8 BAB II KAJIAN PUSTAKA 2.1 Komponen Minyak Bumi Minyak

advertisement
BAB II
KAJIAN PUSTAKA
2.1 Komponen Minyak Bumi
Minyak bumi mengandung 50-98% komponen hidrokarbon dan non
hidrokarbon. Kandungannya bervariasi tergantung pada sumber minyak. Minyak
bumi mengandung senyawa karbon 83,9-86,8%, hidrogen 11,4-14%, belerang
0,06-8,0%, nitrogen 0,11-1,7% dan oksigen 0,5% dan logam (Fe, Cu, Ni), 0,03%.
Terdapat empat seri hidrokarbon minimal yang terkandung di dalam minyak
bumi, yaitu seri n-paraffin (n-alkana) yang terdiri atas metana (CH4), aspal yang
memiliki atom karbon (C) lebih dari 25 pada rantainya, seri iso-paraffin
(isoalkana) yang terdapat hanya sedikit dalam minyak bumi, seri neptena
(sikloalkana) yang merupakan komponen kedua terbanyak setelah n-alkana, dan
seri aromatik. Komposisi senyawa hidrokarbon pada minyak bumi berbeda
bergantung pada sumber penghasil minyak bumi tersebut (Mukhtasor 2006).
2.1.1Komponen Hidrokarbon
Minyak bumi sebagian besar terdiri dari senyawa hidrokarbon. Secara
garis besar, senyawa hidrokarbon minyak bumi yang didegradasi oleh
mikroorganisme dapat digolongkan atas tiga kelompok, yaitu hidrokarbon parafin,
naftena dan aromatik (Udiharto 1999).
l.
Senyawa parafin atau alkana merupakan senyawa hidrokarbon jenuh
terdiri dari normal parafin berupa rantai karbon panjang dan lurus, serta
isoparafin berupa rantai karbon bercabang. Isoparafin banyak didominasi
oleh yang bercabang satu sedangkan normal parafin banyak terdapat dalam
fraksi ringan. Alkana mempunyai rumus CnH2n+2 dan tidak memiliki ikatan
rangkap antar karbon penyusunnya. Senyawa ini merupakan fraksi
terbesar dalam minyak bumi.
2.
Naftena dicirikan oleh adanya struktur cincin tertutup yang sederhana dari
atom karbon penyusunnya, dengan rumus umum CH2n dan tidak
mempunyai ikatan rangkap antar atom karbon. Senyawa ini tidak larut
dalam air dan merupakan fraksi kedua terbesar dalam minyak bumi.
8
9
3.
Aromatik, dicirikan oleh adanya cincin yang mengandung enam atom
karbon. Benzen adalah senyawa aromatik yang paling sederhana dan pada
umumnya senyawa aromatik dibentuk dari senyawa benzen.
2.1.2 Komponen Non-hidrokarbon
Selain senyawa hidrokarbon, di dalam minyak bumi juga terkandung
sejumlah kecil senyawa non-hidrokarbon.Senyawa ini terdiri atas senyawa
organik non-hidrokarbon yang mengandung sulfur, nitrogen, oksigen dan logam.
Komponen non-hidrokarbon dalam minyak bumi (Atlas dan Bartha 1992) yaitu:
1.
Sulfur
Merupakan komponen non-hidrokarbon terbesar dalam minyak bumi.
Sulfur terdapat dalam bentuk senyawa sulfida, merkapta dan tiofena.
2.
Oksigen
Dalam minyak bumi terdapat senyawa oksigen dalam konsentrasi rendah.
Senyawa ini dapat berbentuk asam naftenik, fenol dan asam lemak.
3.
Nitrogen
Pada umumnya nitrogen sangat sedikit dalam minyak bumi. Senyawa yang
mengandung nitrogen antara lain piridin, kuinolin, iso-kuinolin, pirol,
indol dan karbazol.
4.
Logam
Senyawa logam dalam minyak bumi antara lain berupa garam inorganik
dan senyawa komplek logam organik. Garam inorganik dapat berupa
natrium klorida, kalium klorida, magnesium klorida, kalsium klorida,
natrium sulfat, kalium sulfat, magnesium sulfat dan kalsium sulfat.
Senyawa komplek logam organik dalam minyak bumi mengandung salah
satu dari logam berikut, yaitu vanadil (Vo), nikel (Ni), besi (Fe), dan
Kobal (Co). Konsentrasi senyawa ini dalam minyak bumi sangat kecil.
2.2Pencemaran Minyak Bumi dan Dampaknya Bagi Kehidupan
Minyak bumi yang tumpah di laut akan sulit dibersihkan sehingga dapat
menghalangi masuknya sinar matahari dan mengurangi kadar oksigen terlarut.
10
Dampak pencemaran minyak bumi terhadap organisme laut sulit diketahui karena
pengaruhnya baru tampak dalam waktu yang lama sekali. Pengaruh kontaminasi
minyak terhadap komunitas organisme bervariasi dari kecil sekali (negligable)
sampai kemusnahan total (catastrophic) (Nugroho 2006).
Minyak bumi termasuk limbah B3 karena menyebabkan atau secara
signifikan memberikan kontribusi pada peningkatan mortalitas atau peningkatan
suatu penyakit yang serius, menimbulkan bahaya yang potensial pada kesehatan
manusia dan lingkungan bila tidak diolah, disimpan atau diangkut, disingkirkan
atau pengelolaan lainnya secara tepat (Nugroho 2006).
Komponen minyak yang tidak larut di dalam air akan mengapung pada
permukaan air laut sehingga menyebabkan air laut berwarna hitam. Beberapa
komponen minyak akan tenggelam dan terakumulasi di dalam sedimen sebagai
deposit hitam pada pasir dan batu-batuan di pantai. Hal ini menimbulkan
pengaruh yang luas terhadap hewan dan tumbuh-tumbuhan yang hidup di perairan
(Mukhtasor 2006).
Minyak mineral dapat mempengaruhi kehidupan organisme perairan
secara langsung maupun tidak langsung. Minyak mineral secara langsung
mempunyai sifat letal (mematikan) dan subletal (mematikan dengan cara tidak
langsung). Sifat letal dapat dilihat dalam kasus tumpahnya minyak “No. 2 fuel
oil” di West Falmouth yang terjadi tahun 1969 yang menyebabkan kematian
massal berbagai jenis organisme laut. Ketika tambang minyak di St. Barbara
meledak, banyak minyak tercecer dan membentuk lapisan setebal 1-2 cm di
permukaan laut yang menyebabkan banyak burung, tumbuhan, dan hewan laut
yang mati (Hutagalung 1990). Hasil uji patologis menunjukkan bahwa dalam
tubuh burung-burung yang mati tersebut terjadi degradasi lemak dalam hati,
kerusakan syaraf, pembesaran limpa, “acinar atrophy of the pancreas”,
“adrecortinal hyperphosia”, radang paru, dan ginjal (Hutagalung 1990).
Tumpahan minyak dapat membunuh ikan dan merusak hutan mangrove di pesisir
yang disebabkan lubang udara pada akar mangrove dan insang ikan tertutup oleh
lapisan minyak sehingga tidak bisa bernafas (Hutagalung 1990).
11
Pengaruh subletal minyak bumi terjadi dalam waktu lama yang meliputi
gangguan pada proses selluler dan fisiologis seperti: cara makan, reproduksi,
(fertilisasi dan fekunditas), tingkah laku, pertumbuhan tidak normal, kegagalan
menangkap mangsa, gangguan “chemical communication” (rangsangan kimia)
dan lain-lain. Pengaruh subletal minyak terhadap organisme laut sangat
tergantung pada kadar dan struktur molekul minyak. Kecepatan fotosintesis alga
bersel tunggal menurun 50% setelah 1 hari berada dalam air yang mengandung
minyak 5-50 mg/L sedangkan dalam kadar 0,05 mg/L kecepatan fotosintesis algae
baru berkurang 50% setelah 150 hari (Patin 1982 dalam Hutagalung 1990).
Terdapatnya minyak dalam air dapat mengakibatkan penetasan telur ikan dapat
terhambat dan tidak teratur, pertumbuhan udang dan teritip menjadi tidak normal,
mengganggu cara makan organisme. Menurut Gesamp (1977) dalam Hutagalung
(1990), pengaruh subletal minyak biasanya terjadi pada kadar 10-100 ppb. Tiga
jenis diatom, Ditylum brightwellii, Coscinodiscus granii dan Chaetoceros
curvisetus setelah berada 24 jam dalam air yang mengandung 10 μl/L kerosen
mengalami kematian total, sedangkan Melosira moniliformis dan Grammatophora
marina masih hidup dalam air yang mengandung kerosen sampai 1%. Daya racun
minyak pun tergantung pada ukuran dan jenis organisme. Larva ampipoda
Niphargoides maeoticus lebih rentan terhadap minyak dibanding yang muda dan
dewasa (Patin 1982 dalam Hutagalung 1990) dan larva teritip Balanus seribu kali
lebih sensitif dibanding yang dewasa.
Secara tidak langsung, tumpahan minyak pun dapat memengaruhi
kehidupan organisme perairan meliputi pengrusakan habitat, pengurangan
oksigen, dan penaikan suhu air. Salah satu contohnya yaitu kerusakan habitat
lamun Thalassia testudinum di Puerto Rico. Minyak yang memiliki berat jenis
yang besar mengendap, setelah beberapa lama membentuk gumpalan-gumpalan
yang melekat pada pasir sedimen. Dipengaruhi arus dan ombak, gumpalangumpalan yang melekat ini terus bergerak-gerak yang menyebabkan 3000 meter
pasir hilang dalam waktu 1 minggu (Hutagalung 1990). Hilangnya pasir ini
menyebabkan kerusakan habitat lamun tersebut.
12
Secara khusus pencemaran akibat tumpahan minyak bumi mempengaruhi
berbagai ekosistem perairan serta komponen-komponen biotik di dalamnya,
seperti diuraikan oleh Supriharyono (2002) sebagai berikut:
a.
Pengaruh Pencemaran Minyak Bumi terhadap Ekosistem Terumbu Karang
Tumpahan minyak di Gulf of Eilat (Red Sea) berpengaruh kronis terhadap
sistem reproduksi dan menghambat perkembangan larva karang.
b.
Pengaruh Pencemaran Minyak Bumi terhadap Ekosistem Mangrove
Tumpahan minyak akan menutup akar-akar tumbuhan mangrove dan
membuat daun-daun mangrove berguguran.
c.
Pengaruh Pencemaran Minyak Bumi terhadap Ekosistem Estuaria dan
Kehidupan Laut
Pengaruh racun tumpahan minyak yang terperangkap pada sedimensedimen dapat menghambat rekolonisasi biota-biota yang tumbuh di
daerah pantai.
2.3 Biodegradasi Minyak Bumi
Biodegradasi secara garis besar didefinisikan sebagai pemecahan senyawa
organik oleh mikroba membentuk biomassa dan senyawa yang lebih sederhana
yang akhirnya menjadi air, karbondioksida atau metana. Karakteristik mikroba
yang bisa dimanfaatkan dalam degradasi yaitu mampu menghasilkan enzim
oksigenase yang dapat mengoptimalkan hubungan sel mikroba dengan bahan
pencemar melalui interaksi hidrofobik. Dengan demikian sifat hidrofobik dari
permukaan sel menjadi kunci sukses interaksi mikroba pada bahan pencemar
(Fahruddin 2010).
Senyawa hidrokarbon dalam minyak bumi merupakan sumber karbon bagi
pertumbuhan mikroba, sehingga senyawa tersebut dapat didegradasi dengan baik.
Menurut Chater dan Somerville (1978) dalamNugroho (2006), hasil degradasi ini
akan mengubah komposisi minyak bumi menjadi fraksi ringan dalam minyak
bumi tersebut, akibatnya kerapatan massa (densitas) dan kekentalan (viskositas)
minyak akan semakin kecil.
13
Fraksi hidrokarbon yang ringan (C<14) dapat hilang melalui penguapan
sederhana selama prosedur bakteriologis normal, meninggalkan fraksi-fraksi
alifatik dan aromatik yang dapat digunakan oleh mikroba (Nugroho 2006).
Kemampuan penguapan penting dalam bioremediasi karena komponen-komponen
yang mudah menguap akan cenderung teruapkan melalui proses evaporasi selama
ekstraksi atau injeksi udara dibandingkan melalui proses biodegradasi.
Senyawa hidrokarbon sebagai polutan xenobiotik mungkin dapat
dimineralisasi, diubah menjadi produk oksidasi sempurna sepeti karbon dioksida,
atau ditransformasikan menjadi senyawa lain yang lebih sederhana dan tidak
berbahaya atau beracun, terakumulasi dalam sel mikroba, atau terpolimerisasi atau
terikat secara alami dalam tanah, sedimen, atau air. Suatu polutan tunggal dapat
mengalami lebih dari satu proses dalam waktu bersamaan. Fenomena tersebut
sangat berpengaruh terhadap sukses tidaknya pengolahan polutan xenobiotik
secara bioremediasi (Nugroho 2006).
2.3.1 Faktor-faktor yang Mempengaruhi Biodegradasi Minyak Bumi
Aktivitas bakteri dalam mendegradasi limbah minyak bumi tergantung
kepada fisiologi bakteri dan kondisi beberapa parameter lingkungan setempat
seperti pH, kelembaban, aerasi, temperatur dan ketersediaan nutrisi. Pemilihan
inokulan yang sesuai dan menciptakan kondisi lingkungan yang optimal untuk
bakteri dapat mempercepat proses biodegradasi sehingga memungkinkan
terjadinya pengurangan konsentrasi hidrokarbon secara maksimal (Udiharto
1996). Selain itu, kemampuan mikroorganisme mendegradasi minyak bumi dan
produk-produknya tergantung pada adaptasi dan fisiologis mikroorganisme
tersebut dengan lingkungannya.
1. Keadaan Fisik Minyak Bumi
Hidrokarbon yang digunakan oleh bakteri adalah yang berbentuk cair,
sedangkan hidrokarbon padat hanya didegradasi jika dilarutkan dalam
hidrokarbon cair (Nugroho 2006). Luas permukaan minyak yang tersedia bagi
14
kolonisasi bakteri pendegradasi minyak merupakan hal yang penting karena
mikroba bekerja pada interfasa minyak air.
Mikroba dapat diamati pertumbuhannya pada keseluruhan permukaan
sebuah tetesan minyak. Semakin besar luas permukaan tetesan, semakin banyak
koloni bakteri yang tumbuh sehingga biodegradasi akan semakin cepat. Pada
konsentrasi yang sangat rendah hidrokarbon dapat larut di dalam air, sedangkan
pada konsentrasi yang tinggi, misalnya pada peristiwa tumpahan minyak di laut,
biodegradasi menjadi sangat lambat karena adanya keterbatasan pengambilan
oksigen dan nutrien (Nugroho 2006).
2. Temperatur
Temperatur
merupakan
faktor
lingkungan
yang
mempengaruhi
biodegradasi senyawa hidrokarbon. Terutama terhadap proses metabolisme dan
laju pertumbuhan bakteri. Pada temperatur rendah hanya fraksi hidrokarbon
tertentu yang didegradasi, sedangkan pada temperatur hangat berbagai fraksi
dapat didegradasi pada kecepatan yang sama (Nugroho 2006).
3. Oksigen
Mikroorganisme membutuhkan oksigen baik dalam bentuk oksigen bebas
yang diperoleh dari udara maupun oksigen yang terlarut dalam air. Oksigen
mempunyai arti penting dalam biodegradasi minyak bumi. Oksigen digunakan
untuk proses reaksi oksidasi dan respirasi mikroorganisme. Sebagian besar
mikroorganisme pendegradasi minyak bumi tergolong dalam mikroorganisme
aerob (Silvia dan Jusfah 2010).
Oksigen merupakan komponen penting yang mempengaruhi pertumbuhan
bakteri pada lingkungan hidrokarbon. Oksigen digunakan untuk mengaktifkan
enzim oksigenase dalam mendegradasi senyawa hidrokarbon (Sharpley 1966).
Pertumbuhan bakteri akan terhambat pada kondisi oksigen yang terbatas.
Kebutuhan oksigen dapat dipenuhi dengan aerasi yaitu dengan cara pengocokan
dengan shaker (Silvia dan Jusfah 2010).
15
4.Derajat Keasamaan
Sebagian besar biodegradasi oleh bakteri terjadi pada derajat keasamaan
(pH) netral. Nilai pH yang ekstrim, seperti pada beberapa jenis tanah, berpengaruh
negatif terhadap kecepatan degradasi hidrokarbon oleh bakteri. Hasil penelitian
biodegradasi endapan minyak yang dilakukan Dibble dan Bartha (1979)
menunjukkan bahwa pH 7,8 menghasilkan biodegradasi yang mendekati optimum
(Nugroho 2006).
5. Nutrisi
Unsur karbon yang terdapat pada minyak bumi digunakan mikroorganisme
untuk pertumbuhannya. Selain nutrisi dari sumber karbon, mikroorganisme juga
membutuhkan nutrisi tambahan. Nutrisi tambahan berupa nitrogen dan fosfor
dapat menstimulasi biodegradasi minyak bumi (Silvia dan Jusfah 2010).
Beberapa penelitian menunjukkan bahwa lambatnya laju biodegradasi di
laut juga disebabkan sedikitnya konsentrasi nitrogen dan fosfor di laut. Oleh
karena itu biodegradasi minyak bumi di lingkungan laut juga dapat dipercepat
dengan pengaturan rasio karbon:nitrogen:fosfor melalui penambahan nitrogen dan
fosfor dalam bentuk pupuk.
2.4 Bakteri-bakteri Hidrokabonoklastik
Di seluruh dunia, diketahui banyak mikroba yang hidup di lingkungan
minyak bumi. Bakteri pendegradasi minyak bumi tersebar di tanah, laut, dan air
tawar. Mikroba tersebut sebagian besar adalah bakteri, fungi (jamur) berfilamen
termasuk di dalamnya ragi diketahui mampu tumbuh pada substrat hidrokarbon.
Mikroba tersebut biasanya berjumlah kurang dari 1% dari populasi alami
mikroba, tapi dapat berjumlah lebih dari 10% pada ekosistem tercemar minyak
bumi (Nugroho 2006). Pada tahun 1928, Gray dan Thomton telah mengisolasi 208
strain bakteri pengoksidasi fraksi aromatik, di antaranya adalah Micrococcus,
Mycoplarra, Bacterium, Pseudomonas, dan Mycobacterium.
Semua isolat
tersebut diperoleh dari tanah, dengan menggunakan medium garam mineral dan
substrat seperti fenol naftalen.
16
Gordon (1994) dalam Nugroho(2006) juga telah mengisolasi mikroba
pengguna bensen dari tanah dengan menggunakan larutan garam mineral dan
bensen. Isolat yang mampu mengoksidasi benzene dengan cepat adalah
Pseudomonas aeruginosa dengan oksidasi maksimum 89% dari benzene dan
Mycobacterium rhodochrous dengan oksidasi maksimum 54% dari benzene di
dalam substrat. Bakteri pendegradasi fraksi aromatik memiliki membran sel dan
sistem enzim yang resisten terhadap pengaruh pelarutan lemak yang diberikan
oleh fraksi ini (Sharpley 1966).
Menurut Chianelli et al. dalam Nugroho (2006) menyebutkan beberapa
mikroba yang dapat mendegradasi minyak bumi pada Prince Willian Sound, yaitu
Acinetobacter calcoaceticus, Oceanospirillum sp., Arthrobacter/Brevibacterium
sp., Pseudomonas putida, Pseudomonas sp., Trichosporon sp., Alcaligenes sp.,
Flavobacter/Cytophaga sp., Pseudomonas fluorescens, Pseudomonas stutzeri,
Pseudomonas vesicularis, Vibro sp. Kombinasi Acinetobacter sp. dan
Pseudomonas
putida
merupakan
campuran
yang paling efektif
dalam
mendegradasi 40% senyawa hidrokarbon jenuh dan 21% senyawa aromatik.
Gartika (1998) menemukan genera Pseudomonas dan Flavobacterium
pada perairan yang tercemar minyak bumi. Hal ini membuktikan bahwa genus
bakteri Pseudomonas merupakan bakteri pengguna hidrokarbon. Bakteri
Pseudomonas spp dan Bacillus spp merupakan bakteri yang dominan dalam
mendegradasi hidrokarbon minyak bumi (Sumastri 2001). Berdasarkan hasil
penelitian Silvia dan Jusfah (2010), diperoleh biodegradasi hidrokarbon minyak
bumi tertinggi terdapat pada Corynebacterium sp. sebesar 44,54%, sedangkan
pada Bacillus sp. sebesar 44,02% dan Alcaligenes sp. sebesar 33,95%. Semakin
besar penambahan konsentrasi bakteri Bacillus cereus maka nilai persentase
biodegradasi TPH semakin meningkat (Hendrianie, Setyawan, Nanto, dan
Juliastuti 2006). Aditiawati, Pikoli Indriani (2001) mengisolasi bakteri
pendegradasi minyak bumi yang diperoleh dari minyak sumur Bangkosecara
bertahap
yaitu
Bacillus
polymyxa,
B.licheniformis,
Bacillus
sp.1
dan
Pseudomonas aeruginosa dari tahap I; Bacillus sp.2, B. stearothermophllus dan
B.brevis dari tahap II; dan B. coagulans dari tahap III. Hasil degradasi oleh kultur
17
campur tahap I, II, dan III secara berturut-turut yaitu sebesar 12,5%, 37,03% dan
55,54%.
2.5 Biosurfaktan
Salah satu produk yang dihasilkan bakteri untuk mendegradasi minyak
berupa surfaktan atau dikenal dengan biosurfaktan. Biosurfaktan ini merupakan
surfaktan yang disintesis oleh mikroorganisme, terutama jika ditumbuhkan pada
subsrat yang tidak larut dalam air. Kandungan biosurfaktan pada mikroba
merupakan faktor penentu efisiensi proses biodegradasi. Biosurfaktan yang
dihasilkan mikroorganisme akan merendahkan jumlah hidrokarbon dengan cara
merendahkan tegangan antar muka dan meningkatkan penyerapan substrat yang
akan digunakan oleh mikroorganisme. Biosurfaktan adalah hasil ekskresi
mikroorganisme yang memiliki sifat mirip dengan surfaktan (Thavasi 2009).
Biosurfaktan
secara
ekstraseluler
menyebabkan
emulsifikasi
hidrokarbon
sehingga mudah untuk didegradasi oleh bakteri. Biosurfaktan meningkatkan
ketersediaan substrat yang tidak larut melalui beberapa mekanisme. Dengan
adanya biosurfaktan, substrat yang berupa cairan akan teremulsi dibentuk menjadi
misel-misel dan menyebarkannya ke permukaan sel bakteri. Substrat yang padat
dipecah oleh biosurfaktan, sehingga lebih mudah masuk ke dalam sel (Novianty
2011).
Hidrofobisitas senyawa hidrokarbon minyak menjadikanlimbah minyak
sulit larut dalam air sehingga membatasikecepatan degradasinya oleh mikroba di
perairan maupundi tanah (Ni’matuzahroh, Agustin, dan Tanjung 2009).
Penambahan surfaktan dapat meningkatkan kelarutan minyak dan meningkatkan
ketersediaannya untuk didegradasi oleh bakteri pengurai minyak (bakteri
hidrokarbonoklastik). Saat ini penggunaan biosurfaktan untuk peningkatan proses
bioremediasi secara langsung terhadap pencemar di lapangan diperkenalkan.
Keuntungan produksi di lapangan (in situ) atau pertumbuhan di areal pencemaran
akan lebih mengefektifkan biaya, lebih mudah secara ekologi dan mengurangi
transportasi dan pekerja (Hasbi dan Budijono 2007).
18
Tabel 1. Tipe Utama Biosurfaktan yang Diproduksi Mikroorganisme
Tipe Biosurfaktan
A. Glikolipid
Glikolipid
Glikolipid
Glikolipid
Pentasakarida lipid
Rhamnolipid
Rubiwettins
Sophorolipids
Trehalose-mono
Dicorynomycolates
B. Lipopeptida/Aminolipida
Lipopeptida
Lipopeptida
Viscosin
Serrawetin
Surfactin
C. Asam Lemak/Neutral Lipids
Asam Lemak
Asam Lemak + Neutral Lipids
D. Lainnya
Protein-Carbohydrate Complex
Phosphatidylethanol-aminesna
Mikroorganisme
Rhodococcus aurantiacus
Rhodococcus sp. Strain H13A
Turolupsis apicola
Nocardia corynebacteroi
Pseudomonas aeruginosa
Serratia rubidaea
Torulopsis bombicola
Nocardia corynebacteroides
Rhodococcus erytropolis
Bacillus licheniformis JF2
Bacillus lidheniformis
Pseudomonas fluorescens
Serratia marcescens
Bacillus subtilis
Sumber
Karbon
n-alkana
heksadekana
alkana/
Karbohidrat
n-alkana
glukosa
gliserol
Glukosa
n-alkana
Glukosa
Glukosa
gliserol
gliserol
glukosa
Corynebacteriumlepus
Nocardia erythropolis
Pseudomonas fluorescens378
Rhodococcus erythropolis
Corynebacterium insidiosum
Sukrosa
n-alkana
heksadekana
(Sumber: Hasbi dan Budijono 2007)
Banyak mikroba memperlihatkan penghasil biosurfaktan campuran yang
kompleks, terutama selama masa pertumbuhannya pada substrat tak larut air.
Diantara mikroba-mikroba, mayoritas biosurfaktan yang ditemukan dihasilkan
oleh bakteri. Riffiani (2010) mengisolasi tiga bakteri dari Pulau Laki, Kepulauan
Seribu yang diduga menghasilkan biosurfaktan yaitu Marinobacter satoriniensis
strain NKSGI, Paracoccus sp.dan Pseudomonas sp. Umumnya biosurfaktan
merupakan metabolisme mikroba dengantipe struktur amphiphilik surfaktan,
dimana bagian hidropobik merupakan asamlemak rantai panjang, asam lemak
hidroksi, atau asam lemak a-alkil-p-hidroksidan bagian hidrophilik dapat berupa
19
gugus karbohidrat, asam amino, peptidasiklik, phospat, asam karboksilat, alkohol
(Hasbi dan Budijono 2007).
Parameter-parameter yang mempengaruhi proses produksi baik jenis
maupun
jumlah
biosurfaktan
adalah
sumber
karbon
alami,
kemungkinanketerbatasan nutrien, parameter fisik dan kimiawi seperti aerasi,
temperatur dan pH (Fiechter1992 dalam Hasbi dan Budijono 2007). Cameotra dan
Makkar (1998) menerangkan bahwa sejumlah kajian menunjukkan tentang jenis
medium dan kondisi pertumbuhan bisa mempengaruhi jenis dan hasil
biosurfaktan. Sumber karbon yang berbeda (yang larut di air) seperti gliserol,
glukosa, mannitol dan ethanol yang digunakan untuk produksi rhamnolipid oleh
Pseudomonas sp. memberikan pengaruh terhadap produksi biosurfaktan.
Peningkatan ketersedian (availability) senyawa hidrofob seperti minyak untuk
dapat diakses oleh bakteri merupakan prioritas utama dalam penelitian di bidang
bioremediasi limbah (Ni’matuzahroh, Agustin, dan Tanjung 2009).
Download