BAB 2 TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Kesadaran Tubuh Kesadaran tubuh (bodily awareness) adalah kemampuan seseorang untuk dapat memahami potensi tubuh dalam melakukan gerakan-gerakan (Payne &Isaac, 2005). Kesadaran tubuh merupakan bagian dari kecerdasan tubuh (Anderson, 2006). Namun kecerdasan tubuh yang diasosiasikan dengan kesadaran tubuh berbeda dengan konsep kecerdasan tubuh (Bodily Kinesthetic Intelligence) yang dipaparkan oleh Gardner. Anderson (2006), menyatakan bahwa kecerdasan tubuh yang dijelaskan oleh Gardner lebih menekankan pada kapasitas seseorang untuk belajar dari pengalaman dan menyelesaikan masalah, sedangkan konsep dari kesadaran tubuh menekankan pada sensasi yang dirasakan oleh tubuh (bodily sensation). Kesadaran tubuh menurut Anderson (2006), adalah kecerdasan tubuh dalam mengolah informasi melalui sensasi-sensasi yang dirasakan oleh tubuh. Informasi dapat berasal dari internal atau eksternal. Kesadaran tubuh merupakan sebuah konsep yang berkembang dalam dunia kesehatan, yang digunakan untuk mempelajari kecenderungan gangguan kecemasan dan panic disorders dengan berfokus pada gejala-gejala fisik sehingga membentuk gambaran kognitif yang sedang terjadi (Mehling, dkk; 2009). Pengukuran terhadap kesadaran tubuh (Body awareness), telah mengalami beberapa proses revisi. Pada penelitian sebelumnya, kesadaran tubuh pada awalnya lebih banyak diasosiasikan dengan gejala-gejala dari rasa sakit yang dirasakan tubuh, yaitu sensasi tubuh yang diasosiasikan dengan kecemasan dan tekanan emosional negatif. Kemudian pada penelitian berikutnya, kesadaran tubuh lebih banyak diasosiasikan dengan persepsi seseorang terhadap tubuhnya (body image), bagaimana penilaian seseorang terhadap tubuhnya yang termasuk didalamnya ukuran tubuh, keterbatasan tubuh, dan penampilan dari tubuh. Bernet (dalam Anderson, 2006) merupakan salah satu tokoh yang mengembangkan alat ukur kesadaran tubuh yang berusaha mengukur kesadaran tubuh yang diasosiasikan dengan peningkatan kesejahteraan diri dan kesehatan. Alat ukur yang dikembangkan oleh Bernet lebih menekankan pada kesadaran tubuh secara normal yang diasosiasikan dengan sensasi emosi. 7 8 Kesadaran akan tubuh dapat diaktifkan melalui faktor-faktor internal maupun eksternal. Secara internal, kesadaran tubuh diaktifkan melalui adanya proprioception dan interoception. Proprioception adalah persepsi akan pergerakan otot pada bagian tubuh yang menekankan pada keseimbangan dan postur tubuh baik pada saat bergerak maupun pada saat diam. Interoception adalah persepsi terhadap sensasi fisik yang berhubungan dengan fungsi organ internal, seperti detak jantung. Interoception dan proprioception mengaktifkan kesadaran tubuh dari sensasi tubuh yang dirasakan secara internal yang melalui sistem saraf yang bekerja. Secara eksternal, kesadaran tubuh diaktifkan melalui exteroception dimana tubuh menerima input dari luar tubuh, misalnya cahaya, dan suara. 2.1.1 Balet Tarian balet adalah sebuah tarian yang istimewa, yang ditarikan diatas panggung menggunakan langkah, musik, gerakan, kostum serta tata rias (Ruci, 2007). Tarian balet merupakan tarian yang membutuhkan kerja keras, latihan yang keras untuk mencapai sebuah kesempurnaan. Menurut Setiawati (2008), salah satu ciri-ciri dari tarian balet adalah adanya aturan-aturan disiplin yang tinggi serta teknik gerak yang baku. Tarian balet berhubungan dengan panggung, koreografer, musik, tata rias, sebuah adegan, pointe shoe, serta kostum. Koreografer dalam tarian balet dapat didasari oleh sebuah cerita atau ide yang muncul dari seorang koreografer melalui musik atau sebuah lukisan. Balet membutuhkan fisik yang kuat, serta penguasaan teknik yang spesifik dan teliti karena gerakannya yang sangat berbeda dari gerakan normal. Dalam menguasai teknik-teknik balet, seorang penari balet membutuhkan latihan serta kerja keras bertahun-tahun. Usia 8 hingga 10 tahun, merupakan usia terbaik untuk memulai latihan balet. Kemampuan teknik merupakan sesuatu yang dibutuhkan dalam tarian balet agar dapat menghasilkan tarian yang indah. Diatas panggung, seorang penari tidak boleh terlihat berusaha dalam melakukan setiap teknik, karena hanya ekspresi dan keindahan saja yang harus terlihat diatas panggung. Keseimbangan, merupakan salah satu unsur terpenting yang dibutuhkan dalam menari balet. Keseimbangan adalah kondisi dimana tubuh berada pada posisi seimbang sempurna tanpa adanya kecenderungan untuk goyah. Tarian balet identik 9 dengan gerakan en pointe yang berdiri menggunakan ujung kaki. Untuk melakukan gerakan ini, seorang penari balet membutuhkan keseimbangan sempurna yang membutuhkan kesadaran tubuh. Menari menggunakan pointe shoes dengan gerakan en pointe, dimana keseluruhan berat tubuh diletakkan pada ujung kaki. 2.1.1.1 Gerakan-gerakan dasar dalam tarian balet Tarian balet memiliki posisi-posisi dasar yang membutuhkan latihan rutin agar para penari balet mampu menghasilkan koreografi yang baik dan sempurna. Gerakan dasar melatih para penari balet untuk memiliki postur tubuh seimbang. Gerakan-gerakan dasar ini dikembangkan pada masa raja Louis XIV. Barre. Latihan balet selalu diawali dengan pemanasan tubuh dan latihan teknik menggunakan barre. Barre adalah sebuah kayu tipis dengan posisi horisontal yang menempel pada dinding atau depan kaca, yang digunakan untuk menguji keseimbangan. Kedua kaki berada pada posisi dibengkokkan (turn-out) sehingga posisi kaki berbentuk lurus dengan posisi jempol kaki kiri dan jempol kaki kanan saling berjauhan. Plié. Latihan barre diawali dengan plié, yaitu kedua lutut dibengkokkan untuk melatih elastisitas dari kaki dan pergelangan kaki yang akan membantu para penari balet saat melakukan putaran, pointe work, dan pendaratan setelah melakukan loncatan. Tendu. Latihan kemudian dilanjutkan dengan tendu yaitu posisi kaki dan telapak kaki direnggangkan ke depan, ke samping dan ke belakang agar memperpanjang dan memperkuat otot-otot pada kaki dan batang tubuh. Selama latihan tendu, posisi kaki yang direnggangkan bersentuhan dengan lantai dari posisi setengah pointe hingga seutuhnya, dan kaki yang tidak sedang direnggangkan tetap berada pada posisi turn-out. Dégagé. Gerakan selanjutnya dalam barre setelah tendu adalah Dégagé yang memiliki gerakan yang sama dengan tendu. Letak perbedaannya adalah, saat kaki direnggangkan atau dipanjangkan, kaki sedikit tidak bersentuhan dengan lantai. Rond de Jambe. Latihan ini tidak berbeda jauh dari tendu. Tetapi dalam gerakan ini, kaki yang dipanjangkan atau direnggangkan membentuk ganbar setengah lingkaran pada lantai dengan posisi jempol kaki yang 10 bergerak dari depan, ke samping, ke belakang, dan menyentuh tumit kaki yang sedang berada pada posisi seimbang. Frappé. Latihan frappé melatih kaki pada saat akan melakukan lompatan. Satu kaki diangkat dan menyentuh pergelangan kaki lain, dengan posisi lutut kebawah, kaki menendang dengan kuat ke arah lain. Petit battement. Latihan ini berfungsi untuk mempersiapkan kaki dalam melakukan gerakan-gerakan yang rumit. Dalam gerakan ini, satu kaki diangkat dengan posisi tumit yang menyentuh pergelangan kaki lainnya. Kaki yang diangkat bergerak masuk dan keluar dengan tempo yang cepat. Grand battement. Latihan ini berfungsi merenggangkan sendi panggul dan menjaga kaki tetap fleksibel. Pada gerakan ini, kaki ditendang ke atas, ke arah depan samping atau belakang. Pada saat kaki berada dibawah, sebelum melakukan tendangan keatas, posisi kaki melakukan gerakan tendu. Arabesque. Diakhir dari latihan menggunakan barre, para penari balet akan melatih keseimbangan mereka tanpa menggunakan bantuan barre. Posisi arabasque merupakan posisi yang digunakan utuk melatih keseimbangan dari para penari balet. Gerakan ini dilakukan dengan satu kaki ditarik ke belakang dengan posisi 90 derajat, dan satu kaki berada dibawah, menginjak lantai juga dengan posisi 90 derajat. Adage. Adage adalah gerakan berkelanjutan yang lambat, lembut, dan penuh perasaan. Beberapa gerakan dikombinasikan dalam adage untuk menghasilkan sebuah ilusi akan posisi yang mengalir dari satu ke posisi lainnya. Allegro. gerakan ini mengandung unsur gerakan yang cepat dan hidup, yang biasanya latihan melompat dengan langkah dan urutan. Saat melompat,seluruh kaki ditarik dan telapak kaki berada pada posisi pointe. Lompatan diawali dan diakhiri dengan plié. Latihan plié mencegah terjadinya luka serta membantu menghasilkan lompatan yang tinggi. Stretching. Fleksibilitas sangat diperlukan oleh para penari balet guna menghindari rasa sakit saat melakukan suatu gerakan. Oleh karena itu pemanasan otot setiap hari dibutuhkan oleh para penari balet. Piroutte. Nama ini diberikan untuk seluruh gerakan berputar pada balet. Untuk menghasilkan gerakan berputar yang sempurna, harus diawali dengan plié dan posisi tubuh yang ditarik. Saat gerakan berputar, posisi 11 kepala harus lurus dan memandang kedepan sehingga mereka dapat berfokus pada satu titik yang sama, yang membuat penari balet tidak menjadi pusing. Posisi lengan berada didepan tubuh, seimbang dengan pinggang untuk menjaga posisi seimbang saat melakukan putaran. Grand piroutte. Gerakan ini adalah gerakan berputar paling sulit dalam balet. Dalam gerakan ini, satu kaki bekerja untuk menendang keluar dengan posisi menyamping kemudian menempel pada lutut dari kaki yang befungsi untuk memutar tubuh. Kaki yang menempel pada lantai, yang berputar, berada pada posisi pointe setiap saat kaki yang lain menempel pada lutut. 2.2 Kecerdasan Emosi Kecerdasan emosi atau EI adalah sebuah konsep yang berkembang dalam dunia psikologi. Mulai dikenalnya konsep kecerdasan atau EI saat terbitnya buku Daniel Goleman (1995) yang berjudul “Emotional Intelligence”(Geni, 2011). Berpusatnya kebudayaan masyarakat terhadap faktor kecerdasan intelektual dan mengabaikan aspek emosi, membuat penyebaran mengenai konsep kecerdasan emosi atau EI kian pesat (Gibbs, Goleman dalam Geni, 2011). Orientasi terhadap IQ mulai mengalami pergereran saat berkembangnya teori kecerdasan majemuk, yang dimana para ahli psikologi sepakat dengan konsep Gardner bahwa konsep lama mengenai IQ hanya berkisar pada kecapakan linguistik dan matematika yang sempit, serta hanya menjadi ramalan sukses di kelas atau sebagai profesor yang sifatnya akan semakin melenceng dari kehidupan seiring dengan jalur kehidupan yang jauh dari dunia akademik. Gardner (1999), pengembang dari teori kecerdasan majemuk, mengatakan bahwa orientasi terhadap konsep IQ dalam budaya masyarakat menunjukkan adanya wawasan yang sempit mengenai kecerdasan, yang tidak menyentuh serangkaian kecerdasan lain yang nyata guna bagi kehidupan (Goleman, 1996). Salovey (1990), merupakan ahli psikologi yang menemukan akan pemahaman pentingnya kecerdasan “pribadi” atau kecerdasan emosional. Konsep daripada EI yang dikembangkan oleh Goleman, pertama kali berkembang dalam dunia dunia Industri dan Organisasi yang memberikan dampak yang cukup signifikan (Nasser, Chishti, Rahman & Jumani, 2011). Dalam dunia 12 Industri dan Organisasi, pemimpin yang memiliki EI yang baik dibuktikan mampu terlepas dari rasa stres yang berlebihan sehingga dengan demikian mampu memberikan keputusan secara objektif bagi perusahaan yang membawa kemajuan bagi perusahaan (Kunnanatt, 2008). Tidak hanya dalam dunia industri dan organisasi, dengan kemampuan kecerdasan emosi atau EI yang dimiliki seseorang, dapat meningkatkan performa akademis, mengurangi perilaku negatif, meningkatkan intesitas dalam berperilaku positif, seperti prososial sehingga membentuk hubungan interpersonal yang baik dengan banyak orang (Emmerling, et al., 2013). 2.2.1 Emosi Berbicara mengenai emosi, teori mengenai emosi telah diperdebatkan sejak lama. Terdapat banyak landasan yang digunakan untuk melakukan pendekatan dan menjelaskan tentang emosi. Beberapa pendekatan itu antara lain : • Basic emotional approach : pendekatan yang menjelaskan bahwa emosi muncul disebabkan adanya stimulus dari lingkungan luar maupun dari dalam diri. • Social constructionist theory : pendekatan yang menjelaskan bahwa emosi muncul disebabkan adanya kejadian-kejadian disekitar lingkungan, dimana pemikiran dasar secara sosial dan kultural yang menjadi mediasi. Beberapa tokoh turut berargumentasi mengenai aspek emosi, apakah emosi penting atau tidak penting bagi manusia. Young (1943) merupakan salah satu tokoh yang tidak mendukung aspek emosi. Ia mengatakan bahwa emosi cenderung membuat seseorang kehilangan kendali, dan cenderung sulit untuk diadaptasikan (Young, 1943). Namun hal lain diungkapkan oleh Mowrer (1960) yang mampu menjelaskan nilai dari sebuah emosi. Mowrer menjelaskan bahwa emosi merupakan suatu elemen yang luar biasa penting bagi kelangsungan hidup organisme yang tidak dapat dipisahkan dari aspek intelegensi, emosi merupakan bagian dari intelegensi yang tinggi (Mowrer, 1960). Pada buku Emotional Intelligence yang dikembangkan oleh Daniel Goleman, dijelaskan bahwa emosi dalam diri kita bertujuan untuk mengarahkan kita dalam menghadapi masalah yang tidak dapat kita selesaikan secara intelektual, seperti rasa kehilangan, melewati masa-masa frustasi dalam usaha untuk mencapai goal, membangun keluarga, dsb. Setiap emosi memberikan arahan yang 13 berbeda dengan tujuan agar kita dapat mengatasi setiap permasalahan yang muncul dalam kehidupan. Emosi merupakan perasaan yang muncul dalam diri seseorang ketika ia berinteraksi dengan orang lain (Campos dalam Santrock, 2010). Emosi bersifat spesifik, dan beragam, contoh : takut, senang, marah, dsb tergantung pada transaksi yang dilakukan dan yang dirasakan dari hasil transaksi tersebut. Emosi mengalami perkembangan tahap demi tahap dari bayi hingga dewasa. Perkembangan emosi dapat didasarkan pada dua hal, yaitu secara biologis dan kultur. Perkembangan emosi dilandaskan pada perkembangan sistem saraf pada diri seseorang, termasuk perkembangan pada sistem limbik yang merupakan tempat pengaturan emosi. Perkembangan emosi juga ditentukan dari kultur dari negara yang berbeda-beda. Emosi selalu muncul dalam menghadapi situasi-situasi di sekitar kita. Respon emosi muncul pada saat kita berinteraksi dengan orang lain, untuk mengetahui apa yang dirasakan oleh orang lain sehingga kita mampu mengatur perilaku kita (Santrock, 2010). Ekman (dalam Emmerling, Shanwal, & Mandal, 2010), mengatakan bahwa fungsi terpenting dari emosi adalah mempersiapkan diri kita saat berinteraksi dengan orang lain. Emosi memiliki data yang memberi tahu kita mengenai hal-hal yang terjadi di sekitar kita atau sesuatu yang terjadi dalam diri kita dan mengarahkan kita dan memotivasi kita untuk melakukan suatu perilaku (Emmerling, Shanwal, & Mandal, 2010). Namun aspek utama dari emosi adalah mempersiapkan diri kita dalam menjalani hubungan interpersonal dengan orang lain (Emmerling, Shanwal, & Mandal, 2010). Emosi mengarahkan kita melakukan suatu tindakan secara efektif dan adaptif. Emosi memunculkan suatu kejadian yang membutuhkan effective decision (Emmerling, Shanwal, & Mandal, 2010). Terdapat beberapa karakteristik fungsi dari emosi yang diungkapkan oleh Frijda (1988) dan Plutchik (1980) (dalam Emmerling, Shanwal, & Mandal, 2010) : a. Muncul pada saat terjadinya perubahan pada lingkungan b. Muncul secara otomatis c. Muncul secara cepat d. Mengalami perubahan secara fisiologis e. Memiliki variasi intensitas f. Memberikan perubahan pada atensi dan pemikiran g. Memotivasi atau mendorong munculnya beberapa perilaku 14 h. Adanya pengalaman pribadi yang dirasakan i. Dapat hilang dengan cepat j. Berfungsi secara adaptif 2.2.2 Dimensi kecerdasan emosi Kecerdasan emosi atau Emotional Intelligence menurut Salovey dan Mayer (1990) adalah kemampuan seseorang dalam menangkap, mengekspresikan emosi secara akurat dan adaptif, memahami emosi, menggunakan emosi dalam memfasilitasi proses berpikir, serta mampu mengatur emosi pribadi dan orang lain (Santrock, 2010). Kemampuan-kemampuan dalam EI terbagi menjadi 4 yang dijabarkan oleh Mayer dan Salovey (1997), antara lain : 1. Identifying emotions : kemampuan untuk mengidentifikasi emosi, baik emosi yang dirasakan secara pribadi, dan menangkap emosi yang dimunculkan oleh orang lain dan lingkungan sekitar. Untuk dapat mengidentifikasi emosi secara akurat seseorang harus memiliki kesadaran akan emosi untuk menangkap dan mengidentifikasi secara tepat pesan emosi yang disampaikan. 2. Using emotions : kemampuan untuk menggunakan emosi dalam mempengaruhi proses berpikir. 3. Understanding emotions : kemampuan untuk memahami pesan-pesan emosi yang disampaikan serta mendeskripsikannya dengan tepat. 4. Managing emotions : kemampuan untuk mengatur emosi dimana emosi mengandung data-data yang berfungsi untuk membuat kita mampu menentukan pilihan yang bijaksana. 2.3 Remaja Tahapan remaja merupakan tahapan krusial dalam perkembangan manusia. Menurut Post- Freudian Theory yang dikembangkan oleh Erik Erikson, tahap remaja berkisar antara usia 10-20 tahun (Santrock, 2011), merupakan tahap pencarian identitas diri, dengan harapan bahwa diakhir dari periode ini, seorang remaja akan mendapatkan identitas diri yang teguh bagi dirinya (Feist&Feist, 2006). Erikson (1982) menyebut periode remaja sebagai periode trial and error. Kebebasan yang didapatkan oleh seorang remaja untuk mencoba berbagai macam hal-hal baru dalam usaha memperoleh identitas diri menjadikan tahap ini tahapan paling krusial dalam tahapan perkembangan kehidupan manusia. 15 2.3.1 Perkembangan Fisik Perkembangan fisik pada remaja, ditandai dengan adanya pubertas. Pubertas merupakan awal yang penting yang menandai masa remaja. Pubertas merupakan suatu periode yang ditandai dengan adanya kematangan fisik sehingga terjadi perubahan pada tubuh dan hormon (Santrock, 2007). Munculnya rambut diwajah pada laki-laki, berkembangnya buah dada pada wanita merupakan ciri-ciri fisik yang menandai pubertas pada masa remaja. Tetapi dibalik setiap perubahan tubuh yang ada, terdapat aliran hormon-hormon yang mengalir ditubuh melalui aliran darah. Meningkatnya kadar hormon pada masa pubertas, membuat beberapa perubahan. Pada laki-laki, hormon testoteron merupakan androgen yang memiliki peran yang besar semasa pubertas, sehingga menjadikan beberapa perubahan pada laki-laki seperti adanya perubahan suara, bertambahnya tinggi, berkembangnya testis, dan tumbuhnya rambut diwajah. Sedangkan pada wanita, estradiol adalah esterogen yang berperan besar semasa pubertas, yang menjadikan beberapa perubahan seperti, mengalami menstruasi pertama (menarche), bertambah besarnya dada, rahim dan pinggul. Adanya pertumbuhan secara fisik pada masa pubertas, menandakan adanya kematangan seksual pada remaja laki-laki dan perempuan. Seiring dengan perkembangan yang terjadi secara fisik dan hormonal melalui fase pubertas yang dialami oleh remaja turut mempengaruhi faktor psikologis. Perkembangan fisik yang terjadi pada remaja mempengaruhi citra diri pada remaja, karena tingginya rasa perhatian remaja terhadap tubuhnya. Berlangsungnya masa pubertas yang merubah bentuk dan ukuran tubuh, membuat remaja wanita cenderung lebih memiliki rasa ketidakpuasan terhadap bentuk tubuh karena meningkatnya jumlah kadar lemak dalam tubuh. Sedangkan pada remaja laki-laki, mereka cenderung menjadi lebih puas karena meningkatnya massa otot dalam tubuh. Meningkatnya hormon testoteron pada remaja laki-laki dan esterogen pada remaja wanita juga menimbulkan beberapa dampak terhadap perilaku. Kadar androgen yang tinggi pada laki-laki, berdasarkan penelitian yang dilakukan, berkaitan dengan masalah agresivitas dan masalah-masalah perilaku lainnya (Van Goozen dkk dalam Santrock, 2007). Sedangkan pada remaja wanita, beberapa indikasi menunjukkan bahwa peningkatan kadar esterogen pada remaja perempuan berkaitan dengan depresi (Angold, Costello, & Worthman, dalam Santrock, 2007). Kematangan dini dan lambatnya kematangan pada remaja turut menimbulkan beberapa indikasi tertentu terhadap kecenderungan perilaku yang akan muncul. 16 Dalam sebuah studi yang dilakukan, menyatakan bahwa remaja laki-laki dan perempuan yang matang lebih dini, lebih aktif secara seksual dan memperlihatkan kenakalan dibandingkan remaja pria dan perempuan yang matang lambat (Flannery, Rowe, & Gulley dalam Santrock, 2007). Meskipun demikian, hal tersebut tidak tidak menjadi fokus utama, yang memberikan dampak yang besar. Tidak selamanya remaja yang mengalami kematangan dini akan cenderung berperilaku buruk, dan tidak selamanya remaja yang mengalami kematangan lambat akan sulit berelasi dengan teman sebayanya. Terbentuknya perilaku remaja tidak hanya ditinjau dari faktor biologis, tetapi turut melibatkan faktor kognitif dan sosio-emosional. 2.3.2 Perkembangan Emosi Masa remaja dikenal sebagi masa badai emosional (Hall dalam Santrock, 2007). Kata “badai emosional” melekat pada masa remaja karena adanya fluktuasi emosi (naik dan turun) berlangsung lebih sering pada masa remaja awal (Rosenblum & Lewis dalam Santrock 2007). Fluktuasi emosi yang terjadi pada remaja membuat remaja terkadang merasa sangat bahagia, pada saat yang berlainan menjadi cenderung merasa paling malang, dapat menjadi marah secara tiba-tiba, dan memproyeksikan perasaan-perasaan yang tidak menyenangkan ke orang lain. Hal demikian yang terjadi pada remaja, mendukung persepsi bahwa remaja cenderung memiliki suasana hati yang tidak menentu atau berubah-ubah (Rosenblum & Lewis dalam Santrock, 2007). Masa pubertas yang terjadi pada masa remaja, yang mengakibatkan perubahan hormonal dapat menyebabkan meningkatnya emosi-emosi negatif (Archibald, Graber, & Brooks-Gunn, Brooks-Gunn, Graber, & Paikoff, Dorn, Williamson, & Ryan dalam Santrock, 2007). Tetapi fluktuasi emosi yang terjadi pada remaja tidak hanya semata-mata disebabkan karena adanya perubahan hormonal yang terjadi semasa pertumbuhan secara fisik. Faktor lingkungan sosial, turut mengambil peran besar dalam perubahan emosi yang terjadi pada remaja. Sebuah studi mengungkapkan bahwa depresi dan kemarahan yang terjadi pada remaja, dua sampai empat kali lipat disebabkan oleh faktor sosial dibandingkan dengan faktor hormonal (Brooks-Gun & Warren, 1989) dalam Santrock (2007). Masuknya remaja pada tahap pengalaman yang menekan, yaitu menuju transisi ke masa-masa pengalaman seksual dan relasi romantis, 17 orientasi pada prestasi disekolah dapat menekan dan mengakibatkan munculnya emosi-emosi negatif pada remaja. Perubahan hormonal dan pengalaman baru yang dialami remaja dapat mengakibatkan perubahan perubahan emosi pada remaja. Seiring dengan perubahan emosi yang terjadi pada remaja, turut mengubah bagaimana cara remaja dalam mengelola emosi-emosinya (Saarni, dkk., 2006) dalam Santrock (2007). Pada masa remaja, individu cenderung menyadari siklus emosi yang dirasakannya. Kesadaran akan emosi ini, dapat meningkatkan kesadaran remaja untuk mengelola emosiemosinya. Kesadaran remaja akan emosi membuat remaja turut mampu secara terampil menampilkan emosinya ke orang lain, seperti dengan cara yang lebih konstruktif sehingga mampu menjaga relasi dengan orang lain serta terkadang menutupi rasa marah dalam berhubungan relasi dengan orang lain. Meningkatnya kesadaran akan emosi pada remaja, mampu mempersiapkan remaja dalam mengatasi stres, depresi, dan fluktuasi emosi yang terjadi pada masamasa remaja. Namun tidak semua remaja mampu mengelola emosinya secara efektif, yang mengakitbakan mereka rentan mengalami depresi, stres, sehingga munculnya masalah-masalah seperti penyalahgunaan obat-obatan, gangguan makan, dan kenakalan remaja. Dengan demikian, kompetensi emosi sangat butuh untuk dikembangkan oleh remaja agar mampu mengatasi fluktuasi emosi yang dirasakan. Menurut Saarni (dalam Santrock, 2007), kompetensi emosional yang butuh dikembangkan oleh remaja antara lain : 1. Pentingnya ekspresi emosi dalam berelasi dengan orang lain. 2. Pentingnya regulasi diri untuk mengatasi intensitas lamanya emosi-emosi negatif yang dirasakan. 3. Pentingnya pemahaman akan emosi yang dirasakan sehingga dapat mempertimbangkan bagaimana cara mengekspresikan emosinya terhadap lingkungan. 4. Mampu mengatur emosi sehingga tidak terperangkap terlalu lama dalam emosi yang sedang dirasakan. 5. Mampu memahami emosi yang dirasakan oleh orang lain. 2.3.3 Perkembangan Kognitif Perubahan yang terjadi pada fase masa remaja,memang terlihat melalui perubahan fisik melalui fase pubertas dan perbahan sosioemosional yang terlihat 18 melalui adanya masa fluktuasi emosi dan tindakan penyimpangan.Tetapi disamping itu, perubahan kognitif turut terjadi pada masa remaja. Perkembangan kognitif pada remaja ditandai dengan berpusatnya diri remaja terhadap dunia kognitifnya sendiri, melalui proses pengorganisasian pengalaman dan pengamatan mereka, memisahkan gagasan-gagasan yang ada kedalam bagian-bagian gagasan yang penting dan kurang penting bagi mereka, serta penyesuaian cara berpikir untuk menyertakan gagasan baru sehingga dapat menghasilkan pemahaman yang lebih dalam dengan membentuk skema. Skema dibentuk dan diadaptasikan dengan menggunakan dua cara, yaitu asimilasi, yang menggabungkan informasi baru kedalam pengetahuan yang telah ada sebelumnya, dan akomodasi yaitu menyesuaikan diri dengan informasi baru. Berdasarkan teori perkembangan dari Jean Piaget, tahapan kognitif yang melekat pada diri remaja adalah tahap operasional formal. Remaja sudah mampu berpikir secara lebih abstrak, logis yang mampu mengembangkan hipotesa mengenai suatu hal dalam pikiran mereka dan tidak terbatas hanya pada pengalamanpengalaman kongkrit atau aktual. Pemikiran dengan sifat dasar abstrak adalah pemikiran mengandung unsur idealisme dan kemungkinan. Jika anak-anak seringkali berpikir secara kongkrit berdasarkan sesuatu yang bersifat riil dan terbatas, remaja mulai mempertimbangkan unsur-unsur idealisme yang mereka inginkan dan yang diinginkan oleh orang lain sehingga membuat mereka seringkali membandingkan diri mereka dengan orang lain menurut standar ideal tersebut. Fantasi yang muncul pada pikiran remaja seringkali mengenai kemungkinan-kemungkinan yang akan terjadi di masa depan. Pemikiran yang bersifat logis juga menjadi ciri khas dari perkembangan secara kognitif yang terjadi pada remaja. Remaja mulai berpikir seperti seorang ilmuwan, menguji solusi secara sistematis, dan membuat sebuah rencana untuk memecahkan suatu masalah. Remaja mulai berpikir menggunakan penalaran hipotesis deduktif, yaitu mengembangkan hipotesa atau dugaan bagaimana cara meneyelesaikan suatu persoalan yang kemudian melakukan deduksi dalam mengambil langkah terbaik untuk menyelesaikan permasalahan tersebut. Pemikiran operasional formal merupakan gambaran bagaimana cara berpikir yang terjadi pada remaja. Tetapi tidak semua remaja mampu menjadi pemikir operasional formal sepenuhnya. Menurut Broughton (1983), para ahli perkembangan membagi pemikiran operasional formal kedalam dua subperiode, yaitu pemikiran operasional formal awal dan pemikiran operasional akhir (Santrock, 2007). 19 Pemikiran operasional formal awal ditandai dengan adanya kesadaran dari remaja dalam kemampuannya untuk berpikir secara luas, menghasilkan hipotesa atau kemungkinan-kemungkinan yang tidak terbatas yang menggantikan realitas sehingga dunia dipandang bersifat subjektif dan terlalu idealis. Asimilasi merupakan proses yang menonjol pada masa ini. Pemikiran operasional formal akhir terjadi dimana remaja mulai menguji setiap dugaan penalaran yang dihasilkannya kedalam bentuk pengalaman, sehingga remaja mulai menyesuaikan diri. Akomodasi merupakan proses menonjol pada masa ini. Menurut Piaget (1972), pemikiran operasional formal baru sepenuhnya dicapai pada masa remaja akhir sekitar usia 15 sampai 20 tahun (Santrock, 2007). Secara kognisi sosial, remaja mengalami sebuah tahap yang disebut egosentrisme remaja (adolescent egocentrism) yaitu meningkatnya rasa keyakinan seorang remaja bahwa orang lain berminat terhadap diri mereka sama halnya mereka terhadap diri mereka sendiri. Menurut Elkind (1976), terdapat dua jenis pemikiran sosial pada egosentrisme remaja, yaitu penonton imajiner (imaginary audience) dan dongen pribadi (personal fable). Penonton imajiner terjadi pada masa remaja awal dimana remaja merasa bahwa diri mereka adalah pusat perhatian atau aktor utama dan semua mata tertuju kepada mereka, misalya seorang remaja wanita yang merasa bahwa semua orang sedang memperhatikan warna kulitnya. Dongeng pribadi adalah perasaan remaja yang mengandung penghayatan bahwa diri mereka unik dan tidak terkalahkan, sehingga tak jarang remaja merasa bahwa mereka tak ada seorang pun yang mampu memahami apa yang mereka rasakan. Penghayatan yang terjadi pada remaja membuat mereka berfantasi jauh dari dunia nyata. Pengahayatan akan pribadi yang tidak terkalahkan seringkali membuat remaja melakukan tindakan-tindakan ceroboh seperti penyalahgunaan obat-obatan, bunuh diri, serta melakukan hubungan seksual diluar ikatan pernikahan tanpa menggunakan alat kontrasepsi (Dolcini, dkk dalam Santrock, 2007). 20 2.4 Kerangka Berpikir Penari balet remaja Kesadaran Tubuh Kecerdasan Emosi Identifying emotions Adaptasi tubuh Using emotions Understanding emotions Managing emotions Gambar 2.1 Kerangka Berpikir Penelitian Sumber : Olahan Peneliti Kesadaran tubuh dalam menari balet terbentuk dari kesadaran tubuh untuk beradaptasi melakukan gerakan-gerakan idealis dalam balet, termasuk didalamnya ekspresi emosi yang diekspresikan dalam gerakan. Latihan ekspresi emosi meningkatkan kemampuan identifikasi emosi dengan melakukan penghayatan emosi yang dipelajari. Adaptasi tubuh yang dilatih tidak membuat penari balet terhindar dari cedera. Cedera akibat adaptasi tubuh bukan menjadi sesuatu yang negatif bagi para penari balet. Rasa sakit yang mereka rasakan, membuat mereka sadar akan tubuh mereka bahwa tubuh mereka memiliki kapasitas untuk menjadi fleksibel dan lebih kuat yang akhirnya mendorong mereka untuk terus bekerja keras, tidak menyerah, mengeluh dan bersesih, tetapi justru mengontrol emosi tersebut dengan terus giat berlatih agar memperoleh hasil yang maksimal. Identifikasi emosi dan regulasi emosi atau mengontrol emosi adalah dua indikator dari kecerdasan secara emosi. Selain identifikasi emosi dan mengontrol emosi, kecerdasan emosi memiliki dua indikator lain yaitu memahami emosi (understanding emotions) dan menggunakan emosi (using emotions). Mayer & Salovey (dalam Emmerling, dkk., 2013) mengatakan bahwa, keempat indikator ini 21 akan berkembang secara bertahap, dan saling berhubungan satu sama lain. Dengan demikian, dapat diartikan bahwa jika salah satu indikator ini berkembang, maka akan turut mengembangkan indikator yang lainnya. 22