Akibat dari intensitas curah hujan yang

advertisement
BAB 1
PENDAHULUAN
1.1 Latar Belakang
Ibu kota, Jakarta sangatlah terbuka bagi semua warga Negara, sehingga laju
pertumbuhan penduduk di Jakarta dari tahun ke tahun termasuk sangat tinggi dan
padat. Bertambahnya jumlah penduduk diakibatkan karena banyaknya warga dari
desa maupun dari kota diluar Jakarta yang datang untuk mencari pekerjaan.
Bertambahnya perpindahan penduduk yang memicu pertumbuhan penduduk di
Jakarta tidak seimbang dengan tersediannya tempat tinggal yang layak dan
memadai. Pembangunan hunian liar dan tidak terencana dengan baik, perubahan
tataguna lahan serta perubahan iklim (climate change) yang signifikan
menyebabkan
dampak
dari
pemanasan
global
yang
secara
langsung
menimbulkan akumulasi masalah lingkungan bagi Ibukota Jakarta, seperti
permasalahan akan tingginya curah hujan yang menyebabkan terjadinya banjir di
Ibukota akibat dari kurangnya daya penyerapan air pada ruang terbuka hijau
akibat banyaknya pembangunan, serta penurunan permukaan tanah akibat dari
penyedotan air tanah yang secara terus-menerus.
Berdasarkan penelitian para ahli International Institute for Environment and
Development Britinia yang bekerjasama dengan City University of New York
dan Colombia University, Jakarta dapat dikategorikan sebagai salah satu kota di
dunia yang akan merasakan dampak yang paling signifikan dari pemanasan
global karena kualitas lingkungan di wilayah Jakarta semakin menurun dan kian
hari semakin mengkhawatirkan.
Pada tabel 1.1 dijelaskan bahwa pada tahun 2000 kepadatan jumlah
penduduk di Jakarta sekitar 8.361 juta jiwa, dan diperkirakan pada tahun
berikutnya akan terus meningkat dan pada tahun 2025 akan diperkirakan
berjumlah 9.260 juta jiwa atau meningkat sekitar 11%.
1
2
Tabel 1.1 : Tabel laju pertumbuhan penduduk menurut Provinsi 2000 - 2025
Sumber : www.google.co.id –Statistics Indonesia, diakses 17 Maret 2014
Jumlah penduduk DKI Jakarta yang terus meningkat ini perlu dicermati
karena dapat menimbulkan permasalahan di berbagai bidang. Masalah yang
berkaitan erat dengan jumlah penduduk yang tinggi antara lain masalah
pemukiman, kesehatan, pendidikan, transportasi, dan ketenagakerjaan serta
sanitasi lingkungan, dan salah satu masalah yang muncul dan perlu di waspadai
oleh Pemda DKI Jakarta adalah munculnya pemukiman-pemukiman kumuh
(slum area) di beberapa wilayah DKI Jakarta.
Pesatnya laju pembangunan fisik dan semakin bertambahnya padatnya
penduduk di kota Jakarta memberikan suatu dampak pada berkurangnya daya
dukung lahan dan lingkungan diwilayah tersebut ditunjang dengan kondisi
ekonomi masyarakat yang sangat rendah. Solusi dari masalah tersebut adalah
dengan membangun hunian vertikal yaitu rumah susun. Menurut Prof IR. Eko
Budihardjo, M.Sc. dalam bukunya yang berjudul Arsitektur dan Kota di
Indonesia menyatakan bahwa salah satu upaya untuk peremajaan kota yang
paling besar adalah dengan pembangunan rumah susun dengan merubah kondisi
pemukiman kumuh di kota yang padat penduduk atau dikenal dengan istilah
urban renewal. Rumah susun merupakan bangunan yang dapat memuat
beberapa grup hunian yang berupa rumah flat atau rumah bertingkat yang
diwujudkan untuk mengatasi masalah perumahan akibat kepadatan tingkat
hunian dan keterbatasan lahan dengan harga yang terjangkau didaerah
perkotaan. Rumah susun dipandang mampu memberikan peluang bagi anggota
masyarakat untuk mendapatkan rumah layak huni. Hal ini sesuai dengan tujuan
3
yang dikemukakan dalam UU RI Nomor 20 Tahun 2011 tentang Rumah Susun
Pasal 3 yang menyebutkan bahwa tujuan penyelenggaraan rumah susun adalah
untuk menjamin terwujudnya rumah susun yang layak huni dan terjangkau, guna
membangun ketahanan ekonomi, sosial dan budaya.
Upaya penanggulangan kemiskinan ini diperkuat pula dengan Keputusan
Gubernur DKI Jakarta nomor 1791/2004 tentang Strategi Penangulangan
Kemiskinan di Provinsi Daerah Khusus Ibukota Jakarta dan sesuai dengan visi
dan misi dari RTRW 2030 .
Dalam kaitan tersebut program penanggulangan kemiskinan yang telah
dipersiapkan antara lain :
a. Dibidang kesehatan untuk keluarga miskin di DKI Jakarta disiapkan layanan
kesehatan dengan memberikan Jaminan Pelayanan Kesehatan bagi keluarga
miskin (JPK-Gakin) dan Surat Keterangan Tidak Mampu (SKTM).
b. Dibidang pendidikan disiapkan bantuan untuk keluarga yang tidak mampu,
mendapat biaya gratis untuk tetap bersekolah.
c. Memberikan kredit bergulir tanpa bunga, yang dapat digunakan untuk
berusaha dengan dikoordinir oleh kelurahan dan dilaksanakan oleh warga
masyarakat.
d. Menyiapkan kebijakan 1000 Menara Rumah Susun, bersubsidi untuk warga
kota yang berpenghasilan rendah.
e. Menyiapkan keterampilan bagi masyarakat yang kurang mampu, agar dapat
berusaha di DKI Jakarta.
f. Menyiapkan
dana
perkuatan
kelurahan
untuk
membantu
keluarga
memperbaiki tingkat kesejahteraannya, dimana di DKI Jakarta terdapat 267
kelurahan dan masing-masing kelurahan mendapatkan dana sebesar Rp. 1,4
miliar.
g. Menyiapkan dana yang akan digulirkan kepada masyarakat di tingkat
kecamatan untuk perbaikan tingkat kehidupan masyarakat di era otonomi
daerah, dimana di DKI Jakarta terdapat 44 kecamatan dan masing-masing
mendapatkan dana sebesar Rp. 3,7 miliar.
h. Melakukan program transmigrasi bagi penduduk DKI Jakarta.
Pertimbangan pemilihan lokasi harus disesuaikan dengan masalah yang
terjadi di wilayah tersebut.
4
Gambar 1.1 : Jumlah Keluarga di Pemukiman Kumuh Jakarta Tahun 2011
Sumber : http://yansyahrial.blogspot.com/2013/08/v-behaviorurldefaultvmlo.html
(2013). diakses tanggal 4 April 2014
Pada gambar 1.1 dapat disimpulkan bahwa daerah Jakarta Barat termasuk
kedalam 3 (tiga) besar dalam jumlah pemukiman kumuh di daerah DKI Jakarta
yaitu sekitar 23.734 jiwa. Menurut Darma Sembiring (Asisten Kesehatan
Masyarakat Jakarta Barat) menyatakan bahwa di daerah Jakarta Barat saat ini
masih terdapat 95 RW kumuh yang tersebar di 40 kelurahan yang dirinci
menjadi 37 RW kumuh ringan, 48 RW kumuh sedang dan 10 RW kumuh
berat.dan total dari 95 RW kumuh tersebut berpenghuni sekitar 147.593 jiwa.
Salah satu dari 95 RW kumuh tersebut terdapat di wilayah Cengkareng,
khususnya Kelurahan Cengkareng Timur RW 03 dengan kepadatan penduduk
sekitar 44.810 jiwa dengan 16.250 KK. Cengkareng adalah kecamatan dengan
keluarga terbanyak yang tinggal di pemukiman kumuh di DKI Jakarta. Sebanyak
9,7 persen atau 10.953 penduduk Cengkareng tinggal di pemukiman kumuh.
Rusunami Cengkareng termasuk dalam program pembangunan 1000 tower
yang dicanangkan pemerintah tahun lalu untuk mengatasi masalah perumahan
rakyat di Jakarta. Dari 10 tower yang direncanakan dibangun diatas lahan seluas
3,7 hektar di Cengkareng, baru 2 tower yang selesai. Menurut Dirut Perum
Perumnas, Himawan Arif, saat ini Perumnas tengah fokus pada pembangunan
Rusunami di Pulo Gebang, Kemayoran dan Cengkareng dengan total jumlah 31
tower. Di daerah Cengkareng baru akan direncanakan kembali pembangunan
1000 rusun. Lokasi berada di daerah cengkareng khususnya di daerah
Cengkareng Timur, Jakarta Barat.
5
Gambar 1.2 : Peta lokasi lahan, Cengkareng Timur
Sumber : Google Earth. Diakses 26 Maret 2014
Lahan ini dikhususkan untuk pembangunan rumah susun. Bisa dilihat
dari kondisi disekitar lahan tersebut dimana sudah terbangun 2 rusun pada
wilayah tersebut yaitu rusun Cengkareng Indah dan rusun Tsu Zhi. Untuk
membantu program dari pemerintah yang akan membangun kembali rusun pada
daerah Cengkareng Timur, lahan ini sangatlah sesuai karena kondisi sekitar yang
sangat mendukung.
Permasalahan yang akan diangkat menjadi isu topik yang paling terlihat di
Jakarta saat ini adalah permasalahan yang terkait dalam aspek sumber daya air,
seperti banjir, pencemaran air, penurunan permukaan tanah. Banjir Jakarta
terjadi akibat adanya penurunan muka tanah, saluran drainase yang tidak
memadai, tingginya curah hujan lokal dan dihulu, sumbatan sampah. Tingginya
tingkat pencemaran air akibat dari pengolahan limbah industri maupun domestik
semakin memperparah krisis air di Jakarta sehingga penduduk Jakarta
menggunakan air tanah secara tak terkendali yang secara tidak langsung
berdampak pada penurunan permukaan tanah akibat tingginya pencemaran air.
6
Gambar 1.3 : Peta penurunan tanah Jakarta 1974 - 2010
Sumber : Jakarta Coastal Defense Strategy, Januari 2013. Diakses 5 April 2014
Pada gambar 1.2 dapat dilihat bahwa penurunan permukaan tanah terdapat
di beberapa titik di Jakarta. Dan penurunan permukaan tanah terbesar adalah
sekitar 4,1 meter.
Selain faktor penurunan tanah, terdapat faktor yang mempengaruhi
terjadinya banjir yaitu curah hujan. Curah hujan di wilayah Jakarta pada
umumnya bertipe monsunal dengan satu puncak pada bulan November hingga
Maret (NDJFM) yang dipengaruhi oleh monsun barat laut yang basah dan satu
palung pada bulan Mei hingga September (MJJAS) yang dipengaruhi oleh
monsun tenggara yang kering, sehingga dapat dibedakan dengan jelas antara
musim kemarau dan musim hujan.
Jumlah curah hujan dalam satu bulan akan berpengaruh terhadap distribusi
frekuensi curah hujan itu sendiri. Berdasarkan Gambar 1.3 frekuensi kejadian
hujan lebat dan sangat lebat lebih dominan terjadi pada bulan Januari, Februari
dan Desember, hal tersebut bersesuaian dengan puncak curah hujan di wilayah
kajian. Yang menarik disini adalah pada bulan transisi-kering kejadian hujan
lebat masih mungkin terjadi, hal tersebut dimungkinkan karena pada bulan
7
transisi-kering aktivitas konvektif yang dapat memicu hujan lebat masih dapat
berpeluang akan terjadi.
Keterangan : Hujan ringan : 5-20mm perhari
Hujan sedang : 20-50mm perhari
Hujan lebat : 50-100mm perhari
Hujan sangat lebat : >100 mm perhari
Gambar 1.4 : Distribusi frekuensi kejadian curah hujan
Sumber : www.bmkg.go.id/BMKG_Pusat/Main.bmkg
Akibat dari intensitas curah hujan yang berkepanjangan, warga masyarakat
khususnya pada pemukiman kumuh mendapatkan dampak yang paling terlihat
karena sebenarnya kawasan pada pemukiman kumuh tersebut merupakan
kawasan untuk ruang terbuka hijau dan daya resapan air hujan, tetapi
penyalahgunaan lahan tersebut mengakibatkan kurangnya daya resapan air yang
berasal dari air hujan yang tidak terserap oleh tanah karena pengerasan
permukaan tanah sehingga menimbulkan banjir.
Corporate Communications and Social Responsibilities Head PT PAM
Lyonnaise Jaya (Palyja), Meyritha Maryanie mengatakan bahwa akibat
terendamnya Instalasi Pengolahan Air (IPA), operational penyediaan air bersih
di beberapa wilayah Jakarta Barat seperti Kembang Utara, Rawa Buaya,
Cengkareng Timur, Cengkareng Barat dan sekitarnya di berhentikan.
Sebagai upaya untuk pengendalian kualitas air dan penyediaan air tanah di
Jakarta, maka bagi setiap bangunan yang telah maupun yang sedang dalam
proses pembangunan diwajibkan dan diharuskan untuk membuat sumur resapan
8
air dimana hal ini sangat penting untuk menjaga kondisi permukaan tanah agar
permukaan tanah tidak semakin menurun setiap tahunnya (lihat gambar 1.4 dan
1.5).
Gambar 1.5 : Ilustrasi fase penurunan tanah
Sumber : http://syawal88.wordpress.com/2013/04/14/subsidence-turunnya-mukatanah/
Gambar 1.6 : Ilustrasi penurunan tanah atau land subsidence
Sumber : http://www.lingkungan.co.id/2014/02/penyelamatan-air-tanah-denganaquifer.html
Sebagai upaya untuk meningkatkan kualitas daya resap air ke dalam tanah,
maka perlu mengembangkan kawasan resapan air yang dapat menampung
buangan air hujan dari saluran drainase. Selain upaya tersebut, upaya lain dapat
9
dilakukan adalah dengan penanganan air hujan dimana air hujan tersebut
dimanfaatkan untuk memenuhi kebutuhan keseharian bagi penghuni. Pada
kebutuhan sehari-hari, “Air” merupakan sumber daya yang sangat penting bagi
kehidupan manusia, misalnya air tersebut akan digunakan sebagai mandi, cuci
tangan, cuci piring, flush toilet, cuci baju dan pengairan pada daerah taman.
Alasan penggunaan air hujan sebagai topik dari perancangan ini karena air
hujan termasuk dalam salah satu sumber daya alam yang dapat dimanfaatkan
kembali sehingga sesuai dengan prinsip dari sunstainable itu sendiri karena
tujuan dari sustainable adalah agar dapat memenuhi kebutuhan manusia saat ini
dan generasi berikutnya agar hidupnya dapat sejahtera serta kelestarian fungsi
lingkungan tetap terjamin dan terjaga (kualitas lingkungan tidak rusak maupun
menurun). Air hujan merupakan sumber daya alam yang tidak dapat habis
sehingga dapat dimanfaatkan secara optimal.
Dengan adanya kajian kondisi-kondisi yang sudah terpapar diatas
sebelumnya, maka penulis berkesimpulan untuk mengadakan suatu penerapan
sustainable develpoment dengan pendekatan pemanfaatan air hujan untuk
memanfaatkan potensi iklim Indonesia yang memiliki curah hujan yang relatif
tinggi.
1.2 Rumusan Masalah
Berdasarkan identifikasi masalah yang muncul tersebut, maka masalah dalam
penelitian ini dirumuskan sebagai berikut :
 Apakah dengan memanen air hujan dengan sistem rainwater harvesting dapat
menggantikan kebutuhan air penghuni pada rumah susun?
 Bagaimana merancang sebuah rumah susun dengan menggabungkan prinsip
dari sistem rainwater harvesting?
1.3 Maksud dan Tujuan

Maksud arsitektural dari proyek:
Memanfaatkan potensi tapak dan iklim di Indonesia yang memiliki curah hujan
tinggi dengan pendekatan basic prinsip manajemen efisiensi air (water
management) dengan mengadakan rainwater haversting pada bangunan rumah
susun.
10

Tujuan arsitektural dari proyek :
Merancang suatu bangunan rumah susun (rusun) dengan menerapkan sistem
rainwater harvesting sebagai upaya untuk penanganan masalah khususnya dalam
aspek sumber daya air
1.4 Ruang Lingkup
Lingkup pembahasan dalam penelitian ini antara lain adalah
1. Rumah Susun
Berlokasi di Jakarta Barat, khusunya pada kelurahan Cengkareng Timur,
Jakarta Barat. Pembangunan rumah susun beserta fasilitas didalamnya
dikaitkan dengan standar-standar yang telah ditetapkan. Variabel dalam
rumah susun ini antara lain penghuni rusun dan kondisi fisik lingkungan
rusun.
2. Rainwater Harvesting
Untuk pemanfaatan air hujan itu sendiri menggunakan prinsip dasar dari
rainwater harvesting dimana bertujuan untuk mengetahui kebutuhan air
yang akan digantikan oleh air hujan.
-
Prinsip dasar rainwater harvesting
Sistem rainwater harvesting merupakan komponen utama dalam
perancangan proyek ini, tentu saja harus ditinjau lebih lanjut sesuai
dengan prosedur mendasar agar pada saat pengaplikasiaannya dapat
berjalan
sebagaimana mestinya. Mengacu pada prinsip-prinsip dasar
yang telah didapat dari beberapa sumber literatur, penerapan dan
perancangan sistem rainwater harvesting ini dapat berkembang sesuai
dengan karakteristik suatu proyek dan aspek arsitektural yang berkaitan
1.5 Sistematika Pembahasan
Sistematika pembahasan dalam penyusunan karya tulis tugas akhir ini
dibedakan menjadi 5 bagian besar, yaitu :
BAB 1 PENDAHULUAN
Pada Bab 1 ini membahas tentang latar belakang proyek, maksud dan
tujuan arsitektural dari proyek. Bagian ini juga memuat lingkup pembahasan
11
yang meliputi gambaran proyek, Selain itu, bagian ini pun memuat sistematika
pembahasan dan kerangka berpikir dari.
BAB 2 TINJAUAN DAN LANDASAN TEORI
Pada Bab 2 membahas tentang tinjauan umum dari proyek, tinjauan
khusus topik dan tema, kelengkapan data lainnya, dan
relevansi pustaka
pendukung (landasan teori, studi literatur, dan studi banding).
BAB 3 METODE PENELITIAN
Pada Bab 3 membahas tentang identifikasi dan rumusan permasalahanpermasalahan yang timbul setelah melakukan kajian dari latar belakang yang
berhubungan dengan aspek lingkungan yang menyangkut lokasi, aspek manusia
termasuk aktifitasnya dan aspek bangunan termasuk fungsinya
BAB 4 ANALISIS
Pada Bab 4 membahas tentang identifikasi ketajaman dan relevansi
pendekatan perancangan arsitektural sesuai dengan topik.yang meliputi : analisis
kondisi dan potensi lingkungan (pengolahan lokasi, tapak, orientasi, sirkulasi,
dan sebagainya), analisis kegiatan dan sistem ruang (hubungan kegiatan,
kebutuhan ruang, hubungan ruang, program ruang, bentuk ruang, dan
sebagainya), dan analisis sistem bangunan (bentuk bangunan, struktur, dan
utilitas bangunan).
BAB 5 KESIMPULAN DAN SARAN
Kesimpulan berisi tentang uraian atau ringkasan dari hasil analisa dan
pembahasan, sedangkan saran berupa masukan bagi peneliti selanjutnya
12
Download