bab i pendahuluan

advertisement
BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
Selama bertahun-tahun Indonesia telah menjadi rumah bagi umat Islam
dengan jumlah terbesar di seluruh dunia. Kondisi umat Islam Indonesia yang
berjumlah sangat besar dan tersebar dalam rentang geografis yang luas serta
tersusun dari berbagai suku dan budaya pada proses perkembangannya
mempengaruhi karakter Islam di Indonesia. Selain karena pemeluknya berasal
dari latar belakang yang heterogen, hal-hal lain yang banyak berpengaruh
terhadap Islam baik pada taraf pemikiran atau pun pengamalannya adalah
perubahan suasana politik, budaya dan moderenisasi yang tidak bisa dielakkan.
Secara alami kondisi tersebut membuat Islam dan umat Islam Indonesia menjadi
lentur, dalam arti lebih bisa menyesuaikan diri dengan segala dinamika
perubahan lingkungan.
Kondisi diatas pada gilirannya turut berperan dalam membentuk umat
Islam menjadi lebih beragam dalam penafsiran Islam dan dengan demikian tidak
pernah didapati satu bentuk Islam yang seragam di negeri ini. Akan tetapi untuk
memilahkan pemikiran dan gerakan Islam bukan merupakan perkara yang
mudah, hal ini dikarenakan karakter umat yang dinamis sehingga pada era yang
berbeda diperlukan pendekatan yang berbeda untuk mendeskripsikan golongangolongan yang mewarnai Islam di Indonesia. Setidaknya ada tiga era dimana
penggolongan atas pemikiran dan gerakan Islam mengalami perkembangan
sehingga diperluan penyesuaian untuk mendapatkan gambaran yang tepat.
1
Pada era sebelum kemerdekaan Indonesia hingga setidaknya tahun
1960an umat Islam Indonesia bisa dikategorikan dalam dua kategori besar yaitu
Islam Tradisionalis dan Islam Moderenis. Islam Tradisionalis mengacu pada
tradisi Islam yang masih memegang teguh penafsiran Islam dari abad ketujuh
hingga ketiga belas terutama mengikuti penafsiran empat mazhab utama1
terutama mazhab Syafi’i , seperti diutarakan oleh Zamakhsyari Dhofier ( Ali dan
Effendy, 1986: 148-149). Umumnya kaum Tradisionalis ini tinggal di pedesaan
dengan mayoritas bekerja di sektor agraris maupun nelayan. Saat itu golongan
ini mementingkan semangat asketisme dan lebih mementingkan kehidupan
ukhrawi2 sehingga acapkali kurang menganggap penting perkembangan dan
kemajuan zaman. Selain itu sikap taklid pada ulama3 sebagai pemuka agama
juga menjadi ciri khas dari golongan ini. Ulama sendiri secara historis merupakan
kelas sosial tersendiri yang memiliki otoritas menafsirkan ajaran agama. Di
Indonesia golongan ulama mulai terbentuk pada abad ke-19 seiring terjadinya
institusionalisasi ulama seiring runtuhnya kerajaan-kerajaan Islam Nusantara,
dari peran Qadi kerajaan kaum Ulama ini kemudian bertransformasi sebagai
pemimpin agama yang memiliki otoritas lembaga pendidikan Islam tradisional,
yakni pesantren. Pesanten menjadi sarana reproduksi ajaran Islam yang “standar”
bagi kaum tradisionalis dan alumninya diharapkan mendikiran pesantren dan
menjadi ulama didaerah asalnya atau didaerah lain sebagai syiar keagamaan
(Burhanuddin dalam Sukma dan Joewono, 2007: 13-16).
Dalam tradisi
keagamaan, acapkali golongan Tradisionalis dipengaruhi oleh budaya lokal
1
Empat Mazhab utama dalam tradisi Sunni: Maliki, Hanafi, Syafi’I, Hambali
Kehidupan dengan orientasi keakhiratan
3
Ulama dalam golongan Tradisionalis Indonesia memiliki beragam sebutan sesuai dimana ulama
tersebut berada, seperti Tuan Guru di NTB, Tengku di Aceh, Ajengan di Jawa Barat serta Kyai di
Jawa Tengah dan Jawa Timur
2
2
(sinkretisme) baik yang berakar pada tradisi maupun dari agama Hindu yang
hadir lebih dulu sebelum Islam mendominasi meskipun pengaruh tersebut tidak
merubah ajaran pokok Islam4 (Ali dan Effendy, 1986: 40). Organisasi massa
(ormas) Islam Nahdlatul Ulama yang merupakan ormas Islam terbesar di negeri
ini merupakan salah satu yang tergolong dalam Islam Tradisionalis saat itu.
Berbeda dengan golongan Tradisionalis yang terpaku pada empat
mazhab utama tadi, golongan Islam Moderenis menganggap pentingnya
penafsiran
kembali
pemikiran
keislaman
untuk
disesuaikan
dengan
perkembangan zaman saat itu. Pandangan ini dipengaruhi gerakan pembaruan di
Timur Tengah yang dimaksudkan memulai kembali kejayaan Islam dengan
mengemukakan pendapat bahwa Islam tidak bertentangan dengan ilmu
pengetahuan dan perkembangan zaman. Upaya ini termasuk dengan mendorong
penafsiran doktrin-doktrin Islam dengan rumusan yang bisa diterima pemikiran
moderen (Ali dan Effendy, 1986: 63). Dengan diterimanya ilmu pengetahuan
moderen maka golongan ini secara umum lebih rasional dan familiar dengan
kondisi perkembangan zaman saat itu. Pendekatan yang rasional ini jugalah yang
kemudian membuat jarak dengan kaum Tradisionalis karena sikap rasional
menolak taklid buta dan sinkretisme yang pada gilirannya mengajak untuk
menafsirkan ulang ajaran Islam dengan pendekatan yang bisa diterima pemikiran
modern, sesuatu hal yang saat itu ditentang kaum Tradisionalis. Islam Moderenis
umumnya tumbuh di perkotaan dengan mayoritas bekerja sebagai pedagang
ataupun pegawai pemerintahan. Lembaga pendidikan golongan ini mengadopsi
sistem
sekolah
moderen
dengan
4
muatan
kajian
keislaman
dalam
Ajaran pokok yang sudah bersifat tetap, umumnya tentang ritual seperti syahadat, kewajiban
sholat, puasa ramadhan, dsb
3
pembelajarannya. Muhammadiyah yang merupakan ormas Islam terbesar setelah
NU termasuk dalam golongan Islam Moderenis saat itu.
Seiring dengan kemerdekaan Indonesia dan keterlibatan umat Islam
secara aktif dalam berpolitik maka kemudian wajah Islam di Indonesia pun
kembali berubah. Kekalahan partai-partai Islam saat berhadapan dengan rezim
Orde Lama dibawah Soekarno dan kemudian rezim Orde Baru dibawah Soeharto
diera 1970an, mendorong kaum muda yang tidak puas dengan minimnya peran
Umat Islam dalam kehidupan berbangsa untuk menemukan terobosan lain.
Pemikiran baru kemudian disebgut sebagai pemikiran Neomoderenis. Bila harus
menyebut satu nama sebagai pemicu lahirnya pemikiran baru ini, maka layaklah
nama Nurcholish Madjid (Cak Nur)5 untuk dikedepankan. Tersitanya perhatian
tokoh-tokoh Islam dalam kekalahan politik membawa kebingungan pada umat,
apakah harus menerima pemerintah yang saat itu dinilai “tidak Islami” karena
tidak dipimpin maupun mengakomodasi kepentingan politik Islam (partai politik
Islam) atau menerima kenyataan dan mendukung pemerintahan yang ada.
Ditengah kebingungan inilah Cak Nur mengutarakan pentingnya pembaruan
pemikiran Islam. Melalui pidato berjudul “Keharusan Pembaruan Pemikiran
Islam dan Masalah Integrasi Umat” pada tahun 1970 (dan ditegaskan lagi pada
1972) Cak Nur melemparkan buah pikirannya yang kemudian menarik perhatian
luas dari kalangan intelektual Islam. Kondisi umat Islam yang kekurangan daya
gerak psikologis pasca kekalahan diranah politik membuat Cak Nur memandang
perlunya langkah-langkah untuk mengembalikan “tenaga” umat Islam sehingga
bisa turut berperan aktif dan mengisi posisi-posisi strategis dalam kehidupan
5
Penyebutan Cak Nur sebagai tokoh utama ini disebabkan pengaruhnya yang sangat terasa
hingga saat ini bahkan dikalangan awam, tanpa bermaskud mengecilkan peran Gus Dur, Djohan
Effendi, Ahmad Wahib dan pemikir lainnya
4
bernegara tanpa perlu secara formal melalui partai politik Islam. Pendekatan
yang mengedepankan kompromi dengan kenyataan ini juga membuat sebagian
orang menyebut pemikiran Cak Nur sebagai pemikiran realistis-akomodasionis
(Ali dan Effendy, 1986: 123). Untuk menghadirkan terobosan pemikiran Cak
Nur menganggap penting upaya liberalisasi dalam penafsiran ajaran-ajaran Islam
karena dianggap efektif untuk meninggalkan kejumudan dari pemikiran
tradisional dan konservatif, terutama yang tidak lagi relevan dengan kemajuan
zaman.
Liberalisasi ini pada gilirannya akan mendorong pada proses
sekulerisasi, kebebasan berpikir, gagasan kemajuan, inklusivisme dan sebagainya
(Aly dan Effendy, 1986: 128-129). Dengan pembaruan penafsiran ajaran Islam
diharapkan umat Islam tidak tertinggal dalam mengisi kemajuan dan turut
menikmati berkah perkembangan dan kemajuan zaman.
Selain Cak Nur, kalangan yang tergolong Neomoderenis dengan
pengaruh yang sangat besar adalah Abdurrachman Wahid (Gus Dur).
Pada
tataran ide kedua tokoh ini terdapat banyak kemiripan, terutama dalam hal
mementingkan substansi keislaman daripada bentuk-bentuk formal terutama
dalam kaitannya dengan kehidupan bermasyarakat. Pemikiran Gus Dur dan Cak
Nur kemudian juga seiring disebut sebagai Islam Substansialistik. Perbedaan
latar belakang antara kedua tokoh ini kemudian menciptakan sedikit perbedaan
dalam pendekatan mereka dalam menyebarkan gagasannya pada khalayak ramai.
Cak Nur meski secara kultural terlahir dalam keluarga NU yang tradisionalis
tetapi secara akademis merupakan bagian dari Masyumi 6 yang lebih moderenis,
sehingga pendekatannya acapkali bersifat akademis dan lebih banyak didengar
6
Majelis Syuro Muslimin Indonesia, salah satu partai politik terbesar pada pemilu pertama 1955
yang merupakan gabungan unsur Islam Tradisionalis dan Moderenis sebelum NU kemudain
keluar diakrenakan merasa kurang terwakili identitas tradisionalisnya
5
oleh kalangan intelektual dan dibicarakan di kampus-kampus perguruan tinggi.
Sedangkan Gus Dur yang merupakan cucu K.H. Hasyim Asy’ari tumbuh dalam
keluarga NU. Meski menguasai ilmu-ilmu sosial dan filsafat barat akan tetapi
modal sosial Gus Dur sebagai pemimpin yang dihormati dikalangan Nahdliyin7
membuat pemikirannya paling tidak juga didengar oleh mereka yang tidak
tergolong kaum intelektual ataupun berkesempatan mengenyam pendidikan
tinggi. Latar belakang yang dekat dengan tradisi membuat penyampaian
pemikiran Gus Dur bisa “nyambung” dengan akar-akar psikologis masyarakat
bawah sehingga kadang pemikiran Gus Dur juga disebut sebagai Islam Pribumi,
selain itu ironisnya posisi Gus Dur sebagai “Kyai” membuat apa yang
disampaikannya lebih diterima tanpa kecurigaan dari masyarakat bawah, hal ini
yang tidak dimiliki Cak Nur saat itu. Selain Cak Nur dan Gus Dur masih ada
nama-nama lain yang berpengaruh besar saat itu seperti Johan Effendi, Ahmad
Wahib dan Ahmad Syafii Ma’arif.
Dari sumbangsih pemikir-pemikir era 1970an ini lah kemudian umat
Islam tidak ragu lagi untuk turut berpartisipasi dalam kehidupan bernegara tanpa
perlu secara formal terwakili dalam partai Islam. Hasilnya pada dekade-dekade
selanjutnya muncul banyak pemikir-pemikir Islam yang lahir dikarenakan lebih
mudahnya akses pendidikan melalui kampus-kampus perguruan tinggi negeri
yang sekuler maupun perguruan tinggi Islam. Sementara itu golongan Islam
yang masih berkeras untuk berpolitik secara formal harus mati suri diakarenakan
rezim Orde baru yang represif terutama pada ideologi Komunis (ekstrim kiri) dan
ideologi Islamis (ekstrim kanan).
7
Sebutan untuk pengikut NU
6
Pada era 1980an hingga akhir 1990an dimana Orde Baru runtuh, banyak
aliran pemikiran Islam yang lahir dan menyumbang ide-ide dalam kemajuan
keislaman umat.
Diantara pemikiran-pemikiran Islam yang menyemarakkan
tersebut adalah pemikiran Islam akomodatif-realis oleh Jalaluddin Rakhmat dan
Taufik Abdullah yang sebagian jamaahnya disebut Syiah dan aktif melalui
Golkar
dan
PPP,
Islam
transformatif-sosial
humanis
oleh
Moeslim
Abdurrachman, Dawan Rahardjo dan Adi Sasono yang banyak melakukan
pemberdayaan masyarakat melalui LSM, serta Islam Profetik oleh Koentowijoyo
yang berupaya menemukan ide-ide ilmu sosial barat yang memiliki nilai-nilai
keislaman (Qodir, 2006: 27-28).
Reformasi 1998 yang menumbangkan Orde Baru mengantar Indonesia
memasuki era demokrasi dan keterbukaan dimana tidak ada lagi represi atas
pemikiran dan politik oleh penguasa, termasuk dalam pemikiran dan politik
Islam. Euforia kebebasan ini kembali membawa perubahan pada peta pemikiran
keislaman, terutama saat kubu-kubu yang bertentangan berupaya menarik
mayoritas Islam Indonesia yang moderat pada kutub-kutub ekstrim yakni Islam
Liberal dan Islam Fundamentalis (Revivalis)8. Meski secara historis akar kedua
pemikiran tersebut bisa dijumpai dalam sejarah Islam Indonesia namun tetap saja
kehadiran keduanya membawa dinamika baru dalam umat Islam dan masyarakat
umumnya.
Islam Fundamentalis yang muncul pasca reformasi di Indonesia hadir
dalam berbagai jenisnya dan tidak tunggal. Meski terdapat banyak variannya
8
Istilah Fundamentalis dan Revivalis ini sering dipertukarkan dan memang berada pada kubu
yang sama, walau kemudian neo-fundamentalis menekankan pelaksanaan syariat Islam selain
purifikasi ajaran Islam
7
namun gerakan ini mengambil Wahabisme9 sebagai prototipenya (Kurzman,
2001: xvi). Beberapa varian gerakan ini bisa disebut Salafi (berarti “dahulu”)
yang menganggap jaman Nabi sebagai era terbaik dan harus dihadirkan lagi,
penafsirannya atas ajaran Islam bersifat literal, baik Salafi damai yang menolak
cara-cara kekerasan maupun Salafi radikal yang menghalalkan kekerasan dalam
memaksakan penafsirannya.
Ada pula kelompok neo-fundamentalis yang
berpandangan perlunya penerapat syariat Islam tetapi kelompok ini tidak
memandang pelunya negara Islam ataupun khilafah10. Kelompok lain adalah
kelompok Islamis yang melihat Islam selain sebagai agama juga sebagai Ideologi
yang harus diterapkan dalam kehidupan masa kini. Sedangkan Neo-salafi serupa
dengan salafi akan tetapi menambahkan kewajiban berjihad untuk membela kaum
muslim. Selain itu kelompok yang secara ajaran merupakan sintetis dari gerakangerakan pemikiran diatas juga bermunculan (Jahroni dalan Sukma dan Joewono,
2007: 113-126). Hal ini menimbulkan permasalahan lebih lanjut dalam
pendefinisian dikarenakan bercampurnya ciri masing-masing. Oleh karenanya
dalam tulisan ini akan digunakan istilah Islam Fundamental untuk merujuk pada
golongan pemikiran Islam diatas.
Disisi lain kutub ekstrim pemikiran Islam terdapat Islam Liberal yang
pada prinsipnya mendorong apa yang dimaksud dengan kontekstualisasi ajaran
Islam dengan kondisi kenyataan yang dihadapi masyarakat.
Mendefinisikan
Islam Liberal juga bukan perkara mudah dikarenakan maknanya pada konteks
keindonesiaan saat ini sudah berkembang dari makna awal misal seperti yang
9
Aliran puritan yang didirikan Muhamamd ibn Abdul Wahhab yang hanya menerima pembacaan
literal atas teks keagamaan, kemudian bekerjasama dengan keluarga Saud dalam mendirikan
Arab Saudi saat ini
10
Pemikiran yang tidak saja mengkampanyekan perlunya negara Islam namun juga bersatunya
Islam diseluruh dunia dalam satu pemerintahan (pan-Islamisme)
8
digunakan dalam buku Charles Kurrzman yang diterjemahkan dengan judul
“Wacana Islam Liberal: Pemikiran Islam Kontemporer tentang Isu-Isu Global”
dalam bahasa Indonesia11. Dalam buku tersebut Islam Liberal (Liberal Islam)
merupakan salah satu tradisi Islam disamping Islam Adat (Customary Islam) dan
Islam Revivalis (Revivalist Islam). Islam Adat yang dianggap sudah tercemar
oleh praktek keagamaan lokal dan sikap taklid terhadap ajaran ulama yang
dihormati tanpa rasionalitas kemudian melahirkan Islam Revivalis dan Liberal
yang berusaha menafsirkan kembali Islam langsung dari sumber utamanya yakni
Al-Qur’an dan Al-Hadits. Akan tetapi perbedaan hasil penafsiran ini melahirkan
dua tradisi yang bertentangan, tradisi Revivalis berupaya menafsirkan sesuai apa
yang tertulis dalam teks keagamaan dan menganggap penafsiran tersebut sesuai
dengan jaman dimana Nabi hidup sedangkan tradisi Liberal menafsirkan Islam
untuk beradaptasi dengan kondisi kemoderenan dan kemajuan jaman sehingga
umat Islam turut menikmati manfaat kemajuan tersebut (Kurzman, 2001: xiixviii).
Islam Liberal yang kembali muncul pasca reformasi 1998 secara khusus
sebagai kritik atas bangkitnya fundamentalisme Islam
dan juga untuk
menyebarkan pemahaman Islam yang lebih rasional, kontekstual, humanis dan
pluralis (Abdalla, 2009: 1). Islam liberal menekankan perlunya tradisi kritis dan
dekonstruksi atas pemikiran lama dan berusaha memahami Islam bukan sebagai
barang sekali jadi tetapi harus menilik konsteks sosial dan sejarahnya. Maka
Islam harus didipahami secara moderen dan mengutamakan rasio. Islam harus
dipahami secara kontekstual, progresif dan emansipatoris sehingga bisa
berkembang dan bukan justru mengalami kemunduran (Qodir, 2007: 37-38).
11
Judul asli “ Liberal Islam: a Source Book”
9
Pada prakteknya unsur
kontekstualisasi dalam pemahaman ajaran Islam di
Indonesia justru tidak lagi menempatkan Islam liberal pada posisi yang
berseberangan dengan Islam Adat (yg sedikit banyak mengandung sinkretisme)
sebagaimana terjadi pada awal kemunculannya. Hal ini dikarenakan perpaduan
dengan budaya setempat selama tidak mengubah substansinya merupakan bagian
dari memahami ajaran Islam dalam konteks dimana Islam tersebut diamalkan.
Bahkan banyak pegiat Islam liberal justru dari mereka yang secara kultural
adalah jamaah NU yang merupakan ormas Islam terbesar Indonesia yang
bercorak Islam Tradisional (Adat) dalam tradisi keagamaannya.
Pemikiran Islam liberal ini awalnya seperti mengikuti apa yang terjadi
dengan gagasan Nucholish Madjid yaitu mendapat sorotan luas di lembagalembaga pendidikan tinggi dan kaum intelektual. Hal ini sangat wajar mengingat
tema-tema yang dibicarakan dalam kajiannya acapkali sangat kontemporer
sehingga memang hanya kalangan tertentu yang bisa mengikuti. Tema-tema
seputar sekulerisasi, pluralisme, demokrasi, hak-hak minoritas, kesetaraan
gender, hak asasi manusia merupakan tema yang untuk memahaminya diperlukan
tingkat pendidikan atau intelektualitas tertentu. Keadaan ini lalu menjadi kritik
atas gerakan pemikiran Islam liberal yang kemudian sering disebut sebagai
gerakan elitis dan tidak menyentuh sektor-sektor riil kehidupan umat Islam
terutama mereka yang berada pada kalangan akar rumput yang sejatinya adalah
unsur terbesar dari umat Islam negeri ini.
Mengingat kondisi secara umum dari pemikiran Islam liberal yang
cenderung bersifat elitis dan berpusat di kota-kota besar dimana pendidikan lebih
maju maka kemudian menjadi menarik saat ada seseorang atau institusi yang
berusaha memperkenalkan wacana Islam liberal kepada kelompok masyarakat
10
pedesaan yang bukan merupakan wilayah yang sejahtera secara ekonomi dan
tingkat pendidikan masyarakatnya pun tidak termasuk tinggi. Oleh karenanya
ketika Pondok Pesantren Al-Mizan yang baru berdiri secara formal pada tahun
1999 berusaha memperkenalkan pemikiran Islam liberal di Desa Ciborelang yang
jauh dari ingar-bingar dan kemajuan kota besar maka kemudian menarik untuk
dikaji lebih lanjut, Islam liberal seperti apa yang muncul disana dan bagaimana
bentuk pengamalannya dalam kenyataannya.
Al-Mizan sebelum berdiri secara formal pada tahun 1999, diawali dengan
mendirikan masjid dan Madrasah Diniyah (MD) lalu bertambah dengan Taman
Kanak-Kanak Al-Qur’an (TKA) dan Taman Pengajian Al-Qur’an (TPA) sejak
tahun 1992. Mulai tahun 1995 ditempat yang sama diselenggarakan majelis
ta’lim untuk ibu-ibu disekitar, sholat jum’at dan pengajian untuk santri kalong12.
Pengasuh Al-Mizan adalah seorang kyai muda dari Nahdlatul Ulama yakni Kyai
Haji Maman Imanulhaq (Kang Maman) dan Kyai Haji Ahmad Fauzi. Ketika
berdiri pada 1999 santri pertamanya berjumlah lima puluh orang13.
Pesantren Al-Mizan secara langsung menyebutkan pandangan pesantren
yang maju mengenai isu-isu keislaman kontemporer, bahkan nama Al-Mizan
sendiri sengaja dipilih untuk menggambarkan corak keislaman yang ingin
didakwahkan, seperti berikut:
“Al-MIZAN—yang diambil dari salah satu nama Al-Qur’an mempunyai
arti: timbangan, keadilan atau keseimbangan (QS.55:7), direfleksikan sebagai
ikhtiar dalam membangun tradisi keilmuan dengan meletakkan pengetahuan
agama sebagai mainstream serta menyusun strategi budaya yang adilihung.
Sehingga kreativitas dalam budaya dan tradisi masyarakat mampu menjadi
12
Santri Kalong berarti pengajian tersebut hanya menyediakan kelas mengaji tanpa asrama
sehingga santri akan pulang kerumah masing-masing selepas pengajian. Tentunya juga tidak
berbentuk pendidikan formal
13
http://www.pstalmizan.org/index.php?option=com_content&view=article&id=5&Itemid=20
11
kekuatan untuk mencerdaskan dan memberdayakan masyarakat dalam melakukan
perubahan (change) yang ada dalam struktur masyarakat yang pluralisme
(beragam), dengan mengusung gagasan-gagasan strategis, yaitu: 1)
mempertemukan sejumlah pemikiran kritis yang emansipatoris dan eksploratif,
2) merekonstruksi nilai-nilai keberagamaan dan keberimanan dalam konteks yang
lebih luas dan majemuk, dan 3) menjalin kerja sama yang sinergis antar
komponen masyarakat dengan semangat saling mencintai, menghargai dan
menguntungkan (simbiosis mutualisme)”14
Dari penjelasan diatas paling tidak bisa didapat gambaran bahwa AlMizan mendukung hal-hal seperti pluralisme, berpikir kritis, emansiaptoris dan
eksploratif, rekonstruksi nilai keberagamaan, kemajemukan dan kedamaian. Halhal tersebut menurut hemat penulis kurang dikenal oleh masyarakat Islam di
pedesaan. Bahkan keberadaan Al-Mizan dan upayanya menyebarkan gagasan
Islam liberal di pada masyarakat pedesaan merupakan barang langka yang tidak
bisa dijumpai dibanyak tempat. Oleh karenanya menarik untuk dikaji sejauh man
ide-ide dari pemikiran Islam liberal bisa disebarkan pada tataran akar rumput
serta seperti apa pengaruh upaya penyebaran gagasan Islam liberal tadi bagi
masyarakat sebagai audiensnya.
B. Rumusan Masalah
Islam liberal umumnya hadir dan berkembang pada masyarakat
perkotaan dengan segala kondisi dan kemudahan akses informasinya. Tingkat
pendidikan yang lebih tinggi, pola pikir yang lebih terbuka, akses informasi yang
lebih mudah dan anggota masyarakat yang lebih majemuk memudahkan Islam
liberal untuk berkembang atau paling tidak didiskusikan. Ketika kemudian ide
Islam liberal muncul dan disebarkan dalam kondisi masyarakat yang bertolak
belakang dari itu maka tentunya akan menghadirkan perbedaan-perbedaan baik
14
http://www.pstalmizan.org/index.php?option=com_content&view=article&id=5&Itemid=20
12
dalam upaya penyebarannya maupun pengaruhnya bagi masyarakat sekitar yang
menarik untuk dikaji lebih lanjut.
Studi ini bertujuan untuk mengetahui bagaimana gagasan Islam liberal
muncul, disebarkan dan pengaruhnya di lingkungan pedesaan dengan segala
keterbatasannya. Maka rumusan masalah yang dipilih untuk dikaji lebih lanjut
adalah:
“Apa latar belakang munculnya pemikiran Islam liberal yang dibawa
Pesantren
Al-Mizan,
bagaimana
pemikiran
tersebut
disampaikan
serta
pengaruhnya bagi masyarakat sekitar?”
C. Tujuan Penelitian
Tujuan penelitian ini adalah sebagai berikut:
1. Mengetahui lebih lanjut awal kemunculan pemikiran Islam liberal di
Pesantren Al-Mizan di Desa Ciborelang
2. Mengkaji bagaimana pemikiran tersebut diperkenalkan pada
masyarakat dan bagaimana pengaruhnya bagi masyarakat sebagai
audiens
D. Kerangka Teoritik
Studi ini ingin mengkaji bagaimana latar belakang yang mempengaruhi
lahirnya suatu gagasan. Oleh karena itu diperlukan pendekatan yang mampu
menjelaskan bagaimana interaksi antara latar belakang tersebut dengan
kemunculan suatu gagasan, serta bagaimana gagasan mengalami proses daur
ulang sesuai dengan perubahan situasi dalam dunia nyata.
13
Fokus pada masalah gagasan liberalisme di Indonesia mengharuskan
penggunaan analisis yang menjelaskan bagaimana ide tersebut muncul. Dengan
pertimbangan-pertimbangan diatas kemudian kerangka analisis yang dirasa tepat
untuk menelaah permasalahan dalam studi ini adalah sebagai berikut :
D.1. Sosiologi Pengetahuan
Sosiologi
pengetahuan
merupakan
cabang
dari
sosiologi
yang
mengkhususkan pada pengkajian hubungan antara latar belakang sosial dan
sejarah dengan kemunculan gagasan dalam masyarakat dengan asumsi bahwa
gagasan tidak lahir bagitu saja namun merupakan kristalisasi dari upaya
menghadapi dan menjelaskan permasalahan dalam kehidupan nyata. Dalam buku
Ideologi dan Utopia (Mannheim, 1991: 287) dikatakan :
“Sebagai teori, cabang ini berusaha menganalisa kaitan antara
pengetahuan dan kehidupan; sebagai riset sosiologis-historis, cabang ini berupaya
menelusuri bentuk-bentuk yang diambil oleh kaitan itu dalam perkembangan
intelektual manusia.”
Sosiologi Pengetahuan merupakan pengembangan dari Teori Ideologi
dari Karl Marx, namun menjadi semakin berbeda pada perkembangannya. Bila
Teori Ideologi memfokuskan pada penyingkapan ideologi sebagai sebuah distorsi
dan maksud-maksud tersembunyi pada suatu gagasan yang mewakili kepentingan
kelas sosial dan terutama sebagai usaha kelas penguasa untuk memanipulasi
kesadaran, maka Sosiologi Pengetahuan menganggap ideologi sebagai sesuatu
yang netral, bisa muncul dari semua sektor sosial (bukan hanya kelas penguasa),
hal ini dikarenakan gagasan akan muncul sesuai dengan situasi dan kondisi
dimana dia muncul dan oleh karena itu distorsi (dari sudut pandang orang luar)
sebagai ciri ideologi tak terhindarkan (Mannheim, 1991: 288-299). Lebih jauh,
bila dalam Teori Ideologi kemunculan gagasan adalah sesuai dengan kelas sosial
14
maka dalam Sosiologi Pengetahuan kelas sosial bukan merupakan satu-satunya
sumber lahirnya gagasan, meski diakui kelas sosial merupakan sumber paling
utama dan signifikan, namun masih ada sumber-sumber gagasan lainnya semisal
generasi, sekte, kelompok profesi dan mazhab pemikiran (Ritzer, 2004: 331).
Bila ditarik keawal, tujuan utama Sosiologi Pengetahuan adalah membuat
suatu metode yang tepat untuk menjelaskan jenis gagasan dan pemikiran serta
perubahannya, dengan melihat permasalahan yang berhubungan dengan gagasan
dan pemikiran itu akan diusahakan bagaimana memahami ciri khas suatu
pemikiran secara kritis.
Keyakinan awal dari Sosiologi Pengetahuan adalah
bahwa ada gagasan dan pemikiran yang tidak bisa dipahami secara tepat selama
tidak dipahami secara baik latar belakang sosial dan sejarahnya (Mannheim,
1991: 290-303).
Selanjutnya Mannheim dalam Ideologi dan Utopia menjelaskan dua
bentuk Sosiologi Pengetahuan sebagi sebuah Teori sebagai berikut:
Pertama Sosiologi Pengetahun adalah suatu penyelidikan yang empiris
murni lewat pemaparan dan analisis struktural tentang cara-cara hubunganhubungan sosial dalam kenyataan memepengaruhi pemikiran.
Kedua, penyelidikan empiris murni ini lalu menjadi sebuah penelitian
epistemologis yang memusatkan pemikiran ini pada masalah kesahihan.
Perlu ditekankan bahwa kedua jenis penelitian diatas tidak harus
berhubungan, dan orang dapat menerima hasil-hasil empiris tanpa menarik
kesimpulan-kesimpulan epistemoligis (Mannheim, 1991: 290).
Dalam penelitian ini hanya akan mengambil bentuk pertama dari
Sosiologi Pengetahuan, oleh karenanya hanya akan menekankan pada bagaimana
proses munculnya gagasan liberalism Islam melalui Pesantren Al Mizan di Desa
15
Ciborelang merupakan suatu hasil dari proses sosial dan bukan suatu yang
muncul tiba-tiba.
D.2. Inteligensia
Pendekatan fungsi dan peran inteligensia menjadi penting dalam studi ini
dikarenakan beberapa hal. Pertama, yang ingin dikaji adalah mengenai gagasan
sehingga sudah sewajarnya untuk membahas mengenai pihak yang menelurkan
gagasan itu. Kedua, melihat tradisi pesantren yang sangat dipengaruhi oleh tokoh
“kyai” maka sangat wajar pendekatan ini dipilih dengan meyakini bahwa posisi
kyai inilah yang kemungkinan besar menempati posisi inteligensia di masyarakat,
terutama dalam hal-hal terkait pengetahuan keagamaan.
Kajian dari Mannheim yang digunakan dalam studi ini pada dasarnya
adalah mengenai pendapatnya tentang adanya strata masyarakat tertentu yang
menghasilkan gagasan dan penjelasan tentang dunia, atau apa yang sedang
terjadi.
Mannheim menggunakan terminologi “inteligensia” (dalam bahasa
Inggris “intelligentsia”), dan dijelaskannya sebagai berikut “social group whose
special task it is to provide an interpretation of the world for that society”
(Ritzer, 2004: 337) atau dengan kata lain suatu strata sosial yang berkemampuan
dan bertugas untuk menyediakan penjelasan atas fenomena didunia untuk
kebutuhan masyarakat. Pada bentuk masyarakat lama yang statis dan kaku kaum
inteligensia ini hanya tertarik lebih pada kebutuhan mereka sendiri untuk
membuat sistematisasi ide, namun belakangan seiring perubahan kondisi sosial
masyarakat menuju masyarakat modern sifat inteligensia yang seperti ini
digantikan dengan “inteligensia bebas” (unattached (or free) intelligentsia) yang
berasal dari berbagai kalangan sosial dan tidak selalu terikat pada suatu bentuk
16
organisasi tertentu dan kemudian mengembangkan gagasan-gagasan yang muncul
sebagai upaya mencari jalan keluar dari permasalahan dalam kehidupan.
Inteligensia yang datang dari berbagai kalangan ini, kemudian menjadikan dunia
gagasan sebagai wilayah kompetisi, hasilnya adalah tersedianya bermacammacam gagasan-gagasan yang menjelaskan dunia. Banyaknya gagasan yang ada
perlahan
mempengaruhi
masyarakat
untuk
mencoba
memahami
suatu
permasalahan tidak hanya melalui satu sudut pandang saja, sehingga upaya
mencari kebenaran dapat melewati keterbatasan-keterbatasan masing-masing
gagasan (Ritzer, 2004: 337-338).
D.2.1. Inteligensia dan Intelektual
Untuk menghindari tumpang tindih antara istilah “inteligensia”
dangan “intelektual” dalam konteks Islam Indonesia penulis mencoba
menggunakan pendekatan yang dikutip dari paparan Yudi Latif (2005: 138) sebagai berikut:
Inteligensia
Merujuk pada sebuah strata sosial dan mengindikasikan suatu
“respon kolektif” dari identitas kolektif tetentu, sebagai refleksi dari
kesamaan kriteria pendidikan, psiko-sosiografis, sistem nilai, habitus dan
ingatan kolektif yang sama.
Intelektual
17
Pada awalnya merujuk pada “individualitas” dari para pemikir
dan mengindikasikan respon bersama atas sebuah “panggilan” historis
atau fugsi sosial tertentu.
D.2.2. Inteligensia Muslim
Salah satu frasa penting yang digunakan dalam kajian ini adalah
“Inteligensia Muslim”, oleh karenanya dirasa perlu untuk memberi
definisi yang sesuai dengan frasa tersebut.
Inteligensia, seperti sudah dibahas sebelumnya memiliki arti
suatu strata sosial yang berkemampuan dan bertugas memberi penjelasan
atas fenomena didunia untuk kebutuhan masyarakat. Dalam frasa
“Inteligensia Muslim” , kata “Muslim” perlu diberi penekanan sebagai
kata yang menerangkan kata “Inteligensia” didepannya, sehingga akan
menjadi jelas apa yang dimaksud dengan “Muslim” dan kemudian
menerangkan arti “Inteligensia Muslim”.
Untuk itu penulis ingin
meminjam definisi yang digunakan Yudi Latif dalam “Inteligensia
Muslim dan Kuasa” sebagai berikut :
““Muslim” disini merupakan sebuah penanda (signifier) dari
tradisi-tradisi politik dan intelektual yang berorientasi Islam yang
terkonstruksikan lewat praktik-praktik diskursif dalam suatu momen
historis tertentu dalam sejarah Indonesia. “Orientasi Islam”, merujuk
pada keterikatan tradisi-tradisi politik dan intelektual ini dengan ideologiideologi dan/atau kolektivitas-kolektivitas Islam” (Latif, 2005: 11)
Dengan definisi tersebut Yudi Latif menambahkan makna bahwa
yang termasuk Inteligensia Muslim belum tentu taat dalam menjalankan
agamanya, dan sebaliknya mereka yang bukan termasuk golongan
tersebut bukan berarti tidak taat dalam menjalankan agamanya. Dengan
18
kata lain istilah “Muslim” disini tidak ada kaitannya dengan kadar
kesalehan seseorang namun lebih sebagai “penanda dari tradisi-tradisi
politik dan intelektual…” (Latif, 2005: 11)
D.2.3. Generasi
Dalam
kaitannya
dengan
perubahan
lingkungan
sosial,
Mannheim juga menyebut tentang dan menekankan faktor “generation”
(generasi) yang memiliki pengaruh besar dalam memunculkan perbedaan
gagasan, disamping strata sosial yang merupakat faktor terkuat yang ada..
Hal ini dikarenakan generasi, mempunyai dimensi yang berbeda
dibanding strata sosial, meski dalam keduanya anggota masyarakat
berbagi pengalaman yang sama.
Hanya saja kesamaan pengalaman
individu dalam satu generasi adalah persamaan waktu hidup dan ini
berarti kesamaan latar belakang sosial dan budaya walau individuindividu dalam generasi yang sama tidak mengalami interaksi yang
intensif. Kesamaan latarbelakang sosial dan budaya bukan berarti dalam
satu generasi yang sama hanya akan melahirkan satu gagasan, namun
justru akan melahirkan begitu banyak gagasan yang berbeda dan bahkan
beberapa diantaranya bertentangan.
Semuanya tergantung dari latar
belakang dan pengalaman yang dijalani kelompok sosial dimana gagasan
itu lahir (Ritzer, 2004: 331-332).
D.3. Teori Konstruksi Sosial
19
Dalam buku berjudul Langit Suci (1991), Peter L Berger mengemukakan
pendapatnya mengenai proses dialektik antara manusia dan masyarakat. Berger
berpendapat bahwa manusia selalu merupakan produk masyarakat dan manusia
ini juga kemudian memproduksi masyarakat, atau dengan kata lain manusia
dibentuk oleh masyarakat dan masyarakat dibentuk oleh manusia.
Oleh
karenanya perubahan pada masyarakat akan berpengaruh pada pembentukan
manusia sebagai individu-individu, dan perubahan pada individu dapat membawa
perubahan pada masyarakat.
Proses dialektik ini pada dasarnya memiliki tiga dimensi, yakni
eksternalisasi, obyektivikasi dan internalisasi (Berger, 1991: 4-5).
a. Eksternalisasi adalah suatu pencurahan kedirian manusia secara terusmenerus ke dalam dunia, baik dalam aktivitas fisis maupun mentalnya.
b. Obyektivikasi adalah disandangnya produk-produk aktivitas itu (baik
fisis maupun mental), suatu realitas yang berhadapan dengan para
produsennya semula, dan dalam bentuk suatu kefaktaan (faktisitas) yang
eksternal terhadap, dan lain dari para produsennya itu sendiri.
c. Internalisasi adalah peresapan kembali realitas tersebut oleh manusia,
dan mentransformasikannya sekali lagi dari struktur-struktur dunia
obyektif kedalam struktur kesadaran subyektif
Nilai (fakta) yang terbentuk dan berlaku dalam masyarakat pada dasarnya
diinternalisasikan kedalam diri manusia melalui proses sosialisasi.
Proses
sosialisasi tidak mungkin sempurna sehingga akan selalu ada perbedaan
pemahaman yang tercipta dalam proses internalisasi sendiri.
20
Perbedaan
pemahaman tersebut kemudian tercurah melalui proses eksternalisasi, dan
pemahaman atas nilai yang sudah sedikit berbeda akan berpengaruh dan
menimbulkan pemahaman baru atas nilai dalam masyarakat.
Proses ini
berlangsung terus menerus selama masyarakat ada.
Diantara nilai-nilai yang paling kuat kedudukannya adalah agama
(Berger, 1991: 32-35). Namun agama sendiri dalam praktenya tidak terlepas dari
bagaimana pemahaman pemeluknya (manusia) pada ajaran (nilai ) agama itu
sendiri. Pemahaman yang tidak mungkin sempurna akan memicu pergeseranpergeseran dan menghasilkan corak yang berbeda seiring perkembangan kondisi
sosial budaya dan perjalanan waktu.
E. Metode Penelitian
Penelitian ini dimaksudkan sebagai penelitian kualitatif, yakni:
“Penelitian yang bermaksud memahami fenomena yang dialami oleh subjek
penelitian misalnya perilaku, persepsi, motivasi, tindakan, dll., secara holistik,
dan dengancara deskripsi dalam bentuk kata-kata dan bahasa, pada suatu konteks
khusus yang alamiah dan dengan memanfaatkan berbagai metode alamiah.”
(Moleong, 2008: 6).
Metode yang dipilih tentu saja adalah metode kualitatif. Metode ini
dirasa cocok dengan tema penelitian yang menyangkut latar belakang suatu ide
dalam masyarakat. Metode kualitatif oleh Bogdan dan Taylor didefinisikan
sebagai, “prosedur penelitian yang menghasilkan data deskriptif berupa data
tertulis maupun lisan dari orang-orang dan perilaku yang diamati” (Moleong,
2008: 4).
Lebih lanjut dikatakan:
21
“pendekatan ini diarahkan pada latar dan individu tersebut secara holistik (utuh).
Jadi dalam hal ini tidak boleh mengisolasikan individu atau organisasi kedalam
variabel atau hipotesis, tetapi perlu memandangnya sebagai bagian dari sesuatu
keutuhan.” (Moleong, 2008: 4)
Oleh karenanya metode ini dirasa tepat untuk penelitian yang
memfokuskan pada suatu ide atau pemikiran, karena metode ini mencoba melihat
individu, organisasi dan latar sebagai suatu kesatuan. Sedangkan untuk analisa
digunakan analisa desriptif analisis. Diharapkan dengan metode kualitatif
deskriptif analisis ini akan didapatkan pemahaman yang menyeluruh dan
mendalam.
E.1. Jenis Data
Ada dua jenis data yang digunakan yaitu Data Primer dan Data Sekunder.
E.1.1. Data Primer
Data primer dalam penelitian ini didapatkan dari wawancara
langsung dengan responden yang dirasa memiliki pengetahuan serta kapasitas
untuk memberikan informasi yang diperlukan, terutama seputar pemikiran
Kang Maman sebagai tokoh sentral Pesantren dalam hal ini responden adalah
Kang Maman sendiri dan Teh Upik Rofiqoh (istri Kang Maman).
Selain itu untuk mengetahui lebih lanjut mengenai Pesantren AlMizan penulis juga mewawancarai Kyai Zaenal Muhyiddin sebagai Ketua
Yayasan Al-Mizan dan Teh Dede Masyitoh sebagai Kepala Sekolah AlMizan.
Diluar itu juga dilakukan wawancara untuk mendapatkan gambaran
pendapat alumni Al-Mizan dengan Mas Hilman.
22
Sedangkan untuk mengetahui kegiatan Akar Djati yang juga dibina
oleh Kang Maman dilakukan wawancara dengan Kang Kusnadi yang
merupakan jamaah kegiatan shalawatan ini sekaligus salah satu pengurusnya,
selain itu penulis juga berkesempatan mengikuti kegiatan shalawatan
komunitas Akar Djati sebagai salah satu bentuk pengamatan langsung.
Yang terakhir untuk mengetahui tentang Pesantren Budaya Qi
Buyut yang awalnya diprakarsai Kang Maman wawancara dilakukan dengan
Kang Darto yang merupakan rekan yang sejak awal terlibat dengan pendirian
Pesantren Budaya Qi Buyut ini
E.1.2. Data Sekunder
Selain data primer penelitian ini juga menggunakan data sekunder
sebagai pijakan awal penelitian.
Pada kelanjutannya data sekunder juga
membantu dalam memberi gambaran lebih utuh tentang objek kajian
penelitian ini, baik pemikiran Islam secara umum maupun tentang Pesantren
Al-Mizan itu sendiri.
Data sekunder yang digunakan berupa buku cetak, makalah
seminar, majalah dan beberapa sumber dari internet serta beberapa tulisan
non-terbitan yang dirasa perlu dan sesuai untuk melengkapi tulisan ini.
E.2. Metode Pengumpulan Data
Pengumpulan data primer dilakukan dengan teknik wawancara. Dengan
teknik wawancara diharapkan dapat membangun suatu pengertian tentang
individu, kelompok, peristiwa, keinginan, dorongan serta apa yang dialami
dimasa lalu dan harapan dimasa datang, serta memperluas konstruksi yang
23
dikembangkan oleh peneliti. Wawancara akan dilakukan dengan wawancara tak
terstruktur. Dikarenakan:
“Hasil wawancara tak terstruktur menekankan perkecualian, penyimpangan,
penafsiran yang tidak lazim, penafsiran kembali, pendekatan baru, pandangan
ahli, atau perspektif tunggal” (Moleong, 2008: 190-191).
Wawancara tak terstruktur juga tepat dimana:
a. Pewawancara ingin menanyakan sesuatu secara lebih mendalam lagi
pada seorang subjek tertentu
b. Pewawancara tertarik untuk mengetahu motivasi, maksud dan
penjelasan dari responden
c. Pewawancara ingin mengetahui definisi peristiwa, situasi atau
keadaan tertentu
Dalam pelaksanaanya penulis tidak menggunakan rangkaian pertanyaan
yang sudah dipersiapkan secara detail, tetapi menggunakan kerangka yang berisi
garis besar seputar hal-hal penting yang ingin ditanyakan. Oleh karenanya pada
saat wawancara pembicaraan dilaksanakan mengalir tanpa terpaku pada urutan
pertanyaan sehingga selain bisa mengkonfirmasi hal-hal penting yang sejak
semula diantisipasi juga bisa memperoleh pandangan narasumber yang lebih luas
dan beberapa hal yang penting namun sebelumnya tidak diperkirakan akan
muncul dalam tanya jawab.
Data sekunder diperoleh penulis dari buku cetak, makalah seminar,
majalah, tulisan non-terbitan dan sumber internet yang dipilih untuk kesesuaian
dengan tema tulisan.
24
Download