BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang 1 Era globalisasi ini telah banyak menciptakan perubahan di segala bidang dan tingkatan. Perubahan ini juga mempengaruhi baik secara langsung maupun tidak langsung terhadap hukum. Hukum harus memberi legalitas terhadap segala perubahan yang terjadi agar lalu lintas pergaulan manusia dalam menghadapi arus globalisasi ini tidak terganggu 2 dan tidak saling bertabrakan. Reformasi hukum di segala bidang, khususnya bidang ekonomi menjadi desakan yang harus dilaksanakan untuk dapat mengikuti perubahan di masyarakat. Agenda reformasi hukum ini mencakup reformasi kelembagaan (institusional reform), reformasi perundang-undangan (instrumental reform) dan reformasi budaya hukum (cultur reform). Hukum ekonomi sebagai cabang ilmu yang berkaitan dengan kegiatan ekonomi merupakan bidang hukum yang masih relatif baru dalam tata hukum di Indonesia. Hukum ekonomi Indonesia adalah keseluruhan kaedah-kaedah dan putusan-putusan hukum yang 3 secara khusus mengatur kegiatan dan kehidupan ekonomi di Indonesia . Hukum ekonomi mempunyai peranan dalam pengaturan bidang modern yang tidak tercakup dalam peraturan perundang-undangan yang ada, dan dapat memantapkan pengaturan yang berkaitan dengan bidang ekonomi yang terdapat pada cabang hukum lain. Meskipun demikian, substansi hukum ekonomi harus sejalan dengan Undang-Undangn Dasar 1945 dan Pancasila. Dalam arti sempit mempunyai sifat pembangunan/pengembangan ekonomi, dan hal ini sejalan dengan fungsi hukum sebagai agent for modernization dan sebagai tool 1 Globalisasi menurut Albrow mengacu pada keseluruhan proses di mana manusia di bumi ini diinkorporasikan ke dalam masyarakat dunia yang tunggal, masyarakat global. Oleh karena proses itu bersifat majemuk, maka kitapun dapat memandang globalisasi di dalam kemajemukan. Lihat M. Albrow, Globalization Knowledge and Society, London, Sage Publication, 1990. Lihat juga Roland Robertson, Globalization, London, Sage Publication, 1992. “Globalization as a concept refers both to the compression of world and the intensification of conciousness of world as a whole, dikutip dari Adi Sulistiyono, PEMBANGUNAN HUKUM EKONOMI UNTUK MENDUKUNG PENCAPAIAN VISI INDONESIA 2030, dalam Pidato Pengukuhan Guru Besar Hukum Ekonomi, 2007, hal 10. 2 Abdul Manan, Peranan Hukum Dalam Pembangunan Ekonomi, 2013, Mahkamah Agung RI. hlm. 59. 3 CFG Sunaryati Hartono, Hukum Ekonomi Pembangunan Indonesia, 1988, BPHN Dep. Kehakiman RI, Bina Cipta, Bandung, hlm. 53, dalam ibid, hlm. 10. 4 of social engineering. Kegiatan ekonomi yang berkembang pesat memerlukan ramburambu hukum untuk mengatur dalam menjalankan bisnisnya, persaingan yang harus dilakukan adalah persaingan yang sehat dengan aturan yang berlaku. Hukum Kekayaan Intelektual (Intellectual Property Law), disingkat HKI, khususnya merek sebagai bagian dari hukum di bidang ekonomi juga memiliki fungsi, peran bahkan tujuan dalam pembuatannya untuk pembangunan ekonomi dan persaingan usaha yang sehat. Sebagaimana tertuang dalam konsideran Undang-Undang Nomor 15 Tahun 2001 tentang Merek, bahwa di dalam era perdagangan global, sejalan dengan konvensi-konvensi internasional yang telah diratifikasi Indonesia, peranan merek menjadi sangat penting, 5 terutama dalam menjaga persaingan usaha yang sehat. Sesuai bunyi konsideran tersebut dapat dijelaskan bahwa peran dan fungsi merek sangat signifikan khususnya dalam kegiatan usaha. Melalui merek, produk barang dan jasa sejenis dapat dibedakan asal muasalnya, kualitasnya serta keterjaminan bahwa produk itu asli/original. Merek juga 6 dapat digunakan sebagai alat promosi atas barang dan/atau jasa. Terkadang harga suatu barang tidak ditentukan oleh produk itu sendiri, namun oleh Merek yang telah dikenal/terkenal. Merek sendiri bukanlah produk barang dan jasa, namun seringkali barang dan jasa yang dibeli, mereknya tidak dapat dinikmati oleh pembeli. Tapi merek dapat memberikan kepuasan bagi pembeli atau penggunanya. Suatu merek memiliki suatu peranan penting khususnya dalam perdagangan atau penanaman modal. Merek merupakan ujung tombak suatu perdagangan barang dan/atau jasa, melalui merek pengusaha dapat menjaga dan memberikan jaminan kualitas (a guarantee of quality) barang dan/atau jasa yang dihasilkan dan mencegah persaingan yang tidak jujur dari pengusaha lain yang 7 memiliki itikad buruk dan bermaksud membonceng reputasinya. Merek dalam produk 4 Ibid, hlm. 16. 5 Konsideran Undang-Undang Nomor 15 Tahun 2001 tentang Merek bagian Menimbang butir b. 6 Direktorat Jenderal Industri Kecil Menengah Departemen Perindustrian “Prosedur/Proses Pendaftaran Merek”, terdapat dalam https://www.kemenperin.go.id/Kebijakan-Pemerintah-dalam-Perlindungan-Hak-KekayaanIntelektual-dan-Liberalisasi-Perdagangan-Profesi-di-Bidang-Hukum,diakses 8 Desember 2015, pukul 14.17 WIB. 7 Erma Wahyuni, Kebijakan dan Manajemen Hukum Merek, dikutip dari Sabriando Leonal, Implementasi Hak Kekayaan Intelektual Dalam Hubungan Dengan Praktik Persaingan Usaha Bidang Merek, Tesis, Universitas Indonesia, Jakarta, 2011, hlm. 14. barang dan/atau jasa memiliki relevansi dan peranan strategis sebagai salah satu wujud karya intelektual serta memiliki peranan penting bagi kelancaran dan peningkatan perdagangan barang dan jasa dalam kegiatan perdagangan dan investasi. Merek (dengan brand image-nya) dapat memenuhi kebutuhan konsumen akan tanda pengenal atau daya pembeda yang sangat penting dan merupakan jaminan kualitas produk atau jasa dalam suasana persaingan bebas. Oleh karena itu merek dapat merupakan aset individu maupun aset perusahaan yang dapat menghasilkan keuntungan yang besar, tentunya apabila didayagunakan dengan memperhatikan aspek bisnis dan proses manajemen yang baik. 8 Sebagai bagian penting dalam strategi bisnis, merek merupakan senjata untuk memenangkan persaingan usaha, maka suatu merek harus mendapatkan perlindungan hukum. Perlindungan atas Merek diperoleh setelah dilakukan pendaftaran atas merek dagang atau jasa tersebut. Banyak pelaku usaha yang menyadari fungsi dan peranan merek yang sangat besar tersebut justru dimanfaatkan oleh pihak-pihak yang tidak bertanggungjawab untuk melakukan segala upaya demi memperoleh keuntungan/kepentingan pribadi yang sebesarbesarnya dengan mengorbankan pihak lain maupun melanggar hak atau hukum. Perbuatan curang tersebut biasanya dilakukan dengan memalsukan dan meniru produk yang laku dipasaran dengan label merek dan jenis yang sama tetapi dengan kualitas yang lebih rendah. Pelanggaran akan pelindungan merek itu saat ini justru masih marak terjadi di Indonesia. Merek dengan citra baik dan sudah ada sejak lama sering disalahgunakan oleh para kompetitor yang curang yang sekedar membonceng ketenaran merek yang dibangun dalam waktu yang tidak sebentar. Hal tersebut sering disebut dengan tindakan curang dengan membonceng (passing off) merek yang terkenal. Semakin banyaknya perbuatan curang dengan melakukan pemboncengan tersebut yang tentu saja didasari atas suatu itikad tidak baik dari pelaku yang memalsukan merek milik orang lain, maka semakin banyak pula sengketa-sengketa hukum khususnya merek yang diajukan oleh para pengusaha yang 9 berusaha mempertahankan haknya. Tuntutan atas hak tersebut dituangkan dalam surat 8 Cita Citrawinda, dikutip dari Sabriando Leonal, Op. Cit, hlm. 14. 9 Tuntutan hak adalah tindakan yang bertujuan untuk memperoleh perlindungan hak yang diberikan oleh pengadilan untuk mencegah main hakim sendiri, lihat dalam Sudikno Mertokusumo, Mengenal Hukum, Suatu Pengantar, Yogyakarta : liberty, 1986, hlm. 38. gugatan yang diajukan ke pengadilan, dan untuk merek sebagaimana diatur dalam UndangUndang Nomor 15 Tahun 2001 tentang Merek diajukan kepada Pengadilan Niaga. Tidak sedikit pula gugatan yang diajukan oleh pengusaha tersebut dengan dasar atau dalil adanya itikad tidak baik (bad faith) yang dilakukan oleh pengusaha lain. Undang-Undang Nomor 15 Tahun 2001 tentang Merek, dalam Pasal 4 yang menyatakan “Merek tidak dapat didaftar atas dasar Permohonan yang diajukan oleh Pemohon yang beritikad tidak baik.” Tidak terdapat diskripsi lebih lanjut terkait dengan pengertian apa yang disebut itikad baik. Penjelasan Pasal 4 hanya memberikan menyatakan bahwa ; “Pemohon yang beritikad baik adalah Pemohon yang mendaftarkan Mereknya secara layak dan jujur tanpa ada niat apapun untuk membonceng, meniru, atau menjiplak ketenaran Merek pihak lain demi kepentingan usahanya yang berakibat kerugian pada pihak lain itu atau menimbulkan kondisi persaingan curang, mengecoh, atau menyesatkan konsumen. …” Penjelasan tersebut mempertegas erat hubungannya antara merek dengan persaingan usaha. Sejalan ketentuan tersebut, Pasal 10 bis Konvensi Paris juga memberikan pengaturan dan perlindungan terhadap persaingan curang dalam merek dengan 10 menyatakan ; 1. “The countries of the Union are bound to assure to nationals of such countries effective protection against unfair competition. 2. Any act of competition contrary to honest practices in industrial commercial matters constitutes an act of unfair competition. 3. The following in particular shall be prohibited : a. All acts of such a nature as to create confusion by any means whatever with the establishment, the goods, or the industrial or commercial activities, of a competitor; b. False allegations in the course of trade of such a nature as to discredit the establishment, the goods, or the industrial or commercial activities, of a competitor; c. Indication or allegations the use of which in the course of trade is liable to mislead the public as the nature, the manufacturing process, the characteristics, the suitability for their purpose, or the quantity, of the goods.” Terkait dengan persaingan usaha, di Indonesia juga diatur tersendiri dalam UndangUndang Nomor 5 Tahun 1999 tentang Larangan Praktik Monopoli Dan Persaingan Usaha Tidak Sehat. Persaingan usaha tidak sehat, menurut Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1999 10 Pasal 10 bis, Paris Convention for Protection of Industrial Property, dalam Julius Rizaldi, Perlindungan Kemasan Produk Merek Terkenal Terhadap Persaingan Curang, PT. Alumni, Bandung, 2009, hlm. 5-6. ini adalah persaingan antar pelaku usaha dalam menjalankan kegiatan produksi dan atau pemasaran barang dan atau jasa yang dilakukan dengan cara tidak jujur atau melawan hukum atau menghambat persaingan usaha. Khusus terkait dengan bidang Hak Kekayaan Intelektual, telah diatur dalam Pasal 51 Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1999 yang mengatakan bahwa Perjanjian yang berkaitan dengan hak kekayaan intelektual seperti lisensi, paten, merek dagang, hak cipta, desain produk industri, rangkaian elektronik terpadu, dan rahasia dagang, serta perjanjian yang berkaitan dengan waralaba dikecualikan dari ketentuan Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1999 tentang Larangan Praktik Monopoli Dan Persaingan Usaha Tidak Sehat. Padahal seperti yang telah diuraikan diatas bahwa merek merupakan ujung tombak sebuah usaha dan salah satu tujuan dari Undang-Undang Nomor 15 Tahun 2001 tentang Merek ialah untuk menjaga persaingan usaha yang sehat. Oleh karena itu dalam hal ini terdapat kekurangharmonisan ketentuan perundang-undangan antara Undang-Undang Nomor 15 Tahun 2001 tentang Merek dengan Undang-Undang Larangan Praktik Monopoli Dan Persaingan Usaha Tidak Sehat. Terdapat beberapa kasus atau sengketa di bidang merek yang dapat digunakan sebagai contoh dan acuan terkait dengan upaya-upaya perbuatan curang atau persaingan tidak sehat yang dilakukan oleh pelaku usaha. Seperti sengketa merek antara dua perusahaan cat di Indonesia, yakni PT. Indaco Coatings Industry dengan PT. Avia Avian. Dalam sengketa tersebut PT. Avia Avian sebagai pemilik merek AVITEX menggugat pembatalan merek Envitex yang dimiliki oleh Iwan yang tidak lain juga owner dari PT. Indaco Coatings Industry. Gugatan diajukan PT. Avia Avian pada tahun 2011 lalu 11 dengan dalih pelanggaran terhadap asas itikad baik dengan melakukan pemboncengan merek AVITEX milik PT. Avia Avian. Kedua merek tersebut terdaftar dalam kelas barang yang sama, yakni kelas 02 dengan jenis barang berupa cat. merek ENVITEX telah tercatat dalam daftar umum merek atas nama IWAN dengan nomor pendaftaran IDM 000120630, tertanggal 4 Oktober 2007 untuk kelas barang 02 dan uraian warna Hitam Putih dengan uraian barang cat air dan cat minyak, dempul, plamur, thiner. Sementara merek AVITEX terdaftar dalam daftar umum merek nomor IDM000068292 atas nama PT. Avia Avian dengan uraian warna ; “hijau tua, kuning, hijau muda, biru, biru tua, merah, putih”, kelas 11 Putusan Pengadilan Niaga Jakarta Pusat Nomor April 2012. 103/Merek/2011/Pn.Niaga.Jkt.Pst, diucapkan pada 24 barang 02, untuk jenis barang segala macam cat emulsi yang berlaku 10 tahun sejak tanggal penerimaan 11 Agustus 2006. Penggugat, PT. Avia Avian melalui kuasa hukumnya mengajukan gugatannya di Pengadilan Niaga Jakarta Pusat dan terdaftar dengan nomor register perkara 103/MEREK/2011/PN.NIAGA.JKT.PST. Merek ENVITEX dinilai memiliki persamaan pada pokoknya dengan merek AVITEX dan telah beritikad buruk dengan membonceng keterkenalan merek AVITEX sehingga merugikan PT. Avia Avian. Dalam putusan di Pengadilan Niaga Jakarta Pusat, Majelis Hakim memutuskan memenangkan PT. Avia Avian atas Iwan selaku pemilik Merek Envitex karena dianggap memiliki itikad tidak baik (bad faith) dalam mendaftarkan mereknya. Salah satu kasus pelanggaran merek kelas barang sejenis dengan aduan perbuatan beritikad tidak baik menggunakan merek yang mengandung persamaan pada pokoknya adalah kasus EXTRA JOSS melawan ENERJOS. 12 Dalam perkara yang cukup menjadi perhatian beberapa tahun lalu ini, EXTRA JOSS menggugat ENERJOS, karena dianggap melakukan tindakan menggunakan merek yang mengandung persamaan pada pokoknya atas merek EXTRA JOSS. EXTRA JOSS juga turut menggugat Ditjen HAKI yang dianggap lalai karena memberikan sertifikat merek ENERJOS. Kronologis sengketa ini yaitu pada tanggal 19 Mei 2005, Pengadilan Niaga Jakarta mengabulkan pembatalan merek ENERJOS milik PT Sayap Garuda Mas Utama, yang dimohonkan oleh pemilik merek EXTRA JOSS, PT Bintang Toedjoe. Perselisihan merek itu bermula ketika PT. Sayap Mas Utama mengantongi sertifikat merek ENERJOS dari Direktorat Jenderal (Ditjen) HAKI pada awal Juli 2000 yang digunakan untuk melindungi produk minumannya. Melalui Pengadilan Niaga Jakarta, produsen EXTRA JOSS lalu menuntut agar pendaftaran merek ENERJOS dibatalkan. EXTRA JOSS, memperkarakan ENERJOS karena penggunaan kata "Jos" pada "ENERJOS", perbedaan keduanya hanya pada penulisan merek EXTRA JOSS dengan dua hurus S sedangkan ENERJOS hanya dengan satu huruf ”S”. ENERJOS digugat dengan Pasal 6 Ayat (1) , Undang-Undang Nomor15 Tahun 2001 Tentang Merek yang menyebutkan bahwa pendaftaran harus ditolak jika merek tersebut mempunyai persamaan pada pokoknya dengan merek pihak lain yang telah terdaftar lebih dulu. Kasus EXTRA JOSS melawan ENERJOS merupakan kasus 12 Putusan Kasasi Mahkamah Agung RI Nomor 06 PK/N/HaKI/2006, diucapkan pada 6 Februari 2008. tentang gugatan pembatalan merek terdaftar (ENERJOS) yang memiliki kesamaan pada pokoknya dalam hal persamaan bunyi ucapan ”JOSS” dengan merek EXTRA JOSS yang telah lebih dahulu terdaftar. Dengan adanya sengketa tersebut PT. Bintang Toedjoe bermaksud untuk mencabut investasi di Indonesia dan memindahkan pabriknya keluar dari Indonesia. Sedikit berbeda dengan kedua sengketa diatas, terdapat salah satu perkara yang juga terkait dengan adanya Perjanjian Lisensi penggunaan merek, yakni pada perkara gugatan merek “Cap Kaki Tiga’. Kronologisnya bermula sekitar awal tahun 80-an, Wen Ken Drug Co. yang berbasis di Singapura bekerjasama dengan PT. Sinde Budi untuk memproduksi, menjual dan memasarkan serta mendistribusikan minuman penyegar dengan merek Cap Kaki Tiga dengan lukisan badak yang dituangkan dalam perjanjian lisensi yang berlangsung selama 30 tahun. beberapa hal yang diatur dalam perjanjian lisensi tersebut adalah ; 1. Penerima lisensi berhak memproduksi, menjual, memasarkan dan mendistribusikan minuman larutan penyegar dengan merek Cap Kaki Tiga; 2. Penerima lisensi mengatur pengurusan dan pendaftaran merek dan hak cipta Cap Kaki Tiga; 3. Melakukan pendaftaran produk-produk dengan merek Cap Kaki Tiga atas nama Pemberi Lisensi. Sebagai wujud pelaksanaan perjanjian PT. Sinde Budi mendaftarkan merek Cap Kaki Tiga disertai lingkaran bulat yang didalamnya ada gambar Cap Kaki Tiga tanpa ada gambar hewan Badak atau kata-kata Badak. Padahal seharusnya pemberian lisensi tersebut memberikan wewenang pendaftaran merek kepada penerima lisensi untuk mendaftarkan merek Cap Kaki Tiga milik Wen Ken Drug Co. berikut gambar Badak yang menjadi satu kesatuan. Dengan didaftarkannya merek Cap Kaki Tiga tanpa gambar Badak tersebut PT. Sinde Budi dianggap telah memiliki itikad buruk demi kepentingan pribadi. Terlebih Penerima Lisensi justru mendaftarkan merek minuman penyegar Cap Badak dengan gambar badak secara terpisah demi kepentingannya. Atas dasar itu, maka Wen Ken Drug Co. mengajukan gugatannya ke Pengadilan Niaga pada bulan April 2010 lalu atas dasar itikad buruk dan perbuatan curang (unfair competition). Atas gugatan tersebut, Pengadilan Niaga memutuskan memenangkan Wen Ken Drug Co, dalam amar putusan Majelis Hakim mengatakan bahwa merek Cap Kaki Tiga dengan Lukisan Badak adalah milik Wen Ken Drug Co. dan menyatakan bahwa PT. Sinde Budi telah melakukan itikad tidak baik dalam mendaftarkan merek Lukisan Badak dan Cap Badak. Tidak terima dengan putusan tersebut, PT. Sinde Budi mengajukan upaya hukum Kasasi ke Mahkamah Agung (MA) dan justru mengatakan bahwa Wen Ken Drug Co. yang memiliki itikad tidak baik dan berupaya untuk melakukan monopoli pasar di Indonesia. Menurut PT. Sinde Budi gugatan Wen Ken Drug Co. tidak tepat objeknya dikarenakan yang diperjanjikan dalam Perjanjian Lisensi adalah Cap Kaki Tiga, sehingga menurutnya tidak ada unsur itikad tidak baik pada PT. Sinde sebab tidak ada larangan secara hukum bagi penerima lisensi untuk mendaftarkan merek yang berbeda dengan merek pemberi lisensi. Atas pengajuan Kasasi itu, Majelis Hakim Mahkamah Agung memutuskan bahwa Pengadilan Niaga telah salah dalam menerapkan aturan hukum sehingga MA mengadili 13 sendiri perkara tersebut dengan amar putusan ; 1. Mengabulkan Kasasi dari Pihak Penerima Lisensi yakni Tjia Budi Yuwono; 2. Membatalkan putusan Pengadilan Niaga pada Pengadilan Negeri Jakarta Pusat Nomor 29/Merek/2010/PN. Niaga Jakarta Pusat tanggal 21 juli 2010; 3. Menyatakan gugatan Penggugat (pemberi lisensi yakni Wen Ken Drug Co.) tidak dapat diterima (niet onvankelijke verklard). Putusan tersebut, mejelis hakim di MA beranggapan bahwa tindakan penerima lisensi di bidang merek dengan menggunakan merek tertentu untuk mendaftarkan merek yang berbeda dengan merek pemberi lisensi tidak bertentangan dengan prinsip persaingan usaha tidak sehat dan Undang-Undang Nomor 15 Tahun 2001 tentang Merek. Melihat posisi yang strategis dari merek tersebut, maka tidak dapat disangkal bahwa dengan adanya perlindungan dan kepastian hukum dibidang merek maka dapat berpengaruh terhadap perkembangan dunia usaha dan perkembangan ekonomi pada umumnya. Perlindungan dan kepastian hukum yang terjamin akan berdampak pada perwujudan persaingan usaha yang sehat, sehingga dapat menciptakan asumsi positif dari para investor baik lokal maupun asing untuk berinvestasi di Indonesia. Masuknya investasi dari para pemilik modal tersebut tentu dapat mendongkrak perekonomian Indonesia ditengah pasar global saat ini. Banyaknya sengketa-sengketa merek dan upaya tindakan13 Putusan Kasasi Mahkamah Agung RI Nomor 767 K/Pdt .Sus/2010, diucapkan pada 30 November 2010 tindakan yang dilakukan oleh para pelaku usaha khususnya di bidang merek tersebut diatas, jelas mengkhawatirkan dan mengancam upaya menciptakan persaingan usaha yang sehat. Sengketa-sengketa terkait dengan merek tersebut juga dapat mempengaruhi perlindungan dan kepastian hukum di bidang merek, sehingga dapat berpengaruh pula terhadap iklim investasi yang sedang dibangun oleh Pemerintah, terlebih pada situasi ekonomi yang tidak menentu seperti ini. Menurut Mochtar Kusuma Atmaja, 14 yang menjadi masalah utama di Indonesia dan banyak dikeluhkan investor asing adalah kepastian hukum, baik mengenai ketentuan perundang-undangan yang banyak hal tidak jelas dan saling bertentangan, dan juga mengenai pelaksanaan putusan pengadilan. Ada 3 faktor yang menjadi penyebab tidak adanya kepastian hukum di Indonesia, 15 yaitu pertama : hirarki peraturan perundang-undangan tidak berfungsi dan masih tumpang tindihnya materi yang diatur; kedua, aparat lemah dalam menjalankan aturan; dan ketiga, penyelesaian sengketa-sengketa di bidang ekonomi tidak bisa diramalkan. Sementara Erman Rajaguguk 16 menyatakan bahwa ketidakpastian hukum akan berpengaruh pada perekonomian. Beberapa contoh kasus tersebut membuktikan sebagian sengketa merek yang dibawa hingga ke Pengadilan Niaga didasarkan pada pelanggaran asas itikad baik. Dasar sengketa yang paling menonjol dari kasus-kasus yang dikaji adalah menyangkut prinsip iktikad baik. Kasus-kasus yang mendominasi sengketa merek pada umumnya melibatkan iktikad buruk dari salah satu pihak. Dengan demikian, disamping pemahaman terhadap ketentuanketentuan dan doktrin mengenai merek terkenal, maka pemahaman atas penerapan dan proses pembuktian mengenai adanya iktikad tidak baik menjadi syarat mutlak, tidak saja bagi Hakim yang memutuskan perkara, namun juga bagi para lawyer dan para penegak 14 Mochtar Kusuma Atmaja, “Investasi di Indonesia dalam Kaitannya dengan Pelaksanaan Perjanjian Hasil Putaran Uruguay”, jurnal Hukum Nomor 5 Vol. 3., 1996, dalam Adi Sulistiyono, “Pembangunan Hukum Ekonomi Untuk Mendukung Pencapaian Visi Indonesia 2030”, Pidato Pengukuhan Guru Besar Hukum Ekonomi Fakultas Hukum Universitas Sebelas Maret, disampaikan dalam Sidang Sebat Terbuka pada tanggal 17 Nopember 2007. hlm. 41-42. 15 Adi Sulistiyono, ibid. 16 Erman Rajaguguk, Kompas 7 Februari 1998, dalam Adi Sulistiyono, ibid. hukum lainnya yang menangani kasus-kasus merek. 17 Menurut Julius Rizaldi, terdapat 3 18 jenis kategori permasalahan merek di Indonesia, yakni ; 1. Sengketa antara merek terdaftar dengan merek terdaftar; 2. Sengketa merek terdaftar dengan merek tidak terdaftar, dan; 3. Sengketa merek terdaftar unsur katanya saja, namun etiket kemasannya tidak. Meskipun sudah cukup banyak kasus-kasus serupa dan merek-merek yang melanggar dibatalkan, namun pelanggaran-pelanggaran atas merek masih masif terjadi di Indonesia. Apabila hal semacam ini terus terjadi dan tidak terdapat suatu rumusan untuk menangani dan menanggulanginya, maka bukan tidak mungkin investasi di Indonesia tidak berkembang, bahkan bisa juga investor-investor asing (Foreign Direct Investment/FDI) yang telah menanamkan modalnya di Indonesia, justru menariknya dan mengalihkannya ke Negara yang dianggap lebih menjamin adanya kepastian hukum dan perlindungan hukum hak atas merek. Khususnya dalam hal persaingan usaha di bidang merek, saat ini dapat dikatakan bahwa pengaturan dalam Undang-Undang Nomor 15 Tahun 2001 tentang Merek masih belum efektif mengatur. Kondisi persaingan curang di bidang merek di pasaran belum sepenuhnya terjangkau oleh Undang-Undang Nomor 15 Tahun 2001 tentang Merek. 19 Berdasarkan atas alasan diatas, maka Penulis merasa perlunya kajian yuridis terkait dengan mencari suatu rumusan yang tepat mengenai itikad baik dalam UndangUndang Nomor 15 Tahun 2001 tentang Merek, sehingga dapat membantu perkembangan di bidang Hukum Kekayaan Intelektual, dengan peranan hukum sebagai alat untuk pembangunan kekayaan intelektual (law as a tool of intellectual property engineering), khususnya terciptanya kepastian hukum dan perlindungan hukum bagi pemilik merek serta dapat membantu dalam upaya pencapaian tujuan Undang-Undang Nomor 15 Tahun 2001 tentang Merek untuk menjaga persaingan usaha yang sehat. Diharapkan pula dengan persaingan usaha yang sehat dapat mendorong investasi yang baik di bidang ekonomi dan bisnis. 17 Agus Sarjono, “Laporan Akhir Tentang Anotasi Yurisprudensi Peraturan Perundang-Undangan Bidang Hukum Merek”, 2006, Badan Pembinaan Hukum Nasional Departemen Hukum Dan Hak Asasi Manusia. hlm. 72. 18 Julius Rizaldi. Op. Cit. hlm. 18-19. 19 Ibid. hlm. 22. Terkait dengan asas itikad baik dalam Merek tersebut telah ada beberapa beberapa penelitian mengkaji mengenai itikad baik dan persaingan usaha bidang merek. Berdasarkan penelusuran pustaka yang dilakukan Penulis, didapat 3 judul penelitian terkait dengan Itikad Baik dalam Merek dan Persaingan Usaha, yaitu ; 1. Penerapan Itikad Baik Sebagai Alasan Pembatalan Merek Menurut UndangUndang Nomor 15 Tahun 2001 Tentang Merek (Di Tingkat Peninjauan Kembali), oleh RR. Putri Ayu Priamsari, tahun 2010, Tesis di Fakultas Hukum Universitas Diponegoro; 2. Implementasi Hak Kekayaan Intelektual Dalam Hubungannya Dengan Praktik Persaingan Bidang Merek, oleh Sabriando Leonal, tahun 2011, Tesis di Fakultas Hukum Universitas Indonesia; 3. Perlindungan Kemasan Produk Merek Terkenal Terhadap Persaingan Curang di Indonesia Dikaitkan dengan Undang-Undang Merek dan TRIPs-WTO, oleh Julius Rizaldi, tahun 2009, Disertasi di Universitas Padjajaran. Pada penelitian pertama lebih menekankan pembatalan dan/atau penghapusan suatu merek yang melanggar asas itikad baik, hingga adanya gugatan gantirugi yang diajukan oleh pemilik merek beritikad baik terkadap pemilik merek yang beritikad buruk. Sementara penelitian kedua lebih menekankan pada perjanjian lisensi yang dikecualikan dalam Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1999. Penelitian ketiga juga memfokuskan pada perlindungan kemasan merek terkenal, yang membedakan dengan unsur etiket merek pada proses pendaftaran. Sementara pengkajian pada penelitian yang dilakukan Penulis memfokuskan terhadap esensial batasan atau kategori itikad baik maupun itikad tidak baik yang belum jelas ketentuannya, terlebih dengan banyaknya sengketa-sengketa merek seolah-olah menjadi sebuah “strategi” tersendiri bagi pelaku usaha yang memiliki itikad tidak baik untuk melakukan perbuatan curang dan persaingan usaha tidak sehat dalam rangka memperoleh keuntungan sebesar-besarnya. Oleh karena itu penelitian yang dilakukan Penulis ini telah memenuhi unsur kebaruan (novelty). 20 Menghadapi perkembangan ekonomi yang semakin cepat dan kompleks, serta sulit 20 Pilar perkembangan ekonomi diperkuat melalui kelembagaan berupa norma, nilai, peraturan dan perundangan, hukum yang mengatur interaksi para aktor-aktor utama (intelektual, bisnis, komunitas dan pemerintah dalam pengembangan ekonomi, dikutip dari Lushiana Primasari, S.H., M.H & Anugrah Adiastuti, S.H., M.H. “Model Perlindungan Hak Kekayaan Intelektual Bagi Pengembangan Industri Kreatif Berbasis Pengetahuan diprediksi, substansi hukum ekonomi di Indonesia, disamping harus mampu menjamin adanya kepastian hukum, khususnya adanya sinkronisasi peraturan perundang-undangan, juga harus mampu melakukan refleksivitas dengan langkah pengelolaan, ketersediaan, realitas dan segala aspek kehidupan sosial. Apabila hal tersebut tidak dapat dilaksanakan terlebih kondisi persaingan usaha dan dunia usaha tidak dapat stabil, maka hukum ekonomi pun juga akan terjadi ketidakpastian di masyarakat dan juga akan mempengaruhi investasi dan menjadi kekhawatiran tersendiri bagi investor masuk ke Indonesia, karena berpotensi untuk bermasalah dengan hukum sehingga harus menghadapi proses-proses hukum baik di pengadilan maupun diluar pengadilan. Berbagai putusan pengadilan yang telah memperoleh kekuatan hukum kiranya dapat dijadikan sebagai acuan bagi pemeriksa pada Dirjen HKI, maupun pihak-pihak terkait dalam proses pendaftaran maupun penggunaan Merek. Tetapi sepertinya pertimbangan-pertimbangan dalam putusan-putusan tersebut hanya berlaku terhadap kasus a quo dan penetapan maupun batasan itikad baik dalam Merek tetap belum mampu mengikuti perkembangan pelaksanaan para pelaku bisnis dewasa ini. Pengaturan persaingan usaha dalam merek juga belum dapat dijangkau oleh ketentuan yang ada saat ini. Berbagai uraian dan permasalahan tersebut menjadi menarik untuk dikaji, sehingga diharapkan dari kajian yang dilakukan dapat membantu mencegah perbuatan persaingan usaha yang tidak sehat melalui perbuatan yang didasari itikad tidak baik. Juga meningkatkan kemajuan di bidang perdagangan dan mendorong investasi baik lokal maupun asing (FDI) di Indonesia. Berdasarkan atas uraian diatas, Penulis melakukan penulisan tesis dengan judul “Penerapan Asas Itikad Baik Dalam Undang-Undang Nomor 15 Tahun 2001 Tentang Merek Dalam Kerangka Persaingan Usaha Yang Sehat”. B. Rumusan Masalah Perumusan masalah merupakan hal yang sangat penting dalam setiap penelitian, karena dibuat untuk memecahkan masalah pokok yang timbul secara jelas dan sistematis sehingga penelitian akan lebih terarah pada sasaran yang akan dicapai. Perumusan masalah dibuat untuk lebih menegaskan masalah yang akan diteliti, sehingga dapat ditemukan suatu pemecahan masalah yang tepat dan mencapai tujuan. Tradisional Di Indonesia”,Laporan Akhir Hibah Penelitian Unggulan Fakultas Sumber Dana PNBP UNS 2014 Setiap penulisan ilmiah yang akan dilakukan selalu berasal dan berangkat dari masalah 21. Berdasarkan latar belakang yang telah dipaparkan diatas, penulis merumuskan masalah untuk mengetahui dan menegaskan masalah-masalah apa yang hendak diteliti sehingga dapat memudahkan penulis dalam mengumpulkan, menyusun, menganalisa, dan mengkaji data secara lebih rinci. Adapun permasalahan yang akan dikaji penelitian ini adalah: 1. Bagaimana batasan asas itikad baik dalam Undang-Undang Nomor 15 Tahun 2001 tentang Merek ? 2. Apakah penerapan asas itikad baik menurut Undang-Undang Nomor 15 Tahun 2001 tentang Merek telah sesuai dengan tujuan untuk menjaga persaingan usaha yang sehat? C. Tujuan Penelitian Suatu penelitian harus memiliki tujuan yang jelas agar penelitian tersebut memiliki arahan dan pedoman yang pasti. Tujuan penelitian pada prinsipnya mengungkapkan apa yang hendak dicapai oleh peneliti sebagai solusi atas permasalahan yang dihadapi. Adapun tujuan yang hendak dicapai Penulis dalam Penelitian ini adalah : 1. Tujuan Objektif a. Mengidentifikasi pengaturan asas itikad baik dalam Undang-Undang Nomor 15 Tahun 2001 tentang Merek, dan; b. Untuk mengetahui apakah implementasi asas itikad baik dalam UndangUndang Nomor 15 tahun 2001 tentang Merek, telah sesuai untuk menjaga persaingan usaha yang sehat. 2. Tujuan Subjektif a. Menambah pengetahuan Penulis dalam bidang Hak Kekayaan Intelektual (HKI), khususnya implementasi atas asas itikad baik dalam Undang-Undang Nomor 15 Tahun 2001 tentang Merek dalam mewujudkan persaingan yang sehat. 21 Sugiyono, Metode Penelitian Bisnis, CV. Alfabeta, Bandung, 2004, hlm. 25 b. Untuk penyusunan tesis guna melengkapi tugas dan memenuhi persyaratan mencapai derajat Magister Hukum Program Studi Ilmu Hukum konsentrasi Hukum Bisnis pada Program Magister Ilmu Hukum Fakultas Hukum Universitas Sebelas Maret Surakarta (UNS). D. Manfaat Penelitian Suatu penelitian akan bernilai dan dihargai apabila penelitian tersebut dapat memberikan manfaat yang tidak hanya bagi Penulis sendiri, namun juga bagi orang lain. Penulis berharap hasil penelitian ini dapat memberikan manfaat bagi banyak pihak yang terkait dengan penulisan hukum ini, yaitu bagi penulis, maupun bagi pembaca dan pihak-pihak lain. Ada pun manfaat yang penulis harapkan dari penelitian ini adalah sebagai berikut: 1. Manfaat Teoritis Melalui penelitian ini diharapkan mampu memberikan sumbangan pemikiran bagi pengembangan ilmu pengetahuan dan memperkaya khazanah ilmu hukum, khususnya pada minat hukum bisnis secara teoritis dalam mengkaji pelaksanaan asas itikad baik dalam Undang-Undang Nomor 15 Tahun 2001 tentang Merek serta pembangunan hukum nasional khususnya dalam persaingan usaha di bidang Merek. Selain itu diharapkan juga dapat sebagai acuan bagi penelitian selanjutnya. 2. Manfaat Praktis Melalui penelitian ini diharapkan dapat mengembangkan penalaran, membentuk pola pikir dinamis, sekaligus untuk mengembangkan kemampuan penulis dalam mengkritisi persoalan-persoalan hukum terutama tentang pelaksanaan asas itikad baik dalam Undang-Undang Nomor 15 Tahun 2001 tentang Merek. Penelitian ini juga diharapkan dapat memberikan kontribusi bagi seluruh kalangan, baik bagi praktisi hukum, aparat penegak hukum, serta bagi para pelaku bisnis agar dapat mengetahui gambaran atau batasan dan deskripsi asas itikad baik dalam Undang-Undang Nomor 15 Tahun 2001 tentang Merek dan dapat menciptakan persaingan usaha yang sehat, serta mendorong terciptanya budaya hukum yang kondusif dalam implementasi asas itikad baik dalam Undang-Undang Nomor 15 Tahun 2001 tentang Merek.