PEMAHAMAN TENTANG DASAR KALKULASI LINK KOMUNIKASI SATELIT RACHMAN SIREGAR Fakultas Teknik Jurusan Teknik Elektro Universitas Sumatera Utara BAB I PENDAHULUAN Pada sistem komunikasi satelit penempatan repeater berada di ruang angkasa dalam bentuk satelit. Jadi satelit hanya merupakan suatu repeater saja. Dengan ditariknya repeater jauh ke atas, maka jangkauan pemandangannya makin luas, dengan demikian jarak antar pesawat pemancar dengan penerima dapat diperpanjang. lni merupakan suatu penghematan. Satelit diorbitkan dengan ketinggian bermacam-macam tergantung dari kebutuhannya. Orbitnya sinkron dengan permukaan bumi, sehingga seolah-olah satelit ini diam ditempatnya. lnilah yang disebut dengan geostationer orbit. Prinsip dasar sistem komunikasi satelit adalah dari suatu terminal sinyal dikirimkan ke stasiun bumi, kemudian dari stasiun bumi ini sinyal tersebut dipancarkan ke satelit. Selanjutnya dari satelit sinyal ini akan dikirim kembali ke bumi yaitu sestasiun bumi yang akan dituju yang letaknya berdekatan dengan terminal yang akan dituju. Kemudian dari stasiun bumi ini sinyal diteruskan ke terminal yang dituju. BAB II ANALISA DASAR Kehandalan suatu sistem pada sistem komunikasi satelit analog yang menggunakan modulasi frekuensi (FM) dinyatakan oleh sinyal to noise ratio (SIN). Dimana (SIN) yang merupakan fungsi dan nilai carrier to noise ratio (C/N). Didalam sistem komunikasi satelit digital, performansi dari sistem dapat diukur dari nilai hit error rate ratio (BER) dari sinyal yang diterima oleh stasiun bumi. Nilai BER yang diukur pada penerimaan sinyal di stasiun bumi ini juga ditentukan oleh parameter (C/N)-nya. Gambar 1 ©2004 Digitized by USU digital library 1 HP A LNA G T EIRP EIRP IFL = High Power Amplifier (penguat daya gelombang RF ( Radio Frequency) sebelum ditransmisikan kesatelit melalui antena) = Low Noise Amplifier (penguat yang berderau rendah) = Gain Antenna = Noise Temperature (OK) = Effective Isotropically Radiated Power ( daya di dalam berkas radio dibandingkan terhadap antena isotropic) = adalah besarnya daya suatu carrier yang dipancarkan oleh suatu antena, satuannya dalam dB watt. Harga EIRP adalah hasil penjumlahan antara daya keluaran HPA dengan penguatan antena dikurangi dengan redaman IFL (Interfacility Link). = PoutHPA (dBw) + G antena (dB) -loss IFL (dB) = yang disebut feeder, berfungsi menyalurkan sinyal RF dari indoor Equipment (perangkat didalam ruangan) kearah antena dan sebaliknya. Harga EIRP dapat diperkecil dan diperbesar dengan cara: memperkecil/memperbesar output HP A memperkeciI/memperbesar penguatan antena memperpanjang/memperpendek IFL Perlu diperhatikan faktor lain yang mempengaruhi kualitas carrier adalah Noise (N) atau derau yang besarnya tergantung dari harga temperatur sistem penerima satelit (Ts) dan bandwidth operasi dari carrier (B), dimana N = (k x Ts x B). Didapat hubungan antara C dan N adalah sebagai berikut: (C/N)u = Pt x Gt x 1/Lu x I/L x Gs/Ts x 1/k x 1/B dalam satuan dB menjadi: (C/N)u = Pt + Gt -Lu - L + Gs/Ts -k –B dimana: Gt = Gain antena Sb pemancar (dB) Lu = Free space loss (dB) L = Rugi-rugi akibat red am an wave guide (IFL) dll. Gs/Ts = Figure of merit penerima satelit (dB/oK) k = konstanta Boltzman = -228.6 (dBW/oK-Hz) B = bandwith operasi (dB-Hz) Pada arah down-link satelit akan memancarkan carrier (Cd) dengan EIRP bekerja pada titik operasi saturasinya. Sedangkan pada saat melewati lintasan sepanjang (satelit-SB) akan mendapatkan redaman sebesar Ld. Besarnya (C/N)d adalah: (C/N)d = EIRPs,satur. - Ld - L + Gr/Tr -k -B (dB) dimana: EIRPs, satur. = EIRP Saturasi satelit (dBW) Ld = Down – Link free space loss (dB) L = Rugi-rugi akibat redaman wave guide (IFL) dll. Gr/Tr = Figure of merit penerima SB (dB/oK) k = konstanta Boltzman = -228.6 (dBW/oK-Hz) B = bandwith operasi (dB-Hz) ©2004 Digitized by USU digital library 2 2.1. Karekteristik TWTA satelit. (Traveling Wave Tube Amplifier plifier) Kenyataannya perhitungan link satelit sangat tergantung dari karakteristik non linearitas TWT A transponder, sedangkan harga Gs/Ts dan ElRPs,satur. Adalah merupakan spesifikasi dari satelit. Apabila transponder dioperasikan untuk satu carrier (single carrier), umumnya TWTA akan dioperasikan pada titik operasi saturasi (jenuh). Jika transponder dioperasikan untuk multi carrier, makaTWTA akan dioperasikan pacta daerah linearitasnya. Hal ini dilakukan untuk menghindari timbulnya sinyal intermodulasi. Untuk mendapatkan daerah operasi linear TWTA, dapat diperoleh dengan cara menambahkan Back-off (BO), yaitu input BO dan output BO. 2.2. Parameter yang berpengaruh pada performansi link satelit. Parameter berikut sangat penting untuk diketahui perencana Sistem Komunikasi Satelit, dan juga bagi Teknisi yang mengoperasikan Sistem Komunikasi Satelit, yaitu: 2.2.1. (C/N) Parameter satelit ini menyatakan besarnya carrier terhadap noise. Harga (C/N) ditentukan dan dipilih berdasarkan jenis dan fasilitas telekomunikasi yang akan diterapkan. Umumnya dalam perhitungan link di atas adalah untuk sistem transmisi yang ideal, sehingga harga (C/N) harus ditambahkan margin yang besarnya sekitar 1 sampai 1.5 dB. 2.2.2. Diameter Antena SB. (Satelit Bumi) Parameter antena yang penting adalah diametemya, semakin besar diameter antena akan diperoleh gain yang besar juga disamping itu akan diperoleh juga beamwidth yang sempit/runcing. Dengan semakin banyaknya satelit yang mengorbit di GSO, dimana jarak antara satelit hanya 20 menyebabkan timbulnya carrier liar dari satelitsatelit yang berdekatan dan saling mengganggu satu dengan yang lainnya. Untuk itu spesifikasi antena semakin diperketat antara lain terhadap bentuk pattern antena yang saat ini dipersyaratkan menjadi 29-25 log0 (sebelumnya adalah 32-25log0). 2.2.3. HPA dan EIRP. Salah satu parameter dalam perhitungan link adalah EIRP dari SB, yaitu merupakan kombinasi dari daya output HPA dan antena. Bila daya yang diperlukan tidak lebih dari 20 Watt biasanya digunakan SSPA, untuk daya 600 Watt akan digunakan TWT, sedangkan untuk daya sampai 3 kiloWatt digunakan Klystron. SSPA = Solid State Power Amplifier (Penguat daya RF) TWT = Traveling Wave Tube (tabung penguat daya sinyal RF) Klystron = Tabung penguat utama ( Main amplifier) 2.2.4. LNA dan Gff. LNA adalah bagian dari sistem penerima yang menimbulkan noise (noise temperature), bila dikombinasikan dengan gain antena penerima maka akan diperoleh nilai G/T dari sistem penerima. Dengan kemajuan teknologi solid state saat ini sudah dapat diperoleh LNA dengan noise temperature 35°K sedangkan yang banyak digunakan saat ini adalah LNA dengan noise temperature sistem 55°-80oK. 2.2.5. Antena, EIRP daD Gff Satelit. Tiga parameter renting pada satelit adalah: Saturated Flux Density (SFD) GrT sistem penerima satelit EIRP satelit ke arab Down-link ©2004 Digitized by USU digital library 3 2.2.6. Free space loss, redaman atmosphere dan redaman hujan. Free space loss tergantung pada besamya jarak antara SB dan Satelit dan juga besamya frekuensi operasinya. Sedangkan redaman atmosphere dan redaman hujan untuk sistem satelit yang beroperasi pada frekuensi C-band tidak menimbulkan pengaruh yang berarti. 2.2.7. Subu Derau (T). Suhu derau atau Noise Temperature atau disebut juga Equivalent Noise Temperature adalah faktor yang berpengaruh dalam perhitungan besarnya daya total dari noise yang timbul pada suatu konduktor. Noise temperatur antena dapat didefinisikan sebagai temperatur suatu tahanan yang dapat memberikan daya derau yang sarna kepada terminal input penerima. Seperti halnya antena yang dihubungkan dengan penerima tersebut. Suhu derau sistem penerima besarnya tergantung dari banyaknya faktor antara lain: Suhu derau antena penerima. Suhu derau saluran transmisi yang digunakan. Suhu derau perangkat penerima antara lain LNA, Down-link. Noise atau derau merupakan gerakan acak dari elektron-elektron suatu konduktor karena kenaikan suhu diatas 00K. Besarnya daya total derau yang muncul dapat dirumuskan sebagai berikut: Pn = k. TB.(Watt) Dimana: k = Konstanta Boltzman (1,374 x 10.23) dalam J/oK T = Equivalent noise temperature (0K) B = Banwidth dalam Herzt Bila terjadi keadaan dimana ada dua sumber derau maka daya total derau merupakan jumlah daya derau sumber tersebut. Bila dimisalkan bahwa semua benda yang dapat menyerap radiasi dapat membangkitkan derau, maka antena, atmospfir serta bumi dapat dianggap sebagai sumber derau. Hal ini berarti tanah sekitar antena stasiun burni juga merupakan suatu sumber derau, sehingga tanah tersebut dapat dianggap memiliki ekivalen suhu derau. Besamya suhu derau tersebut dihitung dengan rumus berikut: Tc= Tp ( 1 – R ) OK Dimana: T c = Suhu derau tanah (bumi) T p = Suhu phisik dari tanah (burni) tersebut R = Koefisien refleksi dari tanah Untuk mempermudah hitungan biasanya suhu phisik tanah ditentukan besarnya 2900K sebagai suhu standar. Laut yang mempunyai koefisien refleksi tinggi bukan merupakan sumber derau, akan tetapi tanah yang memiliki koefisien refleksi sangat kecil mendekati nol memiliki suhu derau mendekati 290oK. Suatu antena akan menghasilkan side-lobe yang diakibatkan oleh spillover oleh pinggiran antena serta penyebaran (pemercikan) energi pancaran oleh feed horn, sub-reflektor dan penyangga sub-reflektor ini sangat mempengaruhi suhu derau dan antena tersebut. Dalam prakteknya suhu derau antena stasiun bumi besarnya berkisar antara 20oK sampai dengan 250 oK pada kedudukan elevasi vertikal. Jika elevasi diturunkan ©2004 Digitized by USU digital library 4 maka suhu derau makin besar dan suhu derail akan sangat naik tajam pada elevasi SOK sampai dengan 10oK. Demikian pula angkasa atau space/sky sebagai penyerap radiasi juga merupakan sumber derail yang dapat dianggap memiliki suhu derau efektif yang diistilahkan Tspace atau Tsky. Suhu derau angkasa terdiri dari suhu derail cosmic dan suhu derail atmosfer, sehingga dapat dituliskan: T sky =T cosnic + (Latm -1) TO-atm (0K) Dimana: = redaman atmosfer (dalam ratio) Latm = suhu derail standar dari atmosfer T0-atm Tcosmic = suhu derau efektif dan cosmic 2.2.8. Noise Factor atau Noise Figure. Untuk suatu penguat yang juga merupakan sumber derau, maka selain suhu derau juga dikenal istilah "FAKTOR DERAU" atau "NOISE FACTOR" atau "NOISE FIGURE". Jika noise factor dinyatakan tanpa satuan (hanya perbandingan dalam kali atau ratio), maka noise figure biasanya dinyatakan dalam satuan dB. Atau dapat dinyatakan dengan : F= Sin / Nin _________ Sout/ Nout NOISE FIGURE = 10 Log Nf (dB) Dimana : = daya signal input Sin = daya signal output. Sout = daya noise input Nin = daya noise output Nout Noise factor adalah perbandingan antara sinyal to noise pada terminal input dengan sinyal to noise pada terminal output, yang biasanya diukur pada suhu standar 290°C. Bila dijabarkan maka dapat diketahui hubungan antara noise factor dan erective noise temperature sebagai berikut : Si/Ni F = _____ = So/No Si/Ni No ______ = ______ G.Si/No G. Ni dimana G adalah gain penguat. G.Ni+Nt F = ________ G.Ni Nt adalah noise yang ditimbulkan penguat tersebut. ©2004 Digitized by USU digital library 5 G.Ni+G.Ne F = _________ G.Ni Ne adalah daya derau efektif dari penguat tersebut. Ne F = 1+ ---Ni k.Te.B F = 1+ ------k.To.B Te adalah suhu derau efektif dari penguat tersebut. Te F = 1+ ---To Te = (F- 1)To Besamya To adalah 2900K dan F dinyatakan dalam ratio bukan dB. Contoh-contoh dengan memakai perhitungan : 1. Bila diketahui noise figure suatu penguat sebesar 10 dB, suhu derau efektif penguat tersebut dapat dihitung sebagai berikut : Noise Figure = 10 Log F 10 = 10 Log F 1 = Log F F = 10 Jadi derau efektif(Te) = (F-1)To Te = (10 -1)2900K Te = 26100K 2. Bila diketahui noise figure penguat sebesar 3 dB, besarnya suhu derau efektif adalah : 3 =10 log F 0.3 = log F F =2 Jadi besarnya Te adalah : Te = (2 -1)290° = 2900K 2.2.9. Perhitungan Noise Factor pada Penguat Bertingkat (Cascade) Bila menggunakan penguat bertingkat, cara menghitung noise factornya adalah : F3-1 Fn-1 F2 - 1 Ftotal = F1 + ------ + -------- + ….. + --------------G1 GI.G2 GI.G2...G(n -1) Untuk penguat bertingkat dua: F2 - 1 Ftotal = F1 + -------G1 Untuk penguat bertingkat tiga: ©2004 Digitized by USU digital library 6 F2 – 1 F3 - 1 Ftotal = F1 + -------- + --------G1 G1. G2 Dari ketentuan-ketentuan di atas maka besarnya suhu derau efektif dari penguat bertingkat tersebut dapat ditentukan: Tn T2 T3 Ttotal = T1 + ---- + --------- + ….. + ------------------G1 G1. G2 G1. G2 … G ( n – 1) Jelas bahwa suhu derau total maupun noise factor dari suatu penguat bertingkat sangat dipengaruhi oleh suhu derail penguat tingkat pertama, sedangkan penguat tingkat selanjutnya sangat kecil pengaruhnya. Hal ini sangat perlu diperhatikan dalam merencanakan penguat bertingkat. Contoh-contoh dengan memakai perhitungan: Suatu LNA terdiri dari dua tingkat penguat, dimana penguat I merniliki suhu derau ( efektif sebesar 100oK dengan gain sebesar 40 dB, sedangkan penguat II memiliki suhu I derau sebesar 200oK dan penguatan sebesar 30 dB. Berapa suhu derau dan noise factor LNA tersebut. Jawab: Penguat I : T1 = 100oK G1 = 40 dB = 10.000 kali Penguat II : T2 = 2000K G2 = 30 dB = 1000 kali Jadi besarnya suhu derail LNA tersebut adalah: Ttotal = T1 + T2 ------G1 200 Ttotal = 100+ ---------10.000. Ttotal = 100,02°K Besarnya faktor derau adalah: Te F = 1+ ---To F = 1 + (100,02/290) = 1,34 ©2004 Digitized by USU digital library 7 BAB III SUHU DERAU SUATU PEREDAM Suatu peredam merupakan suatu elemen yang menyerap energi, karenanya juga memiliki suhu derau. Besarnya redaman dan suatu peredam dapat didefinisikan sebagai: Input Pi L = ---- = --------Output Po Bila ingin mengetahui besarnya suhu derau dan suatu peredam dapat dilihat dari gambar 2. Gambar 2 : Peredam Si/Ni F = -------So/No Si/Ni F = -----------Si/ (L. No) L. No F = ---------Ni L = Si/So Selain impedansi input dan impedansi output sama besar" juga impedansi internal sepanjang peredam tersebut sama besar dan konstan. Tiap seksi dalam peredam tersebut selalu match satu dengan yang lain. Oleh karena itu besarnya noise pada input Ni sama dengan besarnya noise pada output No. Jadi: L. Ni F= -------- = L Ni L (dalam ratio) ©2004 Digitized by USU digital library 8 Terlihat bahwa faktor derau dan suatu peredam (pasif) sama dengan besarnya redamannya dalarn ratio. Dengan kata lain bahwa noise figure peredam tersebut sama besar dengan besarnya redaman dalam dB. Besarnya suhu derau peredam tersebut adalah: Tf= (L -1) To dimana L dalam ratio bukan dalarn dB. Bila peredam tersebut bertingkat, maka besarnya faktor derau dan suhu deraunya dapat dihitung sebagai berikut: Faktor derau Ft= L1+(L2-1) L1+(L3-1) L1.L2 + (Ln-1) L1.L2 (Ln-1) Suhu Derau. Tn= (F1-1)To 3.1. Contoh-contoh dengan memakai perhitungan: 1. Bila suatu peredam memiliki redaman sebesar 10 dB, maka besarnya suhu derau peredam tersebut dapat dihitung: Tf = (L -1)T0 , L adalah redarnan dalarn ratio, To = 290oK Redaman = 10 dB 10 = 10 Log L L = 10 Jadi: Tr = (10-1) 290oK = 1610oK 2. Bila dua buah peredam yang dihubungkan masing-masing memiliki redaman sebesar 10 dB, hitung suhu derau total dari kedua redaman tersebut. Perhitungan; Redaman masing-masing peredam adalah 10 dB. Loss factor masing-masing redaman dapat dicari sebagai berikut: L1 : 10 = 10 Log L1, → L1= 10 L2 : 10 = 10 Log L2, → L2= 10 Jadi: F= L1+(L2 – 1 ) L1 = 10+(10-1) 10 = 10 + 90 = 100 Suhu derau total: Ttot = (F - 1)To = (100-1 )2900K = 287100K ©2004 Digitized by USU digital library 9 3. Bila ada suatu redarnan sebesdar 20 dB, maka suhu derau dapat dihitung: 20 = 10 Log L 2 = Log L = 28710oK L = 100 Ttotal = (100-1) 290oK = 287100K Dari perhitungan-perhitungan tersebut di atas terlihat bahwa suhu derau suatu peredam besarnya tergantung pada besarnya redaman dan tidak tergantung pada komposisi peredarn tersebut (terdiri atas satu atau lebih redaman sama saja). BAB IV PERHITUNGAN SUHU DERAU SISTEM Sistem penerimaan dari suatu stasiun bumi tersusun alas beberapa jenis peralatan yaitu mulai dari antena, saluran transmisi, LNA, serta receiver dan lain-lain. Suhu derau suatu sistem penerimaan secara keseluruhan dapat dihitung sebagai berikut: Tf2 TREC TLNA Ts = Ta+Tf1 + -------- + ------------- + ----------------G1.GLNA.G2.. G1 G1.GLNA dimana: Ta = suhu derau antena = suhu derrau feeder I (dari antena ke LNA) Tf1 = suhu derau LNA TLNA = suhu derau receiver TREC = suhu derau feeder II (dari LNA ke receiver) Tf2 = loss feeder I (dalam ratio, bukan dB) Lf1 = loss feeder II (dalam ratio, bukan dB) Lf2 = gain dari LNA (bukan dalam dB) GLNA = gain feeder I G1 = gain feeder II O2 Maka dari tersebut di alas dapat diambil kesimpulan : Suhu derau sistem sangat dipengaruhi oleh suhu derau antena, berarti sangat dipengaruhi oleh sudut elevasi antena. Suhu derau sistem sangat dipengaruhi oleh suhu feeder dari antena ke LNA, berarti dipengaruhi oleh loss feeder dari antena ke LNA. Makin panjang feeder dari antena ke LNA, makin besar loss-nya berarti makin tinggi suhu derau sistemnya. Oleh karena itu dapat dimengerti jika letak LNA pada stasiun bumi sangat dekat dengan antena. Suhu derau sistem juga sangat dipengaruhi oleh suhu derau LNA, makin kecil suhu derau LNA makin rendah suhu derau sistem, oleh karena itu diusahakan agar suhu derau LNA serendah mungkin. Pada umumnya LNA tidak hanya terdiri atas satu ©2004 Digitized by USU digital library 10 tingkat penguat, maka suhu derau penguat LNA tingkat I sangat menentukan suhu derau LNA. 4.1. Contoh-contoh dengan memakai perhitungan: a. Misal dengan kondisi jelek: Sistem penerima stasiun bumi terdiri Antena dengan gain 50 dB dan suhu derau 400K Feeder dari antena ke LNA dengan LS5 sebesar 10 db LNA, dengan gain 50 dB clan noise figure 10 dB Feeder dari LNA ke receiver dengan loss sebesar 3,010 dB Receiver dengan noise figure 10 dB dan gain 30 dB Tentukan G/T penerima. Jawab: Feeder I: Loss = 10 dB → 10 = 10 Log Ln 1 = Log Ln Ln = 10 Suhu derau feeder I: Tn = (Ln -1).290oK = (10 -1).290oK = 2610OK LNA: Noise figure Noise Factor (F): 10 F Suhu derau (T1.NA) = = = = = = 10 dB 10 Log F 10 (F -1).290oK (10 -1).290oK 2610OK Gain LNA (GLNA) = 50 dB → dirubah dalam ratio 10 Log GLNA = 50 Log GLNA = 5 GLNA = 100.000 kali Feeder II: Loss berarti 10 Log Lf2 Lf2 = 3,010 dB = 3,010 =2 Suhu derau feeder II: Tf2 Receiver: Noise figure 10 log F F = (2-1).290oK = 290oK = 10 dB = 10 = 10 ©2004 Digitized by USU digital library 11 Suhu derau receiver: TREC = (F -1). To = (10- 1).290oK = 2610oK Jadi besarnya derau dari sistem penerimaan adalah; Lf1. Lf2 TREC Tf2. Lf1 Ts = Ta + Tf1 + TLNA.Lf1 + ---------- + -----------GLNA. GLNA Ts = 40 + 2610 + 2610.10 + (290.10/100000) + (10.2.2610/100000) = 28750,551°K Sehingga figure of merite sistem penerimaan; G/T = Ga -10 Log Ts = (50 -10 Log 28750,551) dB/oK = 5,414 dB/oK b. Misal dengan kondisi baik. Sistem penerima stasiun bumi terdiri Antena dengan gain 53 dB dan suhu derau 28,285°K Feeder dari antena ke LNA dengan loss sebesar 0,4 dB LNA dengan gain 50 dB dan Suhu derau 40 dB Feeder dari LNA ke receiver dengan loss sebesar 3,010 dB Receiver dengan suhu derou 10 dB dan gain 30 dB Tentukan G/T penerima. Jawab: Antena: Ga = 50 dB, Ta = 28,235°K Feeder I: Loss feeder = 0,4 dB →10 Log L = 0,4 L = 1,096 Suhu derau feeder : Tf1 = (1,096 -1).290oK = 27,84°K LNA: = 50 dB GLNA TLNA = 40oK Feeder II: Loss feeder = 3,010 dB → 10 Log L = 3,010 L =2 Suhu derau feeder II: Tf2 = (2 -1).290oK = 290oK Receiver: GREC = 30 dB, TREC = 1450oK suhu derau sistem penerima: Ts = 28,285 + 27,84 + 1,096.40 + (1,096.290/1E+5) + (1,096,2. 1450/1E+5) = 100oK ©2004 Digitized by USU digital library 12 Besarnya figure of merite: G/T = Ga -10 Log Ts = 53 -10 Log 100 = 33 dB/oK BAB V LEVEL PENERIMAAN Pada sistem komunikasi satelit, LNA harus sanggup menerima sinyal yang sangat lemah dari satelit dan harus mampu memperkuat sinyal tersebut sampai beberapa puluh dB agar dapat dicapai level yang cukup untuk diberikan ke perangkat penerima. Yang menyebabkan lemahnya level sinyal dari satelit, yaitu: Daya pancar satelit sangat terbatas. Jauhnya letak satelit terhadap lokasi stasiun bumi sehingga propagasi dari satelit ke stasiun bumi sinyal tersebut mengalami redaman lintasan yang cukup besar. Besarnya level sinyal yang diterima oleh stasiun bumi tergantung pada daya lancar satelit yang dinyatakan sebagai EIRP satelit dan tergantung pada besarnya gain terima stasiun bumi. Level sinyal yang diterima oleh stasiun bumi dari satelit dapat diketahui dari rumus: C(dBW) = EIRP Sat. (dBW) + Gr antena sb.(dB) -L (dB) dimana: L = loss lintasan. Jika dilihat dari persamaan di atas maka dapat diketahui besarnya loss lintasan tergantung pada jarak dari satelit ke stasiun bumi clan frekuensi kerja yang dipergunakan dalam link satelit. Loss lintasan juga dipengaruhi oleh keadaan atmosfer dimana pada saat cuaca buruk dan hujan lebat redaman atmosfer akan bertambah besar jika dibandingkan dengan keadaan cuaca cerah, umumnya diambil besamya loss atmosfer pada saat udara cerah adalah 0,3 dB dan pada saat cuaca sangat buruk diambil harga 2 dB sid 2,5 dB. 5.1. Redaman Ruang Bebas (Free Space Loss -Lfs) Redaman ruang bebas untuk keperluan praktis dirumuskan seperti persamaan berikut: = 32,45 + 20 Log D (km) + 20 Log F (Mhz) Lfs (dB) dimana: = free space loss Lfs D = jarak lintasan F = frekuensi kerja yang digunakan. 5.2. Lintasan Total. Besarnya lintasan total dapat dirumuskan sebagai berikut: (dB) = Lcs (dB) + Loss atmosfer (dB) Contoh-contoh dengan memakai perhitungan: 1.Stasiun bumi menerima sinyal dari satelit Palapa B yang memiliki daya output 9,8 dBW, gain antena transmit 25,5 dB clan loss output multiplexer sebesar 1 dB. Stasiun bumi tersebut menggunakan ant en a yang berdiameter 5 meter dengan efisiensi 67 %. Jarak satelit dengan stasiun bumi tersebut 36.000 km. Hitung level ©2004 Digitized by USU digital library 13 carrier yang diterima oleh stasiun bumi tersebut jika frekuensi yang digunakan adalah 4 Ghz, redaman atmosfer 2,5 dB. Jawab: EIRP Satelit = Pout + Gt -loss multiplexe = (9,8 + 25,5 -1) dBW = 34,3 dBW Lfs = 32,45 + 20 Log D + 20 Log F = 32,45 + 20 Log 36000 + 20 Log 4000 = 195,61 dB L = Lfs + loss atmosfer =19561+25 = 198,11 dB Receive gain antena stasiun bumi: G = 20,4 - 10 Log n + 20 Log d + 20 Log F = 20,4 - 10 Log 0,67 + 20 Log 5 + 20 Log 4 = 20,4 - 1,74 + 13,98 + 12,04 = 44,68 dB Besarnya level carrier yang diterima stasiun bumi: C = EIRPsat + Gant.sb - Loss lintasan =34,3+44,68-198,11 = -150 dBW Dari contoh tersebut di atas terlihat betapa lemahnya sinyal yang diterima stasiun bumi. Selain itu juga hams dipertimbangkan tentang derau yang muncul, mana sinyal harus mempunyai level yang jauh diatas derau yang muncul. 5.3. Carrier to Noise Temperature Ratio (C/T) Carrier to noise temperature ratio juga mempakan parameter yang sangat perhitungakn di da1am menganalisis link satelit. carrier to noise temperature ratio ini dapat diuraikan sebagai berikut: EIRP.Gr EIRP (C/T) = --------- = ------ x (G/T), (dalam ratio) L.T T Jika dinyatakan dalam (dB): C/T = EIRPsat (dBW) + G/T (dB/oK) - L(dB) 5.4 Diagram Alur Perhitungan Link. Menganalisa suatu link satelit, secara garis besar dapat digambarkan seperti gambar 3 di bawah ini: BAB VI INTERFERENSI PADA SISTEM SATELIT Interferensi pada sistem transmisi satelit dapat disebabkan oleh banyak sumber, yaitu: Sistem satelit terdekat SB pemancar (Up-link) Carrier pada kanal terdekat Cross polarisasi antena Sistem teresterial Sistem lainnya ©2004 Digitized by USU digital library 14 6.1 Interferensi dari sistem satelit terdekat. Apabila SB penerima memiliki antena dengan pattern receive yang buruk, artinya gain side-lobenya cukup besar (tinggi), maka sinyal down=link yang berasal dari satelit lain akan diterima juga oleh SB penerima sebagai sinyal interferensi. 6.2 Interferensi dari SB Pemancar. Sinyal interferensi timbul disebabkan oeleh SB pemancar dari satelit lain. Apabila SB pemancar tersebut memiliki antena dengan pattern side-lobe dengan gain yang cukup besar, maka carrier pada arah side-lobe juga memiliki daya yang cukup tinggi untuk mengganggu sistem satelit. Hal ini dapat dilihat pada gambar 4: Gambar 4. Interferensi dari satelit yang berdekatan 6.3. Interferensi dari intermodulasi kanal trrdekat. Satu transponder dibebani atau dioperasikan untuk multi carrier seperti sistem FDMA atau 2TV -1/2 maka carrier-carrier tersebut akan menimbulkan sinyal intermodulasi pada transponder tersebut dan transponder dikanan-kirinya. Walaupun pada output multiplexer transponder sudah dilengkapi filter yang akan mem-filter sinyal intermodulasi, tetapi energi yang ditimbulkan akan tetap melebar ditransponder kanan-kirinya. 6.4. Interferensi disebabkan oleh cross polarisasi antena. Sistem satelit Palapa, alokasi transponder menggunakan sistem polarisasi ganlda (polarisasi ortogonal) yaitu polarisasi Vertikal dan polarisasi Horizontal. Pada sistemKu-band cross-polarisasi lebih banyak disebabkan oleh pengaruh butiran air hujan yang dapat mengubah polarisasi sinyal. Sedangkan pada C-banfd terjadinya cross-polarisasi lebih banyak disebabkan oleh jeleknya isolasi antara polarisasi Vertikal dan horizontal pada sistem feed-horn antena. Isolasi cross-poll yang diijinkan adalah >30 dB. ©2004 Digitized by USU digital library 15 6.5. Interferensi dari sistem terresterial. Sistem terresterial beroperasi pada frekuensi band yang sarna dengan sistem frekuensi pada Satelit Palapa, yaitu C-band 6/4 Ghz. Hal ini dapat dilihat pada gambar 5: Gambar 5. Interferensi dari link teresterial 6.6. Interferensi dari sistem lainnya. Sebagai contoh adalah interferensi dari sinyal liar yang ditimbulkan oleh sistem pembakaran motor dua tax yang tidak sempurna, yaitu dapat mengganggu pada sistem digital dimana carriernya kecil. Contoh lainnya adalah terganggunya/lenyapnya sinyal sinkronisasi pada sistem TDMA yang mengakibatkan terganggunya sistem secara keseluruhan. 6.7 Contoh-contoh dengan memakai perhitungan. 1. Sistem komunikasi satelit memiliki parameter berikut: Up-link: Daya output HPA, 30 dBW Gain antena, 54 dB Redaman IFL (inter facility link), 1,5 dB G/T Satelit, - 1 dB/oK Konstanta Boltzma, -228,6 dBW/oK Bandwidth operasi, 36 Mhz (=75,6 dB-Hz) Down-link: EIRP saturasi satelit, 36 dBW G/S stasiun bumi, 34,5 dB/oK Redaman tracking antena, 0,9 dB Dihitung harga (C/N)u, (C/N)d dan (C/N)total. ©2004 Digitized by USU digital library 16 Jawab : (C/N)u = Pt + Gt -Lu -L + Gs/Ts - k B (dB) = 30 dBW+54dB+199dB-1,5dB +(-!)dB/0K-(-228,6)dB dBW/0K-Hz-75,6dB-Hz = 35,5 dB (C/N)d = ElRPsatur, sat - Ld - L + Gr/Tr - k - B (dB) = 36 dBW - 194,6 dB - 0,9 dB + 34,5 dB/0K -(-228,6)dBW/0K-Hz -75,6 dB-Hz = 28 dB (C/N)total = {(C/N)U-1 + (C/N)d-1}-1 = 10 Log {(1035,5/10)-1 + (1028/10)-1}dB = 27,29 dB 2. Sistem komunikasi satelit memiliki parameter sebagai berikut: Karakteristik satelit: Ban frekuensi, 6/4 Ghz SFD, -82 dBW/m2 G/T, -2 dB/oK EIRPsaturasi, 36 dBW FSL 6/4 Ghz, 199/194,6 dB Karakteristik SB penerima: Gain antena., 45 dBi Noise temperature LNA, 800K IFL, 0,3 dB Karakteristik SB pemancar: EIRP, 60 dBW IFL, 0,3 dB Dihitung harga (C/N)u, (C/N)d dan (C/N)total. (C/N)u = 60 dBW-199 dB -0,3 dB+(-2) dB/oK -(-228,6) dB dBW/oK-Hz = 147,3 dB (C/N)d = 36dBW -194,6dB-0,3 dB+24,4 dB/0K-(-228,6) dB dBW/0K-Hz = 154,1 dB (C/N)total = {(C/N)u-1 + (C/N)d-1}-1 = -10 Log {(1014,73)-1 + (1015,41)-1}dB = 146,47 dB KESIMPULAN 1. Bahwa suhu derau suatu peredam besarnya tergantung pada besarnya redaman dan tidak tergantung pada komposisi peredam tersebut. 2. Suhu derau sistim sangat dipengaruhi oleh suhu derau antena, berarti sangat dipengaruhi oleh sudut evaluasi antena. 3. Suhu derau sistim sangat dipengaruhi oleh suhu derau feeder dari antena ke LNA, berarti dipengaruhi oleh loss feeder dari antena ke LNA. Makin panjang feeder dari antena ke LNA, makin besar loss-nya berarti makin tinggi suhu derau sistimnya. Oleh karena itu dapat dimengerti jika letak LNA pada stasiun bumi dekat dengan antena. 4. Suhu derau sistim juga sangat dipengaruhi oleh suhu derau LNA, makin kecil suhu derau LNA makin rendah suhu derau sistim, oleh karena itu diusahakan agar suhu derau LNA serendah mungkin. ©2004 Digitized by USU digital library 17 DAFTAR PUSTAKA Graham Lingley, Prinsip Dasar Telekomunikasi, 1986, PT. Multi Media Gramedia Jakarta. Prosedur Pemeliharaan Transmisi Satelit, 1994, PT. Telkom.Indonesia. Smale PH, 1986, Sistem Telekomunikasi, Erlangga, Jakarta. Roody, Dennis, Kamal Idris & Jhon Coolen, 1980, Komunikasi Elektronik, Erlangga, Jakarta. Suhanna & Shigeka Shoji, 1991, Teknik Telekomunikasi, Pradnya Paramita, Jakarta. ©2004 Digitized by USU digital library 18