membuka ke arah luar sehingga
pencucian lahan berlangsung efektif.
Tata air pada lahan yang bertipe
luapan A dan B perlu diatur dalam sistem
aliran satu arah (Gambar 1), sedangkan
untuk lahan bertipe luapan C dan D,
saluran air perlu ditabat (disekat) dengan
stoplog (Gambar 2) untuk menjaga
permukaan air sesuai dengan kebutuhan
Saluran primer (jalur)
Saluran kuarter pengeluaran
123
Flapgate (outlet)123
123
123
123
123
123
123
123
123
Saluran tersier pengeluaran
A
Gambar 1. Jaringan tata air sistem saluran satu arah pada lahan pasang surut.
A
Saluran primer (jalur)
Stoplog
Stoplog
Saluran
cacing
Saluran keliling
Saluran tersier pemasukan
s
1234
123412345
12345
1234
12345
1234
12345
1234
12345
1234
12345
1234
12345
1234
12345
1234
12345
1234
12345
1234
123412345
12345
s
123
123
123
123
123
123
123
123
123
123
123
123456789
123456789
123456789
Saluran dangkal intensif
Saluran tersier pengeluaran
Stoplog
Saluran tersier pengeluaran
123
123
123
123
123
123
123
123
123
Saluran sekunder pengeluaran
Stoplog
s
1234567890
1234567890
1234567890
1234567890
s
Sistem pengelolaan tata air mikro
berfungsi untuk: 1) mencukupi kebutuhan evapotranspirasi tanaman, 2)
mencegah pertumbuhan gulma pada
pertanaman padi sawah, 3) mencegah
terbentuknya bahan beracun bagi tanaman melalui penggelontoran dan
pencucian, 4) mengatur tinggi muka air,
dan (5) menjaga kualitas air di petakan
lahan dan saluran. Untuk memperlancar
keluarmasuknya air pada petakan lahan
yang sekaligus untuk mencuci bahan
beracun, Widjaja-Adhi (1995a) menganjurkan pembuatan saluran cacing pada
petakan dan di sekeliling petakan lahan.
Oleh karena itu, pengelolaan tata air mikro
mencakup pengaturan dan pengelolaan
tata air pada saluran kuarter dan petakan
lahan yang sesuai dengan kebutuhan
tanaman dan sekaligus memperlancar
pencucian bahan beracun. Menurut
Suriadikarta et al. (1999), saluran kuarter
biasanya dibuat di setiap batas pemilikan
lahan, sedangkan saluran cacing di dalam
petakan dengan jarak 3−12 m serta di
sekeliling petakan, bergantung pada
kondisi lahan. Semakin tinggi tingkat
keracunan, semakin rapat pula jarak
saluran cacing tersebut. Subagyono et
al. (1999) menyatakan, pencucian bahan
beracun dari petakan dilakukan dengan
memasukkan air ke petakan sebelum
tanah dibajak, kemudian air tersebut
dikeluarkan setelah pengolahan tanah
selesai. Pencucian akan berjalan baik bila
air cukup tersedia, baik dari hujan maupun air pasang. Oleh karena itu, air di
dalam petakan lahan perlu diganti setiap
dua minggu pada saat pasang besar.
Pengelolaan air pada saluran tersier
bertujuan untuk: 1) memasukkan air irigasi, 2) mengatur tinggi muka air pada
saluran dan petakan, dan 3) mengatur
kualitas air dengan membuang bahan
beracun yang terbentuk di petakan serta
mencegah masuknya air asin ke petakan
lahan. Sistem pengelolaan air di tingkat
tersier dan mikro bergantung pada tipe
luapan air pasang dan tingkat keracunan.
Saluran sekunder
Tata air mikro
Pada lahan sulfat masam aktual, sistem
pengairannya harus ditabat dan tidak
disurjan agar besi dan pirit tidak meracuni
tanaman. Penataan air di lahan petani
dilakukan dengan sistem aliran satu arah
(one-way flow system) dan sistem aliran
bolak-balik (two-way flow system). Hal
yang perlu mendapat perhatian khusus
dalam sistem tata air adalah sinkronisasi
antara tata air makro dan mikro (Subagyono et al. 1999). Penerapan aliran
satu arah hanya akan berjalan efektif jika
kondisi saluran tersier, sekunder, dan
primer dalam kondisi baik dan arah aliran
tidak bolak-balik.
Saluran sekunder
lahan rawa pasang surut, termasuk tanah
sulfat masam. Pengelolaan tanah dan air
ini meliputi jaringan tata air makro maupun
mikro, penataan lahan, ameliorasi dan
pemupukan. Dalam tulisan ini tata air
makro tidak dibahas karena merupakan
kewenangan dari Departemen Pekerjaan
Umum.
A
Gambar 2.
Jaringan tata air sistem tabat untuk tipe luapan C dan D pada lahan
pasang surut.
Jurnal Litbang Pertanian, 24(1), 2005
tanaman serta memungkinkan air hujan
tertampung dalam saluran tersebut. Tata
air ini memerlukan pintu-pintu yang
berfungsi sebagai pengendali air. Pintu air
tersebut dapat berupa stoplog maupun
pintu ayun atau pintu engsel (flapgate).
Di Karang Agung Ulu, penerapan
pengelolaan tata air mikro pada lahan
sulfat masam dengan berbagai sistem
penataan lahan dapat meningkatkan
kualitas lahan dan hasil tanaman
(Djayusman et al. 1995).
Penerapan pengelolaan tata air
dengan sistem tabat dan aliran satu arah
dikombinasikan dengan pengolahan tanah
dengan traktor tangan dan pemberian
dolomit pada lahan sulfat masam (50 ha),
dapat secara cepat meningkatkan kualitas
lahan dan hasil tanaman padi dan palawija
(ISDP 1997). Nilai pH air tanah meningkat
dari rata-rata 4,20 sebelum pengolahan
tanah menjadi 4,80 pada saat penanaman
dan 5,40 pada saat panen (Widjaja-Adhi
dan Alihamsyah 1998). Kandungan Fe++
juga menurun dari 160 ppm pada saat
tanam menjadi 72 ppm pada panen. Hasil
rata-rata ubinan padi varietas Cisadane
mencapai 6,26 t/ha sedangkan varietas
Cisanggarung 9,44 t/ha.
logi lahan, tipe luapan, dan pola pemanfaatannya. Pada tipologi sulfat
masam potensial dengan tipe luapan A,
penataan lahan sebaiknya untuk sawah
(Tabel 1), karena pirit akan lebih stabil
(tidak mengalami oksidasi) dan tanaman
padi dapat tumbuh dengan baik. Pada
tipe luapan B, pola pemanfaatan lahan
dilakukan dengan sistem surjan untuk
tanaman padi, palawija, sayuran atau
buah-buahan. Untuk tanah sulfat masam
potensial, pengolahan tanah dan pembuatan guludan sebaiknya dilakukan
secara hati-hati dan bertahap. Tanah
untuk guludan diambil dari lapisan atas
untuk menghindari oksidasi pirit.
Sistem surjan merupakan salah satu
contoh penataan lahan rawa melalui
diversifikasi tanaman. Lebar guludan
dibuat 3−5 m dan tinggi 0,50−0,60 m,
sedangkan lebar tabukan 15 m. Setiap
hektar lahan dapat dibuat 6−10 guludan
dan 5−9 tabukan. Tabukan ditanami
padi sawah, sedangkan guludan ditanami
palawija, sayuran, dan tanaman perkebunan seperti kopi dan kelapa (Gambar 3).
Ameliorasi dan pemupukan
Produktivitas tanah sulfat masam biasanya rendah karena pH tanah rendah,
kelarutan Fe, Al, dan Mn tinggi serta
Penataan lahan
Penataan lahan dimaksudkan untuk
menciptakan kondisi lahan agar sesuai
dengan kebutuhan tanaman yang akan
dikembangkan. Penataan lahan perlu
memperhatikan hubungan antara tipo-
Gambar 3. Penampang tanah sulfat masam aktual.
Tabel 1. Penataan dan pola pemanfaatan lahan berdasarkan tipologi lahan dan tipe luapan air di lahan pasang
surut.
Tipologi lahan
Kode
SMP-1
SMP-2
SMP-3/A
SMA-1
SMA-2
SMA-3
HSM
G-1
G-2
G-3
Pemanfaatan lahan pada tipe luapan air
Tipologi
Aluvial bersulfida dangkal
Aluvial bersulfida dalam
Aluvial bersulfida sangat
dalam
Aluvial bersulfat 1
Aluvial bersulfat 2
Aluvial bersulfat 3
Aluvial bersulfida dangkal
bergambut
Gambut dangkal
Gambut sedang
Gambut dalam
A
B
Sawah
Sawah
-
Sawah
Sawah (surjan)
Sawah (surjan)
-
C
D
Sawah (tegalan, kebun)
Tegalan (kebun)
Sawah (surjan)
Sawah (surjan)
Sawah
Sawah
Sawah (surjan)
Sawah (tegalan,
kebun)
Sawah (surjan)
Sawah (surjan)
Sawah (kebun)
Sawah (tegalan)
Sawah
-
Sawah (tegalan)
Kebun (kebun)
Kebun (kebun)
Tegalan (kebun)
Kehutanan
Konservasi
Sawah (tegalan, kebun)
Sawah (tegalan, kebun)
Tegalan (kebun)
Tegalan (kebun)
SMP = sulfat masam potensial, SMA = sulfat masam aktual, HSM = histosol sulfat masam, G = gambut.
Sumber: Widjaja-Adhi (1995a).
Jurnal Litbang Pertanian, 24(1), 2005
39
ketersediaan unsur hara terutama P dan
K dan kejenuhan basa rendah (Dent
1986). Oleh karena itu, diperlukan bahan
pembenah tanah (amelioran) untuk
memperbaiki kesuburan tanah sehingga
produktivitas lahan meningkat. Bahan
amelioran yang dapat digunakan adalah
kaptan untuk meningkatkan pH dan rock
phosphate (RP) untuk memenuhi kebutuhan hara P.
Beberapa faktor yang perlu dipertimbangkan dalam menetapkan kebutuhan kapur adalah derajat pelapukan
bahan induk, kandungan liat, kandungan
bahan organik, bentuk kemasaman, pH
tanah awal, metode kebutuhan kapur, dan
waktu (Mc.Lean 1982 dalam Al-Jabri
2002). Penetapan kebutuhan kapur untuk
tanah sulfat masam dapat dilakukan
berdasarkan metode inkubasi, titrasi, dan
Aldd. Penetapan kebutuhan kapur dengan
metode inkubasi dilakukan dengan mencampurkan kapur, tanah, dan air dalam
beberapa dosis kapur selama beberapa
waktu tertentu, biasanya satu minggu
Hasil penelitian di rumah kaca dan
di lapangan menunjukkan penentuan
takaran kapur berdasarkan titrasi dan
inkubasi dapat diaplikasikan pada tanah
sulfat masam potensial bergambut di
Lamunti, Kalimantan Tengah (Suriadikarta
dan Sjamsidi 2001). Tanah sulfat masam
umumnya memiliki ketersediaan hara
P dan K rendah, namun bila bahan
organiknya tinggi maka P dan K biasanya
tinggi pula (Tabel 2).
Pada tanah sulfat masam aktual,
kadar P dan K dalam tanah sangat rendah
sehingga pemupukan P dan K sangat
diperlukan. Takaran pupuk P adalah 100
kg TSP/ha atau 125 kg SP-36/ha yang
setara dengan 200 kg RP/ha (Hartatik et
al. 1999; Supardi et al. 2000). RP yang
bermutu baik untuk tanah sulfat masam
aktual adalah RP Maroko Ground karena
mempunyai kandungan Ca yang tinggi
yaitu 27,65% dan P 2O 5 total 28,80%
(Suriadikarta dan Sjamsidi 2001). Untuk
pupuk K cukup diberikan 100 kg KCl/ha
untuk tanaman padi sawah.
sampai beberapa minggu, lalu kebutuhan
kapur ditentukan pada nilai pH tertentu.
Menurut Mc.Lean. (1982) dalam Al-Jabri
(2002), metode inkubasi memiliki kelemahan yaitu terjadi akumulasi garam
(Ca, Mg, dan K) sehubungan dengan
aktivitas mikroba sehingga takaran kapur
lebih dari yang seharusnya. Penetapan
kebutuhan kapur berdasarkan metode
titrasi dengan NaOH 0,05 N untuk
mencapai pH tertentu memerlukan kapur
lebih rendah jika dibandingkan dengan
metode inkubasi dan Aldd KCl 1 N, serta
relatif lambat sehingga tidak sesuai untuk
analisis rutin (Al-Jabri 2002). Walaupun
metode titrasi memerlukan kapur lebih
rendah, sebagian besar dari kemasaman
tanah tidak dinetralisir oleh basa, karena
reaksi antara kation-kation asam yang
dapat dititrasi berlangsung sangat lambat.
Penetapan kebutuhan kapur berdasarkan
Aldd KCl 1 N jarang digunakan karena
tingkat keracunan suatu jenis tanaman
sangat bervariasi pada tanah yang
berbeda.
Tabel 2. Sifat-sifat kimia tanah sulfat masam di Indonesia.
Lokasi
Sumatera Selatan
KA I
PI
PS-I
KA I
PII
PS-14
Tipologi
USDA
pH
C organik
(%)
P-Bray K (K O)
2
P 2O 5
(mg/100 g)
(ppm)
P HCl
25%
P 2O 5
Al dd
Kb
(%)
(%)
(mg/100 g)
Fluvaquentic
Typic
Sulfaquept
Fluvaquentic
Sulfaquept
3,40
1,20
2,20
4
1
88,20
7
3,90
5,86
31,50
17
23
71,80
41
Histic
Sulfaquept
4,10
7,53
45,70
12
68
70
16
Typic
Sulfaquept
3,50
0,89
2,20
-
-
15,42
54,95
SMP
Typic
Sulfaquent
-
4,99
10,20
80
24
1,35
68
Sumatera Selatan
Telang, Muba
SMP
Typic
Sulfaquent
4,40
4,89
32,20
5
29
4,27
61
Kalimantan Selatan
Tabung Anen
SMP
Typic
Sulfaquent
4,90
3,83
19,60
40
22
0,66
> 100
Belawang
SMA
Histic
Sulfaquept
3,40
22,93
17,20
26
104
16,83
Kalimantan Tengah
Lamunti
Ex PLG
Pulau Petak
Kalimantan Barat
Parit ampera
Sungai kakap
SMA
Klasifikasi
SMA
bergambut
SMA-2
SMP
bergambut
SMP-G
SMA
5
SMA = Sulfat masam aktual, SMP = sulfat masam potensial.
40
Jurnal Litbang Pertanian, 24(1), 2005
Tanah sulfat masam di Pulau Petak,
Kalimantan Tengah, sangat respons
terhadap pemupukan P, baik yang berasal
dari TSP maupun RP. Pemberian 135 kg
P2O5/ha, 1.000 kg kaptan/ha, 50 kg K2O/
ha, dan 120 kg N/ha dapat meningkatkan
hasil padi menjadi 2,45 t/ ha (Manuelpillai
et al. 1986), meningkat delapan kali
dibanding tanpa P dan kaptan. Pemberian
90 kg P 2O 5/ha dan kaptan 500 kg/ha
menghasilkan 2,21 t/ha, tidak berbeda
nyata dengan pemberian 135 kg P2O5/ha,
dan kaptan 1.000 kg/ha. Pemberian RP
pada tanah sulfat masam juga tidak
berbeda nyata dengan penggunaan TSP.
Hal ini disebabkan terjadinya proses
penyanggaan RP dalam media yang sangat masam, yang menghasilkan bentuk
P yang metastabil seperti dikalsium
fosfat yang tersedia untuk tanaman.
Subiksa et al. (1990) menunjukkan,
hasil padi dengan pemberian dolomit 2 t/
ha dan SP-36 200–300 kg/ha rata-rata
mencapai 4 t/ha pada tanah sulfat masam
potensial di Kecamatan Telang Kabupaten Muba, Sumatera Selatan. Pada
tanah sulfat masam potensial di Tabung
Anen, Kalimantan Selatan, hasil padi
dengan pemberian 43 kg P/ha, 52 kg K/
ha, kapur 1 t/ha dan pupuk kandang 5 t/
ha mencapai 3,24 t/ha. Pemberian kapur
didasarkan pada metode inkubasi untuk
mencapai pH 5 (Hartatik et al. 1999),
sedangkan pemupukan P berdasarkan
kebutuhan P untuk mencapai 0,02 ppm P
dalam larutan tanah.
Di Belawang, Kalimantan Selatan,
kebutuhan kapur lebih tinggi yaitu 4 t/ha
dan P optimum 100 kg P/ha dan 78 kg K/
ha. Hasil tertinggi diperoleh dari perlakuan P optimum (100 kg P/ha), 78 kg K/
ha dan 4 t kapur/ha. Di Belawang, pirit
pada tanah sulfat masam aktual telah
mengalami oksidasi sehingga Aldd tinggi
dan P tersedia rendah (Tabel 3). P alam
yang telah dicoba untuk tanah sulfat
masam dan memberikan hasil yang sama
baiknya adalah P alam Tunisia, Ciamis, P
alam Chrismast, dan P alam Aljazair. Di
Lamunti Kalimantan Tengah, pemberian
P alam yang setara dengan 150 kg P2O5 /
ha rata-rata dapat memberikan hasil 4,50 t/
ha, tetapi kalau diberikan 75 kg P2O5/ha
hasil yang diperoleh hanya 3,79 t/ha. Di
Palingkau Kalimantan Tengah, takaran
yang sama dapat memberikan hasil
masing-masing 3,70 dan 3,40 t/ha (Supardi
et al. 2000).
Hasil penelitian Konsten dan Sarwani
(1990) di Pulau Petak menunjukkan bahwa
oksidasi pirit setelah reklamasi membuat
tanah di daerah tersebut sangat masam,
dijenuhi oleh Al dengan pH 3−4. Adanya garam-garam besi bebas dan Al
menyebabkan keracunan tanaman dan
defisiensi K dan Ca sangat sering terjadi.
Kemasaman tanah aktual dari tanah
sulfat masam di Pulau Petak diduga
dengan titrasi cepat pada pH 5,50, jumlah Aldd sampai 60 mmol/g. Kemasaman
tanah aktual untuk tanah dengan pH
kurang dari 4 adalah 20 mmol/100 g yang
setara dengan keperluan kapur 15 t/ha.
Potensi kemasaman sangat tinggi dengan
kandungan pirit mencapai 8%. Selanjutnya Konsten dan Sarwani (1990)
mengemukakan bahwa untuk mengatasi
kemasaman aktual yang tinggi dapat
Tabel 3. Hasil padi dengan pemupukan dan pengapuran pada tanah sulfat
masam di Sumatera dan Kalimantan.
Lokasi
Takaran pupuk (kg/ha)
P 2O 5
K (K2O)
Kaptan
(t/ha)
Hasil
(t/ha)
Varietas
Kalimantan Selatan
Tabung Anen
Belawang
43
100
52 K
86 K
1
4
3,24
3,25
IR64
IR64
Sumatera Selatan
Telang Muba
300
60 K2O
2 *
4
IR64
135
56
50 K2O
60 K2O
1
2
2,40
2
IR64
Kalimantan Tengah
Unitalas
Lamunti
Ex PLG
dilakukan dengan drainase dangkal,
pencucian intensif tanah lapisan atas,
yang dikombinasikan dengan pemberian
kapur dan pupuk K.
Penggunaan Varietas yang
Adaptif
Tanaman yang dapat diusahakan di lahan
sulfat masam antara lain adalah padi,
palawija (jagung, kedelai, kacang tanah,
dan kacang hijau), sayuran (cabai, kacang
panjang, kubis, tomat, dan terung), buahbuahan (rambutan, nenas, pisang, jeruk,
nangka, dan semangka) dan tanaman
perkebunan kelapa dan lada (Suwarno et
al. 2000). Tanaman tersebut tumbuh baik
pada tanah sulfat masam potensial dengan sistem tata air mikro seperti saluran
drainase dan ameliorasi tanah.
Padi dan palawija
Padi sawah mempunyai daya adaptasi
yang lebih baik di lahan pasang surut
khususnya tanah sulfat masam dibandingkan pada tanah gambut dalam.
Menurut Suwarno et al. (2000), sampai
saat ini telah dilepas 11 varietas padi yang
cocok dengan lahan pasang surut (Tabel
4). Varietas yang sesuai untuk lahan sulfat
masam adalah Mahakam, Kapuas, Lematang, Sei Lilin, Banyuasin, Lalan, Batanghari, dan Dendang. Untuk tanah sulfat
masam aktual di mana kadar Al dan Fe
sangat tinggi, lebih sesuai ditanam
varietas lokal yang telah adaptif seperti
Ceko, Jalawara, Talang, Gelombang, dan
Bayur. Mengingat kesuburan tanah sulfat
masam sangat beragam maka pemupukan
perlu disesuaikan dengan hasil analisis
tanah.
Tanaman palawija umumnya ditanam di lahan pekarangan sebagai kebun
campuran dengan tanaman buah-buahan
dan sayuran. Varietas kedelai yang cocok
untuk tanah sulfat masam adalah Wilis,
Rinjani, Lokon, dan Dempo. Hasil kedelai
berkisar 1,50–2,40 t/ha, kacang tanah 3,50
t/ha, kacang hijau 1,20 t/ha, dan jagung
Arjuna 3–4 t/ha. Pada tanah sulfat masam
potensial, selain perlu dipupuk, tanaman
perlu pula diberi kapur sesuai dengan
takaran anjuran (Tabel 5).
Sayuran dan buah-buahan
* = dolomit.
Sumber: Suriadikarta et al. (1999).
Penggunaan amelioran, pengelolaan
hara terpadu, serta penggunaan benih
bermutu dengan waktu tanam yang tepat
Jurnal Litbang Pertanian, 24(1), 2005
41
Tabel 4. Varietas padi lahan pasang surut yang telah dilepas dengan
beberapa sifat keunggulannya.
Tahun
pelepasan
Umur
(hari)
IR64
1980
140
27
Pera
Barito
Mahakam
1981
1983
140
135
21
26
Pulen
Pera
Kapuas
Musi
1984
1988
127
135
23
24
Pulen
Pera
Lematang
Sei Lilin
Banyuasin
1991
1991
1997
130
120
120
27
26
22
Pera
Pera
Pulen
Lalan
1997
125
27
Pera
Batanghari
1999
125
26
Pera
Dendang
1999
125
20
Pulen
Varietas
Kadar
amilosa (%)
Tekstur
nasi
Sifat unggul
Tahan WC2, HDB,
blas, Fe
Tahan WC1 dan HDB
Tahan HDB, Fe,
salinitas
Tahan WC1, HDB, Fe
Tahan HDB, blas,
salinitas
Tahan WC1, Fe
Tahan WC1, Fe
Tahan HDB, blas, Fe,
Al
Tahan WC2, blas,
salinitas
Tahan WC2, HDB,
blas, Fe
Tahan WC2, HDB,
blas, Fe, Al
WC 1, 2, 3: wereng coklat biotipe 1, 2, dan 3; HDB: hawar daun bakteri; Fe, Al: tahan
keracunan Fe dan Al.
Sumber: Suwarno et al. (2000).
Tabel 5. Takaran pupuk untuk tanaman palawija di lahan pasang surut.
Jenis tanaman
Kedelai
Kacang tanah
Kacang hijau
Jagung
Takaran pupuk (kg/ha)
N
22,50–45
22,50
22,50–45
67,50
P 2O 5
K 2O
45
45
45–90
45–90
50
50
50–60
50
Kaptan (t/ha)
2–3
1
2
0,50–2
Sumber: Suwarno et al. (2000).
merupakan kunci keberhasilan penanaman sayuran di lahan rawa (Satsiyati et
al. 1999). Tanaman buah-buahan seperti
pisang, nangka, rambutan, dan jeruk
ditanam di pekarangan pada guludan.
Sayuran dan pisang relatif cepat memberikan kontribusi terhadap pendapatan
petani terutama pada tahun pertama
mereka tinggal di pemukiman baru. Di
lahan pekarangan lahan sulfat masam
Karang Agung Ulu, tanaman sayuran
mampu memberikan pendapatan lebih
besar daripada tanaman pangan, yaitu
65,40% untuk sayuran dan 34,60% untuk
tanaman pangan (Subiksa dan Basa 1990).
Hasil tomat varietas Ratna dan Intan
masing-masing mencapai 18,54 dan 13,40
t/ha, sedangkan petsai varietas No. 82157 sekitar 15,60 t/ha (Sutater et al. 1990).
Bawang merah varietas Ampenan dan
42
Bima juga dapat beradaptasi cukup baik
pada tanah sulfat masam dengan potensi
hasil masing-masing 6,40 dan 6,15 t umbi
kering/ha (Sutater et al. 1990). Takaran
pupuk untuk tanaman sayuran dan buahbuahan di lahan sulfat masam disajikan
pada Tabel 6.
Tanaman perkebunan
Di lahan sulfat masam Sumatera Selatan
dan Kalimantan Tengah, tanaman perkebunan yang dapat beradaptasi adalah
kopi, kelapa, dan lada.
Kelapa. Jenis kelapa yang sesuai adalah
kelapa lokal, karena memiliki daya adaptasi dan toleransi yang baik terhadap
lingkungan. Kelapa dapat ditanam secara
tumpang sari dengan kopi, palawija, dan
hortikultura atau secara monokultur pada
guludan. Di Karang Agung Ulu dan
Karang Agung Tengah, produktivitas
kelapa masing-masing berkisar 7–18 butir
dan 10–17 butir/pohon/periode petik.
Pupuk diberikan sesuai dengan umur
tanaman (Tabel 7), paling tinggi pada
umur tanaman kelapa 3 tahun.
Temu-temuan. Tanaman temu-temuan
seperti jahe, kencur, kunyit, temu lawak,
lengkuas dan bangle tumbuh baik di lahan
pasang surut. Penanamannya dapat
dilakukan secara monokultur maupun
tumpang sari dengan palawija atau tanaman tahunan yang tidak terlalu tinggi
tingkat naungannya (Pusat Penelitian
Tanah dan Agroklimat 1993; Pusat
Penelitian dan Pengembangan Tanah
dan Agroklimat 1999). Tanaman temutemuan menghendaki tanah yang gembur
dan subur, pH tanah normal dan tidak
tergenang. Oleh karena itu, upaya perbaikan tanah yang meliputi pemberian
kaptan, pemupukan, pembuatan saluran
cacing, dan penambahan lapisan gambut
akan menjamin pertumbuhan dan hasil
rimpang yang optimal.
Temu-temuan diharapkan dapat
menunjang sistem usaha tani di lahan
pasang surut. Tanaman ini dapat dimanfaatkan sebagai bumbu dan obat
tradisional baik untuk manusia maupun
ternak. Kunyit, temu lawak, jahe, dan
kencur dapat digunakan sebagai obat
reumatik dan pegel linu, lempuyang
untuk pegel linu, temu ireng dan bangle
sebagai obat cacing, serta temu giring
untuk obat panas dan batuk. Untuk
ternak, jahe dapat mencegah penyakit
tetelo (ND), dan temu lawak dapat
menekan perkembangan bakteri pada
kotoran ternak sehingga mengurangi
bau limbah.
Hasil tanaman temu-temuan di lahan
sulfat masam cukup baik. Di Karang
Agung Ulu (Pusat Penelitian Tanah dan
Agroklimat 1993), hasil jahe merah dengan pemupukan 45 kg N + 36 kg P2O5 +
50 kg K2O + 200 kg kapur + 1,50 t gambut/
ha berkisar 15,50–23,60 t/ha, sedangkan
untuk jahe putih kecil atau emprit 4,90–
8,50 t/ha dan jahe putih besar varietas
Gajah 4,50–5,90 t/ha. Di Kalimantan
Tengah, hasil jahe putih kecil juga cukup
baik, berkisar 14−20 t/ha. Untuk kencur,
hasil di Karang Agung Ulu mencapai
11,20–20,10 t/ha, dan di Kalimantan
Tengah 200−300 g/rumpun.
Jurnal Litbang Pertanian, 24(1), 2005
Tabel 6. Takaran pupuk dan kapur untuk tanaman sayuran dan buah-buahan di lahan sulfat masam.
Komoditas
(varietas)
Urea
Takaran pupuk (kg/ha)
TSP
KCl
NPK
Bahan
organik
(t/ha)
Tomat
Ratna
Intan
200
200
200
200
100
100
50−75
50−75
5 (pukan)
5 (pukan)
Bawang merah
(Bisma, Brebes,
Ampenan)
200
200
150
0
Petsai
Asveg 82-156
SangiheTalaud
200
200
150
200
200
Kubis
200
Cabai kriting
Pisang
Ambon
Mas
Rajanangka
Rajasere
Kapur
(t/ha)
Hasil (t/ha)
1−1,50
1−1,50
18,54
13,48
10−15 (pukan
sapi)
1,80
5−6,50
0
5
1−2
8,70−15,60
150
0
5−10
(gambut)
200
100
50
5
1−1,50
12−14
250
300
100
0
10
1−1,50
3,50−4,50
600
400
160
0
25
500
3
Residu MT-2: 21,40
14,20 kg/tandan
8,30 kg/tandan
12 kg/tandan
7,80 kg/tandan
Sumber: Suriadikarta et al. (1999).
Tabel 7. Takaran pupuk tanaman kelapa Dalam Riau pada berbagai umur
di lahan sulfat masam.
Takaran pupuk (g/pohon)
Umur
tanaman
Urea
SP-36
KCl
Kieserit
Kapur
1 bulan
100
100
100
50
1.500
1 tahun
6 bulan ke-I
6 bulan ke-II
200
200
250
250
300
300
100
100
2 tahun
6 bulan ke-I
6 bulan ke-II
350
350
0
600
450
450
150
150
3 tahun
6 bulan ke-I
6 bulan ke-II
500
500
0
800
600
600
200
200
BO = Memanfaatkan sisa-sisa tanaman dan gambut. Dicampur dalam lubang tanam dengan
perbandingan tanah : BO = 1:1, Pengapuran pada tahun ke-4 bila perlu diberikan 2−3 kg/
pohon bersama-sama pemberian pupuk, Produksi = 80−110 butir/tahun/pohon.
Sumber: Suriadikarta et al. (1999).
Lada. Lada varietas Petaling I, Petaling
II, dan Lampung Daun Kecil dapat
tumbuh dan beradaptasi baik di lahan
potensial maupun sulfat masam aktual
Karang Agung Ulu. Pada lahan potensial,
pengapuran dengan takaran 2−3 kg/
tanaman dapat meningkatkan produksi
Jurnal Litbang Pertanian, 24(1), 2005
buah sampai panen ketiga (panen
pertama sekitar 3 tahun) (Tabel 8).
Pembuatan saluran cacing di kanan
dan di kiri tanaman memberikan hasil
tertinggi yaitu 140, 300, dan 230 g/pohon
masing-masing pada panen pertama,
kedua, dan ketiga. Saluran cacing dapat
memperbaiki drainase sehingga kelembapan tanah sesuai bagi tanaman lada.
Karena lada memerlukan bahan organik
tinggi, maka pengembangannya di
lahan bergambut tipis lebih sesuai
untuk tanaman produktif. Pemupukan
tiga kali setahun dengan interval 4
bulan sekali dengan takaran 512 g
urea + 880 g TSP + 600 g KCl + 60 g
kiserit/pohon memberikan hasil tertinggi yaitu 1,22 kg/pohon (Pusat
Penelitian Tanah dan Agroklimat 1993).
Tiang panjat seperti lamtoro gung
(Leucaena sp.) dan waru-waruan dengan
pemangkasan empat kali setahun mampu
mendukung pertumbuhan tanaman yang
optimal.
Perikanan
Penelitian ikan sebagai komponen sistem
usaha tani di lahan pasang surut dan rawa
dilakukan sejak 1985 di lahan rawa
Kertamulia Patratani, rawa banjiran di
Lubuk Lampan, lahan pasang surut di tepi
sungai Musi Mariana, lahan potensial di
Karang Agung Ulu, lahan sulfat masam
salin di Delta Upang dan lahan lebak di
Kayu Agung Sumatera Selatan, serta di
lahan pasang surut dan sulfat masam Parit
Keladi dan Palingkau, Kalimantan. Sistem
43
Tabel 8. Produktivitas tanaman perkebunan pada lahan sulfat masam
Sumatera Selatan dan Kalimantan.
Tipologi lahan
Komoditas
Sulfat masam
Lada
Jahe merah
Kelapa
Potensi hasil
1,22 kg/tanaman
23,60 t/ha
4–10 butir/pohon
7–11 butir/pohon
7 butir/pohon
Lokasi
Karang Agung Ulu
Karang Agung Ulu
Karang Agung Ulu
(Sumatera Selatan)
Tarantang (Kalimantan
Selatan)
Parit Keladi (Kalimantan
Barat)
Sulfat masam
potensial
Kelapa
10 butir/pohon
Lambur II (Jambi)
Rasau Jaya (Kalimantan
Barat)
Pinrang Luar (Kalimantan
Barat)
Bergambut
Kelapa
8−12 butir/pohon
6−15 butir/pohon
Pinrang Luar
Karang Agung Ulu
7−11 butir/pohon
Jahe kecil
0,70−11 kg/tanaman
Kencur
0,20−0,30 kg/tanaman
Sakalagun (Kalimantan
Selatan)
Lamunti (Kalimantan
Tengah)
Lamunti, Dadahup
Kopi
0,40 kg/pohon/musim
Pinrang Luar
Sumber: Suriadikarta et al. (1999).
usaha tani perikanan diartikan sebagai
usaha perikanan di lahan petani (Kasryno
et al. 1989; Partohardjono 1989) yang
bertujuan untuk meningkatkan produksi,
pendapatan dan pemanfaatan sumber
daya secara optimal guna meningkatkan
kesejahteraan petani. Tujuan tersebut dapat dicapai melalui penerapan teknologi
atau paket teknologi usaha tani yang
sesuai dengan kondisi biofisik dan sosioekonomi yang ada di daerah.
Hasil ikan di lahan potensial, lahan
lebak, dan lahan pasang surut yang
mempunyai pH air relatif baik (4–5) lebih
tinggi dibandingkan dengan hasil di
lahan sulfat masam. Jumlah kapur yang
ditambahkan pada lahan potensial
berkisar 5 t/ha, sedangkan pada lahan
sulfat masam 10 t/ha. Kendala pada
pembangunan kolam di lahan pasang
surut adalah rembesan air dari pematang
dan masuknya air hujan dari tepi pematang ke dalam kolam sehingga pH air
kolam turun dari 4 menjadi < 3 sehingga
ikan mati.
Jenis ikan yang dapat dipelihara di
kolam pasang surut antara lain adalah
patin, tembakang, lele, gurami, dan nila
merah. Jenis ikan tersebut dapat ber44
adaptasi dengan perubahan pH air
kolam yang turun waktu hujan. Untuk
mengatasi penurunan pH air waktu hujan,
pembuatan kolam dilakukan sebagai
berikut: 1) lapisan atas tanah 0–10 cm
dikupas kemudian tanah kupasan ditempatkan pada lokasi yang aman, 2)
penggalian kolam dilakukan sampai
kedalaman 1–1,20 m, 3), setelah penggalian kolam selesai, dibuat galengan
bersusun seperti tangga (2−3 tangga) lalu
guludan ditutup dengan tanah lapisan
atas, 4) kolam dikapur dengan takaran 5–
10 t kaptan/ha.
Pemeliharaan ikan dapat pula dilakukan secara polikultur. Ikan nila dapat
memanfaatkan organisme plankton, sedangkan ikan patin memakan organisme
yang hidup di dasar kolam. Untuk
pemeliharaan ikan secara monokultur,
ikan diberi tambahan pakan pelet dan sisa
makanan.
KESIMPULAN DAN SARAN
Lahan sulfat masam yang merupakan
bagian dari lahan rawa pasang surut
dengan luas ± 6,70 juta ha mempunyai
potensi untuk usaha pertanian terutama
padi sawah dan perikanan. Tanah sulfat
masam mempunyai kandungan bahan
organik P tersedia maupun P potensial
yang umumnya rendah. Untuk tanah
sulfat masam dengan kadar bahan organik
sedang sampai tinggi, kadar P tersedia dan
potensial juga tinggi. Pada tanah sulfat
masam yang dipengaruhi oleh pasang
surut air laut, kadar hara K umumnya
tinggi.
Rock phosphate dapat menggantikan pupuk SP-36, dengan takaran 200 kg
RP/ha yang setara dengan 125 kg SP-36/
ha, pada tanah sulfat masam potensial.
Perbaikan tata air mikro seperti pembuatan
saluran keliling, saluran cacing, dan
drainase dangkal sangat efektif dalam
membuang bahan-bahan beracun seperti
Fe, Al, dan sulfat.
Tanaman yang sesuai di lahan sulfat
masam adalah tanaman buah-buahan
(pisang, nangka, rambutan, dan jeruk),
palawija (kedelai varietas Wilis, Lokon,
Rinjani Dempo, dan kacang hijau),
tanaman perkebunan (kelapa, lada, dan
temu-temuan), dan tanaman sayuran
(tomat varietas Intan dan Ratna, petsai
varietas No. 82-157 dan bawang merah
varietas Ampenan dan Bima).
Kendala pengembangan lahan rawa
sulfat masam adalah terbatasnya sumber
daya manusia, sarana prasarana pertanian, kelembagaan pedesaan, serta
kebijakan pemerintah yang sering
berubah-ubah dalam pengembangan
pertanian di lahan rawa pasang surut.
Untuk mengembangkan lahan rawa
pasang surut menjadi lahan pertanian
yang produktif diperlukan kebijakan
pemerintah yang mendukung upaya
tersebut, seperti subsidi benih dan pupuk, pengolahan tanah, bahan amelioran
tanah, serta pemeliharaan jaringan tata air.
DAFTAR PUSTAKA
Al-Jabri, M. 2002. Penetapan Kebutuhan Kapur
dan Pupuk Fosfat untuk Tanaman Padi
(Oryza sativa L.) pada Tanah Sulfat Masam
Aktual Belawang, Kalimantan Selatan.
Disertasi. Program Pascasarjana. Universitas
Padjadjaran, Bandung.
Andriesse, W.M. and M. Sukardi. 1990. Survey
compound introduction, objection and
outline. Workshop on Acid Sulfate Soil in
the Humid Tropics, Bogor. Indonesia. 20–
22 November. p. 10−17.
Departemen Pertanian. 1999. Sambutan Menteri
Pertanian Republik Indonesia dalam Pem-
Jurnal Litbang Pertanian, 24(1), 2005
bukaan Temu Pakar dan Lokakarya Nasional
Diseminasi dan Optimasi Pemanfaatan
Sumber Daya Lahan Rawa, Jakarta, 23−26
November 1999. hlm. 7−12.
Boyd, C.E. 1982. Water Quality Management
for Fish Pond Culture. Elsevier Sci.
Publication Co., Amsterdam.
Dent, D. 1986. Acid Sulphate Soils: A baseline
for research and development. International Institute for Land Reclamation and
Improvement Publication No. 39, Wageningen, the Netherland. p. 1−22.
Djayusman, M., S. Sastraatmaja, IG. Ismail, dan
IPG. Widjaja-Adhi. 1995. Penataan lahan
dan pengelolaan air untuk meningkatkan
produktivitas tanah sulfat masam. Pusat
Penelitian dan Pengembangan Tanaman
Pangan. hlm. 20−27.
Driessen, P.M. and M. Soepraptohardjo. 1974.
Soil for Agriculture Expansion in Indonesia.
Bulletin 1. Soil Research Institute, Bogor.
Hartatik, W., I.B. Aribawa, dan J. Sri Adiningsih.
1999. Pengelolaan hara terpadu pada lahan
sulfat masam. Prosiding Seminar Nasional
Sumberdaya Tanah, Iklim dan Pupuk, Pusat
Penelitian dan Pengembangan Tanah dan
Agroklimat, Bogor. 6−8 Desember 1999.
hlm. 205−222.
ISDP. 1997. Gelar Teknologi Pertanian Lahan
Pasang Surut Karang Agung Ulu, Sumatera
Selatan, 1997.
Kasryno, F., H. Nataatmadja, E. Pasandaran,
E.A. Rasahan, and C.G. Swensen. 1989.
Development an integrated farming system
research in Indonesia. Workshop on FSC in
Indonesia. Sukamandi, 13−16 August 1989.
Konsten, C.J.M. and M. Sarwani. 1990. Actual
and potential acidity and related chemical
characteristics of acid sulfate soil in Pulau
Petak Kalimantan. Workshop on Acid
Sulfate Soil in the Humid Tropies, 20−22
November, Bogor Indonesia. p. 30−35.
Manuelpillai, R.G., M. Damanik, and R.S.
Simatupang. 1986. Site specific soil
characteristics and the amelioration of a
sulfic Tropaquepts (acid sulfate) in Central
Kalimantan. Symposium on Lowland Development in Indonesia. Jakarta 24−31 August
1986. p. 252−262.
Pusat Penelitian dan Pengembangan Tanah dan
Agroklimat. 1999. Penelitian pengembangan sistem usaha tani lahan rawa pasang
surut di kawasan PLG sejuta hektar. Kapet
DAS Kakab. Kalimantan Tengah. Pusat
Penelitian dan Pengembangan Tanah dan
Agroklimat, Bogor.
Satsiyati, M. Januwati, dan H. Supriadi. 1999.
Teknik budi daya dan potensi usaha tani
sayuran lahan rawa di Kalimantan Tengah.
Prosiding Temu Pakar dan Lokakarya
Nasional Diseminasi dan Optimasi Pemanfaatan Sumber Daya Lahan Rawa, Jakarta
23−26 November 1999. Pusat Penelitian dan
Pengembangan Tanah dan Agroklimat. hlm.
79−93.
Subagyono, H., I.W. Suatika, dan E.E. Ananto.
1999. Penataan Lahan dan Tata Air Mikro:
Pengembangan SUP Lahan Pasang Surut,
Sumatera Selatan. Proyek Pengembangan
Sistem Usaha Pertanian (SUP) Lahan Pasang
Surut Sumatera Selatan. Badan Penelitian dan
Pengembangan Pertanian, Jakarta. hlm. 1−
5.
Subiksa, I.G.M. dan I. Basa. 1990. Kemajuan
Penelitian Sistem Usaha Tani pada Lahan
Sulfat Masam di Karang Agung Ulu, Sumatera
Selatan. Risalah Seminar Penelitian Proyek
Swamps II. Bogor, 19−21 September 1990.
Pusat Penelitian dan Pengembangan
Tanaman Pangan. hlm. 31−38.
Subiksa, I.G.M., D.A. Suriadikarta, dan IPG.
Widjaja-Adhi. 1990. Tata air dan jarak
kemalir terhadap kimia tanah dan hasil padi
sawah pada tanah sulfic Tropaquents.
Prosiding Seminar Penelitian Lahan Pasang
Surut dan Rawa Swamps-II, Palembang. 29−
31 Oktober 1990. Pusat Penelitian dan
Pengembangan Tanaman Pangan. hlm. 165−
170.
Supardi, S., D.A. Suriadikarta, dan W. Hartatik.
2000. Prospek P alam sebagai pengganti SP36 di lahan sulfat masam. Prosiding Seminar
Nasional Penelitian dan Pengembangan
Pertanian di Lahan Rawa, Cipayung 25–29
Juli 2000. Pusat Penelitian dan Pengembangan Tanah dan Agroklimat hlm. 433−
440.
Partohardjono, S. 1989. Pemantapan Program
Nasional Penelitian Sistem Usaha Tani.
Makalah Latihan Metodologi Penelitian
Usaha Tani, Sukamandi, 6−26 Februari 1989.
Pusat Penelitian dan Pengembangan Tanaman Pangan, Bogor.
Suriadikarta, D.A. dan A. Abdurachman. 1999.
Penelitian teknologi reklamasi untuk
meningkatkan produktivitas tanah sulfat
masam potensial. Prosiding Temu Pakar dan
Lokakarya Nasional Diseminasi Optimasi
Pemanfaatan Sumber Daya Lahan Rawa,
Jakarta 23–26 November 1999. Pusat
Penelitian dan Pengembangan Tanah dan
Agroklimat. hlm. 135−143.
Pusat Penelitian Tanah dan Agroklimat. 1993.
Sewindu Penelitian di Lahan Rawa. Kontribusi dan prospek pengembangan Proyek
Penelitian Pertanian Lahan Pasang Surut
dan Rawa Swamps II. Pusat Penelitian Tanah
dan Agroklimat, Bogor. hlm. 13−33.
Suriadikarta, D.A., H. Supriadi, H. Malian, Z.
Desmiyati, Suwarno, M. Januwati, dan H.K.
Anang. 1999. Kesiapan teknologi dan kendala pengembangan usaha tani lahan rawa.
Prosiding Temu Pakar dan Lokakarya
Nasional Diseminasi dan Optimasi
Jurnal Litbang Pertanian, 24(1), 2005
Pemanfaatan Sumber Daya Lahan Rawa.
Jakarta, 23−26 November 1999. Pusat
Penelitian dan Pengembangan Tanah dan
Agroklimat. hlm. 1−32.
Suriadikarta, D.A. dan G. Sjamsidi. 2001. Teknologi peningkatan produktivitas tanah
sulfat masam. Laporan akhir. Proyek Sumber
Daya Lahan Tanah dan Iklim, Pusat
Penelitian dan Pengembangan Tanah dan
Agroklimat. hlm. 6−12.
Sutater, T., Satsiyati, A.H. Permadi, dan D.
Haryadi. 1990. Daya hasil tanah di lahan
sulfat masam. Risalah Hasil Penelitian.
Proyek Swamps-II. Bogor 19–21 September
1989. Pusat Penelitian dan Pengembangan
Tanaman Pangan. hlm. 275–277.
Suwarno, T. Alihamsyah, dan I.G. Ismail. 2000.
Optimasi pemanfaatan lahan rawa pasang
surut dengan penerapan sistem usaha tani
terpadu. Prosiding Seminar Nasional Penelitian dan Pengembangan Pertanian di
Lahan Rawa. Cipayung, 25–27 Juli 2000.
Pusat Penelitian dan Pengembangan
Tanaman Pangan. hlm. 176−186.
Van Breemen, N. 1976. Genesis and solution
chemistry of acid sulfate soils in Thailand.
Center of Agricultural Publishing and
Documentation. Ph.D. Dessertation, University of Wageningen.
Widjaja-Adhi, IPG. 1986. Pengelolaan lahan
rawa pasang surut dan lebak. Jurnal Penelitian
dan Pengembangan Pertanian V(1): 1–9.
Widjaja-Adhi, IPG., K. Nugroho, D.A. Suriadikarta, dan A. Syarifudin. 1992. Sumber daya
lahan rawa: Potensi, keterbatasan dan
pemanfaatan. Risalah. PERNAS Pengembangan Pertanian di Lahan Rawa Pasang
Surut dan Lebak, Cisarua 3−4 Maret 1992.
Badan Penelitian dan Pengembangan Pertanian, Jakarta. hlm. 19−38.
Widjaja-Adhi, IP.G. 1995a. Pengelolaan tanah
dan air dalam pengembangan sumber daya
lahan rawa untuk usaha tani berkelanjutan
dan berwawasan lingkungan. Makalah disampaikan pada Pelatihan Calon Pelatih
untuk Pengembangan Pertanian di Daerah
Pasang Surut, Karang Agung Ulu, Sumatera
Selatan, 26−30 Juni 1995. Pusat Penelitian
dan Pengembangan Tanaman Pangan.
Widjaja-Adhi, IP.G. 1995b. Potensi peluang dan
kendala perluasan areal pertanian lahan rawa
di Kalimantan Tengah dan Irian Jaya. Sopeng,
7−8 November 1995. Pusat Penelitian dan
Pengembangan Tanah dan Agroklimat. hlm.
1−12.
Widjaja-Adhi. IP.G. dan T. Alihamsyah. 1998.
Pengembangan lahan pasang surut; Potensi, prospek, dan kendala serta teknologi
pengelolaannya untuk pertanian. Prosiding
Seminar Nasional dan Pertemuan Tahunan
Komda HITI, 16–17 Desember 1998. hlm.
51−72.
45
Download