BAB II KAJIAN PUSTAKA 2.1 Komponen Minyak Bumi Minyak bumi mengandung 50-98% komponen hidrokarbon dan non hidrokarbon. Kandungannya bervariasi tergantung pada sumber minyak. Minyak bumi mengandung senyawa karbon 83,9-86,8%, hidrogen 11,4-14%, belerang 0,06-8,0%, nitrogen 0,11-1,7% dan oksigen 0,5% dan logam (Fe, Cu, Ni), 0,03%. Terdapat empat seri hidrokarbon minimal yang terkandung di dalam minyak bumi, yaitu seri n-paraffin (n-alkana) yang terdiri atas metana (CH4), aspal yang memiliki atom karbon (C) lebih dari 25 pada rantainya, seri iso-paraffin (isoalkana) yang terdapat hanya sedikit dalam minyak bumi, seri neptena (sikloalkana) yang merupakan komponen kedua terbanyak setelah n-alkana, dan seri aromatik. Komposisi senyawa hidrokarbon pada minyak bumi berbeda bergantung pada sumber penghasil minyak bumi tersebut (Mukhtasor 2006). 2.1.1Komponen Hidrokarbon Minyak bumi sebagian besar terdiri dari senyawa hidrokarbon. Secara garis besar, senyawa hidrokarbon minyak bumi yang didegradasi oleh mikroorganisme dapat digolongkan atas tiga kelompok, yaitu hidrokarbon parafin, naftena dan aromatik (Udiharto 1999). l. Senyawa parafin atau alkana merupakan senyawa hidrokarbon jenuh terdiri dari normal parafin berupa rantai karbon panjang dan lurus, serta isoparafin berupa rantai karbon bercabang. Isoparafin banyak didominasi oleh yang bercabang satu sedangkan normal parafin banyak terdapat dalam fraksi ringan. Alkana mempunyai rumus CnH2n+2 dan tidak memiliki ikatan rangkap antar karbon penyusunnya. Senyawa ini merupakan fraksi terbesar dalam minyak bumi. 2. Naftena dicirikan oleh adanya struktur cincin tertutup yang sederhana dari atom karbon penyusunnya, dengan rumus umum CH2n dan tidak mempunyai ikatan rangkap antar atom karbon. Senyawa ini tidak larut dalam air dan merupakan fraksi kedua terbesar dalam minyak bumi. 8 9 3. Aromatik, dicirikan oleh adanya cincin yang mengandung enam atom karbon. Benzen adalah senyawa aromatik yang paling sederhana dan pada umumnya senyawa aromatik dibentuk dari senyawa benzen. 2.1.2 Komponen Non-hidrokarbon Selain senyawa hidrokarbon, di dalam minyak bumi juga terkandung sejumlah kecil senyawa non-hidrokarbon.Senyawa ini terdiri atas senyawa organik non-hidrokarbon yang mengandung sulfur, nitrogen, oksigen dan logam. Komponen non-hidrokarbon dalam minyak bumi (Atlas dan Bartha 1992) yaitu: 1. Sulfur Merupakan komponen non-hidrokarbon terbesar dalam minyak bumi. Sulfur terdapat dalam bentuk senyawa sulfida, merkapta dan tiofena. 2. Oksigen Dalam minyak bumi terdapat senyawa oksigen dalam konsentrasi rendah. Senyawa ini dapat berbentuk asam naftenik, fenol dan asam lemak. 3. Nitrogen Pada umumnya nitrogen sangat sedikit dalam minyak bumi. Senyawa yang mengandung nitrogen antara lain piridin, kuinolin, iso-kuinolin, pirol, indol dan karbazol. 4. Logam Senyawa logam dalam minyak bumi antara lain berupa garam inorganik dan senyawa komplek logam organik. Garam inorganik dapat berupa natrium klorida, kalium klorida, magnesium klorida, kalsium klorida, natrium sulfat, kalium sulfat, magnesium sulfat dan kalsium sulfat. Senyawa komplek logam organik dalam minyak bumi mengandung salah satu dari logam berikut, yaitu vanadil (Vo), nikel (Ni), besi (Fe), dan Kobal (Co). Konsentrasi senyawa ini dalam minyak bumi sangat kecil. 2.2Pencemaran Minyak Bumi dan Dampaknya Bagi Kehidupan Minyak bumi yang tumpah di laut akan sulit dibersihkan sehingga dapat menghalangi masuknya sinar matahari dan mengurangi kadar oksigen terlarut. 10 Dampak pencemaran minyak bumi terhadap organisme laut sulit diketahui karena pengaruhnya baru tampak dalam waktu yang lama sekali. Pengaruh kontaminasi minyak terhadap komunitas organisme bervariasi dari kecil sekali (negligable) sampai kemusnahan total (catastrophic) (Nugroho 2006). Minyak bumi termasuk limbah B3 karena menyebabkan atau secara signifikan memberikan kontribusi pada peningkatan mortalitas atau peningkatan suatu penyakit yang serius, menimbulkan bahaya yang potensial pada kesehatan manusia dan lingkungan bila tidak diolah, disimpan atau diangkut, disingkirkan atau pengelolaan lainnya secara tepat (Nugroho 2006). Komponen minyak yang tidak larut di dalam air akan mengapung pada permukaan air laut sehingga menyebabkan air laut berwarna hitam. Beberapa komponen minyak akan tenggelam dan terakumulasi di dalam sedimen sebagai deposit hitam pada pasir dan batu-batuan di pantai. Hal ini menimbulkan pengaruh yang luas terhadap hewan dan tumbuh-tumbuhan yang hidup di perairan (Mukhtasor 2006). Minyak mineral dapat mempengaruhi kehidupan organisme perairan secara langsung maupun tidak langsung. Minyak mineral secara langsung mempunyai sifat letal (mematikan) dan subletal (mematikan dengan cara tidak langsung). Sifat letal dapat dilihat dalam kasus tumpahnya minyak “No. 2 fuel oil” di West Falmouth yang terjadi tahun 1969 yang menyebabkan kematian massal berbagai jenis organisme laut. Ketika tambang minyak di St. Barbara meledak, banyak minyak tercecer dan membentuk lapisan setebal 1-2 cm di permukaan laut yang menyebabkan banyak burung, tumbuhan, dan hewan laut yang mati (Hutagalung 1990). Hasil uji patologis menunjukkan bahwa dalam tubuh burung-burung yang mati tersebut terjadi degradasi lemak dalam hati, kerusakan syaraf, pembesaran limpa, “acinar atrophy of the pancreas”, “adrecortinal hyperphosia”, radang paru, dan ginjal (Hutagalung 1990). Tumpahan minyak dapat membunuh ikan dan merusak hutan mangrove di pesisir yang disebabkan lubang udara pada akar mangrove dan insang ikan tertutup oleh lapisan minyak sehingga tidak bisa bernafas (Hutagalung 1990). 11 Pengaruh subletal minyak bumi terjadi dalam waktu lama yang meliputi gangguan pada proses selluler dan fisiologis seperti: cara makan, reproduksi, (fertilisasi dan fekunditas), tingkah laku, pertumbuhan tidak normal, kegagalan menangkap mangsa, gangguan “chemical communication” (rangsangan kimia) dan lain-lain. Pengaruh subletal minyak terhadap organisme laut sangat tergantung pada kadar dan struktur molekul minyak. Kecepatan fotosintesis alga bersel tunggal menurun 50% setelah 1 hari berada dalam air yang mengandung minyak 5-50 mg/L sedangkan dalam kadar 0,05 mg/L kecepatan fotosintesis algae baru berkurang 50% setelah 150 hari (Patin 1982 dalam Hutagalung 1990). Terdapatnya minyak dalam air dapat mengakibatkan penetasan telur ikan dapat terhambat dan tidak teratur, pertumbuhan udang dan teritip menjadi tidak normal, mengganggu cara makan organisme. Menurut Gesamp (1977) dalam Hutagalung (1990), pengaruh subletal minyak biasanya terjadi pada kadar 10-100 ppb. Tiga jenis diatom, Ditylum brightwellii, Coscinodiscus granii dan Chaetoceros curvisetus setelah berada 24 jam dalam air yang mengandung 10 μl/L kerosen mengalami kematian total, sedangkan Melosira moniliformis dan Grammatophora marina masih hidup dalam air yang mengandung kerosen sampai 1%. Daya racun minyak pun tergantung pada ukuran dan jenis organisme. Larva ampipoda Niphargoides maeoticus lebih rentan terhadap minyak dibanding yang muda dan dewasa (Patin 1982 dalam Hutagalung 1990) dan larva teritip Balanus seribu kali lebih sensitif dibanding yang dewasa. Secara tidak langsung, tumpahan minyak pun dapat memengaruhi kehidupan organisme perairan meliputi pengrusakan habitat, pengurangan oksigen, dan penaikan suhu air. Salah satu contohnya yaitu kerusakan habitat lamun Thalassia testudinum di Puerto Rico. Minyak yang memiliki berat jenis yang besar mengendap, setelah beberapa lama membentuk gumpalan-gumpalan yang melekat pada pasir sedimen. Dipengaruhi arus dan ombak, gumpalangumpalan yang melekat ini terus bergerak-gerak yang menyebabkan 3000 meter pasir hilang dalam waktu 1 minggu (Hutagalung 1990). Hilangnya pasir ini menyebabkan kerusakan habitat lamun tersebut. 12 Secara khusus pencemaran akibat tumpahan minyak bumi mempengaruhi berbagai ekosistem perairan serta komponen-komponen biotik di dalamnya, seperti diuraikan oleh Supriharyono (2002) sebagai berikut: a. Pengaruh Pencemaran Minyak Bumi terhadap Ekosistem Terumbu Karang Tumpahan minyak di Gulf of Eilat (Red Sea) berpengaruh kronis terhadap sistem reproduksi dan menghambat perkembangan larva karang. b. Pengaruh Pencemaran Minyak Bumi terhadap Ekosistem Mangrove Tumpahan minyak akan menutup akar-akar tumbuhan mangrove dan membuat daun-daun mangrove berguguran. c. Pengaruh Pencemaran Minyak Bumi terhadap Ekosistem Estuaria dan Kehidupan Laut Pengaruh racun tumpahan minyak yang terperangkap pada sedimensedimen dapat menghambat rekolonisasi biota-biota yang tumbuh di daerah pantai. 2.3 Biodegradasi Minyak Bumi Biodegradasi secara garis besar didefinisikan sebagai pemecahan senyawa organik oleh mikroba membentuk biomassa dan senyawa yang lebih sederhana yang akhirnya menjadi air, karbondioksida atau metana. Karakteristik mikroba yang bisa dimanfaatkan dalam degradasi yaitu mampu menghasilkan enzim oksigenase yang dapat mengoptimalkan hubungan sel mikroba dengan bahan pencemar melalui interaksi hidrofobik. Dengan demikian sifat hidrofobik dari permukaan sel menjadi kunci sukses interaksi mikroba pada bahan pencemar (Fahruddin 2010). Senyawa hidrokarbon dalam minyak bumi merupakan sumber karbon bagi pertumbuhan mikroba, sehingga senyawa tersebut dapat didegradasi dengan baik. Menurut Chater dan Somerville (1978) dalamNugroho (2006), hasil degradasi ini akan mengubah komposisi minyak bumi menjadi fraksi ringan dalam minyak bumi tersebut, akibatnya kerapatan massa (densitas) dan kekentalan (viskositas) minyak akan semakin kecil. 13 Fraksi hidrokarbon yang ringan (C<14) dapat hilang melalui penguapan sederhana selama prosedur bakteriologis normal, meninggalkan fraksi-fraksi alifatik dan aromatik yang dapat digunakan oleh mikroba (Nugroho 2006). Kemampuan penguapan penting dalam bioremediasi karena komponen-komponen yang mudah menguap akan cenderung teruapkan melalui proses evaporasi selama ekstraksi atau injeksi udara dibandingkan melalui proses biodegradasi. Senyawa hidrokarbon sebagai polutan xenobiotik mungkin dapat dimineralisasi, diubah menjadi produk oksidasi sempurna sepeti karbon dioksida, atau ditransformasikan menjadi senyawa lain yang lebih sederhana dan tidak berbahaya atau beracun, terakumulasi dalam sel mikroba, atau terpolimerisasi atau terikat secara alami dalam tanah, sedimen, atau air. Suatu polutan tunggal dapat mengalami lebih dari satu proses dalam waktu bersamaan. Fenomena tersebut sangat berpengaruh terhadap sukses tidaknya pengolahan polutan xenobiotik secara bioremediasi (Nugroho 2006). 2.3.1 Faktor-faktor yang Mempengaruhi Biodegradasi Minyak Bumi Aktivitas bakteri dalam mendegradasi limbah minyak bumi tergantung kepada fisiologi bakteri dan kondisi beberapa parameter lingkungan setempat seperti pH, kelembaban, aerasi, temperatur dan ketersediaan nutrisi. Pemilihan inokulan yang sesuai dan menciptakan kondisi lingkungan yang optimal untuk bakteri dapat mempercepat proses biodegradasi sehingga memungkinkan terjadinya pengurangan konsentrasi hidrokarbon secara maksimal (Udiharto 1996). Selain itu, kemampuan mikroorganisme mendegradasi minyak bumi dan produk-produknya tergantung pada adaptasi dan fisiologis mikroorganisme tersebut dengan lingkungannya. 1. Keadaan Fisik Minyak Bumi Hidrokarbon yang digunakan oleh bakteri adalah yang berbentuk cair, sedangkan hidrokarbon padat hanya didegradasi jika dilarutkan dalam hidrokarbon cair (Nugroho 2006). Luas permukaan minyak yang tersedia bagi 14 kolonisasi bakteri pendegradasi minyak merupakan hal yang penting karena mikroba bekerja pada interfasa minyak air. Mikroba dapat diamati pertumbuhannya pada keseluruhan permukaan sebuah tetesan minyak. Semakin besar luas permukaan tetesan, semakin banyak koloni bakteri yang tumbuh sehingga biodegradasi akan semakin cepat. Pada konsentrasi yang sangat rendah hidrokarbon dapat larut di dalam air, sedangkan pada konsentrasi yang tinggi, misalnya pada peristiwa tumpahan minyak di laut, biodegradasi menjadi sangat lambat karena adanya keterbatasan pengambilan oksigen dan nutrien (Nugroho 2006). 2. Temperatur Temperatur merupakan faktor lingkungan yang mempengaruhi biodegradasi senyawa hidrokarbon. Terutama terhadap proses metabolisme dan laju pertumbuhan bakteri. Pada temperatur rendah hanya fraksi hidrokarbon tertentu yang didegradasi, sedangkan pada temperatur hangat berbagai fraksi dapat didegradasi pada kecepatan yang sama (Nugroho 2006). 3. Oksigen Mikroorganisme membutuhkan oksigen baik dalam bentuk oksigen bebas yang diperoleh dari udara maupun oksigen yang terlarut dalam air. Oksigen mempunyai arti penting dalam biodegradasi minyak bumi. Oksigen digunakan untuk proses reaksi oksidasi dan respirasi mikroorganisme. Sebagian besar mikroorganisme pendegradasi minyak bumi tergolong dalam mikroorganisme aerob (Silvia dan Jusfah 2010). Oksigen merupakan komponen penting yang mempengaruhi pertumbuhan bakteri pada lingkungan hidrokarbon. Oksigen digunakan untuk mengaktifkan enzim oksigenase dalam mendegradasi senyawa hidrokarbon (Sharpley 1966). Pertumbuhan bakteri akan terhambat pada kondisi oksigen yang terbatas. Kebutuhan oksigen dapat dipenuhi dengan aerasi yaitu dengan cara pengocokan dengan shaker (Silvia dan Jusfah 2010). 15 4.Derajat Keasamaan Sebagian besar biodegradasi oleh bakteri terjadi pada derajat keasamaan (pH) netral. Nilai pH yang ekstrim, seperti pada beberapa jenis tanah, berpengaruh negatif terhadap kecepatan degradasi hidrokarbon oleh bakteri. Hasil penelitian biodegradasi endapan minyak yang dilakukan Dibble dan Bartha (1979) menunjukkan bahwa pH 7,8 menghasilkan biodegradasi yang mendekati optimum (Nugroho 2006). 5. Nutrisi Unsur karbon yang terdapat pada minyak bumi digunakan mikroorganisme untuk pertumbuhannya. Selain nutrisi dari sumber karbon, mikroorganisme juga membutuhkan nutrisi tambahan. Nutrisi tambahan berupa nitrogen dan fosfor dapat menstimulasi biodegradasi minyak bumi (Silvia dan Jusfah 2010). Beberapa penelitian menunjukkan bahwa lambatnya laju biodegradasi di laut juga disebabkan sedikitnya konsentrasi nitrogen dan fosfor di laut. Oleh karena itu biodegradasi minyak bumi di lingkungan laut juga dapat dipercepat dengan pengaturan rasio karbon:nitrogen:fosfor melalui penambahan nitrogen dan fosfor dalam bentuk pupuk. 2.4 Bakteri-bakteri Hidrokabonoklastik Di seluruh dunia, diketahui banyak mikroba yang hidup di lingkungan minyak bumi. Bakteri pendegradasi minyak bumi tersebar di tanah, laut, dan air tawar. Mikroba tersebut sebagian besar adalah bakteri, fungi (jamur) berfilamen termasuk di dalamnya ragi diketahui mampu tumbuh pada substrat hidrokarbon. Mikroba tersebut biasanya berjumlah kurang dari 1% dari populasi alami mikroba, tapi dapat berjumlah lebih dari 10% pada ekosistem tercemar minyak bumi (Nugroho 2006). Pada tahun 1928, Gray dan Thomton telah mengisolasi 208 strain bakteri pengoksidasi fraksi aromatik, di antaranya adalah Micrococcus, Mycoplarra, Bacterium, Pseudomonas, dan Mycobacterium. Semua isolat tersebut diperoleh dari tanah, dengan menggunakan medium garam mineral dan substrat seperti fenol naftalen. 16 Gordon (1994) dalam Nugroho(2006) juga telah mengisolasi mikroba pengguna bensen dari tanah dengan menggunakan larutan garam mineral dan bensen. Isolat yang mampu mengoksidasi benzene dengan cepat adalah Pseudomonas aeruginosa dengan oksidasi maksimum 89% dari benzene dan Mycobacterium rhodochrous dengan oksidasi maksimum 54% dari benzene di dalam substrat. Bakteri pendegradasi fraksi aromatik memiliki membran sel dan sistem enzim yang resisten terhadap pengaruh pelarutan lemak yang diberikan oleh fraksi ini (Sharpley 1966). Menurut Chianelli et al. dalam Nugroho (2006) menyebutkan beberapa mikroba yang dapat mendegradasi minyak bumi pada Prince Willian Sound, yaitu Acinetobacter calcoaceticus, Oceanospirillum sp., Arthrobacter/Brevibacterium sp., Pseudomonas putida, Pseudomonas sp., Trichosporon sp., Alcaligenes sp., Flavobacter/Cytophaga sp., Pseudomonas fluorescens, Pseudomonas stutzeri, Pseudomonas vesicularis, Vibro sp. Kombinasi Acinetobacter sp. dan Pseudomonas putida merupakan campuran yang paling efektif dalam mendegradasi 40% senyawa hidrokarbon jenuh dan 21% senyawa aromatik. Gartika (1998) menemukan genera Pseudomonas dan Flavobacterium pada perairan yang tercemar minyak bumi. Hal ini membuktikan bahwa genus bakteri Pseudomonas merupakan bakteri pengguna hidrokarbon. Bakteri Pseudomonas spp dan Bacillus spp merupakan bakteri yang dominan dalam mendegradasi hidrokarbon minyak bumi (Sumastri 2001). Berdasarkan hasil penelitian Silvia dan Jusfah (2010), diperoleh biodegradasi hidrokarbon minyak bumi tertinggi terdapat pada Corynebacterium sp. sebesar 44,54%, sedangkan pada Bacillus sp. sebesar 44,02% dan Alcaligenes sp. sebesar 33,95%. Semakin besar penambahan konsentrasi bakteri Bacillus cereus maka nilai persentase biodegradasi TPH semakin meningkat (Hendrianie, Setyawan, Nanto, dan Juliastuti 2006). Aditiawati, Pikoli Indriani (2001) mengisolasi bakteri pendegradasi minyak bumi yang diperoleh dari minyak sumur Bangkosecara bertahap yaitu Bacillus polymyxa, B.licheniformis, Bacillus sp.1 dan Pseudomonas aeruginosa dari tahap I; Bacillus sp.2, B. stearothermophllus dan B.brevis dari tahap II; dan B. coagulans dari tahap III. Hasil degradasi oleh kultur 17 campur tahap I, II, dan III secara berturut-turut yaitu sebesar 12,5%, 37,03% dan 55,54%. 2.5 Biosurfaktan Salah satu produk yang dihasilkan bakteri untuk mendegradasi minyak berupa surfaktan atau dikenal dengan biosurfaktan. Biosurfaktan ini merupakan surfaktan yang disintesis oleh mikroorganisme, terutama jika ditumbuhkan pada subsrat yang tidak larut dalam air. Kandungan biosurfaktan pada mikroba merupakan faktor penentu efisiensi proses biodegradasi. Biosurfaktan yang dihasilkan mikroorganisme akan merendahkan jumlah hidrokarbon dengan cara merendahkan tegangan antar muka dan meningkatkan penyerapan substrat yang akan digunakan oleh mikroorganisme. Biosurfaktan adalah hasil ekskresi mikroorganisme yang memiliki sifat mirip dengan surfaktan (Thavasi 2009). Biosurfaktan secara ekstraseluler menyebabkan emulsifikasi hidrokarbon sehingga mudah untuk didegradasi oleh bakteri. Biosurfaktan meningkatkan ketersediaan substrat yang tidak larut melalui beberapa mekanisme. Dengan adanya biosurfaktan, substrat yang berupa cairan akan teremulsi dibentuk menjadi misel-misel dan menyebarkannya ke permukaan sel bakteri. Substrat yang padat dipecah oleh biosurfaktan, sehingga lebih mudah masuk ke dalam sel (Novianty 2011). Hidrofobisitas senyawa hidrokarbon minyak menjadikanlimbah minyak sulit larut dalam air sehingga membatasikecepatan degradasinya oleh mikroba di perairan maupundi tanah (Ni’matuzahroh, Agustin, dan Tanjung 2009). Penambahan surfaktan dapat meningkatkan kelarutan minyak dan meningkatkan ketersediaannya untuk didegradasi oleh bakteri pengurai minyak (bakteri hidrokarbonoklastik). Saat ini penggunaan biosurfaktan untuk peningkatan proses bioremediasi secara langsung terhadap pencemar di lapangan diperkenalkan. Keuntungan produksi di lapangan (in situ) atau pertumbuhan di areal pencemaran akan lebih mengefektifkan biaya, lebih mudah secara ekologi dan mengurangi transportasi dan pekerja (Hasbi dan Budijono 2007). 18 Tabel 1. Tipe Utama Biosurfaktan yang Diproduksi Mikroorganisme Tipe Biosurfaktan A. Glikolipid Glikolipid Glikolipid Glikolipid Pentasakarida lipid Rhamnolipid Rubiwettins Sophorolipids Trehalose-mono Dicorynomycolates B. Lipopeptida/Aminolipida Lipopeptida Lipopeptida Viscosin Serrawetin Surfactin C. Asam Lemak/Neutral Lipids Asam Lemak Asam Lemak + Neutral Lipids D. Lainnya Protein-Carbohydrate Complex Phosphatidylethanol-aminesna Mikroorganisme Rhodococcus aurantiacus Rhodococcus sp. Strain H13A Turolupsis apicola Nocardia corynebacteroi Pseudomonas aeruginosa Serratia rubidaea Torulopsis bombicola Nocardia corynebacteroides Rhodococcus erytropolis Bacillus licheniformis JF2 Bacillus lidheniformis Pseudomonas fluorescens Serratia marcescens Bacillus subtilis Sumber Karbon n-alkana heksadekana alkana/ Karbohidrat n-alkana glukosa gliserol Glukosa n-alkana Glukosa Glukosa gliserol gliserol glukosa Corynebacteriumlepus Nocardia erythropolis Pseudomonas fluorescens378 Rhodococcus erythropolis Corynebacterium insidiosum Sukrosa n-alkana heksadekana (Sumber: Hasbi dan Budijono 2007) Banyak mikroba memperlihatkan penghasil biosurfaktan campuran yang kompleks, terutama selama masa pertumbuhannya pada substrat tak larut air. Diantara mikroba-mikroba, mayoritas biosurfaktan yang ditemukan dihasilkan oleh bakteri. Riffiani (2010) mengisolasi tiga bakteri dari Pulau Laki, Kepulauan Seribu yang diduga menghasilkan biosurfaktan yaitu Marinobacter satoriniensis strain NKSGI, Paracoccus sp.dan Pseudomonas sp. Umumnya biosurfaktan merupakan metabolisme mikroba dengantipe struktur amphiphilik surfaktan, dimana bagian hidropobik merupakan asamlemak rantai panjang, asam lemak hidroksi, atau asam lemak a-alkil-p-hidroksidan bagian hidrophilik dapat berupa 19 gugus karbohidrat, asam amino, peptidasiklik, phospat, asam karboksilat, alkohol (Hasbi dan Budijono 2007). Parameter-parameter yang mempengaruhi proses produksi baik jenis maupun jumlah biosurfaktan adalah sumber karbon alami, kemungkinanketerbatasan nutrien, parameter fisik dan kimiawi seperti aerasi, temperatur dan pH (Fiechter1992 dalam Hasbi dan Budijono 2007). Cameotra dan Makkar (1998) menerangkan bahwa sejumlah kajian menunjukkan tentang jenis medium dan kondisi pertumbuhan bisa mempengaruhi jenis dan hasil biosurfaktan. Sumber karbon yang berbeda (yang larut di air) seperti gliserol, glukosa, mannitol dan ethanol yang digunakan untuk produksi rhamnolipid oleh Pseudomonas sp. memberikan pengaruh terhadap produksi biosurfaktan. Peningkatan ketersedian (availability) senyawa hidrofob seperti minyak untuk dapat diakses oleh bakteri merupakan prioritas utama dalam penelitian di bidang bioremediasi limbah (Ni’matuzahroh, Agustin, dan Tanjung 2009).