dampak desentralisasi fiskal terhadap transformasi tenaga kerja sektor

advertisement
BAB III KERANGKA TEORITIS
3.1. Kebijakan Fiskal pada Perekonomian
Kebijakan fiskal memiliki peran yang strategis sebagai salah satu
kebijakan pemerintah untuk mendorong percepatan pemulihan ekonomi Indonesia
untuk segera keluar dari krisis. Kebijakan fiskal secara umum disebut sebagai
demand management policy, dimana tujuan utamanya adalah mempertahankan
agar perekonomian berada dalam keseimbangan permintaan dan penawaran dan
mempertahankan tingkat harga yang terjadi (Branson dan Litvack, 1981; Branson,
1979). Kondisi keseimbangan tersebut perlu diupayakan, karena apabila terjadi
ekses permintaan akan menyebabkan inflasi. Sebaliknya, permintaan yang kurang
akan mendorong terjadinya pengangguran dan deflasi.
Pemerintah menerapkan kebijakan fiskal melalui instrumen pengeluaran
pemerintah (G) atau pajak (T).
Bersama-sama dengan variabel konsumsi
masyarakat (C), investasi swasta (I) dan Net Ekspor (X-M), pengeluaran
pemerintah (G) merupakan komponen yang mempengaruhi keseimbangan makro.
Hal ini dapat dirumuskan sebagai berikut:
G + C + I + (X-M) = Y = C + S + T + Rf ……………………………... (1)
Ekspansi fiskal melalui belanja pemerintah (G) merupakan bagian dari
pengeluaran agregat (AE), sehingga mempengaruhi keseimbangan pasar barang
yang ditandai dengan bergesernya kurva IS dari IS 0 ke IS 1 seperti ditunjukkan
pada Gambar 2.
Pada tingkat suku bunga r 0 , investasi meningkat dan output meningkat
menjadi Y 1 . Pada kondisi tersebut terjadi ekses permintaan Y 0 – Y 1 sehingga
mendorong tingkat suku bunga meningkat ke r 1 . Dengan meningkatnya tingkat
72
suku bunga ke r 1 akan menurunkan investasi dan selanjutnya akan menurunkan
output ke Y 2 .
Suku bunga
LM0
r1
IS1
r0
IS0
Y0
Y2
Y1
Output
Sumber: Branson dan Litvack (1981)
Gambar 2. Dampak Ekspansi Fiskal terhadap Kurva IS
Pergeseran kurva IS ke kanan, pada gilirannya akan menggeser kurva
permintaan agregat (AD) ke kanan, yaitu dari AD 0 ke AD 1 . Pada tingkat harga
P 0 , jumlah permintaan meningkat yakni di Y 2 sebesar Y 2 – Y 1 tetapi jumlah
output tidak berubah yakni tetap di Y 0 , sehingga terjadi ekses permintaan.
Dengan adanya ekses permintaan tersebut akan mendorong tingkat harga
meningkat ke P 1 . Peningkatan harga tersebut akan direspon oleh pengusaha untuk
meningkatkan output ke Y 3 . Dengan demikian, secara keseluruhan terjadi
peningkatan pendapatan (Y), dari Y 0 ke Y 3 seperti ditunjukkan pada Gambar 3.
Keseimbangan akhir adalah Y 3 yang lebih besar dari keseimbangan awal, berarti
terjadi pertumbuhan (growth).
Misalkan kondisi keseimbangan awal dengan tingkat penyerapan tenaga
kerja pada N 0 . Pada kondisi tersebut tingkat pengangguran sangat besar, sehingga
73
pemerintah perlu mengambil kebijakan fiskal, misalnya pemerintah meningkatkan
pengeluaran pemerintah (government expenditure = G) untuk meningkatkan
penyerapan
tenaga
kerja.
Peningkatan
pengeluaran
pemerintah
akan
meningkatkan permintaan agregat dan peningkatan permintaan agregat akan
meningkatkan tingkat harga. Dengan meningkatnya permintaan agregat maka
output meningkat dari Y 0 Ke Y 3 seperti ditunjukkan pada Gambar 3. Peningkatan
permintaan agregat yang ditunjukkan pada Gambar 3 menandakan adanya
peningkatan investasi.
Peningkatan investasi baru mengakibatkan pergeseran
kurva fungsi produksi dari Y(N) menjadi Y’(N) seperti ditunjukkan pada Gambar
4. Sementara itu, Peningkatan output seperti yang ditunjukkan pada Gambar 3
terjadi karena ada peningkatan investasi dan memerlukan tenaga kerja yang lebih
banyak, sehingga penggunaan tenaga kerja meningkat dari N 0 ke N 4 seperti
ditunjukkan pada Gambar 4.
Tingkat harga
AS
P1
P0
AD1
AD0
Y0
Y3
Y2
Output
Sumber: Branson dan Litvack (1981)
Gambar 3. Dampak Ekspansi Fiskal terhadap Permintaan Agregat
74
Pada Gambar 4 diilustrasikan bahwa produksi dipengaruhi oleh tenaga
kerja dan kapital. Pada gambar fungsi produksi ini ditunjukkan bahwa produksi
dipengaruhi oleh jumlah tenaga kerja, sementara untuk faktor kapital diasumsikan
tidak mengalami perubahan.
Dari sisi penawaran, adanya peningkatan harga akan direspon oleh
pengusaha dengan meningkatkan permintaan tenaga kerja, sehingga kurva
permintaan tenaga kerja bergeser ke kanan seperti ditunjukkan pada Gambar 5.
Pada tingkat upah W 0 maka permintaan tenaga kerja meningkat dari N 0 ke N 1 .
Pada kondisi ini terjadi ekses permintaan tenaga kerja sebesar N 1 – N 0 , sehingga
mendorong tingkat upah nominal meningkat ke W 1 dan permintaan tenaga kerja
kembali turun ke N 2 . Pada saat yang sama, peningkatan harga pada tingkat P 1
menyebabkan upah riil buruh menurun.
Output
_
Y(N,K)
Y3
Y0
N0
N4
Tenaga Kerja
Sumber: Branson dan Litvack (1981)
Gambar 4. Dampak Ekspansi Fiskal terhadap Output dan Penggunaan
Tenaga Kerja
75
Penurunan upah riil tersebut direspon oleh buruh dengan tuntutan
kenaikan upah sehingga menggeser kurva penawaran tenaga kerja ke kiri atas
menjadi S 1 W. Pada tingkat upah W 1 terjadi ekses permintaan tenaga kerja sebesar
N 2 – N 3 dan akan mendorong tingkat upah nominal meningkat menjadi W 2 .
Kenaikan tingkat upah nominal tersebut akan mendorong penurunan penggunaan
tenaga kerja menjadi N 4 .
S1w = W = P1*.f(N)
Upah Nominal
S0w = W = P0*.f(N)
W2
W1
W0
D1w = W = P1.f(N)
D0w = W = P0.f(N)
N0 N3 N4 N2
N1
Tenaga Kerja
Sumber: Branson dan Litvack (1981)
Gambar 5. Dampak Ekspansi Fiskal terhadap Penggunaan
Tenaga Kerja dan Upah Nominal
Dalam hal kenaikan harga ada asumsi imperfect informations, dimana
persepsi para buruh (p) terhadap kenaikan harga tidak sama dengan kenaikan
harga yang sebenarnya terjadi, dan hal ini dituliskan sebagai 0<p<1. Oleh karena
itu pergeseran kurva penawaran menjadi lebih kecil dari pergeseran kurva
permintaan tenaga kerja. Akibatnya, keseimbangan pada pasar tenaga kerja
76
meningkat dari N 0 ke N 3 .
Dampak akhir kebijakan ekspansi fiskal adalah
peningkatan; output (Y), suku bunga (r), investasi (I), penyerapan tenaga kerja
(N), dan upah nominal (W).
3.2. Desentralisasi Fiskal
Kebijakan otonomi daerah dan desentralisasi fiskal didasarkan pada
Undang-undang Nomor 22 Tahun 1999 tentang Pemerintahan Daerah dan
Undang-undang Nomor 25 Tahun 1999 tentang Perimbangan Keuangan antara
Pemerintah Pusat dan Daerah.
Dengan kebijakan otonomi daerah dan
desentralisasi fiskal diharapkan kinerja Pemerintah Daerah menjadi efektif dalam
meningkatkan pelayanan kepada masyarakat dan lebih mampu meningkatkan
kesejahteraan masyarakat. Kebijakan tersebut mulai diterapkan di Indonesia sejak
Tahun Anggaran 2001.
Desentralisasi fiskal adalah pendelegasian tanggung jawab dan pembagian
kekuasaan dan kewenangan untuk pengambilan keputusan di bidang fiskal, yang
meliputi aspek penerimaan dan pengeluaran. Desentralisasi fiskal dapat dikaitkan
dengan tugas dan fungsi Pemerintahan Daerah sebagai penyedia barang dan jasa
pelayanan kepada masyarakat. Penyerahan kewenangan di bidang fiskal pada
dasarnya merupakan salah satu inti dari desentralisasi. Agar Pemerintah Daerah
dapat melaksanakan fungsi yang didesentralisasikan secara efektif, maka
Pemerintah Daerah harus memiliki sumber penerimaan yang memadai, baik
penerimaan yang digali dari daerahnya sendiri maupun yang ditransfer dari pusat,
dan Pemerintah Daerah harus juga memiliki kewenangan untuk pengambilan
keputusan di bidang pengeluaran (JICA, 2002).
77
Peranan Pemerintah Pusat dari aspek pendanaan masih sangat penting
untuk menjamin terlaksananya pemerintahan sampai pada tingkat daerah. Dalam
hal ini Pemerintah Pusat perlu mengatur keseimbangan pendanaan pada tiap-tiap
daerah yang sangat beragam kondisinya.
Oleh karena itu perlu mekanisme
transfer dari Pemerintah Pusat kepada Pemerintah Daerah setidaknya didasarkan
pada lima alasan berikut (Simanjuntak, 2002):
1. Untuk mengatasi persoalan ketimpangan fiskal vertikal.
2. Untuk mengatasi persoalan ketimpangan fiskal horizontal.
3. Terkait dengan butir kedua di atas, adanya kewajiban untuk menjaga tercapainya standar pelayanan minimum di setiap daerah.
4. Untuk mengatasi persoalan yang timbul dari penyebaran atau melimpahnya
efek pelayanan publik (inter-jurisdictional spill-over effects)
5. Alasan stabilisasi.
3.3. Sumber-Sumber Pembiayaan Daerah
Sumber-sumber
pembiayaan
daerah
dalam
rangka
pelaksanaan
desentralisasi menurut UU Nomor 33 tahun 2004 meliputi: (1) pendapatan asli
daerah (PAD), (2) dana perimbangan, dan (3) lain-lain pendapatan.
(1) Pendapatan Asli Daerah
Pendapatan asli daerah merupakan salah satu wujud dari desentralisasi
fiskal untuk memberikan sumber-sumber penerimaan bagi daerah yang dapat
digali dan digunakan sendiri sesuai potensinya. Sumber-sumber PAD adalah hasil
pajak daerah, hasil retribusi daerah, hasil perusahaan milik daerah, hasil
78
pengelolaan kekayaan daerah lainnya, dan pendapatan asli daerah lainnya yang
sah.
(2) Dana Perimbangan
Perimbangan pendapatan negara dari Pajak Bumi dan Bangunan (PBB)
dibagi dengan imbangan 10 persen untuk Pemerintah Pusat dan 90 persen untuk
Pemerintah Daerah.
Penerimaan negara dari bea atas tanah dan bangunan,
sumberdaya alam sektor kehutanan, pertambangan umum, dan sektor perikanan
dibagi dengan imbangan 20 persen untuk Pemerintah Pusat dan 80 persen untuk
Pemerintah Daerah. Penerimaan negara dari pertambangan minyak bumi yang
berasal dari wilayah suatu daerah, setelah dikurangi pajak dibagi dengan
imbangan 85 persen untuk Pemerintah Pusat dan 15 persen untuk Pemerintah
Daerah, sementara untuk pertambangan gas alam 70 persen untuk Pemerintah
Pusat dan 30 persen untuk Pemerintah Daerah (UU No 25 tahun 1999).
Sementara pada UU Nomor 33 tahun 2004, terdapat kenaikan bagian daerah
menjadi 15.5 persen untuk minyak dan 30.5 persen untuk gas.
Sebagian
perolehan bagi hasil Pemerintah Daerah sebagai penerimaan pemerintah provinsi,
dan lainnya didistribusikan ke kabupaten/kota.
Jika dilihat mekanisme bagi hasil sebagaimana diatur dalam UU Nomor 25
tahun 1999, terdapat potensi terjadinya gap antar daerah. Pada daerah-daerah
yang kaya dengan sumberdaya alam (minyak dan gas bumi) dan juga potensi
perolehan pajak yang tinggi akan memperoleh pendapatan yang besar sementara
untuk daerah yang miskin tidak mendapat pendapatan yang besar, dan hal ini
menyebabkan kemampuan keuangan daerah menjadi terbatas.
79
Ketimpangan horizontal tersebut dikhawatirkan akan mengganggu
stabilitas nasional, oleh karena itu harus diatasi. Untuk mengatasi ketimpangan
horizontal antar daerah, ditempuh melalui mekanisme pemberian Dana Alokasi
Umum (DAU) yang ditetapkan sekurang-kurangnya 25 persen dari penerimaan
dalam negeri yang ditetapkan dalam APBN dan ditingkatkan menjadi 26 persen
pada tahun 2006 setelah UU Nomor 33 tahun 2004 diberlakukan (Sidik, 2002
dalam Sumedi, 2005). Dana perimbangan yang lain adalah dana alokasi khusus.
Dana alokasi khusus (DAK) merupakan dana yang berasal dari APBN, yang
dialokasikan kepada daerah untuk membiayai kebutuhan khusus, yang meliputi
kebutuhan yang tidak dapat diperkirakan dengan menggunakan rumus DAU
seperti kebutuhan kawasan transmigrasi, investasi baru, pembangunan jalan di
kawasan terpencil dan lain-lain, dan kebutuhan yang merupakan komitmen atau
prioritas nasional.
Termasuk didalamnya untuk kegiatan penghijauan dan
reboisasi.
3.4. Dasar Pemikiran Transformasi Tenaga Kerja
Tenaga kerja adalah bagian penduduk yang mampu bekerja untuk
memproduksi barang dan jasa. Menurut Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB) yang
termasuk tenaga kerja adalah penduduk yang berusia 15-64 tahun. Indonesia
menggolongkan penduduk yang berusia 10 tahun ke atas sebagai tenaga kerja,
dengan alasan bahwa banyak penduduk yang berusia 10-14 dan 65 tahun yang
bekerja (Ananta, 1990).
Menurut Rusli (1982), yang didasarkan pada data sensus penduduk,
jumlah penduduk yang bekerja biasanya mencerminkan jumlah kesempatan kerja
yang ada. Ini berarti bahwa kesempatan kerja bukanlah lapangan pekerjaan yang
80
masih terbuka, walaupun komponen yang terakhir ini menambah kesempatan
kerja yang ada di waktu yang akan datang.
Dari temuan banyak peneliti, diantaranya Sigit (1989) dan Rachmat (1992)
menyimpulkan bahwa yang mempengaruhi proses transformasi tenaga kerja
adalah kesempatan kerja yang terbatas pada sektor pertanian, dan semakin
terbukanya kesempatan kerja di sektor non pertanian, serta semakin membaiknya
aksesibilitas antara pedesaan dan perkotaan, dan yang tidak kalah pentingnya
adalah perubahan sikap mental tenaga kerja terhadap modernisasi.
Proses transformasi tenaga kerja dari sektor pertanian ke sektor non
pertanian untuk suatu wilayah biasanya bukan akibat dari terbatasnya kesempatan
kerja pada sektor pertanian, tapi lebih disebabkan karena bekerja di sektor non
pertanian lebih menjanjikan dan adanya perubahan pandangan generasi muda
terhadap pekerjaan di sektor pertanian, yang mereka yakini tidak akan lebih baik
dari jika mereka bekerja di sektor non pertanian.
Seiring dengan perkembangan pembangunan, maka persentase tenaga
kerja yang bekerja di sektor pertanian semakin menurun yang disertai dengan
meningkatnya persentase jumlah yang bekerja di sektor non pertanian, hal ini
merupakan pertanda bahwa dalam perekonomian ini telah terjadi proses
transformasi tenaga kerja.
Faktor-faktor yang mempengaruhi kesempatan kerja pada sektor pertanian
juga merupakan faktor yang mempengaruhi terjadinya transformasi, yang secara
garis besar dapat dikelompokkan menjadi dua kelompok, yaitu: pertama
merupakan faktor pendorong dari sektor pertanian itu sendiri, dan kedua
merupakan faktor penarik dari sektor non pertanian, sehingga dapat dikatakan
81
bahwa transformasi tenaga kerja dari sektor pertanian ke sektor non pertanian
(industri dan jasa) merupakan interaksi antara faktor pendorong dari sektor
pertanian dan faktor penarik dari sektor non pertanian.
Oleh karena hasil pembangunan merupakan penjumlahan dari masingmasing sektor maka perkembangan salah satu sektor akan berpengaruh terhadap
sektor yang lainnya. Salah satu faktor yang mempengaruhi kesempatan kerja
adalah penyediaan lapangan kerja yang merupakan fungsi dari investasi, oleh
karena itu maka investasi pada sektor-sektor perekonomian, terutama sektor jasa
dan industri akan menarik pekerja dari sektor pertanian ke sektor tersebut.
3.5. Teori Pasar Tenaga Kerja
Pasar tenaga kerja selalu dipengaruhi oleh dua sisi, yakni sisi permintaan
tenaga kerja dan jumlah angkatan kerja. Keseimbangan pada pasar tenaga kerja
akan tercapai apabila tingkat permintaan sama dengan tingkat penawaran.
Permintaan dan penawaran tenaga kerja dipengaruhi oleh upah riil (Romer, 2001).
Hubungan permintaan dan penawaran tenaga kerja serta upah riil dapat dilihat
pada Gambar 6, dimana keseimbangan terjadi pada titik E.
Tingkat upah W 0 /P 0 menggambarkan tingkat upah riil kondisi awal dan
N 0 menggambarkan penyerapan tenaga kerja sebesar N 0 , sedangkan penawaran
tenaga kerja sebesar N 1 , sehingga terjadi pengangguran sebesar N 1 – N 0 . Jika
terjadi penurunan harga, sementara tingkat upah nominal tidak berubah maka akan
menyebabkan peningkatan upah riil dari W 0 /P 0 menjadi W0 /P 1 .
Hal ini
menyebabkan penurunan permintaan tenaga kerja dan menciptakan excess supply
atau kelebihan penawaran tenaga kerja sebesar N 3 – N 2 . Demikian juga, jika
terjadi kenaikan upah nominal, sementara tingkat harga tetap maka akan
82
menyebabkan upah riil meningkat.
Hal ini menyebabkan pengangguran
meningkat.
Tingkat
pengangguran
diusahakan
tidak
melebihi
dari
tingkat
pengangguran alamiah. Jika tingkat pengangguran terlalu tinggi maka tingkat
kriminal semakin meningkat. Peningkatan tingkat kriminal akan meningkatkan
biaya pemutusan perkara sebagai dampak dari kriteria pengambilan keputusan
pengadilan (Ichino, Polo dan Rettore, 2003).
Upah riil
LS
W0/P1
W0/P0
E
LD
O
N2
N0
N1
N3
Tenaga Kerja
Sumber: Romer (2001)
Gambar 6. Pasar Tenaga Kerja
Pergerakan tingkat upah dan tingkat penyerapan tenaga kerja ini dapat
disebabkan oleh faktor-faktor yang mempengaruhi permintaan dan penawaran
tenaga kerja. Kurva permintaan tenaga kerja akan dipengaruhi oleh indikator
makroekonomi, seperti upah riil, inflasi, investasi, pertumbuhan ekonomi dan
83
konsumsi. Sedangkan faktor-faktor yang mempengaruhi kurva penawaran tenaga
kerja adalah populasi penduduk dan mobilitas tenaga kerja.
3.5.1. Teori Permintaan Tenaga Kerja
Teori tentang permintaan tenaga kerja adalah teori tentang seberapa
banyak suatu perusahaan akan mempekerjakan tenaga kerja pada tingkat upah dan
pada periode tertentu, cateris paribus.
Permintaan atas tenaga kerja berbeda
dengan permintaan konsumen terhadap barang dan jasa. Konsumen membeli
barang karena barang itu akan memberikan kegunaan baginya. Akan tetapi bagi
pengusaha, mempekerjakan seseorang karena membantu memproduksi barang
atau jasa untuk dijual kepada konsumen.
Jadi pada dasarnya, pertambahan permintaan pengusaha terhadap tenaga
kerja tergantung dari pertambahan permintaan masyarakat terhadap barang yang
diproduksinya. Oleh karena itu permintaan akan tenaga kerja merupakan derived
demand (Fleisher, 1970; Simanjuntak, 1985; McConnell dan Brue, 1995; Borjas,
1996).
Namun penambahan jumlah tenaga kerja oleh perusahaan tidak dilakukan
untuk jangka pendek, walaupun permintaan masyarakat terhadap produk yang
dihasilkan tinggi. Dalam
jangka pendek, perusahaan akan mengoptimalkan
jumlah tenaga kerja yang ada dengan penambahan jumlah jam kerja atau
penggunaan mekanisasi. Dalam jangka panjang, kenaikan jumlah permintaan
masyarakat terhadap produk akan direspon oleh perusahaan dengan menambah
jumlah tenaga kerja, hal ini berarti tersedianya kesempatan kerja baru bagi tenaga
kerja.
84
Berdasarkan teori permintaan terhadap tenaga kerja, maka hal-hal yang
dipertimbangkan oleh seorang pengusaha untuk menambah jam kerja adalah: (1)
tambahan hasil marginal, yaitu tambahan hasil (output) yang diperoleh pengusaha
dengan penambahan seorang pekerja, (2) penerimaan marjinal, yaitu jumlah uang
yang akan diterima oleh pengusaha dengan tambahan hasil marjinal tersebut,
dimana penerimaan marjinal merupakan besarnya tambahan hasil marjinal
dikalikan dengan harga outputnya, dan (3) biaya marjinal yaitu: jumlah biaya
yang dikeluarkan pengusaha dengan mempekerjakan tambahan pekerja (upah
pekerja tersebut).
Bila tambahan penerimaan marjinal lebih besar dari biaya
marjinal, maka mempekerjakan seorang pekerja akan menambah keuntungan
pengusaha.
Teori di atas merupakan
teori produktivitas marjinal tentang
permintaan tenaga kerja pada pasar bersaing.
Teori produktivitas marjinal dapat menjadi suatu teori upah dan
kesempatan kerja bagi perekonomian secara keseluruhan.
Dengan kata lain,
sebagai teori ekonomi makro maka ia dapat menerapkan tingkat upah umum dan
volume kesempatan kerja yang dicakup oleh suatu perekonomian dalam
pengertian luas.
Suatu perusahaan setelah menggunakan sejumlah tenaga kerja tertentu,
akan bersedia untuk menambah input tenaga kerja dengan tingkat upah yang lebih
rendah. Hal ini karena penambahan setiap unit tenaga kerja akan menghasilkan
tambahan output yang lebih rendah,
Sebagai akibatnya, kurva permintaan
terhadap tenaga kerja akan menunjukkan kecondongan garis negatif. Dengan kata
lain, kecondongan garis menurun pada kurva permintaan tenaga kerja
menunjukkan bahwa semakin rendah tingkat upah, semakin besar penggunaan
85
tenaga kerja, ceteris paribus dan makin besar pula output industri tersebut
(Bellante dan Jackson, 1990).
Bagi setiap kemungkinan tingkat upah akan terdapat suatu harga produk
yang sesuai, juga akan terdapat suatu jumlah tenaga kerja yang diminta oleh
industri, yang berarti kesempatan kerja. Kurva permintaan tenaga kerja industri
adalah skedul nilai produk fisik marjinal bagi industri, dimana ia menunjukkan
nilai pasar dari output tambahan yang berhubungan dengan suatu penambahan
penggunaan tenaga kerja oleh industri (Bellante dan Jackson, 1990)
Teori permintaan tenaga kerja yang telah dikemukakan di atas merupakan
teori permintaan tenaga kerja secara umum, umum dalam artian setiap jenis
kegiatan dalam perekonomian yang membutuhkan jumlah tenaga kerja akan
mempunyai perilaku yang tidak jauh berbeda dalam hal permintaan tenaga
kerjanya. Maka dapat dikatakan bahwa perilaku permintaan tenaga kerja pada
berbagai macam sektor ekonomi akan sama (setidaknya mempunyai keragaan
yang tidak jauh berbeda). Teori permintaan tenaga kerja yang telah diuraikan di
atas adalah teori permintaan tenaga kerja agregat.
3.5.2. Surplus Tenaga Kerja
Lewis (1954) dalam Ray (1998) mengajukan kerangka pemikiran ekonomi
pembangunan yang meletakkan perpindahan tenaga kerja dari sektor tradisional
ke sektor modern pada abad pertengahan. Sektor tradisional dipandang sebagai
penyedia tenaga kerja, sedangkan untuk sektor modern disebut penawaran tanaga
kerja. Ide utama dari model Lewis adalah adanya surplus tenaga kerja di sektor
tradisional dalam perekonomian yang dapat dipindahkan dengan sedikit biaya.
Untuk biaya dapat dihitung dengan opportunity cost, yakni kehilangan output
86
sektor tradisional sebagai akibat dari berkurangnya penawaran tenaga kerja di
sektor tersebut.
Pada Gambar 7 diilustrasikan fungsi produksi dari usahatani keluarga.
Jumlah tenaga kerja pada sumbu horizontal dan output pada sumbu vertikal.
Dengan latar belakang pada lahan yang tetap, maka gambaran tenaga kerja ini
dapat dijelaskan. Karena lahan yang terbatas, maka terjadi diminishing return
pada input tenaga kerja.
Asumsi yang digunakan adalah bahwa usahatani
keluarga ini menggunakan teknik produksi tradisional, dan mengesampingkan
Output
penggunaan input kapital.
Q
W
O
B
A
Tenaga Kerja
Sumber: Ray (1998)
Gambar 7: Surplus Tenaga Kerja pada Usahatani Keluarga
Pada fungsi produksi digambarkan bahwa penambahan tenaga kerja
setelah pada tingkat penggunaan tenaga kerja tertentu tidak memberikan efek
yang signifikan terhadap output. Setelah itu hanya penanaman yang intensif yang
dapat dilakukan pada lahan yang tersedia, dan setelah pada titik tertentu setiap
87
penambahan tenaga kerja tidak memberikan pengaruh apapun terhadap output.
Olah karena itu marjinal produk dari tenaga kerja sudah menjadi nol atau
mendekati nol.
Apa yang terjadi jika ada pengurangan jumlah tenaga kerja dari A ke B?
Karena marjinal produk diasumsikan mendekati nol, maka total output dapat
dikatakan tidak berubah ketika tejadi pengurangan tenaga kerja. Karena pada
usahatani keluarga relatif memiliki lebih banyak tenaga kerja dibandingkan luas
lahan, maka dalam hal ini tenaga kerja pada kondisi surplus (Ray, 1998).
3.6. Perubahan Struktural
Selama proses pembangunan ekonomi di negara berkembang terjadi
penurunan kontribusi pada sektor pertanian dan terjadi peningkatan kontribusi
sektor industri terhadap Gross Domestic Product (GDP).
Namun di negara yang
berpendapatan tinggi, kontribusi sektor pertanian maupun industri terhadap GNP
berkurang yang menunjukkan telah berkembangnya sektor jasa. Hal ini konsisten
dengan hukum Petty-Clark yang memprediksi bahwa pusat pergerakan ekonomi
akan bergeser dari sektor primer ke sektor sekunder, dan selanjutnya ke sektor
tersier seiring dengan meningkatnya pendapatan per kapita (income per capita).
Pergeseran ini terjadi karena alokasi sumberdaya antar sektor sebagai dampak dari
peningkatan yang begitu cepat untuk komoditi industri pada awal pertumbuhan
ekonomi, diikuti oleh percepatan pertumbuhan permintaan untuk jasa, yang
sejalan dengan konsumsi komoditi industri (Clark, 1940; Kuznets, 1966; Syrquin
dan Chenery, 1988 dalam Hayami, 2001).
Todaro dan Smith (2004) dalam bukunya yang berjudul Pembangunan
Ekonomi di Dunia Ketiga mengemukakan bahwa teori perubahan struktural
88
(structural-change theory) memusatkan perhatiannya pada mekanisme yang
memungkinkan negara-negara yang masih terbelakang untuk mentransformasikan
struktur perekonomian dalam negeri mereka dari pola perekonomian pertanian
subsisten tradisional ke perekonomian yang lebih modern, lebih berorientasi ke
kehidupan perkotaan, serta memiliki sektor industri manufaktur yang lebih
bervariasi dan sektor jasa-jasa yang tangguh. Dalam analisis model perubahan
struktural tersebut menggunakan perangkat-perangkat neoklasik berupa teori
harga dan alokasi sumberdaya, serta metode-metode ekonometri modern untuk
menjelaskan terjadinya proses transformasi.
Aliran pendekatan perubahan
struktural ini didukung oleh ekonom-ekonom terkemuka seperti Lewis (1954)
yang terkenal dengan model teoritisnya tentang ”surplus tenaga kerja dua sektor”
(two sector surplus labor) dan Chenery (1960) yang sangat terkenal dengan
analisis empirisnya tentang ”pola-pola pembangunan” (patterns of development).
Salah satu model teoritis pembangunan yang paling terkenal, yang
memusatkan perhatian pada transformasi struktural (structural transformation)
suatu transformasi subsisten, dirumuskan oleh W. Arthur Lewis, salah satu
ekonom besar dan penerima Hadiah Nobel. Pada pertengahan dekade 1950-an,
dan kemudian diubah, dan dikembangkan lebih lanjut oleh John Fei dan Gustav
Ranis. Model dua-sektor Lewis (Lewis two-sector model) ini diakui sebagai teori
”umum” yang membahas proses pembangunan di negara-negara Dunia Ketiga
yang mengalami kelebihan penawaran tenaga kerja selama dekade 1960-an dan
awal dekade 1970-an.
Teori rumusan Lewis ini, sampai sekarangpun masih
banyak pengaruhnya, terutama di kalangan ahli ekonomi pembangunan di
Amerika.
89
Menurut model pembangunan yang diajukan oleh Lewis, perekonomian
yang terbelakang terdiri dari dua sektor, yakni: (1) sektor tradisional, yaitu sektor
pedesaan subsisten yang kelebihan penduduk dan ditandai dengan produktivitas
marginal tenaga kerja sama dengan nol, ini merupakan situasi yang
memungkinkan Lewis untuk mendefinisikan kondisi surplus tenaga kerja (surplus
labor) sebagai suatu fakta bahwa jika sebagian tenaga kerja tersebut ditarik dari
sektor pertanian, maka sektor itu tidak akan kehilangan outputnya, dan (2) sektor
industri perkotaan modern yang tingkat produktivitasnya tinggi menjadi tempat
penampungan tenaga kerja yang ditransfer sedikit demi sedikit dari sektor
subsisten.
Perhatian utama dari model ini diarahkan pada terjadinya proses
pengalihan tenaga kerja, serta pertumbuhan output dan peningkatan penyerapan
tenaga kerja di sektor modern.
Pengalihan tenaga kerja dan pertumbuhan
kesempatan kerja tersebut dimungkinkan oleh adanya perluasan output pada
sektor modern tersebut. Adapun laju atau kecepatan terjadinya perluasan tersebut
ditentukan oleh tingkat investasi di bidang industri dan akumulasi modal secara
keseluruhan di sektor modern. Peningkatan investasi itu sendiri ditentukan oleh
adanya kelebihan keuntungan sektor modern dari selisih upah, dengan asumsi
bahwa ”para kapitalis” yang berkecimpung dalam sektor modern tersebut bersedia
menanamkan kembali seluruh keuntungannya. Yang terakhir, tingkat upah di
sektor industri perkotaan (sektor modern) diasumsikan konstan dan, berdasarkan
suatu premis tertentu, jumlahnya ditetapkan melebihi tingkat rata-rata upah di
sektor pertanian subsisten tradisional. Lewis berasumsi bahwasanya tingkat upah
di daerah perkotaan sekurang-kurangnya harus 30 persen lebih tinggi daripada
rata-rata pendapatan di daerah pedesaan untuk memaksa para pekerja pindah dari
90
desa-desa asalnya ke kota-kota. Pada tingkat upah di daerah perkotaan yang
konstan, maka kurva penawaran tenaga kerja pedesaan dianggap elastis sempurna.
Model pertumbuhan sektor modern dalam perekonomian dua sektor
rumusan Lewis diilustrasikan pada Gambar 8.
Sektor pertama, yakni sektor
pertanian subsisten tradisional ditunjukkan oleh dua gambar sebelah kanan.
Pada Gambar 8b, diagram yang sebelah atas memperlihatkan perubahan
produksi pangan subsisten dengan adanya kenaikan input tenaga kerja. Ini khas
fungsi produksi (production function) sektor pertanian, dimana total output atau
produk (TP A) berupa bahan pangan ditentukan oleh perubahan satu-satunya
variabel input, yakni input tenaga kerja (L A), sedangkan input modal, K A , dan
teknologi tradisional t A, diasumsikan tidak mengalami perubahan apapun. Pada
diagram kanan bawah terdapat kurva produktivitas tenaga kerja marjinal atau
MP LA dan kurva produktivitas tenaga kerja rata-rata atau AP LA, yang merupakan
turunan dari kurva produksi total yang ditunjukkan persis di atasnya. Kuantitas
tenaga kerja pertanian (Q LA ) yang tersedia pada kedua sumbu horizontal dan
dinyatakan dalam jutaan tenaga kerja adalah sama, sebagaimana yang
dikemukakan Lewis bahwa dalam suatu perekonomian terbelakang, 80 persen
hingga 90 persen angkatan kerjanya terkumpul di daerah-daerah pedesaan serta
menggeluti pekerjaan di sektor pertanian.
Lewis mengemukakan dua asumsi tentang sektor tradisional.
Pertama
adalah adanya ”surplus tenaga kerja”, atau MP LA , sama dengan nol. Kedua,
bahwasanya semua pekerja di daerah pedesaan menghasilkan output yang sama
91
GAMBAR 8: Model Pertumbuhan Sektor Modern dalam Perekonomian Dua Sektor
yang Mengalami Surplus Tenaga Kerja Hasil Rumusan Lewis
92
TPA=ƒ(LA,KA,tA)
TPM(KM3)
Total Produk (bahan pangan)
Total Produk (Manufaktur)
TPM3
TPA=ƒ(LA,KA,tA)
KM3>KM2>KM1
TPM(KM2)
TPM2
TPM(KM1)
TPM1
O
L1
L2
L3
TPA(KA)
TPA
TPA
= WA
LA
O
QLM
QLA
LA
SL
WM
F
G
WA
H
D2(KM2)
D1(KM1)=MPLM
O
L1
L2
L3
D3(KM3)
Produk rata-rata (marjinal)
Upah riil (=MPLM)
KM3>KM2>KM1
APLA
MPLA
WA
MPLA
O
APLA
LA
Surplus tenaga kerja
Sumber: Todaro (2004)
Gambar 8: Model Pertumbuhan Sektor Modern dalam Perekonomian Dua Sektor yang Mengalami Surplus Tenaga Kerja Hasil Rumusan Lewis
92
sehingga tingkat upah riil di daerah pedesaan ditentukan oleh produktivitas tenaga
kerja rata-rata, bukan produktivitas tenaga kerja marjinal (seperti pada sektor
modern), Asumsikanlah bahwa ada sejumlah L A tenaga kerja pertanian yang
menghasilkan produk pangan sebanyak TP A, dan masing-masing tenaga kerja
menghasilkan output pangan dalam jumlah yang persis sama, yakni sebanyak W A
(ini sama dengan hasil hitungan TP A/L A ). Produktivitas marjinal tenaga kerja
sebanyak L A tersebut sama dengan nol, sehingga tampak pada diagram di sebelah
bawah Gambar 8, dengan demikian, asumsi surplus tenaga kerja berlaku pada
seluruh pekerja yang melebihi L A (catatan: kurva TP A berbentuk horizontal
setelah melewati jumlah pekerja L A pada diagram sebelah kanan). Hal ini adalah
landasan asumsi surplus tenaga kerja tersebut.
Diagram di sebelah kiri atas pada Gambar 8a memperlihatkan kurva
produksi total (fungsi produksi) untuk sektor industri modern. Tingkat output dari
barang-barang manufaktur (TP M ), merupakan fungsi dari input variabel tenaga
kerja, dengan asumsi stok modal (K M ) dan teknologi (t M ) tidak berubah. Pada
sumbu horizontal, kuantitas tenaga kerja yang dikerahkan untuk menghasilkan
sejumlah output, misalnya TP M1 , dengan stok modal K M1 , dinyatakan dalam
satuan ribuan dari pekerja perkotaan, L1 . Dalam model Lewis, stok modal di
sektor modern dimungkinkan untuk bertambah dari K M1 menjadi K M2 , kemudian
menjadi K M3 dan seterusnya, sebagai akibat dari adanya kegiatan reinvestasi
keuntungan oleh para kapitalis industri. Seperti digambarkan pada Gambar 8a
sebelah kiri bawah, total produksi akan bergeser ke atas, dari TP M (K M1 ) ke
TP M (K M2 ), dan akhirnya ke TP M (K M3 ). Proses yang menghasilkan keuntungan
para pemilik modal dari reinvestasi dan pertumbuhan diilustrasikan dalam
92
TPA=ƒ(LA,KA,tA)
TPM(KM3)
Total Produk (bahan pangan)
Total Produk (Manufaktur)
TPM3
TPA=ƒ(LA,KA,tA)
KM3>KM2>KM1
TPM(KM2)
TPM2
TPM(KM1)
TPM1
O
L1
L2
L3
TPA(KA)
TPA
TPA
= WA
LA
O
QLM
QLA
LA
SL
WM
F
G
WA
H
D2(KM2)
D1(KM1)=MPLM
O
L1
L2
L3
D3(KM3)
Produk rata-rata (marjinal)
Upah riil (=MPLM)
KM3>KM2>KM1
APLA
MPLA
WA
MPLA
O
APLA
LA
Surplus tenaga kerja
Sumber: Todaro (2004)
Gambar 8: Model Pertumbuhan Sektor Modern dalam Perekonomian Dua Sektor yang Mengalami Surplus Tenaga Kerja Hasil Rumusan Lewis
93
diagram kiri bawah pada Gambar 8a. Di sini kita dapatkan kurva-kurva produk
marjinal tenaga kerja dari sektor modern yang merupakan turunan dari kurvakurva TP M pada diagram di atasnya. Dengan asumsi bahwa pasar tenaga kerja
sektor modern bersifat kompetitif sempurna, maka kurva-kurva produk marjinal
tenaga kerja tersebut menggambarkan tingkat aktual tenaga kerja.
W A pada diagram sebelah bawah Gambar 8b,
menunjukkan rata-rata
tingkat pendapatan riil dari sektor ekonomi subsisten tradisional di daerah-daerah
pedesaan. W M pada Gambar 8a memperlihatkan tingkat upah riil pada sektor
kapitalis modern. Pada tingkat upah tersebut, penawaran tenaga kerja pedesaan
diasumsikan tidak terbatas atau elastis sempurna, dan ini diperlihatkan oleh kurva
penawaran tenaga kerja yang horizontal W M S L .
Dengan kata lain, Lewis
mengasumsikan bahwa pada tingkat upah di perkotaan sebesar W M yang lebih
tinggi daripada tingkat pendapatan pedesaaan W A , maka para penyedia lapangan
kerja di sektor modern dapat merekrut tenaga kerja pedesaan sebanyak yang
mereka perlukan tanpa harus merasa khawatir tingkat upah akan meningkat.
Dengan asumsi penawaran modal K M1 yang jumlahnya tetap dan sudah
tertentu, pada tahap awal pertumbuhan sektor modern kurva permintaan terhadap
tenaga kerja semata-mata ditentukan oleh penurunan produk marjinal tenaga
kerja, seperti ditunjukkan oleh kurva D 1 (K M1 ) yang mempunyai kemiringan
negatif. Karena para pemodal di sektor modern selalu berusaha memaksimumkan
keuntungan dan mereka diasumsikan akan terus merekrut tenaga kerja sampai ke
titik dimana produk fisik marjinal (marginal physical product)
sama persis
dengan upah riil (yaitu di titik F yang merupakan perpotongan antara kurva
permintaan dan penawaran tenaga kerja).
Total kesempatan kerja di sektor
94
modern sebanyak L1 .
Total output sektor modern (TP M1 ), ditunjukkan oleh
bidang yang dibatasi oleh titik-titik OD 1 FL 1 , berdasarkan total tenaga kerja L 1 .
Bagian dari total output yang dibayarkan kepada pekerja dalam bentuk upah
adalah sama dengan daerah empat persegi panjang OW M FL 1 . Sisa output yang
ditunjukkan oleh daerah W M D 1 F adalah keuntungan total yang diterima oleh para
pengusaha (kapitalis di sektor modern). Karena Lewis berasumsi bahwa semua
keuntugan tersebut akan ditanamkan kembali, maka stok modal di sektor modern
akan naik, yakni dari K M1 menjadi K M2 .
Stok modal yang lebih besar ini
menyebabkan kurva produksi secara keseluruhan pada sektor modern meningkat
menjadi
TP M (K M2 ),
yang
pada
gilirannya
meningkatnya kurva permintaan tenaga kerja.
akan
mengakibatkan
terus
Pergeseran kurva permintaan
tenaga kerja ke atas ditunjukkan oleh garis D 2 (K M2 ) pada Gambar 8a sebelah
bawah.
Titik keseimbangan baru atas tingkat penyerapan tenaga kerja oleh sektor
modern akan terbentuk pada titik G dengan jumlah tenaga kerja yang diserap
sebanyak L2 , jumlah output meningkat menjadi TP M2 atau OD 2 GL 2 , sementara
jumlah upah para pekerja dan keuntungan para pengusaha meningkat menjadi
masing-masing OW M GL 2 dan W M D 2 G. Sekali lagi, keuntungan (W M D 2 G) yang
lebih besar ini akan ditanamkan kembali, dan akan meningkatkan jumlah stok
kapital ke K M3 , yang akan menggeser kurva produksi dan permintaan tenaga kerja
masing-masing ke TP M (K M3 ) dan ke D 3 (K M3 ), serta menaikkan tingkat
penyerapan tenaga kerja sektor modern ke L3 .
Rangkaian proses berkesinambungan (self-sustainning growth) dan
perluasan kesempatan kerja di sektor modern diasumsikan akan terus berlangsung
95
sampai semua surplus tenaga kerja di pedesaan diserap habis oleh sektor industri.
Tenaga kerja tambahan berikutnya hanya dapat ditarik dari sektor pertanian
dengan biaya yang relatif lebih tinggi karena tenaga kerja yang berkurang pada
sektor tersebut akan mengakibatkan merosotnya produksi pangan.
Hanya
penurunan rasio tenaga kerja terhadap tanah saja yang mampu membuat produk
marjinal tenaga kerja desa menjadi tidak sama dengan nol lagi. Dengan demikian,
tatkala tingkat upah serta kesempatan kerja di sektor modern terus mengalami
perubahan,
maka kemiringan kurva penawaran tenaga kerja bernilai positif.
Transformasi struktural perekonomian dengan sendirinya akan menjadi suatu
kenyataan dan perekonomian itu pun pada akhirnya akan beralih dari
perekonomian pertanian tradisional yang berpusat di daerah pedesaan menjadi
sebuah perekonomian industri modern yang berorientasikan kepada pola
kehidupan perkotaan.
3.7. Model Ekonomi Dual
Hayami (2001) menjelaskan bahwa model Ricardo tentang model ekonomi
dual dibenarkan oleh Lewis (1954) sebagai teori ekonomi pembangunan di dalam
pembangunan ekonomi saat ini. Model ekonomi dual tersebut adalah model yang
menganalisis proses pembangunan yang membahas interaksi antara dua sektor,
yakni sektor tradisional (diwakili oleh pertanian) dan sektor modern (diwakili oleh
industri) yang memiliki perbedaan perilaku yang prinsipil. Di sektor industri
modern, tingkat upah didukung oleh keseimbangan pada saat suplai tenaga kerja
berpotongan dengan produk marjinal tenaga kerja, sebagaimana yang dinyatakan
dalam ekonomi neoklasik.
Sementara sektor pertanian tradisional masih
96
mempertimbangkan kelembagaan yang dicerminkan oleh tingkat subsisten
sebagaimana tradisi ekonomi klasik, termasuk teori Ricardo (1966).
Model Lewis sama dengan model Ricardo pada poin penawaran tenaga
kerja ke sektor industri yang dicirikan oleh infinite elasticity, yang paralel dengan
kenaikan akumulasi modal dan keuntungan (profit). Kedua model berbeda pada
mekanisme skedul yang menghasilkan penawaran tenaga kerja yang horizontal.
Ricardo berdasarkan pada mekanisme hukum populasi Malthusian, sedangkan
Lewis berdasar pada surplus tenaga kerja yang terjadi pada sektor tradisional.
Menurut Lewis, kelebihan tenaga kerja yang dipekerjakan di komunitas
pedesaan di negara yang sedang berkembang disebabkan karena kebudayaan
gotong royong dan urunan penghasilan diantara anggota keluarga, maka produk
marjinal tenaga kerja lebih rendah dari tingkat upah resmi, jika tidak dikatakan
nol. Para pekerja yang memperoleh produk marjinal pertanian di bawah tingkat
upah resmi, tentunya ingin bermigrasi ke sektor industri jika para pekerja di sana
dibayar dengan tingkat upah resmi yang tetap. Dengan pertimbangan, penawaran
tenaga kerja sektor industri dianggap horizontal hingga pada satu titik dimana
seluruh surplus tenaga kerja selesai bermigrasi dari sektor pertanian. Sampai di
situ, proses Ricardian dalam peningkatan kapital dan keuntungan berlangsung
secara paralel.
Ketika seluruh surplus tenaga kerja di pertanian diserap ke dalam sektor
industri, tingkat upah di sektor pertanian akan meningkat mengikuti kurva
marjinal produk, sebagai dampak yang lebih lanjut dari penyerapan tenaga kerja
di sektor industri.
Sampai pada titik ini terbentuklah transisi dari ekonomi
tradisional (dibatasi oleh prinsip klasik) ke sektor modern (dibatasi oleh prinsip
97
neoklasik), dikatakan sebagai titik balik (turning-point).
Setelah titik balik
dicapai, ekonomi dual secara alamiah sudah hilang, dan pertanian menjadi bagian
dari ekonomi modern yang mana tingkat upah dan pendapatan per kapita secara
kontinu meningkat searah dengan upward-sloping kurva penawaran tenaga kerja.
Dengan cara ini, Lewis menitikberatkan mekanisme untuk mencapai modernisasi
ekonomi adalah meninggalkan sistem ekonomi tradisional yang dicirikan oleh
kemiskinan dan surplus tenaga kerja.
Lewis sendiri tidak mengakui bahaya dari proses pertumbuhan ekonomi
dualisme yang diberhentikan oleh masalah pangan the Ricardo-Schultz sebelum
dicapai titik balik. Kemungkinan tersebut secara jelas diindikasikan di dalam
model Ranis-Fei yang merupakan pengembangan dan memformalisasikan teori
Lewis (Ranis dan Fei, 1961; Fei dan Ranis, 1964 dalam Hayami, 2001).
Gambar 9 adalah penyederhanaan representasi model Ranis-Fei. Sumbu
horizontal O 1 O 2 menggambarkan total angkatan kerja, dengan sektor angkatan
kerja diukur dari O 1 ke kanan dan angkatan kerja sektor pertanian diukur dari O 2
ke kiri. Contoh, titik S menjelaskan distribusi angkatan kerja O 1 S untuk sektor
industri dan O 2 S untuk sektor pertanian.
Porsi di atas diagram menggambarkan pasar permintaan dan penawaran
yang berhubungan dengan tenaga kerja industri. Porsi di bawah menggambarkan
respon produksi dari input tenaga kerja (fungsi produksi), di sektor pertanian
dalam bentuk terbalik. Kurva cembung O 2 R menggambarkan hubungan dimana
output pertanian meningkat pada tingkat yang menurun yang menghubungkan
peningkatan di dalam input tenaga kerja dari titik asal (O 2 ) sampai titik S, dimana
produk marjinal tenaga kerja menjadi nol.
98
D0
SL
D1
R
Agricultural output
Industrial wage rate
SL’
Sumber: Hayami (2001)
Gambar 9. Model Dual Ekonomi Tipe Lewis-Ranis-Fei
Ekonomi tradisional asli sebelum indus trialisasi diwakilkan oleh titik O 1
yang mana seluruh tenaga kerja dikerahkan di produksi pertanian. Diasumsikan
pada titik ini produk marjinal tenaga kerja di sektor pertanian adalah nol, tetapi
output dibagi seimbang diantara pekerja mengikuti prinsip gotong-royong dan
pembagian pendapatan di komunitas pedesaan.
Pendapatan per pekerja
direpesentasikan dengan sudut garis lurus yang menghubungkan O 2 dan R.
Produksi rata-rata ini (W) menggambarkan biaya hidup, yang secara kelembagaan
dicerminkan oleh tingkat upah subsisten.
99
Dimulai dari titik O 1 angkatan kerja pertanian bermigrasi ke sektor
industri sebagai akibat dari kurva permintaan tenaga kerja di sektor industri yang
bergeser ke kanan karena respon dari akumulasi kapital di sektor industri. Hal itu
dapat terjadi karena harga penawaran tenaga kerja di industri dianggap konstan
hingga tenaga kerja yang diserap di sektor industri mencapai titik T (titik balik
Lewis) dikarenakan produk marjinal tenaga kerja pertanian selalu lebih rendah
daripada tingkat upah resmi yang dibayarkan oleh industri. Jika demikian, titik
balik akan dicapai secara paralel, peningkatan stok kapital dan keuntungan
didukung oleh elastisitas penawaran tenaga kerja yang tidak terbatas (infinitely).
Walaupun demikian, ketika penyerapan tenaga kerja melebihi titik S,
produk marjinal tenaga kerja sektor pertanian menjadi positif.
Selanjutnya
migrasi tenaga kerja ke industri mengakibatkan secara absolut penurunan pada
total (dan per kapita) produksi bahan pangan, sehingga harga bahan pangan relatif
meningkat dibandingkan harga produk industri. Titik S dikatakan sebagai “titik
kelangkaan (Shortage point)” sebagai tanda dimulainya penurunan ketersediaan
bahan pangan.
Di samping titik kelangkaan tersebut, tingkat upah (yang diukur berupa
unit produk industri) guna peningkatan tenaga kerja sektor industri dapat dibayar
sama dengan satu bundle makanan untuk tingkat subsisten. Selanjutnya, kurva
penawaran tenaga kerja untuk sektor industri menjadi upward-sloping dari titik S.
Slope kurva ini dapat menjadi tajam, karena kenaikan harga bahan pangan dan
biaya hidup tenaga kerja menjadi mahal sebagai respon dari pengurangan
produksi bahan makanan yang dicirikan oleh rendahnya elastisitas permintaan.
100
Jika demikian, tingkat keuntungan di sektor industri dapat menurun dari titik S,
sehingga akumulasi modal berhenti sebelum mencapai titik T.
Pada intinya, model Ranis-Fei menggambarkan rumusan lain dari
perangkap Ricardian (Ricardian trap).
Dalam pembangunan ekonomi dapat
terjadi transformasi struktural ketika mereka mencoba mencapai modernisasi
ekonomi dengan memforsir realokasi sumberdaya dari pertanian ke industri,
sementara mengabaikan peningkatan produktivitas di sektor pertanian. Bahaya ini
secara keras disuarakan oleh Jorgenson (1961) dalam Hayami (2001) di dalam
model dua sektornya yang mirip dengan model Ranis - Fei kecuali tidak ada
surplus tenaga kerja yang diasumsikan dari luar pertanian dan upah yang ada di
sektor pertanian didasarkan pada prinsip marjinal neoklasik. Dengan ketiadaan
surplus tenaga kerja di sektor pertanian, industrialisasi harus didukung dari sejak
awal dengan pengembangan teknologi di sektor pertanian untuk mencegah harga
bahan makanan dan biaya hidup dari kenaikan yang tajam.
Sudah menjadi perdebatan akademik apakah ada surplus tenaga kerja di
sektor pedesaan di negara berkembang dan apakah penentuan upah didasarkan
pada prinsip klasik atau neoklasik (Hayami dan Ruttan, 1985).
Meskipun
demikian dari teori manapun yang diadopsi ada kesamaan kesimpulan yakni
kesuksesan industrialisasi tanpa diiringi dengan peningkatan produksi bahan
makanan untuk menghindari bahaya dinamakan Ricardian trap.
Perlu juga ditekankan bahwa kontribusi pertanian ke industri tidak hanya
pada suplai makanan dan tenaga kerja, tetapi dalam banyak hal, seperti
pelimpahan pasar domestik untuk komoditi hasil industri, perolehan mata uang
asing melalui ekspor produk pertanian, dan transfer tabungan dari perpajakan dan
101
pasar keuangan. Pertumbuhan industrialisasi dan ekonomi modern dapat cepat
berhasil tanpa meningkatkan pembangunan di sektor pertanian, adalah yang
dominan pada tahap awal pembangunan (Mellor, 1966; Johnston dan Kilby, 1975;
Hayami dan Ruttan, 1985) dalam Hayami (2001).
3.8. Sintesis Kerangka Teoritis
Ekspansi fiskal dapat meningkatkan pertumbuhan ekonomi (Branson dan
Litvack, 1981).
Seiring pertumbuhan ekonomi, para pengusaha menanamkan
modalnya dan menarik tenaga kerja dari sektor pertanian dan output sektor
pertanian menjadi berkurang (Lewis, 1954). Faktor lain yang mempengaruhi
proses transformasi tenaga kerja adalah kesempatan kerja yang terbatas pada
sektor pertanian, dan semakin terbukanya kesempatan kerja di sektor non
pertanian, serta semakin membaiknya aksesibilitas antara pedesaan dan perkotaan,
dan yang tidak kalah pentingnya adalah perubahan sikap mental tenaga kerja
terhadap modernisasi (Sigit, 1989 dan Rachmat, 1992). Dengan berkurangnya
tenaga kerja di sektor pertanian, maka output sektor pertanian menjadi berkurang.
Dari beberapa teori yang sudah diuraikan pada bab ini, ada beberapa teori
yang penting yang dipilih yang berkaitan dengan penelitian ini. Pertama, teori
makroekonomi tentang fiskal.
Pada teori fiskal dijelaskan bahwa kebijakan
peningkatan pengeluaran pemerintah berdampak pada pertumbuhan output dan
peningkatan kesempatan kerja (Branson dan Litvack, 1981).
Kedua, teori
permintaan tenaga kerja. Pada teori permintaan tenaga kerja dijelaskan bahwa
peningkatan permintaan tenaga kerja dapat diakibatkan oleh peningkatan output.
Dalam hal ini, permintaan tenaga kerja merupakan permintaan turunan dari output
(Fleisher, 1970; Simanjuntak, 1985; McConnell dan Brue, 1995; Borjas, 1996).
102
Ketiga, teori perubahan struktur ekonomi dan tenaga kerja. Pada teori perubahan
struktur ekonomi dijelaskan bahwa dari proses pembangunan mengakibatkan
terjadinya pergeseran kontribusi output dari sektor pertanian ke sektor non
pertanian (Hayami, 2001). Pada teori tersebut dijelaskan juga bahwa peningkatan
output pada sektor non pertanian terjadi karena peningkatan investasi di sektor
non pertanian.
Pada teori perubahan struktur tenaga kerja dijelaskan bagaimana
perubahan kontribusi tenaga kerja dari sektor pertanian ke sektor non pertanian.
Perubahan kontribusi tenaga kerja di sektor non pertanian diakibatkan oleh
peningkatan permintaan tenaga kerja di sektor non pertanian (Hayami, 2001).
Peningkatan permintaan tenaga kerja di sektor non pertanian terjadi karena
penambahan investasi di sektor tersebut.
Pada model penelitian ini dijelaskan
bahwa pengeluaran pemerintah memberi dampak peningkatan investasi pada
sektor yang memiliki nilai ekonomi yang tinggi yang ditandai dengan peningkatan
PDRB sektor. Peningkatan PDRB sektor berdampak pada penyerapan tenaga
kerja sektor. Peningkatan PDRB dan penyerapan tenaga kerja memberi dampak
pada perubahan struktur ekonomi dan tenaga kerja.
Sementara, transformasi
ekonomi dan tenaga kerja pada penelitian ini dilakukan dengan melihat terjadinya
perubahan struktur output dan tenaga kerja.
Download