NASKAH PUBLIKASI PERBEDAAN TINGKAT EFIKASI DIRI CORE SKILLS MAHASISWA DITINJAU DARI STATUS KEAKTIFAN DALAM BERORGANISASI DAN BEKERJA PARUH WAKTU Oleh: TINA ANDRILINA IRWAN NURYANA K PROGRAM STUDI PSIKOLOGI FAKULTAS PSIKOLOGI DAN ILMU SOSIAL BUDAYA UNIVERSITAS ISLAM INDONESIA YOGYAKARTA 2007 i NASKAH PUBLIKASI PERBEDAAN TINGKAT EFIKASI DIRI CORE SKILLS PADA MAHASISWA DITINJAU DARI STATUS KEAKTIFAN DALAM BERORGANISASI DAN BEKERJA PARUH WAKTU Telah Disetujui Pada Tanggal Dosen Pembimbing Utama (Irwan Nuryana K., S. Psi., M. Si.) ii PERBEDAAN TINGKAT EFIKASI DIRI CORE SKILLS MAHASISWA DITINJAU DARI STATUS KEAKTIFAN DALAM BERORGANISASI DAN BEKERJA PARUH WAKTU Tina Andrilina Irwan Nuryana Kurniawan INTISARI Penelitian ini bertujuan untuk menguji apakah ada perbedaan tingkat efikasi diri core skills mahasiswa ditinjau dari keaktifan berorganisasi dan bekerja paruh waktu. Asumsi awal pada penelitian ini adalah tingkat efikasi diri core skills mahasiswa AOPW lebih tinggi dari tingkat efikasi diri core skills pada mahasiswa AO, APW dan TAOPW; tingkat efikasi diri core skills mahasiswa AO dan mahasiswa APW lebih tinggi dari mahasiswa TAOPW. Tingkat efikasi diri core skills mahasiswa yang aktif berorganisasi lebih tinggi dari mahasiswa yang tidak aktif berorganisasi, begitu pula tingkat efikasi diri core skills mahasiswa yang aktif bekerja paruh waktu lebih tinggi dari mahasiswa yang tidak aktif bekerja paruh waktu. Subjek pada penelitian ini adalah mahasiswa Prodi Psikologi UII angkatan 2004, 2003, 2002, 2001 dan seterusnya ke atas yang berusia 19-25 tahun dan berjenis kelamin laki-laki dan perempuan. Skala yang digunakan pada penelitian ini adalah skala efikasi diri core skills yang di adaptasi dari Key Skills Audit dalam The Keynote Project (2003) dan Skala Transferable Core Skills dari Program Hibah Kompetisi A3 Prodi Psikologi UII (2006), namun dengan mengacu pada aspek-aspek core skills yang dikemukakan HM Inspectorate of Education in Scotland (2001);Tribe (Loo & Toolsema, 2005) dan Scottish Qualification Authority (1998). Metode analisis data yang digunakan untuk menguji hipotesis penelitian adalah oneway anava dan t-test independent samples dengan bantuan program SPSS 12.0 for windows. Hasil analisis data menunjukkan bahwa tingkat efikasi diri core skills mahasiswa AOPW lebih tinggi dari AO, APW dan TAOPW; AO dan APW lebih tinggi dari TAOPW; dan AO tidak berbeda secara signifikan dengan APW. Hasil analisis menggunakan t-test independent samples ditinjau dari keaktifan berorganisasi menunjukkan bahwa koefisien signifikansi 2-tailed sebesar 0,034 yang berarti bahwa ada perbedaan tingkat efikasi core skills dimana tingkat efikasi diri core skills mahasiswa yang aktif berorganisasi lebih tinggi dari pada tingkat efikasi diri core skills mahasiswa yang tidak aktif berorganisasi. Hasil analisis t-test independent samples ditinjau dari keaktifan bekerja paruh waktu menunjukkan koefisien signifikansi 2-tailed sebesar 0,05 yang berarti bahwa terdapat perbedaan efikasi diri core skills pada mahasiswa dsitinjau dari keaktifan bekerja paruh waktu dimana tingkat efikasi diri core skills mahasiswa yang aktif bekerja paruh waktu lebih tinggi dari tingkat efikasi diri core skills mahasiswa yang tidak aktif bekerja paruh waktu. Oleh karena itu seluruh hipotesis pada penelitian ini diterima. Kata kunci: Efikasi Diri Core Skills, Keaktifan Berorganisasi, Keaktifan Bekerja Paruh Waktu iii A. Pengantar Perkembangan teknologi berjalan beriringan dengan peningkatan kebutuhan manusia. Industri di berbagai bidang pun berlomba-lomba untuk memenuhi kebutuhan pasar. Perusahaan-perusahaan membutuhkan sumber daya manusia (SDM) yang tidak sedikit jumlahnya untuk menggerakkan seluruh sektor, namun yang dibutuhkan tersebut bukanlah sekedar pekerja untuk dapat dipekerjakan, melainkan pekerja yang berkualitas, yang mampu menggerakkan perusahaan agar dapat terus berkembang. Employer, menurut Harvey, Moon dan Geal, cenderung untuk mempekerjakan orang-orang yang cerdas, berkualitas, yang mampu memberikan kontribusi dalam pengembangan perusahaan (Yorke & Harvey, 2005). Orang-orang yang dimaksud di atas adalah orang-orang yang memiliki employability atau kesiapan kerja. Employability mengacu pada kapasitas dan kemauan individu untuk dapat tetap menonjol dalam pasar kerja (Carbery & Garavan, 2005). Yorke dan Harvey (2005) menyatakan para employer tidak hanya mencari pekerja yang mampu beradaptasi, fleksibel, dan memiliki keinginan untuk terus belajar, namun juga menginginkan pekerja yang memiliki keterampilan komunikasi, bekerja tim, serta mahir dalam menggunakan teknologi informasi dalam menjalankan perusahaan. Keterampilan komunikasi yang dimaksud mencakup komunikasi lisan seperti presentasi, negosiasi, dan juga termasuk keterampilan dalam berkomunikasi lewat tulisan, misalnya membuat laporan perusahaan, surat, dan lain-lain. Bekerja tim, tidak hanya berarti menjalankan suatu peranan dalam sebuah kelompok, tetapi juga mampu menjalankan peran lain dalam kelompok dan bekerja dalam banyak tim yang saling berhubungan dalam satu waktu. Para employer juga terus menekankan iv akan pentingnya keterampilan menyelesaikan masalah terutama penyelesaian masalah secara kreatif. Berbagai keterampilan kerja yang tersebut di atas mengacu pada core skills. Core skills adalah suatu kompetensi atau keterampilan umum (generic) yang dapat ditransfer (transferable) ke dalam banyak konteks pekerjaan (Tribe dalam Loo & Toolsema, 2005). Core skills harus dimiliki oleh seluruh calon pekerja termasuk lulusan perguruan tinggi. Core skills hendaknya telah dimiliki oleh mahasiswa sebelum mereka lulus kuliah sehingga pada saat memasuki dunia kerja mereka telah siap kerja. Keyakinan pada diri lulusan bahwa mereka telah memiliki core skills juga dipandang sangat perlu karena akan berkaitan dengan daya jual lulusan dalam pasar kerja. Keyakinan diri yang dimaksud adalah efikasi diri terhadap core skills. Efikasi diri adalah keyakinan diri seseorang akan kemampuan-kemampuannya (Bandura, 1997). Lulusan yang memiliki efikasi diri core skills yang tinggi akan tampil percaya diri dan lebih menonjol dalam kompetisi mendapatkan pekerjaan dalam pasar kerja. Lulusan tersebut yakin akan kompetensi dan kualitas diri mereka sehingga daya jual lulusan dapat lebih tinggi. Data yang diperoleh dari Proposal Program Hibah Kompetisi A3 Prodi Psikologi UII (2006) menunjukkan bahwa lulusan Prodi Psikologi UII juga belum memiliki daya saing yang memuaskan dalam pasar kerja. Sebanyak 68,6% alumni memperoleh gaji pertama antara Rp. 500.000,00 – Rp. 1.000.000,00 yang belum dapat dikatakan ideal bagi lulusan S1. Survey yang dilakukan HayGroup (Firdanianty dkk,2007) menunjukkan bahwa gaji rata-rata entry level untuk pekerja dengan tingkat pendidikan S1 adalah di atas Rp. 2.000.000,00. Selain itu sebanyak 48,9% lulusan Prodi Psikologi UII menilai dirinya memiliki kemampuan v yang setara dengan lulusan Psikologi universitas lain, sedangkan yang menilai dirinya jauh lebih baik dari lulusan Psikologi universitas lain hanya sebesar 11,7%. Hal ini mengindikasikan lulusan yang memiliki efikasi diri tinggi terhadap skills yang dimiliki jumlahnya lebih sedikit daripada lulusan yang memiliki tingkat efikasi rata-rata. Padahal untuk dapat menonjol dalam pasar kerja, tentu para lulusan harus memiliki efikasi diri yang tinggi terhadap skills yang dimilikinya. Peningkatan efikasi diri core skills (EDCS) dipengaruhi oleh sejauh mana usaha mahasiswa untuk mengembangkan diri melalui berbagai macam kegiatan dan aktivitas selama mahasiswa masih kuliah, sebagai pengalaman kerja. Pengalaman tersebut dapat berupa pengalaman berorganisasi ataupun bekerja paruh waktu. Tidak semua mahasiswa Prodi psikologi UII aktif berorganisasi dan bekerja paruh waktu sembari kuliah, padahal menurut Akhurst (2005) pengalaman bekerja dan berorganisasi merupakan penunjang daya jual lulusan di mata calon user karena melalui berorganisasi dan bekerja paruh waktu, core skills seperti keterampilan komunikasi, penyelesaian masalah, dan bekerja secara tim maupun mandiri dapat terasah. Fenomena yang terjadi menurut para dosen di Prodi Psikologi UII adalah banyak mahasiswa yang lebih berorientasi terhadap nilai daripada melatih dan mengembangkan core skills itu sendiri. Mahasiswa senantiasa mencari celah untuk memperoleh nilai yang tinggi misalnya dengan meminta kepada dosen untuk memberi nilai tambahan bila mahasiswa hadir 100% dari seluruh kesempatan belajar-mengajar, sehingga untuk itu mahasiswa akan berlombalomba untuk hadir 100%. Padahal yang sebenarnya paling dibutuhkan mahasiswa adalah justru mengumpulkan pengalaman sebanyak-banyak untuk mengembangkan core skills. Tujuan vi mahasiswa kuliah adalah untuk mendapatkan pekerjaan yang sebaik-baiknya dan pada masa kuliah inilah mahasiswa memiliki banyak kesempatan untuk memperkaya pengalaman untuk meningkatkan daya jual dalam persaingan kerja. Oleh karena itulah seharusnya kerangka berpikir mahasiswa diubah, dari berorientasi terhadap nilai menjadi lebih berorientasi terhadap pengembangan core skills diri. Kuliah adalah masa dan kesempatan bagi mahasiswa untuk mempersiapkan diri menjadi lulusan terbaik, oleh karena itu lulusan harus memiliki ilmu dan berbagai skills yang kesemuanya akan dapat mereka kuasai dengan baik melalui penguasaan pengalaman, baik pengalaman berorganisasi maupun bekerja paruh waktu. Bandura (1997) menyatakan bahwa pengalaman merupakan bagian yang sangat penting bagi perkembangan efikasi diri seseorang dan merupakan sumber yang paling kuat diantara sumber lainnya dalam proses pembentukan efikasi diri. Pengalaman dapat mengakibatkan tingkat EDCS pada mahasiswa akan berbeda jika ditinjau dari status keaktifannya dalam berorganisasi dan bekerja paruh waktu. Mahasiswa yang aktif berorganisasi dan juga aktif bekerja paruh waktu (AOPW) akan memiliki tingkat efikasi diri core skills yang lebih tinggi dari mahasiswa yang hanya aktif pada satu bidang saja (aktif berorganisasi saja (AO) atau bekerja paruh waktu saja (APW)), sebab dari segi kuantitas, jumlah pengalaman yang dimiliki mahasiswa yang aktif pada dua bidang tersebut dalam aktivitas bekerja sama, berkomunikasi, bekerja dengan angka, menyelesaikan masalah dan lain sebagainya, jelas lebih banyak dari mahasiswa yang hanya aktif pada salah satu bidang saja. Selain itu, mahasiswa AOPW akan memiliki kesempatan berinteraksi dengan lebih banyak orang pada saat bekerja sama sehingga mahasiswa dapat mengevaluasi kinerjanya dengan membandingkan kemampuan diri yang dimiliki dengan orang lain yang dapat menjadi motivator vii untuk semakin meningkatkan kemampuan diri. Ditinjau dari segi kualitas, pengalaman yang banyak dalam kegiatan berorganisasi dan bekerja paruh waktu akan membuat mahasiswa terbiasa bekerja dengan core skills. Hal tersebut akan berdampak pada penguasaan terhadap core skills sehingga tingkat EDCS mereka pun lebih tinggi dari mahasiswa yang hanya berpartisipasi pada satu bidang saja, terlebih lagi dari mahasiswa yang tidak aktif baik dalam organisasi dan bekerja paruh waktu. Tingkat EDCS mahasiswa yang hanya aktif berorganisasi saja (AO) dimungkinkan akan tidak jauh berbeda dengan tingkat EDCS mahasiswa yang hanya aktif bekerja paruh waktu saja (APW). Davis (Sutarto, 2002) menyatakan bahwa organisasi adalah suatu kelompok orang yang sedang bekerja ke arah tujuan bersama di bawah kepemimpinan. Mooney (Sutarto, 2002) juga menyatakan organisasi adalah bentuk setiap perserikatan manusia untuk pencapaian tujuan bersama. Oleh karena itu aktivitas dan tugas yang dilakukan mahasiswa dalam berorganisasi dan bekerja pun juga hampir sama, begitu pula kesempatan untuk melatih core skills. Meski demikian, tingkat EDCS mahasiswa AO dan APW tentu lebih tinggi dari mahasiswa yang tidak aktif sama sekali pada bidang-bidang tersebut. Mahasiswa yang tidak aktif dalam berorganisasi dan tidak pula aktif dalam bekerja paruh waktu (TAOPW) memiliki pengalaman yang lebih sedikit dalam melatih core skills karena mungkin kesempatan itu hanya mereka peroleh dalam perkuliahan saja, sedangkan mahasiswa AO ataupun APW akan memiliki pengalaman yang lebih banyak karena kesempatan untuk melatih core skills selain dapat mereka lakukan saat proses belajar pada ketika kuliah, juga dapat mereka praktekkan langsung dalam aktivitas atau pelaksanaan tugas organisasi ataupun bekerja paruh waktu. viii Status keaktifan pada kegiatan berorganisasi saja juga membagi mahasiswa menjadi dua kelompok, yaitu kelompok yang aktif berorganisasi dan kelompok yang tidak aktif berorganisasi. Begitu pula jika ditinjau dari status keaktifan bekerja paruh waktu saja, akan diketahui ada mahasiswa yang aktif bekerja paruh waktu dan ada pula mahasiswa yang tidak aktif bekerja paruh waktu. Mahasiswa yang aktif berorganisasi ataupun aktif bekerja paruh waktu tentu memiliki tingkat EDCS yang lebih tinggi dari mahasiswa yang tidak aktif berorganisasi ataupun tidak aktif bekerja paruh waktu. Keaktifan mahasiswa, baik pada bidang organisasi ataupun kerja paruh waktu membuat mahasiswa memiliki kesempatan lebih untuk melatih dan menguasai core skills daripada mahasiswa yang tidak aktif berorganisasi ataupun bekerja paruh waktu. Mengingat pentingnya efikasi diri core skills bagi lulusan perguruan tinggi dan adanya pernyataan dari beberapa ahli bahwa efikasi diri seseorang dipengaruhi oleh pengalaman, maka peneliti bermaksud melakukan penelitian untuk mengetahui apakah ada perbedaan tingkat efikasi diri core skills mahasiswa ditinjau dari status keaktifan dalam berorganisasi dan bekerja paruh waktu? B. METODE PENELITIAN Penelitian ini adalah penelitian kuantitatif komparatif. Subjek penelitian ini adalah mahasiswa Prodi Psikologi UII angkatan 2004, 2003, 2002, 2001 dan seterusnya yang belum diwisuda, berusia 19-25 tahun, berjenis kelamin laki-laki dan perempuan berjumlah 120 orang. Pemilihan subjek minimal angkatan 2004 karena peneliti berasumsi bahwa rentang waktu dua tahun menempuh pendidikan kuliah telah memberikan kesempatan yang lebih banyak pada ix mahasiswa untuk berpartisipasi dalam kegiatan organisasi dan bekerja paruh waktu daripada mahasiswa baru (angkatan 2005 dan 2006). Subjek penelitian ini terbagi dalam empat kategori, yaitu: 1. Mahasiswa yang termasuk dalam kategori “aktif berorganisasi dan aktif bekerja paruh waktu”(AOPW) sejumlah 30 orang; 2. Mahasiswa yang termasuk dalam kategori “hanya aktif berorganisasi saja”(AO) sejumlah 30 orang; 3. Mahasiswa yang termasuk dalam kategori “hanya aktif bekerja paruh waktu saja”(APW) sejumlah 30 orang; dan 4. Mahasiswa yang termasuk dalam kategori “tidak aktif berorganisasi maupun bekerja paruh waktu”(TAOPW) juga sejumlah 30 orang. Metode pengumpulan data pada penelitian ini adalah dengan menggunakan skala efikasi diri core skills yang merupakan adaptasi dari Key Skills Audit dalam The Keynote Project (2003) dan Skala Transferable Core Skills dari Program Hibah Kompetisi A3 Prodi Psikologi UII (2006), namun dengan mengacu pada aspek-aspek core skills yang dikemukakan HM Inspectorate of Education in Scotland (2001);Tribe (Loo & Toolsema, 2005) dan Scottish Qualification Authority (1998) yaitu komunikasi (communication), numerasi (numeracy), penyelesaian masalah (problem solving), keterampilan dalam menggunakan teknologi untuk memperoleh informasi yang dibutuhkan berkaitan dengan kerja (IT Skills), dan bekerja sama dalam kelompok (teamwork). Data dianalisis secara kuantitatif dengan menggunakan teknik analisis data oneway anava untuk menguji hipotesis 1 untuk mengetahui perbedaan tingkat efikasi core skills antara mahasiswa AOPW, AO, APW dan TAOPW. Selanjutnya, untuk mengetahui perbedaan tingkat EDCS antara mahasiswa x AOPW dan AO; AOPW dan APW; AOPW dan TAOPW; AO dan APW; AO dan TAOPW; serta APW dan TAOPW, maka dilakukan analisis dengan menggunakan teknik analisis independent samples t-test. Pengujian hipotesis 2 dan 3 pada penelitian ini dilakukan dengan teknik analisis data independent samples t-test karena terdapat dua kategori yaitu mahasiswa yang aktif dan tidak aktif. C. HASIL PENELITIAN Tabel 1 ANOVA Tingkat Efikasi Diri Core Skills Between Groups Within Groups Total Sum of Squares 6211.092 29666.500 35877.592 df Mean Square 2070.364 255.746 3 116 119 F Sig. 8.095 .000 Tabel 1 di atas menunjukkan terdapat perbedaan tingkat efikasi diri core skills pada mahasiswa ditinjau dari status keaktifan dalam berorganisasi dan bekerja paruh waktu yaitu antara mahasiswa AOPW, AO, APW dan TAOPW. Perbedaan tersebut dapat dilihat dari perbedaan mean pada tabel di bawah ini. Tabel 2 Perbedaan Mean Tingkat Efikasi Diri Core Skills Mahasiswa N Mean Kategori AOPW 30 116.7667 Tinggi AO 30 106.7333 Tinggi APW 30 104.3 Tinggi TAOPW 30 96.333 Sedang Jumlah 120 106.1083 xi Pada tabel di atas dapat dilihat bahwa mean tingkat EDCS mahasiswa AOPW lebih tinggi dari mean tingkat EDCS pada kelompok status keaktifan lainnya. Mahasiswa TAOPW memiliki mean tingkat EDCS yang paling rendah diantara kelompok status lainnya. Tabel 3 Koefisien Signifikansi Perbedaan Tingkat Efikasi Diri Core Skills Mahasiswa Keaktifan Organisasi dan Bekerja Paruh Waktu Sig. 2 Tailed AOPW vs AO AOPW vs APW 0.026 0.001 AOPW vs TAOPW AO vs APW AO vs TAOPW APW vs TAOPW 0.000 0.391 0.034 0.05 Tabel di atas merupakan perbandingan tingkat EDCS lebih lanjut pada kelompok status mahasiswa dengan menggunakan teknik analisis independent samples t-test. Pada tabel di atas dapat dilihat bahwa terdapat perbedaan tingkat EDCS antara mahasiswa AOPW dengan mahasiswa AO, dimana dari mean dapat terlihat bahwa mean AOPW lebih tinggi dari AO meski masih dalam kategori yang sama yaitu tingkat EDCS tinggi. Tingkat EDCS mahasiswa AOPW berbeda secara sangat signifikan dengan mahasiswa APW; tingkat EDCS mahasiswa AOPW berbeda pula secara sangat signifikan dengan mahasiswa TAOPW; mahasiswa AO memiliki tingkat EDCS yang berbeda dengan mahasiswa TAOPW; dan mahasiswa APW memiliki tingkat EDCS yang berbeda pula dengan mahasiswa TAOPW. xii Tabel 4 Perbedaan Tingkat Efikasi Diri Core Skills Mahasiswa Ditinjau dari Keaktifan Berorganisasi Keaktifan Berorganisasi Aktif Tidak Aktif N Mean Sig. 2 tailed 30 30 106.7333 96.6333 0.034 Tabel di atas menunjukkan bahwa terdapat perbedaan tingkat efikasi diri core skills antara mahasiswa yang aktif berorganisasi dan bekerja paruh waktu. Tingkat efikasi diri core skills mahasiswa yang aktif berorganisasi lebih tinggi dari tingkat efikasi diri core skills mahasiswa yang tidak aktif berorganisasi. Tingkat EDCS mahasiswa yang aktif berorganisasi berada dalam kategori tinggi, sementara tingkat EDCS mahasiswa yang tidak aktif berorganisasi berada pada kategori sedang. Tabel 5 Perbedaan Tingkat Efikasi Diri Core Skills Mahasiswa Ditinjau dari Keaktifan Bekerja Paruh Waktu Keaktifan Bekerja Paruh Waktu Aktif Tidak Aktif N Mean Sig. 2 tailed 30 30 104.3000 96.6333 0.05 Tabel di atas menunjukkan bahwa tingkat efikasi diri core skills mahasiswa yang aktif bekerja paruh waktu berbeda dengan tingkat efikasi diri core skills mahasiswa yang tidak aktif bekerja paruh waktu. Perbedaan tersebut dilihat dari signifikansi 2-tailed dan perbedaan kategori mean. Mean tingkat EDCS mahasiswa yang aktif bekerja paruh waktu berada pada kategori tinggi, sementara mean tingkat EDCS mahasiswa yang tidak aktif bekerja paruh waktu berada pada kategori sedang. xiii D. Pembahasan Penelitian ini dilakukan untuk mengetahui perbedaan tingkat efikasi diri core skills (EDCS) pada mahasiswa ditinjau dari status keaktifan dalam berorganisasi dan bekerja paruh waktu. Berdasarkan hasil analisis data diketahui bahwa tingkat EDCS mahasiswa AOPW lebih tinggi dari mahasiswa AO, mahasiswa APW dan mahasiswa TAOPW; tingkat EDCS mahasiswa AO lebih tinggi dari mahasiswa TAOPW; tingkat EDCS mahasiswa APW lebih tinggi dari mahasiswa TAOPW; dan tidak ada perbedaan signifikan antara tingkat EDCS mahasiswa AO dengan tingkat efikasi diri core skills mahasiswa APW. Hasil analisis data juga menunjukkan bahwa terdapat perbedaan tingkat efikasi diri core skills antara mahasiswa yang aktif berorganisasi dengan mahasiswa yang tidak aktif berorganisasi dimana tingkat EDCS mahasiswa yang aktif berorganisasi memiliki tingkat EDCS yang lebih tinggi dari mahasiswa yang tidak aktif berorganisasi. Hasil pengolahan data juga menunjukkan bahwa terdapat pula perbedaan tingkat EDCS antara mahasiswa yang aktif dengan mahasiswa yang tidak aktif bekerja paruh waktu. Tingkat EDCS mahasiswa AOPW lebih tinggi dari mahasiswa AO, APW dan TAOPW dapat terjadi karena mahasiswa yang aktif dalam kegiatan berorganisasi dan bekerja paruh waktu sekaligus memiliki kesempatan yang lebih banyak dari mahasiswa AO, APW dan TAOPW untuk melatih berbagai core skills misalnya bekerja sama dalam organisasi, mengemukakan ide, mencari solusi dan menyelesaikan masalah, memanfaatkan teknologi untuk mencari informasi yang diperlukan termasuk juga untuk keefektifan berkomunikasi dan lain sebagainya. Banyaknya kesempatan untuk melatih core skills akan membuat efikasi core skills mahasiswa menjadi lebih tinggi karena telah terbiasa xiv melakukan core skills. Hal ini didukung oleh Pajares dan Schunk (2001) yang menjelaskan bahwa ketika seseorang telah terbiasa melakukan suatu tugas atau aktivitas, efikasi dirinya untuk sukses dalam melakukan tugas atau aktivitas tersebut akan menjadi lebih tinggi. Pajares dan Schunk mengistilahkan hal tersebut dengan self efficacy for performance. Suatu unit usaha atau perusahaan pada dasarnya merupakan suatu organisasi jika mengacu pada pendapat Davis (Sutarto, 2002) bahwa organisasi adalah suatu kelompok orang yang sedang bekerja ke arah tujuan bersama di bawah kepemimpinan. Mooney (Sutarto, 2002) juga menyatakan organisasi adalah bentuk setiap perserikatan manusia untuk pencapaian tujuan bersama. Sejumlah aktivitas dan tugas yang dilakukan dalam berorganisasi dan bekerja pun juga hampir sama. Hal tersebutlah yang mungkin menjadi penyebab mengapa tingkat efikasi diri core skills antara mahasiswa AO tidak berbeda secara signifikan dengan mahasiswa APW. Komunikasi yang efektif merupakan prasyarat terbinanya kerja sama yang baik untuk mencapai tujuan dalam suatu organisasi (Suprihanto dkk,2003). Hal ini menunjukkan bahwa aktivitas bekerja sama dan berkomunikasi adalah aktivitas mendasar yang terjadi dalam suatu organisasi ataupun unit usaha. Aktivitas dalam kegiatan berorganisasi dan bekerja juga antara lain adalah pemecahan masalah dan pengambilan keputusan. Pengambilan keputusan merupakan sebuah proses menganggapi sebuah masalah dengan mencari dan memiliki solusi atau serangkaian tindakan yang akan menciptakan nilai bagi organisasi (Wisnu dan Nurhasanah, 2005). Tidak hanya itu, kemampuan bekerja dengan angka juga merupakan aktivitas yang tidak dapat dihindari karena saat ini tidak sedikit peristiwa dalam kehidupan organisasi yang dinyatakan secara xv kuantitatif melalui angka-angka (Siagian, 2004). Wisnu dan Nurhasanah (2005) mengemukakan bahwa teknologi juga hadir dalam setiap aktivitas organisasi. Teknologi adalah kombinasi dari keterampilan, pengetahuan, kemampuan, teknik, materi, mesin, komputer, alat-alat dan peralatan yang digunakan manusia untuk mengubah bahan mentah menjadi benda berharga dan jasa (Wisnu dan Nurhasanah, 2005). Organisasi, baik organisasi kemahasiswaan maupun organisasi unit usaha merupakan koordinasi yang terencana dari aktivitas-aktivitas yang dilakukan oleh sejumlah orang untuk mencapai tujuan melalui pembagian tugas dan fungsi dan melalui sebuah hierarki otoritas dan tanggung jawab (Schein, 1988). Pelaksanaan berbagai tugas yang dilakukan mahasiswa yang aktif berorganisasi dan bekerja paruh waktu akan berdampak pada penguasaan pengalaman terhadap sejumlah core skills. Bandura (1997) menyatakan bahwa pengaktifan penguasaan pengalaman sangat erat kaitannya dengan tingkat efikasi diri. Penguasaan terhadap berbagai core skills diperoleh mahasiswa melalui keaktifannya dalam kegiatan organisasi maupun bekerja paruh waktu. Elliot dkk (2000) mengatakan, dengan mengumpulkan pengalaman dari berbagai aktivitas, maka individu akan mendapatkan informasi yang efektif yang dapat digunakan untuk menghadapi tantangan dari lingkungan. Hal tersebutlah yang akan meningkatkan efikasi diri seseorang terhadap core skills yang dimilikinya. Brown (1999) menyatakan bahwa contextual, problem-based, and community-based learning practices, memberikan kesempatan pada mahasiswa untuk menerapkan pengetahuan dan keterampilan-keterampilan yang dimiliki di dunia nyata. Hal ini mengindikasikan bahwa pengalaman bekerja baik dalam xvi suatu organisasi maupun dalam suatu unit usaha diperlukan karena merupakan sarana untuk mengaplikasikan pengetahuan dan keterampilan-keterampilan. Bandura (1997) menyatakan bahwa pengalaman keberhasilan akan meningkatkan efikasi diri seseorang yang dalam hal ini adalah efikasi diri core skills mahasiswa. Proses interaksi dalam suatu organisasi ataupun unit usaha juga memberikan kesempatan pada mahasiswa untuk melakukan pengamatan terhadap pengalaman orang lain atau yang disebut Bandura (1997) sebagai vicarious experience. Vicarious experience adalah pengalaman yang dialami orang lain yang mengubah efikasi melalui modeling behavior (Bandura, 1997). Melalui modeling seseorang akan mengamati tindakan orang lain dalam melakukan aktivitas tertentu (Woolfolk, 2004). Individu akan dapat termotivasi dan membujuk dirinya sendiri untuk berbuat yang sama, sekaligus akan memberikan keyakinan bahwa dirinya juga mampu untuk menyelesaikan tugasnya seperti orang lain, dengan mengamati orang lain dalam menyelesaikan suatu tugas, (Elliot dkk, 2000). Melalui kegiatan berorganisasi dan bekerja paruh waktu, mahasiswa berinteraksi dengan banyak orang dalam melakukan sejumlah tugas sehingga terjadi proses penilaian kemampuan diri dan pembandingan dengan kemampuan orang lain. Hal inilah yang juga dapat berpengaruh terhadap meningkatnya efikasi diri core skills mahasiswa yang aktif pada kegiatan organisasi ataupun bekerja paruh waktu. Melalui penelitian ini dapat diketahui bahwa tingkat efikasi core skills mahasiswa AOPW lebih tinggi dari mahasiwa AO, APW dan TAOPW; tingkat efikasi diri core skills mahasiswa AO begitupula mahasiswa APW lebih tinggi dari mahasiswa TAOPW. Hal ini mengindikasikan bahwa keaktifan mahasiswa dalam bidang organisasi dan bekerja paruh waktu sekaligus akan membuat efikasi diri xvii core skills mahasiswa semakin tinggi. Meski demikian, dengan aktifnya mahasiswa pada suatu kegiatan saja baik organisasi saja ataupun bekerja paruh waktu saja, dapat meningkatkan efikasi diri core skills mahasiswa daripada mahasiswa yang tidak aktif sama sekali pada bidang organisasi ataupun bekerja paruh waktu. Tingkat efikasi diri core skills seluruh subjek pada penelitian ini tidak ada yang berada pada kategori “sangat rendah”. Tingkat efikasi diri core skills subjek yang terendah berada pada kategori “rendah” yaitu memiliki skor tingkat efikasi diri core skills antara 52,8 – 75,6. Jumlah seluruh subjek yang memiliki tingkat efikasi diri core skills “rendah” adalah sebanyak 5 orang. Subjek terdiri dari mahasiswa yang termasuk dalam kategori TAOPW dan AO, hanya berpartisipasi pada satu organisasi saja dan hanya menjadi staff atau anggota dalam organisasi tersebut. Organisasi yang mereka ikuti adalah LPM Kognisia sebagai fotografer, PEKTA sebagai seksi kesehatan, KMPP sebagai anggota, dan LEM sebagai staff. Seluruh subjek yang termasuk dalam kategori tingkat efikasi diri core skills “rendah” tersebut sama sekali tidak memiliki pengalaman bekerja paruh waktu. Tiga dari lima orang mahasiswa yang memiki tingkat efikasi diri core skills “rendah” memiliki satu motivasi berorganisasi, yaitu hanya untuk mencari pengalaman, sedangkan satu dari lima orang tersebut memiliki motivasi berorganisasi yaitu untuk menyalurkan hobi, menambah teman, dan meningkatkan skills. Keterangan di atas menunjukkan bahwa kesamaan dari seluruh subjek yang memiliki tingkat efikasi diri “rendah” tersebut adalah mereka hanya memiliki pengalaman berorganisasi saja dan sama sekali tidak pernah mempunyai pengalaman bekerja paruh waktu. Mahasiswa tersebut umumnya berorganisasi hanya untuk mencari pengalaman saja tanpa menyadari bahwa xviii yang terpenting dari pengalaman berorganisasi tersebut adalah menguasai core skills sebagai bekal yang dapat bermanfaat di dunia kerja nyata. Subjek yang memiliki tingkat efikasi diri core skills “sangat tinggi” berjumlah 18 orang, terdiri dari mahasiswa yang termasuk dalam kategori AOPW sebanyak 9 orang, APW 1 orang, AO 7 orang dan TAOPW 1 orang. Seluruh subjek pernah menjadi anggota organisasi dan 16 dari 18 mahasiswa tersebut pernah bekerja paruh waktu, termasuk satu orang mahasiswa TAOPW tersebut di atas. Motivasi mahasiswa tersebut dalam berorganisasi umumnya adalah untuk menambah ilmu, pengalaman, aktualisasi diri, menambah teman, bermanfaat bagi orang lain, melatih keterampilan diri, mengembangkan potensi diri dan lain sebagainya. 12 dari 18 orang mahasiswa yang memiliki tingkat efikasi diri core skills “sangat tinggi” pernah memiliki pengalaman sebagai ketua divisi, kepala biro, koordinator, kepala bidang, sekretaris jendral dan lain sebagainya dalam organisasi atau kepanitiaan yang mereka ikuti. Mahasiswa tersebut bekerja paruh waktu di Tigata Seed di bidang marketing, Rental Disc sebagai officer, DAGADU sebagai sales officer, Lembaga Psikologi sebagai trainer, Studio sebagai graphis designer, Restoran dan Café sebagai waiter, Yayasan Down Syndrome sebagai guru playgroup, Mc D sebagai customer service, Yayasan Az-Zahra sebagai koordinator sekolah darurat, warnet sebagai operator, KOPMA sebagai karyawan, Djarum Super sebagai SPG, LAB FPISB sebagai asisten, Radio sebagai penyiar, dan lain sebagainya. Motivasi mahasiswa tersebut bekerja paruh waktu adalah untuk menambah uang saku, memanfaatkan kesempatan dan peluang, mencari pengalaman kerja, tertarik belajar mengenai anak berkebutuhan khusus, mengisi waktu luang dengan kegiatan yang lebih positif, mengaplikasikan ilmu melalui aktivitas yang sesuai xix dengan bidang disiplin ilmu dan lain sebagainya. Keterangan di atas menunjukkan bahwa terdapat kesamaan profil dari mahasiswa yang memiliki tingkat efikasi diri “sangat tinggi” pada penelitian ini. Mahasiswa tersebut umumnya memiliki pengalaman sebagai kepala divisi, ketua bidang, koordinator dan lain sebagainya dalam organisasi yang mereka tekuni, sehingga dapat disimpulkan bahwa mahasiswa yang pernah memiliki pengalaman sebagai kepala divisi, ketua bidang, koordinator dan semacamnya tersebut akan memiliki tingkat efikasi diri core skills yang lebih tinggi daripada sekedar menjadi anggota dalam suatu organisasi. Mahasiswa yang memiliki tingkat efikasi diri core skills “sangat tinggi” tersebut umumnya selain memiliki pengalaman sebagai ketua, ketua komisi, ketua bidang, kepala divisi, koodinator dan semacamnya dalam suatu organisasi, juga memiliki pengalaman bekerja paruh waktu di berbagai bidang. Hal tersebut menunjukkan bahwa mahasiswa yang memiliki tingkat efikasi diri core skills “sangat tinggi” adalah mahasiswa yang memiliki pengalaman dalam mengemban jabatan penting dalam organisasi serta memiliki pula pengalaman bekerja paruh waktu. Perlu pula diketahui bahwa motivasi mahasiswa tersebut dalam bekerja paruh waktu cukup beragam, 10 dari 18 mahasiswa tersebut memiliki motivasi bekerja paruh waktu untuk memperoleh uang tambahan, 10 dari 18 mahasiswa tersebut juga memiliki motivasi bekerja untuk mencari pengalaman, memanfaatkan kesempatan, ingin mengaplikasikan ilmu dan lain sebagainya. E. Kesimpulan Hasil analisis data dan pembahasan menunjukkan bahwa keaktifan mahasiswa pada bidang organisasi dan bekerja paruh waktu sekaligus akan xx berdampak terhadap tingginya tingkat efikasi diri core skills mahasiswa daripada jika mahasiswa hanya aktif pada satu bidang saja. Meski demikian, keaktifan mahasiswa dalam bidang organisasi saja ataupun bekerja paruh waktu saja dapat membantu meningkatkan efikasi diri core skills mahasiswa daripada tidak aktif sama sekali pada dua bidang tersebut. F. Saran 1. Saran kepada Mahasiswa Peningkatan efikasi diri core skills dapat dilakukan dengan berpartisipasi aktif pada bidang organisasi dan bekerja paruh waktu. Berpartisipasi aktif yang dimaksud dalam bidang organisasi terutama menjadi ketua bidang, kepala divisi, koordinator dan semacamnya. Selain itu, sejak awal mahasiswa harus menyadari bahwa keaktifan dalam berorganisasi dan bekerja paruh waktu tersebut adalah untuk melatih dan mengasah core skills, sehingga efikasi diri core skills mahasiswa pun dapat meningkat. 2. Saran kepada Peneliti Selanjutnya Bagi peneliti selanjutnya, peneliti menyarankan untuk mencari dan membuat lebih banyak lagi indikator keaktifan baik dalam berorganisasi dan bekerja paruh waktu agar diperoleh standar keaktifan yang lebih lengkap. xxi DAFTAR PUSTAKA Akhurst, J. 2005. Enhancing The Employability of Psychology Graduates. http://www.psychology.heacademy.ac.uk/docs/pdf/20/09/2006 Anoraga, P. 2005. Psikologi Kerja. Jakarta: PT. Rineka Cipta. Arenas, A. dkk. 2006. Effects of Goal Orientation, Error Orientation and SelfEfficacy on Performance in an Uncertain Situation. Social Behavior and Personality. 34 (5). 569-586. http://search.ebscohost.com/19/02/2007 Astuti. V. I. 2005. Hubungan antara Intensitas Berorganisasi dengan Kemasakan Sosial pada Mahasiswa Aktivis. Skripsi (Tidak Diterbitkan). Yogyakarta: Universitas Islam Indonesia. Australian Master Human Resources Guide 2004/2005. 2004. CCH Australia Limited. Ayiku, T.Q. 2005. The Relationships among College Self-efficacy, Academic Selfefficacy, and Athletic Self-efficacy for African American Male Football Players. Thesis. College Park: Faculty of the Graduates Schools of the University of Maryland. Azwar, S. 1999. Reliabilitas dan Validitas. Yogyakarta: Pustaka Pelajar Offset. Bandura, A. 1997. Self – Efficacy: The Exercise of Control. New York: W.H Freeman Company. Baron, R. A & Byrne, D. 1994. Social Psychology: Understanding Human Interaction. 7th ed. Massachusetts: Allyn and Bacon. Brown, B. L. 1999. Self-Efficacy Beliefs and Career Development. Eric Digest. No. 205. http://www.google.com Burke, J. 1995. Outcomes, Learning, and the Curriculum: Implications for NVQs, GNVQs, and Other Qualifications. Falmer Press. http://www.questia.com/10/02/2007 Carbery, R. & Garavan, N.T. 2005. Organizational Restructuring and Downsizing: Issues Related to Learning, training and Employability of Survivors. Journal of European Industrial Training. Vol.29. Iss.6: Pg.488, 22 pgs. http://www.proquest.com Elliot, S.N. dkk. 2000. Educational Psychology: Effective Teaching, Effective Learning. Singapore: McGraw Hill. Feldman, R. S. 1997. Social Psychology. 2nd ed. New Jersey: Prentice-Hall Inc. xxii Firdanianty, dkk. 2006. Kualitas Perguruan Tinggi di Mata User. SWA Sembada. No. 09/XXII/4-7Mei, 13-20. ---------------------2007. Gaji 2007: Migas Tetap Primadona. SWA Sembada. No. 04/XXIII/15-28 Februari, 34-44. HM Inspectorate of Education. 2001. Core Skills in Scottish Further Education Colleges, An Aspect Report for SFEFC. http://www.hmie.gov.uk/documents/publication/core_skills_in_scottis_feco lleges.pdf/20/09/2006 Landry, C. C. 2003. Self-efficacy, Motivation, and Outcome Expectation Correlates of College Students’Intention Certainty. Dissertation. Graduate Faculty of the Louisiana State University and Agricultural and Mechanical College . Lees, D. 2002. Graduate Employability http://www.google.com/20/09/2006 – Literature Review. Loo, J.B.V & Toolsema, B. 2005. The Empirical Determination of Key Skills from an Economic Perspective. Education Economics. Vol. 13. No.2, 207-221. http://search.ebscohost.com/08/01/2007) Murphrey, T.P & Dooley, K.E. 2006. Determining E-Learning Competencies Using CentraTM to Collect Focus Group Data. The Quarterly Review of Distance Education. Vol. 7 (1), pp. 75-82. Myers, D. G. 2005. Social Psychology. 8th ed. New York: McGraw-Hill. Partanto,P.A & Al-Barry, M.D. 1994. Kamus Ilmiah Populer. Surabaya: Arkola. Pajares, F & Schunk, D.H. 2001. Self-beliefs and School Success: Self-efficacy, Self-concept, and School Achievement. London: Ablex Publishing. Proposal Program Hibah Kompetisi A3 Prodi Psikologi. 2006 Salim, P & Salim, Y. 1995. Kamus Bahasa Indonesia Kontemporer. Jakarta: Modern English Press. Sasmitawati. T. A. 2005. Kemampuan Problem Solving Anak Ditinjau dari Adversity Quotient dan Intelligence Quotient. Skripsi (Tidak Diterbitkan). Yogyakarta: Universitas Islam Indonesia. Schein, E. H. 1988. Organizational Psychology. Englewood Cliffs: Prentice-Hall, Inc. Scottish Qualification Authority. 1998. Core Skills. http://www.sqa.org/uk. Siagian, S.P. 2004. Teori Motivasi dan Aplikasinya. Jakarta: PT. Rineka Cipta. xxiii Suprihanto, J. dkk. 2003. Perilaku Organisasional. Yogyakarta: Bagian Penerbitan STIE YKPN. Sutarto, 2002. Dasar – dasar Organisasi. Yogyakarta: Gadjah Mada University Press. The Keynote Project. 2003. http://www.psychology.heacademy.ac.uk/ Key Skills Audit. UNDP. http://hdr.undp.org/hdr2006/statistics/15/03/2007 Wisnu, D.U.R. & Nurhasanah, S. 2005. Teori Organisasi, Struktur dan Desain. Malang: UMM Press. Woolfolk, A. 2004. Educational Psychology. USA: Allyn and Bacon. Yorke, M & Harvey, L. 2005. Graduates Attributes and Their Development. New Direction for Institutional Research. No.128. Winter. http://search.ebscohost.com/19/02/2007 xxiv Identitas Penulis Nama : Tina Andrilina Alamat Asal : Pekanbaru – Riau Alamat Yogya : Jakal km 12,5 Sleman No. Telp : 085228501700 xxv