Indonesia Berpeluang Jadi Eksportir Utama Jagung Kamis, 25 Juni 2009 JAKARTA (Suara Karya): Dalam pertemuan di London, 9 Juni 2009, Dewan Biji-bijian Internasional (International Grains Council/IGC) menyatakan, produksi dan stok biji-bijian di dunia terus menyusut. Padahal, di sisi lain, permintaan biji-bijian di dunia cenderung meningkat. Ketua Umum Dewan Jagung Nasional Fadel Muhammad mengatakan, Indonesia berpeluang besar menjadi eksportir jagung yang andal untuk mengisi pangsa pasar dunia, khususnya Asia Timur dan Asia Tenggara. Selama ini, negara-negara di Asia Timur dan Asia Tenggara mengimpor jagung lebih dari 30 juta ton per tahun, terutama untuk memenuhi kebutuhan pangan dan pakan ternak. Permintaan pasar dunia ini dipastikan akan terus meningkat seiring dengan bertambahnya populasi dan peningkatan ekonomi di negara-negara tersebut. "Sebut saja Malaysia, Filipina, Taiwan, Korea Selatan, Jepang, China, dan India. Belum lagi penggunaan jagung untuk bahan baku energi alternatif dan produk polimer," kata Fadel di sela seminar berjudul "Introduksi Jagung Transgenik" di Jakarta, Rabu (24/6). Menurut dia, Indonesia memiliki potensi yang besar untuk menjadi lumbung bijibijian dunia untuk memenuhi kebutuhan pasar yang tumbuh pesat. Jagung sendiri merupakan komoditas yang paling tepat untuk digarap petani karena memberikan hasil panen rata-rata tertinggi dibanding komoditas biji-bijian lainnya, seperti beras dan gandum. Menurut data Organisasi Pangan Dunia (FAO) pada 2007, produktivitas rata-rata jagung mencapai 4,88 ton per hektare. Sedangkan padi menghasilkan rata-rata 4,01 ton per hektare dan gandum 2,90 ton per hektare. Untuk dapat menghasilkan jagung dalam jumlah besar, harus ada upaya peningkatan produktivitas, efisiensi dalam produksi serta pemanfaatan lahan-lahan menganggur. "Hampir semua teknologi untuk meningkatkan produksi jagung sudah dikenal dan dipakai di Indonesia. Namun, teknologi konvensional yang ada tidak mampu mengejar lonjakan permintaan pasar. Oleh karena itu, diperlukan teknologi yang bisa meningkatkan produktivitas secara cepat serta aman. Selain itu, benih unggul yang mampu menghadapi cekaman abiotik, resisten terhadap hama dan penyakit, serta tahan terhadap bahan kimia, juga sangat dibutuhkan," tuturnya. Jika terus dikembangkan, lanjut Fadel, produksi jagung bisa mengarah untuk memperluas area tanam dan menciptakan lapangan kerja. Dalam hal ini, penggunaan teknologi juga harus mendorong efisiensi biaya produksi, mengurangi pencemaran bahan kimia pada lingkungan, menghasilkan produk berkualitas serta menjamin keberhasilan panen dan meningkatkan pendapatan petani. "Kami mengetahui bahwa ilmu rekayasa genetika telah berhasil memodifikasi sifat dari suatu organisme yang nyaris tidak mungkin diperoleh dari upaya secara konvensional. Di Indonesia pun telah banyak ahli rekayasa genetika yang sudah mampu merakit produk hasil rekayasa genetika ini," ucap Fadel. Dia menambahkan, penerapan teknologi rekayasa genetika pada jagung mampu menghasilkan tanaman yang mempunyai sifat-sifat yang diinginkan. Sebanyak 80 persen jagung yang diproduksi oleh Amerika Serikat--produsen jagung terbesar di dunia--merupakan hasil rekayasa genetika atau jagung transgenik. Jadi, konsumen Indonesia juga sudah mengonsumsi jagung transgenik ketika masih diimpor dari AS. Sebagian besar pasar yang berada di sekitar Indonesia juga dapat menerima jagung transgenik. "Oleh karena itu, sudah saatnya bagi Indonesia untuk mengadopsi teknologi yang nyaris tidak dapat dihindarkan lagi dari kehidupan sehari-hari. Introduksi jagung transgenik dapat membantu kita untuk lebih cepat menangkap peluang pasar yang sudah terbuka lebar. Oleh karena itu, Dewan Jagung Nasional mendorong pengembangan jagung transgenik, sehingga manfaatnya segera dirasakan oleh petani dan masyarakat," ujar Fadel. (Bayu)