Perbaikan sifat fisika-mekanis tanah dengan mediasi teknik hayati

advertisement
Menara Perkebunan 2017, 85 (1),44-52
Doi: 10.22302/iribb.jur.mp.v85i1.228
p-ISSN: 0215-9318/ e-ISSN: 1858-3768
Accreditation Number: 588/AU3/P2MI-LIPI/03/2015
Review
Perbaikan sifat fisika-mekanis tanah dengan mediasi teknik hayati
Improvement of Soil Physico-mechanical Properties by Bio-Mediation Technique
Didiek Hadjar Goenadi*)
Pusat Penelitian Bioteknologi dan Bioindustri Indonesia, Jl Taman kencana No 1 Bogor 16128, Indonesia
Diterima tgl
28 Oktober 2016 / disetujui tgl 21 maret 2017
Abstract
Soil properties unsuitable to support physicalmechanical
requirements
oftenly
become
problems in utilizing it for agricultural as well as
construction purposes. Most common practice to
overcome the problems is by applying chemical
agent which are not only expensive but also
enviromentally un-friendly.
Therefore, it is
imperative to seek a new, sustainable, and
innovative technology to improve mechanical soil
properties. Many researches gave opportunity to
utilize microbes for this idea, in particular those
microbes capable of producing secondary
metabolite to strengthen soil particle structure
such as urease enzyme. This kind of bacteria is
capable of promoting the formation of calcite
mineral acting as cementing substance among the
soil particles. However, the direct application of
this technology faces some handicaps in the field,
i.e. soil and pore fluid interaction, bioaugmentation verses bio-stimulation of microbial
community, controlled distribution of biomediated calcite precipitation, and permanence
cementation. This article aims at providing a
general overview regarding technological
development to improve soil mechanical
properties suitable for construction by applying
microbes.
[Key words : soil physical properties, mechanical
properties, ureolitic microbes, pore
fluid, calcite precipitation]
Abstrak
Sifat tanah yang tidak mampu memberikan
dukungan fisika-mekanis yang diperlukan
seringkali
menjadi
kendala
dalam
pemanfaatannya baik untuk pertanian maupun
konstruksi. Cara-cara yang umum adalah dengan
aplikasi bahan kimia yang tidak saja mahal, tetapi
*)
juga tidak ramah lingkungan. Oleh karena itu
diperlukan teknologi baru, berkelanjutan, dan
inovatif untuk memperbaiki sifat-sifat mekanis
tanah. Beberapa penelitian telah memberikan
peluang untuk memanfaatkan mikroba untuk
tujuan ini, khususnya mikroba yang memiliki
kemampuan untuk menghasilkan senyawa
metabolit sekunder penguat struktur partikel tanah
seperti enzim urease. Bakteri penghasil enzim ini
mampu mendorong pembentukan mineral kalsit
yang berfungsi sebagai perekat antar partikel
tanah. Bagaimanapun juga, aplikasi teknologi ini
secara langsung di lapangan menghadapi
beberapa kendala, seperti interaksi tanah dan
cairan ruang pori, bioaugmentasi vs biostimulan
dari komunitas mikroba, penyebaran terkendali
dari pengendapan kalsit yang dimediasi, dan
sementasi permanen. Tulisan ini menyajikan
secara singkat pengembangan teknologi perbaikan
sifat fisik mekanis tanah melalui aplikasi mikroba
untuk
memenuhi
persyaratan
pekerjaan
konstruksi.
[Kata kunci : sifat fisika tanah, sifat mekanis,
mikroba ureolitik, cairan ruang
pori, pengendapan kalsit]
Pendahuluan
Kebutuhan infrastruktur sipil untuk pertanian
dan non-pertanian membuka peluang untuk
teknologi yang berkelanjutan yang memenuhi
persyaratan sosial dengan pembiayaan yang
efisien dan berdampak negatif rendah.
Pengendalian dan modifikasi sifat-sifat tanah
sangat penting untuk aplikasi geoteknik,
geolingkungan, pertanian, dan yang lainnya.
Praktek yang umum digunakan di bidang
konstruksi adalah dengan menyuntikkan bahan
sintetik ke dalam lapisan bawah permukaan
melalui teknik pengisian celah dengan aliran
bahan kimia untuk mengikat partikel tanah dan
Penulis korenspondensi: [email protected]
44
Perbaikan sifat fisika-mekanis tanah dengan mediasi……………….. (Goenadi)
meningkatkan sifat-sifat tanah untuk keteknikan,
seperti kekuatan, daya tahan beban, dan
permeabilitas.
Bagaimanapun juga, bahan
sintetik mahal, sulit didistribusikan secara merata
dan dapat memasukkan bahan berbahaya ke
dalam tanah. Perbaikan sifat geoteknik tanah
dapat dicapai dengan memanfaatkan proses
biologi alami (DeJong et al., 2009).
Pemikiran tentang pemanfaatan mikroba
untuk perbaikan sifat mekanis tanah didasarkan
pada kenyataan bahwa beberapa jenis mikroba
mampu memantabkan agregat (Santi & Goenadi,
2012) melalui perekatan partikel tanah oleh
ekstrapolisakarida yang diproduksinya. Di sisi
lain, ada mikroba sejenis yang mampu
mengendapkan senyawa kalsium karbonat
(CaCO3) atau kalsit (mineral liat CaCO3).
Masing-masing proses tersebut yang pertama
disebut dengan istilah microbial induced calcite
precipitation (MICP) (DeJong et al., 2009)
sedang yang kedua disebut sebagai microbialinduced
calcium
carbonate
precipitation
(MICCP) (Williams et al., 2016). Proses yang
sebenarnya sama ini mengacu pada pemanfaatan
mikroba penghasil enzim urease (ureolytic
bacteria) (Wei et al., 2015; Putra et al., 2016).
Perbaikan tanah yang dimediasi secara hayati
memiliki sifat-sifat yang unik dengan keunggulan
potensial lebih baik dibandingkan dengan teknik
perbaikan
tanah
secara
konvensional.
Keunggulan dari teknik ini terletak pada proses
bio-geo-kimia yang secara efektif memacu
pengendapan mineral. Teknik MICCP tersebut
dianggap salah satu teknik yang menjanjikan
untuk perbaikan tanah yang dimediasi oleh
mikroba (DeJong et al., 2011; Martinez et al.,
2013). Bagaimanapun juga, hasil-hasil penelitian
yang dipublikasikan masih memaparkan tingkat
awal dan belum ada yang sampai mencobanya
pada tingkat aplikasi. Besarnya peluang aplikasi
dari teknologi ini mendorong kalangan ilmuwan
konstruksi (teknik sipil) bekerjasama dengan
ilmuwan biologi (mikrobiologi tanah) untuk
menciptakan teknologi yang dibutuhkan. Suatu
kolaborasi yang tidak pernah terpikirkan pada
satu atau dua dekade yang lalu.
Kolaborasi antara ahli konstruksi dan ahli
mikroba dimulai dengan ditemukannya aplikasi
bakteri pembentuk spora yang mampu menutup
retakan mikro pada beton. Edvardsen (1999); Li
& Yang (2007) melaporkan bahwa penutupan
retakan beton oleh bakteri hanya terkait dengan
retakan mikro berukuran 0,1-0,2 mm. Kemudian
peneliti dari Belanda, yaitu Henk Jonker sejak
tahun 2007 mempelajari teknologi aplikasi
mikroba untuk penutupan retakan mikro pada
beton (Jonker, 2007). Sejak saat itu minat
peneliti untuk mempelajari aplikasi mikroba pada
kegiatan konstruksi makin meningkat (Xu & Yao,
2014); deKoster et al. (2015), and Zhang et al.
(2016). Di dalam negeri laporan hasil penelitian
tentang teknologi ini masih sangat terbatas,
walaupun publikasi non-ilmiahnya cukup banyak.
Salah satunya adalah hasil penelitian Adriyati
(2014) yang mempelajari komposisi bakteri
Bacillus subtilis dengan metode pengkapsulan
hydrogel dalam aplikasinya di beton pulih-sendiri
(self-healing concrete).
Tulisan ini bertujuan mengulas aplikasi
teknologi mikroba sebagai media hayati untuk
meningkatkan mutu sifat-sifat mekanik tanah
yang dibutuhkan dalam upaya peningkatan daya
dukungnya terhadap pembangunan infrastruktur
secara umum termasuk sektor pertanian.
Pemikiran yang dikembangkan dalam ulasan ini
adalah untuk menunjukkan luasnya keragaman
aplikasi mikroba, khususnya dalam perbaikan
sifat tanah untuk mendukung aktivitas di atasnya,
yang bukan hanya untuk tujuan pertanian semata.
Sistem Perbaikan Tanah yang Dimediasi oleh
Mikroba
Perbaikan sifat tanah dengan menggunakan
agensia hayati sudah banyak diteliti. Sifat tanah
yang ditargetkan untuk diperbaiki dengan
pemanfaatan mikroba ini terutama adalah sifat
fisiknya, yang dalam hal ini adalah kemantapan
agregat.
Kemantapan agregat tanah akan
mendorong terciptanya kemampuan tanah
menahan air, memasok oksigen bagi akar
tanaman, ketahanan tanah terhadap pukulan butirbutir hujan yang pada gilirannya tahan terhadap
erosi, dan perkolasi dan permeabilitas yang lebih
efektif. Dalam kondisi tersedianya larutan tanah
yang cukup, maka aktivitas mikroba berjalan
secara optimal yang kemudian mampu
memfasilitasi berlangsungnya proses bio-kimia di
dalam tanah secara efisien.
Dalam proses
pembentukan agregat sekunder, Santi & Goenadi
(2013) melaporkan adanya peran metabolit
sekunder berupa eksopolisakarida dari bakteri
pemantap agregat. Senyawa tersebut berfungsi
sebagai perekat partikel tanah primer (pasir, debu,
dan liat) dan bahan organik. Proses ini kemudian
akan memunculkan ruang pori di antara partikel
sekunder yang berfungsi sebagai saluran
pertukaran oksigen dengan senyawa-senyawa gas
organik hasil dekomposisi bahan organik dan/atau
diisi oleh air/larutan tanah.
Di pihak lain dalam proses perbaikan sifat
tanah yang dimediasi oleh mikroba di bidang
konstruksi
bangunan
infrastruktur
lebih
menekankan pada fenomena pengendapan
kalsium (Ca). Gambar 1 menunjukkan satu aliran
proses yang terkait dengan perubahan sifat
mekanis tanah yang dimediasi oleh mikroba.
Dari gambar ini dapat dicermati bahwa perbaikan
tanah yang dimediasi secara hayati tergantung
pada proses-proses geo-kimia yang difasilitasi
oleh aktivitas biologi. Proses ini berlangsung di
dalam ruang pori dari matriks tanah dan
pembentukan endapan mineral terkait yang
45
Menara Perkebunan 2017, 85 (1),44-52
MediasiBiologi
ReaksiKimia
Pengendapananorganik
Sifat-sifat
Mekanis
Permeabilitas
Kekakuan
DayaTekan
DayaGeser
TanggapVolume
Bio-mineralisasi
mis.Pengendapankalsityang
dikendalikansecaraureolitik
Gambar 1. Skema sistem perbaikan tanah yang dimediasi secara biologis (DeJong, 2009 dimodifikasi).
Figure 1. Schematic illustration of soil improvement system mediated by microbes (DeJong, 2009 modified).
mengubah sifat fisik dan kimia tanah akibat
sementasi. Peningkatan pengendapan kalsit yang
dikendalikan oleh mikroba ureolitik dalam
penutupan ruang pori merupakan proses utama
dalam fenomena ini.
Hidrolisis urea oleh
mikroba memunculkan ion karbonat di tempat
(in-situ) yang kemudian bereaksi dengan kalsium
membentuk endapan mineral karbonat.
Dari proses ini mediasi mikroba mengubah
sifat mekanis tanah, dalam hal ini penurunan
permeabilitas (permeability), kemampuan tekan
(compressability),
dan
tanggap
volume
(volumetric response) and peningkatan daya
kekakuan (stiffness) dan daya geser (shear
strength).
Aktivitas
metabolism
mikroba
mempengaruhi saat, laju, dan lokasi pengendapan
kalsium karbonat. Di sisi lain, reaksi kimia yang
terjadi di dalam ruang pori tanah akan
dipengaruhi oleh pH, konsentrasi bahan terlarut,
dan daya tahan (resistivity) yang akan
menghasilkan pengendapan secara an-organik.
Proses selanjutnya adalah terjadinya biomineralisasi yang merupakan bagian proses dari
pengendapan kalsit yang dikendalikan oleh enzim
urealitik.
Mekanisme Biokimia Perbaikan Sifat Tanah
Proses Biokimia
kemampuannya di dalam melarutkan dan
mengendapkan kalsit (CaCO3) melalui aktivitas
enzim penghidrolisis urea yang dihasilkannya.
Teknik ini kemudian menjadi pilihan yang lebih
ramah
lingkungan,
mudah,
dan
murah
dibandingkan dengan teknologi yang tersedia
dengan menggunakan bahan kimia sebagai
pemantap dan penguat agregat. Selain melalui
proses hidrolisis urea yang dikatalisasi oleh enzim
urease, mikroba termaksud yang mendorong
proses bio-mineralisasi karbonat. Hidrolisis urea
(CO(NH2)2) yang dikatalisis oleh urease menjadi
ammonium (NH4+) dan karbonat (CO32-)
(Tittleboom et al., 2010). Wang et al. (2012)
menyajikan urutan proses pengendapan oleh
bakteri pembentuk kalsit (Gambar 2). Dalam
persamaan No. 1, satu mol urea dihidrolisis secara
interseluler menjadi satu mol karbonat dan satu
mol ammonia. Karbonat ini secara spontan
kemudian menghidrolisis untuk membentuk
tambahan 1 mol ammonia dan asam karbonat
(persamaan No. 2).
Produk hidrolisis ini
kemudian secara bertahap menghasilkan 1 mol
bikarbonat dan 2 mol ammonium dan ion
hidroksida (persamaan No. 3 dan 4). Persamaan
dua terakhir menyebabkan peningkatan pH, yang
pada gilirannya menggeser kesetimbangan
bikarbonat, yang menghasilkan pembentukan ion
karbonat (persamaan No. 5).
Alasan utama untuk memanfaatkan mikroba
sebagai agen perbaikan sifat tanah adalah
46
Perbaikan sifat fisika-mekanis tanah dengan mediasi……………….. (Goenadi)
Gambar 2. Reaksi tahapan hidrolisis urea yang dikatalisasi oleh enzim urease.
Figure 2. Reaction steps in hydrolysis of urea catalyzed by urease enzyme.
Oleh karena dinding sel bakteri bermuatan
negatif, maka bakteri ini dapat menjerap kation
basa dari lingkungan mikro setempat, termasuk
Ca2+, untuk dikumpulkan di permukaan sel.
Selanjutnya secara bertahap Ca2+ berreaksi
dengan ion CO32- yang mengakibatkan
pengendapan CaCO3 di permukaan sel yang
bertindak sebagai situs nukleasi seperti dalam
persamaan No. 6 dan 7 (Kashyap &
Radhakrishna, 2013). Endapan CaCO3 (kalsit)
yang berlangsung secara kontinyu inilah yang
kemudian menumpuk dan akhirnya menutup
ruang retakan atau menghubungkan ujung dua
partikel primer tanah (Gambar 3).
Ca2+ +
à
– Ca2+
(6)
Sel bakteri
– - Ca2+ + CO32-à
-
–CaCO3 (7)
Jenis Mikroba Pembentuk Kalsit
Seperti halnya pada aplikasi mikroba untuk
menutup retakan beton, mediasi mikroba untuk
perbaikan sifat mekanis tanah memanfaatkan
kemampuan mikroba-mikroba, yang umumnya
adalah bakteri pembentuk spora (Gambar 3),
dalam mendorong terbentuknya bahan penyemen
sepert kalsit. Dalam uraian sebelumnya disajikan
bahwa pembentukan kalsit oleh bakteri penghasil
enzim urease menghasilkan karbonat hasil
hidrolisis urea yang berikatan dengan kation
kalsium yang dijerapnya.
Sementasi dalam
proses ini prinsipnya adalah mengikat ujungujung partikel primer tanah menjadi satu kesatuan
agregat yang lebih stabil. Dalam bidang pertanian
tanaman, proses ini disebut dengan istilah
pemantaban agregat (Santi & Goenadi, 2013).
Banyak penelitian yang telah dilakukan untuk
mempelajari kemampuan berbagai jenis bakteri
yang mampu mendorong pembentukan kalsit.
Hasil penelitian Zhang et al. (2016)
menunjukkan
bahwa
mikroba
dengan
kemampuan aktivitas pengendapan kalsit (APK)
94,8% tergolong spesies Bacillus sp. DeJong et
al. (2006) menggunakan isolate Bacillus
pasteurii,
yang
kemudian
dinamakan
Sporosparcina pasteurii (Williams et al., 2016),
untuk membentuk stabilitas pasir.
Hasilnya
menunjukkan bahwa sementasi terjadi pada
matrik pasir dengan pemusatan kalsit membentuk
ikatan pada ujung pertemuan dua partikel.
Fenomena ini tentu menjadi sebuah harapan
dalam bidang konstruksi di tanah-tanah berpasir
yang memerlukan kekompakan partikelnya. Jenis
Bacillus lainnya yang dilaporkan memiliki
kemampuan pembentukan kalsit adalah Bacillus
sphaericus (Tittelboom et al., 2010 & Ersan et
al., 2016).
47
Menara Perkebunan 2017, 85 (1),44-52
BAKTERI
UREOLITIK
UREA
UREASE
Ca
NH4+
CO3
2-
Ca
2+
2+
CaCO3
Partikel
primer
Partikel
primer
Gambar 3. Proses pembentukan jembatan dua ujung partikel primer tanah oleh kalsit yang terbentuk oleh
hidrolisis urea.
Figure 3.
Formation of soil primary particles’ bridged by newly formed calcite from urea hydrolysis.
Isolat yang digunakan tersebut adalah yang
memiliki kemampuan memproduksi enzim urease
yang diperlukan untuk menghidrolisis urea
sehingga menghasilkan karbonat yang kemudian
bereaksi dengan kalsium membentuk kalsit yang
mengendap. Dengan kata lain, kinerja enzim
urease ini sangat penting untuk menghasilkan
proses yang efisien. Oleh karena itu, banyak
peneliti yang melaporkan tentang berbagai aspek
tentang kinerja enzim ini (Fisher et al., 2016;
Kissel et al., 2014; Garcia et al., 2014).
Sifat Tanah yang Penting Diperbaiki
Dari berbagai sifat fisik tanah yang
mempengaruhi daya dukung tanah yang utama
dalam kegiatan konstruksi adalah kompatibilitas,
komposisi pori larutan, bio-stimulasi vs bioaugmentasi, keseragaman, dan persistensi.
Kompatibilitas tanah
Keanekaragaman dan heterogenitas alami
tanah, seperti ukuran partikel dan mineralogi,
dapat mempengaruhi bagaimana pembenah biokimia dan reaksi yang ditimbulkannya
didistribusikan.
Kondisi batas hidrolik dan
geometri ruang pori mempengaruhi transport
mikroba dan unsur hara, dan sifat-sifat cairan,
larutan, dan suspensi (misalnya mikroba)
mempengaruhi difusi campuran dari reaktan. Di
samping itu peningkatan kekuatan geser (shear
strength) terjadi saat sementasi pada ujung-ujung
partikel yang bersentuhan.
Oleh karena itu
keseimbangan saluran pori cukup besar untuk
memungkinkan transportasi mikroba dan kontakkontak partikel relatif banyak diperlukan agar
perbaikan tanah yang dimediasi oleh nikroba bisa
efektif (DeJong et al., 2008).
Mineralogi tanah dapat mempengaruhi
pengendapan kalsium. Mineral yang berbeda
dapat menyediakan situs nukleasi yang lebih
memungkinkan untuk pengendapan kalsit karena
mineralogi partikel dapat secara langsung
mempengaruhi termodinamika dari reaksi
pengendapan/pelarutan di dalam sistem. Sebagai
contoh, partikel tanah yang kaya kalsium
karbonat menyediakan permukaan yang ideal
untuk pertumbuhan kalsit tambahan. Percobaan
dengan kolom tanah menunjukkan bahwa
pengendapan kalsit yang dimediasi oleh mikroba
dapat
terjadi pada pasir yang banyak
mengandung silika, kalsit, dan besi oksida (Cheng
et al., 2013) . Hasil ini menunjukkan bahwa
pengendapan kalsit oleh mikroba dapat terjadi
pada berbagai jenis tanah mineral.
Hasil
penelitian DeJong et al (2009) menunjukkan
bahwa penggunaan bahan pasir yang mengandung
kalsit hingga 7.7% mendorong pembentukan
senyawa kalsit tambahan yang lebih tinggi
daripada yang kandungan kalsitnya lebih rendah.
Komposisi larutan pori
Komposisi kimia larutan di dalam ruang pori
dapat membantu atau menghalangi rangkaian
reaksi perlakuan hayati.
Air tanah yang
mengandung banyak kalsium bertindak sebagai
cadangan
kalsium untuk kalsit untuk
pengendapan kalsit, sdang air tanah yang kaya
bahan organik dapat menghambat pengendapan
kalsit (Lebron & Suarez, 1996). Pemahaman
terhadap kimia larutan dari air tanah dan cairan
48
Perbaikan sifat fisika-mekanis tanah dengan mediasi……………….. (Goenadi)
yang akan diinjeksikan sangat esensial sebelum
implementasi di lapangan.
Air tanah di wilayah pantai dapat dipengaruhi
oleh intrusi air garam yang mengakibatkan suatu
peningkatan salinitas larutan di dalam ruang pori.
Percobaan dengan kolom tanah menunjukkan
bahwa lebih cepat peningkatan kecepatan
gelombang geser (shear wave velocity) dengan
peningkatan konsentrasi air garam larutan dalam
ruang pori. Peningkatan kadar air garam dari 0%
hingga 100% setelah 4 jam meningkatkan secara
linier nilai kecepatan gelombang geser. Hal ini
terjadi akibat konsentrasi yang lebih tinggi dari
kation yang tersedia untuk mengendapkan dengan
karbonat yang dihasilkan oleh mikroba di dalam
contoh dengan salinitas lebih tinggi (DeJong et
al., 2009).
Bio-stimulasi vs bio-augmentasi
Bio-stimulasi dan bio-augmentasi adalah dua
metode yang digunakan dalam teknologi bioremediasi. Yang pertama berupa penambahan
unsur hara dan atau oksigen ke dalam tanah atau
air yang tercemar untuk penguatan pertumbuhan
mikroba remediasi yang sudah ada di dalamnya,
sedang yang kedua adalah penambahan mikroba
ke dalam tanah atau air yang tercemar untuk
mendekomposisi kontaminan. Dalam hubungannya dengan dekomposisi kalsit populasi, bagian
mikroba yang melekat, atau tingkat aktivitas
mikroba perlu ditingkatkan untuk pengendapan
kalsit secara efisien.
Hal ini dapat ditempuh
dengan mendorong pertumbuhan mikroba aseli
(Fujita et al., 2008) atau mengaugmentasi lapisan
tanah bawah permukaan dengan menginjeksikan
mikroba ureolitik (DeJong et al., 2009).
Pendekatan yang dapat diambil tergantung pada
dugaan terhadap aktivitas enzim ureolitik di
dalam tanah tertentu.
Kemampuan untuk
menghidrolisis urea merupakan hal yang umum
dijumpai pada beberapa mikroba di permukaan
tanah. Bagaimanapun juga, keberadaannya perlu
dikonfirmasikan.
Jika mikroba termaksud
memang banyak dijumpai di dalam tanah, maka
penambahan nutrisi dan/atau oksigen akan
mampu mendorong pertumbuhannya. Metode ini
lebih sesuai dengan mikroba yang ada karena
sudah ada sebelumnya.
Sebaliknya dengan
pendekatan
augmentasi
mikroba
yang
ditambahkan belum tentu sesuai dengan kondisi
tanah yang diaplikasi. Hal lainnya adalah dengan
menggunakan bio-stimulasi hambatan distribusi
mikroba yang ditambahkan ke tanah dapat
dihindari. Namun, bio-augmentasi bisa lebih
efektif untuk jumlah material yang terkendali
jumlahnya kecil dan mudah dicampurkan.
Keseragaman
Membuat penyemenan seragam merupakan
hal yang esensial bagi perbaikan tanah yang
dimediasi dengan mikroba untuk keperluan
aplikasi infrastruktur sipil.
Ketika mikroba
diinjeksikan ke permukaan tanah maka sel
mikroba akan tersaring oleh matriks tanah.
Menurut Ginn et al. (2002) filtrasi sel mikroba
tersebut umumnya menurunkan konsentrasi
mikroba sepanjang aliran injeksi. Perbedaan
(gradien) konsentrasi mikroba biasanya berkaitan
dengan gradient laju reaksi dan oleh karenanya
laju penyemenan, dan sebaliknya konsentrasi
mikroba yang lebih tinggi mendorong laju
pengendapan yang lebih tinggi.
Derajad
penyemenan berkaitan langsung dengan kekakuan
(stiffness) tanah dan oleh karenanya gradient
penyemenan menghasilkan gradient kekakuan.
Selain hal tersebut di atas, optimasi kimia dari
media yang diperlakukan juga berpengaruh
terhadap pengendapan kalsit secara seragam.
Pengendapan klasit dipicu oleh peningkatan pH
dan produksi karbonat.
Aktivitas metabolik
mikroba meningkatkan pH larutan pori. Kalsit
secara tipikal mengendap ketika pH larutan pori
meningkat ke 8.8 hingga 9.0 (Stocks-Fisher et al.,
1999). Mengatur konsentrasi kimia di dalam
media memungkinkan untuk mengendalikan laju
perubahan pH.
Daya tahan jangka panjang
Ketahanan dari pengendapan kalsit yang didorong
dengan mikroba merupakan aspek yang sangat
penting dalam proses perlakuan. Untuk beberapa
aplikasi penyemenan yang didorong harus mampu
bertahan selama horizon waktu yang setara
dengan disain kehidupan realistik apapun. Untuk
alasan ini, kompatibilitas dari kalsit yang
mengendap dengan lingkungan jangka panjang
menjadi sangat kritikal.
Proses perlakuan ini
sangat baik di bawah kondisi di mana kalsit sudah
dalam keadaan stabil, yaitu dalam fase larutan
pekat sekali; kemudian ketika perlakuan rekayasa
berhenti dan kondisi geo-kimia pra-perlakuan
kembali, jumlah kalsit pengendapan baru harus
dipertahankan. Dalam kasus stabilitas kalsit tidak
menentu, observasi kontinyu oleh pelaksana
lapang selama waktu pemeliharaan dari tanah
yang
diperlakukan
mungkin
dibutuhkan.
Pengamatan ini dapat dilakukan dengan perangkat
geofisik, seperti gelombang seismik dan potensial
listrik. Faktor yang diamati meliputi kecepatan
gelombang
geser,
kecepatan
gelombang
kompresi, dan resisifitas (DeJong et al., 2009).
Prospek Aplikasi ke Depan
Aplikasi teknologi ini ke depan dipandang
sangat
prospektif
mengingat
kebutuhan
pembangunan fisik yang meningkat terusmenerus dan hambatan-hambatan sifat tanah yang
tidak mampu mendukung persyaratan yang
dibutuhkan. Dibandingkan dengan teknologi
konvensional yang menggunakan bahan-bahan
kimia, teknologi mediasi dengan mikroba ini
dianggap jauh lebih murah dan tidak berbahaya
sehingga
mengurangi
atau
meniadakan
49
Menara Perkebunan 2017, 85 (1), 44-52
dampak negatif terhadap lingkungan. Melalui
mekanisme produksi enzim, tingkat perekatan
partikel tanah dan panjang waktu perlakuan dapat
diselaraskan untuk mencapai tingkat perekatan
yang optimal (DeJong et al., 2009).
Keunggulan dari proses bio-kimia adalah
memungkinkannya diaplikasikan untuk tujuan
yang beragam.
Untuk infrastruktur manfaat
tersebut mencakup pencegahan pelarutan dan
mitigasi kerusakan, penurunan bangunan tempat
tinggal, perlindungan pipa untuk dam dan
tanggul, pemantaban tanah sebelum konstruksi
terowongan, dan pemantaban lereng. Aplikasi
lainnya menyangkut perlindungan air tanah dari
kontaminan,
penghalang
untuk
tidak
tembus/reaktif dalam bioremediasi, imobilisasi
darurat kontaminan berbahaya untuk aplikasi
keamanan, dan fasilitas bawah permukaan untuk
energi dan seskuistrasi (perosot) karbon (DeJong
et al., 2007).
Bagaimanapun juga, hingga
dasawarsa terakhir ini belum ada publikasi
tentang aplikasi teknologi ini secara komersial
(Williams et al., 2016 & Zhang et al., 2016).
Perbaikan dari sifat mekanis tanah sudah
banyak dilaporkan dari hasil-hasil riset skala
laboratorium (DeJong et al., 2006; Whiffin et al.,
2007; Martinez et al., 2013).
Hasilnya
menunjukkan bahwa perbaikan sifat tanah melalui
mediasi mikroba memiliki potensi untuk
perbaikan sifat tanah in-situ untuk beragam
kegunaan dan kondisi bawah permukaan. Untuk
meningkatkan dari laboratorium ke skala
lapangan diperlukan pemahaman tentang dasardasar geo-teknik, hidrologi, biologi, dan kimia.
Untuk dapat mengimplementasikan teknologi ini
di lapangan diperlukan satu rangkaian yang saling
terkait dari penelitian skala laboratorium,
pemantauan geofisik dari tanah yang diaplikasi,
dan pembuatan model merupakan bagian yang
penting karena melibatkan pertimbangan sifatsifat hidrologi, kimia, biologi, dan geoteknik dari
sistem perlakuan dan memungkinkan untuk
melakukan optimasi perlakuan di tempat (in-situ).
Hal lain yang tidak kalah menariknya adalah
teknik aplikasi yang tepat langsung di lapangan.
Beberapa hasil riset dalam aspek ini telah
dilaporkan dan secara umum bertujuan mencari
alternatif paling efisien dalam mengaplikasikan
formula bakteri yang digunakan. Pengalaman
dalam aplikasi perlakuan hayati untuk pemulihan
retak beton perlu dijadikan acuan di dalam
memilih alternatif terbaik (Wang et al., 2012; Xu
et al., 2014; Dong et al., 2015; DeKoster et al.,
2015; Zhang et al., 2016). Para peneliti ini
mengembangkan berbagai teknik aplikasi antara
lain berupa tablet, granular, microkapsul, dan gel
silika atau poliutiren. Untuk perbaikan sifat
tanah, khususnya yang bertekstur berpasir, teknik
enzimatis
adalah
yang
paling
umum
dikembangkan (Cheng et al., 2013; Neupane et
al., 2013; Neupane et al., 2015; Putra et al.,
2016). Larutan campuran reagen enzim (yaitu
larutan CaCl2-urea-urease) yang menghasilkan
endapan kalsit setelah reaksi kimia berlangsung,
diinjeksikan ke dalam tanah. Endapan kalsit akan
membentuk jembatan antar butiran pasir,
membatasi pergerakannya, sehingga memperbaiki
kekakuan dan kekuatan tanah (Yasuhara et al.,
2011). Bagaimanapun juga teknik ini masih
memerlukan pemantaban khususnya dalam
aplikasinya skala luas di lapangan (van Paassen et
al., 2010). Di pihak lain, hasil penelitian Putra et
al. (2016) menunjukkan bahwa magnesium (Mg)
meningkatkan rasio pengendapan karbonat hingga
90% dengan konsentrasi urease 1.0 g/L.
Keberadaan Mg mengubah bentuk dan ukuran
kristal yang diendapkan dan memungkinkan
terbentuknya mineral aragonit di samping kalsit.
Kesimpulan
Aplikasi mikroba terbukti tidak hanya terbatas
di dalam bidang pertanian dan semua turunannya
(pangan, kesehatan, dan lingkungan), tetapi
terbukti juga memiliki peran penting di bidang
keteknikan sipil. Perakitan teknologi yang ramah
lingkungan, mudah, dan murah menjadi sangat
penting untuk mencapai efisiensi dan manfaat
yang optimal. Pemanfaatan mikroba khususnya
bakteri
penghasilk
enzim
urease
yang
memfasilitasi pembentukan kalsit dan/atau
aragonit sangat prospektif untuk perbaikan sifat
mekanis atau keteknikan tanah. Keanekaragaman
bakteri yang tinggi memberi peluang untuk
memilih isolat yang paling unggul untuk
dikembangkan menjadi produk komersial yang
kompetitif. Bagaimanapun juga, penelitian perlu
terus dilanjutkan guna menjawab tantangan ke
depan khususnya menyangkut aplikasi secara luas
dari perlakuan setempat dan ketahanan kinerja
jangka panjang sementasi yang didorong dengan
penggunaan mikroba.
Daftar Pustaka
Adriyati M (2014). Komposisi bakteri Bacillus
subtilis dengan metode enkapsulasi hidrogel
untuk aplikasi self healing concrete. Tugas
Akhir Program D3, Univ. Gadjah Mada.
Yogyakarta. p.69.
Cheng L, R Cord-Ruwisch & MA Shahin (2013).
Cementation of sand soil by microbially
induced calcite precipitation at various
degrees of saturation. Can Geotech J 50,8190.
DeJong JT, M Fritzges & K Nusslein (2006).
Microbially induced cementation to control
sand response to undrained shear. J Geotech
Geoenviron Eng 132(11), 1381-1392.
50
Perbaikan sifat fisika-mekanis tanah dengan mediasi……………….. (Goenadi)
DeJong JT, BC Martinez, BM Mortensen, DC
Nelson, JT Waller, MH Weil, TR Ginn, T
Weathers, T Barkouki, Y Fujita, G Redden, C
Hunt, D Major & B Tanyu
(2009).
Upscalling
of
Bio-Mediated
Soil
Improvement. In: Proc 17th Internat. Conf.
Soil Mech Geoterm Eng Idaho. M. Hamza et
al. (ed). p.2300-2304.
DeJong JT, K Soga, SA Banwart, WR Whalley,
TR Ginn & DC Nelson
(2011).
Soil
engineering in vivo: harnessing natural
biogeochemical system for sustainable, multifunction engineering solutions. J R Soc
Interface 8,1-15.
De Koster SAL, RM Mors, HW Nugteren, HM
Jonkers, GMH Meesters & JR van Ommen
(2015). Geopolymer coating of bacteriacontaining granules for use in self-healing
concrete. Proc Eng 102, 474-484.
Dong B, Y Wang, G Fang, N Han , F Xing & Y
Lu (2015). Smart releasing behavior of a
chemical self-healing microcapsule in the
stimulated concrete pore solution. Cement &
Conc Comp 56, 46-50.
Edvardsen C (1999). Water permeability and
autogenous healing of cracks in concrete. ACI
Mats J 96(4),448-454.
Ersan YC, E Gruyaert, L Ghislain, L Christine, N
De Belie & N Boon (2015). Self-protected
nitrate reducing culture for intrinsic repair of
concrete cracks. Front Microbiol 6,12281244.
Ersan YC, FB Da Silva, N Boon, W Verstraete &
N De Belie (2015). Screening of bacteria and
concrete compatible protection materials.
Constr Build Mats 88,196-203.
Fisher KA, JJ Meisinger & BR James (2016).
Urea hydrolysis rate in soil toposequences as
influenced by pH, carbon, nitrogen, and
soluble metals. ASA-CSSA-SSSA 45, 349-359.
Garcia FO, DE Kissel & M Cabrera (2014).
Effect of soil matrix potensial on urea
hydrolysis. Soil Sci Soc Am J 78(6), 20782082.
Jonkers HM (2007). Self healing concrete: A
biological approach. Springer Series Mats Sci
100,195-204.
Jonkers HM & E Schlangen (2008).
Development of a bacteria-based self healing
concrete. In: J. C. Walraven & D. Stoelhorst
(ed). Tailor made concrete structures.
London, Taylor & Francis Group. p.425-430
Jonkers HM & E Schlangen (2009). A two
component
bacteria-based
self-healing
concrete. In: Alexander et al. (ed). Concrete
repair, rehabilitation, and retrofitting II.
London. Taylor & Francis Group.p.119-123
Jonkers HM, A Thijssen, G Muyzer, O Copuroglu
& E Schlangen (2010).
Application of
bacteria as self-healing agent for the
development of sustainable concrete. Ecol
Eng 36, 230-235.
Kashyap VN & Radhakrishna (2013). A study on
effect of bacteria on cement composites.
Internat J Res Eng Tech 2, 356-360.
Kissel DE, M Cabrera, J Craig & J Rema (2014).
Predicting urea hydrolysis in a loblolly pine
forest floor. Soil Sci Soc Am J 78(6), 20712077.
Lebron I & DL Suarez (1996). Calcite nucleation
and precipitation kinetics as affected by
dissolved organic matter at 25 degrees C and
pH > 7.5. Geochim Cosmochim Acta 60(15),
2765-2776.
Li VC & E Yang (2007). Self-healing in concrete
materials. In: S. van der Zwaag (ed.) Selfhealing materials- An alternative approach to
20 centuries of materials science. The
Netherlands. Springer. p. 161-194
Luo M, C-X Qian & R-Y Li (2015). Factors
affecting crack repairing capacity of bacteriabased self-healing concrete. Constr Build
Mats 87,1-7.
Martinez BC, JT DeJong, TR Ginn, BM
Montoya, TH Barkouki & C Hunt (2013).
Experimental optimization of microbialinduced carbonate precipitation for soil
improvement. J Geotech Geoenviron Eng 139,
587-598.
Neupane D, H Yasuhara, N Kinoshita & T Unno
(2013). Applicability of enzymatic calcium
carbonate precipitation as a soil-strengthening
technique. Geotech Geoenviron Eng ASCE
139, 2201-2211.
Neupane D, H Yasuhara, N Kinoshita & Y Ando
(2015). Distribution of mineralized carbonate
and its quantification method in enzyme
mediated calcite precipitation technique. Soil
Found 55, 447-457.
Putra H, H Yasuhara, N Kinoshita, D Neupane &
CW Lu (2016). Effect of magnesium as
substitute material in enzyme-mediated calcite
precipitation for soil-improvement technique.
Frot Bioeng Biotechnol 4,37-46.
Santi LP & DH Goenadi (2013). Uji potensi
Burkholderia cenocepacia strain KTG sebagai
bahan aktif pembenah hayati pada tanah
tekstur berpasir di Kalimantan Tengah.
Menara Perkebunan 81 (1), 28-34.
51
Menara Perkebunan 2017, 85 (1), 44-52
Stocks-Fisher S, JK Galinat & SS Bang (1999).
Microbiological precipitation of CaCO3. Soil
Biol Biochem 31(11),1563-1571.
Tittelboom KV, N De Belie, WD Muynck & W
Verstraete (2010). Use of bacteria to repair
cracks in concrete. Cement Conc Res 40,
157-166.
Van Paaseen LA, R Ghose, TJM Van der Linden,
WRL Van der Star & MCM Van Loosdrecht
(2010). Quantifying biomediated ground
improvement by ureolysis: large-scale
biogrout experiment. J Geotech Geoenviron
Eng 136,1721-1728.
Wang J, KV Tittleboom, N De Belie & W
Verstraete (2012).
Use of silica gel or
polyurethane immobilized bacteria for selfhealing concrete. Construct Build Mats 26(1),
532-540.
Wei, SH Cui, Z Jiang, H Liu, H He & N Fang
(2015). Biomineralization processes of calcite
induced by bacteria isolated from marine
sediments. Braz J Microbiol 46(2), 455-464.
Whiffin VS, LA van Paassen & MP Harkes
(2007). Microbial carbonate precipitation as a
soil improvement technique. Geomicrobiol
24, 417-423.
Williams S, N Sakib, MJ Kirisits & RD Ferron
(2016). Flexural strength recovery induced by
vegetative bacteria added to mortar. ACI Mat
J 113(4),523-531.
Xu J & W Yao (2014). Mulscale mechanical
quantification of self-healing concrete
incorporating non-ureolytic bacteria-based
healing agent. Cement Conc Res 64, 1-10.
Yasuhara H, K Hayashi & M Okamura (2011).
Evolution in mechanical and hydraulic
properties of calcite-cemented sand mediated
by biocatalyst. Geo Front 2011,3984-3992.
Zhang JL, CG Wang, QL Wang, JL Feng, W Pan,
XC Zheng, B Liu, X Han, F Xing & X Deng
(2016). A binary concrete crack self-healing
system containing oxygen-releasing tablet and
bacteria
and
its
Ca2+-precipitation
performance. App Microbiol Biotech. doi:
10.1007/s00253-016-7747.
Zhang JL, RS Wu, YM Li, JY Zhong, X Deng, B
Liu, NX Han & F Xing (2016). Screening of
bacteria for self-healing of concrete cracks
and optimization of the microbial calcium
precipitation process.
App Microbiol
Biotechnol 100(15), 6661-6670.
52
Download