Mengurai Makna Budaya Melalui Semiotika Pragmatik dan Analisis Wacana oleh : Dede Rosyadi ZA (Dosen PBI FKIP UMC) Abstrak Kebudayaan adalah hasil dari segala kreativitas manusia, baik berupa tulisan maupun verbal termaksud dalam perbuatan atau tindakan manusia. Tindakan manusia setidaknya dibentuk oleh tindakan mengungkapkan sesuatu (locutionary act), tindakan melakukan sesuatu (illocutionary act), dan tindakan mempengaruhi lawan (perlocutionary act). Semua jenis tindakan itulah yang menjadi keniscayaan oleh manusia sehingga tercipta suatu kebudayaan dalam arti luas. Selanjutnya kebudayaan menjadi suatu wacana. Wacana kebudayaan yang memiliki tujuan utama yaitu mengerti dan memahami maksud makna yang terkandung dalam suatu kebudayaan sehingga kebudayaan mempunyai peran multidimensi untuk peradaban kehidupan manusia. Karena, sesuatu yang diciptakan atau dihasilkan oleh manusia sebagai makhluk Tuhan yang berakal pastinya memiliki nilai kemanfaatan bagi dirinya dan orang lain. Sehingga munculnya ilmu semiotika pragmatik menjadi kebanggaan tersendiri bagi para ilmuwan dan budayawan untuk membedah makna tersirat atau pesan moral ide, cipta, rasa, (kebudayaan). Hasil dari analisa ini tentunya diharapkan agar orang awam yang baru mengenal kebudayaan dapat memahami pesan kehidupan. Dengan demikian akan tercipta manusia berkebudayaan. Abstract Culture is the result of all human creativity, whether it be written or verbal act or acts mentioned in humans. Human action at least shaped by the actions reveal something (locutionary act), the act of doing something (illocutionary act), and actions affect the opponent (perlocutionary act). All types of actions that is the necessity by humans so as to create a culture in a broad sense. Furthermore, the culture becomes a discourse. Cultural discourse that has the main purpose of which is to know and understand the intent of meaning contained in a culture so that culture has a multidimensional role for the civilization of human life. Because, something created or produced by human beings as creatures of God who understands the exact value for the benefit of himself and others. So the emergence of pragmatic semiotics science is a pride for scientists and cultural experts to dissect the meaning implied or moral ideas, creativity, taste, (culture). Results of this analysis is certainly expected that ordinary people who are new to the culture can understand the message of life. Thus creating cultured human. Pendahuluan Searle dalam bukunya Speech Acts: An Essay in the Philosophy of Language (1969: 23-24) mengemukakan bahwa secara pragmatis setidak-tidaknya ada tiga jenis tindakan yang mungkin diwujudkan oleh seseorang penutur di dalam berbahasa, yakni tindakan untuk mengungkapkan sesuatu (locutionary act), tindakan melakukan sesuatu (illocutionary act), dan tindakan mempengaruhi lawan bicara (perlocutionary act). Kalimat “Ikan paus adalah binatang menyusui cenderung diucapkan oleh penuturnya untuk menginformasikan sesuatu, yakni termasuk golongan binatang apakah ikan paus itu”. Kalimat “Maaf, kemarin saya tidak bisa hadir” diucapkan bukan untuk tujuan memberikan informasi karena besar kemungkinan lawan bicara sudah mengetahui ketidakhadiran penutur. Kalimat ini diucapkan untuk melakukan suatu tindakan, yaitu tindakan memohon maaf. Tindakan memohon maaf menyuruh dan beberapa jenis tindakan lain memang hanya mungkin dilaksanakan melalui bahasa bukan dengan sarana yang lain. 1 Dilihat dari fungsinya untuk mempengaruhi pembaca atau pendengar, wacana, baik lisan maupun terlutis dibedakan menjadi wacana interaktif, seperti phatic communion (wacana fatis), wacana informative, seperti wacana ilmiah, wacana persuasive, seperti wacana iklan, pidato kampanye, dan sebagainya (Brewer & Lischtenstein, 1982: 437; Alan 1989: 118). Berkaitan dengan itu, wacana atau kajian kebudayaan atau Cultural Studies sudah menjadi diskursus sebagai bagian dari filsafat kritik sejak era Immanuel Kant (1724-1804), misalnya dalam bukunya yang berjudul Critique of Pure Reason. Dalam buku ini Kant mengaitkan penilaian estetik yang memiliki hubungan dengan pengalaman estetik untuk sampai kepada pemahaman mengenai makna (meaning) dan penandaan (signification). Dari sini pula muncul apa yang sekarang dikenal sebagai awal dari munculnya semiotika (semiotics). Lebih lanjut dinyatakan oleh Kant bahwa : " Asthetic experience is an conceptually indeterminate experience of meaning ". ( "Pengalaman estetik adalah sebuah pengalaman atas makna yang bersifat tidak dapat dibatasi "). Dalam konteks dengan signifikasi, lebih lanjut Kant mendeskripsikan sebagai berikut : "More precisely, as reflect judgement, it is an experience of the endless process of signification as the production and immanent destruction of signifier or sign vehicle in the interpretive apprehension of material form ". ( "lebih tepatnya sebagai sebuah pengalaman atas proses penandaan yang tiada batasnya sebagai produk dan destruksi imanen atas penanda-penanda dalam penghargaan yang bersifat dipahami atas sebuah objek "). Di berlin, Theodor Adorno menyebut kajian kebudayaan sebagai Kulturwissenschaften (cultural studies). Dalam bukunya yang berjudul Negative Dialectics, disebutkannya bahwa fokus kajian kebudayaan untuk saat ini adalah kajian kebudayaan sebagai sebuah kajian atas masa kini. Dalam pengertian inilah tulisan ini akan menyinggung juga pemahaman modernisme dalam konteks filsafat dan kebudayaan pada umumnya, termasuk, bagaimana modernisme Barat harus ditranslasikan (diterjemahkan, atau lebih tepatnya dipahami) dalam konteks kebudayaan nasional, jika kita ingin membayangkan suatu ketika kita akan memiliki image apa itu kebudayaan nasional kita. Dengan demikian, ada semacam benang merah antara kajian kebudayaan dan semiotika pragmatik. Dan titik berangkat dari keduanya hampir boleh dikatakan bersamaan, yakni sejak era tradisi post-Kantian yang habis-habisan mengkritik teori-teori pragmatisme. Demikian juga, karena keduanya di dalam konteks kesenian memiliki subtansi pembahasan yang sama, yakni tentang estetika, maka di atas tadi disinggung tentang hubungan estetika, pengalaman estetik, tanda, penanda dan penandaan yang menjadi titik fokus pembahasan mengenai semiotika. Lebih dari itu, kajian kebudayaan, semiotika dan estetika tidak dapat dipisahkan, karena pemahaman mengenai kajian kebudayaan beranjak antara signifikasi atau penandaan (signification) dan estetika beranjak dari makna (meaning) dan kepekaan (sensibility). Tulisan ini sebuah kajian umum tentang kebudayaan. Selajutnya penulis akan mengembangkan kajian ini ke arah yang lebih khusus yaitu kebudayaan Cirebon yang akan menjadi usulan penelitian doktoral penulis. Pembahasan Kultur Antropologis dan Sistem Wacana Anthropology berarti “Suatu ilmu tentang manusia”, suatu istilah yang sangat tua. Dahulu istilah ini digunakan dalam arti yang lain, yaitu tentang cirri-ciri tubuh manusia, juga dalam arti ilmu anatomi. Dalam perkembangannya, dewasa ini antropologi digunakan sebagai suatu ilmu praktis untukmengumpulkan data tentang kebudayaan daerah dan masyarakat pedesaan sehingga dapat ditemukan dasar-dasar bagi kebudayaan nasional yang mempunyai kepribadian yang khusus untuk dapat dibangun suatu masyarakat desa yang modern. Penelitian pragmatik lintas budaya terkenal tidak jelas dan banyak klaim yang masih hipotesis dan spekulatif. Akan tetapi banyak kajian-kajian penting yang lebih memberikan pencerahan dalam teori semantik dan pragmatik. Dalam bab ini akan dipaparkan sebagian saja, mulai dari usaha-usaha mendefinisikan hal-hal yang menyangkut budaya dan menggolongkan perbedaan-perbedaan antarbudaya. 2 Pada pertemuan sebelumnya telah dikaji bahwa perbedaan makna dan bentuk tindak tutur/pertuturan dalam budaya-budaya yang berbeda harus diakui dalam berbagai pendekatan jika ingin berhasil dalam berkomunikasi. Apa yang dimaksud dengan ilokusi dalam sutu budaya mungkin merupakan perlokusi dalam budaya lain, dan tindak tutur/pertuturan khusus mungkin memerlukan jenisjenis tindakan yang berbeda sebagai respon budaya yang berbeda. Perbedaan lintas budaya yang nyata dalam komunikasi dapat dikaitkan guna menghadapi hubungan. Menurut Brown dan Levinson's (1987), masyarakat memiliki pilihan menyeleraskan hubungan dengan menggunakan tutur sapa dan nilai-nilai yang berbeda untuk mengatur kekuatan, jarak, dan tingkatan komunikasi. Bahasa Inggris Amerika merupakan contoh solidaritas simetris, seperti yang ditentang orang Cina yang lebih menyukai perbedaan. Komunikasi lintas budaya, komunikasi antara perwakilan-perwakilan dari sistim wacana yang berbeda, sering terpecah-pecah karena kurangnya pengenalan terhadap perbedaan tersebut. Tetapi, meskipun jika kita menggambarkan perbedaan-perbedaan tersebut, akan muncul kesulitan lain yang terlahir dalam benak, yaitu: Sejauh mana individu Cina atau Amerika, Korea atau Inggris, Australia atau Singapura secara pribadi menunjukkan keyakinan budayanya, dan apakah kepercayaan tersebut menimbulkan perbedaan berarti dalam kemampuannya berkomunikasi? Scollen dan Scolon (1995:126) Dengan kata lain, dalam melakukan studi pragmatik lintas budaya, penting untuk menghindari stereotip yang tidak beralasan. Stereotif adalah penyederhanaan berlebihan dan sepenuhnya asumsi. Sebuah stereotype melekatkan karakteristik kelompok kepada tiap individu semata-mata berbasis keanggotaan budaya mereka Dalam kata sifat ‘lintas-budaya’, pengacuan dibuat bukan untuk budaya sebagai prestasi intelektual dan artistik tetapi lebih kepada organisasi sosial dan kebiasaan sekelompok masyarakat. Dengan kata lain, ‘budaya’ mengacu kepada budaya anthropologi. Ada beberapa aspek budaya antropologi yang menggunakan pengaruh tertentu pada wacana yang berperan dalam system wacana. Menurut Scollen dan Scollon (1995: 127-128), pengaruh tersebut mencakup idiologi, sistim martabat, bentuk system wacana dan sosialisasi, dan disusun sebagai berikut; 1. Idiologi, yang terdiri dari sejarah dan pandangan dunia, mencakup keyakinan, nilai-nilai dan religi. Jarak dan sikap terhadap tradisi budaya penting disini, seperti susila dan sistim beragama. 2. Sistim martabat, seperti: Kekeluargaan (yang dikatakan lebih penting bagi orang Asia Timur dari pada bagi orang Amerika Utara atau Eropa Barat). a. b. c. Konsep Diri yang dipertimbangkan dalam hal perbedaan biner dalam individualisme yang bertentangan dengan kolektivisme, memandang diri sendiri sebagai bagian sebuah grup, biasanya keluarga terdekat. Sebagai hasil variabel budaya ini, ‘martabat’ berarti baik martabat individu atau martabat kelompok. Hubungan kelompok dalam-kelompok luar yang bagi beberapa budaya sudah pasti dan dinegosiasikan dalam percakapan untuk orang lain. Hal tersebut dicontohkan dengan baik dalam register dan dalam bentuk sapaan. Gemeinschaft (komunitas, solidaritas sosial; sistim wacana satu adalah ‘terlahir dalam’) dan Gesellschaft (masyarakat perusahaan, hubungan kontrak yang melindungi minat semua orang; sistim wacana yang dipelajari di tempat kerja). 3. Bentuk-bentuk wacana, termasuk: a. Fungsi-fungsi bahasa, seperti informasi dan hubungan (menugaskan kepentingan relatif yang berbeda dalam budaya yang berbeda); negosiasi hubungan dan ratifikasi atau afirmasi hubungan yang dibentuk dalam masyarakat; keselarasan kelompok dan kesejahteraan individu (yang memiliki nilai relative berbeda yang melekat pada mereka). b. Komunikasi non-verbal, mencakup kinesika (gerakan bahasa tubuh, termasuk bahasa isyarat. Sebagai contoh, senyuman mungkin memiliki makna wacana yang berbeda dalam sistim yang berbeda. Dalam budaya c. kolektifisme, sebuah senyum dapat berarti, perbaikan gangguan atau ketidakselarasan, sementara yang individualis cenderung berarti kepuasan pribadi seseorang, perasaan suka atau sukses (cf. 3 Scollon dan Scollon 1995: 143); prosemika/proxemics (pemakaian tempat, seperti menjaga jarak secara fisik antara interlokutor yang merupakan budaya-tertentu); dan konsep waktu (merasakan urgensi waktu yang berlawanan menjadi lebih lambat dan menghargai apa yang telah lampau dalam budaya dengan sejarah yang panjang dan gemilang. Kedua konsep waktu, menunjukkan maju dan mundur, bisa menimbulkan sebuah konflik dalam wacana antar-budaya. 4. Sosialisasi, proses pembelajaran budaya, meliputi; a. Pendidikan (pengajaran dan pembelajaran formal); enculturation (pengajaran dan pembelajaran tidak formal pada masa kanak-kanak seseorang); dan acculturation (pembelajaran sebuah budaya asing dan mengabaikan miliknya sendiri). b. Sosialisasi utama dan tambahan (awal, pembelajaran informal dan pembelajaran tidak formal selama formal, pendidikan sekolah secara berturut-turut). c. Teori tentang orang dan pembelajaran- ini merupakan variable budaya yang bertanggung jawab bagi fakta bahwa anggapan-anggapan budaya berbeda apakah manusia sangat baik atau jahat, apakah kelompok atau individu merupakan unit dasar, seperti dalam tingkatan kehidupan yang dibagi dan apa kepentingan yang diberikan pada tingkat tersebut. Perbedaan lintas-budaya tidak harus dipelajari terpisah dari perbedaan intra-budaya yang diakibatkan oleh variable-variabel sosial budaya yang beragam, seperti umur dan jenis kelamin. Sebagai contoh, selama ketidaklangsungan dikaitkan, pria Yunani dikatakan seperti wanita Amerika (Tannen 1994). Perbedaan gender penting, jika tidak kita dalam bahaya stereotip budaya. Lebih lanjut lagi, pebicara biasanya milik lebih dari satu sistim wacana, kepemilikan kelompok yang berbeda, jaringan hubungan. Semua dalam semua, budaya mungkin bukanlah satu-satunya hal yang sangat berguna bagi pragmatik lintas-budaya, meskipun mendefinisikan budaya adalah penting: Sebagai contoh, jika dua peserta dalam sebuah wacana yang masing-masing saling berbeda dalam pilihannya strategi deduktif atau induktif mereka untuk pendahuluan topik wacana, apakah mereka dari budaya yang berbeda atau tidak, mereka akan mengalami kebingungan bagaimana menginterpretasikan apa yang sedang dikatakan oleh orang lain. Apa yang penting bukanlah perbedaan budaya; tetapi perbedaan dalam strategi budaya retoris khusus. Scollon and Scollon (1995: 162) Kita dapat menyimpulkan bahwa kita memerlukan sebuah unit perbandingan yang lebih lembut dari pada budaya. Sistim wacana dan ciri-ciri sistim wacana adalah relevan untuk pragmatik antar-budaya daripada budaya secara keseluruhan. Metabahasa Universal Dalam kamus besar Bahasa Indonesia, Metabahasa didefinisikan sebagai bahasa atau perangkat lambang yg dipakai untuk menguraikan bahasa. Dengan kata lain, Metabahasa adalah bahasa untuk mendeskripsikan bahasa lain. Masalah lain dengan studi lintas-budaya adalah bahasa yang kita gambarkan dalam perbedaan budaya. Bahasa yang kita gambarkan tidak diperoleh dari bahasa yang menjadi obyek deskripsi. Kita memerlukan sasaran (sejauh mungkin) dan alat yang universal untuk berbicara mengenai arti dalam berbagai bahasa. Dengan kata lain, kita memerlukan sebuah metabahasa yang universal. Jika kita katakan bahwa orang Jepang tidak langsung dan orang Amerika langsung, istilah ‘kelangsungan’ tidak berarti sama ketika diterapkan dalam kedua budaya tersebut. ‘Kelangsungan’ harus didefinisikan berbeda untuk masing-masing deskripsi. Kelangsungan itu harus direlatifkan untuk budaya, tergantung dari fungsi yang dijalankan. Bagi Wierzbicka, pragmatik adalah studi tentang interaksi linguistik, hanya dapat dilakukan dengan pendekatan latihan dalam semantik. Dengan kata lain, untuk membandingkan makna, seseorang harus dapat mendefinisikannya lebih dulu: Untuk menyatakan makna sebuah kata, sebuah ekspresi atau konstruksi, seseorang memerlukan metabahasa semantik berdasarkan sebuah sistem hipotesis tentang primitif semantik semesta. Wierzbicka (1991: 6-7) Metabahasa ini diekspresikan seperti mengurangi bahasa Inggris dasar, yang disusun dari konsepsi dasar dan universal semantik. Hal tersebut merupakan kata-kata yang memiliki kesepadanannya dalam semua bahasa dan yang tidak dapat pecah-pecah lebih lanjut menjadi komponen-komponen. Seperti 4 Universal Atomik disebut dengan primitif semantik (semantic primitives) atau semantik utama (semantic primes). Pencarian yang utama adalah berdasarkan yang telah dilakukan sebelumnya. Telah dianggap bahwa konsep primitive dapat ditemukan melalui analisa berbagai bahasa dan bahwa serangkaian primitif ditegaskan untuk bahasa secara khusus akan menjadi realisasi seseorang, serangkaian konsep-konsep manusia dasar (lihat Wierzbicka 1996: 13). Dengan kata lain, sistem semantik bahasa dikatakan ditemukan seperti pada serangkaian konsepkonsep primitif yang tidak dapat diuraikan. Sebagai contoh, kita mempertimbangkan konsep seperti ‘want’ atau ‘something’ yang tidak dapat diuraikan dalam bahasa Inggris, dan ingin tahu apakah mereka universal dan apakah mereka atomik (primitif). Selanjutnya, kita cek jika bahasa lain memiliki kata atau morfem terikat untuk konsep tersebut dan jika mereka tidak dapat diuraikan. Serangkaian hipotetik primitif secara ekstensif diuji untuk banyak bahasa yang berasal dari kelurga bahasa yang berbeda dan hipotesisnya didukung dengan kuat. Pembagian serangkaian primitif memberikan penjelasan kemungkinan tentang fakta bahwa komunikasi antar-budaya adalah mungkin. Ada sebuah pandangan yang menyatakan bahwa semua leksikal dalam semua bahasa dapat dianalisis sebagai seperangkat komponen, yang disebut universalisme Semantik. Meskipun sistem semantik adalah budaya yang spesifik, mereka semua dibangun dari serangkaian dasar yang sama. Ini berarti, adopsi dari universalisme dan relatifisme. Untuk menjumlahkan, ide tentang semantik metabahasa yang alami didasarkan pada serangkaian asumsi mengenai konsep dan realisasi linguistik yang terbaik dipaparkan pada serangkaian kutipan berikut: “Jika bahasa merupakan alat mengekspresikan makna, kemudian makna secara luas, harus bebas dari bahasa dan dapat ditransfer dari satu bahasa ke bahasa yang lain” Makna yang komplek disusun dalam kata-kata yang terpisah mungkin berbeda dalam bahasa satu ke bahasa lain karena setiap bahasa mungkin memilih kata yang terpisah untuk kombinasi yang berbedabeda dari ide-ide sederhana. Tetapi ‘ide sederhana’, ujaran manusia dan pikiran manusia dapat dipastikan sama untuk semua orang di bumi. Sangat memungkinkan memberi definisi untuk setiap kata dalam setiap bahasa dengan menggunakan kata yang lain dari bahasa yang sama, seperti halnya sebuah rangkaian definisi dari awal hingga akhir. Dikarenakan kosakata dari bahasa sangat terbatas, maka dengan metalanguage dapat digunakan untuk menjelaskan objek yang akan dijelaskan, dengan cara ini sehingga tidak akan meninggalkan definisi yang sebenarnya. Kata yang tidak bisa di definisikan atau dipecah-pecah menjadi sesuatu yang lebih sederhana, ini dinamakan primitif semantik. Fodor dalam Riemer berpendapat bahwa setiap leksikon mempunyai butir leksikal, ini di sebut primitif semantik atau bagian kecil yang tidak dapat di definisikan. Konsep teori makna dalam bidang linguistik didukung oleh kepercayaan bahwa makna setiap kata tidak selalu tidak dapat di jelaskan atau primitif, tetapi merupakan gabungan dari konsep primitif semantik. Primitif semantik merupakan landasan dasar dalam pembentukan makna. Teori linguistik modern yang sedang berkembang saat ini adalah Natural Semantik Metalanguage (NSM) yang diungkapkan oleh Wierzbicka dan Goddard. Pragmatik Antar Bahasa (Interlanguage Pragmatics) Adapula kajian-kajian tentang strategi-strategi pembelajaran pada bahasa kedua yang disebut pragmatik antar bahasa. Pragmatik antar bahasa membandingkan realisasi tindak tutur secara lintas budaya. Sebagai contoh, keluhan ditunjukkan dengan prinsip-prinsip yang sama dalam bahasa Inggris, Inggris Amerika dan Ibrani. Beberapa strategi linguistik, seperti isyarat, ditemukan secara universal yang berbeda hanya pada situasi dimana isyarat tersebut dilakukan. Pragmatik antar bahasa mengungkap tingkat-tingkat dan proses-proses pemerolehan strategi percakapan oleh pembelajar asing. Jelas pragmatik antar bahasa dapat diterapkan secara praktis pada pengajaran bahasa. Contoh penelitian pragmatik antar bahasa adalah yang dilakukan oleh F.X Nadar tahun 2006. Beliau meneliti tentang penyampaian kritik oleh orang Jawa dalam bahasa Inggris. Menyampaikan kritik kepada seseorang bukan merupakan hal yang mudah terlebih oleh orang yang berlatar belakang budaya Jawa. Sejalan dengan karakteristik budaya Jawa yang mengutamakan kerukunan dan harmoni penutur 5 Jawa merasa kurang nyaman mengkritik lawan tutur baik yang statusnya lebih tinggi ataupun lebih rendah,meskipun dalam bahasa asing. Epidemiologi Representasi Epidemiologi representasi dapat diartikan sebagai penyebaran gagasan kepada sebuah populasi yang akhirnya membentuk sebuah kebudayaan. Berikut ini merupakan kesimpulan penjelasan dari pemahaman kajian lintas budaya dari pandangan Dan Sperber terhadap kebudayaan antropologi. Gagasan dapat ditransfer, yang ditransfer dari satu orang ke orang lain bahkan dapat disebarluaskan oleh penerima. Beberapa gagasan – kepercayaan agama, resep masakan atau hipotesa ilmiah, disebarluaskan dengan efektif sehingga dalam versi yang berbeda mereka akhirnya tersebar dalam waktu yang lama. Kebudayaan terbentuk seperti gagasan yang menular. Untuk menjelaskan kebudayaan, dan untuk menjelaskan kenapa dan bagaimana beberapa gagasan itu begitu menular. Hal ini membutuhkan perkembangan representasi epidemiologi yang benar. (Spreber, 1996:1). Dengan kata lain, untuk menjelaskan bagaimana budaya itu terbentuk kita harus mempelajari penyebaran kepercayaan dan gagasan-gagasan yang populer. Memori dan komunikasi yang berlangsung mempengaruhi informasi asli dan merubahnya. Sehingga budaya yang dijelaskan meringkaskan penjelasan distribusi gagasan dalam populasi, menjelaskan bagaimana individu memproses pengambilan gagasan hingga penyebaran terakhir. Ini adalah gagasan yang paling terkenal dalam antropologi dan sosiopragmatik. Hal ini intinya adalah pendekatan Darwinian dihubungkan dengan pendekatan CavalliSforza dan Dawkins, saat gagasan Darwin mengenai seleksi diterapkan di kebudayaan. Sperber menyebutnya pendekatan naturalistik, karena masalah-masalah sosial didekati melalui kajian kognisi, kerja pikiran, melalui proses psikologi individu yang bergabung membentuk masyarakat. Karena memori dan komunikasi menyalurkan gagasan asli, gagasan disimpan sebgai representasi dan dalam membahas budaya kita membicarakan psikologi kognitif. Inilah bagaimana masalah-masalah sosial di naturalisasikan. Dengan kata lain: Fenomena sosial-budaya, dalam pendekatan ini, adalah pola-pola ekologi dari fenomena psikologi. Fakta-fakta sosiologi, didefinisikan dalam istilah fakta psikologi. (Sperber, 1996:31) Manusia memiliki representasi situasi. Representasi yang sering diulang, dikomunikasikan menjadi representasi budaya dalam kelompok masyarakat. Representasi merupakan kepercayaan, norma, mitos, teknik, klasifikasi bersama dan sebagainya. Representasi disampaikan dengan memproduksi representasi lainnya yang berupa deskripsi atau interpretasi dari representasi yang asli. Interpretasi muncul saat kita perlu memperluas isi dari beberapa kepercayaan suku sehingga dapat dipahami. Kita sering melakukan interpretasi yang spekulatif dan tidak lengkap untuk memahami representasi lainnya, khususnya ketika mereka adalah representasi budaya yang berbeda. Sperber juga menjelaskan bentuk dari konsep dengan bantuan epidemiologi. Ia menyarankan adanya konsep dasar yang berkembang sesuai dengan prinsip-prinsip yang bawaan: Saya mengasumsikan bahwa kita memiliki disposisi bawaan (innate disposition) untuk mengembangkan konsep berdasar skema tertentu. Kami memiliki skema yang berbeda untuk medan makna(domain) yang berbeda: jenis konsep hidup kami cenderung menjadi taksonomis; konsep artefak kami cenderung menjadi ciri dalam istilah fungsi; konsep warna kami cenderung menjadi pusat dalam focal hues; dll. Konsep yang memenuhi skema ini dengan mudah diinternalisasi dan diingat. Kita sebut dengan konsep dasar. Bagian besar dari konsep dasar ditemukan di setiap bahasa. Tentunya konsep dasar itu berbeda dari satu bahasa ke bahasa lain, tetapi tidak terlalu berbeda. Konsep dasar bahasa lainnya cenderung mudah untuk dipahami, dipelajari dan diterjemahkan secara komparatif. Sperber (1996:69). Pandangan Sperber berbeda dengan konsep Wierzbicka, menurut Sperber prime semantiknya universal dan bawaan. Sperber menghilangkan dekomposisi leksikal(lihat bab I) sebagai metode mencari prime semantik dengan menunjukkan bahwa seperangkat konsep bawaan akan menjadi sangat besar dan terlebih lagi tidaklah beralasan untuk mengharapkan anak kecil menciptakan konsep. Sebagai contoh kata MOTHER (ibu), ada diluar dari konsep PARENT (orangtua) dan FEMALE (perempuan). Lebih mungkin bahwa PARENT (orangtua) merupakan konsep yang lebih rumit, hasil dari kombinasi dari konsep MOTHER (Ibu) dan FATHER (Ayah) (lihat Sperber 1996:68). Terlebih lagi, beberapa konsep rumit, sebagai contoh konsep agama dan ilmiah, memerlukan representasi yang rumit di dunia. 6 Mengulang penjelasan diatas, sebagai tambahan terhadap memiliki representasi langsung dari kenyataan, manusia juga dapat menggambarkan representasi orang lain, representasi mereka sendiri dan keadaan mental. Inilah yang disebut dengan metarepresenting dan sebagai contoh sikap ketidakpercayaan atau keragu-raguan terhadap representasi. Metarepresenting juga membolehkan kita untuk menyimpan representasi yang tidak sepenuhnya dipahami. Beberapa gagasan yang setengah dipahami selangkah menuju ke pemahaman penuh, lainnya menciptakan misteri yang menyebar di masyarakat. Representasi yang sesuai dengan representasi budaya lainnya dan yang tidak sepenuhnya diinterpretasikan adalah yang paling berhasil dan mengarahkan apa yang kita lihat sebagai kepercayaan budaya irasional. Tetapi, ketika kita melihatnya sebagai gagasan yang setengah dimengerti, hal itu tampaknya tidak rasional (cf. Sperber 1996:73). Sperber (1985:35) memberikan beberapa contoh. Anggota suku di Ethiopia Selatan mendatangi dan memintanya untuk membunuh naga yang hatinya terbuat dari emas, yang memiliki tanduk di lehernya dan tinggal di suatu tempat di dekat sini. Sperber percaya bahwa anggota suku itu orang yang rasional, terhormat, tapi bagaimana bisa orang yang rasional percaya bahwa seekor naga hidup di dekatnya? Hal ini adalah contoh dari adanya kepercayaan irasional. Banyak antropolog mengatakan bahwa orang yang berbudaya berbeda hidup di dunia yang berbeda, kepercayaan terhadap naga dapat menjadi rasional di beberapa kebudayaan. Antropolog lainnya mengacu pada simbolisme. Malahan Sperber mengusulkan rasionalisme. Ia mengatakan bahwa orang dapat memiliki berbagai jenis dan tingkat komitmen terhadap kepercayaan. Tidak semua kepercayaan diselenggarakan dengan cara yang sama, sehingga kriteria rasionalnya dapat berbeda. (Seolah-olah mengkonfirmasikan klaim, Sperber segera bereaksi terhadap permintaan anggota suku bahwa ia tidak memiliki senjata!) Kepercayaan biasanya telah dianggap, paling tidak sejak Russel, sebagai jenis yang sikap propositional, sebuah sikap untuk sebuah entitas yang bisa benar atau salah. Sperber mengikis tradisi ini: Objek dari ’sikap proposisional’, gagasan yang kita pegang atau perhitungkan, tidak selalu proposisional dalam karakter. Akan keliru untuk mendefinisikan ’berbicara’ sebagai ’kalimat ujaran’, itu sebuah kekeliruan, saya sarankan, untuk menentukan berpikir dalam istilah dari sikap ke proposisi: banyak ujaran kita yang tidak sama dengan kalimat tetapi untaian semi-grammatikal; serupa dengan itu, banyak pemikiran kita yang disebut dengan semi-proposisional, mereka memperkirakan tetapi tidak dapat mencapai proposisionalitas…Jika benar bahwa objek kepercayaan itu proposisi, maka kita hanya dapat percaya gagasan yang kita pahami seluruhnya. Saya berpendapat kita juga dapat berpegang pada kepercayaan sebagai gagasan yang tidak sepenuhnya dipahami. Sperber (1985:51). Kepercayaan orang suku terhadap naga emas tersebut disebut kepercayaan yang setengah dipahami. Jadi ada representasi proposisional yang sesuai dengan gagasan yang sepenuhnya dipahami dan representasi semi-proposisional yang sesuai dengan gagasan yang tidak sepenuhnya dipahami. Ada representasi konseptual yang tidak mengenal proposisi unik, beberapa konsep menghilang. Representasi tersebut bukanlah kepercayaan faktual tapi kepercayaan representasional. Oleh karenanya, ada empat kelas kepercayaan potensial: (i) kepercayaan faktual dengan isi proporsisional yang rasional dan berdasarkan pengamatan; (ii) kepercayaan faktual dengan isi semi-proporsisional(yang biasanya tidak terjadi); (iii) kepercayaan representasional dengan isi proposisional, seperti asumsi ilmiah yang tidak sepenuhnya dipercaya; (iv) kepercayaan representasional dengan isi semi-proposisional, seperti kepercayaan beragama dan misteri(Sperber 1985:58). Kepercayaan kultural merupakan kepercayaan representasional. Kepercayaan faktual disebut juga intuitif, sedangkan kepercayaan representasional disebut reflektif. Kepercayaan intuitif berdasar pada mekanisme bawaan dan universal dan yang berdasar pada persepsi dan inferens dan oleh karenanya serupa di berbagai budaya. Kepercayaan reflektif tidaklah faktual dan bukan dasar tapi dipercaya karena tertempel pada kepercayaan intuitif. Kepercayaan itu mungkin hanya setengahnya dipahami dan mengarahkan ke pengetahuan ilmiah atau misteri bahkan religius. Kepercayaan misterius merupakan kepercayaan yang berbeda lintas budaya dan dapat muncul irasional dari sudut pandang budaya lain(Sperber 2996:91-92,1997). Dengan kata lain: Menjelaskan kepercayaan kultural, baik intuitif atau reflektif, dan jika reflektif, baik setengah dipahami atau dipahami seluruhnya, melibatkan dua hal: bagaimana kepercayaan diketahui oleh individuindividu dan bagaimana kepercayaan dikomunikasikan di dalam suatu kelompok; atau mengatakannya dalam sloga: Budaya merupakan kognisi dan komunikasi yang lebih cepat di dalam suatu populasi manusia. Sperber(1996:97) 7 Penelitian pragmatik tidak terlepas dari keterlibatan masalah perbedaan kepercayaan dan komunikasi lintas budaya. KESIMPULAN Pragmatik lintas budaya adalah ilmu yang mempelajari mengenai tindak tutur namun tidak hanya terfokus pada satu bahasa saja melainkan tindak tutur yang dilakukan oleh lebih dari satu masyarakat pengguna bahasa. Pragmatik lintas budaya sangat diperlukan untuk meneliti tindak tutur dalamkonteks budaya. Ada beberapa jenis kepercayaan yang ketika diungkapkan tidak mudah diinterpretasi oleh anggota masyarakat yang lain, baik karena konsep budaya khusus atau karena metapresentasi. Meski tampaknya tidak benar bahwa orang yang berbeda budaya hidup di dunia yang berbeda, kita harus tahu sesuatu tentang budaya yang dapat menggolongkan dan menggambarkan kepercayaan Anthropology berarti “Suatu ilmu tentang manusia”, suatu istilah yang sangat tua. Dahulu istilah ini digunakan dalam arti yang lain, yaitu tentang cirri-ciri tubuh manusia, juga dalam arti ilmu anatomi. Dalam perkembangannya, dewasa ini antropologi digunakan sebagai suatu ilmu praktis untukmengumpulkan data tentang kebudayaan daerah dan masyarakat pedesaan sehingga dapat ditemukan dasar-dasar bagi kebudayaan nasional yang mempunyai kepribadian yang khusus untuk dapat dibangun suatu masyarakat desa yang modern. Metabahasa adalah bahasa untuk mendeskripsikan bahasa lain. Masalah lain dengan studi lintasbudaya adalah bahasa yang kita gambarkan dalam perbedaan budaya. Bahasa yang kita gambarkan tidak diperoleh dari bahasa yang menjadi obyek deskripsi. Kita memerlukan sasaran (sejauh mungkin) dan alat yang universal untuk berbicara mengenai arti dalam berbagai bahasa. Dengan kata lain, kita memerlukan sebuah metabahasa yang universal. Jika kita katakan bahwa orang Jepang tidak langsung dan orang Amerika langsung, istilah ‘kelangsungan’ tidak berarti sama ketika diterapkan dalam kedua budaya tersebut. ‘Kelangsungan’ harus didefinisikan berbeda untuk masing-masing deskripsi. Pragmatik antar bahasa membandingkan realisasi tindak tutur secara lintas budaya. Sebagai contoh, keluhan ditunjukkan dengan prinsip-prinsip yang sama dalam bahasa Inggris, Inggris Amerika dan Ibrani. Beberapa strategi linguistik, seperti isyarat, ditemukan secara universal yang berbeda hanya pada situasi dimana isyarat tersebut dilakukan. Pragmatik antar bahasa mengungkap tingkat-tingkat dan prosesproses pemerolehan strategi percakapan oleh pembelajar asing. Jelas pragmatik antar bahasa dapat diterapkan secara praktis pada pengajaran bahasa. Epidemiologi representasi dapat diartikan sebagai penyebaran gagasan kepada sebuah populasi yang akhirnya membentuk sebuah kebudayaan. 8 Bibliografi Adorno, Theodor W. 1996. Negative Dialectics. Richard Howard (penerjemah), Routledge, London and New York. Bramantyo, Triyono. 2003. Konteks Semiotika Kesenian Dalam Kajian Kebudayaan. Yogyakarta: ISI. Brewer, William & Edward H.Lichtenstein. 1982.Stories are to Entertain: A Structural Affect Theory of Stories. Journal of Pragmatics. Eco, Umberto. 1976. A Theory of Semiotics. Bloomington: Indiana University Press. Fathoni, Abdurrahmat. 2006. Antropologi Sosial Budaya. Jakarta: Rineka Cipta Kant, Immanuel. 1933. Critique of Pure Reason. Norman Kemp-smith (penerjemah), MacMillan. London and Basingstoke. K.M. Jaszczolt. 2002. Semantics and Pragmatics. Britain:Longman Nadar, F. X. 2009. Pragmatik dan Penelitian Pragmatik. Yogyakarta: Graha Ilmu. Rohani ,Anita. Deswita davi isa. 2014. Pragmatik Lintas Budaya. Jakarta : UNJ Searle, J.R., 1969. Speech Acts. London: Cambridge University press. 9 Curriculum Vitae Nama Tempat Tanggal Lahir : Dede Rosyadi ZA : Cirebon, 16 April 1988 Dosen di Prodi Pendidikan Bahasa Inggris FKIP UMC. Pendidikan 1. Sarjana, Universitas Diponegoro Semarang 2. Magister, Universitas Sebelas Maret Surakarta 3. Program Doktoral Ilmu Budaya Universitas Padjadjaran (Sedang dalam proses) 10