KONSEP PENDIDIKAN ISLAM MODERN MENURUT PEMIKIRAN DR. MOHAMMAD NATSIR Skripsi Diajukan Kepada Fakultas Ilmu Tarbiyah dan Keguruan Untuk Memenuhi Salah Satu Syarat Mencapai Gelar Sarjana Pendidikan Islam Oleh Munawir Hakiki NIM. 109011000098 JURUSAN PENDIDIKAN AGAMA ISLAM FAKULTAS ILMU TARBIYAH DAN KEGURUAN UNIVERSITAS ISLAM NEGERI (UIN) SYARIF HIDAYATULLAH JAKARTA 1436 H/2015 M ABSTRAK Munawir Hakiki NIM: 109011000098Konsep Pendidikan Islam Modern Menurut Pemikiran Dr. Mohammad Natsir Kata Kunci: Konsep Pendidikan Islam, Pemikiran Tokoh terhadap Konsep Pendidikan Islam. Skripsi dengan judul “konsep Pendidikan Islam Modern Menurut Pemikiran Dr. Mohammad Natsir, ditulis oleh Munawir Hakiki NIM: 109011000098 dibawah bimbingan Irfan Mufid MA. Skripsi ini mendiskripsikan mengenai konsep Pendidikan Islam modern menurut Dr. Mohammad Natsir dalam mengembangkan kembali Pendidikan Islam khsusunya Pendidikan Islam di Indonesia. Penelitian ini dilakukan dengan menggunakan metode deskriptif dan pemikiran tokoh, melalui kajian pustaka dengan pendekatan kualitatif, yaitu dengan mencari data-data dari berbagai buku-buku referensi yang membahas mengenai Pendidikan Islam dan Pemikiran Mohammad Natsir khususnya dibidang Pendidikan Islam. Tujuan dari penelitian ini adalah untuk Menjelaskan dan mengidentifikasi mengenai pemikiran seorang tokoh cendikiawan muslim bernama Dr. Mohammad Natsir tentang suatu konsep PendidikanIslam yang maju dan modern dan mampu bersaing dengan pendidikan-pendidikan lain di Dunia. Pada hasil penelitian yang dapat diperoleh oleh penulis, terdapat beberapa konsep Pemikiran Modern Dr. Mohammad Natsir dibidang Pendidikan Islam, dari konsep-konsep tersebut dapat diambil kesimpulan bahwa Secara garis besar Pemikiran Pendidikan Islam Modern Dr. Mohammad Natsir adalah: “mengintegrasikan antara keilmuan dan pendidikan yang sudah ada dalam Islam dengan keilmuan dan pendidikan umum (barat). Dengan alasan bahwa ilmu atau kebenaran itu berada dimana saja, Barat atau Timur semuanya kepunyaan Allah Swt. Ukurannya adalah haq dan batil menurut al-Qur’an dan al-Hadits, jika itu benar menurut al-Qur’an dan hadits walaupun dari Barat, tetap harus diambil, tetapi jika itu buruk menurut al-Qur’an dan al-Hadits, walaupun dari Timur harus dibuang.” Dari konsep pemikiran Dr. Mohammad Natsir tersebut, dapatlah dipahami arah dan tujuannya, bahwa Pendidikan Islam menurut Mohammad Natsir jangan tertinggal dari pendidikan-pendidikan lainnya di Dunia. Pendidikan Islam diharuskan mampu bersaing dalam tingkat global, ikut berperan untuk membangun peradaban modern yang baik dan bermanfaat bagi kehidupan umat manusia dan memperlihatkannya kepada Dunia bahwa seperti inilah Pendidikan Islam. MUNAWIR HAKIKI (PAI) I KATA PENGANTAR Bismillaahirrahmaanirrahiim. Puji dan syukur saya panjatkan kehadirat Allah Swt. al-Hamdulillah berkat rahmat dan karunia-Nya, saya berhasil menyusun skripsi ini yang berjudul “Konsep Pendidikan Islam Dr. Mohammad Natsir”. Semoga dari hasil kajian ini bisa bermanfaat bagi siapa saja yang membaca dan menelaahnya. Shalawat dan salam semoga terlimpah kepad Nabi besar Muhammad Saw. keluarganya dan para sahabatnya serta seluruh ummatnya dari generasi awal sampai generasi akhir. Semoga kita semua mendapat syafaat dari Nabi Muhammad Saw. sebagai junjungan kita ummat Islam dan sebagai kekasih Allah swt. Skripsi yang berjudul “Konsep Pendidikan Islam Dr. Mohammad Natsir” ditulis dan disusun guna memperoleh gelar kesarjanaan pada Universitas Islam Negeri Syarif Hidayatullah Jakarta. Oleh karena itu pada kesempatan yang baik ini, saya ingin menyampaikan rasa hormat dan ucapan terimakasih kepada semua pihak yang dengan sangat tulus telah memberikan motivasi, do‟a, bimbingan, dan sebagainya yang alhamdulillah saya berhasil dalam menyelesaikan Skripsi ini. Penghormatan dan ucapan terimakasih saya haturkan kepada: 1. Dekan Fakultas Ilmu Tarbiyah dan Kegurauan (FITK) Prof. Dr. Ahmad Thib Raya, MA, serta para pembantu dekan fakultas FITK UIN Jakarta yang tidak bisa disebutkan satu persatu. 2. Ketua Program studi PAI Bapak Dr. Abdul Majid Khon, M.Ag dan Sekertaris jurusan PAI Ibu Marhamah Saleh, Lc.,M.A. beserta semua stapnya. 3. Dosen Pembimbing Skripsi bapak Ahmad Irfan Mufid, MA. yang telah memberikan waktu, dorongan, dan ilmunya kepada penulis untuk menyelesaikan skripsi ini. 4. Dosen Pembimbing Akademik bapak Drs. Abdul Haris, M.Ag. yang telah memberikan waktu dan arahannya sejak penulis masuk kuliah di Fakultas Ilmu Tarbiyah dan Keguruan UIN Syarif Hidayatullah Jakarta. ii 5. Bapak/ibu dosen fakultas Ilmu Tarbiyah dan Keguruan (FITK) UIN Jakarta yang telah begitu banyak memberikan ilmu dan pengetahuannya kepada penulis selama penulis belajar di UIN Syarif Hidayatullah. 6. Abah KH. Arhadi beserta keluarga dan K. Royani beserta keluarga yang telah memberikan pendidikan rohani dan ilmu-ilmu agama Islam kepada penulis, sehingga penulis sejak awal sudah mendapatkan bekal untuk melanjutkan studi ke tingkat perguruan tinggi, dengan demikian penulis mendapatkan berbagai kemudahan untuk bisa menyelesaikan Skripsi ini. 7. Ucapan terimakasih dan penghormatan yang sangat Istimewa untuk ayahbunda dan kake-nenek tercinta, yakni Ibunda Siti Hasanah, ayahanda Syarifudin, ayahanda Sulaiman, dan kake-nenek, H. Tatang Sadar, H. Akmaludin, Hj. Purminah dan Hj. Omi. Dari beliau-beliau inilah alhamdulillah sejak kecil sampai sekarang saya mendapat pendidikan, arahan, do‟a, dan materi yang tidak terhitung jumlahnya, sehingga penulis berhasil untuk menyelesaikan Skripsi ini. 8. Guru-guru sejak Sekolah Dasar hingga Madrasah Aliyah, yang tidak dapat disebutkan satu persatu, yang mana dari beliau-beliau inilah penulis mendapatkan Pendidikan, Pengetahuan dan motivasi serta arahanarahannya, sehingga penulis mempunyai semangat untuk segera menyelesaikan Skripsi ini. 9. Bapak pimpinan beserta stap Perpustakaan Fakultas Ilmu Tarbiyah dan Keguruan (FITK) UIN Jakarta, bapak pimpinan beserta stap Perpustakaan Utama UIN Jakarta, bapak pimpinan beserta stap Perpustakaan Islam Iman Jama Lebak bulus Jakarta. Alhamdulillah berkat pelayanan beliau-beliau ini penulis bisa mudah untuk mencari data-data untuk menyelesaikan Skripsi ini. 10. Kakak, adik, paman, sepupu, karib kerabat, sahabat-sahabat dan lainnya yang tidak bisa penulis sebutkan satu persatu, yang mana mereka talah menjadi bagian pendorong bagi penulis untuk segera menyelesaikan tugas Skripsi ini. iii 11. Semua teman-teman Fakultas Ilmu Tarbiyah dan Keguruan khususnya Jurusan PAI angkatan 2009 yang telah memberikan banyak informasi mengenai berbagai hal untuk terselesaikannya Skripsi ini. 12. Teman-teman di Lembaga Dakwah Kampus (LDK) UIN Jakarta, temanteman di Ikatan Mahasiswa Muhammadiyah (IMM) Cabang Ciputat, teman-teman di Kesatuan Aksi Mahasiswa Muslim Indonesia (KAMMI) Tangerang Selatan, teman-teman di Lembaga Kaligrafi Al-Qur‟an (LEMKA) UIN Jakarta, Jakarta, teman-teman di Hizbut Tahrir Indonesia (HTI) Chapter UIN Jakarta, teman-teman di Lembaga Pendidikan Bahasa Arab (LPBA) al-Amin Tanah Abang Jakarta Pusat, teman-teman di TPA Baitul Hikmah BSD, teman-teman di Madrasah Tsanawiyah Nurul Huda Cisauk tangerang Selatan, dan seluruh kakak-kakak kelas dan adik-adik di UIN Jakarta, khususnya Fakultas Ilmu Tarbiyah dan Keguruan (FITK), yang telah banyak memberikan informasi kepada penulis, dan bagaimanapun juga kita semua bersaudara dan penulis alhamdulillah telah mendapatkan motivasinya dalam persaudaraan kita Sehingga penulis berhasil menyelesaikan Skripsi ini. Akhirnya penulis berharap semoga segala amal baik, do‟a dan bantuan lainnya dari semua pihak kepada penulis mendapatkan balasan pahala yang berlimpah dari Allah Swt. semoga hasil dari kajian Skripsi ini bisa bermanfaat bagi siapapun yang membacanya. Kritik dan saran yang membangun dari siapapun dan darimanapun penulis menunggunya dengan tangan terbuka. Semoga segala amal baik kita diterima oleh Allah Swt. sehingga kita semua mendapatkan akhir yang baik, akhir yang manis yaitu Khusnul Kahatimah. Amiiin yaa rabbal „alamin. Jakarta, 30 Juni 2015 Penulis iv DAFTAR ISI ABSTRAK ............................................................................................................ i KATA PENGANTAR.......................................................................................... ii DAFTAR ISI......................................................................................................... v BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah.......................................................... 1 B. Identifikasi Masalah................................................................ 8 C. Pembatasan Masalah............................................................... 8 D. Perumusan Masalah................................................................. 9 E. Tujuan Penelitian..................................................................... 9 F. Kegunaan Penelitian................................................................ 9 BAB II KAJIAN TEORI PENDIDIKAN ISLAM A. Pengertian Pendidikan Islam.................................................. 11 1. Pengertian Secara Bahasa.................................................. 11 2. Pengertian Secara Istilah.................................................... 18 B. Dasar-Dasar Pendidikan Islam............................................... 20 1. Al-Qur’an........................................................................... 20 2. Al-Hadits............................................................................ 21 3. Ijtihad................................................................................. 22 C. Sistem Pendidikan Islam........................................................ 23 1. Kurikulum Pendidikan Islam……………......................... 23 2. Pendidik atau Guru………................................................ 24 3. Peserta Didik……………….............................................. 26 4. Lingkungan Pendidikan..................................................... 26 5. Peralatan Pendidikan......................................................... 27 v D. Tujuan Pendidikan Islam....................................................... 27 1. Pengertian Tujuan Pendidikan Islam................................ 27 2. Tujuan Pendidikan Dalam Islam...................................... 28 BAB III METODOLOGI PENELITIAN A. Waktu dan Tempat Penelitian................................................ 32 B. Pendekatan dan Jenis Penelitian............................................. 33 C. Metode Penelitian................................................................... 34 D. Tekhnik Pengumpulan Data................................................... 34 E. Pengelolaan Data.................................................................... 35 F. Tekhnik Analisa Data..............................................................35 G. Sumber Penelitian....................................................................36 H. Tekhnik Penulisan.................................................................. 36 BAB IV HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN KONSEP PENDIDIKAN ISLAM MODERN MENURUT PEMIKIRAN MOHAMMAD NATSIR A. Biografi Mohammad Natsir...................................................37 1. Latar Belakang Mohammad Natsir dan Sejarah Kehidupannya.................................................................38 2. Peran, kepedulian, dan jasa-jasa Mohammad Natsir Terhadap Umat Islam dan Bangsa Indonesia Khususnya.......................................................................44 B. Konsep Pemikiran Pendidikan Islam Mohammad Natsir...... 51 1. Tauhid Sebagai Asas Pendidikan.................................... 52 2. Tujuan Pendidikan Islam................................................ 54 3. Pendidikan dan Nilai-nilai Agama.................................. 54 4. Pendidikan yang Universal..............................................56 5. Konsep Ilmu dan Orang Berilmu dalam Pendidikan.......58 6. Penguasaan Bahasa Asing............................................... 59 7. Kebebasan Berpikir Sebagai Tradisi Ilmu....................... 61 8. Hubungan Pendidikan dan Masyarakat............................64 vi C. Krakteristik Konsep Pendidikan Islam Modern Menurut Pemikiran Mohammad Natsir…………………………......... 65 BAB V PENUTUP A. Kesimpulan............................................................................. 69 B. Implikasi................................................................................ 70 C. Saran-saran............................................................................. 72 DAFTAR PUSTAKA........................................................................................ 73 LAMPIRAN-LAMPIRAN vii BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Sejak masa penjajahan hingga masa-masa sekarang pendidikan dan keilmuan di Indonesia pada umumnya masih terdikotomi menjadi dua, yaitu Pendidikan-keilmuan agama dan Pendidikan-keilmuan umum. Pada umumnya masyarakat menyikapi secara berbeda bahkan tidak sedikit yang mempertentangkannya dengan alasan yang bermacam-macam. Penomena ini dipastikan hasil dari sebab akibat kebijakan-kebijakan yang pernah diterapkan oleh pemerintah kolonial Belanda khususunya kebijakan dan peraturan dalam masalah Pendidikan dan keilmuan di Indonesia. Zuhairini menyatakan: “Belanda berkuasa mengatur pendidikan dan kehidupan beragama, sesuai dengan prinsip-prinsip kolonialisme, westernisasi dan kristenisasi.”1 Lebih lanjut Zuhairini menyatakan bahwa: Gubernur Jenderal Van den Capellen pada tahun 1819 M mengambil inisiatif merencanakan berdirinya sekolah dasar bagi penduduk pribumi agar dapat membantu pemerintah Belanda. Dalam surat Ederannya kepada para Bupati tersebut sebagai berikut: “Dianggap penting untuk secepat mungkin mengadakan peraturan pemerintah yang menjamin meratanya kemampuan membaca dan menulis bagi penduduk pribumi agar mereka lebih mudah untuk dapat menaati undang-undang dan “hukum negara”.2 Pada salah satu Point dalam angket yang ditujukan kepada bupatibupati berbunyi sebagai berikut: “Apakah Tuan Bupati tidak sepaham dengan kami bahwa pendidikan yang berguna adalah sejenis pendidikan yang sesuai dengan rumah tangga desa”.3 Jika dicermati, jelas sekali bahwa jiwa dari pernyataan surat Gubernur Jendral tersebut menggambarkan bahwa didirikannya pendidikan Sekolah Dasar 1 Zuhairini dkk, Sejarah Pendidikan Islam, (Jakarta: Bumi Aksara, 2008), cet. 9, h. 148 ibid 3 Ibid., h. 149 2 1 2 pada waktu itu tujuannya untuk membantu pemerintahan kolonial Belanda, dan mereka memandang bahwa Madrasah atau Pesantren itu tidak berguna bahkan suatu saat dan kapan saja akan membahayakan kedudukan Pemerintah Belanda di Indonesia. Jadi sangat jelas sekali dari upaya kebijakan pemerintah kolonial Belanda dalam masalah pendidikan, sebagaimana menurut Zuhairini, bahwa "kebijakan pemerintahan Belanda terhadap rakyat Indonesia khususnya dibidang pendidikan didasari oleh rasa ketakutan dan rasa kolonialismenya."4 Lebih lanjutZuhairini menyatakan: Untuk menjaga dan menghalangi masuknya pelajaran agama disekolah umum yang kebanyakan muridnya beragama Islam, maka pemerintah mengeluarkan peraturan yang disebut netral agama. Yakni bahwa pemerintah bersikap tidak memihak kepada salah satu agama sehingga sekolah pemerintah tidak mengajarkan agama. (indische Staat Regeling pasal 173-174).5 Jika kita memperhatikan berbagai kebijakan dan peraturan pemerintah kolonial Belanda waktu itu, seolah-olah mereka ingin melumpuhkan Pendidikan Islam dan menggantinya dengan pendidikan yang mereka inginkan yakni pendidikan yang mengarah dan membantu kepada kegiatan kristenisasi, westernisasi atau paling tidak sekularisasi. Pola-pola pendidikan seperti itu sangat membantu terjaminnya kedudukan mereka dalam menjajah bangsa Indonesia. Namun masyarakat Indonesia yang mayoritas beragama Islam waktu itu pada umumnya tidak hanya berdiam diri dan menerima kenyataan begitu saja, mereka laksana air bah yang sulit dibendung, ditahan disini akan meluap disebelah sana, dan begitu seterusnya. Bagaimana sikap umat Islam Indonesia dalam menghadapi tekanan dari pemerintah kolonial Belanda khususnya dalam pendidikan? Zuhairini menggambarkan sebagai berikut: Jiwa Islam tetap terpelihara dengan baik, para ulama dan kyai bersikap non cooperative dengan Belanda. Mereka menyingkir dari tempat yang dekat dengan Belanda. Mereka mengharamkan kebudayaan yang dibawa oleh Belanda dengan berpegang kepada hadits Nabi Muhammad Saw. yang 4 ibid Ibid, 150 5 3 artinya: “Barang siapa yang menyerupai suatu golongan, maka ia termasuk golongan tersebut” (Riwayat Abu Dawud dan Imam Hibban). Mereka tetap berpegang kepada ayat al-Qur‟an Surat Al-Maidah ayat 51 yang artinya: “Hai orang-orang yang beriman, janganlah orang Yahudi dan Nasrani engkau angkat sebagai pemimpinmu.6 Dari kenyataan-kenyataan sejarah sebagaimana yang tertera diatas, sangat jelas sekali bahwa adanya dikotomi keilmuan dan dikotomi pendidikan erat kaitannya dengan pola kebijakan pemerintah kolonial Belanda. Dari kebijakan-kebijakan pendidikan yang diterapkan oleh pemerintah kolonial Belanda pada waktu itu, kalau kita cermati setidaknya muncul empat kelompok intlektual dalam masyarakat indonesia yang satu sama lain berpandangan sangat berbeda namun disisi lain terdapat juga beberapa kesamaan. Empat kelompok tersebut yaitu: 1. Kelompok yang pro Belanda, mereka umumnya menjadi pegawai pemerintahan kolonial Belanda hingga masa pendudukan jepang. 2. Kelompok yang sangat antipati dengan pemerintahan Belanda dan sistemsistem yang dibawa oleh Penjajah. mereka ini umumnya adalah golongan Kyai (Ulama) dan Santri. Mereka banyak berdomisili di pedesaan-pedesaan, mereka ini juga sering diistilahkan dengan Islam tradisional. 3. Kelompok yang sadar akan kemerdekaan bangsanya namun mereka tidak begitu dekat dan tidak begitu tertarik untuk memahami agamanya dan menerapkannya dalan sistem kehidupan berbangsa dan bernegara. Kelompok ini pada umumnya lulusan dari pendidikan-pendidikan barat khususnya Belanda. kelompok seperti ini sering disebut dan dikategorikan sebagai kelompok Sisialis dan Nasionalis Sekuler. 4. Kelompok yang sadar akan kemerdekaan bangsanya, namun mereka juga sadar atas keterbelakangan umat Islam dari berbagai aspek. Sehingga umat Islam tetap dijajah oleh bangsa dan agama lain. Kelompok ini mayoritas lulusan dan sarjana pendidikan barat, namun sangat dekat dan cukup memahami ajaran Islam pada umumnya. Bahkan disisi lain pemahaman mereka bisa diseterakan dengan para ulama dan santri. Bahkan pula 6 ibid 4 kelompok ini berusaha untuk menerapkan hukum syari‟at Islam dalam kehidupan berbangsa dan bernegara. Kelompok ini sering disebut dengan Nasionalis Islam. Dari kelompok masyarakat ke empat inilah maka sejak pertengahan abad ke 19 hingga pertengahan abad ke 20 mulai muncul ide-ide pembaharuan pendidikan Islam. Mereka berusaha mengintegrasikan Pendidikan Islam dengan sistem pendidikan Barat. Diantara tokoh-tokoh yang banyak berkecimpung dalam pembaharuan Pendidikan Islam yaitu: KH. Ahmad Dahlan (1869-1923), KH. Hasyim Asyari (1871-1957) KH. Ahmad Soerkati (1875-1943), KH. Agus Salim (1884-1954) KH. A. Hasan (1887-1958), Ki Hadjar Dewantara (1889-1959), Prof. Dr. Mahmud Yunus (1899-1982) Dr. Mohammad Natsir (1908-1993), KH. Wahid Hasjim (1914-1953), Prof. Dr. Rasjidi (1915-2001) dan tokoh-tokoh lainnya masih banyak lagi. Dari segi pendidikannya, mayoritas para tokoh pembaharu ini sempat mengenyam Pendidikan barat khususnya Belanda. Bahkan sebagian diantara mereka seperti Prof. Dr. Rasjidi adalah Sarjana pendidikan Barat, dan M. Natsir seorang siswa AMS dengan lulusan terbaik, luar biasa dan sangat memuaskan dibandingkan dengan anak-anak Belanda sekalipun yang notabene serba lengkap dan cukup mendukung fasilitas belajarnya. Namun sebelumnya mereka juga banyak belajar mengenai Agama Islam secara baik dan mendalam sehingga Aqidah mereka kuat tak tergoyahkan oleh teori-toeri kaum Orientalis, dan pandangannya mengenai Islam sangat jelas serta mudah dipahami oleh masyarakat Islam yang awam sekalipun. Pendapat para pembaharu Pendidikan Islam, secara garis besar dapat disimpulkan sebagai berikut: “Pendidikan harus membentuk masyarakat yang berkualitas sebagai hamba Allah”. Maksudnya kaum muslimin harus menguasai agamanya dengan baik dan benar dan disisi lain kaum muslimin juga tidak tertinggal dalam persaingan global dan tekhnologi. Maka bisa dipastikan karena dengan alasan inilah mereka berusaha menyatukan pendidikan yang murni berasal dari Islam dengan pendidikankeilmuan dan segala sistem darimanapun asalnya baik Timur maupun Barat yang 5 menurut pandangan mereka bisa lebih meningkatkan pendidikan Islam dengan syarat sistem tersebut tidak merusak jati diri Agama Islam yang sebenarnya (yang sudah baku dan disepakati oleh mayoritas ummat Islam). Para tokoh pembaharu pendidikan Islam ini setidaknya mereka menanamkan tiga pokok besar dalam pendidikan Islam, yaitu: 1) landasan dasar pendidikan Islam; 2) sistem keilmuan dan pembelajaran yang berada pada pendidikan Islam; 3) kegunaan (pengamalan) dan tujuan (arah) pendidikan Islam. Diantara beberapa tokoh pembaharu pendidikan Islam tersebut, terdapat salah satu yang menjadi fokus perhatian penulis, yakni Mohammad Natsir. Walaupun Beliau hanya lulusan AMS (setingkat SMA sekarang) tetapi Beliau adalah seorang cendekiawan muslim yang sangat brilian. Beliau sangat dikagumi oleh kawan maupun lawan, disegani masyarakat baik di dalam maupun diluar negri. Menurut Adian Husaini, “ Natsir bukan hanya politisi andal, dia adalah seorang pejuang pendidikan yang layak disejajarkan dengan tokoh-tokoh seperti KH. Ahmad Dahlan, Ki Hadjar Dewantara, dan sebagainya”.7 Didorong oleh kepeduliannya pada problematika umat Islam, pada waktu itu, ia memahami bahwa masalah penting yang membelenggu sebagian besar umat Islam adalah kebodohan dan kemiskinan yang mana hal itu menjadi lahan subur bagi aktivis misionaris Kristen untuk melakukan kristenisasi atau minimal menetralisir masyarakat Indonesia dari agamanya (Sekularisasi). Dengan demikian maka Mohammad Natsir dalam usianya yang masih muda (24 tahun) ia mendirikan Pendidikan Islam (Pendis) dan diluar Pendis beliau memberikan pelajaran-pelajaran agama kepada murid-murid sekolah umum yang beliau ajar, seperti murid-murid HIS, MULO dan Kweek School (Sekolah Guru). Pada masa-masa mudanya, setelah lulus dari AMS, selain aktif mengajar dan membina Pendidikan Islam (Pendis) yang ia rintis, beliau juga aktif diberbagai Organisasi ke-Islaman, antara lain Persis, Jong Islamiten Bond, Partai Syarikat Islam dan Muhammadiyah. 7 Adian Husaini, Virus Liberalisme di Perguruan Tinggi Islam, (Jakarta: Gema Insani Press, 2009), cet. 1. h. 26 6 Menurut Adian Husaiani, “berangkat dari pencermatan dan pengalaman pada dirinya sendiri, Natsir kemudian mencoba mengintegrasikan pendidikan yang ketika itu sudah terbelah yakni pendidikan agama dan umum. Natsir menginginkan adanya integrasi pendidikan agar kaum Muslimin menguasai agamanya dengan baik dan pada sisi lain juga tidak tertinggal dalam persaingan global.”8 Pada jaman Revolusi fisik, Agustus 1945, sampai Desember 1949, beliau merupakan partisipan aktif dalam barisan pimpinan tertinggi revolusi dibawah pimpinan bung Karno dan bung Hatta.9 Dari pengalamannya pula sebagai aktivis organisasi-organisasi Nasional, dan didorong oleh keinginan luhur membangun bangsanya, Mohammad Natsir akhirnya terlibat langsung dalam politik praktis di pemerintahan yang waktu itu baru lahir. Beliau adalah sebagai ketua umum Masyumi, salah satu Partai politik yang besar ketika itu dan menjadi oposisi bagi pemerintahan Soekarno. Dalam pemerintahan dan politik, terdapat pula peranan beliau yang amat menentukan dalam penyelamatan Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI), yakni pada April tahun 1950, dengan terlebih dahulu melobi petinggi pemerintahan dan para petinggi partai, beliau akhirnya berhasil mengembalikan bangsa Indonesia dari RIS kepada NKRI. Hal ini disebut dengan Mosi Integral Natsir, sehingga soekarno akhirnya meminta Mohammad Natsir menjadi formatur kabinet sekaligus perdana menteri. Selain sebagai aktivis organisasi-oraganisasi Nasional, politisi, dan pendidik (guru), beliau juga aktif menulis tentang berbagai keilmuan, khususnya yang berkaitan dengan Islam dan kaum Muslim. Sebagaimana berikut ini Adian Husaini menyebutkan: Pada sekitar tahun 1930-an, dalam usia sekitar tiga puluhan, Natsir telah aktif menulis tentang berbagai persoalan keilmuan dan terlibat dalam perdebatan ilmiah dengan berbagai kalangan. Melalui tulisan-tulisannya, ketika itu, tampak Natsir sudah membaca berbagai literatur tentang Aqidah, 8 Ibid, h. 37 Endang Saifudin Anshari dan Amin Rais, “Kata Pengantar”, dalam Endang Saifudin Anshari (ed), Pak Natsir 80 Tahun buku kedua,(Jakarta: Media Dakwah, 1988). Cet. 1, h. vii 9 7 Sejarah, Ilmu Kalam, Tasawuf, Filsafat, Syari‟ah, Perbandingan Agama, dan sebagainya. Hampir dalam setiap tulisannya Natsir mampu meramu dengan baik sumber-sumber dari kalangan Muslim maupun karya-karya orientalis barat.10 Mengenai kecendekiawanan dan intlektulitas Mohammad Natsir ini, Lebih lanjut Adian Husaini menyatakan : Tulisan-tulisan M. Natsir mengandung visi dan misi yang jelas dalam pembelaan terhadap Islam. Dalam buku-buku dan artikel-artikel yang ditulisnya, tentang berbagai masalah dalam Islam, kita bisa menemukan semangat dan kepercayaan diri yang tinggi dari seorang Natsir yang sama sekali tidak minder atau rendah diri menghadapi serbuan paham sekularisme barat. Yang waktu itu begitu banyak menyihir otak kaum terpelajar dan elite bangsa.11 Setelah Mohammad Natsir dan partai politiknya dibekukan oleh Soekarno dengan alasan terlibat PRRI tahun 1957, hingga pada masa pemerintahan Soeharto, sikap pemerintah tidak berubah. Bahkan pada masa Presiden Suharto lebih menyedihkan lagi, Mohammad Natsir dicekal hak-hak pribadinya, beliau dilarang bepergian keluar negeri dengan alasan M. Natsir telah ikut menandatangani Petisi 50 (surat pernyataan keprihatian atas pidato dan kebijakan Soeharto). Namun demikian, ia tetap berjuang untuk rakyat indonesia dan ummat Islam khususnya. Pada masa-masa inilah peranan beliau dalam Dakwah dan sekaligus membentuk (Pengkaderan) mujahid-mujahid Dakwah di berbagai Perguruan Tinggi di Indonesia sangat menonjol dan membuahkan hasil. Dalam hal iniAdian Husaini menggambarkan sebagai berikut: Setelah lepas dari gelanggang politik formal, Natsir mengaktifkan diri dalam dunia dakwah melalui Dewan Dakwah Islamiyah Indonesia (DDII). Disinilah Natsir mulai melakukan pembinaan intlektual melalui tiga jalur strategis, yaitu kampus, masjid, dan pesantren. Dari berbagai masjid kampus yang didirikan, Natsir berhasil melakukan kaderisasi intlektual dan menanamkan benih dakwah di kalangan kaum intlektual. Tahun 1984. Natsir juga tercatat sebagai Ketua Badan Penasehat Yayasan Pembina Pondok Pesantren Indonesia. Beliau juga termasuk pelopor berdirinya berbagai Pesantren Tinggi (Ma‟had „Aliy) di Indonesia.12 10 Adian Husaini, op, cit., h. 41 Ibid, h. 40 12 Ibid, h. 38 11 8 Dari pernyataan-pernyataan diatas, maka dapat dipahami, bahwa Dr. Mohammad Natsir adalah seorang ilmuwan, intlektual, sekaligus pendidik dan tokoh teladan bagi bangsa indonesia saat ini. Dari kenyataan-kenyataan sejarah yang demikian jelas itu, maka pada tanggal 7 November 2008, Presiden Susilo Bambang Yudhoyono atas nama pemerintah Republik Indonesia menyerahkan Kepres No. 041/TK/Tahun 2008 tentang pemberian gelar pahlawan untuk Mohammad Natsir. Hal-hal inilah yang membuat penulis cukup tertarik dan menjadi latar belakang untuk mendalami lebih lanjut mengenai Pemikiran dan Konsep beliau tentang Pendidikan Islam. Sehingga dengan demikian penulis mengambil judul “Konsep Pendidikan Islam Modern Menurut Dr. Mohammad Natsir”. B. Identifikasi Masalah Berdasarkan latar belakang yang telah diuraikan diatas, maka masalahmasalah yang terkait dengan hal tersebut dapat diidentifikasi sebagai berikut: 1. Sikap sebagian besar masyarakat yang masih mendikotomikan sistem keilmuan dan pendidikan berkaitan erat dengan kebijakan yang telah diterapkan oleh pemerintah kolonial Belanda. 2. Adanya pembaharuan konsep pendidikan Islam agar lebih dinamis dan kreatif berkaitan erat dengan adanya kesadaran dari masyarakat yang terdidik. 3. Konsep pendidikan Islam yang diperjuangkan oleh para Tokoh Pendidikan Islam secara garis besar mencakup tiga permasalahan pokok, yaitu: 1) landasan dasar pendidikan Islam; 2) sistem keilmuan dan pembelajaran yang berada pada pendidikan Islam; 3) kegunaan (pengamalan) dan tujuan (arah) pendidikan Islam. C. Pembatasan Masalah Permasalahan mengenai pembaharuan Pendidikan dalam Islam merupakan suatu permasalahan yang sangat luas. Maka oleh karena itu, untuk menghindari melebarnya pembahasan ini, maka batasan masalah pokok yang akan dibahas dalam kajian skripsi ini adalah sebagai berikut: 9 1. Konsep baku pendidikan Islam yang mencakup pengertian Pendidikan Islam, arah dan tujuan pendidikan Islam, dan landasan dasar pendidikan Islam. 2. Konsep dan pemikiran Pendidikan Islam Mohammad Natsir yang mencakup konsep baku pendidikan Islam juga mencakup sistem dan metodologi pendidikan dan bentuk keilmuan mutakhir yang harus dikembangkan dan diakui. D. Perumusan Masalah Dengan pembatasan masalah tersebut di atas, maka dikemukakan perumusan masalah untuk mempermudah pembahasan ini, yaitu sebagai berikut: 1. Unsur-unsur apa saja Pendidikan Islam Modern menurut pemikiran Mohammad Natsir? 2. Bagaimana kerakteristik pendidikan Islam Modern dalam konsep pemikiran Pendidikan Islam Mohammad Natsir? E. Tujuan Penelitian Tujuan yang ingin dicapai dari penelitian ini adalah untuk mengetahui konsep dan pemikiran Pendidikan Islam modern menurut Mohammad Natsir dan mengambil serta mengembangkannya. F. Kegunaan Penelitian 1. Kegunaan Teoritis Dari hasil penelitian ini, akan ditemukan konsep-konsep pendidikan Islam pada umumnya dan konsep serta pemikiran Pendidikan Islam versi mohammad Natsir. Dengan demikian diharapkan bisa bermanfaat untuk menambah khazanah ilmu pengetahuan dibidang pendidikan. 2. Kegunaan Praktis Dengan diketahuinya hal-hal yang telah dirumuskan dalam penelitian ini, maka diharapkan hasil penelitian ini dapat bermanfaat bagi: a. Kalangan Pendidik khususnya guru Memberikan pencerahan dan motivasi bagi para pendidik khususnya guru Pendidikan Agama Islam untuk menanamkan minat dalam memperbaiki 10 kualitas pendidikan dan dalam mengemban amanah yang diberikan masyarakat. b. Praktisi Pendidikan Memberikan suatu pertimbangan dalam hal pentingnya konsep-konsep pendidikan yang mesti dipakai oleh umat Islam Indonesia, karena di Indonesia mayoritas adalah umat Islam, maka kesesuaian pendidikan dan ajaran agama Islam perlu diperhatikan agar tidak jadi pertentangan atau permasalahan dikemudian hari. c. Lembaga Pendidikan Memberikan bahan referensi dan masukan serta tolok ukur dan kontribusi bagi khazanah keilmuan sehingga mampu meningkatkan mutu pendidikan Islam yang sesui dengan arah dan tujuan pendidikan Islam tersebut. d. Peserta didik Memberikan motivasi agar peserta didik mengetahui arti pendidikan yang sesungguhnya dan mengetahui apa sebenarnya tujuan akhir dari pendidikan tersebut sehingga diharapkan mereka tidak kebingungan dan tangguh dalam mengahadapi perkembangan jaman. e. Masyarakat umum Memberikan informasi mengenai pentingnya pendidikan Islam bagi umat Islam dalam rangka mengembangkan dan mempertahankan mutu generasi Islam dan generasi bangsa Indonesia. BAB II KAJIAN TEORI PENDIDIKAN ISLAM A. Pengertian Pendidikan Islam 1. Pengertian Pendidikan Islam Secara Bahasa Sebelum menjelaskan tentang pengertian Pendidikan Islam, terlebih dahulu penulis memaparkan pandangan para ahli tentang arti dari kata “Pendidikan” dan arti dari kata “Islam”, sehingga diharapkan kita bisa lebih mudah memahami pengertian dari “Pendidikan Islam” atau “Pendidikan dalam Islam”. a. Definisi Pendidikan Pendidikan dalam bahasa Inggrisnya adalah education, berasal dari bahasa Latin educare berarti “memasukan sesuatu”1 Pendidikan Secara Istilah, para ahli pendidikan mendefinisikan sebagai berikut: 1) Menurut Hasan Shadily, Pendidikan adalah: “Peroses membimbing manusia dari kegelapan kebodohan ke kecerahan pengetahuan. Dalam arti luas, pendidikan baik yang formal maupun yang informal meliputi segala hal yang memperluas pengetahuan manusia tentang dirinya sendiri, dan tentang dunia di mana mereka itu hidup”.2 2) Menurut Munadir, “Pendidikan yaitu suatu usaha sadar memfasilitasi orang sebagai pribadi yang utuh sehingga teraktualisasi dan terkembangkan potensinya mencapai tarap pertumbuhan dan perkembangan yang dikehendaki melalui belajar”.3 1 Hasan Langgulung, Asas-asas Pendidikan Islam, (Jakarta: Pustaka Al Husna Baru, 2003), cet. 5, h. 2 2 Hasan Shadily (eds.), Ensiklopedia Indonesia Jilid V, (Jakarta: Ichtiar Baru-Van Hoeve, 1984), cet. 1, h. 2627 3 Munadir, Ensiklopedia Pendidikan, (Malang: UM-Press, 2001), cet. 1, h. 229 11 12 3) Menurut Hasan Langgulung, Pendidikan dapat ditinjau dari dua segi, pertama dari sudut pandang masyarakat, yaitu: “Pendidikan berarti pewarisan kebudayaan dari generasi tua kepada generasi muda agar hidup masyarakat tetap berlanjut. Kedua dari segi pandangan Individu, Pendidikan berarti pengembangan potensi-potensi yang terpendam dan tersembunyi”.4 4) Menurut Muhaimin, Pengertian Pendidikan bahkan lebih diperluas cakupannya sebagai aktivitas dan fenomena. Pendidikan sebagai aktivitas berarti upaya yang secara sadar dirancang untuk membantu seseorang atau sekelompok orang dalam mengembangkan pandangan hidup, sikap hidup, dan keterampilan hidup, baik yang bersifat manual maupun mental dan sosial.5 5) Menurut Undang-undang Sistem Pendidikan Nasional (UUSPN). No. 20 Tahun 2003, Pendidikan diartikan: “.....Usaha sadar dan terencana untuk mewujudkan suasana belajar dan proses pembelajaran agar peserta didik secara aktif mengembangkan potensi dirinya untuk memiliki kekuatan spiritual keagamaan, pengendalian diri, kepribadian, kecerdasan, akhlak mulia, serta keterampilan yang diperlukan dirinya, masyarakat, bangsa, dan negara.”6 b. Definisi Islam Menurut Mohammad Daud Ali, Secara bahasa Islam adalah: Kata “Islam” berasal dari dari kata salam artinya patuh atau menerima; berakar dari huruf sin lam mim (S-I-M). Kata dasarnya adalah salima yang berarti sejahtera, tidak tercela, tidak bercacat. Dari kata itu terbentuk kata masdar salâmat (yang dalam bahasa Indonesia menjadi selamat). Dari akar kata itu juga terbentuk kata salm, silm yang berarti kedamaian, kepatuhan, penyerahan (diri).7 Dari uraian di atas, dapat disimpulkan bahwa arti yang dikandung dalam kata “Islam” adalah: kedamaian, kesejahteraan, keselamatan, penyerahan 4 Hasan Langgulung, Op.cit, h. 1 Muhaimin,et.al, Paradigma Pendidikan Islam, (Bandung: PT. Remaja Rosda Karya, 2004), Cet. 3, h. 37 6 Himpunan Peraturan Perundang-undangan Sistem Pendidikan Nasional, (Bandung, Fokus Media, 2009), cet. 1, h. 2 7 Mohamamad Daud Ali, Pendidikan Agama Islam, (Jakarta: PT. Raja Grafindo Persada, 2000), cet. 3, h. 49 5 13 diri, dan kepatuhan kepada Tuhan. Tapi tidak semua orang atau agama yang mengaku dan bersikap “pasrah” atau “penyerahan diri” kepada Tuhan disebut Islam, karena ketika mengartikan sebuah nama tidaklah hanya dilihat dari segi bahasa saja, tapi harus dengan istilah khusus yang sudah baku dan sudah ditentukan Syarat, maksud, dan tujuannya oleh yang membuat nama tersebut, dan tidak boleh merubah atau membelokan arti dari suatu kata bilamana kata tersebut sudah dijelaskan oleh yang membuat kata tersebut. Termasuk kata “Islam” yang sudah jelas maksud dan tujuannya. Definisi dari segi bahasa hanyalah sebagai tambahan saja. Pengertian Islam dari segi istilah, adalah sebagai berikut: 1) Dalam Al-Qur‟an surat Al-Maidah ayat 3, kata Islam bermaksud: ....pada hari ini telah Kusempurnakan untuk kamu agamamu, dan telah Ku-cukupkan kepadamu nikmat-Ku, dan telah Ku-ridhai Islam itu Jadi agama bagimu...(Qs. Al-Maidah: 3) 2) Dalam Kitab Hadits Arba‟in An-Nawawiyah Nabi Muhammad Saw. Telah menjelaskan bahwa Islam adalah: .....Rasulullah Saw.berkata,”Islam adalah engkau bersaksi bahwa tiada Tuhan selain Allah dan sesungguhnya Muhammad adalah utusan Allah, mendirikan shalat, membayar zakat, berpuasa pada bulan ramadhan, mengerjakan ibadah haji ke Baitullah jika engkau mampu melakukannya....” (HR. Muslim)8 Dalam hadits ke 3 dalam kitab Arba‟in An-Nawawiyah juga disebutkan: 8 An-Nawawi, Terjemah Hadits Arba‟in An-Nawawiyah, Terj. Dari Al-Arba‟in AnNawawiyah, Tim Shalahuddin, (Jakarta: Shalahuddin Press, 2006), cet. 4, h. 10 14 Dari Abu Abdurrahman Abdullah bin Umar bin Khattab ra.Berkata, Aku pernah mendengar Rasulullah saw. bersabda, “Islam dibangun diatas lima dasar: bersaksi bahwa tiada Tuhan selain Allah dan Muhammad adalah utusan Allah, mendirikan shalat, membayar zakat, mengerjakan haji ke Baitullah, dan berpuasa Ramadhan.” (HR. Bukhari dan Muslim).9 3) Menurut Syed Muhammad Naquib al-Attas, “Islam” bukan semata-mata sebuah kata kerja yang bermakna kepasrahan (submission); ia juga nama sebuah agama yang menjelaskan cara kepasrahan yang benar, juga sekaligus menjelaskan definisi agama (secara umum): kepasrahan kepada Tuhan.”10 4) Dalam kamus besar bahasa Indonesia, Islam adalah: “Agama yang diajarkan oleh Nabi Muhammad Saw. yang berpedoman pada kitab suci al-Qur‟an atas perintah Allah.11 5) Dalam buku “Ensiklopedia Pemikiran Sosial Modern” mengartikan bahwa: “Islam adalah sebagai agama monoteis dunia, mengombinasikan hukum suci wahyu nabi dengan bentuk tradisi religius dan mendetail.12 Dari pengertian dan ungkapan-ungkapan di atas maka bisa disimpulkan bahwa Islam adalah sebuah agama yang dibawa dan diajarkan oleh Nabi Muhammad Saw. untuk seluruh umat manusia dan siapa saja yang bersedia menerimanya. c. Pengertian Pendidikan Islam secara bahasa Dari kesimpulan pengertian “pendidikan” dan dari pengertian “Islam” diatas, maka ketika mendefinisikan “Pendidikan Islam” baik secara bahasa 9 Ibid., h. 12 Adian Husaini, Wajah Peradaban Barat Dari Hegemoni Kristen ke Dominasi SekularLiberal, (Jakarta: Gema Insani Press, 2005), cet. 1, h. 355 11 Peter Salim danYenny Salim, Kamus Besar Bahasa Indonesia, (Jakarta: Modern English Press, 2002), cet. 3, h. 581 12 William Outh waite (ed.), Ensiklopedi Pemikiran Sosial Modern, (Jakarta: Kencana, 2008), cet. 1, h. 409 10 15 maupun istilah, tentu merujuk kepada istilah-istilah yang sudah ada dalam ajaran islam, yakni ajaran yang dibawa oleh nabi Muhammad Saw. Di bawah ini penulis paparkan pendapat para ahli mengenai arti Pendidikan Islam secara bahasa sebagaimana yang dimaksud di atas. Yaitu: Hery Noer Aly menyatakan: di dalam masyarakat Islam sekurangkurangnya terdapat tiga istilah yang digunakan untuk menandai konsep pendidikan. Yaitu tarbiyah ()تزتية, Ta‟lim ()تعليم, dan Ta‟dib ()تأ دية. 13 Abdul Mujib menyatakan: Pendidikan dalam wacana keislaman lebih populer dengan istilah tarbiyah, ta‟lim, ta‟dib, dan riyadhah. Kesemuanya itu memiliki makna yang sama jika disebut salah satunya, sebab salah satu istilah itu sebenarnya mewakili istilah yang lain.14 Pengertian satu persatu dari istilah-istilah Pendidikan Islam di atas adalah sebagai berikut: 1) Tarbiyah Istilah Tarbiyah berasal dari kata: Pertama Kata rabâ yarbû (ٌيزت yang berarti bertambah dan tumbuh. Kedua, kata, rabiya yarbâ (يزتى ،)رتا ،)رتي yang berarti tumbuh dan berkembang. Ketiga, kata rabba yarubbu (يزب،)رب yang berarti memperbaiki, menguasai, memimpin, menjaga, dan memelihara. Kata al-Rabb (ّ)الزب, juga berasal dari kata tarbiyah dan berarti mengantarkan sesuatu menjadi sempurna secara berangsur-angsur.15 Kata Tarbiyah dipergunakan untuk pendidikan, seperti firman Allah dalam surat Asra‟ yang berbunyi: 13 Hery Noer Aly, Ilmu Pendidikan Islam, (Jakarta: PT. Logos Wacana Ilmu, 1999), cet. 1, h. 3 14 Abdul Mujib dan Jusuf Mudzakkir, Ilmu Pendidikan Islam, (Jakarta: Kencana Prenada Media Group, 2008), cet. 2, h.... 15 Hery Noer Aly, Op.cit., h. 4 16 Dan rendahkanlah dirimu terhadap mereka berdua dengan penuh kesayangan dan ucapkanlah: "Wahai Tuhanku, kasihilah mereka keduanya, sebagaimana mereka berdua telah mendidik aku waktu kecil". (Qs. Al-Isra: 24)16 Menurut Abdul Fath Jalal, Yang dimaksud dengan Tarbiyah ialah proses persiapan dan pengasuhan pada fase pertama pertumbuhan manusia, atau menurut istilah yang kita gunakan dewasa ini ialah pada fase bayi dan kanakkanak.17 Sedangkan menurut Abdul Halim Mahmud, Tarbiyah ialah: proses pendidikan yang dilakukan oleh generasi yang besar kepada generasi yang kecil, dengan tujuan membangunnya dengan pengembangan yang baik, yang mewujudkan keinsanan mereka dan yang menjadi faktor penyebab mereka dimuliakan oleh Allah Swt, sesuai dengan fase perkembangan mereka, di bawah naungan madrasah Islam, tenaga pengajarnya, buku-buku pelajarannya, misinya, manhajnya, bangunannya, dan visi-misinya.18 2) Ta‟lim Ta‟lim “merupakan kata benda buatan (mashdar) yang berasal dari akar kata „allama. Sebagian para ahli menerjemahkan istilah tarbiyah dengan pendidikan, sedangkan ta‟lim diterjemahkan dengan pengajaran. Kalimat allamahu al-„ilm memiliki arti mengajarkan ilmu kepadanya.”19 Muhammad Rasyid Ridha mengartikan ta‟lim dengan “proses transmisi berbagai ilmu pengetahuan pada jiwa individu tanpa adanya batasan dan ketentuan”. Pengertian ini didasarkan pada Firman Allah Swt. Dalam QS. AlBaqarah: 31 Dan Dia mengajarkan kepada Adam Nama-nama (benda-benda) seluruhnya, kemudian mengemukakannya kepada Para Malaikat lalu 16 Hasan Langgulung, Op.cit, h. 3 Abdul Fatah Jalal, Azas-azas Pendidikan Islam, (Bandung: CV. Dipenegoro, 1988),cet.1, h. 28 18 Abdul Halim Mahmud, Pendidikan Ruhani, Terj. Dari At-Tarbiyah ar-Ruhiyah oleh Abdul Hayyie al-Kattani, (Jakarta: Gema Insani Press, 2000), Cet.1, h. 21 19 Abdul Mujib dan Jusuf Mudzakkir, Op.cit, h. 18 17 17 berfirman: "Sebutkanlah kepada-Ku nama benda-benda itu jika kamu mamang benar orang-orang yang benar!" (Qs. Al-Baqarah: 31)20 3) Ta‟dib Ta‟dib, lazimnya diterjemahkan dengan “pendidikan sopan santun, tata krama, adab, budi pekerti, akhlak, moral, dan etika. Ta‟dib yang seakar kata dengan adab memiliki arti pendidikan peradaban atau kebudayaan. Artinya orang yang berpendidikan adalah orang yang berperadaban, sebaliknya, peradaban yang berkualitas dapat diraih melalui pendidikan.”21 Mengenai Ta‟dib, Hery Noer Aly menyatakan bahwa istilah Ta‟dib untuk Pendidikan dalam Islam ditawarkan oleh al-Attas yakni sebagai berikut: Istilah Ta‟dib untuk menandai konsep pendidikan dalam Islam ditawarkan oleh al-Attas. Istilah ini berasal dari kata adab dan, pada pendapatnya, berarti pengenalan dan pengakuan tentang hakikat bahwa pengetahuan dan wujud bersifat teratur secara hierarkis sesuai dengan berbagai tingkatan dan derajat tingkatannya serta tentang tempat seseorang yang tepat dalam hubungannya dengan hakikat itu serta dengan kapasitas dan potensi jasmani, intlektual, maupun rohani seseorang. Dengan pengertian ini kata adab mencakup pengertian „ilm dan „amal.22 Menurut Naquib al-Attas, “Ta‟dib berarti pengenalan dan pengakuan yang secara berangsur-angsur ditanamkan kepada manusia tentang tempat-tempat yang tepat dari segala sesuatu di dalam tatanan penciptaan, sehingga membimbing ke arah pengenalan dan pengakuan kekuatan dan keagungan Tuhan. Pengertian ini didasarkan hadits berikut ini: “Tuhanku telah mendidikku, sehingga menjadikan baik pendidikanku.” (HR. Ibnu Hibban).23 “aku diutus untuk memperbaikai kemuliaan akhlak”. (HR. Malik bin Annas dari Annas bin Malik)24 20 Ibid, h.19 Ibid, h. 20 22 Hery Noer Aly, Op.cit., h. 9 23 As-Suyuti, Jamludin Abdurrahman, Al-Jami as-Shaghir, terj. Najih Ahjad, (Surabaya: Bina Ilmu, 1995), cet. 1, h. III 24 Abdul Mujib dan Jusuf Mudzakkir, Op.cit, h. 20 21 18 4) Riyadhah Riyadhah secara bahasa diartikan dengan “pengajaran dan pelatihan. Menurut al-Bastani, riyadhah dalam konteks pendidikan berarti mendidik jiwa anak dengan akhlak yang mulia”.25 Dari beberapa istilah di atas, penulis menyimpulkan bahwa “istilahistilah untuk pendidikan islam walaupun berbeda dari segi pengertiannya tetapi semuanya sama yakni mengacu kepada istilah perbaikan moral, sikap, dan sudut pandang sebagai manusia seutuhnya yang beriman kepada Allah Swt sesuai dengan ajaran yang dibawa oleh Nabi Muhammad Saw”. 2. Pengertian Pendidikan Islam Secara Istilah Secara Istilah “Pendidikan Islam” diartikan oleh para ahli sebagai berikut: a. Menurut hasil seminar pendidikan Islam se-Indonesia tahun 1960 dirumuskan pendidikan Islam: “bimbingan terhadap pertumbuhan rohani dan jasmani menurut ajaran Islam dengan hikmah mengarahkan, mengajarkan, melatih, mengasuh, dan mengawasi berlakunya semua ajaran Islam.26 b. Menurut Omar Muhammad al-Toumi al-Syaibani mendefinisikan pendidikan Islam dengan: “proses mengubah tingkah laku individu pada kehidupan pribadi, masyarakat dan alam sekitarnya, dengan cara pengajaran sebagai suatu aktivitas asasi dan sebagai profesi diantara porfesi-profesi asasi dalam masyarakat.27 c. Menurut Muhammad Fadhil al-Jamali, Pendidikan Islam adalah: “upaya mengembangkan, mendorong, serta mengajak manusia untuk lebih maju dengan berlandaskan nilai-nilai yang tinggi dan kehidupan yang mulia, sehingga terbentuk pribadi yang lebih sempurna, baik yang berkaitan dengan akal, perasaan maupun perbuatan.28 25 Ibid, h. 21 Ibid, h. 27 27 Ibid, h. 25-26 28 Ibid, h. 26 26 19 d. Menurut Zakiyah Daradjat, Pendidikan Islam adalah Pembentukan kpribadian Muslim karena dalam pendidikan Islam terdapat pendidikan Iman dan pendidikan amal.29 e. Menurut H.M. Arifin, Pendidikan Islam adalah: “suatu sistem kependidikan yang mencakup seluruh aspek kehidupan yang dibutuhkan oleh hamba Allah, sebagaimana Islam telah menjadi pedoman bagi seluruh aspek kehidupan manusia, baik duniawi maupun ukhrawi.”30 f. Menurut Haidar Putra Daulay, Pendidikan Islam adalah pendidikan yang bertujuan untuk membentuk pribadi Muslim seutuhnya, mengembangkan seluruh potensi manusia baik yang berbentuk jasmaniah maupun rohaniah, menumbuh suburkan hubungan harmonis setiap pribadi dengan Allah, Manusia dan alam semesta.31 Dari beberapa pendapat para ahli sebagaimana penulis uraikan diatas, maka penulis menyimpulkan bahwa pendidikan Islam itu adalah “Proses pembentukan pribadi Muslim yang seutuhnya sesuai dengan tujuan hidup yang telah ditentukan dalam Islam, yakni pribadi yang taat dan patuh kepada perintah dan larangan Allah/Beribadah kepada Allah, sehingga seorang Muslim yang sudah dididik bisa mengemban amanahnya sebagai ”khalifah di muka Bumi.” Allah Swt. berfirman: Dan aku tidak menciptakan jin dan manusia melainkan supaya mereka mengabdi kepada-Ku. (Qs. Adz-Dzariyat:56) Kemudian Kami jadikan kamu pengganti-pengganti (mereka) di muka bumi sesudah mereka, supaya Kami memperhatikan bagaimana kamu berbuat. (Qs. Yunus: 14) 29 Zakiyah Daradzat, Ilmu Pendidikan Islam, (Jakarta: Bumi Aksara, 1996), cet. 3, h. 28 H.M. Arifin, Ilmu Pendidikan Islam, (Jakarta: PT. Bumi Aksara, 2009), cet. 4, h. 8 31 Haidar Putra Daulay, Pendidikan Islam Dalam Sistem Pendidikan Nasional di Indonesia, (Jakarta: Prenada Media, 2004), cet. 1, h. 153 30 20 B. Dasar-dasar Pendidikan Islam Dasar secara bahasa, berarti alas, fundamen, pokok, atau pangkal segala sesuatu (pendapat, ajaran, atau aturan).32 Hery Noer Aly menyatakan: Dasar ilmu Pendidikan Islam adalah Islam dengan segala ajarannya. Ajaran itu bersumber pada al-Qur‟an, sunnah Rasulullah saw. (selanjutnya disebut sunnah), dan rakyu (hasil pikir manusia). Tiga sumber ini harus digunakan secara hirarkis. Al-Qur‟an harus didahulukan. Apabila suatu ajaran atau penjelasannya tidak ditemukan di dalam al-Qur‟an, maka harus dicari di dalam sunnah; apabila tidak juga ditemukan didalam sunnah, barulah digunakan rakyu. Sunnah tidak akan bertentangan dengan alQur‟an, dan rakyu tidak boleh bertentangan dengan al-Qur‟an dan Sunnah.33 Jadi berdasarkan keterangan di atas, Dasar-dasar atau landasan bagi pendidikan islam yaitu pertama al-Qur‟an, kedua al-Hadits, dan ketiga rakyu atau dalam pengertian lain disebut juga ijtihad. 1. Al-Qur’an Hery Noer Aly menyatakan, Al-Qur‟an adalah “kalam Allah Swt. yang diturunkan kepada Muhammad saw. dalam bhasa Arab yang terang guna menjelaskan jalan hidup yang bermaslahat bagi umat manusia didunia dan diakhirat”.34 Siradjuddin Abbas menyatakan, Al-Qur‟an adalah kalam Allah dan sifat Allah yang Qadim.35 Secara panjang lebar Abdul Wahab Khallaf menjelaskan bahwa: Al-Qur‟an adalah Firman Allah yang diturunkan oleh Allah dengan perantaraan Jibril kedalam hati Rasulullah Muhammad bin Abdullah dengan lafal bahasa Arab dan makna yang pasti sebagai bukti bagi Rasul bahwasannya dia adalah utusan Allah, sebagai undang-undang sekaligus petunjuk bagi umat manusia, dan sebagai sarana pendekatan (seorang hamba kepada tuhannya) sekaligus sebagai ibadah kalau dibaca.36 32 Hery Noer Aly, Op.cit., 29 Ibid, h. 30 34 Ibid, h. 32 35 Siradjuddin Abbas, I‟tiqad Ahlussunnah Waljamaah, (Jakarta: Pustaka Tarbiyah, 1977) cet. 3, h. 190 36 Abdul Wahab Khallaf, Ilmu Ushul Fikih, Terj. Dari „Ilmu Ushul Fiqholeh Faiz el Muttaqin, (Jakarta: Pustaka Amani, 2003), Cet.1, h. 1 33 21 Dari ketiga pendapat diatas, intinya sama, yakni Al-Qur‟an itu sebagai wahyu dari Allah yang diturunkan kepada utusan-Nya Muhammad Saw. untuk dijadikan pegangan hidup ummat manusia sebagai sumber pedoman dalam melaksanakan segala kegiatannya termasuk Pendidikan. Rasulullah Saw. bersabda: ،ٖ ًَطَزْفُ ُو تِأَيْدِيْكُ ْم فَتَمَّسَكٌُْاتِو،ِّن طَزْفُ ُو تِيَدِاهلل َ ّن ىٰذَاالْقُزْا َ ِ فَإ،أَتْشِزًُْا ن تَضِلٌُْا تَعْدَ ُه أَتَدًا ْ َ ًَل،ن تَيْلِكٌُْا ْ َفَإِّنَكُ ْم ل Bergembiralah, sesungguhnya al-Qur‟an ini, satu sisinya berada “ditangan” Allah dan sisinya yang lain berada di tangan kalian. Maka berpeganglah dengannya, sesungguhnya kalian tidak akan binasa dan tidak akan tersesat sesudahnya selam-lamanya. (HR. Ath-Thabrani)37 2. Al-Hadits menurut ahli hadits, pengertian hadits adalah “segala perkataan Nabi, perbuatan, dan hal ihwalnya.” Yang dimaksud dengan “hal ihwal” ialah segala yang diriwayatkan dari Nabi Saw. yang berkaitan dengan himmah, karakteristik, sejarah kelahiran, dan kebiasaan-kebiasaannya.38 Ada juga yang menyatakan, Hadis ialah “Sesuatu yang disandarkan kepada Nabi Saw. baik berupa perkataan, perbuatan, taqrir, maupun sifat beliau.”39 Dari beberapa Pengertian diatas, dapatlah kita simpulkan bahwa Hadits merupakan sesuatu yang disandarkan kepada nabi baik ucapan, perbuatan, ataupun sifatnya. Hadits merupakan pedoman kedua setelah al-Qur‟an, jika dalam alQur‟an tidak disebutkan secara jelas, maka hadits nabi menjadi rujukannya. Rasulullah Saw. bersabda: 37 Aidh bin Abdullah al-Qarni, 391 Hadis Pilihan, Terj. Dari Tarjuman as-Sunnah, oleh Muhammad Iqbal Ghazali. Lc., (Jakarta: Darul Haq, 2007), cet. 1, h. 163 38 Munzier Suparta, Ilmu Hadis, (Jakarta: Rajawali Pers, 2001), cet. 1, h. 2-3 39 Ibid, h. 3 22 Aku tinggalkan kepada kalian, yang jika kalian berpegang teguh kepadanya, kalian tidak akan tersesat selamanya, Kitabullah dan sunnahku (HR. Hakim)40 3. Ijtihad Menurut Zakiyah Daradjat, “Ijtihad adalah Istilah para Puqaha, yaitu berpikir dengan menggunakan seluruh ilmu yang dimiliki oleh ilmuwan syari‟at Islam untuk menetapkan/menentukan sesuatu hukum syari‟at Islam dalam hal-hal yang ternyata belum ditegaskan hukumnya oleh al-Qur‟an dan sunnah.”41 Lebih lanjut Zakiyah Daradjat menyatakan: Ijtihad dalam pendidikan harus tetap bersumber dari al-Qur‟an dan sunnah yang diolah oleh akal yang sehat oleh para ahli pendidikan Islam. Ijtihad tersebut haruslah dalam hal-hal yang berhubungan langsung dengan kebutuhan hidup disuatu tempat pada kondisi dan situasi tertentu. Teoriteori pendidikan baru hasil ijtihad harus dikaitkan dengan ajaran Islam dan kebutuhan hidup.42 Dari Penjelasan tentang Ijtihad di atas, jelas sekali bahwa Ijtihad merupakan suatu usaha dari para “ahli Ilmu” untuk mentapkan suatu hukum yang secara teks belum ditetapkan oleh al-Qur‟an dan sunnah, namun dalam penetapannya tetap berpegang kepada rambu-rambu al-Qur‟an dan sunnah, jadi tidak serampangan. Ijtihad bersifat menyeluruh dalam segala aspek kehidupan tak terkecuali di bidang pendidikan. Ketiga sumber dasar pendidikan Islam penggunaannya ditetapkan dalam hadits sebagai berikut: di atas dan urutan Rasulullah saw. mengutus mu‟adz ke Yaman. Kemudian beliau bertanya, “bagaimana kamu memutuskan (suatu masalah)?” Ia menjawab, “saya akan memutuskannya dengan apa yang terdapat didalam kitab Allah.” Beliau bertanya, “Apabila putusan itu tidak 40 Aidh bin Abdullah al-Qarni, Op.cit, h. 166 Zakiyah Daradjat, Op.cit., h. 21 42 Ibid, h. 21-22 41 23 terdapat di dalam kitab Allah?” Ia menjawab, “saya akan memutuskannya dengan sunnah Rasulullah.” Beliau bertanya lagi, “apabila putusan itu tidak juga terdapat di dalam sunnah Rasulullah?” Ia menjawab, “saya berijtihad dengan rakyu.” Kemudian beliau bersabda, “segala puji bagi Allah yang telah memberi taufik kepada Utusan Rasul-Nya.” (H.R. al-Turmudzi).43 C. Sistem Pendidikan Islam Sistem adalah “metode; cara yang teratur (untuk melakukan sesuatu);44 Dalam buku Ensiklopedia kebahasaan Indonesia, “Sistem berasal dari bahasa Yunani yaitu Sustema yang artinya berdiri bersama suatu keseluruhan yang dibentuk dari berbagai bagian, yaitu suatu kompleks unsur dan pola yang secara runtut yang melembagakan suatu pungsi keseluruhan”.45 Sistem adalah suatu keseluruhan yang terdiri dari komponen-komponen yang masing-masing bekerja sendiri dalam fungsinya yang berkaitan dengan fungsi dari komponen lainnya yang secara terpadu bergerak menuju ke arah satu tujuan yang telah ditetapkan.46 Komponen pokok dalam sistem Pendidikan Islam terdapat 5 bagian, yaitu: Kurikulum atau Isi pendidikan, Pendidik/guru, siswa, lingkungan pendidikan, dan alat pendidikan. 1. Kurikulum Pendidikan Islam Menurut Hasbullah, “Kurikulum adalah keseluruhan program, fasilitas, dan kegiatan suatu lembaga pendidikan atau pelatihan untuk mewujudkan visi dan misi lembaganya”. 47 Menurut Ahmad Tafsir, “kurikulum adalah sejumlah mata pelajran yang harus ditempuh atau dipelajari siswa di sekolah atau di perguruan tinggi untuk memperoleh ijazah tertentu”.48 43 Hery Noer Aly, Op.cit., h. 30-31 Pius A Partanto dan M Dahlan Al Barry, Kamus Ilmiah Poluler, (Surabaya: Arkola, 1994) h. 712 45 Hasanudin (eds), Ensiklopedia Kebahasaan Indonesia jilid IV(Bandung: Angkasa, 2009), cet. 1, h.1152 46 Arifin, HM. Kapita Selekta Pendidikan Islam dan Umum, (Jakarta: Bumi Aksara, 1991), cet. 1, h. 76 47 Hasbullah, Otonomi Pendidikan, (Jakara: PT. Raja Grafindo Persada, 2006), cet. 1, hal. 21. 44 24 Inti dari pendapat di atas bisa dipahami bahwa kurikulum merupakan isi program pendidikan yang harus dipelajari oleh siswa atau anak didik dibawah bimbingan guru. Adapun mengenai isi dari pada kurikulum, adalah sebagai berikut: Menurut Ahmad Tafsir, “Isi kurikulum dapat dikelompokkan menjadi empat saja, yaitu: tujuan, isi, pola belajar mengajar, dan evaluasi”.49 Hasan Langgulung menyatakan:“Pusat dari kurikulum pendidikan dalam Islam adalah Akhlak, sebab tujuan utama dari pendidikan yaitu menghaluskan akhlak (budi pekerti dan mendidik jiwa.”50 Dari pendapat di atas dapat dipahami bahwa isi dari kurikulum Pendidikan Islam adalah materi yang membentuk kehalusan akhlak yang dalam rincian isi dan pelaksanaannya mencakup tujuan, isi pelajaran, metode, dan evaluasi pembelajaran. Dari segi pengklasifikasian Ilmu, kurikulum pendidikan dalam Islam meliputi ilmu-ilmu bahasa dan agama, ilmu-ilmu kealaman (natural), sebagian ilmu-ilmu yang membantu seperti sejarah, geografi, sastera, sya‟ir, nahu, balaghah, filsafat, dan logika. 2. Pendidik atau Guru Menurut Undang-undang Sistem Pendidikan Nasional No. 20 tahun 2003, Bab XI pasal 39, disebutkan bahwa: “Pendidik merupakan tenaga profesional yang bertugas merencanakan dan melaksanakan proses pembelajaran, menilai hasil pembelajaran, melakukan pembimbingan dan pelatihan, serta melakukan penelitian dan pengabdian kepada masyarakat, terutama bagi pendidik pada perguruan tinggi”.51 Menurut Ahmad Tafsir, “Pendidik dalam Islam adalah siapa saja yang bertanggung jawab terhadap perkembangan anak didik. Tugas pendidik dalam pandangan 48 Islam secara umum ialah mendidik, yaitu mengupayakan Ahmad Tafsir, Ilmu Pendidikan Dalam Perspektif Islam, (Bandung: PT. Remaja Rosda Karya, 2001), cet. 4, hal. 76. 49 Ibid. 50 Hasan Langgulung, Op.cit., h. 113. 51 Himpunan Peraturan Perundang-undangan Sistem Pendidikan Nasional, Op. cit., h. 21. 25 perkembangan seluruh potensi anak didik, baik potensi psikomotorik, kognitif, maupun potensi afektif.”52 Menurut Arifin, “tugas guru sebagai pendidik tidak hanya terbatas pada mencerdaskan otak saja, melainkan juga harus berusaha membentuk seluruh pribadi anak menjadi manusia dewasa yang berkemampuan untuk menguasai ilmu pengetahuan dan mengembangkannya untuk kesejahteraan hidup umat manusia.”53 Sebagaimana pernyataan di atas bahwa tugas guru tidak hanya sekedar mengajar tetapi juga bertanggung jawab untuk mengarahkan perkembangan anak didik menjadi manusia yang beradab dan berakhlak, maka sudah barang tentu guru atau pendidik dituntut mempunyai kapasitas yang memadai sebagai pengarah anak didik. Karena itu maka Ahmad Tafsir menyebutkan bahwa: “guru harus sudah dewasa, harus sehat jasmani dan rohani, harus ahli, harus berkesusilaan, dan berdedikasi tinggi”.54 Tugas guru sebagai pendidik dan bertanggung jawab atas perkembangan anak didiknya, maka seorang guru dalam Islam tidak saja dituntut memiliki ilmu pengetahuan yang baik, namun juga harus mempunyai sifat-sifat khusus yang mendukung visi misi pendidikan bisa tercapai. Sifat yang mesti dimiliki seorang pendidik sebagaimana penulis kutif dari tulisan Ahmad Tafsir yaitu: a. kasih sayang kepada anak didik b. lemah lembut c. rendah hati d. menghormati ilmu e. adil f. menyenangi ijtihad g. konsekuen dengan pernyataan sesuai perbuatan h. sederhana.55 52 Ahmad Tafsir, Op. cit., hal. 74. Arifin, HM. Op. Cit., h. 164. 54 Ahmad Tafsir, Op. Cit., hal. 80. 55 Ibid, hal. 84. 53 26 3. Peserta Didik Menurut Undang-undang Sistem Pendidikan Nasional No. 20 Tahun 2003 Bab I pasal 1, disebutkan bahwa yang dimaksud peserta didik adalah anggota masyarakat yang berusaha mengembangkan potensi diri melalui proses pembelajaran yang tersedia pada jalur, jenjang, dan jenis pendidikan tertentu.56 Siswa atau Peserta didik dalam pendidikan Islam ialah setiap manusia yang sepanjang hayatnya selalu berada dalam perkembangan. Jadi bukan hanya anak-anak yang sedang dalam pengasuhan dan pengasihan orang tuanya.57 Inti dari pernyataan di atas, bahwa siswa atau peserta didik adalah setiap anggota masyarakat yang ikut serta dalam program pendidikan dan tidak dibatasi dengan usia. 4. Lingkungan Pendidikan Lingkungan ialah segala sesuatu yang tampak dan terdapat dalam alam kehidupan yang senantiasa berkembang. Ia adalah seluruh yang ada, baik manusia maupun benda buatan manusia.58 Lingkungan Pendidikan menunjukan kepada situasi dan kondisi yang mengelilingi dan mempunyai pengaruh terhadap perkembangan pribadi pendidikan. Lingkungan terbagi dua, yaitu lingkungan sekitar dan lingkungan pusat pendidikan.59 Dari pernyataan diatas dapat dipahami, bahwa lingkungan pendidikan merupakan sesutu hal yang mengelilingi dan melingkupi lembaga pendidikan baik lingkungan di sekitar lembaga pendidikan maupun lingkungan dalam pendidikan itu sendiri. Corak lingkungan pendidikan turut mempengaruhi bentuk suatu pendidikan. Dengan demikian bagi Pendidikan Islam lingkungan yang islami sangat dibutuhkan untuk tercapainya visi dan misi dari pendidikan Islam itu sendiri. 5. Peralatan Pendidikan 56 Himpunan Peraturan Perundang-undangan Sistem Pendidikan Nasional , Op. Cit., h. 3 Hery Noer Aly. Op. Cit., h. 209 58 Zakiyah Daradjat, Op. Cit., h. 63 59 Hery Noer Aly. Op. Cit., h. 209 57 27 Peralatan Pendidikan bisa juga disebut sebagai media pendidikan, yaitu media/alat yang digunakan dalam ruang lingkup pendidikan. Menurut Ahmad Tafsir, “peralatan pendidikan adalah semua yang digunakan guru dan murid dalam proses pendidikan. Ini mencakup perangkat keras dan perangkat lunak. perangkat keras misalnya gedung sekolah dan laboratorium, perangkat lunak umpamanya kurikulum, metode, dan administrasi pendidikan”.60 Inti dari pendapat di atas adalah bahwa alat atau media pendidikan meliputi segala sesuatu yang dapat membantu proses pencapaian tujuan pendidikan. D. Tujuan Pendidikan Islam 1. Pengertian Tujuan Pendidikan Islam Menurut Hery Noer Aly, “Tujuan adalah batas akhir yang dicita-citakan seseorang dan dijadikan pusat perhatiannya untuk dicapai melalui usaha. Dalam tujuan terkandung cita-cita, khendak, dan kesengajaan, serta berkonsekuensi penyusunan daya-upaya untuk mencapainya.”61 Hery Noer Aly menyatakan pula, “bahwa tujuan pendidikan ialah batas akhir yang dicita-citakan tercapai melalui suatu usaha pendidikan.”62 Menurut Zakiyah Daradjat, Tujuan ialah suatu yang diharapkan tercapai setelah sesuatu usaha atau kegiatan selesai. Maka, pendidikan karena merupakan suatu usaha dan kegiatan yang berproses melalui tahap-tahap dan tingkatantingkatan, tujuannya bertahap dan bertingkat.63 Dari pengertian tujuan diatas, maka Tujuan pendidikan bisa diartikan sebagai batas akhir dari upaya mendidik atau suatu batasan pencapaian pendidikan dari apa yang diusahakan oleh pendidik dan lembaga pendidikan yang tentunya sesuai dengan landasan dasar pendidikan sebagaimana telah disebutkan diatas. 60 Ahmad Tafsir, Op. Cit., hal. 90. Hery Noer Aly, Op.cit, h. 51 62 Ibid, h. 53 63 Zakiyah Daradjat, Op.cit, h. 30 61 28 2. Tujuan Pendidikan dalam Islam Tujuan pendidikan dalam Islam secara garis besar terbagi 3 tujuan, yakni: 1) Tujuan umum, 2)Tujuan Sementara, dan 3) Tujuan akhir. a. Tujuan Umum Menurut Zakiyah Daradjat tujuan umum dari pendidikan Islam ialah: “tujuan yang akan dicapai dengan semua kegiatan pendidikan, baik dengan cara pengajaran atau dengan cara lain. Tujuan ini meliputi seluruh aspek kemanusiaan yang meliputi sikap, tingkah laku, penampilan, kebiasaan, dan pandangan.”64 Menurut Abdurrahman An-Nahlawi, tujuan umum pendidikan Islam adalah: “merealisasikan penghambaan kepada Allah dalam kehidupan manusia, baik secara individual maupun secara sosial.”65 Menurut kongres Pendidikan Islam sedunia di Islamabad tahun 1980, Tujuan Pendidikan islam adalah: Pendidikan harus merealisasikan cita-cita (idealitas) islami yang mencakup pengembangan kepribadian muslim yang bersifat menyeluruh secara harmonis berdasarkan potensi psikologis dan fisiologis (jasmaniah) manusia mengacu kepada keimanan dan ilmu pengetahuan secara berkeseimbangan sehingga terbentuklah manusia muslim yang paripurna yang berjiwa tawakal (menyerahkan diri) secara total kepada Allah Swt.66 pendapat para ahli sebagaimana diatas, pada dasarnya sesuai dengan firman Allah dalam surat Ad-Dzariyat ayat 56, yatu: Dan aku tidak menciptakan jin dan manusia melainkan supaya mereka mengabdi kepada-Ku. (Qs. Ad-Dzariyat:56) Dari pernyataan para ahli di atas, penulis menyimpulkan bahwa Tujuan secara umum dalam pendidikan Islam yakni menggali, dan mengembangkan potensi-potensi dasar anak didik sehingga anak didik mampu memandang kedepan, mampu menghadapi setiap persoalan dalam hidupnya disertai dengan dasar ketaqwaan kepada Allah swt. 64 Ibid, h. 30 Abdurrahman An-Nahlawi, Pendidikan Islam di Rumah, Sekolah, dan Masyarakat. Terj. Dari Ushulut Tarbiyah Islamiyah wa Asalibiha Fil Baiti wal Madrasati wal Mujtam‟ oleh Shihabudin, (Jakarta: Gema Insani Press, 1995), cet. 1, h. 117 66 H.M. Arifin, Op.ci.t., h. 55 65 29 b. Tujuan Sementara Menurut Zakiyah Daradjat, tujuan sementara dari Pendidikan Islam yakni: “tujuan yang akan dicapai setelah anak didik diberi sejumlah pengalaman tertentu yang direncanakan dalam suatu kurikulum pendidikan formal.”67 Hery Noer Aly menyatakan: “Tujuan sementara merupakan penjabaran dari tujuan akhir serta berfungsi membantu memlihara arah seluruh usaha dan menjadi batu loncatan untuk mencapai tujuan akhir.”68 Kalau dilihat dari dua pernyataan di atas, tujuan sementara merupakan hal terpenting untuk terlaksananya tujuan akhir, karena tidak mungkin tujuan akhir terlaksana tanpa adanya tujuan sementara yang berupa penjabaran, pengajaran dan praktek pendidikan lainnya dalam rangka mencapai seluruh dari tujuan Pendidikan Islam. Tentang pentingnya pengajaran dan penjabaran dalam rangka Pendidikan Islam, Zakiyah Daradjat menyebutkan sebagai berikut: “perubahan itu tidak terjadi otomatis atau lantaran motivasi kebendaan atau kesan dari perkembangan evolusi seperti yang diungkapkan oleh pengikut teori evolusi, tetapi oleh proses pengajaran yang dilalui seja bayi sampai akhir hayat.69 Untuk memperkuat pendapatnya ini, Zakiyah Daradjat mengutif dalil al-Qur‟andan Hadits Sebagai berikut: 7) Dan jiwa serta penyempurnaannya (ciptaannya), 8) Maka Allah mengilhamkan kepada jiwa itu (jalan) kefasikan dan ketakwaannya. 9) Sesungguhnya beruntunglah orang yang mensucikan jiwa itu, 10) Dan Sesungguhnya merugilah orang yang mengotorinya. (Qs. Asy-Syams: 7-10) Nabi Muhammad Saw. bersabda: 67 Zakiyah Daradjat, Op.cit., h. 31 Hery Noer Aly, Op.cit., h. 80 69 Zakiyah Daradjat, Op.cit, h. 61 68 30 ُكّلُ مٌَْلٌُْدٍ يٌُلَ ُد عَلَى الْفِطْزَةِ فَاَتٌََا ُه يُيٌَِدَاّنِو اًَْيُنَّصِزَّنِ ِو “tiap bayi yang dilahirkan dengan fitrah, ibu bapaknyalah yang menyahudikan atau mengkristenkannya. (HR. bukhari Muslim) Dari keterangan di atas, dapatlah disimpulkan bahwa “tujuan sementara” Pendidikan Islam adalah batasan pencapaian dalam satuan kurikulum yang terencana dalam waktu tertentu sesuai dengan tingkatan anak atau orang yang menerima didikan. c. Tujuan Akhir Tujuan akhir pendidikan Islam yaitu: “Tujuan yang hendak dicapai oleh pendidikan terhadap peserta didik melalui seluruh proses pendidikan.70 Menurut Zakiyah Daradjat, tujuan akhir dari pendidikan Islam yakni: “meninggalkan dunia dalam keadaan berserah diri kepada Allah sebagai muslim yang merupakan ujung dari takwa sebagai akhir dari proses hidup jelas berisi kegiatan pendidikan. Insan Kamil yang mati dan akan menghadap Tuhannya merupakan tujuan akhir dari proses pendidikan Islam.”71 Allah Swt berfirman: Hai orang-orang yang beriman, bertakwalah kepada Allah sebenarbenar takwa kepada-Nya; dan janganlah sekali-kali kamu mati melainkan dalam Keadaan beragama Islam.(Qs. Ali Imran: 102) Mengenai tujuan akhir dari pendidikan Islam ini, penulis menyimpulkan, bahwa Pendidikan Islam tujuan akhirnya adalah mempersiapkan manusia agar ketika ajal datang menjemput, ia sudah siap untuk menghadap kepada Tuhannya (Allah Swt) sebagai seorang Muslim bertaqwa dan mendapat ridha dari Allah Swt. 70 Ibid, hal. 76 Zakiyah Daradjat, Loc.cit. 71 BAB III METODOLOGI PENELITIAN A. Waktu dan Tempat Penelitian Penelitian yang berjudul “Konsep Pendidikan Islam Modern Menurut Pemikiran Dr. Mohammad Natsir” ini dilaksanakan dengan pengaturan waktu dan tempat sebagai berikut: No. Waktu Kegiatan Penelitian Tempat Penelitian Penelitian 1 9 September – Pengumpulan data-data sumberr15 Oktober mengenai 2013 sumber tertulis yang Perpustakaan Utama UIN Jakarta diperoleh dari berbagai - Perpustakaan buku-buku yang ada di Islam Iman perpustakaan dan Toko Jama Lebak buku yang mendukung Bulus Jakarta. penelitian, terutama yang berkaitan dengan konsep Pendidikan, Biografi Mohammad Natsir, dan tulisan- tulisan beliau yang telah dibukukan. 2 16 Oktober – Menyimpulkan, 13 Desember menafsirkan, 2013 - Perpustakaan dan Utama menyusun data dalam Jakarta bentuk hasil penelitian - Perpustakaan dan mencari data atau FITK keterangan Jakarta untuk kembali melengkapi - 32 UIN UIN Perpustakaan 33 susunan penelitian kajian Islam Iman yang Jama Lebak dianggap kurang atau perlu diperbaiki. 3 Bulus Jakarta. - Rumah Kos 14 Desember Meneliti kembali hasil - Perpustakaan 2013 – 1 penelitian yang sudah Utama Januari 2014 jadi Jakarta tersebut untuk mencari dan - UIN Perpustakaan memperbaiki kesalahan FITK pengetikan, kesimpulan, Jakarta pengambilan Rumah Kos dan sumber, - UIN kesalahan- kesalahan lainnya. B. Pendekatan dan Jenis Penelitian Dalam penulisan Skripsi ini, penulis menggunakan jenis penelitian kepustakaan dengan penyajian yang bersifat deskrptif analitik. Jenis penelitian ini bersifat kualitatif, yakni“suatu penelitian yang ditujukan untuk medeskripsikan dan menganalisis fenomena, peristiwa, aktivitas sosial, sikap, kepercayaan, persepsi, pemikiran orang secara individual maupun kelompok”.1“Penelitian kualitatif ini didasarkan pada penyusunan suatu gambaran yang kompleks dan holistik menurut pandangan yang rinci dari para informan, serta dilaksanakan di tengah setting ilmiah.”2 Selain itu Penelitian Kualitatif juga bertujuan mendiskripsikan suatu proses kegiatan pendidikan berdasarkan Studi Pustaka sebagai kajian lebih lanjut, untuk menemukan kekurangan dan kelemahan sistem dalam program pendidikan, sehingga dapat diketahui dan dapat menentukan jenis dan upaya penyempurnaannya. 1 Nana Syaodih Sukmadinata, Metode Penelitian Pendidikan, (Bandung: PT. Remaja Rosda Karya, 2012), Cet. 8, h. 60 2 Nuaraida dan Halid Alkaf, Metodologi Penelitian Pendidikan, (Jakarta: Islamic Research Publishing, 2009), Cet. 1, h. 35 34 C. Metode Penelitian Dalam pengumpulan data, penulis sepenuhnya menggunakan metode penelitian kepustakaan. Untuk mendapatkan data-data penelitian, penulis mengumpulkan bahan kepustakaan, terutama yang berkaitan dengan pendidikan Islam dan pemikiran Mohammad Natsir dalam Pendidikan Islam. Sumber primer yang dijadikan rukjukan pokok yaitu sebagai berikut: 1. Berbagai karya dan catatan-catatan M. Natsir yang telah dibukukan dalam judul buku Capita Selecta jilid 1 diedit oleh Sati Alimin. 2. Buku “Virus Liberalisme di Perguruan Tinggi Islam” karya Adian Husaini. Sedangkan sumber skunder yang dijadikan rujukan pokok yaitu sebagai berikut: 1. Buku “Ilmu Pendidikan Islam” kary Hery Noer Aly MA. 2. Buku “Ilmu Pendidikan Islam” karya Zakiyah daradjat. Selain buku-buku di atas, untuk memperkuat analisanya, penelitian ini dilengkapi juga dengan buku-buku dan sumber lain yang berkaitan dengan Pendidikan Islam dan konsep pemikiran Pendidikan Islam Mohammad Natsir. Pada tulisan ini digunakan metode deskriptif, yakni untuk mendeskripsikan secara sistematis, faktual dan akurat mengenai fakta-fakta, situasi-situasi atau kejadian-kejadian dan krakteristik populasi.3 Dan metode penelitian ini juga memberikan gambaran atau uraian atas suatu keadaan sejelas mungkin tanpa ada perlakuan dari objek yang diteliti, setelah data diperoleh kemudian dibahas dengan memberikan gambaran deskriptif tentang masalah yang diteliti yang selanjutnya dianalisis untuk mendapatkan gambaran yang jelas persepektif Mohammad Natsir dalam masalah Pendidikan Islam. D. Tehnik Pengumpulan Data Metode yang digunakan dalam pembahasan penelitian ini adalah penelitian deskriptif fenomenologis yang ditunjang oleh data yang diperoleh melalui penelitian kepustakaan (Library research). 3 h. 63 Hadeli, Metodologi Penelitian Kependidikan, (Jakarta: PT. Ciputat Press, 2006), Cet. 1, 35 Penelitian kepustakaan (Library research) dimaksud menelaah, mengkaji dan mempelajari berbagai literatur (referency) yang erat kaitannya dengan masalah yang dibahas. Adapun tahap pelaksanaannya adalah peneliti mengadakan kunjungan perpustakaan dan dalam rangka pengumpulan data dari sumber-sumber yang berkaitan dengan pokok penelitian. E. Pengelolaan Data Setelah melakukan tahap pengumpulan data, langkah selanjutnya ialah pengelolaan data sehingga data yang diperoleh dapat digunakan untuk menganalisa permasalahan yang akan diteliti dan dalam mengumpulkan data untuk penulisan skripsi ini, digunakan langkah-langkah pengelolaan data melalui tahap-tahap yaitu pemeriksaan data, klasifikasi data dan selanjutnya penyusunan data. Penjelasannya adalah sebagai berikut: 1. Pemeriksaan Data, yaitu data yang telah terkumpul dipriksa kembali agar diketahui kekurangan atau ada data yang tidak cocok dengan masalah penelitian. 2. Klasifikasi Data, yaitu dilakukan dengan cara mengelompokan data yang sesuai dengan pokok bahasan agar mempermudah dalam menganalisa data tersebut. 3. Penyusunan Data yaitu dilakukan dengan cara menyusun dan menempatkan data pada setiap pokok bahasan secara sistematis sehingga memudahkan permasalahan. F. Tekhnik Analisa Data Dalam skripsi ini tekhnik analisanya adalah dengan menggunakan content Analisys yaitu menarik kesimpulan dalam usaha menemukan karakteristik pesan yang dilakukan secara objektif dan sistematis. Seluruh data yang ada akan dibahas dan dianalisis secara analisa kualitatif dengan proses yaitu “mereduksi data, mendisplay data dan memberikan kesimpulan atau verifikasi”. Dan penjelasannya adalah sebagai berikut: 36 1. Reduksi data Data yang diperoleh dilapangan ditulis dalam bentuk uarian atau laporan terperinci. Laporan yang telah disusun kemudian direduksi, dirangkum, diseleksi hal-hal yang dikategorikan pokok kemudian difokuskan pada hal-hal yang dianggap penting lalu dicarikan temanya. Data yang telah direduksi memberi gambaran yang lebih tajam tentang hasil pengamatan, juga mempermudah peneliti untuk mencari kembali data yang diperoleh jika diperlukan. 2. Display Data Data yang telah diperoleh, diklasifikasikan berdasarkan pokok permasalahan kemudian dibuat dalam bentuk matriks sehingga memudahkan peneliti untuk melihat adanya hubungan suatu data dengan data lainnya. 3. Mengambil Kesimpulan/Varifikasi Peneliti membuat kesimpulan berdasarkan data yang telah diproses melalui reduksi dan display data. G. Sumber Penelitian Sumber penelitian ini adalah buku-buku yang berkaitan dengan permasalahan Pendidikan Islam dan tentang pemikiran dan biografi Mohammad Natsir. H. Tehnik Penulisan Tehnik penulisan yang digunakan dalam skripsi ini berpedoman pada “buku pedoman penulisan skripsi yang diterbitkan oleh Fakultas Ilmu Tarbiyah dan Keguruan UIN Syarif Hidayatullah Jakarta tahun 2013”. Sedangkan kutipan ayat-ayat suci al-Qur’am dan terjemahnya berasal dari terbitan Kementrian Agama Repulik Indonesia. BAB IV KONSEP PENDIDIKAN ISLAM MODERN MENURUTMOHAMMAD NATSIR A. Biografi Mohammad Natsir Ketika menyebut tokoh Islam Mohammad Natsir, teringat pula kepada “Masyumi”, yaitu partai Islam tempat ia berkiprah dalam politik dan pemerintahan Indonesia ketika negara ini baru benar-benar merdeka. Dan memang itu tidak salah dan benar adanya bahwa Mohammad Natsir adalah seorang politikus sekaligus salah satu dari bapak pendiri negara yang bernama Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI) ini. Selama ia berkecimpung dalam pemerintahan, jasa-jasanya tidak bisa dianggap remeh dan dilupakan begitu saja, salah satu jasanya yang paling penomenal adalah pada tahun 1950 ia berusaha melobi para pemimpin bangsa lainnya sehingga beliau berhasil menyatukan kembali Indonesia yang tadinya terpecah belah dalam bentuk RIS kepada Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI). Kejadian ini terkenal dengan “Mosi Integral Natsir.” Sebagai seorang Politisi, tentunya ia banyak dikenal orang dan generasi-generasi muda bangsa Indonesia, namun kita pun tak boleh melupakan begitu saja sisi lain dari kiprah Mohammad Natsir, yakni sebelum ia terjun ke dunia politik, Natsir adalah seorang Pejuang Pendidikan, ia seorang guru yang tanpa pamrih. Dengan demikian, berakar dari latar belakangnya sebagai seorang guru dan orang yang mengetahui secara baik ajaran Islam, maka ketika di Parlemen bersama kawan-kawannya ia kerap menyuarakan pentingnya pendidikan yang berciri khas agama Islam dan memang itu merupakan suatu kebutuhan bagi rakyat Indonesia yang mayoritas Islam dan pendidikannya pun harus sesuai dengan agamanya. Sebagai seorang Politisi, Pendidik dan Agamawan, beliau selalu berusaha dan berjuang menanamkan nilai-nilai agama dalam kehidupan dan dimana ia berada serta terhadap objek mana yang bisa dicapai ketika ia 37 38 mempunyai peranan untuk menanamkannya. Salah satu contohnya ialah Pada saat ia menjadi perdana menteri 1950-1951, ia bersama-sama KH. Wahid Hasyim (mentri Agama) dan Bahder Johan (Menteri Pendidikan) menerapkan peraturan pemerintah yang mewajibkan Pendidikan Agama di sekolah-sekolah umum. Untuk secara jelas mengetahui bagaimana kiprah Mohammad Natsir dalam dunia pendidikan dan mengkaitkannya dengan tema yang diambil penulis yakni konsep-konsep Pendidikan Islam Mohammad Natsir, tentu harus melihatnya melalui penelusuran dari sisi Biografi kehidupannya, sehingga bisa lebih mudah memahami siapa Mohammad Natsir? dan kenapa konsep-konsep pendidikan Islam beliau seperti ini atau seperti itu?, maka mulai dari sinilah bisa memberikan penilaian terhadap tokoh yang sangat penomenal ini, tokoh yang cukup disegani khususnya di kalangan pendidikan dan pergerakan Islam di Indonesia bahkan di dunia Internasional. 1. Latar Belakang Mohammad Natsir dan Sejarah Kehidupannya Mohammad Natsir dilahirkan di kampung Jembatan Berukir, Alahan Panjang, Sumatera Barat pada tanggal 17 Juli 1908. Ia adalah putera pasangan Sutan Saripado, seorang pegawai pemerintah, dan Chadijah.1 Mohammad Natsir dibesarkan di keluarga agamis, Lingkungan seperti ini sangat berpengaruh pada pertumbuhan sang putra.2 Mengenai masa kecil Mohammad Natsir, Abudin Nata memaparkan sebagai berikut: Natsir melewati masa kehidupannya dengan penuh perjuangan berat. Sejak kecil ia memasak, mencari kayu bakar, menimba air, mencuci pakaian, menyapu halaman, dan lain-lain. Pada usianya yang sangat muda, Natsir mulai berpisah dengan orang tuanya, dan menempuh hidup sebagai orang dewasa. Mulailah ia tidur disurau bersama kawan-kawannya yang lain sesama laki-laki. Hanya waktu siang dan saat tertentu saja, Natsir berada di rumah.3 1 Lukman Hakiem (ed.), 100 Tahun Mohammad Natsir, (Jakarta: Republika, 2008), cet. 1, h. 423 2 Al-Musytasyar Abdullah Al-Aqil, Mereka yang Telah Pergi, Tokoh-tokoh PembangunanPergerakan Islam Kontemporer, Terj. Dari Min A’lami Al-Harakah wa As-Da’wah Al-Islamiyah Al-Mu’ashirah, Oleh Khozin Abu Faqih, (Jakarta: Al-I‟tishom Cahaya Umat, 2003), cet. 1, h. 26 3 Abudin Nata, Tokoh-tokoh Pembaruan Pendidikan Islam di Indonesia, (Jakarta: Rajawali Pers, 2005), cet. 3 h. 74 39 Mengenai Riwayat pendidikannya, secara ringkas Adian Husaini memaparkan sebagai berikut: “Tahun 1916-1923, Natsir memasuki HIS (Hollands Inlandsche School) di Solok. Sore harinya ia menimba Ilmu di Madrasah Diniyah. Tahun 1923-1927, Natsir memasuki jenjang MULO (Meer Uitgebreid Lager Onderwijs) di Padang. Lalu, pada 1927-1930, ia memasuki jenjang sekolah lanjutan atas di AMS (Algemene Middelbare School) di bandung”.4 Di kota Bandung inilah Mohammad Natsir mulai berinteraksi dengan para cendekiawan dan aktivis Islam terkemuka seperti KH. Agus Salim, Prawoto Mangkusasmito dan lainnya. Dan di kota ini pula beliau mulai banyak belajar, ia mulai mendalami masalah agama, mempelajari bahasa Belanda, dan pelajaranpelajaran lainnya. Adian Husaini menyebutkan: “ada tiga guru yang mempengaruhi alam pikirannya, yaitu pemimpin Persis A. Hassan, Haji Agus Salim, dan Pendiri alIrsyad Islamiyah Syech Akhmad Syoerkati.”5 Pada tahun 1930, Mohammad Natsir lulus dari AMS dengan nilai sangat baik. Dengan nilai tersebut sebenarnya ia mempunyai kesempatan untuk melanjutkan setudinya ke perguruan tinggi elit dan terkenal ketika itu, atau menjadi pegawai negeri dengan gaji yang cukup lumayan, namun Mohammad Natsir tidak tertarik kepada yang demikian itu, ia memutuskan untuk berdakwah dan berperan aktif dalam lembaga pendidikan. Berikut Penuturan M. Natsir, seperti dikutip oleh Adian Husaiani dari majalah Tempo: “tamat AMS, sebetulnya saya dapat beasiswa untuk kuliah di fakultas hukum, tapi saya memilih tidak melanjutkan kuliah. Saya lebih tertarik melihat persoalan-persoalan masyarakat, persoalan politik. Jadi sebagai politik oposisi sebagai orang jajahan itu sangat terasa.6 Selanjutnya Adian Husaini menyatakan: Pilihan Natsir untuk tidak melanjutkan studi ke Universitas-universitas terkemuka sama sekali tidak menyurutkan dan menghentikan langkahnya untuk mengkaji ilmu. Pilihannya untuk menerjuni bidang keilmuan dan 4 Adian Husaini, Virus Liberalisme di Perguruan Tinggi Islam, (Jakarta: Gema Insani Press, 2009), cet. 1. h. 26 5 Ibid, h. 27 6 Ibid, h. 29 40 pendidikan Islam membuktikan kesungguhannya dalam bidang ini. Inilah sebuah pilihan berani dari seorang pemuda cerdas dan berani seperti Natsir.7 Berawal dari sinilah langkah perjuangan Mohammad Natsir untuk bangsa Indonesia, beliau mencari ilmu tidak untuk tujuan-tujuan keuntungan duniawi, sehingga tidak aneh jika dalam kisah hidupnya beliau sama sekali tidak tergiur oleh tawaran pekerjaan yang sangat menguntungkan pribadinya. Ketika kita mengingat sekarang-sekarang ini, para petinggi negeri ini banyak yang sakit jiwanya dan perasaanya tidak berprikemanusiaan, mereka tidak lagi memikirkan kemajuan bangsanya, yang ada dibenak mereka adalah bagaimana caranya agar bisa sebanyak-banyaknya merampok uang negara untuk memperkaya diri, sungguh memperihatinkan. Maka dengan demikian menurut hemat penulis, tokoh seperti Mohammad Natsir ini lah salah satu contoh bapak bangsa yang harus diangkat kepermukaan sebagai contoh teladan bagi generasi penerus bangsa Indonesia. Lebih lanjut Adian Husaini menyatakan: “Bersama A. Hasan, Natsir bekerja menerbitkan majalah Pembela Islam, Malamnya, beliau mengaji al-Qur‟an dan membaca kitab-kitab berbahasa Arab dan Inggris. Tahun 1931-1932, Natsir mengambil kursus Diploma LO (Lager Ondewijs).”8 Sebelumnya, pada tahun 1927 beliau berhasil medirikan sebuah lembaga pendidikan Islam (Pendis), ini merupakan Pendidikan formal pertama yang ada di lingkungan keluarga besar Persatuan Islam.9 Di Sekolah Pendidikan Islam (Pendis) ini Mohammad Natsir mulai berkiprah di bidang pendidikan. Pada masa-masa ini Mohammad Natsir terus menerus menggali dan mengembangkan keilmuannya, sehingga dari sini ia memahami berbagai konsep-konsep ajaran Islam tak terkecuali konsep-konsep Pendidikannya. dari pengamatannya akan kebutuhan ummat terhadap pendidikan, dan pengalaman beliau sebagai pendidik, maka dari beliau ini muncullah ide atau 7 Ibid, h. 32 Ibid, h. 34 9 Tiar Anwar Bachtiar, “M. Natsir Pelopor Pendidikan Islam Integral”, Jurnal Pemikiran dan Peradaban Islam Islamia, Vol. V. No. 1, 2009, h. 82 8 41 gagasan-gagasan yang menjadi konsep Pemikiran Pendidikan Islam, sebagaimana dalam bagian B Bab IV pada skripsi ini penulis kemukakan. Di samping ia sebagai pendidik, Natsir tidak hanya mengajar, mengkonsep kurikulum, dan mengelola guru-gurunya, bahkan untuk menghidupi sekolah ini kadang dia harus menggadaikan gelang Istrinya. Para siswanya diajar hidup mandiri agar tida bergantung kepada pemerintah.10 Sekolah ini ditutup oleh Jepang pada tahun 1942,11 Mengenai Kiprahnya di bidang Politik, Abudin Nata menjelaskan sebagai berikut: Tahun 1938, Natsir mulai aktif di bidang politik dengan melibatkan diri sebagai anggota Persatuan Islam Indonesia (PII) cabang Bandung. Pada tahun 1940-1942, Natsir menjabat ketua PII, dan pada tahun 1942-1945, ia merangkap jabatan sebagai kepala Biro Pendidikan Kota Madya Bandung, serta sebagai sekretaris Sekolah Tinggi (STI) di Jakarta yang merupakan Perguruan Tinggi Islam pertama yang berdiri pasca kemerdekaan.12 Menurut Tiar Anwar Bachtiar, Setelah Pendis ditutup, Natsir memilih terjun ke dunia politik dan pemerintahan. Selama periode pendudukan Jepang, Natsir diangkat menjadi kepala Biro Pendidikan Balai Kota Bandung oleh Walikota R. Admadinata.13 Selanjutnya Tiar Anwar menyatakan: “Saat Indonesia mendapatkan kembali kemerdekaannya 17 Agustus 1945. Natsir memilih untuk terus berjuang di dunia politik melalui partai Masyumi.”14 Di dunia politik inilah Mohammad Natsir bersama kawan-kawannya khususnya yang seideologi seperti KH. Agus Salim, Daud Beureh, Prawoto Mangkusasmito, Kiai Zarkasji, Mohammad Hatta, Kahar Muzakkir dan lainlainnya berusaha berjuang untuk mempertahankan kemerdekaan bangsa Indonesia dari rongrongan Belanda dan antek-anteknya yang ingin kembali menjajah bangsa Indonesia. 10 Adian Husaini, Loc, It Tiar Anwar Bachtiar, Op.cit., h. 85 12 Abudin Nata, Op.cit, h. 77 13 Tiar Anwar, Loc.cit 14 Tiar Anwar, Loc.cit 11 42 Mengenai Mosi Integral Natsir dalam menyelamatkan NKRI, Sabam Sirait dalam Makalahnya menuliskan sebagai berikut: Natsir berpendirian bahwa republik Indonesia Serikat (RIS) harus bubar dan kembali ke Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI) sesuai dengan Undang-Undang Dasar 1945 (UUD 45).... Natsir yakin negara-negara bagian pada waktu itu akan kembali bersatu dalam satu negara kesatuan melalui pendekatan-pendekatan. Natsir bekerja sebagai politisi di luar parlemen, menggalang kekuatan-kekuatan Nasional dalam bentuk partaipartai politik untuk mendukung Mosi Integral yang diprakarsai olehnya, yaitu kembali ke Negera Kesatuan Republik Indonesia.15 Ketika Sukarno mengangkat dirinya sebagai formatur kabinet, dan dia memperkenalkan konsepsi Demokrasi Terpimpin, maka Natsir bersama-sama politis lainnya memprotes kebijakan presiden dan konsep tersebut karena dinilai melanggar UUD 1945 sehingga secara praktis elit politik pada waktu itu terpecah menjadi dua, yang pro dan kontra terhadap kebijakan presiden Sukarno. Dengan demikian maka Natsir menganggap tidak ada kewajiban lagi untuk taat kepada kepala negara. Sehingga beliau bersama Syafruddin Prawiranegara dan Burhanudin harahap terlibat dalam PRRI. Mengenai protesnya atas Sukarno dan keterlibatannya dengan PRRI, Hery Mohammad menjelaskan sebagai berikut: Ketika soekarno sebagai presiden yang sudah mengarah pada penyimpangan amanat UUD 1945, Natsir kembali angkat bicara dan fisik. Natsir, Syafruddin Prawiranegara, dan Burhanudin Harahap yang didukung oleh puluhan politisi menuntut agar dibentuk kabinet yang dipimpin oleh Mohammad Hatta dan Hamengkubuono IX, masing-masing sebagai Perdana Menteri dan Wakil Perdana Menteri. Puncaknya adalah dikeluarkannya ultimatum pada 10 Februari 1958. Isinya, jika pemerintah pusat tidak memberi jawaban, maka mereka mengaganggap tak punya kewajiban taat kepada pemerintah yang melanggar UUD. Tak ada jawaban, dan pecahlah PRRI di Sumatera Barat, Natsir dan kawan-kawan masuk hutan. Setelah Sumatera Barat dikuasai oleh pemerintah, Natsir bersama beberapa petinggi PRRI mendekam dipenjara, dari tahun 1961 sampai tahun 1966.16 15 Lukman Hakiem, (ed.), M. Natsir di Panggung Sejarah Republik, (Jakarta: Republika, 2008), cet. 1, h. 117 16 Herry Mohammad, Tokoh-tokoh Islam yang Berpengaruh Abad 20, (Jakarta: Gema Insani Press, 2006), cet. 1, h. 52 43 Selain peristiwa diatas yang menyebabkan M. Natsir pindah dari jakarta ke Padang dan masuk hutan bersama PRRI, peristiwa teror dan fitnah terhadap beliau juga menjadi penyababnya, sebagaimana Burhan D. Magenda dalam Makalahnya memaparkan sebagai berikut: Mengapa beliau pindah dari Jakarta ke Padang pada akhir 1957 saya kira yang terpenting pada waktu itu adalah percobaan pembunuhan terhadap Bung Karno di Perguruan Cikini, 30 Nopember 1957. Diantara yang terlibat ada anggota Gerakan Pemuda Islam Indonesia (GPII), maka Masyumi dituduh berada di balik peristiwa cikini. Pak Natsir dan tokoh-tokoh Masyumi mau dilibatkan padahal beliau tidak tahu menahu sama sekali. Tetapi beliau terlanjur diteror dan diintimidasi. Pak Syafruddin Prawiranegara juga diintimidasi oleh kalangan komunis, sehingga pak Natsir dan Pak Syafruddin tidak merasa aman di Jakarta pindah ke Sumatera.17 Lebih lanjut Burhan D. Magenda menjelaskan: “sebenarnya Pak Natsir dan Pak Syafruddin itu cukup mempertahankan NKRI dalam proklamasi PRRI. Pak Natsir dan Pak Syafruddin tidak mau pusat diultimatum, tapi pada 5 Februari 1958 kelompok militer Simbolon dan Ahmad Hesein mengultimatum pusat. Sayap militer juga yang meminta-minta bantuan Asing.18 Setelah peristiwa tersebut akhirnya Masyumi dibekukan oleh Pemerintah, hingga pada masa Suharto pun usaha untuk merehabilitasi Masyumi gagal. Akhirnya Mohammad Natsir dan aktivis Masyumi lainnya mendirikan Dewan Dakwah Islamiyah Indonesia pada tahun 1967. Mengenai akhir dari keterlibatan M. Natsir dalam politik praktis dipemerintahan, Adian Husaini menyebutkan sebagai berikut: Setelah lepas dari gelanggang politik formal, Natsir mengaktifkan diri dalam dunia dakwah melalui Dewan Dakwah Islamiyah Indonesia (DDII). Di sinilah Natsir mulai melakukan pembinaan intlektual melalui tiga jalur strategis, yaitu kampus, masjid, dan pesantren. Dari berbagai masjid kampus yang didirikan, Natsir berhasil melakukan kaderisasi intlektual dan menanamkan benih dakwah dikalangan kaum intlektual. Tahun 1984. Natsir juga tercatat sebagai Ketua Badan Penasehat Yayasan Pembina Pondok Pesantren Indonesia. Beliau juga termasuk pelopor berdirinya berbagai Pesantren Tinggi (Ma‟had „Aliy) di Indonesia.19 17 Lukman Hakiem (ed.), Op.cit, h. 12-13 Ibid, h. 13 19 Adian Husainin, Op.cit., h. 38 18 44 Dengan mendirikan Dewan Dakwah Islamiyah Indonesia, maka sebenarnya M. Natsir kembali kepada Khittahnya sebagai Da‟i dan pendidik ummat. Namun bila kita perhatikan karirnya selama di pemerintahan, beliau adalah sebagai politikus yang jujur, adil, ikhlas dan berwibawa sehingga sangat layak sekali dijadikan contoh teladan bagi generasi penerus bangsa Indonesia. Pada tahun 1991, Mohammad Natsir mendapat gelar Doktor Honoris Causa di bidang pemikiran dari Universiti Kebangsaan Malaysia.20 Muhammad Natsir wafat dalam usia 85 tahun pada hari Sabtu 6 Februarui 1993 pukul 12.10 WIB di ruang ICU RSCM, Jakarta. Almarhum meninggalkan empat orang anak dan delapan belas orang cucu. Pada detik-detik terakhir dirungan ICU, beliau didampingi anaknya Ny. Asma Farida, Fauzi Natsir, Sekretaris pribadinya Dr. Anwar Haryono, mantan Wakil Muhammadiyah Lukman Harun, para cucu, dan sejumlah kenalannya. Ketua PP 21 2. Peran, kepedulian, dan jasa-jasa Mohammad Natsir Terhadap Umat Islam dan Bangsa Indonesia Khususnya Dari beberapa sumber yang berhasil penulis kumpulkan, maka secara garis besar terdapat lima jasa-jasa atau peranan Mohammad Natsir kepada umat Islam dan bangsa Indonesia pada umumnya. Kelima jasa-jasa tersebut ialah: 1) kontribusinya terhadap pendirian berbagai Sekolah Tinggi Islam di Indonesia;2) Pendidikan dan Dakwah;3) Pemikiran Islam dan upaya membendung kristenisasi; 4) Politik Islam; dan 5) kontribusinya bagi pergerakan organisasi Islam Internasional. a. Penetapan berbagai Sekolah Tinggi Islam di Indonesia Peranan Mohammad Natsir dalam Pendirian Sekolah-sekolah Tinggi Islam di Indonesia berawal dari kepeduliannya terhadap pentingnya suatu perguruan tinggi Islam yang benar-benar dilandaskan kepada nilai-nilai Tauhid dalam Islam. Selain itu perguruan Tinggi Islam oleh Mohammad Natsir diharapkan bisa membentuk generasi penerus Islam yang tidak minder dan merasa 20 Ibid, h. 39 Saiful Falah, Rindu Pendidikan dan Kepemimpinan M. Natsir, (Jakarta: Republika, 2012), cet. 1, h. 65-66 21 45 asing bila berhadapan dengan golongan yang bersifat “modern”, mereka tetap percaya diri ketika mengemban dakwah Islam di setiap golongan masayarakat. Berikut ini adalah pernyataan Mohammad Natsir mengenai Sekolah Tinggi Islam: ....Akan tetapi ini tidak berarti bahwa mereka didikan ketimuran itu tidak lajak merima peladjaran Sekolah Tinngi. Malah sebaliknja: buat mereka inilah, sepentasnja terlebih dahulu kita usahakan Sekolah Tinggi jang akan memperkokoh dasar jang sudah ada, jang akan memperlengkapi dengan rempah-ragam bahasa-bahasa dan ilmu pengetahuan dasar-dasar Agama jang ada pada mereka, jang perlu untuk berhadapan dengan segala matjam lapisan masjarakat, sebagai propogandis Islam. Supaja hilang perasaan asing dari pergaulan hidup (Weltfremdekeit), supaja kembali kepertjajaan akan harga diri, bila berhadapan dengan golongan jang bergelar “modern”.22 Kepedulian Mohammad Natsir tidak hanya sebatas wacana dan pernyataan, tetapi beliau terlibat langsung bersama tokoh-tokoh nasional lainnya dalam pendirian lembaga pendidikan Islam, contohnya: tahun 1946, beliau bersama para petinggi Masyumi lainnya membentuk suatu panitia perguruan Tinggi Islam yang dinamai STI (Sekolah Tinggi Islam) yang menjadi cikal bakal Universitas Islam Indonesia (UII) Yogyakarta. Waktu itu Mohammad Hatta sebagai ketua panitia dan Mohammad Natsir sebagai Sekertaris.23 Peranan beliau dalam pendirian perguruan tinggi Islam tidak sampai disitu, beliaupun ambil bagian dalam menginisiasi pendirian perguruan tinggi Islam lainnya, seperti Universitas Islam Bandung (Unisba), Universitas Islam Sumatera Utara (UISU) Universitas Muslimin Indonesia (UMI) di Makasar,24 Universitas Riau, dan Universitas Ibnu Khaldun (UIK) Bogor.25 b. Pendidikan dan dakwah Peranan Mohammad Natsir dalam bidang pendidikan dan dakwah dapat kita lihat dari pernyataan beliau dan aktivitas yang sering beliau lakukan. Aktivitas beliau dibidang Pendidikan dan dakwah terus berjalan hingga akhir hayatnya. Sebagaimana berikut ini Asma Farida (putri ketiga M. Natsir) 22 D.P. Sati Alimin (ed.), Capita Selecta Jilid 1, (Jakarta: Bulan Bintang, 1973). Cet. 3, h. 95-96 23 Tiar Anwar Bachtiar, Op.cit., h. 86 Lukman Hakiem (ed.), Op.cit., h. 438 25 Adian Husaini, Op.cit., h. 35 24 46 menuturkan kepada Wartawan yang mewawancarainya, yaitu: “ketika tubuhnya terbaring lemas diruang ICU rumah sakit Cipto Mangunkusumo (RSCM), beliau masih menanyakan keadaan sebuah pesantren di daerah Bogor yang dibinanya.”26 Berikut ini pernyataan Mohammad Natsir tentang pentingnya pendidikan bagi kemajuan bangsa. Yaitu: “Marilah sama-sama kita insafi bahwa menurut sunnatullah semua sifat dan kesanggupan-kesanggupan itu tidak dapat ditjapai, ketjuali dengan didikan jang sungguh-sungguh. Lantaran itu masalah pendidikan ini adalah masalah masjarakat, masalah kemadjuan jang sangat penting sekali, lebih penting dari masalah jang lain-lain”.27 Sejak lulus dari AMS tahun 1930, Mohammad Natsir sudah bisa merintis sebuah sekolah formal yakni Pendis (Pendidikan Islam), selain disekolah yang Ia dirikan, Ia pun aktif mengajar sekolah lain, seperti HIS, MULO, dan Kweek School.28 Ketika berada di dunia politik, beliau bersama-sama dengan Kiai Wahid Hasyim memasukan pelajaran agama ke sekolah-sekolah umum, dan Ia pun selalu mengkampanyekan aturan-atuaran lainnya yang bersifat keagamaan dalam pemerintahan hingga terjadi perdebatan dengan Sukarno tentang masalah agama dalam negera. Setelah Mohammad Natsir dihambat aktivitas politiknya oleh Pemerintahan Presiden Suharto, M. Natsir memilih jalur Dakwah sebagai aktivitasnya. Bersama-sama dengan aktivis Masyumi lainnya, tahun 1967 beliau mendirikan Dewan Dakwah Islamiyah Indonesia.29 Dari Dewan Dakwah Islamiyah Indonesia (DDII) inilah maka muncul semacam organisasi Dakwah kampus LDMI (Lembaga Dakwah Mahasiswa Islam). Dari LDMI ini, maka muncullah para intlektual-intlektual semacam Endang Saefudin Anshari dari UNPAD dan Imaduddin Abdurachim dari UI. Dari para aktivis hasil binaan Mohammad Natsir ini, maka menyebar pelatihanpelatihan dakwah dan kajian-kajian ke Islaman diberbagai kampus di Indonesia, 26 Saiful Falah, Op.cit., h. 64 D.P. Sati Alimin (ed.), Op.cit., h. 79 28 Adian Husaini, Op.cit., h. 32 29 Tiar Anwar Bachtiar, Op.cit., h. 87 27 47 sehingga terbentuk jaringan-jaringan Lembaga Dakwah kampus (LDK) diseluruh Perguruan Tinggi di Indonesia.30 Selain mendorong aktivitas keislaman Mahasiswa di berbgai perguruan Tinggi di Indonesia, DDII juga berhasil mendorong aktivitas keagamaan diberbagai sektor yang berhasil ditempuh. Sejarawan Muslim Indonesia Ahmad Mansur Suryanegara memaparkan sebagai berikut: Program peningkatan kualitas Dakwah Islamiyah dari Dewan Dakwah Islamiyah Indonesia, membangkitkan kalangan cendekiawan Muslim berpartisipasi aktif mendakwahkan Islam. Kalangan medis, pakar ekonomi, budayawan, sejarawan, arsitek, pakar busana, dosen dari berbagai cabang ilmu, terpanggil untuk ikut serta mendakwahkan ajaran Islam sejalan dengan ilmunya, diwilayah kerjanya. Tidak lupa dikalangan militer dan polisi, serta disetiap departemen, mendirikan seksi dakwah, membangkitkan semangat Islam dalam warganya. Demikian pula dimasyarakat, timbul kesadaran kaum Ibu membangun Majelis Taklim, disamping adanya Dharma Wanita di setiap instansi, aktif pula mengadakan dakwah rutin.31 Dari keterangan-keterangan diatas sebagai mana penulis kemukakan, maka dapat dipastikan, bahwa Peranan Mohammad Natsir dalam bidang pendidikan dan dakwah tidak bisa diragukan lagi, beliau aktif berdakwah, memberikan teladan, dan mendidik ummat dimanapun berada dan dalam kedudukan apapun Posisinya. Sejak dari Pendis (Pendidikan Islam) hingga Pendidikan Tinggi, dari jabatan sebagai guru hingga politisi, dari Pesantren Persis (Persatuan Islam) di Bandung hingga Pesantren-pesantren Tinggi (Ma‟had Aliy) dan Lembaga-lembaga Kajian Islam di berbagai Universitas terkemuka di Indonesia, sehingga dari kegigihan dan keistiqamahannya dalam berjuang serta kesantunannya dalam bersikap, penghormatan tidak saja diberikan oleh umat Islam namun tidak sedikit umat non muslim pun yang menaruh hormat dan simpati kepada beliau. c. Pemikiran Islam dan Upaya membendung Kristenisasi Dalam hal pemikiran Islam, Adian Husaini menyebutkan: “Pada sekitar tahun 1930-an, Natsir telah aktif menulis tentang berbagai persoalan keilmuan dan 30 Ibid, h. 88 Ahmad Mansur Suryanegara, Api Sejarah Jilid 2, (Bandung: Salamadani, 2010), cet. 1, h. 521-522 31 48 terlibat langsung dalam perdebatan ilmiah dengan berbagai kalangan. Melalui tulisan-tulisannya ketika itu, tampak Natsir sudah membaca berbagai literatur tentang aqidah, sejarah, ilmu kalam, tasawuf, filsafat, syari‟ah, perbandingan agama dan sebagainya.32 Sebenarnya pemikiran Mohammad Natsir dalam visi misi dan keyakinannya terhadap Islam sangat jelas, kita bisa melihat dari berbagai sudut kehidupannya, yaitu dari pribadinya, dari ketabahan dan ketegarannya, dari kesantunan dan ketegasannya ketika bersikap, dari tulisan-tulisannya, dari jasajasanya, dan dari beberapa tokoh yang menilainya. Dari berbagai kisah kehidupannya sebagaimana diatas, penulis menyimpulkan bahwa secara garis besar pemikiran Mohammad Natsir itu bertujuan untuk dakwah Islam dan membela Aqidah Islam dari berbagai serangan dari orang-orang yang tidak senang dengan Islam. Diantara Dakwah dan pembelaannya terhadap Islam adalah beliau berupaya mengingatkan umat Islam akan bahaya Kristenisasi dan bahaya pendangkalan Aqidah yang dilakukan oleh orang-orang yang dengki terhadap Islam. Beliau berjuang melalui pendidikan, politik, dan Dakwah. Berikut ini penuturan beliau dalam mengingatkan umat Islam tentang upaya para Zending Misionaris dalam mengkristenkan penduduk Muslim, yaitu: Apakah akan dibiarkan sadja mereka terlantar, djadi bodoh dan dungu terbenam dalam kegelapan? Atau apakah sudah rela benar-benar kita melepaskan anak-anak kita itu diperkemasi oleh mereka jang bekerdja dengan giat dan radjin serta tabah mendirikan sekolah-sekolah mereka, jang membukakan pintunja dengan luas sekali kepada anak-anak kita jaitu pihak missi dan zending dinegeri kita ini?Wahai ibu-bapa kaum Mslimin! “Alangkah sukanja Ahli Kitab, djika mereka dapat membelokkan kamu kembali, sesudah kamu beriman (kepada Muhammad), sebab tidak senang hati mereka....! demikian al-Qur‟an adalah surat al-Baqarah: 109. Peringatan ini dihadapkan oleh Muhammad kepada kaum Muslimin 13 abad jang lalu dan jang rupanja perlu diperingatkan berulang-ulang kepada kita.33 Selanjutnya beliau mengatakan: Djadi kita kaum Muslimin wadjib mengadakan dari antara kaum kita djuga, satu golongan yang akan mendidik anak-anak kita, supaja didikan 32 Adian Husaini, Op.cit., h. 40 D.P. Sati Alimin (ed.), Op.cit., h. 80 33 49 anak-anak itu djangan diserahkan kepada mereka jang tidak sehaluan, tidak sedasar, tidak seiman dan tidak seagama dengan kita. Begini peringatan dari Nabi kita Muhammad s.a.w, begitu pula perintah dari Allah s.w.t.34 Dari pernyataan Mohammad Natsir diatas, jelas sekali bisa kita pahami, bahwa Mohammad Natsir sangat menginginkan sekali agar umat Islam sadar dan jangan terpedaya oleh orang-orang yang hendak merusak keyakinan ummat Islam. Al-Mustasyar Abdullah Al-Aqil menyatakan: Meskipun para misionaris mendapat banyak kemudahan dari antek-anteknya didalam negeri, suntikan dana sangat besar, dan peralatan memadai, tapi upaya Dr. Mohammad Natsir dan rekan-rekannya menjadi penghambat aktivitas para misionaris.35 d. Politik Islam Dalam Masyarakat sering tumbul pertanyaan, “kenapa agama dibawabawa dalam politik, atau kenapa politik dibawa-bawa dalam agama?” Mohammad Natsir menjawab sebagai berikut: Pertanjaan ini timbul oleh sebab seringkali orang mengartikan bahwa jang dinamakan agama itu, hanjalah se-mata2 satu sistem peribadatan antara machluk dengan Tuhan jang Maha kuasa. Definisi ini mungkin tepat bagi ber-matjam2 agama. Akan tetapi tidak tepat bagi agama jang bernama Islam itu, jang hakikatnja njata adalah lebih dari itu. Kalau kita memindjam perkataan seorang orientalist, H. A. R. Gibb, maka kita dapat simpulkan dalam satu kalimat: “Islam is much more than a religious syistem. Itu is a complete ciliization” “Islam itu adalah lebih dari sistem” peribadatan. Ia itu adalah satu kebudajaan jang lengkap sempurna!”. Malah lebih dari itu! Islam adalah satu falsafah hidup, satu levens-filosofie, satu ideologi, satu sistem peri kehidupan, untuk kemenangan manusia sekarang dan diachirat nanti. Oleh karena itu bagi kita sebagai muslim, kita tidak dapat melepaskan diri dari politik. Dan sebagai orang berpolitik, kita tak dapat melepaskan diri dari ideologi kita, jakni ideologi Islam. Bagi kita, menegakan Islam itu tak dapat dilepaskan dari menegakkan masjarakat, menegakkan Negara, menegakkan Kemerdekaan.36 Dari pernyataan Mohammad Natsir diatas, penulis menyimpulkan bahwa menurut Mohammad Natsir berpolitik dalam Islam sah-sah saja, karena Islam bukan hanya sekedar agama yang mengurus hubungan antara makhluk dengan Tuhan, tetapi juga mengurus hubungan antara manusia dengan manusia. 34 Ibid, h. 81 Al-Mustasyar Abdullah al-Aqil, Op.cit, h. 30 36 D. P. Sati Alimin (ed), Capita Selecta Jilid 2, (Jakarta: Pustaka Pendis, 1957). Cet. 1 35 50 Tetapi yang perlu digaris bawahi adalah “tidaklah kita melepaskan Islam dan seperangkat ajarannya ketika berpolitik”. Maka inilah yang disebut dengan ”politik Islam.” Peranan dan pengalaman Mohammd Natsir dalam berpolitik, secara garis besar adalah sebagai berikut: 1. Mohammad Natsir mulai belajar berpolitik dari KH. Agus Salaim.37 2. Tahun 1938, Mohammad Natsir mulai aktif sebagai anggota Persatuan Islam Indonesia (PII) cabang Bandung. Dan tahun 1940-1942 menjabat sebagai ketua PII.38 3. Tahun 1945-1946 sebagai anggota Bdan Pekerja KNIP39 4. Tahun 1946-1949 Menjabat menteri penerangan RI40 5. Tahun 1949-1958 menjabat ketua umum partai Masjumi, Ketua Fraksi Masjumi dalam DPR-RIS pada waktu itu mengajukan mosi untuk kembali ke Negara Kesatuan R.I yang kemudian dikenal dengan Mosi Integral Natsir dkk. Yang diterima secara aklamasi oleh DPR-RIS.41 6. Tahun 1950-1951 Perdana Menteri RI42 7. Tahun 1950-1958 Anggota Parlemen RI43 8. Tahun 1956-1958 Anggota Konstituante RI44 9. Tahun 1958-1960 Anggota PRRI45 10. Tahun 1980 M. Natsir bersama 50 tokoh masyarakat menandatangani pernyataan keprihatinan yang dikenal dengan petisi 50 yaitu mengkritik dua pidato presiden Suharto tentang Pancasila. Petisi 50 ini menyebabkan M. Natsir dan kawan-kawannya yang menandatangani Petisi tersebut dicekal hak-hak sipilnya.46 37 Herry Mohammad, Op.cit., h. 48 Abudin Nata, Op.cit., h. 77 39 Lukman Hakiem (ed.), Op.cit., h. 149 40 Ibid. 41 Ibid. 42 Ibid., h. 150 43 Ibid. 44 Ibid. 45 Ibid. 46 Ibid. 38 51 e. Peranannya di dalam organisasi Islam Internasional Peranan Mohammad Natsir dalam dakwah dan Perjuangan Islam tidak hanya sebatas di Indonesia, tetapi juga dikancah Internasional. Berikut ini pengalaman dan peranannnya di Dunia Islam Internasional: 1. Pada Tahun 1956 ia bersama Syaikh Maulana Abul A‟la al-Maududi (Lahore) dan Abu Hasan al-Nadwi memimpin sidang Muktamar Alam Islamy di Damaskus. Selain itu ia juga pernah menjadi wakil presiden Kongres Islam sedunia yang berpusat di Pakistan.47 2. Tahun 1968 sebagai anggota Muslim World League (Rabithah Alam Islamy) yang berpusat di Mekah.48 3. Tahun 1976 sebagai anggota A‟la Al-Alamy lil Masjid (Dewan Masjid Sedunia) bermarkas di Mekah49 4. Tahun 1980 menerima penghargaan dibidang pengkhidmatan kepada Islam dari “King Feisal Foundation”, Riyadh.50 B. Konsep Pemikiran Pendidikan Islam Mohammad Natsir Konsep adalah “gambaran mental dari objek, proses, atau apa yang ada diluar bahasa, dan yang memerlukan penggunaan akal budi untuk memahaminya.”51 Berdasarkan data-data yang berhasil diperoleh penulis, setidaknya terdapat 8 point penting mengenai gagasan Pendidikan Islam Mohammad Natsir, yaitu Asas dari pendidikan, tujuan pendidikan, Pendidikan dan nilai-nilai agama, pendidikan yang universal, Konsep ilmu, pentingnya bahasa asing, dan hubungan pendidikan dengan masyarakat. berikut ini penulis menjabarkan satu persatu dari point-point tersebut yang penulis anggap sebagai konsep Pendidikan Islam Mohammad Natsir. 47 Abudin Nata, Op.cit., h. 78 Lukman Hakiem, Loc.it., 49 Ibid. 50 Ibid. 51 Hasanudin, dkk., Ensiklopedia Kebahasaan Indonesia, Jilid II (Bandung: Angkasa, 2009), cet. 1, h. 628 48 52 1. Tauhid Sebagai Asas Pendidikan Sebagaimana kita ketahui, umat Islam telah sepakat bahwa asas atau sumber dasar dari Pendidikan Islam adalah Tauhid. Jika Tauhid tidak dijadikan landasan atau dikesampingkan peranannya dari Pendidikan umat Islam, maka Pendidikan tersebut tidak lagi disebut pendidikan Islam dan jika hal itu terjadi maka Pendidikan tidak lagi mendidik umat Islam sebagaimana yang dicita-citakan dalam Islam, yakni menjadikan hamba Allah swt. Di sinilah maka Mohammad Natsir sangat menekankan tentang pentingnya Tauhid sebagai dasar Pendidikan dalam Islam. Ia menyatakan: “Ajaran Tauhid manifestasinya adalah pembentukan kepribadian dan sasaran serta tujuan dari pendidikan itu sendiri, memberikan didikan Tauhid kepada anak haruslah sedini mungkin, selagi masih muda dan mudah dibentuk, sebelum rebung menjadi betung, dan sebelum kedahuluan oleh faham atau ideologi lain.”52 Mohammad Natsir juga menyatakan bahwa meninggalkan Tauhid sebagai asas pendidikan berarti suatu pengkhianatan yang besar terhadap anakanak yang kita didik. Sebagaimana pernyataan beliau berikut ini: Mengenal Allah, mentauhidkan Allah, mempercayai dan menyerahkan diri kepada Allah, tak dapat tidak harus menjadi dasar bagi tiap pendidikan yang hendak diberikan kepada generasi yang kita latih. Meninggalkan dasar ini merupakan suatu kelalaian yang amat besar, yang tidak kurang besar bahaya daripada berkhianat terhadap anak-anak yang kita didik walaupun sudah kita sempurnakan makan dan minumnya, serta sudah kita lengakpkan pula ilmu pengetahuan untuk bekal hidupnya. Semua ini tidak ada artinya tanpa Tauhid.53 Lebih lanjut beliau pun menyatakan: Hubungan dengan manusia dan sesama machluk dapat diadakan kapan sadja waktunja. Akan tetapi hubungan dengan ilahi tidaklah boleh dinantinantikan setelahnja besar atau berumur landjut. Malapetaka dan kehinaanlah jang akan menimpa mereka, dimana sadja mereka berada, ketjuali apabila mereka mempunjai hubungan dengan Allah dan pertalian sesama manusia.54 52 Anwar Harjini (ed.), Pemikiran dan Perjuangan M. Natsir, (Jakarta: Pustaka Firdaus, 2011), cet. 2, h. 152 53 Ibdi, h. 196 54 D.P. Sati Alimin (ed.), Op.cit., h. 143 53 Dalam hal pentingnya tauhid sebagai dasar pendidikan, Mohammad Natsir mengambil salah satu contoh pada seorang profesor fisika bernama Paul Ehrenfest yang membunuh anak kesayangannya dan iapun mati bunuh diri. dalam menjelaskan maksud pemikiran M. Natsir ini, Abudin Nata menggambarkan“Paul Ehrenfest seorang Profesor yang sudah berada pada tingkat keilmuan yang mumpuni dan benar-benar menguasai bidang-bidang sains, berbagai hasil penemuan-penemuan rahasia alam menjadi rujukan dalam dunia ilmu pengetahuan. Disamping itu pekerjaannya sehari-hari tak pernah tercela. Pergaulannya pun dengan orang-orang baik, bahkan iapun seorang yang ramah.55” Namun ia adalah seorang Atheis, tidak mengenal Tuhan, sehingga walaupun ia sudah menguasai Ilmu Pengetahuan yang sangat tinggi, Jiwanya tetap merasa kosong dan selalu merasa ada sesuatu yang kurang, yakni tidak adanya tempat atau pegangan untuk menggantungkan perasaan pergolakan nuraninya kepada sesuatu yang absolut dan mutlak adanya bila datang suatu panca roba yang menerpanya. Ia tidak menemukan hal ini dalam sejumlah teori-teorinya. Dalam surat yang ditinggalkan Paul Ehrenfest, yakni agama itu perlu, barang siapa yang tidak memiliki agama, ia munkin binasa karena itu. suratnya itu kemudian ditutup dengan do‟a yang sangat mengharukan sahabat-sahabatnya. “Mudah-mudahan Tuhan akan menolong kamu, yang amat aku lukai sekarang ini.”56 Dalam kumpulan tulisannya Capita Selecta, Mohammad Natsir menyimpulkan dengan kata-kata sebagai berikut: “Demikianlah gambaran batin seseorang jang pada lahirnja boleh dinamakan “atheist.” Seseorang jang pada hakikatnja amat rindu untuk mempunjai Tuhan, tetapi tidak diperdapatnja dalam hidupnja. Seolah-olah dengan membunuh diri itu ia hendak mentjahari Tuhan diseberang kubur, Jakni diachirat dan supaja ia terlepas dari tekanan ruhani jang dirasanja amat berat menghimpitnja didunia ini.57 55 Abudin Nata, Op.cit., h. 85 Ibid, h. 86 57 D.P. Sati Alimin (ed.), Capita Jilid 1,Op.cit. h. 142 56 54 2. Tujuan Pendidikan Islam Menurut Mohammad Natsir, tujuan akhir atau tujuan utama pendidikan selaras dengan tujuan diciptakannya manusia, yakni sebagai hamba Allah. sebagaimana dalam surat Ad-Dzariyat ayat 56: Dan aku tidak menciptakan jin dan manusia melainkan supaya mereka mengabdi kepada-Ku. (Adzariyat: 56) Berikut ini pernyataan Mohammad Natsir dalam buku Capita Selecta Jilid I. “Apakah tudjuan jang akan ditudju oleh didikan kita? Sebenarnya tidak pula dapat didjawab sebelum mendjawab pertanjaan jang lebih tinggi lagi, jaitu: Apakah tudjuan hidup kita didunia ini? Kedua pertanjaan ini tidak dapat dipisahkan, keduanja sama (identiek), Tudjuan didikan ialah tudjuan hidup.”58 Dan hamba Allah sebagaimana dalam surat Ad-Dzariyat ayat 56 diatas adalah: “orang jang ditinggikan Allah deradjatnja, sebagai pemimpin untuk manusia. Mereka menurut perintah Allah, dan berbuat baik kepada sesama machluk, lagi menunaikan ibadah terhadap Tuhanja.”59 Dari pernyataan Mohammad Natsir diatas, jadi jelas sekali, bahwa tujuan dari pendidikan Islam menurut beliau adalah tujuan manusia hidup didunia. Dan tujuan manusia hidup didunia intinya tidak lain hanyalah menjadi hamba Allah. Sebagaimana yang tertera dalam surat Ad-Dzariyat ayat 56: Dan aku tidak menciptakan jin dan manusia melainkan supaya mereka mengabdi kepada-Ku. 3. Pendidikan dan nilai-nilai agama Dalam catatannya yang sudah dibukukan dalam buku “Capita Selecta” Mohammad Natsir menyatakan: “Peliharalah dirimu dan ahlimu dari api neraka, demikian lagi peringatan Tuhan dalam kitab Sutjinya. Surat at-Tahrim ajat 6, kepada kita, jang maksudnja ialah: harus kita berikan kepada anak dan isteri kita didikan yang akan memeliharanja dari kesesatan dan memberikan keselamatan di Dunia dan di Achirat”60 58 Ibdi, h. 83 D.P. Sati Alimin. Loc.it 60 Ibid, h. 81 59 55 Pandangan Mohammad Natsir dalam pendidikan dan nilai agama ini sama dengan pandangan M. Quraish Shihab. Dalam bukunya Quraish Shihab menyebutkan: “kurikulum dan niali agama harus seperti baju yang kita pakai, yakni sesuai dalam ukuran dan modelnya dengan diri, slera, dan kebutuhan kita. Ia tidak boleh kita pinjam dari orang lain, karena betapapun indahnya terlihat, atau batapapun ukurannya boleh jadi secara umum sama, namun jika tidak dibuat sesuai selera dan kebutuhan riil kita, maka ia tidak akan nyaman dipakai.61 Dari penjelasan diatas artinya adalah: bahwa pendidikan yang harus kita berikan kepada anak-anak dan istri kita adalah pendidikan yang sesuai dengan kebutuhan kita sebagai muslim yaitu pendidikan yang dapat memelihara dari kesesatan supaya selamat hidup di Dunia dan di Akhirat. Mengenai Pendidikan dan nilai-nilai agama ini, Mohammad Natsir bersama kawan-kawannya di KNIP (Komita Nasional Indonesia Pusat) telah mengusulkan tiga hal dalam undang-undang pendidikan. Tiga hal yang diusulkan tersebut sebagai mana penulis kutif dari Jurnal “Islamia” ialah: “Pertama, kepengurusan sekolah-sekolah agama diberikan secara khusus kepada Departemen Agama, terpisah dari Departemen Pendidikan, kedua, memisahkan sekolah laki-laki dan Perempuan dalam sekolah-sekolah agama (madrasah), dan Ketiga, mengajarkan sekolah-sekolah agama dalam sekolah-sekolah umum.”62 Hasilnya sebagaimana ditulis dalam Jurnal Islamia, “Usul pertama diterima dengan baik oleh mayoritas anggota KNIP, usul kedua sekalipun mendapat dukungan, namun akhirnya pihak pengusul menoleransi. Sementara usul ketiga mendapat tantangan cukup sengit dari pemimpin sekuler dan Kristen. Pembahasan mengenai usul ketiga ini terus berlarut-larut dan baru disetujui pada tahun 1954.”63 Dari pernyataan-pernyataan dan apa yang diperjuangkan Mohammad Natsir baik di masyarakat maupun di pemerintahan, kita bisa memahami, bahwa menurut Mohammad Natsir pendidikan dan Nilai-niali Agama tidak boleh 61 Shihab, M. Quraish, Membumikan al-Qur’an jilid 2, (Jakarta: Lentera Hati, 2011) cet. 1, h. 284 62 Tiar Anwar Bachtiar, Op.cit, h. 85 Ibid, h. 85-86 63 56 dilepaskan. Pendidikan seharusnya dibalut dengan nilai-nilai agama sehingga tujuan utama dalam pendidikan sebagai hamba Allah dapat terlaksana. 4. Pendidikan yang Universal Universal artinya”bersikap umum, mencakup secara keseluruhan.64 Pendidikan yang Universal dalam konsep Mohmmad Natsir yakni Pendidikan secara menyeluruh mencakup berbagai jenis disiplin Ilmu, baik ilmu-ilmu yang bercorak keagamaan maupun ilmu pengetahuan yang berciri khas Sains dan Tekhnologi, dan tanpa ada diskriminasi terhadap jenis ilmu dan pendidikan. Berikut ini penulis paparkan pendapat beliau mengenai pentingnya Pendidikan yang universal dalam berbangsa dan bernegara. Konsep Mohammad Natsir tentang Pendidikan yang universal berawal dari pandangannya yang Integral terhadap kehidupan, bahwa antara kehidupan dunia dan akhirat tidak boleh dipisahkan, kedua-duanya saling berkaitan. Sebagaimana Abudin Nata menyatakan: “Pandangan Natsir tentang Islam yang Integral antara Dunia dan Akhirat tersebut selanjutnya memengaruhi pandangannya tentang integrasi pendidikan agama dan pendidikan umum yang selanjutnya mengarah pada penghapusan dikotomi antara keduanya.”65 Dalam catatannya Natsir menyatakan: Ialah bahwa kemunduran dan kemadjuan itu, tidak bergantung kepada ketimuran dan kebaratan, tidak bergantung kepada putih, kuning atau hitamnja warna kulit, tetapi bergantung kepada ada atau tidaknja sifat-sifat dan bibit-bibit kesanggupan dalam salah satu umat, jang mendjadikan mereka lajak atau tidaknja menduduki tempat jang mulia diatas dunia ini.66 Lebih lanjut beliau menyatakan: Apakah jang sematjam itu sematjam didikan ke-“barat‟-an atau ke“timur”-an namanja, tidak menjadi soal. Timur kepunjaan Allah, Baratpun kepunjaan Allah Djua. Sebagai machluk jang bersifat “hadits” (baharu) kedua- 64 Pius A partanto dan M. Dahlan al-Barry, Kamus Ilmiah Populer, (Surabaya: Arkaloka, 1994), h. 768 65 Abudin Nata, Op.cit, h. 88 66 D.P. Sati Alimin (ed.), Capita Jilid 1,Op.cit. h. 78 57 duanja, Barat dan timur mempunjai hal yang kurang baik dan jang baik, mengandung beberapa kelebihan dan beberapa keburukan.67 Untuk para pendidik Islam beliau menyatakan: “Seorang pendidik Islam tidak usah memperdalam-dalam dan memperbesar-besarkan antagonisme (pertentangan) antara Barat dengan timur itu. Islam hanja mengenal antagonisme antara hak dan batil. Semua jang hak akan ia terima, biarpun datangnnja dari “Barat”, semua jang batil akan ia singkirkan, walaupun datangnja dari “Timur”.68 Dari beberapa pernyataan-pernyataan diatas, maka dapatlah disimpulkan bahwa dalam Pendidikan khususnya Pendidikan dalam Islam seyogyanya tidak membeda-bedakan ini pendidikan timur atau barat, ini pendidikan agama atau umum, tetapi pendidikan dalam Islam hendaknya merupakan suatu pendidikan yang mencakup secara keseluruhan darimanapun asalnya selama tidak bertentangan dengan syari‟at Islam. Dalam Islam hanya ada dua pilihan yaitu batil dan haq. tinggalkan yang batil walaupun itu dari timur, dan ambil yang haq walaupun itu dari barat. Pemikiran Natsir dalam hal ini sesuai dengan surat al-Ghasiyah ayat 17 – 20. Yaitu: (17) Maka tidakkah mereka memperhatikan unta, bagaimana diciptakan. (18) Dan langit bagaimana ditinggikan? (19) Dan gunung-gunung bagaimana ditegakkan? (20) Dan bumi bagaimana dihamparkan.(Qs. AlGhasiyah: 17 – 20) Maksud dari ayat diatas, sebagaimana disebutkan dalam kitab tafsir “Al-Qur‟an dan Tafsirnya” disebutkan: “Allah menyuruh mereka memperlihatkan tanda-tanda kebesaran dan kekuasaannya yang ada di Langit dan di Bumi seperti meneliti keadaan unta, binatang peliharaan mereka dan lain-lain. Demikian pula 67 Ibid, h. 84 Ibid, h. 84-85 68 58 mereka disuruh memperhatikan gunung-gunung yang dapat dijadikan petunjuk dalam melakukan perjalanan.69 Dari tafsir ayat diatas, bisa dipahami dan disimpulkan bahwa pendidikan Islam itu mencakup segala aspek bidang kehidupan, yaitu sesuatu yang bermanfaat dalam membantu kehidupan ummat manusia untuk beribadah dan menambah keyakinan akan keesaan dan kekuasaan Allah Swt. Jadi inilah makna dari pendidikan universal menurut Mohammad Natsir. 5. Konsep Ilmu dan orang berilmu dalam pendidikan Mengenai konsep Ilmu, Mohammad Natsir mengutif surat Al- “Sesungguhnya diantara hamba-hamba Allah yang takut kepada-Nya, hanyalah para ulama, sungguh Allah maha bijaksana, maha pengampun. (Qs. Fathir: 28) Menurut Mohammad Natsir, “Ayat ini menjelaskan bahwa Ilmu, ialah satu sjarat jang terpenting untuk mendjadi hamba Allah yang sebenar-benarnya. Hamba Allah ialah orang jang ditinggikan Allah deradjatnja, sebagai pemimpin untuk manusia. Mereka menurut perintah Allah, dan berbuat baik kepada sesama machluk, lagi menunaikan ibadah kepad Tuhannja.”70 Selanjutnya beliau menyatakan: “Agama Islam mewadjibkan tiap-tiap pemeluknja, lelaki dan perempuan menuntut ilmu dan menghormati mereka jang mempunjai ilmu.”71 Dari pernyataan-pernyataan diatas, maka bisa disimpulkan, bahwa Pandangan Mohammad Natsir tentang Ilmu adalah bahwa Ilmu merupakan suatu pokok utama untuk menjadi hamba Allah sehingga semestinya orang yang berilmu (hamba Allah) tersebut haruslah dihormati karena dengan Ilmunya ia menjadi seorang yang bertakwa kepada Allah dan menjadi pemimpin, panutan, dan pencerah untuk masyarakat, orang tidak mungkin menjadi hamba Allah dalam 69 Dahlan, Zaini, dkk. “Al-Qur’an dan Tafsirnya (Yogyakarta: UII, 1995), cet. 1 h. 687 D.P. Sati Alimin (ed.), Capita Jilid 1,Op.cit. h. 82-83 71 Ibid, h. 147 70 59 hal yang diharapkan oleh Islam tanpa berilmu, maka dengan demikian menuntut Ilmu dalam Islam adalah suatu kewajiban bagi laki-laki ataupun perempuan. 6. Penguasaan Bahasa Asing Menurut Mohammad Natsir, bahasa Asing sangat penting untuk dikuasai oleh suatu bangsa, namun demikian jangan pula memandang remeh bahasa sendiri, karena bahasa sendiri merupakan tulang punggung kultur suatu bangsa. Artinya kita mengetahui bahasa luar tapi kita juga harus lebih mengetahui bahasa ibunya sendiri. Berikut ini penulis paparkan pernyataan Mohammad Natsir mengenai pentingnya penguasaan bahasa asing, Yaitu: Kemadjuan berfikir, bergantung sangat kepada keluasan medan jang mungkin dikuasai oleh bahasa jang dipakai. Dan apabila satu bahasa seperti bahasa Indonesia masih berada pada tingkat seperti sekarang, dan belum pula tjukup kekajaannja untuk mengutarakan bermatjam-matjam pengertian jang ma‟nawi, maka bahasa itu sendiri akan mendjadi kurungan jang membatasi ruang gerak kita dalam menudju ketjerdasan umum yang lebih luas.72 Selanjutnya beliau menambahkan: Bagi kita untuk perhubungan kebudajaan ini, amat perlulah bahasa jang amat lengkap dan lebih luas daerahnja dari daerah bahasa kita sendiri. Oleh karena itu “disamping bahasa-ibu kita” sendiri, adalah bahasa “asing” jang lebih luas dan lebih kaja, jang dapat memperhubungkan kita dengan negeri luar, mendjadi satu rukun jang tak boleh tidak bagi kemadjuan dan ketjerdasan kita.73 Dari pernyataan-pernyataan diatas, kita bisa memahami bahwa Mohammad Natsir memandang perlu penguasaan bahasa asing untuk kemajuan suatu bangsa. Karena dengan bahasa asing kita akan mampu memperhubungkan diri dengan bangsa lain dan disitu kita bisa mengambil pelajaran dari apa yang tidak ada di dalam bangsa kita. Di indonesia, bahasa Asing yang dominan adalah Bahasa Arab, Belanda dan bahasa Inggris. Dari ketiga bahasa tersebut, dalam masa-masa sekarang (akhir abada ke 20 dan awal abad ke 21) bahasa Belanda menjadi kurang peminat 72 Ibid, h. 131 Ibid, h. 132 73 60 maupun peranannya dalam masyarakat. Sementara bahasa Arab dan Inggris masih banyak ditemui dihampir semua lapisan masyarakat. Sebelum bahasa Belanda menjadi bahasa pembawa ketjerdasan itu, sudah terlebih dulu bahasa Arab mendjadi satu-satunja pembuluh kebudjajaan bagi kita anak Indonesia74 Khusus untuk bahasa Arab memang suatu hal yang penting sekali peranannya dalam Pendidikan Islam, karena bahasa Arab sejak awal-awal perkembangannya merupakan bahasa persatuan bagi kaum Muslimin, bahasa Arab adalah bahasa Al-Qur‟an. Maka akan sulitlah bagi kaum Muslimin jika bahasa Arab ini ditinggalkan. Dengan demikian Muhammad Natsir menegaskan bahwa: “Besar kerugian dan kerusakan jang menimpa kita apabila bahasa ini (Arab) kita abaikan dan kita kesampingkan.75 Mengenai besarnya jasa bahasa Arab dalam mencerdaskan bangsa Indonesia, Muhammad Natsir menyatakan sebabagai berikut: Melihatlah disekeliling tuan, perhatikanlah ketjerdasan bangsa kita sekarang ini! Selidikilah, djangan di-kota jang besar-besar sadja akan tetapi masuklah kekampung dan desa-desa, disitu tuan akan mendapat gambaran, bagaimana besar djasanja bahasa Arab ini bagi ketjerdasan bangsa kita. Belum ditilik lagi dari djurusan keagamaan, akan tetapi baru dari jurusan ketjerdasan umum.76 Lebih lanjut beliau menyatakan: “Bahasa inilah jang telah masuk kedalam lingkungan bangsa dan dunia anak Indonesia jang telah menimbulkan sumber ketjerdasan jang bertebaran dikepulauan kita ini.”77 Dari beberapa keterangan dan pernyataan diatas, dapalah disimpulkan bahwa penguasaan terhadap bahasa asing dalam pendidikan, khususnya pendidikan Islam adalah merupakan suatu kepentingan yang tidak bisa ditawar lagi, mutlak keharusannya. Dan hal itu telah terbukti, bahwa meleknya bangsa 74 Ibid, h. 132 Ibid, h. 135 76 Ibid, h. 133 77 Ibid, h. 134 75 61 Indonesia karena banyaknya orang-orang dari bangsa indonesia ini yang menguasai bahasa asing, khususnya bahasa Arab. Mengenai bahasa Arab, sebenarnya bisa dilihat dari dua sisi, jika dilihat dari kecemata agama (Islam), bahasa arab bukanlah suatu bahasa asing dan tidak boleh dijadikan bahasa asing, karena kita menjalankan ritual agama kita tentu harus dengan bahasa Arab yang sudah diajarkan oleh Nabi Muhammad Saw. tapi jika dilihat dari segi kebangsaan, barulah bahasa Arab merupakan bahasa asing. 7. Kebebasan Berpikir Sebagai Tradisi Ilmu Menurut pemikiran Mohammad Natsir, salah satu konsep dalam Pendidikan Islam adalah adanya kebebasan berpikir. Pemikiran beliau ini berawal dari ajaran Islam yang beliau pahami bahwa agama Islam menghormati akal. Sebagaimana pernyataannya dalam buku “Capita Selecta jilid I” berikut ini: “Nabi Muhammad meletakan akal pada tempat jang terhormat dan mendjadikan aka itu sebagai salah satu alat untuk mengetahui Tuhan.78 Selanjutnya beliau menyatakan: Islam amat mentjela landasan orang-orang jang tak mempergunakan akalnja, orang-orang jang terikat fikirannja dengan kepertjajaan dan pahampaham jang tak berdasar kepada landasan jang benar, jaitu mereka jang tak mau memeriksa apakah kepertjajaan dan paham-paham jang disuruh orang terima atau dianut mereka itu, benar, dan adakah berdasar kepada kebenaran atau tidak.79 Lebih lanjut beliau menyatakan: Akal merdeka bisa memperkuat dan memperteguh iman kita, menambah chusju‟ dan tawadhu‟ kita terhadap kebesaran ilahi serta membantu kita mentjahari rahasia-rahasia firman Tuhan, menolong kita memahamkan hikmah-hikmah suruhan dan adjaran agama, mempertinggi dan memperhalus perasaan keagamaan kita.80 Dari Pernyataan Mohammad Natsir diatas, dipat kita pahami, bahwa beliau sangat menekankan kepada umat Islam agar mempergunakan sebaikbaiknya akal pikiran yang telah Allah anugerahkan kepada manusia untuk memajukan bangsa indonesia dan umat Islam. Dan sepertinya beliau sangat prihatin dengan kepercayaan-kepercayaan yang berkembang di masyarakat yang 78 Ibid, h. 238 Ibid, h. 239 80 Ibid, h. 242 79 62 tak berdasar kepada landasan yang benar dan tidak pula membawa manfaatnya untuk kemajuan bangsa yang baru merdeka dari penjajahan bangsa asing beratusratus tahun. Mohammad Natsir menganggap kepercayaan-kepercayaan seperti itulah sebagai sumber kemunduruan bangsa, itulah yang menyebabkan bangsa indonesia Jumud dan beku. Berikut ini pernyataan Mohammad Natsir akan kprihatinannya terhadap orang yang tidak mau menggunakan akalnya, yaitu: “adapun jang dinamakan orang djumud atau beku itu, ialah merekajang tidak suka mempergunakan kemerdekaan mengatur keduniaan jang telah diizinkan oleh Islam itu.”81 Namun disisi lain kita sering juga melihat orang yang kelihatan mempergunakan akalnya justru malah merusak agamanya sendiri, bahkan tak sedikit yang keluar dari kepercayaan agamanya menjadi atheis. Bagaimana dengan hal ini? Berikut ini penulis kemukakan pernyataan-pernyataan cemerlang Mohammad Natsir untuk menjawab pertanyaan diatas. Namun sebelum penulis memaparkan pernyataan Mohammad Natsir, terlebih dahulu penulis menggaris bawahi tentang agama. Agama yang dimaksud adalah agama Islam. Karena jika agama yang dimaksud diluar Islam, maka itu akan lain jawabannya dan bukan disini penulis menjelaskannya. Mari kita perhatikan pernyataan-pernyataan Mohammad Natsir berikut ini: 1. Tapi dalam pada itu akal merdeka pandai pula membongkar tiang-tiang agama itu melemparkan hudud dan melangkahi batas, djadi bukan sadja ia bisa memasukan udara jang sedjuk dan sepoi-sepoi basah, tetapi dapat djuga memasukan topan-limbubu menhantjurkan apa yang ada.82 2. Agama Datang membangunkan akal dan membangkitkan akal itu serta menggemarkan agar manusia memakai akalnja dengan sebaik-baiknja sebagai suatu ni‟mat ilahi jang maha indah.83 3. Islam datang, bukan melepaskan akal sebagai kita melepaskan kuda ditengah padang, untuk meradjalela disemua lapangan.84 81 Ibid., h. 248 Ibid., h. 242 83 Ibid. 82 63 4. Dalam beberapa hal Islam bertindak sebagai suplement dari akal, menjambung kekuatan akal dimana siakal tak dapat mentjapai lebih tinggi lagi. Seseorang jang mendakwakan bahwa “akal” itu bisa mentjapai semua kebenaran, pada hakikatnja, bukanlah sebenar-benarnja orang jang telah mempergunakan akalnja dan bukanlah seseorang jang akalnja merdeka dari hawa-nafsu tjongkak dan tekebur, tetapi jang terikat oleh salah satu matjam taklidisme modern jang bernama “rasionalism”!.85 5. Siapakah jang tidak mengakui bahwa Immanuel Kant itu seorang ahli fikir jang beser? Akan tetapi Immanuel Kant jang besar itulah, jang telah membantah paham orang jang mengatakan bahwa semua boleh dipulangkan kepada akal merdeka, boleh diputuskan menurut kemauan “rein Vernunft?”86 6. Prof. Farid Wadjdi, salah seorang pengandjur akal merdeka diabad kita sekarang, apakah ia “merasionilkan” semua aturan-aturan Islam? Tidak! dalam beberapa tulisannja a.I. dalam “Al-Islamu Dienun „Aam wa Chalid” ditjontohkannja bagaimana kita harus mempergunakan akal kita supaja si akal djangan tekebur menganggap semua jang dinamakan perasaan keagamaan itu adalah sentimen jang rendah. Didjelaskanja supaya si akal mengakui akan kekuatan perasaan-keagamaan itu dan kepentingannja, untuk djadi rem bagi tabiat kedjahatan dari manusia, tabiat jang tak dapat direm dan dikekang dengan ratio dan akal semata-mata. Diuraikannja bagaimana Agama Islam telah memperhubungkan akal dengan perasaan-keagamaan dalam satu kombinasi jang harmonis, jang satu menghargai jang lain pada tempatnja masing-masing.87 Dari beberapa pernyataan Mohammad Natsir diatas, dapatlah kita mengambil kesimpulan, bahwa kita umat Islam sangat dianjurkan untuk memperguanakan akal kita demi kesejahteraan hidup dan berkembangnya peradaban yang maju, dan pada akhirnya akan menguntungkan ummat Islam sendiri, baik dibidang pendidikan dan dakwah Islam maupun dibidang lainnya, 84 Ibid. Ibid, h. 243 86 Ibid, h. 243-244 87 Ibid, h. 245-246 85 64 dan itu semua akan menjadi ladang ibadah buat kita. Namun disisi lain jangan pula kita memaksakan akal kepada sesuatu yang mustahil bisa dicapai dengan akal, karena jika kita memaksakan akal untuk mencapai sesuatu yang tidak mungkin dicapai oleh akal, itu pada hakikatnya sama dengan tidak mempergunakan akal. Jadi intinya kita bersikaplah secara wajar (Pertengahan) dan dalam batas-batas tertentu dalam mempergunakan akal. Batas tetentu tersebut ada dalam agama (Islam). Bagi orang-orang yang bersikap ekstrim yakni orang yang memegang kuat paham “rasionalism” dan orang yang “Jumud”, Mohammad Natsir mengomentari sebagai berikut: “Jang perlu, bukan sadja berseru kepada kaum kita: “Djangan engkau terima sesuatu jang engkau tak mempunjai ilmu tentang itu!”, akan tetapi kepada pihak jang satu lagi harus kita berseru djuga: “Djanganlah saudara menolak sesuatu urusan jang saudara belum selidiki apa jang saudar hendak tolak itu!” 8. Hubungan Pendidikan dan Masyarakat Hubungan Pendidikan dan masyarakat menurut Mohammad Natsir haruslah bisa berhubungan dengan baik dan tentunya harus mempunyai garisgaris besar yang sama sehingga masyarakat pada umumnya merasakan keperluannya terpenuhi, yakni keperluan masyarakat yang akan menyambut murid-murid yang telah mereka kirim ke lembaga pendidikan untuk membina atau memimpin wilayahnya. Berikut ini pernyataan-pernyataan Mohammad Natsir: Kalau ada satu pekerdjaan jang amat bersangkut paut, berdjalin berkelindan dengan masjarakat hidup, maka pekerdjaan dalam perguruan dan pendidikan salah satu dari padnja, jang terutama. Sia-sialah perguruan apabila putus perhubungan antara sifat didikan jang diberi dengan kehendak dan keperluan masjarakat jang akan menjambut murid-murid jang telah dapat didikan itu kelanja. 88 Lebih lanjut beliau menyatakan: “Masyarakat kita telah mempunjai garis-garis besar jang tertentu dalam kehendak dan keperluanja kepada pendidikan kandidat-kandidat anggtoa masjarakat itu, sebab itu perguruan-perguruan kita 88 Ibid, h. 105 65 harus pula mempunjai garis dan rentjana tertentu pula dalam ragam ilmu dan tehnik peladjaranja”.89 Pandangan Mohammad Natsir dalam hal ini sama dengan pandangan Syed M. Naquib Al-Latas, sebagaiman dikemukakan oleh Wan mohd nor wan daud berikut ini:masyarakat terdiri dari individu, melahirkan seseorang akan melahirkan masyarakat yang baik. Pendidikan adalah struktur masyarakat.90 Dari pernyataan di atas, dapatlah dipahami, bahwa pendidikan itu haruslah bertolak ukur dari sejauh mana kebutuhan masyarakat setempat, karena pendidikan adalah bagian dari pada masyarakat. Masyarakat bisa mengambil banyak manfaat dari pendidikan tersebut, dan sebaliknya pendidikan pun akan berkembang karena adanya dukungan dari masyarakat, jadi sama-sama saling menguntungkan dan saling membutuhkan. B. Kerakteristik Konsep Pendidikan Islam Modern Menurut Pemikiran Mohammad Natsir Mohammad Natsir secara maksimal telah berupaya menyampaikan ideide pemikirannya dalam membangun kesadaran ummat Islam, khususnya ummat Islam di Indonesia. Dilihat dari sejarah perjalanan hidupnya, maka jelas sekali, Mohammad Natsir telah mengabdikan hampir seluruh hidupnya untuk kepentingan perjuangan dakwah Islam. Sebelum Indonesia merdeka, Mohammad Natsir aktif sebagai seorang pendidik sekaligus aktivis dalam berbagai pergerakan perjuangan kemerdekaan bangsa Indonesia. Setelah merdeka, Mohammad Natsir aktif di bidang politik. Ia berusaha berdakwah dan menanamkan ide-ide ajaran syari‟at Islam di pemerintahan. Setelah beliau tidak bisa lagi berpolitik, Mohammad Natsir berdakwah di masyarakat secara luas dan mampu menyadarkan banyak masyarakat Indonesia baik dari segi sosial maupun spiritual. Salah satu bidang dakwah Mohammad Natsir adalah bidang pendidikan. Dalam bidang pendidikan ini nampaknya Mohammad Natsir mempunyai teori yang utuh, yakni berbagai konsep dan gagasan pemikiran 89 Ibid, h. 106 Wan Daud, Wan Mohd. Nor. Filsafat dan Praktek Pendidikan Islam Syed M. Naquib Al-Latas, (Bandung: Mijan, 2003) cet. 1, h. 189 90 66 tentang pendidikan Islam modern yang mampu mengimbangi perkembangan jaman. Kerakteristik dari konsep pemikiran pendidikan Islam modern Mohammad Natsir adalah Pendidikan berdasarkan konsep ketuhanan namun bersifat universal. artinya pendidikan yang tetap berpijak pada ajaran Islam secara utuh namun mampu menempatkan diri dalam tatanan dunia modern global dalam rangka menjawab sekularisasi ilmu pengetahuan dan pendidikan yang semakin mejauhkan kehidupan umat manusia dari agama. Konsep pendidikan modern yang berdasarkan pada ketuhanan dalam pemikiran Mohammad Natsir ini ditinjau dari isi teorinya bisa dipahami bahwa ini merupakan suatu reformasi pemikiran pendidikan Islam, khususnya khususnya di bidang kurikulum dan metode pendidikan. Pendidikan modern berdasarkan ketuhanan ini maksudnya yaitu pendidikan berlandaskan keimanan kepada Allah swt. Hal ini sejalan dengan pendapat Muhammad „Athiyah al-Abrasy, sebagaimana telah dikutif oleh abdurrahman Assegaf al-Abrasy menyatakan: “Iman sebagai landasan utama dalam Pendidikan Islam, iman adalah perasaan pesikologis manusia terhadap sang penciptanya dan yang menciptakan Islam. Berpegang teguh pada iman kepada Allah, keesaan-Nya, kekuasaan-Nya, dan keagungan-Nya merupakan landasan Islam dan merupakan rahasia kekuatan Islam”.91 Kurikulum pendidikan Islam menurut Mohammad Natsir harus bersifat menyeluruh dalam bidang-bidang disiplin ilmunya. Kurikulum pendidikan Islam tidak cukup hanya dengan mengandalkan ilmu-ilmu di bidang fiqh, aqidah, dan akhlak saja, karena tantangan terhadap agama di dunia modern ini beragam macamnya dan semakin kuat menggiring umat manusia kepada kehidupan yang sekuler yang berakhir pada sikap anti Tuhan (atheis). Oleh sebab itu maka menurut Mohammad Natsir dalam kurikulum pendidikan Islam sangat perlu ditambahkan bidang ilmu-ilmu yang lainnya, seperti ilmu Sains dan teknologi, 91 Abd Rachman Assegaf. Aliran Pemikiran Pendidikan Islam, (Jakarta: PT. Raja Grafindo Persada, 2013). Cet. 1, h. 199 67 ilmu kedokteran, ilmu bahasa (penguasaan bahasa asing), dan ilmu-ilmu sosial lainnya. Pemikiran Mohammad Natsir dalam Pendidikan Islam Modern ini sejalan dengan pemikiran Abdurrahman an-Nahlawi. Ia menyatakan: “seluruh alam adalah milik Allah. Atas dasar ini maka seluruh ilmu duniawi berubah menjadi salah satu faktor pembinaan jiwa insani secara rabbani melalui pendidikan islami yang bertopang kukuh pada dasar-dasarnya. Keterpaduan kurikulum seperti itu tidak lagi memecah dan memisah-misah mana ilmu agama dan mana ilmu dunia”.92 Selanjutnya an-Nahlawi berpendapat bahwa: “Mempelajari ilmu-ilmu kealaman dimaksudkan tidak lain agar manusia memanfaatkan apa-apa yang telah diperuntukan Allah, baik yang ada di daratan, lautan, maupun di udara, seperti berbagai kekuatan angin, air, pertanian, dan pertambangan. Disamping itu agar manusia bersyukur kepada Allah atas semua itu, dan menyucikan-Nya sambil merasakan keagungan-Nya. Ilmu sosial menunjukan kepada manusia sunnahsunnah Allah, mengikatkan manusia kepada ajaran Islam, serta menyadarkan kepada ummat Islam untuk menjadi tentara Allah, pembela agama dan RasulNya”.93 Dilihat dari banyaknya bidang ilmu yang harus masuk dalam kurikulum pendidikan Islam, dan tidak mungkin semua orang menguasai seluruh bidangbidang ilmu tersebut, maka dalam gagasan pendidikannya ini Mohammad Natsir menjadikan ilmu aqidah dan akhlak beserta sebagian ilmu fiqih sebagai landasan dasar dari ilmu-ilmu yang lain. Artinya setiap orang yang berusaha memperdalam bidang ilmu-ilmu tertentu seperti ilmu sains dan sosial sebagaimana di atas telah disebutkan, diharuskan memahami terlebih dahulu ilmu-ilmu akhlak, aqidah, dan sebagian ilmu fiqih, sehingga ilmu apapun yang oleh seorang muslim dipelajari, tidak akan membawa dirinya menyimpang dari tujuan akhir pendidikan Islam, yakni menjadi hamba Allah yang beriman. Hal ini bisa dipahami dari konsep 92 Abdurrahman An-Nahlawi, Prinsip-prinsip dan Metode Pendidikan Islam Terj. Dari Ushulut Tarbiyatil Islamiyah wa Asalibuha. oleh Drs. Hery Noer Aly, (Bandung: CV. Dipenegoro, 1992), cet. 2, h. 275. 93 Ibid, h. 281 68 pendidikannya sebagaimana penulis telah kemukakan di atas, yaitu Tauhid sebagai asas pendidikan dan pendidikan berdasarkan nilai agama. Begitu pula dengan metode pendidikan, Mohammad Natsir berpendapat bahwa metode pendidikan dalam Islam harus bersifat dinamis, yakni mengikuti perkembangan jaman. Karena dari masa ke masa pola berpikir dan berperilaku umat manusia selalu berubah-ubah, dan tentunya dengan syarat motode tersebut tidak bertentangan dengan pokok dasar ajaran Islam. Hal ini bisa dipahami dari gagasannya tentang penguasaan bahasa asing, kebebasan berpikir sebagai tradisi ilmu, dan hubungan pendidikan dan masyarakat. Pemikiran Mohammad Natsir sesuai pula dengan pendapat KH. Abdullah Syukri Zarkasy, MA. Pimpinan Pondok Pesantren Modern Gontor Ponorogo. Ia berpendapat: “Integrasi atau Perpaduan antara keilmuan umum dengan keilmuan agama Islam ini diharapkan dapat menjembatani antara kedua sistem tersebut. Sehingga keduanya dapat berperan saling melengkapi. Dalam hal ini, para pendiri pondok sering mengatakan bahwa tujuan pendidikan Gontor adalah mencetak ulama yang intlek”.94 Dalam realitas pendidikan Islam sekarang (abad ke 20 hingga awal abad ke 21) khususnya di Indonesia banyak bermunculan pesantren dan sekolahsekolah Islam yang mengintegrasikan kurikulumnya antara ilmu pengetahuan umum dan ilmu pengetahuan agama. Hal ini bisa dilihat dari kegiatan pendidikan di Madrasah-Madrasah dan pondok pesantren modern seperti Pondok pesantren Gontor, dan pondok pesantren lainnya, juga Sekolah-sekolah Islam Terpadu yang semuanya memadukan kurikulum keilmuan berbasis agama dan kurikulum keilmuan umum. Hal ini bisa dipastikan adalah hasil perjuangan para pakar pendidikan seperti Mohammad Natsir dan tokoh lainnya dan diteruskan oleh para murid-murid dan pengikutnya sampai sekarang. 94 Abdullah Syukri Zarkasyi, Gontor dan Pembaharuan Pendidikan Pesantren (Jakarta: PT. Raja Grafindo Persada, 2005). Cet. 1, h. 112 BAB V PENUTUP A. Kesimpulan Dari uraian hasil pegkajian dalam skripsi ini, dan sesuai dengan rumusan masalah yang telah ditetapkan, maka penulis menyimpulkan bahwa: Dari masa ke masa, pemikiran, peradaban, dan perkembangan sosial politik umat manusia selalu berkembang dan berubah-ubah, sehingga pendidikan Islam dituntut bisa memenuhi dan mengimbangi perubahan jaman itu agar umat Islam selalu bisa berperan aktif dan mampu mempertahankan eksistensi peradaban dan budaya keislamannya agar tidak tertinggal dengan peradaban dan budaya lainnya. Maka dengan demikian pada setiap masa selalu ada dan mesti ada tokoh-tokoh yang mengeluarkan ide pemikirannya mengenai pendidikan Islam. Maka pada abad modern ini di Indonesia salah satu tokoh yang mampu menanamkan ide “pemikiran Pendidikan Islam yang siap menghadapi perubahan jaman” adalah Mohammad Natsir. Mohammad Natsir tidak hanya mampu menelurkan ide tapi juga berperan aktif untuk membumikan ide pemikiran pendidikan modernnya tersebut di masyarakat Muslim Indonesia, sehingga menumbuhkan berbagai kajian dan lembaga-lembaga dakwah di kampus-kampus di Indonesia, serta menumbuhkan para aktivis muda yang siap berdakwah dan mengembangkan ide-ide pendidikan beliau. Ide-ide Pendidikan Mohammad Natsir yaitu meliputi: Tauhid sebagai asas pendidikan, Tujuan pendidikan Islam, pendidikan dan nilai-nilai agama, pendidikan yang universal, konsep Ilmu dalam pendidikan, pentingnya bahasa asing bagi pendidikan Islam, kebebasan berpikir sebagai tradisi ilmu, dan hubungan pendidikan dengan masyarakat. Dari teori konsep pendidikan Islam Mohammad Natsir di atas, bisa dipahami bahwa konsep pendidikan Islam Mohammad Natsir adalah mereformasi bentuk pendidikan Islam yang dianggap masih terbelakang dan cenderung 69 70 menutup diri dari perkembangan jaman, sehingga akhirnya banyak orang tidak sadar dan beranggapan bahwa pada jaman modern ini agama tidak diperlukan lagi. Untuk membantah anggapan tersebut maka Mohammad Natsir berusaha meluruskannya dengan menanamkan konsep pemikiran pendidikannya. Dalam konsepnya tersebut bisa dipahami bahwa Pendidikan Islam sebagaimana agama Islam itu sendiri bersifat menyeluruh mengatur berbagai masalah kehidupan. Pendidikan Islam bersifat menyeluruh mengenai berbagai disiplin ilmu pengetahuan dan kebudayaan. Landasan dasar dari berbagai ilmu pengetahuan adalah Aqidah/tauhid, akhlak, dan fiqih (hal-hal yang menyangkut dengan teknis beribadah kepada Allah secara baik dan benar). Dari pemikiran pendidikan modern Mohammad Natsir sebagai mana penulis kemukakan di atas, maka jika semua ide-ide pemikirannya berhasil disatu padukan menjadi sebuah sistem yang menjalankan lembaga pendidikan Islam, maka akan menghasilkan suatu generasi yang mampu bersikap seimbang antara kehidupan dunianya dan juga akhiratnya, suatu generasi bangsa yang mampu berpikir rasional, dinamis dan berpegang teguh sebagai hamba Allah yang beriman, sehingga mampu berperan aktif dalam mengembangkan peradaban dan kebudayaaan yang baik di tengah-tengah ummat manusia modern serta mampu menangkal efek negatif dari budaya modern yang sering menyampingkan peranan ketuhanan dalam kehidupan sehari-harinya. B. Implikasi Pada bagian ini, sesuai dengan kesimpulan inti pada kajian skripsi ini bahwa secara keseluruhan Konsep Pendidikan Islam Mohammad Natsir adalah: “mengintegrasikan antara keilmuan dan pendidikan yang sudah ada dalam Islam dengan keilmuan dan pendidikan umum (barat). Dengan alasan bahwa ilmu atau kebenaran itu berada dimana saja, barat atau timur semuanya kepunyaan Allah. Ukurannya adalah haq dan batil versi Al-Qur’an dan al-Hadits, jika itu benar menurut al-Qur’an dan hadits walaupun dari barat, tetap harus kita ambil, tetapi jika itu buruk menurut al-Qur’an dan al-Hadits, walaupun dari timur harus kita buang.” Maka implikasinya adalah: 71 1. Definisi Pendidikan Islam Semua definisi tentang Pendidikan Islam seharusnya sesuai dan mengarah kepada landasan dan tujuan dari Pendidikan Islam tersebut, sehingga landasan dan tujuan akhir atau dengan kata lain bentuk asli dari pendidikan Islam itu tetap terjaga. 2. Konsep Ilmu dalam Pendidikan Islam. Dalam Pendidikan Islam, seharusnya disiplin Ilmu bersifat menyeluruh, semuanya harus dianggap penting dan tidak membeda-bedakan antara berbagai klasifikasi Ilmu. Ilmu hanya dibedakan dalam pengertian Ilmu yang dalam kewajiban mencarinya sebagai fardhu ain dan fardhu kifayah. 3. Kurikulum Pendidikan Islam Bentuk kurikulum Pendidikan Islam disesuaikan dengan konsep Ilmu sebagaimana pada nomor dua diatas. Maka dengan demikian kurikulum Pendidikan Islam harus mencakup berbagai jenis ilmu. Selain itu jenis kurikulum dalam Islam disesuaikan dengan Jenis dan tingkatan pendidikan. 4. Bentuk Institusi Pendidikan Islam Institusi berarti lembaga, yakni lembaga Pendidikan Islam. Dalam Pendidikan Islam ini seharusnya masuk dalam berbagai bentuk dan aktivitas umat Islam, baik formal maupun nonformal. Yang formal yaitu Sekolah disemua jenis dan tingkatan, dan yang non formal seperti Pendidikan dirumah, lingkungan (lingkungan tempat tinggal maupun aktivitas kerja), dan pelatihan-pelatihan atau diskusi-diskusi. 5. Proses Belajar mengajar dalam Pendidikan Islam Proses belajar mengajar mencakup Pendidik, orang yang dididik, metode, tempat, dan waktu belajar. Kesemua komponen tersebut bentuk dan variasinya didasarkan kepada landasan dan tujuan Pendidikan Islam. Misalnya Pendidik, maka aktivatas dan kondisi pendidik tidak boleh melenceng dari landasan Pendidikan Islam, begitu pula dengan yang lainlainnya. Semuanya dalam proses belajar mengajar harus mengacu kepada tujuan dan landasan pendidikan Islam. 72 C. Saran-saran Alhamdulillâhirabbil’âlamiin, berkat rahmat dan karunia Allah Swt. Skripsi yang berjudul “Konsep Pendidikan Islam Dr. Mohammad Natsir” telah berhasil disusun. Dari kajian-kajian ini, maka secara umum saran-saran yang dikemukakan oleh Penulis adalah sebagai berikut: 1. Mohammad Natsir adalah salah satu Tokoh Pendiri bangsa yang sangat layak sekali dimunculkan kepermukaan, baik dari segi keteladanannya maupun dari segi pemikirannya. 2. Bagi umat Islam khususnya para pendidik dan kalangan-kalangan yang berkecimpung dalam pendidikan disarankan untuk membaca, menelaah dan mengkaji biografi Mohammad Natsir dan Pemikirannya, sehingga diharapkan akan memberikan semangat dan motivasi untuk mengabdi kepada Islam, bangsa dan Negara Kesatuan Republik Indonesia. 3. Bagi pemerintah yang memegang kebijakan untuk mengatur pendidikan Islam dinegaranya sangat diharapkan untuk mendukung dan menerapkan konsep-konsep pemikiran Pendidikan Islam Mohammad Natsir ataupemikiran tokoh Islam lainnya yang sama dengan pemikiran Mohammad Natsir, karena menurut penulis, Konsep-konsep Pendidikan Mohammad Natsir cukup baik dan sesuai diterapkan untuk Pendidikan Islam di abad modern ini khsusunya di Indonesia yang mayoritas Penduduknya beragama Islam dan harus diberikan pendidikan yang sesuai dengan ciri khas agamanya. DAFTAR PUSTAKA Al-Qur’an dan Terjemah perkata, Bandung: PT. Syamil Cipta Media, cet. 1 Oktober, 2007, Abbas, Siradjuddin, I’tiqad Ahlussunnah Waljamaah. Jakarta: Pustaka Tarbiyah, cet. 3, 1977. Alimin, Sati D.P. (ed.), Capita Selecta Jilid 1. Jakarta: Bulan Bintang, cet. 3, 1973. (ed), Capita Selecta Jilid 2. Jakarta: Pustaka Pendis, cet. 1, 1957. Ali, Mohammad Daud, Pendidikan Agama Islam. Jakarta: PT. Raja Grafindo Persada, cet. 3, 2000. Aly, Hery Noer, Ilmu Pendidikan Islam. Jakarta: PT. Logos Wacana Ilmu, cet. 1, 1999. Anshari, Endang Saifudin, (ed.), Pak Natsir 80 Tahun buku kedua. Jakarta: Media Dakwah, cet. 1, 1988. Al-Aqil, Al-Musytasyar Abdullah, Mereka yang Telah Pergi, Tokoh-tokoh PembangunanPergerakan Islam Kontemporer, Terj. Dari Min A’lami AlHarakah wa As-Da’wah Al-Islamiyah Al-Mu’ashirah, Oleh Khozin Abu Faqih. Jakarta: Al-I’tishom Cahaya Umat, cet. 1, 2003. Arifin, HM, Ilmu Pendidikan Islam. Jakarta: PT. Bumi Aksara, cet. 4, 2009. (ed) Kapita Selekta Pendidikan Islam dan Umum. Jakarta: PT. Bumi Aksara, cet. 1, 1991), Assegaf, Abd Rachman, Aliran Pemikiran Pendidikan Islam, Jakarta: PT. Raja Grafindo Persada, 2013. Cet. 1. As-Suyuti, Jamaludin Abdurrahman, Al-Jami as-Shaghir, terj. Najih Ahjad, Surabaya: Bina Ilmu, cet. 1, 1995. Bachtiar, Tiar Anwar, M. Natsir Pelopor Pendidikan Islam Integral, Jurnal Pemikiran dan Peradaban Islam Islamia, Vol. V. No. 1, 2009. Dahlan, Zaini, dkk. “Al-Qur’an dan Tafsirnya Yogyakarta: UII, cet. 1 1995 Daradzat, Zakiyah, Ilmu Pendidikan Islam. Jakarta: Bumi Aksara, cet. 3, 1996. 73 74 Daulay, Haidar Putra, Pendidikan Islam Dalam Sistem Pendidikan Nasional di Indonesia. Jakarta: Prenada Media, cet. 1, 2004. Endarmoko, Eko, Tesaurus Bahasa Indonesia. Jakarta: PT. Gramedia Pustaka Utama, cet. 3, 2009. Falah, Saeful, Rindu Pendidikan dan Kepemimpinan M. Natsir.Jakarta: Republika, cet. 1, 2012. Hadeli, Metodologi Penelitian Kependidikan. Jakarta: PT. Ciputat Press, cet. 1, 2006. Hakiem, Lukman (ed.), 100 Tahun Mohammad Natsir. Jakarta: Republika, cet. 1, 2008. (ed.), M. Natsir di Panggung Sejarah Republik (Jakarta: Republika, cet. 1, 2008. Harjono, Anwar (ed.), Pemikiran dan Perjuangan M. Natsir.Jakarta: Pustaka Firdaus, cet. 2, 2011. Hasanudin (eds.), Ensiklopedi Kebahasaan Indonesia, Jilid IV.Bandung: Angkasa, cet. 1, 2009. dkk., Ensiklopedia Kebahasaan Indonesia, Jilid II.Bandung: Angkasa, cet. 1, 2009. Hasbullah, Otonomi Pendidikan, Jakara: PT. Raja Grafindo Persada, cet. 1, 2006, cet. 1 Himpunan Peraturan Perundang-undangan Sistem Pendidikan Nasional, Bandung, Fokus Media, cet. 1, 2009. Husaini, Adian, Wajah Peradaban Barat Dari Hegemoni Kristen ke Dominasi Sekular-Liberal. Jakarta: Gema Insani Press, cet. 1, 2005. Virus Liberalisme di Perguruan Tinggi Islam. Jakarta: Gema Insani Press, cet. 1, 2009. Ibn Majah, Muhammad Ibn Yajid ar-Rabi, Sunan Ibn Majah, Juz 2. Riyadh: Darussalam, 1999), Imam Bukhari, Terjemah Hadis Shahih Bukhari, Terj. Dari Shahih Bukhari oleh H. Zainuddin Hamidy (dkk.), (Jakarta: Widya, 1952) Jalal, Abdul Fatah, Azas-azas Pendidikan Islam. Bandung: CV. Dipenegoro, cet. 1, 1988. 75 Khallaf, Abdul Wahab, Ilmu Ushul Fikih, Terj. Dari ‘Ilmu Ushul Fiqh oleh Faiz el Muttaqin. Jakarta: Pustaka Amani,cet. 1, 2003. Langgulung, Hasan, Asas-asas Pendidikan Islam. Jakarta: Pustaka Al Husna Baru, cet. 5, 2003. Mahmud, Abdul Halim, Pendidikan Ruhani, Terj. Dari At-Tarbiyah ar-Ruhiyah oleh Abdul Hayyie al-Kattani. Jakarta: Gema Insani Press, cet. 1, 2000. Mohammad, Herry, Tokoh-tokoh Islam yang Berpengaruh Abad 20. Jakarta: Gema Insani Press, cet. 1, 2006. Mujib, Abdul dan Jusuf Mudzakkir, Ilmu Pendidikan Islam. Jakarta: Kencana Prenada Media Group, cet. 2, 2008. Muhaimin,et.al, Paradigma Pendidikan Islam. Bandung: PT. Remaja Rosda Karya, cet. 3, 2004. Munadir, Ensiklopedia Pendidikan. Malang: UM-Press, cet. 1, 2001. Al-Nahlawi, Abdurrahman, Pendidikan Islam di Rumah, Sekolah, dan Masyarakat. Terj. Dari Ushulut Tarbiyah Islamiyah wa Asalibiha Fil Baiti wal Madrasati wal Mujtam’ oleh Shihabudin. Jakarta: Gema Insani Press, cet. 1, 1995. Prinsip-prinsip dan Metode Pendidikan Islam Terj. Dari Ushulut Tarbiyatil Islamiyah wa Asalibuha. oleh Drs. Hery Noer Aly. Bandung: CV. Dipenegoro, 1992, cet. 2. , Nata, Abudin, Tokoh-tokoh Pembaruan Pendidikan Islam di Indonesia. Jakarta: Rajawali Pers, cet. 3, 2005. Al-Nawawi, Terjemah Hadits Arba’in An-Nawawiyah. Terj. Dari Al-Arba’in AnNawawiyah, Tim Shalahuddin, Jakarta: Shalahuddin Press, cet. 4, 2006. Nizar, Syamsul, Filsafat Pendidikan Islam, Pendekatan Historis, Teoritis, dan Praktis. Jakarta: ciputat Pers, cet. 1, 2002). Nuaraida dan Halid Alkaf, Metodologi Penelitian Pendidikan.Jakarta: Islamic Research Publishing, cet. 1, 2009. Partanto, A Pius dan M Dahlan Al Barry, Kamus Ilmiah Poluler. Surabaya: Arkola, 1994. Salim, Peter dan Yenny Salim, Kamus Besar Bahasa Indonesia. Jakarta: Modern English Press, cet. 3, 2002. Shadily, Hasan (eds.), Ensiklopedia Indonesia.Jilid V, Jakarta: Ichtiar Baru-Van Hoeve, cet. 1, 1984. 76 Shihab, M. Quraish, Membumikan al-Qur’an jilid 2, Jakarta: Lentera Hati, cet. 1, 2011 Sukmadinata, dan Nana Syaodih, Metode Penelitian Pendidikan. (Bandung: PT. Remaja Rosda Karya, cet. 8, 2012. Suparta, Munzier, Ilmu Hadis. Jakarta: Rajawali Pers, cet. 1, 2001. Suryanegara, Ahmad Mansur, Api Sejarah Jilid 2. Bandung: Salamadani, cet. 1, 2010. Suwendi, Sejarah dan Pemikiran Pendidikan Islam. Jakarta: Rajawali Pers, cet. 1, 2004. Syukri Zarkasyi, Abdullah, Gontor dan Pembaharuan Pendidikan Pesantren Jakarta: PT. Raja Grafindo Persada, 2005, Cet. 1. Tafsir, Ahmad, Ilmu Pendidikan Dalam Perspektif Islam, Bandung: PT. Remaja Rosda Karya, cet. 4, 2001, Wan Daud, Wan Mohd. Nor. Filsafat dan praktek pendidikan Islam Syed M. Naquib Al-Latas, Bandung: Mijan, cet. 1, 2003 Waite, William Outh (ed.), Ensiklopedi Pemikiran Sosial Modern. Jakarta: Kencana, cet. 1, 2008 Al-Qarni, Aidh bin Abdullah. 391 Hadis Pilihan, Terj. Dari Tarjuman asSunnah, oleh Muhammad Iqbal Ghazali. Lc., (Jakarta: Darul Haq, 2007), cet. 1 Zuhairini dkk, Sejarah Pendidikan Islam. Jakarta: Bumi Aksara, cet. 9, 2008. LAMPIRAN-LAMPIRAN