Struktur morfologi dan perkembangan gonad spons

advertisement
T~NJAUANPUSTAKA
Ktasifikasi Spons Aaptos aaptos
Spons laut
Aaptos aaptos dapat diklasif'ikasikan menurut Bergquist
(1968), sebagai berikut :
Kingdom :Animalia
Filum: Porifera (Grant, 1836)
Kelas :Demospongiae (Sollas, 1885)
Ordo : Hadromerida (Topsent, 1894)
Famili : Suberitidae (Schmidt, 1870)
Genus :Aaptos (Gray, 1867)
Spesies: Aaptos aaptos (Schmidt, 1864)
Spons yang termasuk dalam Kelas Demospongia, tidak memiliki spikula
"triaxon",
tetapi spikulanya berbentuk "monoaxon",
atau "tetraxon" yang
mengandung silikat. Beberapa jenis spons kelas ini ada yang tidak mengandung
spikula tetapi hanya mengandung serat-serat kolagen atau spongin saja (Amir dan
Budiyanto, 1996), Rangka tersusun dari spikula silica, serat spongin, atau
campuran keduanya, tidak terdapat spikula calcareous (George and George,
1979); Subkelas Tetractinomorpha yaitu Demospongiae dengan parenchyrnellae
atau larva blastula, reproduksi dengan cara ovipar meskipun dalarn beberapa
genus spons muda diinkubasi dalarn tubuh induk dan dikeluarkan sebagai individu
muda; spikula megasklera berbentuk tetraxonid d m monoaxonid, terdapat
bersama-sama atau terpisah; rnikrosklera, jika ada, berbentuk asterose; struktur
rangka biasanya radial atau axially compressed (Hooper, 2000); Ordo
Hadromerida yaitu Tetractinomorpha dengan spikula yang seragam dari
megasklera monoaxonid (monoactinal atau diactinal) yang secara relatif berada
dalam urutan yang bersatu; susunan rangka radial selalu jelas di permukaan jika
tidak dalam choanosome; spikula ectosomal secara khas kecil-kecil dibandingkan
spikula choanosomal, biasanya berada tegak lurus ke permukaan dan tersembul
melalui ectosome; rnikrosklera, jika ada, berbentuk euasters, streptaster, spiraster,
atau peculiar asterose-like discorhabds; semua grup adalah ovipar, dengan
perkembangan parenchymella (dalarn ha1 ini larva blastula) di dalam air laut
(Hooper, 2000); Famili Suberitidae yaitu Hadromerida yang bentuk tubuhnya
rnasif, pedunculate, bowl-shaped atau encrusting sponge, umumnya tanpa
permukaan papillae, rangka radial di permukaan tanpa cortex yang jelas, tetapi
biasanya choanosome tidak beraturan, adakalanya dengan pengaturan axial yang
bebas dan susunan nonradial; megasklera yang khas adalah tylostyles,
subtylostyles, jarang yang berbentuk styles atau diactinal; mikrosklera, jika ada,
berbentuk spined centrotylote rods, reproduksi secara ovipar dan reproduksi
aseksual umunya dengan buds atau stobn (Hooper, 2000); Genus Aaptos yaitu
Suberitidae dengan bentuk tubuh yang spherical, subspherical, atau solitary,
permukaannya halus, rangka radial, bidang spikula berkembang dalam tingkatan
yang berbeda-beda menyebar dari daerah pusat yang padat, bidang menjadi
plumose di bawah permukaan, dengan cortex yang tebcl berisi kolagen, jaringan
pagar (palisade) dari dua ukuran spikula kecil, dan spikula intermediate diantara
bidang plumose ectosomal, spikula utama berbentuk strongyloxeas, spikula
intermediate berbentuk straight atau curved styles atau substylostyles, spikula
ectosomal berbentuk styles, substyles dan atau spikula kecil berbentuk tylostyles,
clan spikula tipe oxeas jarang atla dalam beberapa spesies (Hooper, 2000).
Deskripsi Struktur Morfologis dan Anatomis Spons Aaptos aaptos
Spons Aaptos aaptos (gambar 2) merupakan spons hut yang secara
eksternal berwarna ungu kemerahan clan secara internal kuning kecoklatan. Pada
spesimen intertidal, permukaannya berisi butiran-butiran yang kecil berkutil, atau
halus sedangkan spesimen sublitoral, kelihatan seperti bongkahan-bongkahan
yang tidak beraturan. Mempunyai tekstur tubuh yang kuat tetapi dapat ditekan.
Dirnensi tubuhnya mempunyai ukuran tinggi 1.0 - 9.0 cm, lebar 4.2 - 4.8 cm,
ketebalan dapat mencapai 1.2 c m Oskulanya kecil dan melimpah, yang terdapat
dibagian tengah apikal pada spons dengan diameter 3.0 - 4.0 mm. Rangkanya
tersusun secara radial dengan sistem spikula yang kuat (Bergquist, 1968). Spikula
besar bertipe strongyloxeas; spikula berukuran sedang dan kecil biasanya
mempunyai tipe oxeas, styles atau tylostyles.
Gmbm 2 Spons laut Aaptos aaptos pada habitat alaminya (foto koleksi Tim
Hibah Pasca 2005)
KlasiFisi dan Gambaran Umum Struktur Morfologis Spons
Spons adala. hewan yang termasuk Filum Porifera terdiri dari tiga kelas
yaitu, Calcarea, Demospongiae, dan Hexactinellida (Sara, 1992; Arnir dan
Budiyanto, 1996; Romimohtarto dan Juwana, 1999), sedangkan menurut Kozloff
(1990), Harrison dan de Vos (1991), Rupert clan Barnes (1991), Pechenik (1991),
Karlenskit (1998), Filum Porifera terdiri dari empat kelas, yaitu : Calcarea,
Demospongiae, Hexactinellida, dan Sclerospongia dan menurut Hooper (2004)
terdapat juga kelas yang sudah punah yaitu kelas Archaeocyata.
1. Kelas Calcarea atau Calcispongiae
Merupakan calcareous spons karena mempunyai spikula yang terbuat dari
kalsium karbonat. Spons ini cenderung kecil tingginya sekitar 10 cm atau
kurang dari itu berbentuk tubular atau seperti jambangan (vase). Struktur
tubuhnya bisa berupa asconoid, syconoid atau leuconoid. Spons calcarea
semuanya hidup di laut (Hickman, Roberts dan Larson, 1996; Romimohtarto
dan Juwana, 1999).
2. Kelas Hexactinellida atau Hyalospongiae
Merupakan spons gelas, hidup pada kedalaman laut yang dalam. Struktur
tubuhnya simetris radial, dan mempunyai panjang tubuh berkisar antara 7,5
cm sarnpai lebih dari 1,3 m (Hickman, Roberts dan Larson, 1996). Bentuk
tubuhnya bervariasi dari seperti mangkuk, jambangan, atau tube sederhana
sampai bentuk tube bercabang, spikula tersusun dari silikat, mempunyai tipe
syconoid (Kozloff, 1990).
3. Kelas Demospongiae
Merupakan spons yang paling dominan dari filum Porifera, semua anggota
kelas ini adalah leuconoid, dm semuanya hidup di laut kecuali satu famili
yaitu Spongillidae yang hidup di air tawar. Spons kelas ini mempunyai bentuk
dm warna yang bervariasi ada yang berbentuk seperti kerak (encrusting), ada
yang tinggi dan menjari, ada yang rendah dan menyebar, ada yang mengebor
rnasuk ke caugkang, ada yang seperti kipas, jambangan atau bola (Hickman,
Roberts dan Larson, 1996). Bentuk yang bervariasi dari spons Demospongiae
merupakan refleksi dari adaptasi terhadap ruang yang terbatas, kecenderungan
terhadap substrat dan kecepatan arus. Spons ini umumnya bertipe leuconoid
dan spikulanya terdiri dari silikat (Barnes, 1987).
4. Kelas Sclerospongiae
Merupakan kelompok kecil dari spons yang mensekresikan rangka massive
calcareous sehingga disebut juga corraline spons, Spons ini bertipe leuconoid
beda dengan spons lainnya dimana rangka internal mempunyai spikula silikat
dm serat spongin dan bagian luar terdiri dari kalsium karbonat (Barnes, 1987).
Tetapi elemen-elemen ini dan jaringan hidup disekelilingnya bersandar pada
rangka basal kalsium karbonat yang kokoh atau tertutup dalam ruang kalsium
karbonat (Rupert dan Barnes, 1991). Spons ini hidupnya pada habitat cryptic
(tidak terang) di terumbu karang, seperti pada celah-celah, gua dan laut dalam
(Hickman, Roberts dan Larson, 1996).
Gambar 3 Filurn Porifera. Beberapa bentuk tubuh spons: Kelas Demospongiae
(A) Poterion, (C) Microciona, (D) Haliclona, (E) Spongia; Kelas
Calcarea (B) Scypha; Kelas Hexactinellida (F) Regadrella; (Storer
et al. 1979)
Spons (filum Porifera) merupakan organisme yang sederhana, berbentuk
asimetris, bersifat sesil yang mana mempunyai bentuk dan ukuran yang beragam.
Bentuk tubuhnya seringkali ditentukan oleh bentuk dasar sedimen atau material
yang merupakan tempat turnbuh dan berkembang dan oleh arus air yang mengaliii
tubuhnya (Karlenskit, 1998). Spons merupakan hewan laut, kecuali untuk sekitar
150 spesies yang hidup di air tawar. Spons dapat berada pada semua bagian laut,
atau batu-batuan, cangkang, kayu, atau karang yang menyediakan tempat yang
cocok. Beberapa jenis spons bahkan hidup pada pasir yang lunak atau pada
lumpur (Barnes, 1987).
Morfologi luar spons laut sangat dipengaruhi oleh faktor fisik, k i i a w i
dan biologis lingkungannya. Spesimen yang berada di lingkungan yang terbuka
dan berombak besar cenderung merniliki tubuh yang pendek atau merambat.
Sebaliknya spesimen dari jenis yang sarna pada lingkungan yang terlindung atau
pada perairan yang lebih dalam clan berarus tenang, bentuk tubuhnya cenderung
tegak dan tinggi. Pada perairan yang lebih dalam spons cenderung merniliki tubuh
yang lebii simetris dan lebih besar sebagai akibat dari lingkungan yang lebih
stzbil apabila dibandingkan dengan jenis yang sama yang hidup pada perairan
yang dangkal (Bergquist, 1978; Amir dan Budiyanto, 1996).
Spons dapat berbentuk sederhana seperti tabung dengan dinding tipis, atau
masif bentuknya dan agak tidak teratur. Banyak spons juga terdiii dari segumpal
jaringan yang talc tentu bentuknya, membuat kerak pada batu, cangkang, tonggak,
atau turnbuh-tumbuhan dan pada benda-benda inilah mereka menempel.
Kelompok spons lain mempunyai bentuk lebih teratur dan melekat pada dasar
perairan melalui sekumpulan spikula. Bentuk-bentuk yang dimiliki spons dapat
beragam. Beberapa jenis bercabang seperti pohon, lainnya berbentuk seperti
sarung tinju, seperti cawan atau seperti kubah. Ukuran spons juga beragam, mulai
dari jenis berukuran sebesar kepala jarum pentul, sampai ke jenis yang ukuran
garis tengahnya 0,9 m dan tebalnya 30,5 cm, Jenis-jenis spons tertentu nampak
berbulu getar karena spikulanya menyembul keluar dari badannya (Rornimohtarto
d m Juwana, 1999).
Meskipun banyak spons berwarna abu-abu atau kurang menarik tetapi
beberapa spesies memiliki warna yang cemerlang seperti warna merah, kuning,
hujau, orange atau ungu (Karlenskit, 1998). Spons yang berwarna hijau biasanya
disebabkan oleh adanya alga simbiotik yang disebut zoochlorellae yang terdapat
didalamnya (Romimohtarto dan Juwana, 1999). Warm spons tersebut sebagian
dipengaruhi oleh fotosintesis mikrosimbionnya. Mikrosimbion spons umumnya
adalah cyanophyta (cyanobacteria dan eukariot alga seperti dinoflagellata atau
zooxanthellae). Beberapa spons merniliii warna yang berbeda walaupun dalam
satu jenisnya. Beberapa spons juga merniliki warna dalam tubuh yang berbeda
dengan pigmentasi luar tubuhnya. Spons yang hidup dilingkungan yang gelap
akan berbeda warnanya dengan spons sejenis yang hidup pada lingkungan yang
cerah (Wilkinson, 1980). Arti dari pewarnaan ini tidak pasti mungkin merupakan
perlindungan dari sinar matahari atau sebagai peringatan (warning coloration)
(Barnes, 1987).
Struktur Tubuh Spons
Struktur Sel Spons
Tubuh spons dipenuhi oleh lubang kecil atau pori-pori yang disebut ostia
(singular: ostium) yang dilalui sejurnlah besar air. Air h i merupakan sumber
nutrien dan oksigen dan juga akan
membawa zat-zat buangan h i hewan
tersebut. Air masuk ke tub& spons melalui ostia mengalir rnasuk ke dalam ronga
yang besar yang disebut spongocoel. Air ini kemudian keluar dari spongocoel
melalui lubang besar yang disebut oskulum (Karlenskit, 1998).
Dinding tubuhnya relatif sederhana. Permukaan bagian luar ditutupi oleh
sel-sel yang rata, yaitu pinacocyte, yang secara bersama-sama membentuk
pinacoderm. Bagian basal dari pinacocyte mengsekresikan material yang dapat
melekatkan spons pada substratnya (Rupert and Barnes, 1991; Kozloff 1990).
Sel - sel lain yang terdapat pada pinacoderm adalah porocytes. Porocytes berasaI
dari pinacocytes melalui pembentukan dari lubang-lubang intraseluler, sel ini
berbentuk tube yang membentuk ostia, bersifat kontraktil dan dapat membuka
atau menutup pori-pori untuk mengatur diameter ostia (Rupert and Barnes, 1991;
Brusca dan Brusca, 1990).
Lapisan kedua adalah choanoderm, tersusun dari choanocytes yang
mempunyai sel-sel leher (collars). Choanocytes merupakan sel-sel berflagella
yang membentuk choanoderm dan dapat membuat arus yang mendorong air
melalui sistem saluran. Flagella selalu dikelilingi oleh sel-sel leher (collar), yang
terdiri dari sejumlah sitoplasmik mikrovilli. Choanocytes bersandar pada mesohyl,
berpegang dalam suatu tempat oleh interdigitation perrnukaan dasar yang
berdekatan. Choanocytes mempunyai peran yang besar dalam phagocytosis dan
pinocytosis oleh karena itu mempunyai vakuola makanan (Brusca dan Brusca,
1990). Sirkulasi air melalui dan mengelilingi collar dimana bakteri dan partikel
makanan yang kecil terperangkap dan d i i u k k a n ke dalam vakuola rnakanan
(Kozloff, 1990). Umumnya choanocytes pada spons kelas Calcarea ukurannya
lebih besar (8 - 12 pm) daripads kelas Demospongiae (2 - 3 pm) (Harris,l990).
Lapisan ketiga adalah mesohyl. Lapisan ini merupakan suatu rnatriks
protein yang terletak antara pinacodem dan choanoderm, bahan rangka dengan
semua tipe sel lainnya ditemukam dalam lapisan ini (Adams et al. 1999). Di
dalam mesohyl terdapat beberapa tipe sel ameboid yang beberapa diantaranya
dapat mengsekresikan berbagai element kerangka spons. Kerangka berupa serat
kolagen dikeluarkan oleh sel yang disebut collencytes, lophocytes dan
spongocytes. Fungsi utama collencytes dan lophocytes adalah mengsekresikan
penyebaran serat kolagen yang terdapat secara intraseluler pada semua spons
sedangkan spongocytes menghasilkan serat pendukung kollagen yang disebut
sebagai spongin. Spongocytes menjalankan hgsinya dalam kelompok-kelompok
dan biasanya dibungkus disekelilingnya oleh spikula atau serat kolagen (Brusca
dan Brusca, l990), sedangkan sel yang bertanggung jawab untuk memproduksi
spikula kalkareous dan silikon pada spons adalah sclerocytes. Sejumlah tipe
sclerocytes mempunyai gambaran, yaitu sel-sel ini hancur setelah sekresi spikula
selesai, sedangkan yang bertanggung jawab untuk memproduksi serat spongin
adalah spongocytes. Kedua t i p sel ini berasal dari archaeocytes. Sel-sel
archaeocytes mempunyai banyak manfaat, selain memproduksi spikula dan serat
spongin archaeocytes juga penting dalam mengidentifikasi jenis, rnernelihara
bentuk spons, dan kemungkinannya mencegah serangan predator (Brusca dan
Brusca, 1990; Pechenik, 1991). Sel-sel lainnya yang terdapat dalam mesohyl
adalah sel-sel kontraktil yang disebut myocytes. Myocytes biasanya berbentuk
fusiform dan berkelompok secara konsentris disekitar oskula dan saluran utama.
Myocytes dapat dikenali katena berisi sejurnlah besar rnikrotubula dan
mikrofilamen pada sitoplasmanya. Myocytes adalah sama dengan sel-sel otot
halus pada invertebrata tingkat tinggi.
Selain itu ada juga sel-sel yang disebut archaeocytes. Archaeocytes
adalah sel-sel amoeboid yang berukuran lebih besar dari tipe sel lainnya dan
merupakan sel-sel yang bergerak cepat. Sel-sel ini mempunyai peranan utama
pada sistem pencernaan dan pengangkutan m&anan. Sel-sel ini memiliki
bermacam-macam enzim pencernaan (seperti asam phospate, protease, amylase,
lipase) dan dapat menerima bahan makanan dari choanocyte. Sel-sel ini juga
mencerna bahan makanan langsung meldui pinacoderm pada saluran air. Sebagai
makrofago utarna pada spons, sel-sel archaeocytes mempunyai banyak aktifitas
pada sistem pencernaan, pengangkutan, dan pengelman. Sebagai sel-sel yang
mempunyai potensi maksimum, archaeocytes adalah penting untuk kegiatan
perkembangan spons dm berbagai macam proses-proses aseksual seperti
pembentukan gemmule (Brusca dan Brusca, 1990). Archaeocytes mempunyai
kemampuan untuk merubah bentuknya menjadi beberapa tipe sel sesuai yang
dibutuhkan oleh spons, disebut totipotent (Barnes, 1987).
Gambm 4 (a) Struktur sel spons (Barnes, 1987); (b) Choanocytes (Harris, 1990)
Sistem Kerangka
Sistem kerangka terdiii dari kapur karbonat atau silikon dalam bentuk
spikula atau dari spongin dalam bentuk serat. Spikula tertimbun &lam sel-sel
yang disebut scleroblast, yakni sel spons tempat berkembangnya spikula, dan
lebih dari satu sel dapat mengambil bagian dalam pembentukan satu spikula.
Rangkanya relatif kompleks dan menyediakan kerangka penunjang untuk sel-sel
dari hewan tersebut. Rangka biasanya terdapat pada mesohyl, tetapi spikula
seringkali terdapat pada pinacoderm (Barnes, 1987).
Spikula adalah garnbaran karakteristik dari spons. Ukuran, bentuk dan
susunan dari masing-masing spikula yang dikandung hewan spons sangat berguna
untuk menentukan klasifkasinya. Spikuh dapat berbentuk kalkareus, silikon atau
bahan organik, dan merupakan suatu komposisi kimia yang dipakai sebagai clasar
untuk mengklasifikasi spons. Fungsi utamanya adalah membentuk rangka
pendukung yang rnencegah rubuhnya jutaan rongga berflagella lembut clan saluran
air dalam spons. Pada Demospongia, spikula silikon selalu menempel atau
tertanam pada spongin, membuatnya lebii kaku, dan pada beberapa jenis butiran
pasir dimasukkan. Sekresi spikula baru atau spongin memungkinkan secara relatif
perubahan cepat arsitektur pada sistem saluran air untuk merespon perubahan
tekanan dan aliran air (Harris, 1990). Pada umumnya setiap individu spons
memiliii lebih dari satu macam bentuk spikula. Menurut Bergquist (1978) bentuk
spikula menurut fbngsinya dibagi atas dua kategori, yaitu megasklera dan
mikrosklera. Megasklera adalah komponen dari kerangka primer yang berperan
untuk membentuk spons dan perkembangan struktur internal. Mikrosklera tidak
berfbngsi seperti peranan megasklera, tetapi membentuk kelornpok antara
kumpulan megasklera atau tersebar pada permukaan atau membran internal.
Beberapa tipe spikula yang terdapat pada kelas Demospongia dapat dilihat pada
Gmbar (5).
Sistem Saiuran
Tubuh spons dipenuhi oleh lubang kecil atau pori-pori yang disebut ostia
yang dilalui oleh sejumlah besar air. Air masuk ke tubuh spons melalui ostia
mengalir masuk ke dalam rongga yang luas yang disebut spongocoel. Air
kemudian keluar dari spongocoel melalui lubang yang besar yang disebut oskulum
(Karlenskit, 1998).
Gambar 5 Spikula silika yang terdapat pada kelas Demospongiae: A. Tipe-tipe
megasklera; B. Tipe-tipe mikrosklera (Kozloff, 1990)
Ada tiga macam tipe saluran pada spons, yaitu asconoid, syconoid dan
leuconoid (Kozloff, 1990; Brusca dan Brusca, 1990; Ruppert dan Barnes, 1991;
Romimohtarto dan Juwana, 1999). Sistem saluran ini bertindak seperti halnya
sistem sirkulasi pada hewan tingkat tinggi. Sistem ini melengkapi jalan bebas
untuk pemasukan makanan ke dalam tubuh dan untuk pengangkutan zat buangan
ke luar tubuh. Pada spons t i p asconoid terdapat dinding tipis menutupi rongga
tengah yang disebut atrium atau spongocoel, yang terbuka ke arah luar melalui
oskulum tunggal. Bukaan bagian luar pada saluran porocytes disebut ostium
(ostia) atau lubang pemasukan (incurrent pore). Pergerakan air yang melalui
spons tipe asconoid, stnrkhunya sebagai berikut: ostium - spongocoel (di atas
choanoderm) - oskulum. Pada spons t i p syconoid, choanocytes dibatasi oleh
ruang spesifik atau diverticula atrium yang disebut ruang berflagella (flagellated
chambers). Setiap ruang choanocytes (choanocytes chamber) terbuka ke arah
spongocoel oleh lubang luas yang disebut apopyle. Spons tipe syconoid dengan
kulit yang tebal memiliki sistem saluran atau incurrent canals yang berasal dari
lubang kulit melalui mesohyl ke ruang choanocytes (choanocytes chamber).
Bukaan dari saluran ini yang menuju ke ruang choanocytes (choanocytes
chamber) disebut prosophyles. Pada spons tipe syconoid, air bergerak dari
permukaan spons ke dalam aliran tubuh melalui struktur sebagai berikut :
incurrent pore
chamber)
-
- incurrent canals -prosopyle - ruang choanocytes (choanocytes
apopyle - spongocoel - oskulum. Pada spons tipe leuconoid
ditemukan suatu peningkatan jumlah dan penurunan ukuran ruang choanocytes
(choanocytes chamber), yang secara khusus mengelompok pada mesohyl yang
tebal. Spongocoel berubah ke excurrent canals yang membawa air dari ruang
choanocytes (choanocytes chamber) ke oskula Aliran air yang melalui spons
leuconoid adalah sebagai berilcut : dermal pore - incurrent canals - prosopyle -
ruang choanocytes (choanoqtes chamber) - apopyle
oskulum. Tipe leuconoid &ah
-
excurrent canals -
ciri khas kebanyakan spons kelas Calcarea dan
semua anggota kelas Demospongiaea (Brusca dan Brusca, 1990).
Gambar 6 Tipe-tipe saluran air pada spons, yaitu asconoid, syconoid dan
leuconoid (Karlenskit, 1998)
Makanan dan Cars Makanan
Spons merupakan suspension feeders, kmna memaka. material yang
tersuspensi di dalam air laut. Spons juga menipakan $lter feeders karena
menyaring makanan dari air (Karlenskit, 1998). Spons memakan materi partikel
yang sangat kecil sekali. Penelitian pada spons Jarnaika menunjukkan sekitar 80%
dari materi organik yang disaring yang dikonsumsi oleh spons ini sangat kecil,
20% lainnya terdiri dari bakteri, dinoflagellata dan plankton kecil lainnya (Barnes,
1987).
Spons memperoleh rnakanan dalam bentuk partikel organik renik, hidup
atau tidak, seperti bakteri, mikroalga dan detritus, yang masuk melalui pori-pori
arus rnasuk (ostia) yang terbuka &lam air, dan dibawa ke &lam rongga lambung
atau ruang-ruang berflagella. Arus air yang masuk melalui sistem saluran dari
spons diciptakan oleh flagella choanocytes yang memukul-mukul secara terusmenerus. Choanocytes juga mencerna partikel rnakanan, baik di sebelah maupun
di dalam sel leher (collars). Sebuah vakuola makanan terbentuk dan di vakuola ini
pencernaan tejadi. Sisa rnakanan yang tidak tercerna dibuang ke luar dari dalam
sel leher (collars). Makanan itu dipindahkan dari satu sel ke sel lain dan
barangkali diedarkan dalam batas tertentu oleh sel-sel amebocytes yang terdapat
di lapisan tengah. Penting bagi spons untuk hidup dalam air bersirkulasi, karena
arus air yang lewat melalui spons membawa serta zat buangan dari tubuh spons,
rnaka penting agar air yang keluar melalui oskulum dibuang jauh dari badannya,
karena air ini tidak berisi makanan lagi, tetapi mengandung asam karbon dan
sampah nitrogen yang beracun bagi hewan tersebut (Romimohtarto dan Juwana,
1999).
Partikel-partikel makanan sebagian besar diseleksi berdasarkan ulcuran dan
disaring dalam perjalanannya menuju kamar flagella Hanya partikel yang sangat
kecil dari ukuran tertentu yang dapat mas& ke dermal pore atau melewati
prosopyle. Partikel-partikel makanan akhirnya disaring oleh choanocytes.
Penangkapan partikel oleh sel-sel hi terjadi saat air bergerak melalui rnicrovillar
yang menyusun collar. Spons hanya mengandalkan pencernaan secara
intraseluler, dirnana makanan dicerna secara fagositosis dan pinositosis (Barnes,
1987; Brusca dan Brusca , 1990).
Semua sel-sel spons dapat memakan (memfagositosis) partikel-partikel.
Partikel berukuran besar (5-50p) difagositosis oleh pinacocyte. Partikel-partikel
berukwan seperti bakteri atau yang lebih kecil darinya ( 4 p ) ditelan oleh
choanocyte. Choanocyte dan amebocytes dapat memindahkan partike-partikel
yang ditelan oleh mereka ke sel lainnya dan nampaknya amebocytes merupakan
sel yang lebih penting dalam pencernaan daripada choanocytes (Barnes, 1987).
Spons juga dapat mengambil jumlah yang signifikan dari bahan organik terlarut
(dissolved organic matter, DOM) melalui pinositosis dari air dalarn sistem saluran
(Brusca dan Brusca, 1990). Percernaan terjadi secara intraseluler di dalam vakuola
rnakanan. Arnebocytes kemungkinan bertindak sebagai pusat penyimpanan untuk
cadangan rnakanan (Barnes, 1987).
Reproduksi
Seksualitas Spans
Secara garis besar seksualitas pada spons dapat dikelompokkan atas dua
tipe, yaitu : (1) Hermaprodite, yaitu jenis spons yang menghasilkan baik gamet
jantan atau garnet betina selama hidupnya, tetapi menghasilkan gamet jantan dan
gamet betina dalam waktu yang berbeda; (2) Gonokhorik, yaitu jenis spons yang
memproduksi hanya gamet jantan atau betina saja selama hidupnya (Reseck,
1988; Kozloff, 1990; Rupert dar1 Barnes, 1991). Tipe hermapodrit ditemukan pada
ordo Poecilosclerida, ordo Homosclerophorida dari famili Plakinidae dan
Oscarellidae, ordo Hadromerida dari famili Clionidae, ordo Dendroceratida dari
famili Halisarcidae, sedangkan tipe gonokhorik ditemukan pada ordo Astmporida
dari fmili Geodidae dan Stellentidae, ordo Sphirophorida dari famili Tetillidae,
ordo Hadrornerida dari famili Tethydae, Chondrosiidae, Polyrnastiidae, ordo
Axinellida dari famili Axinellidae dan Agelasidae (Sara, 1992).
Tipe hermaprodite pada spons terbagi atas: (1) hermaprodie bersamaan
(contemporaneous hermaproditism), yaitu apabila spons menghasilkan gamet
jantan dan gamet betina d a l m waktu yang bersarnaan dalam satu individu; (2)
hermapordite bergantian (successive hermaproditism), yaitu apabila spons
menghasilkan gamet jantan dan gamet betina secara bergantian. Hermaprodite
bersarnaan (contemporaneous hermaproditism) ditemukan pada spons jenis
Neojibularia nolitangere, sedangkan hermaprodit bergantian (successive
hermaproditism) ditemukan pada spons jenis Polymastia mammilaris clan
Suberitas massa (Hadromerida), Hymeniacidon carincula dan Hymeniacidon
heliophila (Halichondrida) (Sara, 1992).
Seksualitas bertipe gonokhorik, khususnya dari ordo Hadromerida
didapatkan pada jenis Tethya crypta, Tethya auratum, Tethya citrina (Tethydae);
Chondrosia renformis, Chondrilla mucula (Chondrosiidae); Polymastia hirsuta,
Aaptos aaptos (Polymastiidae) (Sara, 1992), Xestospongia berquistia dan
Xestospongia testudinaria (Fromont dan Berquist, 1994). Selain itu didapatkan
juga seksualitas bertipe gonokhorik labil (labile gonochorism). Seksualitas bertipe
seperti ini ditemukan pada spons jenis Suberitas carnous (Hadromerida) dan
Raspailia topsenti (Axinellida) (Sara, 1992).
Reproduksi Aseksual
Spons mempunyai strategi yang beragam untuk reproduksi dan
penyebaran. Reproduksi spons dapat terjadi secara aseksual dan seksual. Sejumlah
proses reproduksi aseksual pada spons terjadi secara alami, yang dasarnyz potensi
perkembangan archaeocytes. Proses ini terrnasuk pembentukan pucuk (bud
formation), penyembuhan luka (wound healing), pertumbuhan somatik (somatic
growth), pembentukan gemmule (gemmule formation) dan bgmentasi (Harrison
dan De Vos, 1991; Karlenskit, 1998 dan de Voogd, 2005). Dalarn budding,
kelompok sel berkembang pada bagian luar dari permukaan spons. Setelah
mencapai ukuran tertentu, bud ini akan jatuh dan membentuk spons barn dekat
induknya tau rnengapung mengikuti arus air dan kemudian akan menempatkan
diri dan menjadi dewasa pada substrat tertentu di suatu tempat. Fragmentasi
meliputi produksi spons baru lewat bagian yang patah dari tubuh spons. Selain itu
spons memperlihatkan kekuatan yang sangat hebat dalam regenerasi, d i i saat
bagian tubuhnya patah atau dimakan, spons dapat mengganti bagian yang hilang
tersebut (Karlenskit, 1998).
Kebanyakan spons, baik yang hidup di laut maupun yang hidup di air
tawar, mempunyai cara reproduksi aseksual, yaitu pembentukan gemmule. Spons
laut yang telah diketahui mengalami pembentukan gemmule adalah jenis
Suberitas domuncula dan HalicIona loosanoffi. Proses perkembangan gernrnule
pada spons ini berbeda dengan spons air tawar. Thesocytes diperoleh dari
choanocytes yang mengalami perubahan ke dalarn bentuk archaeocytes peralihan,
dan bentuk vitellogenesis jelas kelihatan Pada penambahan aktifitas sintesis
archaeocytes, cadangan senyawa diasimilasi melalui phagocytosis, pinocytosis
dan terdapat pseudopodia berperekat atau batang sitoplasmik antara thesocytes
bagian depan nurse cells (Harrison dan De Vos, 1991). Gemmule mengandung
kapsul spongin, spikula, dan terdapat archaeocytes yang mengandung cadangan
makanan seperti glycogen. Potongan-potongan spons yang patah dapat hidup
dengan cadangan makanan yang ada di tubuhnya, kemudian beregenerasi
membentuk tunas baru atau kompleks gemmule untuk menjadi spons dewasa
(Bergquist, 1978).
Reproduksi Seksual
Reproduksi seksual mencakup pembentukan sperma dan telur. Sperma
nampaknya berkembang terutama dari choanocyte; telur berkembang dari
chonaocytes atau archaeocytes. Spermatogenesis biasanya terjadi dalam spermatic
cyst (kantong sperma), yang merupakan bentuk ketika semua sel dari m g
choanocyte diubah menjadi spermatogonia atau saat perubahan choanocytes
berpindah ke mesohyl dan mengelompok di situ. Dalam proses oogenesis, oosit
yang tersendiri (soliter) berkembang &lam 'cysts' dikelilingi oleh lapisan folikel
sel dan nurse sel (tropocytes).
Permulaan meiosis setelah oogonium
mengakumulasi sejumlah cadangan makanan yang cukup, kemungkiian disuplai
lewat pemakanan tropocytes (Brusca dan Brusca, 1990).
Tingkat Perkembangan Gonad (Gametogenesis)
Gametogenesis mencakup baik pembentukan sperma yang disebut
spermatogenesis, maupun pembentukan telur, yang disebut oogenesis. Pada
semua hewan, kecuali spons, gametogenesis terbatas pada bagian tubuh tertenty
yang biasanya berkembang sebagai alat gonad, yaitu testis dan ovarium. Gametgarnet keluar dari tubuh melalui gonaduk, oviduk dari ovarium dan saluran
sperma dari testis (Vilke et al. 1988).
Spermatogenesis
Spermatogonia pada spons kemungkinan berasal dari choanocytes atau
archaeocytes (amoebocytes) karena ada fakta yang menunjukkan bahwa
choanocytes mengalami transforrnasi ke archaeocytes (amoebocytes) atau
sebaliknya (Sara, 1992). Spermatogenesis terjadi pada spermatic cyst (kantong
sperma) yang merupakan bentuk ketika semua sel dari ruang choanocyte diubah
menjadi spermatogonia atau saat perubahan choanocyte berpindah ke mesohyl dan
mengelompok di situ (Brusca dan Brusca, 1990). Diferensiasi sperma terbagi atas
tiga bentuk, yaitu : (1) semua sel pada semua cyst mungkin berkembang secara
bersama-sama (synchronous) (misalnya: Polirnastia mammilaris, Axinella
damicornis); ( 2 ) diierensiasi sel di dalam sebuah cyst secara bersama-sama
(gwchronous), tetapi tahap perkembangan bervariasi pada cyst yang berbeda
(misalnya spons air tawar Ephydatia Jluviatilis); dan (3) sel berkembang pada
beberapa cyst yang berbeda (asynchronous)(Harrison dan De Vos, 1991).
Proses spermatogenesis pada Haplosclerida mengikuti pola umum seperti
dalam kelas Demospongiae (Ereskovskii, 1999). Perkembangan garnet jantan
terjadi dalarn spermatocysts, dibentuk dari agregasi kumpulan sel yang tertutup
dalam satu lapisan kapsul dari pinacocyte (Ereskovskii, 1999). Spermatocyst
menyebar di dalam choanosome, pada bagian basal yang terakhk, merupakan
struktur sementara yang berkembang hanya pada periode spermatogenesis.
Ukuran dan jumlah spermatocyst mungkin bervariasi secara individual atau dalam
tingkat
populasi. Perkembangan dalam spermatocyst tertentu biasanya
synchronous, walaupun dalam cyst yang berdekatan garnet mungkin menunjukkan
tingkat spermatogenesis yang berbeda. Sumber spermatogonia berasal dari
choanocyte. Spermatozoa yang telah matang pada Haplosclerida air tawar adalah
primitif, mempunyai jwnlah sitoplasma yang besar dan sejumlah kecil
rnitokondria dan tidak ada akrosom Spermatogenesis menjadi sempurna lewat
anastomosis dari spermatocyst dan excurrent canal; spermatozoa matang
dilepaskan ke lumen. Bersama dengan air spermatozoa dikeluarkan dari spons
lewat oskulum (Ereskovskii, 1999).
Spermatogenesis pada spons jenis Suberitas massa, nukleus choanocytes
ukurannya membesar menjadi nukleus akhir, dan sel-sel leher (collars) dan
flagellanya hilang. Nukleus bermigrasi dari choanocytes chamber clan mengumpul
sebagai spermatogonial cyst. Sel-sel folikel berbentuk datar berasal dari
archaeocytes mengelilingi cyst dan mungkin memfagositosis sperrnatogonia yang
buruk. Spermatogenesis tidak bersama-sama (asynchronous) dalam satu cyst dan
pada beberapa tempat spermatogenesis mungkin berkembang di dalam sel-sel dan
sisanya berkembang di dalarn choanocytes chamber (Harrison dan De Vos, 1991).
Spermatosit primer pada Suberitas massa ukurannya meningkat,
diameternya rata-rata sedikit di atas 5 pm. Kromatin berkondensasi terhadap
permukaan bagian dalam pembungkus nukleus. Cytoplasms berisi sejumlah
mtiokondria, kelompok ribosom bebas sebagai polysomes, dan badan golgi.
Badan golgi padat berisi dengan karbohidrat homogen dan glikogen. Badan golgi
terletak pada bagian tepi sitoplasma. Hilangnya nukleolus dan tidak keliiatannya
penutup nukleus adalah merupakan tanda awal terjadinya meiosis, dan pada
proses ini terdapat synaptonema yang kompleks. Spermatosit sekunder jarang
kelihatan, kemungkinan disebabkan oleh cepatnya pembelahan, tetapi dicirikan
oleh nukleus yang berisi butiran-butiran halus dan kromatin yang hornogen.
Selama spermiogenesis, nukleus yang berbentuk bola bermigrasi ke bagian tepi
mendekati membran sel. Badan golgi terlihat pada spermatosit primer terletak
pada kutub akrosom Sebuah akrosom benar tidak ada. Badan golgi kompleks
tidak kelihatan Mitokondria ukurannya meningkat, k e m u n g k i i mengalami
penggabungan untuk mencapai ukuran 1 pm dan terletak di bagian belakang
dengan dua sentriole, tersusun tegak lurus antara satu dengan yang lainnya. Satu
sentriole memunculkan axonema berflagella yang berisi susunan rnikrotubula, dua
mikrotubula terletak dibagian tengah dan sembilan pasang rnikrotubula diletakkan
disekitarnya (Harrison dan De Vos,1991).
Sperma matang pada Suberitas massa mempunyai bentuk kepala seperti
kerucut yang melekat rapat pada potongan bagian tengah yang berisi tiga
mitokondria besar. Badan golgi terletak pada kutub opposite diantara penutup
nukleus dan membran sel. Dua sentriole terletak pada bagian dasar nukleus.
Flagella panjang tertanam secara tidak langsung pada potongan bagian tengah
(Harrison dan De Vos, 1991). S p e m yang sudah terbentuk kemudian
dikeluarkan melalui arus saluran pengeluaran dan meletakkannya pada spons yang
lainnya pada arus saluran pemasukan. Beberapa spons tropik yang diobservasi
mengeluarkan spermanya tiba-tiba seperti awan susu yang besar, dan pengeluaran
sperma secara tiba-tiba mungkin merupakan ciri khas kebanyakan spons (Rupert
d m Barnes, 1991).
Spermatocyst pada jenis Haliclona amboinensis, Haliclona cymiformis dan
Niphates nitidiz adalah kecil dan ditemukan pada densitas yang tinggi sepanjang
mesohyl, kadang-kadang mengelompok dalam dua atau tiga cyst tetapi pada lokasi
yang berbeda. Cyst pada Haliclona amboinensis berdiameter 26
* 4 pm (n = lo),
*
berdiameter 19 2 pm (n = 10) pada Niphates nitida, berdiameter 26 f 4 pm (n =
10) pada Haliclona cymgormis (Fromont, 1994). Pada Xestospongia bergquistia,
X
testudinaria, X
exigua sperma berkembang secara bersama-sama
(synchronous) di dalam cyst tetapi perkembangan antara cyst berbeda satu atau
dua hari. Pada X bergquistia, spermatogonia dengan nukleus hampir tidak
kelihatan tiga hari sebelum memijah. Pada jenis ini sperma matang dengan warna
nukleus yang sedikit gelap terdapat pada dinding cyst (diameter 57 pm; n = 5) dua
hari sebelum memijah pada tahun 1988. Pada sperma X testudinaria dengan
warna nukleus yang kuat terdapat pada jantan empat hari sebelum memijah pada
tahun 1989, dan s p e m matang ditemukan di dalam cyst (diameter 337 pm;
n = 5) satu hari sebelum meniijah pada tahun 1987. Pada sampling tahun keempat
X exigua, spermatosit (diameter 56 pm; n
=
10) kelihatan pada Februari 1990,
dengan waktu perkembangan yang tidak diketahui, tetapi lebih pendek daripada
oosit (Fromont dan Bergquist, 1994).
Tahap perkembangan sperma spons jenis Aaptos aaptos yang berasal dari
alam dan hasil transplantasi di Pulau Barrang Lompo, Sulawesi Selatan,
berdasarkan
studi
histologis
dengan
pewarnaan
Hemtoksilin-Eosin
dikelompokkan oleh Harris (2005) ke dalam empat kategori, yaitu :
1. Secara histologis, pada tahap spermatosit I, spermatosit di dalam kantong
sperma belum terlihat jelas, jaringan ikat terlihat lebih dominan, warna
kantong sperrna dan spermatositnya merah muda keputih-putihan, dan
ukuran kantong sperma rnasih relatif kecil (dari alarn diameternya berkisar
24 - 4 1 pm dan dari transplantasi berkisar 10 - 4 1 pm).
2. Pada tahap spermatosit 11, spermatosit di dalarn kantong sperma sudah
agak kelihatan batas-batasnya, warna kantong sperma dan spemtositnya
tetap warm merah muda yang agak tua keputih-putihan, ukuran kantong
sperma lebih besar daripada spermatosit I (dari alam diameternya berkisar
42 - 54 pm dan dari transplantasi diameternya berkisar 42 - 59 pm).
3. Pada tahap spermatosit 111, spermatosit di dalam kantong sperma jelas
kelihatan batas-batasnya, dibeberapa tempat inti spermatosit kelihatan
berwarna biru kehitam-hitaman, ukuran kantong sperma lebih besar
daripada di spermatosit I1 (dari alam diameternya berkisar 55 - 66 pm dan
dari transplantasi diameternya berkisar 60 - 75 pm)
4. Pada tahap spermatid, spermatosit berubah menjadi spermatid. Bila
dilakukan pembesaran beberapa kali (zoom) nampak jelas spermatid sudah
memiliki kepala dan ekor, ukuran sitoplasma spermatid semakin kecil,
pada saat ini spermatid sudah hampir membentuk sperma. Ukuran kantong
sperma pada tahap ini lebh besar daripada di spermatosit III clan hampir
mencapai maksimum (dari alam diameternya berkisar 67 - 90 pm dan dari
transplantasi diameternya berkisar 76 - 106 pm).
Oogenesis
Oogonia pada s p n s berasal dari archzeocytes atau choanocytes (Rupert
dan Barnes, 1991; Harrison dan De Vos, 1991). Oogonia yang asal mulanya dari
choanocytes, seperti pada Suberitas massa, Oscarella lobularis, Sycon ciliatum,
Clahtrina clathtrus dan Clathrina cerebrum, choanocytes mernanjang, dan
nukleus berkembang dengan nukleolus yang memonjol. Sitoplasma berisi
peningkatan jumlah mitokondria, dan menjadi melebar. Badan golgi makin lama
makin berkembang. Choanocytes hilang sel-sel leher (collars) dan flagellanya
sebelum bermigrasi ke dalam mesohyl dan mengakumulasi phagosome (Harison
dan De Vos, 1991).
Surnber gamet betina antara lain berasal dari nucleolate amebocytes
dengan sitoplasma basophilic (archaeocytes) atau choanocytes. Oogonia atau oosit
awal melalui tingkat amoeboid. Pemunculan dari nurse cell yang khusus seperti
pada periode awal oogenesis merupakan ciri khas dari Haplosclerida. Beberapa
mesohyl nucleolate amebocytes secara signifikan meningkat dalam ukuran dan
phagosome yang besar, sejumlah besar granula, termasuk lernak, dan ribosom
bebas dalam sitoplasma, retikulum endoplasma kasar tidak ada. Sel-sel ini
meningkat dalam jurnlah dan konsentrasi disekitar oosit yang berkembang, sering
disebut nurse cell atau trophocytes. Oocytes dan tropocytes biasanya tidak
berhubungan lewat jembatan sitoplasma dan dikelilingi oleh epitel folikular, yang
belum pernah disebutkan untuk spons. Selanjutnya dikatakan bahwa nurse cell
merupakan s o m tik sel yang menyediakan sumber dari kuning telur selarna
oogenesis dan gemmulogenesis. Oosit previtellogenic menunjukkan pergerakan
amoeboid, secara &if bergerak dalam mesohyl memfagositosis nurse cell atau
%men
mereka lewat lobopodia dan meningkat secara cepat dalam ukuran
(Ereskovkii,1999).
Sebelum memulai vitellogenesis, oosit berhenti menutup ke excurrent
canal dari sistem irigasi, dalam bagian tengah atau basal dari choanosome. Di situ,
dikelilingi oleh lapisan mendatar dari pinacocyte atau collencyte, dan disebut
kapsul embrional. Proses ini telah digambarkan pada beberapa farnili rnisalnya
Spongillidae (S. Lacustris, E. Fluviatilis, E. Muelleri, Eunapius fragilis, dan
Radiospongilla cereballata), Potamolepidae (P. Stendelli dan Malawispongia
echinata), Hdiclonidae (HrlIicIo~~
ecbasis, H Loosanofl, H Permolis, H
Aqueductus) dan Lubomirskiidae (L.baiklensis, B. Bacillifera dan S. Papyracea
(Ereskovskii, 1999).
Pada beberapa Haplosclerida, nurse cell yang memasuki sitoplasma dari
oosit hampir tidak mengalami cytolisis. Misahya, pada H ecbasis dan H
loosanofi, hanya nuklei dari nurse cell yang ditelan (ingested) oleh oosit:
sitoplasmanya menunjukkan hampir tidak ada perubahan. Pada G. angulatus,
membran plasma dari sel yang diingesti d i i c u r k a n dan sitoplasmanya menjadi
granula besar (bisa mencapai 62 pm diameternya), dimana nuklei dari sel-sel ini,
dengan nucleoli didalamnya, menyisakan hampir tidak berubahnya granula untuk
waktu yang lama (Ereskovskii, 1999).
Akhir dari vitellogenesis, telur dipenuhi dengan sebagian oleh nurse cell
yang dicerna atau kuning telur (yolk-type inclusions) yang berbeda dalam ukuran
dan komposisi. Yang terakhir terbagi menjadi granular yang menutupi pusat ruang
sekitar nukleus clan besar, terrnasuk bentuk seperti bola yang berlokasi
disekeliling telur. Melalui periode perkembangan hi, hanya kapsul embrional
yang tersisa sekitar telur (Ereskovskii, 1999).
Spons jenis Suberitas massa mempunyai oogonia berdiameter 7 - 8 pm,
hanya dua kali ukuran choanocytes. Oosit muda mengakumulasi glikogen dan
vitelline dan pseudopodia lembut memanjang m a s k ke dalam mesohyl.
Mitokondria ukuran dan jumlahnya meningkat dan cenderung mengumpul
bersama, sementara badan golgi jumlahnya meningkat dengan cepat. Materil
nukleus padat sering memanjang melalui lubang nukleus dan masuk ke dalam
sitoplasma. Oosit matang cepat besar, ukuran diameternya 77 pm dengan ukuran
diameter nukleusnya 17 pm yang berisi sebuah nukleolus tunggal berdiameter 5
pm. Sitoplasma dibagi ke dalam dua zona yang dipisahkan oleh sejumlah
kelompok rnitkondria. Pada bagian tengah, keIihatan zona yang berisi beberapa
vitelline tetapi memperlihatkan sejurnlah badan golgi perinukleus. Pada zona
bagian luar secara struktural berisi sejurnlah vitelline heterogen yang berdiameter
0.5 - 2.0 pm, ribosom dan glikogen melimpah. Mitokondria ditemukan pada batas
bagian dalam zona bagian tepi, yang sering hilang membrannya dan
mengeluarkan materil berupa butiran-butiran halus ke dalam sitoplasma.
Archaeocytes mengelilingi oosit matang dengan sebuah folikel epitel yang
berbentuk datar (Harrison dan De Vos, 1991).
Pada Xestospongia bergquistia, perkembangan telurnya membutuhkan
waktu paling sedikit 178 hari sedangkan Xestospongia testudinaria 155 hari.
Perkembangan awal oosit jenis ini sama dan telur matang kedua jenis ini
mempunyai kuning telur yang berbeda, nukleolus kelihatan di dalam nukleus, dan
beberapa telur mernpunyai pinggiran yang seperti kerang, sementara yang lainnya
terhenti pertumbuhannya. Karakteristik telur matang ini terjadi pada Xestospongia
bergquistia tetapi tidak pada Xestospongia testudinaria (Fromont, 1988), tetapi
penelitian lain pada jenis yang sama, perkembangan telur sangat cepat, dan
sempurna kira-kira 58 hari (Fromont clan Bergquist, 1994).
Materil nutrisi oosit pada sebagian spons diabsorbsi melalui pinositosis,
fagositosis dan oleh pseudopodia yang bersentuhan dengan bermacam-macam tipe
sel, tetapi
pada umumnya diabsorbsi dengan pinositosis. Oosit umurnnya
mengakumulasi cadangan nutrisinya melalui penelanan sel-sel perawat (nurse
cells) yang berada didekatnya dan biasanya terdapat di dalam suatu kelompok selsel yang mengelilinginya (Rupert dan Barnes, 1991). Pada tahap awal
pertumbuhan oosit meliputi asimilasi nutrien, kemungkinan dengan pinositosis
yang berasal dari mesohyl yang bermigrasi melalui sarung sel-sel folikel yang
mengelilinginya dan mensintesa vitelline (Harrison dan De Vos, 1991).
Tahap perkembangan oosit spons jenis Aaptos aaptos yang berasal dari
alam dan hasil transplantasi di Pulau Barrang Lompo, Sulawesi Selatan,
berdasarkan
studi
histologis
dengan
pewarnaan
Hematoksilin-Eosin
dikelompokkan oleh Harris (2005) ke dalam empat kategori ,yaitu :
1. Pada tahap oosit I, oosit ukurannya rnasih sangat kecil, inti sel belum
narnpak jelas begitu pula anak inti. Ukuran oosit sarnpel dari alam berkisar
20 - 45 pm, sedangkan yang dari transplantasi berkisar 13 - 45 p m Pada
tahap ini oosit menyebar dalam kelompok-kelompok kecil pada lapisan
mesohyl.
2. Pada tahap oosit 11, oosit semakin besar dan ukurannya lebih besar
daripada oosit I. Ukuran oosit sampel dari alam berkisar 48 - 66 pin,
sedangkan yang dari transplantasi berkisar 48 - 66 p m Pada tahap ini inti
sudah agak kelihtan, butiran-butiran lemak pada sitoplasma sudah mulai
kelihatan.
3. Pada t d a p oosit 111, oosit sudah sernakin besar dan ukurannya lebih besar
daripada oosit 11. Ukuran oosit sampel dari alarn berkiw 67 - 83 pm
sedangkan yang dari transplantasi berkisar 66 - 83 p m Pada tahap ini
but&-butiran
lernak sudah semakin memadat.
4. Pada tahap oosit IV (matang), oosit sudah semakin besar dan mencapai
ukuran maksimum. Pada tahap ini oosit sudah berubah menjadi ootid atau
telur yang siap dipijahkan. Ukurannya pada tahap ini lebih besar daripada
oosit 111. Ukuran ootid atau telur sampel dari alam pada tahap ini berkisar
84 - 134 pm sedangkan yang dari transplantasi berkisar 86 - 117 pm).
Pada tahap ini butiran-butiran lemak sudah semakii mernadat, oosit
membentuk kelompok dalam sebuah untaian yang dilekatkan antara satu
oosit dengan oosit lainnya oleh semacam lendir.
Fertilisasi
Sperrna meninggalkan spons lewat oskulurn dan dengan bantuan arus air
masuk ke spons lainnya dengan cara yang sama. Spons tertentu di daerah tropis
yang telah diamati melepaskan sperma mereka secara tiba-tiba dalam bentuk awan
susu yang besar. Awan sperma dapat mencapai dua sampai tiga meter dari dasar
dan menginduksi spons lainnya untuk mengeluarkan sperma mereka (Barnes,
1987). Pengeluaran sperma secara tiba-tiba mungkin merupakan ciri dari
kebanyakan spons (Barnes, 1987). Setelah di dalam air, sperma masuk ke dalam
sistem aquiferous dari individu lain yang mengandung oosit dan melintasi
perbatasan seluler dari choanoderm, masuk ke mesohyl, lokasi dari oosit,
menembus batas folikel, dan akhirnya membuahi telur (Brusca dan Brusca, 1990).
Menurut Florkin dan Scheer (1968), sperma masuk ke incurrent canal kemudian
ditangkap oleh choanosit yang mana akan menjadi sel pembawa yang membawa
spermatozoa menuju oosit.
Fertilisasi terjadi s e m in situ, yakni setelah sperma mencapai ruang
berflagella, sperma akan ditelan oleh choanocyte, yang akan mernindahkan
sperrna menuju ke telur. Kedua sel kehilangan flagella mereka. Setelah sel
pembawa sperma mencapai telur (yang mana akan tertutup dalam sekeliling
mesohyl), salah satu sel pembawa mentransfer nukleus sperrna atau sel pembawa
dan nukleus sperma ditelan oleh telw (Rupert dan Barnes, 1991).
Mekanisrne lain terjadinya fertilisasi pada spons adalah bahwa fertilisasi
menjadi sempurna dengan ban-
choanocyte, yang menangkap sperma yang
masuk ke sistem saluran. Choanocytes yang menangkap sperma menjadi
amoeboid dan membawa sperma ke oosit yang mau menerima, atau memberikan
sperma ke amoebocyte yang bertindak sebagai sel pembawa. Kedua pola transfer
sperma mungkin terjadi dalam spesies yang berbeda dari genus yang sama
(Kozloff, 1990). Proses fertiliwi pada spons dapat dilihat pada Gambar (7 dan 8).
Gambar 7 Proses fertilisasi pada spons Grantia. (a) Sperma ditangkap oleh
choanocyte; (b) P e r n i n e sperma oleh transfer choanocyte ke oosit
(Brusca dan Brusca, 1990)
Individu betina
ampang rnembujur tub& spons
Gambar 8 Proses fertilisasi pada spons :
A. Proses pemijahan dimana spons jantan mengeluarkan sperma yang akan masuk ke dalarn tubuh spons betina melalui incurrent canal
B. Proses masuknya sperma ke dalam tubuh spons betina melalui incurrent canal dimana sperma &an ditangkap oleh sel choanosit
C . Di dalam sel choanosit, sperma akan kehilangan flagellanya demikian juga dengan flagella dan collar sel choanosit tersebut
D. Sel choanosit yang menelan sperma akan berubah menjadi 'carrying cell' (sel pembawa) yang akan membawa sperma menuju ke telur yang berada
dalam lapisan mesohyl
E. 'Carrying cell' dengan sperma didalamnya melakukan penetrasi untuk memindahkan spema ke dalam telur yang akan dibuahi, dengan demikian,
telur yang akan dikelmkan oleh spons betina adalah telur yang telah dibuahi clan berkembang menjadi zigot
(Dimodifikasi dari Waterston, 1975; Kozloff, 1990)
Perkembangan larva
Pada sebagian besar spons, perkembangan tingkat larva terjadi di dalam
tubuh induknya. Pada kebanyakan spons larva berada dalam bentuk blastula, dan
gastrulasi umumnya terjadi setelah larva menempel (Harrison dan de Vos, 1991).
Larva dari kelas Calcarea disebut "amphiblastula" sedangkan larva dari kelas
Demospongiae disebut "parenchymellla". Larva parenchymella berkembang
melalui tiga proses, yaitu: (1) pembelahan (cleavage) membentuk stereoblastula
non-flagella;
(2) perkembangan pseudostratified flagella epitelium; (3)
cytodiferentiation sel-sel internal larva bersama-sama dengan mobilisasi cadangan
viteline (Harrison clan de Vos, 1991).
Perkembarigan larva parenchymella dirnulai dengan membentuk blastula,
blastula selanjutnya mengalami pembelahan menjadi micromer peripheral dan dan
macrorner internal.
Mikromer
mengalami pembelahan menjadi
lapisan
epitheliocyte peripheral yang membentuk flagella Melalui permisahan, makromer
membentuk rongga anterior larva Rongga anterior ini dibatasi oleh lapisan
pinacocytes, diiana, pada gilirannya, rneniadi sel-sel ameboid. Sel-sel ini berada
dibawah lapisan sel-sel berflagella, bermigrasi menuju bagian massa sel posterior
larva. Massa sel posterior terdiii dari archaeocytes yang berasal dari makromer.
Perkembangan selanjutnya dari larva, krbagai macam tipe sel dapat dikenali
dalam daerah ini seperti, choanocytes, sclerocytes clan spikula, dan archaeocytes
(Harrison dan de Vos, 1991).
Larva parenchymella mempunyai sel-sel monocilia yang menutupi seluruh
permukaan tubuhnya, kecuali bagian posteriomya Spikula seringkali ada, dan
interior larva urnurnnya memiliki hampir semua tipe sel seperti yang terdapat pada
individu dewasa, kecuali choanocytes. Larva parenchymella keluar dari mesohy1
menuju ke sistem excurent canal induknya dan menjadi larva yang berenang bebas
untuk beberapa saat (Ruppert dan Barnes, 199 1).
Lama parenchymella mempunyai kehidupan planktonik yang pendek,
biasanya hanya beberapa hari (Brusca dan Brusca, 1990). Menurut Ilan dan Loya
(1988) larva pada spons jenis Niphates sp. pertarna kali menempel enam jam dan
larva terakhir yang menempel adalah 17 hari setelah dikeluarkan dari tubuh
induknya. Sebelum menempel, larva diamati berenang dengan menggunakan cillia
dan melakukan manuver dengan cilia panjang pada bagian posteriornya. Larva
biasanya melakukan kontak dengan substrat pertama kali dengan menggunakan
bagian anteriornya.
Gambar 9 Bentuk larva parenchymella pada spons ( Brusca dan Brusca, 1990)
Perkembangan spons muda
Setelah menempel dan melekat pada substrat dengan menggunakan bagian
posteriornya, larva spons mengalami perubahan-perubahan internalnya. Pada larva
parenchyrnella, sel-sel flagella bagian luar kehilangan flagellanya dan berpindah
ke bagian dalam, dirnana flagellanya terbentuk kembali dm membentuk
choanosit, dan sel-sel internal berpindah ke bagian pinggir dan membentuk
pinacocyte. Larva yang mengalami metarnorfosis menjadi individu muda, disebut
"olynthus" pada kelas Calcarea dan "rhagon" pada kelas Demospongiae (Rupert
dan Barnes, 1991). Setelah rongga pusat (central cavity) terbentuk dengan jelas
dalarn spons muda, sel-sel porocytes menempatinya. Selanjutnya sel-sel porocytes
bergerak keluar menuju posisi fungsionalnya disekitar rongga. Saat oskulurn
membuka, spons muda pada dasamya mempunyai tipe asconoid, dengan
perubahan selanjutnya akan menjadi tipe leuconoid yang kompleks ( Kozloff,
1990).
Menurut Ilan dan Loya (1988), pada spons jenis Niphates sp., setelah
larvanya menempel pada substrat dengan bagian posteriornya, larva mengalami
metarnorfosis menjadi bentuk spons yang sesil. Setelah 24 - 36 jam sejak
penempelan, bentuk larva hilang dan terjadi pembentukan spons baru dengan
struktur jaringan yang lebih halus atau lembut. Setelah dua atau tiga hari
kemudian tipikal struktur spons dewasa telah &pat diamati. Menurut Rupert dan
Bames (1991), beberapa spons laut hidup hanya satu tahun, sedangkan yang
lainnya hidup beberapa tahun lamanya.
Faktor-faktor yang Mempengaruhi Gametogenesis
Suhu air umumnya dianggap sangat penting diantara faktor eksternal yang
mempengaruhi gametogenesis pada spons dan hewan laut lainnya pada daerah
yang perubahan musimnya besar (Sara, 1992; Fromont, 1994). Faktor yang lain
mungkin penting adalah cahaya (Sara, 1992),
khususnya fotoperiode, dan
ketersediaan makanan. Pada kenyataannya seksualii spons dipengaruhi oleh
musim, terutama suhu perairan (Sara, 1992). Selain faktor eksternal juga terdapat
faktor internal yang penting untuk merangsang pematangan seksual pada spons
antara lain adalah, kontrol genetik, senyawa yang mirip dengan hormon,
keberadaan jumlah vitelline pada sel spons atau sejumlah besar archaeocytes
segera setelah gemmule menetas dan pengaruh umur dan ukuran spons (Sara,
1992). Menurut Simpson (1984) dalam Sara (1992), secara umum, permulaan
dan tingkat gametogenesis tidak bergantung pada ukuran. Ukuran minimum saat
melakukan reproduksi pada spons jenis Tetilla serica panjangnya sekitar 10 cm
(Watanabe, 1957 &lam Sara, 1992) dan pada spons jenis Hippospongia lachne,
diameternya sekitar 14 cm (Storr, 1964 &lam Sara, 1992). Di lain pihak, spons
jenis Subertitas _ficus, oogenesis biasanya terjadi hanya pada specimen yang
besarnya tidak lebii dari 5 crn
Spons jenis Hippospongia Zachine produksi oosit dan embrio setiap bulan
pada tiga lokasi yang berbeda, berhubungan dengan
kejadian dari puncak
reproduksi dengan temperatur perairan. Di British Honduras gametogenesis
umumnya terjadi antara Maret dan April di Bahama antara April dan Juni, dan di
Cedar Keys (Florida) antara Juni dan Juli. Puncak reproduksi di tiga lokasi
berhubungan dengan suhu air pada 29°C dan suhu terendah pada 23°C. Di British
Honduras dan Bahama beberapa spesimen reproduktif ditemukan sepanjang
tahun, di Cedar Keys reproduksi terhenti pada musirn dingin dengan suhu yang
t u . secara drastis, reproduksi hanya terjadi antara April dan Oktober. Hubungan
antara kisaran suhu dan reproduksi ditemukan pada Haliclona loosanoffi di lokasi
yang berbeda di Pantai Arnerika Utara. Reproduksi terjadi pada kisaran suhu
antara 20°C dan 27°C. Awal reproduktif terlambat pada perairan yang lebih
dingin, dan oleh karena itu Haliclona loosanofl juga mendapatkan suatu musim
yang pendek untuk perkembangan hibernasi gemmule, yang merupakan fase
aseksual pada siklus reproduksi jenis spons intertidal ini (Sara, 1992).
Pemilihan waktu reproduksi pada jenis Haliclona amboinensis, Haliclona
cymiformis, dan Niphates nitida bertepatan dengan meningkatnya suhu perairan.
Spons secara reproduktif aktif sepanjang bulan-bulan pada musirn panas.
Penghentian aktivitas umumnya terjadi pada saat suhu perairan turun. Aktivitas
reproduksi juga bertepatan dengan peningkatan total cahaya matahari dan curah
hujna. Periode utama aktivitas reproduksi pada Haliclonu amboinensis terjadi
antara September dan Maret ketika suhu antara 23" - 29OC tetapi individu aktif
secara reproduktii juga ditemukan pada Mei 1987 dan April 1989. Larva hanya
ditemukan pada spesimen antara Desember clan Maret ketika suhu perairan di atas
29°C. Niphates nitida mempunyai periode reproduksi paling panjang dengan
individu yang matang ditemukan antara Juli ketika suhu perairannya sangat
rendah (c22OC) dan Maret. Individu yang matang juga terdapat pada Mei dan Juni
1987 dan pada April 1989. Larva jenis ini ditemukan pada September 1986 ketika
suhu 25OC. Haliclona cymifomis mempunyai musim reproduktif yang paling
pendek, aktif secara reproduktif pada Desember ketika suhu maksimum di musim
panas atau dekat m u s h panas dan aktifitas terhenti pada Januari. Individu yang
matang juga terdapat pada Maret 1988 dan April 1989 dan larva ditemukan pada
Desember dan Januari (Fromont, 1994).
Faktor eksternal yang juga mempengaruhi reproduksi spons adalah cahaya,
yang mungkin berhubungan dengan intensitas dan panjang hari. Pada tempat yang
sama, ada jenis spons yang periode reproduksinya terjadi pada musim semi musim gugur atau musim panas - m u s h gugur. Jenis spons yang lain mempunyai
periode reproduksi yang lebih terbatas, sebagai contoh Clathrina coriacea yang
terjadi pada m u s h gugu atau pada Sycon yang terjadi sepanjang tahun. Kadangkadang ada dua periode reproduksi yang berbeda selama setahun, misalnya pada
Haliclona loosanoffi, periode reproduksi yang pertarna terjadi selarna Juni dan
Juli dan periode reproduksi yang lainnya terjadi selama Oktober dan November.
Heterogenitas periode reproduksi pada spons terjadi juga pada perairan tropis,
tetapi pada umurnnya spons reproduktif sepanjang tahun, sebagai akibat
kestabilan suhu perairan (Sara, 1992). Peningkatan suhu atau insiden cahaya
memberikan kontribusi pada pemilihan waktu gametogenesis pada spons di
perairan tropis pada Great Barrier Reef, tiga parameter iklim (suhu laut, cahaya
sinar matahari, dan curah hujan) berhubungan dengan awal dan penghentian
aktifitas reproduksi pada tiga jenis spons, yaitu : Haliclona amboinensis,
Haliclona cymformis, dan Niphates nitida (Fromont, 1994).
Fotoperiode penting untuk pematangan oosit, misalnya pada spons
intertidal Haliclona pennolis di pantai Oregon Tengah. Pematangan oosit ini
berhubungan dengan suhu jaringan pada spons ini yang diakibatkan oleh
fotoperiode. Permulaan oogenesis selarna awal Maret berhubungan dengan
peningkatan intensitas cahaya, sementara spermatogenesis berhubungan dengan
suhu jaringaa Spons ini secara fisiologi dapat membentuk spermatosit lebih
lambat pada suhu yang lebih tinggi. Pengaruh positif fotoperiode terjadi juga pada
proses pembentukan gernmule pada spons ini (Sara, 1992).
Di daerah tropik, walaupun studi reproduksi spons masih relatif Mikit,
tetapi beberapa penelitian sudah dapat memberikan gambamn, seperti yang
dilakukan oleh Ilan dam Loya (1988) yang menemukan bahwa keliiatannya
gametogenesis berhubungan juga dengan peningkatan suhu perairan pada spons
Niphates sp, tetapi dijelaskan bahwa aktivitas reproduksi di atas musim kemarau
dapat juga berhubungan pada musirn tidak kelihatannya alga bentik. Pada
kebanyakan spesies hewan laut, siklus bulan mungkii memicu waktu pematangan
s p e m dan telur (Norton, 1981, Phiiips et al.1990 dalam Rani, 2004). Hoppe dan
Reichert (1987) menjelaskan juga bahwa pengeluaran gamet spons jenis
Neofibularia nolitangere pada daerah tropik berhubungan erat dengan fase bulan
Menurut Harris (2005), pengeluaran sperma spons jenis Aaptos aaptos
baik yang ditransplantasi maupun yang diambil dari alam terjadi beberapa hari
setelah bulan pumama pada pexiode Juni-Juli 2003 dan beberapa hari setelah
bulan seperempat pada periode September-Oktober 2003. Pengeluaran telur spons
jenis Aaptos aaptos, baik yang ditransplantasi maupun yang diambil dari alam
terjadi beberapa hari setelah bulan purnama pada periode Juli-Agustus 2003 dan
bulan bulan seperempat pada periode September-Oktober 2003. Penelitian
terhadap spons jenis Aaptos aaptos di Pulau Barrang Lompo ini baik yang
ditransplantasi maupun yang diambil dari alam mengeluarkan atau menghasilkan
sperma dan telur beberapa kali dalam setahun, dan diperkirakan mengelurkan telur
atau spermanya beberapa hari setelah bulan purnama dan bulan seperempat. Hal
ini disebabkan karena W o r eksternal yang mengontrol reproduksi, seperti suhu
air, fotoperiode cahaya mataharii nutrien, dan curah hujan fluktuasinya relatif
kecil selama penelitian di lokasi tersebut. Fenomena seperti ini umumnya
ditemukan pada spons atau hewan laut lainnya yang hidup di daerah tropis.
Selain itu, faktor lingkungan yang juga turut mengatur waktu reproduksi
bagi kebanyakan hewan laut adalah pasang surut. Pada karang resim pasang surut
dan serbuan kegelapan memainkan peran sebagai 'fi.ingsi penguat' yang
menentukan waktu nyata ketika pemijahan akan terjadi (Babcock et al. 1986,
Hunter, 1988 dalam Rani, 2004). Babcock et a1 (1986) dalam Rani (2004),
menduga bahwa waktu pemijahan mungkii berhubungan dengan konsentrasi dan
akumulasi gamet pa& pasang rendah. Keberhasilan pelepasan gamet secara
sinkroni dalam populasi terjadi ketika pasang rendah ialah memaksimalkan
kesuksesan pembuahaa Sedangkan suhu, cahaya bulan dan rnatahari hanya
digunakan oleh karang-karang sebagai isyarat untuk pemijahan sinkronis. Isyarat
ini digunakan oleh spesies karang sebagai salah satu tanda untuk memperoleh
infiolraasi satu sama lain. Pentingnya ketepatan waktu selama siklus bulan atau
pasang-surut terhadap peristiwa pemijahan pada karang dibutuhkan untuk
membebaskan predasi ketika karang tetap menghasilkan suatu konsentrasi gamet
yang tinggi dan juga memaksimalkan pembuahan.
Faktor lingkungan yang paling berkaitan dalam pemijahan sinkronis ialah
adanya peningkatan suhu perairan untuk pematangan gamet, adanya isyarat bulan
untuk tanggal pemijahan, dan kemudian dibutuhkan periode gelap untuk waktu
pelepasan (Harrison et al. 1984 dalam Rani, 2004). Menurut Fromont (1988)
spons jenis Xestospongia testudinaria yang berbentuk lunak (softform) memijah
sehari setelah bulan baru (new moon) pada saat puncak pasang surut (peak tidal
range) clan suhu rata-rata harian air laut sekitar 27.4"C pada tahun 1986. Pada
tahun 1987, spons dengan bentuk lunak dari jenis ini, tennasuk yang diamati pada
tahun 1986, memijah 6-7 hari setelah bulan penuh (full moon) pada saat amplitudo
minimum pasang surut (minimum tidal amplitudo) dan suhu rata-rata air laut
sekitar 28°C. Pada bentuk yang keras (hardform) dari spons jenis Xestospongia
testudinaria rnenunjukkan adanya hubungan antara pernijahan dan siklus bulan.
Pada tahun 1986, bentuk keras dari spons jenis ini memijah sehari setelah bulan
penuh (full moon) dan hanya setelah arnplitudo rnaksimum pasang-surut
(maximum tidal amplitudo). Tidak ada data suhu yang tersedia untuk waktu ini
tetapi ha1 ini terjadi pada permulaan musirn panas, yang diasumsikan
ternperaturnya meningkat. Pada tahun 1987, bentuk keras dari spons ini memijah
pada saat bulan baru (new moon) dirnana amplitudo pasang surut sangat tinggi
(tidal amplitudo hadpeaked) dan suhu rata-rata harian air laut sekitar 26°C.
Download