konsep pendidikan islam modern menurut pemikiran dr. mohammad

advertisement
KONSEP PENDIDIKAN ISLAM MODERN MENURUT
PEMIKIRAN DR. MOHAMMAD NATSIR
Skripsi
Diajukan Kepada Fakultas Ilmu Tarbiyah dan Keguruan Untuk Memenuhi Salah
Satu Syarat Mencapai Gelar Sarjana Pendidikan Islam
Oleh
Munawir Hakiki
NIM. 109011000098
JURUSAN PENDIDIKAN AGAMA ISLAM
FAKULTAS ILMU TARBIYAH DAN KEGURUAN
UNIVERSITAS ISLAM NEGERI (UIN)
SYARIF HIDAYATULLAH
JAKARTA
1436 H/2015 M
ABSTRAK
Munawir Hakiki NIM: 109011000098Konsep Pendidikan Islam Modern
Menurut Pemikiran Dr. Mohammad Natsir
Kata Kunci: Konsep Pendidikan Islam, Pemikiran Tokoh terhadap Konsep
Pendidikan Islam.
Skripsi dengan judul “konsep Pendidikan Islam Modern Menurut
Pemikiran Dr. Mohammad Natsir, ditulis oleh Munawir Hakiki NIM:
109011000098 dibawah bimbingan Irfan Mufid MA. Skripsi ini mendiskripsikan
mengenai konsep Pendidikan Islam modern menurut Dr. Mohammad Natsir
dalam mengembangkan kembali Pendidikan Islam khsusunya Pendidikan Islam di
Indonesia.
Penelitian ini dilakukan dengan menggunakan metode deskriptif dan
pemikiran tokoh, melalui kajian pustaka dengan pendekatan kualitatif, yaitu
dengan mencari data-data dari berbagai buku-buku referensi yang membahas
mengenai Pendidikan Islam dan Pemikiran Mohammad Natsir khususnya
dibidang Pendidikan Islam.
Tujuan dari penelitian ini adalah untuk Menjelaskan dan mengidentifikasi
mengenai pemikiran seorang tokoh cendikiawan muslim bernama Dr. Mohammad
Natsir tentang suatu konsep PendidikanIslam yang maju dan modern dan mampu
bersaing dengan pendidikan-pendidikan lain di Dunia.
Pada hasil penelitian yang dapat diperoleh oleh penulis, terdapat beberapa
konsep Pemikiran Modern Dr. Mohammad Natsir dibidang Pendidikan Islam, dari
konsep-konsep tersebut dapat diambil kesimpulan bahwa Secara garis besar
Pemikiran Pendidikan Islam Modern Dr. Mohammad Natsir adalah:
“mengintegrasikan antara keilmuan dan pendidikan yang sudah ada dalam Islam
dengan keilmuan dan pendidikan umum (barat). Dengan alasan bahwa ilmu atau
kebenaran itu berada dimana saja, Barat atau Timur semuanya kepunyaan Allah
Swt. Ukurannya adalah haq dan batil menurut al-Qur’an dan al-Hadits, jika itu
benar menurut al-Qur’an dan hadits walaupun dari Barat, tetap harus diambil,
tetapi jika itu buruk menurut al-Qur’an dan al-Hadits, walaupun dari Timur harus
dibuang.”
Dari konsep pemikiran Dr. Mohammad Natsir tersebut, dapatlah dipahami
arah dan tujuannya, bahwa Pendidikan Islam menurut Mohammad Natsir jangan
tertinggal dari pendidikan-pendidikan lainnya di Dunia. Pendidikan Islam
diharuskan mampu bersaing dalam tingkat global, ikut berperan untuk
membangun peradaban modern yang baik dan bermanfaat bagi kehidupan umat
manusia dan memperlihatkannya kepada Dunia bahwa seperti inilah Pendidikan
Islam.
MUNAWIR HAKIKI (PAI)
I
KATA PENGANTAR
Bismillaahirrahmaanirrahiim.
Puji dan syukur saya panjatkan kehadirat Allah Swt. al-Hamdulillah berkat
rahmat dan karunia-Nya, saya berhasil menyusun skripsi ini yang berjudul
“Konsep Pendidikan Islam Dr. Mohammad Natsir”. Semoga dari hasil kajian ini
bisa bermanfaat bagi siapa saja yang membaca dan menelaahnya.
Shalawat dan salam semoga terlimpah kepad Nabi besar Muhammad Saw.
keluarganya dan para sahabatnya serta seluruh ummatnya dari generasi awal
sampai generasi akhir. Semoga kita semua mendapat syafaat dari Nabi
Muhammad Saw. sebagai junjungan kita ummat Islam dan sebagai kekasih Allah
swt.
Skripsi yang berjudul “Konsep Pendidikan Islam Dr. Mohammad Natsir”
ditulis dan disusun guna memperoleh gelar kesarjanaan pada Universitas Islam
Negeri Syarif Hidayatullah Jakarta. Oleh karena itu pada kesempatan yang baik
ini, saya ingin menyampaikan rasa hormat dan ucapan terimakasih kepada semua
pihak yang dengan sangat tulus telah memberikan motivasi, do‟a, bimbingan, dan
sebagainya yang alhamdulillah saya berhasil dalam menyelesaikan Skripsi ini.
Penghormatan dan ucapan terimakasih saya haturkan kepada:
1. Dekan Fakultas Ilmu Tarbiyah dan Kegurauan (FITK) Prof. Dr. Ahmad
Thib Raya, MA, serta para pembantu dekan fakultas FITK UIN Jakarta
yang tidak bisa disebutkan satu persatu.
2. Ketua Program studi PAI Bapak Dr. Abdul Majid Khon, M.Ag dan
Sekertaris jurusan PAI Ibu Marhamah Saleh, Lc.,M.A. beserta semua
stapnya.
3. Dosen Pembimbing Skripsi bapak Ahmad Irfan Mufid, MA. yang telah
memberikan waktu, dorongan, dan ilmunya kepada penulis untuk
menyelesaikan skripsi ini.
4. Dosen Pembimbing Akademik bapak Drs. Abdul Haris, M.Ag. yang telah
memberikan waktu dan arahannya sejak penulis masuk kuliah di Fakultas
Ilmu Tarbiyah dan Keguruan UIN Syarif Hidayatullah Jakarta.
ii
5. Bapak/ibu dosen fakultas Ilmu Tarbiyah dan Keguruan (FITK) UIN
Jakarta yang telah begitu banyak memberikan ilmu dan pengetahuannya
kepada penulis selama penulis belajar di UIN Syarif Hidayatullah.
6. Abah KH. Arhadi beserta keluarga dan K. Royani beserta keluarga yang
telah memberikan pendidikan rohani dan ilmu-ilmu agama Islam kepada
penulis, sehingga penulis sejak awal sudah mendapatkan bekal untuk
melanjutkan studi ke tingkat perguruan tinggi, dengan demikian penulis
mendapatkan berbagai kemudahan untuk bisa menyelesaikan Skripsi ini.
7. Ucapan terimakasih dan penghormatan yang sangat Istimewa untuk
ayahbunda dan kake-nenek tercinta, yakni Ibunda Siti Hasanah, ayahanda
Syarifudin, ayahanda Sulaiman, dan kake-nenek, H. Tatang Sadar, H.
Akmaludin, Hj. Purminah dan Hj. Omi. Dari beliau-beliau inilah
alhamdulillah sejak kecil sampai sekarang saya mendapat pendidikan,
arahan, do‟a, dan materi yang tidak terhitung jumlahnya, sehingga penulis
berhasil untuk menyelesaikan Skripsi ini.
8. Guru-guru sejak Sekolah Dasar hingga Madrasah Aliyah, yang tidak dapat
disebutkan satu persatu, yang mana dari beliau-beliau inilah penulis
mendapatkan Pendidikan, Pengetahuan dan motivasi serta arahanarahannya, sehingga penulis mempunyai semangat untuk segera
menyelesaikan Skripsi ini.
9. Bapak pimpinan beserta stap Perpustakaan Fakultas Ilmu Tarbiyah dan
Keguruan (FITK) UIN Jakarta, bapak pimpinan beserta stap Perpustakaan
Utama UIN Jakarta, bapak pimpinan beserta stap Perpustakaan Islam Iman
Jama Lebak bulus Jakarta. Alhamdulillah berkat pelayanan beliau-beliau
ini penulis bisa mudah untuk mencari data-data untuk menyelesaikan
Skripsi ini.
10. Kakak, adik, paman, sepupu, karib kerabat, sahabat-sahabat dan lainnya
yang tidak bisa penulis sebutkan satu persatu, yang mana mereka talah
menjadi bagian pendorong bagi penulis untuk segera menyelesaikan tugas
Skripsi ini.
iii
11. Semua teman-teman Fakultas Ilmu Tarbiyah dan Keguruan khususnya
Jurusan PAI angkatan 2009 yang telah memberikan banyak informasi
mengenai berbagai hal untuk terselesaikannya Skripsi ini.
12. Teman-teman di Lembaga Dakwah Kampus (LDK) UIN Jakarta, temanteman di Ikatan Mahasiswa Muhammadiyah (IMM) Cabang Ciputat,
teman-teman di Kesatuan Aksi Mahasiswa Muslim Indonesia (KAMMI)
Tangerang Selatan, teman-teman di Lembaga Kaligrafi Al-Qur‟an
(LEMKA) UIN Jakarta, Jakarta, teman-teman di Hizbut Tahrir Indonesia
(HTI) Chapter UIN Jakarta, teman-teman di Lembaga Pendidikan Bahasa
Arab (LPBA) al-Amin Tanah Abang Jakarta Pusat, teman-teman di TPA
Baitul Hikmah BSD, teman-teman di Madrasah Tsanawiyah Nurul Huda
Cisauk tangerang Selatan, dan seluruh kakak-kakak kelas dan adik-adik di
UIN Jakarta, khususnya Fakultas Ilmu Tarbiyah dan Keguruan (FITK),
yang telah
banyak
memberikan
informasi
kepada
penulis,
dan
bagaimanapun juga kita semua bersaudara dan penulis alhamdulillah telah
mendapatkan motivasinya dalam persaudaraan kita Sehingga penulis
berhasil menyelesaikan Skripsi ini.
Akhirnya penulis berharap semoga segala amal baik, do‟a dan bantuan
lainnya dari semua pihak kepada penulis mendapatkan balasan pahala yang
berlimpah dari Allah Swt. semoga hasil dari kajian Skripsi ini bisa bermanfaat
bagi siapapun yang membacanya. Kritik dan saran yang membangun dari
siapapun dan darimanapun penulis menunggunya dengan tangan terbuka.
Semoga segala amal baik kita diterima oleh Allah Swt. sehingga kita semua
mendapatkan akhir yang baik, akhir yang manis yaitu Khusnul Kahatimah.
Amiiin yaa rabbal „alamin.
Jakarta, 30 Juni 2015
Penulis
iv
DAFTAR ISI
ABSTRAK ............................................................................................................ i
KATA PENGANTAR.......................................................................................... ii
DAFTAR ISI......................................................................................................... v
BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang Masalah.......................................................... 1
B. Identifikasi Masalah................................................................ 8
C. Pembatasan Masalah............................................................... 8
D. Perumusan Masalah................................................................. 9
E. Tujuan Penelitian..................................................................... 9
F. Kegunaan Penelitian................................................................ 9
BAB II
KAJIAN TEORI
PENDIDIKAN ISLAM
A. Pengertian Pendidikan Islam.................................................. 11
1. Pengertian Secara Bahasa.................................................. 11
2. Pengertian Secara Istilah.................................................... 18
B. Dasar-Dasar Pendidikan Islam............................................... 20
1. Al-Qur’an........................................................................... 20
2. Al-Hadits............................................................................ 21
3. Ijtihad................................................................................. 22
C. Sistem Pendidikan Islam........................................................ 23
1. Kurikulum Pendidikan Islam……………......................... 23
2. Pendidik atau Guru………................................................ 24
3. Peserta Didik……………….............................................. 26
4. Lingkungan Pendidikan..................................................... 26
5. Peralatan Pendidikan......................................................... 27
v
D. Tujuan Pendidikan Islam....................................................... 27
1. Pengertian Tujuan Pendidikan Islam................................ 27
2. Tujuan Pendidikan Dalam Islam...................................... 28
BAB III
METODOLOGI PENELITIAN
A. Waktu dan Tempat Penelitian................................................ 32
B. Pendekatan dan Jenis Penelitian............................................. 33
C. Metode Penelitian................................................................... 34
D. Tekhnik Pengumpulan Data................................................... 34
E. Pengelolaan Data.................................................................... 35
F. Tekhnik Analisa Data..............................................................35
G. Sumber Penelitian....................................................................36
H. Tekhnik Penulisan.................................................................. 36
BAB IV
HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN
KONSEP PENDIDIKAN ISLAM MODERN MENURUT
PEMIKIRAN MOHAMMAD NATSIR
A. Biografi Mohammad Natsir...................................................37
1. Latar Belakang Mohammad Natsir dan Sejarah
Kehidupannya.................................................................38
2. Peran, kepedulian, dan jasa-jasa Mohammad Natsir
Terhadap Umat Islam dan Bangsa Indonesia
Khususnya.......................................................................44
B. Konsep Pemikiran Pendidikan Islam Mohammad Natsir...... 51
1. Tauhid Sebagai Asas Pendidikan.................................... 52
2. Tujuan Pendidikan Islam................................................ 54
3. Pendidikan dan Nilai-nilai Agama.................................. 54
4. Pendidikan yang Universal..............................................56
5. Konsep Ilmu dan Orang Berilmu dalam Pendidikan.......58
6. Penguasaan Bahasa Asing............................................... 59
7. Kebebasan Berpikir Sebagai Tradisi Ilmu....................... 61
8. Hubungan Pendidikan dan Masyarakat............................64
vi
C. Krakteristik Konsep Pendidikan Islam Modern Menurut
Pemikiran Mohammad Natsir…………………………......... 65
BAB V
PENUTUP
A. Kesimpulan............................................................................. 69
B. Implikasi................................................................................ 70
C. Saran-saran............................................................................. 72
DAFTAR PUSTAKA........................................................................................ 73
LAMPIRAN-LAMPIRAN
vii
BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang Masalah
Sejak masa penjajahan hingga masa-masa sekarang pendidikan dan
keilmuan di Indonesia pada umumnya masih terdikotomi menjadi dua, yaitu
Pendidikan-keilmuan agama dan Pendidikan-keilmuan umum. Pada umumnya
masyarakat
menyikapi
secara
berbeda
bahkan
tidak
sedikit
yang
mempertentangkannya dengan alasan yang bermacam-macam. Penomena ini
dipastikan hasil dari sebab akibat kebijakan-kebijakan yang pernah diterapkan
oleh pemerintah kolonial Belanda khususunya kebijakan dan peraturan dalam
masalah Pendidikan dan keilmuan di Indonesia.
Zuhairini menyatakan: “Belanda berkuasa mengatur pendidikan dan
kehidupan beragama, sesuai dengan prinsip-prinsip kolonialisme, westernisasi dan
kristenisasi.”1
Lebih lanjut Zuhairini menyatakan bahwa:
Gubernur Jenderal Van den Capellen pada tahun 1819 M mengambil
inisiatif merencanakan berdirinya sekolah dasar bagi penduduk pribumi agar
dapat membantu pemerintah Belanda. Dalam surat Ederannya kepada para
Bupati tersebut sebagai berikut: “Dianggap penting untuk secepat mungkin
mengadakan peraturan pemerintah yang menjamin meratanya kemampuan
membaca dan menulis bagi penduduk pribumi agar mereka lebih mudah
untuk dapat menaati undang-undang dan “hukum negara”.2
Pada salah satu Point dalam angket yang ditujukan kepada bupatibupati berbunyi sebagai berikut: “Apakah Tuan Bupati tidak sepaham dengan
kami bahwa pendidikan yang berguna adalah sejenis pendidikan yang sesuai
dengan rumah tangga desa”.3
Jika dicermati, jelas sekali bahwa jiwa dari pernyataan surat Gubernur
Jendral tersebut menggambarkan bahwa didirikannya pendidikan Sekolah Dasar
1
Zuhairini dkk, Sejarah Pendidikan Islam, (Jakarta: Bumi Aksara, 2008), cet. 9, h. 148
ibid
3
Ibid., h. 149
2
1
2
pada waktu itu tujuannya untuk membantu pemerintahan kolonial Belanda, dan
mereka memandang bahwa Madrasah atau Pesantren itu tidak berguna bahkan
suatu saat dan kapan saja akan membahayakan kedudukan Pemerintah Belanda di
Indonesia.
Jadi sangat jelas sekali dari upaya kebijakan pemerintah kolonial
Belanda dalam masalah pendidikan, sebagaimana menurut Zuhairini, bahwa
"kebijakan pemerintahan Belanda terhadap rakyat Indonesia khususnya dibidang
pendidikan didasari oleh rasa ketakutan dan rasa kolonialismenya."4
Lebih lanjutZuhairini menyatakan:
Untuk menjaga dan menghalangi masuknya pelajaran agama disekolah
umum yang kebanyakan muridnya beragama Islam, maka pemerintah
mengeluarkan peraturan yang disebut netral agama. Yakni bahwa
pemerintah bersikap tidak memihak kepada salah satu agama sehingga
sekolah pemerintah tidak mengajarkan agama. (indische Staat Regeling
pasal 173-174).5
Jika kita memperhatikan berbagai kebijakan dan peraturan pemerintah
kolonial Belanda waktu itu, seolah-olah mereka ingin melumpuhkan Pendidikan
Islam dan menggantinya dengan pendidikan yang mereka inginkan yakni
pendidikan yang mengarah dan membantu kepada kegiatan kristenisasi,
westernisasi atau paling tidak sekularisasi. Pola-pola pendidikan seperti itu sangat
membantu terjaminnya kedudukan mereka dalam menjajah bangsa Indonesia.
Namun masyarakat Indonesia yang mayoritas beragama Islam waktu itu pada
umumnya tidak hanya berdiam diri dan menerima kenyataan begitu saja, mereka
laksana air bah yang sulit dibendung, ditahan disini akan meluap disebelah sana,
dan begitu seterusnya.
Bagaimana sikap umat Islam Indonesia dalam menghadapi tekanan dari
pemerintah
kolonial
Belanda
khususnya
dalam
pendidikan?
Zuhairini
menggambarkan sebagai berikut:
Jiwa Islam tetap terpelihara dengan baik, para ulama dan kyai bersikap
non cooperative dengan Belanda. Mereka menyingkir dari tempat yang
dekat dengan Belanda. Mereka mengharamkan kebudayaan yang dibawa
oleh Belanda dengan berpegang kepada hadits Nabi Muhammad Saw. yang
4
ibid
Ibid, 150
5
3
artinya: “Barang siapa yang menyerupai suatu golongan, maka ia termasuk
golongan tersebut” (Riwayat Abu Dawud dan Imam Hibban). Mereka tetap
berpegang kepada ayat al-Qur‟an Surat Al-Maidah ayat 51 yang artinya:
“Hai orang-orang yang beriman, janganlah orang Yahudi dan Nasrani
engkau angkat sebagai pemimpinmu.6
Dari kenyataan-kenyataan sejarah sebagaimana yang tertera diatas,
sangat jelas sekali bahwa adanya dikotomi keilmuan dan dikotomi pendidikan erat
kaitannya dengan pola kebijakan pemerintah kolonial Belanda.
Dari kebijakan-kebijakan pendidikan yang diterapkan oleh pemerintah
kolonial Belanda pada waktu itu, kalau kita cermati setidaknya muncul empat
kelompok intlektual dalam masyarakat indonesia yang satu sama lain
berpandangan sangat berbeda namun disisi lain terdapat juga beberapa kesamaan.
Empat kelompok tersebut yaitu:
1. Kelompok yang pro Belanda, mereka umumnya menjadi pegawai
pemerintahan kolonial Belanda hingga masa pendudukan jepang.
2. Kelompok yang sangat antipati dengan pemerintahan Belanda dan sistemsistem yang dibawa oleh Penjajah. mereka ini umumnya adalah golongan
Kyai (Ulama) dan Santri. Mereka banyak berdomisili di pedesaan-pedesaan,
mereka ini juga sering diistilahkan dengan Islam tradisional.
3. Kelompok yang sadar akan kemerdekaan bangsanya namun mereka tidak
begitu dekat dan tidak begitu tertarik untuk memahami agamanya dan
menerapkannya dalan sistem kehidupan berbangsa dan bernegara. Kelompok
ini pada umumnya lulusan dari pendidikan-pendidikan barat khususnya
Belanda. kelompok seperti ini sering disebut dan dikategorikan sebagai
kelompok Sisialis dan Nasionalis Sekuler.
4. Kelompok yang sadar akan kemerdekaan bangsanya, namun mereka juga
sadar atas keterbelakangan umat Islam dari berbagai aspek. Sehingga umat
Islam tetap dijajah oleh bangsa dan agama lain. Kelompok ini mayoritas
lulusan dan sarjana pendidikan barat, namun sangat dekat dan cukup
memahami ajaran Islam pada umumnya. Bahkan disisi lain pemahaman
mereka bisa diseterakan dengan para ulama dan santri. Bahkan pula
6
ibid
4
kelompok ini berusaha untuk menerapkan hukum syari‟at Islam dalam
kehidupan berbangsa dan bernegara. Kelompok ini sering disebut dengan
Nasionalis Islam.
Dari kelompok masyarakat ke empat inilah maka sejak pertengahan
abad ke 19 hingga pertengahan abad ke 20 mulai muncul ide-ide pembaharuan
pendidikan Islam. Mereka berusaha mengintegrasikan Pendidikan Islam dengan
sistem pendidikan Barat. Diantara tokoh-tokoh yang banyak berkecimpung dalam
pembaharuan Pendidikan Islam yaitu: KH. Ahmad Dahlan (1869-1923), KH.
Hasyim Asyari (1871-1957) KH. Ahmad Soerkati (1875-1943), KH. Agus Salim
(1884-1954) KH. A. Hasan (1887-1958), Ki Hadjar Dewantara (1889-1959), Prof.
Dr. Mahmud Yunus (1899-1982) Dr. Mohammad Natsir (1908-1993), KH. Wahid
Hasjim (1914-1953), Prof. Dr. Rasjidi (1915-2001) dan tokoh-tokoh lainnya
masih banyak lagi.
Dari segi pendidikannya, mayoritas para tokoh pembaharu ini sempat
mengenyam Pendidikan barat khususnya Belanda. Bahkan sebagian diantara
mereka seperti Prof. Dr. Rasjidi adalah Sarjana pendidikan Barat, dan M. Natsir
seorang siswa AMS dengan lulusan terbaik, luar biasa dan sangat memuaskan
dibandingkan dengan anak-anak Belanda sekalipun yang notabene serba lengkap
dan cukup mendukung fasilitas belajarnya. Namun sebelumnya mereka juga
banyak belajar mengenai Agama Islam secara baik dan
mendalam sehingga
Aqidah mereka kuat tak tergoyahkan oleh teori-toeri kaum Orientalis, dan
pandangannya mengenai Islam sangat jelas serta mudah dipahami oleh
masyarakat Islam yang awam sekalipun.
Pendapat para pembaharu Pendidikan Islam, secara garis besar dapat
disimpulkan sebagai berikut: “Pendidikan harus membentuk masyarakat yang
berkualitas sebagai hamba Allah”. Maksudnya kaum muslimin harus menguasai
agamanya dengan baik dan benar dan disisi lain kaum muslimin juga tidak
tertinggal dalam persaingan global dan tekhnologi.
Maka bisa dipastikan karena dengan alasan inilah mereka berusaha
menyatukan pendidikan yang murni berasal dari Islam dengan pendidikankeilmuan dan segala sistem darimanapun asalnya baik Timur maupun Barat yang
5
menurut pandangan mereka bisa lebih meningkatkan pendidikan Islam dengan
syarat sistem tersebut tidak merusak jati diri Agama Islam yang sebenarnya (yang
sudah baku dan disepakati oleh mayoritas ummat Islam).
Para tokoh pembaharu pendidikan Islam ini setidaknya mereka
menanamkan tiga pokok besar dalam pendidikan Islam, yaitu: 1) landasan dasar
pendidikan Islam; 2) sistem keilmuan dan pembelajaran yang berada pada
pendidikan Islam; 3) kegunaan (pengamalan) dan tujuan (arah) pendidikan Islam.
Diantara beberapa tokoh pembaharu pendidikan Islam tersebut, terdapat
salah satu yang menjadi fokus perhatian penulis, yakni Mohammad Natsir.
Walaupun Beliau hanya lulusan AMS (setingkat SMA sekarang) tetapi Beliau
adalah seorang cendekiawan muslim yang sangat brilian. Beliau sangat dikagumi
oleh kawan maupun lawan, disegani masyarakat baik di dalam maupun diluar
negri.
Menurut Adian Husaini, “ Natsir bukan hanya politisi andal, dia adalah
seorang pejuang pendidikan yang layak disejajarkan dengan tokoh-tokoh seperti
KH. Ahmad Dahlan, Ki Hadjar Dewantara, dan sebagainya”.7
Didorong oleh kepeduliannya pada problematika umat Islam, pada
waktu itu, ia memahami bahwa masalah penting yang membelenggu sebagian
besar umat Islam adalah kebodohan dan kemiskinan yang mana hal itu menjadi
lahan subur bagi aktivis misionaris Kristen untuk melakukan kristenisasi atau
minimal menetralisir masyarakat Indonesia dari agamanya (Sekularisasi). Dengan
demikian maka Mohammad Natsir dalam usianya yang masih muda (24 tahun) ia
mendirikan Pendidikan Islam (Pendis) dan diluar Pendis beliau memberikan
pelajaran-pelajaran agama kepada murid-murid sekolah umum yang beliau ajar,
seperti murid-murid HIS, MULO dan Kweek School (Sekolah Guru).
Pada masa-masa mudanya, setelah lulus dari AMS, selain aktif
mengajar dan membina Pendidikan Islam (Pendis) yang ia rintis, beliau juga aktif
diberbagai Organisasi ke-Islaman, antara lain Persis, Jong Islamiten Bond, Partai
Syarikat Islam dan Muhammadiyah.
7
Adian Husaini, Virus Liberalisme di Perguruan Tinggi Islam, (Jakarta: Gema Insani
Press, 2009), cet. 1. h. 26
6
Menurut Adian Husaiani,
“berangkat dari pencermatan dan pengalaman pada dirinya sendiri,
Natsir kemudian mencoba mengintegrasikan pendidikan yang ketika itu sudah
terbelah yakni pendidikan agama dan umum. Natsir menginginkan adanya
integrasi pendidikan agar kaum Muslimin menguasai agamanya dengan baik dan
pada sisi lain juga tidak tertinggal dalam persaingan global.”8
Pada jaman Revolusi fisik, Agustus 1945, sampai Desember 1949,
beliau merupakan partisipan aktif dalam barisan pimpinan tertinggi revolusi
dibawah pimpinan bung Karno dan bung Hatta.9
Dari
pengalamannya
pula
sebagai
aktivis
organisasi-organisasi
Nasional, dan didorong oleh keinginan luhur membangun bangsanya, Mohammad
Natsir akhirnya terlibat langsung dalam politik praktis di pemerintahan yang
waktu itu baru lahir. Beliau adalah sebagai ketua umum Masyumi, salah satu
Partai politik yang besar ketika itu dan menjadi oposisi bagi pemerintahan
Soekarno.
Dalam pemerintahan dan politik, terdapat pula peranan beliau yang
amat menentukan dalam penyelamatan Negara Kesatuan Republik Indonesia
(NKRI), yakni pada April tahun 1950, dengan terlebih dahulu melobi petinggi
pemerintahan dan para petinggi partai, beliau akhirnya berhasil mengembalikan
bangsa Indonesia dari RIS kepada NKRI. Hal ini disebut dengan Mosi Integral
Natsir, sehingga soekarno akhirnya meminta Mohammad Natsir menjadi formatur
kabinet sekaligus perdana menteri.
Selain sebagai aktivis organisasi-oraganisasi Nasional, politisi, dan
pendidik (guru), beliau juga aktif menulis tentang berbagai keilmuan, khususnya
yang berkaitan dengan Islam dan kaum Muslim. Sebagaimana berikut ini Adian
Husaini menyebutkan:
Pada sekitar tahun 1930-an, dalam usia sekitar tiga puluhan, Natsir
telah aktif menulis tentang berbagai persoalan keilmuan dan terlibat dalam
perdebatan ilmiah dengan berbagai kalangan. Melalui tulisan-tulisannya,
ketika itu, tampak Natsir sudah membaca berbagai literatur tentang Aqidah,
8
Ibid, h. 37
Endang Saifudin Anshari dan Amin Rais, “Kata Pengantar”, dalam Endang Saifudin
Anshari (ed), Pak Natsir 80 Tahun buku kedua,(Jakarta: Media Dakwah, 1988). Cet. 1, h. vii
9
7
Sejarah, Ilmu Kalam, Tasawuf, Filsafat, Syari‟ah, Perbandingan Agama,
dan sebagainya. Hampir dalam setiap tulisannya Natsir mampu meramu
dengan baik sumber-sumber dari kalangan Muslim maupun karya-karya
orientalis barat.10
Mengenai kecendekiawanan dan intlektulitas Mohammad Natsir ini,
Lebih lanjut Adian Husaini menyatakan :
Tulisan-tulisan M. Natsir mengandung visi dan misi yang jelas dalam
pembelaan terhadap Islam. Dalam buku-buku dan artikel-artikel yang
ditulisnya, tentang berbagai masalah dalam Islam, kita bisa menemukan
semangat dan kepercayaan diri yang tinggi dari seorang Natsir yang sama
sekali tidak minder atau rendah diri menghadapi serbuan paham sekularisme
barat. Yang waktu itu begitu banyak menyihir otak kaum terpelajar dan elite
bangsa.11
Setelah Mohammad Natsir dan partai politiknya dibekukan oleh
Soekarno dengan alasan terlibat PRRI tahun 1957, hingga pada masa
pemerintahan Soeharto, sikap pemerintah tidak berubah. Bahkan pada masa
Presiden Suharto lebih menyedihkan lagi, Mohammad Natsir dicekal hak-hak
pribadinya, beliau dilarang bepergian keluar negeri dengan alasan M. Natsir telah
ikut menandatangani Petisi 50 (surat pernyataan keprihatian atas pidato dan
kebijakan Soeharto). Namun demikian, ia tetap berjuang untuk rakyat indonesia
dan ummat Islam khususnya. Pada masa-masa inilah peranan beliau dalam
Dakwah dan sekaligus membentuk (Pengkaderan) mujahid-mujahid Dakwah di
berbagai Perguruan Tinggi di Indonesia sangat menonjol dan membuahkan hasil.
Dalam hal iniAdian Husaini menggambarkan sebagai berikut:
Setelah lepas dari gelanggang politik formal, Natsir mengaktifkan diri
dalam dunia dakwah melalui Dewan Dakwah Islamiyah Indonesia (DDII).
Disinilah Natsir mulai melakukan pembinaan intlektual melalui tiga jalur
strategis, yaitu kampus, masjid, dan pesantren. Dari berbagai masjid kampus
yang didirikan, Natsir berhasil melakukan kaderisasi intlektual dan
menanamkan benih dakwah di kalangan kaum intlektual. Tahun 1984.
Natsir juga tercatat sebagai Ketua Badan Penasehat Yayasan Pembina
Pondok Pesantren Indonesia. Beliau juga termasuk pelopor berdirinya
berbagai Pesantren Tinggi (Ma‟had „Aliy) di Indonesia.12
10
Adian Husaini, op, cit., h. 41
Ibid, h. 40
12
Ibid, h. 38
11
8
Dari pernyataan-pernyataan diatas, maka dapat dipahami, bahwa Dr.
Mohammad Natsir adalah seorang ilmuwan, intlektual, sekaligus pendidik dan
tokoh teladan bagi bangsa indonesia saat ini. Dari kenyataan-kenyataan sejarah
yang demikian jelas itu, maka pada tanggal 7 November 2008, Presiden Susilo
Bambang Yudhoyono atas nama pemerintah Republik Indonesia menyerahkan
Kepres No. 041/TK/Tahun 2008 tentang pemberian gelar pahlawan untuk
Mohammad Natsir.
Hal-hal inilah yang membuat penulis cukup tertarik dan menjadi latar
belakang untuk mendalami lebih lanjut mengenai Pemikiran dan Konsep beliau
tentang Pendidikan Islam. Sehingga dengan demikian penulis mengambil judul
“Konsep Pendidikan Islam Modern Menurut Dr. Mohammad Natsir”.
B. Identifikasi Masalah
Berdasarkan latar belakang yang telah diuraikan diatas, maka masalahmasalah yang terkait dengan hal tersebut dapat diidentifikasi sebagai berikut:
1. Sikap sebagian besar masyarakat yang masih mendikotomikan sistem
keilmuan dan pendidikan berkaitan erat dengan kebijakan yang telah
diterapkan oleh pemerintah kolonial Belanda.
2. Adanya pembaharuan konsep pendidikan Islam agar lebih dinamis dan kreatif
berkaitan erat dengan adanya kesadaran dari masyarakat yang terdidik.
3. Konsep pendidikan Islam yang diperjuangkan oleh para Tokoh Pendidikan
Islam secara garis besar mencakup tiga permasalahan pokok, yaitu: 1)
landasan dasar pendidikan Islam; 2) sistem keilmuan dan pembelajaran yang
berada pada pendidikan Islam; 3) kegunaan (pengamalan) dan tujuan (arah)
pendidikan Islam.
C. Pembatasan Masalah
Permasalahan mengenai pembaharuan Pendidikan dalam Islam
merupakan suatu permasalahan yang sangat luas. Maka oleh karena itu, untuk
menghindari melebarnya pembahasan ini, maka batasan masalah pokok yang
akan dibahas dalam kajian skripsi ini adalah sebagai berikut:
9
1. Konsep baku pendidikan Islam yang mencakup pengertian Pendidikan Islam,
arah dan tujuan pendidikan Islam, dan landasan dasar pendidikan Islam.
2. Konsep dan pemikiran Pendidikan Islam Mohammad Natsir yang mencakup
konsep baku pendidikan Islam juga mencakup sistem dan metodologi
pendidikan dan bentuk keilmuan mutakhir yang harus dikembangkan dan
diakui.
D. Perumusan Masalah
Dengan pembatasan masalah tersebut di atas, maka dikemukakan
perumusan masalah untuk mempermudah pembahasan ini, yaitu sebagai berikut:
1. Unsur-unsur apa saja Pendidikan Islam Modern menurut pemikiran
Mohammad Natsir?
2. Bagaimana kerakteristik pendidikan Islam Modern dalam konsep pemikiran
Pendidikan Islam Mohammad Natsir?
E. Tujuan Penelitian
Tujuan yang ingin dicapai dari penelitian ini adalah untuk mengetahui
konsep dan pemikiran Pendidikan Islam modern menurut Mohammad Natsir dan
mengambil serta mengembangkannya.
F. Kegunaan Penelitian
1. Kegunaan Teoritis
Dari hasil penelitian ini, akan ditemukan konsep-konsep pendidikan
Islam pada umumnya dan konsep serta pemikiran Pendidikan Islam versi
mohammad Natsir. Dengan demikian diharapkan bisa bermanfaat untuk
menambah khazanah ilmu pengetahuan dibidang pendidikan.
2. Kegunaan Praktis
Dengan diketahuinya hal-hal yang telah dirumuskan dalam penelitian
ini, maka diharapkan hasil penelitian ini dapat bermanfaat bagi:
a. Kalangan Pendidik khususnya guru
Memberikan pencerahan dan motivasi bagi para pendidik khususnya guru
Pendidikan Agama Islam untuk menanamkan minat dalam memperbaiki
10
kualitas pendidikan dan
dalam mengemban amanah yang diberikan
masyarakat.
b. Praktisi Pendidikan
Memberikan suatu pertimbangan dalam hal pentingnya konsep-konsep
pendidikan yang mesti dipakai oleh umat Islam Indonesia, karena di
Indonesia mayoritas adalah umat Islam, maka kesesuaian pendidikan dan
ajaran agama Islam perlu diperhatikan agar tidak jadi pertentangan atau
permasalahan dikemudian hari.
c. Lembaga Pendidikan
Memberikan bahan referensi dan masukan serta tolok ukur dan kontribusi
bagi khazanah keilmuan sehingga mampu meningkatkan mutu pendidikan
Islam yang sesui dengan arah dan tujuan pendidikan Islam tersebut.
d. Peserta didik
Memberikan motivasi agar peserta didik mengetahui arti pendidikan yang
sesungguhnya dan mengetahui apa sebenarnya tujuan akhir dari pendidikan
tersebut sehingga diharapkan mereka tidak kebingungan dan tangguh dalam
mengahadapi perkembangan jaman.
e. Masyarakat umum
Memberikan informasi mengenai pentingnya pendidikan Islam bagi umat
Islam dalam rangka mengembangkan dan mempertahankan mutu generasi
Islam dan generasi bangsa Indonesia.
BAB II
KAJIAN TEORI
PENDIDIKAN ISLAM
A. Pengertian Pendidikan Islam
1. Pengertian Pendidikan Islam Secara Bahasa
Sebelum menjelaskan tentang pengertian Pendidikan Islam, terlebih
dahulu penulis memaparkan pandangan para ahli tentang arti dari kata
“Pendidikan” dan arti dari kata “Islam”, sehingga diharapkan kita bisa lebih
mudah memahami pengertian dari “Pendidikan Islam” atau “Pendidikan dalam
Islam”.
a. Definisi Pendidikan
Pendidikan dalam bahasa Inggrisnya adalah education, berasal dari
bahasa Latin educare berarti “memasukan sesuatu”1
Pendidikan Secara Istilah, para ahli pendidikan mendefinisikan sebagai
berikut:
1) Menurut Hasan Shadily, Pendidikan adalah: “Peroses membimbing manusia
dari kegelapan kebodohan ke kecerahan pengetahuan. Dalam arti luas,
pendidikan baik yang formal maupun yang informal meliputi segala hal yang
memperluas pengetahuan manusia tentang dirinya sendiri, dan tentang dunia
di mana mereka itu hidup”.2
2) Menurut Munadir, “Pendidikan yaitu suatu usaha sadar memfasilitasi orang
sebagai pribadi yang utuh sehingga teraktualisasi dan terkembangkan
potensinya
mencapai
tarap
pertumbuhan
dan
perkembangan
yang
dikehendaki melalui belajar”.3
1
Hasan Langgulung, Asas-asas Pendidikan Islam, (Jakarta: Pustaka Al Husna Baru,
2003), cet. 5, h. 2
2
Hasan Shadily (eds.), Ensiklopedia Indonesia Jilid V, (Jakarta: Ichtiar Baru-Van Hoeve,
1984), cet. 1, h. 2627
3
Munadir, Ensiklopedia Pendidikan, (Malang: UM-Press, 2001), cet. 1, h. 229
11
12
3) Menurut Hasan Langgulung, Pendidikan dapat ditinjau dari dua segi, pertama
dari sudut pandang masyarakat, yaitu: “Pendidikan berarti pewarisan
kebudayaan dari generasi tua kepada generasi muda agar hidup masyarakat
tetap berlanjut. Kedua dari segi pandangan Individu, Pendidikan berarti
pengembangan potensi-potensi yang terpendam dan tersembunyi”.4
4) Menurut
Muhaimin,
Pengertian
Pendidikan
bahkan
lebih
diperluas
cakupannya sebagai aktivitas dan fenomena. Pendidikan sebagai aktivitas
berarti upaya yang secara sadar dirancang untuk membantu seseorang atau
sekelompok orang dalam mengembangkan pandangan hidup, sikap hidup,
dan keterampilan hidup, baik yang bersifat manual maupun mental dan
sosial.5
5) Menurut Undang-undang Sistem Pendidikan Nasional (UUSPN). No. 20
Tahun 2003, Pendidikan diartikan: “.....Usaha sadar dan terencana untuk
mewujudkan suasana belajar dan proses pembelajaran agar peserta didik
secara aktif mengembangkan potensi dirinya untuk memiliki kekuatan
spiritual keagamaan, pengendalian diri, kepribadian, kecerdasan, akhlak
mulia, serta keterampilan yang diperlukan dirinya, masyarakat, bangsa, dan
negara.”6
b. Definisi Islam
Menurut Mohammad Daud Ali, Secara bahasa Islam adalah:
Kata “Islam” berasal dari dari kata salam artinya patuh atau menerima;
berakar dari huruf sin lam mim (S-I-M). Kata dasarnya adalah salima yang
berarti sejahtera, tidak tercela, tidak bercacat. Dari kata itu terbentuk kata
masdar salâmat (yang dalam bahasa Indonesia menjadi selamat). Dari akar
kata itu juga terbentuk kata salm, silm yang berarti kedamaian, kepatuhan,
penyerahan (diri).7
Dari uraian di atas, dapat disimpulkan bahwa arti yang dikandung
dalam kata “Islam” adalah: kedamaian, kesejahteraan, keselamatan, penyerahan
4
Hasan Langgulung, Op.cit, h. 1
Muhaimin,et.al, Paradigma Pendidikan Islam, (Bandung: PT. Remaja Rosda Karya,
2004), Cet. 3, h. 37
6
Himpunan Peraturan Perundang-undangan Sistem Pendidikan Nasional, (Bandung,
Fokus Media, 2009), cet. 1, h. 2
7
Mohamamad Daud Ali, Pendidikan Agama Islam, (Jakarta: PT. Raja Grafindo Persada,
2000), cet. 3, h. 49
5
13
diri, dan kepatuhan kepada Tuhan. Tapi tidak semua orang atau agama yang
mengaku dan bersikap “pasrah” atau “penyerahan diri” kepada Tuhan disebut
Islam, karena ketika mengartikan sebuah nama tidaklah hanya dilihat dari segi
bahasa saja, tapi harus dengan istilah khusus yang sudah baku dan sudah
ditentukan Syarat, maksud, dan tujuannya oleh yang membuat nama tersebut, dan
tidak boleh merubah atau membelokan arti dari suatu kata bilamana kata tersebut
sudah dijelaskan oleh yang membuat kata tersebut. Termasuk kata “Islam” yang
sudah jelas maksud dan tujuannya. Definisi dari segi bahasa hanyalah sebagai
tambahan saja.
Pengertian Islam dari segi istilah, adalah sebagai berikut:
1) Dalam Al-Qur‟an surat Al-Maidah ayat 3, kata Islam bermaksud:
          
              
....pada hari ini telah Kusempurnakan untuk kamu agamamu, dan telah
Ku-cukupkan kepadamu nikmat-Ku, dan telah Ku-ridhai Islam itu Jadi
agama bagimu...(Qs. Al-Maidah: 3)
2) Dalam Kitab Hadits Arba‟in An-Nawawiyah Nabi Muhammad Saw. Telah
menjelaskan bahwa Islam adalah:
.....Rasulullah Saw.berkata,”Islam adalah engkau bersaksi bahwa tiada
Tuhan selain Allah dan sesungguhnya Muhammad adalah utusan Allah,
mendirikan shalat, membayar zakat, berpuasa pada bulan ramadhan,
mengerjakan ibadah haji ke Baitullah jika engkau mampu
melakukannya....” (HR. Muslim)8
Dalam hadits ke 3 dalam kitab Arba‟in An-Nawawiyah juga disebutkan:
8
An-Nawawi, Terjemah Hadits Arba‟in An-Nawawiyah, Terj. Dari Al-Arba‟in AnNawawiyah, Tim Shalahuddin, (Jakarta: Shalahuddin Press, 2006), cet. 4, h. 10
14
Dari Abu Abdurrahman Abdullah bin Umar bin Khattab ra.Berkata, Aku
pernah mendengar Rasulullah saw. bersabda,
“Islam dibangun diatas lima dasar: bersaksi bahwa tiada Tuhan selain
Allah dan Muhammad adalah utusan Allah, mendirikan shalat, membayar
zakat, mengerjakan haji ke Baitullah, dan berpuasa Ramadhan.” (HR.
Bukhari dan Muslim).9
3) Menurut Syed Muhammad Naquib al-Attas, “Islam” bukan semata-mata
sebuah kata kerja yang bermakna kepasrahan (submission); ia juga nama
sebuah agama yang menjelaskan cara kepasrahan yang benar, juga sekaligus
menjelaskan definisi agama (secara umum): kepasrahan kepada Tuhan.”10
4) Dalam kamus besar bahasa Indonesia, Islam adalah: “Agama yang diajarkan
oleh Nabi Muhammad Saw. yang berpedoman pada kitab suci al-Qur‟an atas
perintah Allah.11
5) Dalam buku “Ensiklopedia Pemikiran Sosial Modern” mengartikan bahwa:
“Islam adalah sebagai agama monoteis dunia, mengombinasikan hukum suci
wahyu nabi dengan bentuk tradisi religius dan mendetail.12
Dari pengertian dan ungkapan-ungkapan di atas maka bisa disimpulkan
bahwa Islam adalah sebuah agama yang dibawa dan diajarkan oleh Nabi
Muhammad Saw. untuk seluruh umat manusia dan siapa saja yang bersedia
menerimanya.
c. Pengertian Pendidikan Islam secara bahasa
Dari kesimpulan pengertian “pendidikan” dan dari pengertian “Islam”
diatas, maka ketika mendefinisikan “Pendidikan Islam” baik secara bahasa
9
Ibid., h. 12
Adian Husaini, Wajah Peradaban Barat Dari Hegemoni Kristen ke Dominasi SekularLiberal, (Jakarta: Gema Insani Press, 2005), cet. 1, h. 355
11
Peter Salim danYenny Salim, Kamus Besar Bahasa Indonesia, (Jakarta: Modern
English Press, 2002), cet. 3, h. 581
12
William Outh waite (ed.), Ensiklopedi Pemikiran Sosial Modern, (Jakarta: Kencana,
2008), cet. 1, h. 409
10
15
maupun istilah, tentu merujuk kepada istilah-istilah yang sudah ada dalam ajaran
islam, yakni ajaran yang dibawa oleh nabi Muhammad Saw.
Di bawah ini penulis paparkan pendapat para ahli mengenai arti
Pendidikan Islam secara bahasa sebagaimana yang dimaksud di atas. Yaitu:
Hery Noer Aly menyatakan: di dalam masyarakat Islam sekurangkurangnya terdapat tiga istilah yang digunakan untuk menandai konsep
pendidikan. Yaitu tarbiyah (‫)تزتية‬, Ta‟lim (‫)تعليم‬, dan Ta‟dib (‫)تأ دية‬. 13
Abdul Mujib menyatakan: Pendidikan dalam wacana keislaman lebih
populer dengan istilah tarbiyah, ta‟lim, ta‟dib, dan riyadhah. Kesemuanya itu
memiliki makna yang sama jika disebut salah satunya, sebab salah satu istilah itu
sebenarnya mewakili istilah yang lain.14
Pengertian satu persatu dari istilah-istilah Pendidikan Islam di atas
adalah sebagai berikut:
1) Tarbiyah
Istilah Tarbiyah berasal dari kata: Pertama Kata rabâ yarbû (ٌ‫يزت‬
yang berarti bertambah dan tumbuh. Kedua, kata, rabiya yarbâ (‫يزتى‬
،‫)رتا‬
،‫)رتي‬
yang berarti tumbuh dan berkembang. Ketiga, kata rabba yarubbu (‫يزب‬،‫)رب‬
yang berarti memperbaiki, menguasai, memimpin, menjaga, dan memelihara.
Kata al-Rabb (ّ‫)الزب‬, juga berasal dari kata tarbiyah dan berarti mengantarkan
sesuatu menjadi sempurna secara berangsur-angsur.15
Kata Tarbiyah dipergunakan untuk pendidikan, seperti firman Allah
dalam surat Asra‟ yang berbunyi:
          
 
13
Hery Noer Aly, Ilmu Pendidikan Islam, (Jakarta: PT. Logos Wacana Ilmu, 1999), cet.
1, h. 3
14
Abdul Mujib dan Jusuf Mudzakkir, Ilmu Pendidikan Islam, (Jakarta: Kencana Prenada
Media Group, 2008), cet. 2, h....
15
Hery Noer Aly, Op.cit., h. 4
16
Dan rendahkanlah dirimu terhadap mereka berdua dengan penuh
kesayangan dan ucapkanlah: "Wahai Tuhanku, kasihilah mereka
keduanya, sebagaimana mereka berdua telah mendidik aku waktu
kecil". (Qs. Al-Isra: 24)16
Menurut Abdul Fath Jalal, Yang dimaksud dengan Tarbiyah ialah
proses persiapan dan pengasuhan pada fase pertama pertumbuhan manusia, atau
menurut istilah yang kita gunakan dewasa ini ialah pada fase bayi dan kanakkanak.17
Sedangkan menurut Abdul Halim Mahmud, Tarbiyah ialah:
proses pendidikan yang dilakukan oleh generasi yang besar kepada
generasi yang kecil, dengan tujuan membangunnya dengan pengembangan
yang baik, yang mewujudkan keinsanan mereka dan yang menjadi faktor
penyebab mereka dimuliakan oleh Allah Swt, sesuai dengan fase
perkembangan mereka, di bawah naungan madrasah Islam, tenaga
pengajarnya, buku-buku pelajarannya, misinya, manhajnya, bangunannya,
dan visi-misinya.18
2) Ta‟lim
Ta‟lim “merupakan kata benda buatan (mashdar) yang berasal dari akar
kata „allama. Sebagian para ahli menerjemahkan istilah tarbiyah dengan
pendidikan, sedangkan ta‟lim diterjemahkan dengan pengajaran. Kalimat
allamahu al-„ilm memiliki arti mengajarkan ilmu kepadanya.”19
Muhammad Rasyid Ridha mengartikan ta‟lim dengan “proses transmisi
berbagai ilmu pengetahuan pada jiwa individu tanpa adanya batasan dan
ketentuan”. Pengertian ini didasarkan pada Firman Allah Swt. Dalam QS. AlBaqarah: 31
          
    
Dan Dia mengajarkan kepada Adam Nama-nama (benda-benda)
seluruhnya, kemudian mengemukakannya kepada Para Malaikat lalu
16
Hasan Langgulung, Op.cit, h. 3
Abdul Fatah Jalal, Azas-azas Pendidikan Islam, (Bandung: CV. Dipenegoro,
1988),cet.1, h. 28
18
Abdul Halim Mahmud, Pendidikan Ruhani, Terj. Dari At-Tarbiyah ar-Ruhiyah oleh
Abdul Hayyie al-Kattani, (Jakarta: Gema Insani Press, 2000), Cet.1, h. 21
19
Abdul Mujib dan Jusuf Mudzakkir, Op.cit, h. 18
17
17
berfirman: "Sebutkanlah kepada-Ku nama benda-benda itu jika kamu
mamang benar orang-orang yang benar!" (Qs. Al-Baqarah: 31)20
3) Ta‟dib
Ta‟dib, lazimnya diterjemahkan dengan “pendidikan sopan santun, tata
krama, adab, budi pekerti, akhlak, moral, dan etika. Ta‟dib yang seakar kata
dengan adab memiliki arti pendidikan peradaban atau kebudayaan. Artinya orang
yang berpendidikan adalah orang yang berperadaban, sebaliknya, peradaban yang
berkualitas dapat diraih melalui pendidikan.”21
Mengenai Ta‟dib, Hery Noer Aly menyatakan bahwa istilah Ta‟dib
untuk Pendidikan dalam Islam ditawarkan oleh al-Attas yakni sebagai berikut:
Istilah Ta‟dib untuk menandai konsep pendidikan dalam Islam
ditawarkan oleh al-Attas. Istilah ini berasal dari kata adab dan, pada
pendapatnya, berarti pengenalan dan pengakuan tentang hakikat bahwa
pengetahuan dan wujud bersifat teratur secara hierarkis sesuai dengan
berbagai tingkatan dan derajat tingkatannya serta tentang tempat seseorang
yang tepat dalam hubungannya dengan hakikat itu serta dengan kapasitas
dan potensi jasmani, intlektual, maupun rohani seseorang. Dengan
pengertian ini kata adab mencakup pengertian „ilm dan „amal.22
Menurut Naquib al-Attas, “Ta‟dib berarti pengenalan dan pengakuan
yang secara berangsur-angsur ditanamkan kepada manusia tentang tempat-tempat
yang tepat dari segala sesuatu di dalam tatanan penciptaan, sehingga membimbing
ke arah pengenalan dan pengakuan kekuatan dan keagungan Tuhan. Pengertian ini
didasarkan hadits berikut ini:
“Tuhanku telah mendidikku, sehingga menjadikan baik pendidikanku.”
(HR. Ibnu Hibban).23
“aku diutus untuk memperbaikai kemuliaan akhlak”. (HR. Malik bin
Annas dari Annas bin Malik)24
20
Ibid, h.19
Ibid, h. 20
22
Hery Noer Aly, Op.cit., h. 9
23
As-Suyuti, Jamludin Abdurrahman, Al-Jami as-Shaghir, terj. Najih Ahjad, (Surabaya:
Bina Ilmu, 1995), cet. 1, h. III
24
Abdul Mujib dan Jusuf Mudzakkir, Op.cit, h. 20
21
18
4) Riyadhah
Riyadhah secara bahasa diartikan dengan “pengajaran dan pelatihan.
Menurut al-Bastani, riyadhah dalam konteks pendidikan berarti mendidik jiwa
anak dengan akhlak yang mulia”.25
Dari beberapa istilah di atas, penulis menyimpulkan bahwa “istilahistilah untuk pendidikan islam walaupun berbeda dari segi pengertiannya tetapi
semuanya sama yakni mengacu kepada istilah perbaikan moral, sikap, dan sudut
pandang sebagai manusia seutuhnya yang beriman kepada Allah Swt sesuai
dengan ajaran yang dibawa oleh Nabi Muhammad Saw”.
2. Pengertian Pendidikan Islam Secara Istilah
Secara Istilah “Pendidikan Islam” diartikan oleh para ahli sebagai
berikut:
a. Menurut hasil seminar pendidikan Islam se-Indonesia tahun 1960 dirumuskan
pendidikan Islam: “bimbingan terhadap pertumbuhan rohani dan jasmani
menurut ajaran Islam dengan hikmah mengarahkan, mengajarkan, melatih,
mengasuh, dan mengawasi berlakunya semua ajaran Islam.26
b. Menurut Omar Muhammad al-Toumi al-Syaibani mendefinisikan pendidikan
Islam dengan: “proses mengubah tingkah laku individu pada kehidupan
pribadi, masyarakat dan alam sekitarnya, dengan cara pengajaran sebagai
suatu aktivitas asasi dan sebagai profesi diantara porfesi-profesi asasi dalam
masyarakat.27
c. Menurut Muhammad Fadhil al-Jamali, Pendidikan Islam adalah: “upaya
mengembangkan, mendorong, serta mengajak manusia untuk lebih maju
dengan berlandaskan nilai-nilai yang tinggi dan kehidupan yang mulia,
sehingga terbentuk pribadi yang lebih sempurna, baik yang berkaitan dengan
akal, perasaan maupun perbuatan.28
25
Ibid, h. 21
Ibid, h. 27
27
Ibid, h. 25-26
28
Ibid, h. 26
26
19
d. Menurut Zakiyah Daradjat, Pendidikan Islam adalah Pembentukan kpribadian
Muslim karena dalam pendidikan Islam terdapat pendidikan Iman dan
pendidikan amal.29
e. Menurut H.M. Arifin, Pendidikan Islam adalah: “suatu sistem kependidikan
yang mencakup seluruh aspek kehidupan yang dibutuhkan oleh hamba Allah,
sebagaimana Islam telah menjadi pedoman bagi seluruh aspek kehidupan
manusia, baik duniawi maupun ukhrawi.”30
f. Menurut Haidar Putra Daulay, Pendidikan Islam adalah pendidikan yang
bertujuan untuk membentuk pribadi Muslim seutuhnya, mengembangkan
seluruh potensi manusia baik yang berbentuk jasmaniah maupun rohaniah,
menumbuh suburkan hubungan harmonis setiap pribadi dengan Allah,
Manusia dan alam semesta.31
Dari beberapa pendapat para ahli sebagaimana penulis uraikan diatas,
maka penulis menyimpulkan bahwa pendidikan Islam itu adalah “Proses
pembentukan pribadi Muslim yang seutuhnya sesuai dengan tujuan hidup yang
telah ditentukan dalam Islam, yakni pribadi yang taat dan patuh kepada perintah
dan larangan Allah/Beribadah kepada Allah, sehingga seorang Muslim yang
sudah dididik bisa mengemban amanahnya sebagai ”khalifah di muka Bumi.”
Allah Swt. berfirman:
      
Dan aku tidak menciptakan jin dan manusia melainkan supaya mereka
mengabdi kepada-Ku. (Qs. Adz-Dzariyat:56)
          
Kemudian Kami jadikan kamu pengganti-pengganti (mereka) di muka
bumi sesudah mereka, supaya Kami memperhatikan bagaimana kamu
berbuat. (Qs. Yunus: 14)
29
Zakiyah Daradzat, Ilmu Pendidikan Islam, (Jakarta: Bumi Aksara, 1996), cet. 3, h. 28
H.M. Arifin, Ilmu Pendidikan Islam, (Jakarta: PT. Bumi Aksara, 2009), cet. 4, h. 8
31
Haidar Putra Daulay, Pendidikan Islam Dalam Sistem Pendidikan Nasional di
Indonesia, (Jakarta: Prenada Media, 2004), cet. 1, h. 153
30
20
B. Dasar-dasar Pendidikan Islam
Dasar secara bahasa, berarti alas, fundamen, pokok, atau pangkal segala
sesuatu (pendapat, ajaran, atau aturan).32
Hery Noer Aly menyatakan:
Dasar ilmu Pendidikan Islam adalah Islam dengan segala ajarannya.
Ajaran itu bersumber pada al-Qur‟an, sunnah Rasulullah saw. (selanjutnya
disebut sunnah), dan rakyu (hasil pikir manusia). Tiga sumber ini harus
digunakan secara hirarkis. Al-Qur‟an harus didahulukan. Apabila suatu
ajaran atau penjelasannya tidak ditemukan di dalam al-Qur‟an, maka harus
dicari di dalam sunnah; apabila tidak juga ditemukan didalam sunnah,
barulah digunakan rakyu. Sunnah tidak akan bertentangan dengan alQur‟an, dan rakyu tidak boleh bertentangan dengan al-Qur‟an dan Sunnah.33
Jadi berdasarkan keterangan di atas, Dasar-dasar atau landasan bagi
pendidikan islam yaitu pertama al-Qur‟an, kedua al-Hadits, dan ketiga rakyu atau
dalam pengertian lain disebut juga ijtihad.
1. Al-Qur’an
Hery Noer Aly menyatakan, Al-Qur‟an adalah “kalam Allah Swt. yang
diturunkan kepada Muhammad saw. dalam bhasa Arab yang terang guna
menjelaskan jalan hidup yang bermaslahat bagi umat manusia didunia dan
diakhirat”.34
Siradjuddin Abbas menyatakan, Al-Qur‟an adalah kalam Allah dan sifat
Allah yang Qadim.35
Secara panjang lebar Abdul Wahab Khallaf menjelaskan bahwa:
Al-Qur‟an adalah Firman Allah yang diturunkan oleh Allah dengan
perantaraan Jibril kedalam hati Rasulullah Muhammad bin Abdullah dengan
lafal bahasa Arab dan makna yang pasti sebagai bukti bagi Rasul
bahwasannya dia adalah utusan Allah, sebagai undang-undang sekaligus
petunjuk bagi umat manusia, dan sebagai sarana pendekatan (seorang
hamba kepada tuhannya) sekaligus sebagai ibadah kalau dibaca.36
32
Hery Noer Aly, Op.cit., 29
Ibid, h. 30
34
Ibid, h. 32
35
Siradjuddin Abbas, I‟tiqad Ahlussunnah Waljamaah, (Jakarta: Pustaka Tarbiyah,
1977) cet. 3, h. 190
36
Abdul Wahab Khallaf, Ilmu Ushul Fikih, Terj. Dari „Ilmu Ushul Fiqholeh Faiz el
Muttaqin, (Jakarta: Pustaka Amani, 2003), Cet.1, h. 1
33
21
Dari ketiga pendapat diatas, intinya sama, yakni Al-Qur‟an itu sebagai
wahyu dari Allah yang diturunkan kepada utusan-Nya Muhammad Saw. untuk
dijadikan pegangan hidup ummat manusia sebagai sumber pedoman dalam
melaksanakan segala kegiatannya termasuk Pendidikan.
Rasulullah Saw. bersabda:
،ٖ‫ ًَطَزْفُ ُو تِأَيْدِيْكُ ْم فَتَمَّسَكٌُْاتِو‬،ِ‫ّن طَزْفُ ُو تِيَدِاهلل‬
َ ‫ّن ىٰذَاالْقُزْا‬
َ ِ‫ فَإ‬،‫أَتْشِزًُْا‬
‫ن تَضِلٌُْا تَعْدَ ُه أَتَدًا‬
ْ َ‫ ًَل‬،‫ن تَيْلِكٌُْا‬
ْ َ‫فَإِّنَكُ ْم ل‬
Bergembiralah, sesungguhnya al-Qur‟an ini, satu sisinya berada
“ditangan” Allah dan sisinya yang lain berada di tangan kalian. Maka
berpeganglah dengannya, sesungguhnya kalian tidak akan binasa dan
tidak akan tersesat sesudahnya selam-lamanya. (HR. Ath-Thabrani)37
2. Al-Hadits
menurut ahli hadits, pengertian hadits adalah “segala perkataan Nabi,
perbuatan, dan hal ihwalnya.” Yang dimaksud dengan “hal ihwal” ialah segala
yang diriwayatkan dari Nabi Saw. yang berkaitan dengan himmah, karakteristik,
sejarah kelahiran, dan kebiasaan-kebiasaannya.38
Ada juga yang menyatakan, Hadis ialah “Sesuatu yang disandarkan
kepada Nabi Saw. baik berupa perkataan, perbuatan, taqrir, maupun sifat
beliau.”39
Dari beberapa Pengertian diatas, dapatlah kita simpulkan bahwa Hadits
merupakan sesuatu yang disandarkan kepada nabi baik ucapan, perbuatan,
ataupun sifatnya.
Hadits merupakan pedoman kedua setelah al-Qur‟an, jika dalam alQur‟an tidak disebutkan secara jelas, maka hadits nabi menjadi rujukannya.
Rasulullah Saw. bersabda:
37
Aidh bin Abdullah al-Qarni, 391 Hadis Pilihan, Terj. Dari Tarjuman as-Sunnah, oleh
Muhammad Iqbal Ghazali. Lc., (Jakarta: Darul Haq, 2007), cet. 1, h. 163
38
Munzier Suparta, Ilmu Hadis, (Jakarta: Rajawali Pers, 2001), cet. 1, h. 2-3
39
Ibid, h. 3
22
Aku tinggalkan kepada kalian, yang jika kalian berpegang teguh
kepadanya, kalian tidak akan tersesat selamanya, Kitabullah dan
sunnahku (HR. Hakim)40
3. Ijtihad
Menurut Zakiyah Daradjat, “Ijtihad adalah Istilah para Puqaha, yaitu
berpikir dengan menggunakan seluruh ilmu yang dimiliki oleh ilmuwan syari‟at
Islam untuk menetapkan/menentukan sesuatu hukum syari‟at Islam dalam hal-hal
yang ternyata belum ditegaskan hukumnya oleh al-Qur‟an dan sunnah.”41
Lebih lanjut Zakiyah Daradjat menyatakan:
Ijtihad dalam pendidikan harus tetap bersumber dari al-Qur‟an dan
sunnah yang diolah oleh akal yang sehat oleh para ahli pendidikan Islam.
Ijtihad tersebut haruslah dalam hal-hal yang berhubungan langsung dengan
kebutuhan hidup disuatu tempat pada kondisi dan situasi tertentu. Teoriteori pendidikan baru hasil ijtihad harus dikaitkan dengan ajaran Islam dan
kebutuhan hidup.42
Dari Penjelasan tentang Ijtihad di atas, jelas sekali bahwa Ijtihad
merupakan suatu usaha dari para “ahli Ilmu” untuk mentapkan suatu hukum yang
secara teks belum ditetapkan oleh al-Qur‟an dan sunnah, namun dalam
penetapannya tetap berpegang kepada rambu-rambu al-Qur‟an dan sunnah, jadi
tidak serampangan. Ijtihad bersifat menyeluruh dalam segala aspek kehidupan tak
terkecuali di bidang pendidikan.
Ketiga sumber dasar pendidikan Islam
penggunaannya ditetapkan dalam hadits sebagai berikut:
di
atas
dan
urutan
Rasulullah saw. mengutus mu‟adz ke Yaman. Kemudian beliau
bertanya, “bagaimana kamu memutuskan (suatu masalah)?” Ia
menjawab, “saya akan memutuskannya dengan apa yang terdapat
didalam kitab Allah.” Beliau bertanya, “Apabila putusan itu tidak
40
Aidh bin Abdullah al-Qarni, Op.cit, h. 166
Zakiyah Daradjat, Op.cit., h. 21
42
Ibid, h. 21-22
41
23
terdapat di dalam kitab Allah?” Ia menjawab, “saya akan
memutuskannya dengan sunnah Rasulullah.” Beliau bertanya lagi,
“apabila putusan itu tidak juga terdapat di dalam sunnah Rasulullah?”
Ia menjawab, “saya berijtihad dengan rakyu.” Kemudian beliau
bersabda, “segala puji bagi Allah yang telah memberi taufik kepada
Utusan Rasul-Nya.” (H.R. al-Turmudzi).43
C. Sistem Pendidikan Islam
Sistem adalah “metode; cara yang teratur (untuk melakukan sesuatu);44
Dalam buku Ensiklopedia kebahasaan Indonesia, “Sistem berasal dari
bahasa Yunani yaitu Sustema yang artinya berdiri bersama suatu keseluruhan
yang dibentuk dari berbagai bagian, yaitu suatu kompleks unsur dan pola yang
secara runtut yang melembagakan suatu pungsi keseluruhan”.45
Sistem adalah suatu keseluruhan yang terdiri dari komponen-komponen
yang masing-masing bekerja sendiri dalam fungsinya yang berkaitan dengan
fungsi dari komponen lainnya yang secara terpadu bergerak menuju ke arah satu
tujuan yang telah ditetapkan.46
Komponen pokok dalam sistem Pendidikan Islam terdapat 5 bagian,
yaitu: Kurikulum atau Isi pendidikan, Pendidik/guru, siswa, lingkungan
pendidikan, dan alat pendidikan.
1. Kurikulum Pendidikan Islam
Menurut Hasbullah, “Kurikulum adalah keseluruhan program, fasilitas,
dan kegiatan suatu lembaga pendidikan atau pelatihan untuk mewujudkan visi dan
misi lembaganya”. 47
Menurut Ahmad Tafsir, “kurikulum adalah sejumlah mata pelajran
yang harus ditempuh atau dipelajari siswa di sekolah atau di perguruan tinggi
untuk memperoleh ijazah tertentu”.48
43
Hery Noer Aly, Op.cit., h. 30-31
Pius A Partanto dan M Dahlan Al Barry, Kamus Ilmiah Poluler, (Surabaya: Arkola,
1994) h. 712
45
Hasanudin (eds), Ensiklopedia Kebahasaan Indonesia jilid IV(Bandung: Angkasa,
2009), cet. 1, h.1152
46
Arifin, HM. Kapita Selekta Pendidikan Islam dan Umum, (Jakarta: Bumi Aksara,
1991), cet. 1, h. 76
47
Hasbullah, Otonomi Pendidikan, (Jakara: PT. Raja Grafindo Persada, 2006), cet. 1, hal.
21.
44
24
Inti dari pendapat di atas bisa dipahami bahwa kurikulum merupakan isi
program pendidikan yang harus dipelajari oleh siswa atau anak didik dibawah
bimbingan guru.
Adapun mengenai isi dari pada kurikulum, adalah sebagai berikut:
Menurut Ahmad Tafsir, “Isi kurikulum dapat dikelompokkan menjadi
empat saja, yaitu: tujuan, isi, pola belajar mengajar, dan evaluasi”.49
Hasan Langgulung menyatakan:“Pusat dari kurikulum pendidikan
dalam Islam adalah Akhlak, sebab tujuan utama dari pendidikan yaitu
menghaluskan akhlak (budi pekerti dan mendidik jiwa.”50
Dari pendapat di atas dapat dipahami bahwa isi dari kurikulum
Pendidikan Islam adalah materi yang membentuk kehalusan akhlak yang dalam
rincian isi dan pelaksanaannya mencakup tujuan, isi pelajaran, metode, dan
evaluasi pembelajaran.
Dari segi pengklasifikasian Ilmu, kurikulum pendidikan dalam Islam
meliputi ilmu-ilmu bahasa dan agama, ilmu-ilmu kealaman (natural), sebagian
ilmu-ilmu yang membantu seperti sejarah, geografi, sastera, sya‟ir, nahu,
balaghah, filsafat, dan logika.
2. Pendidik atau Guru
Menurut Undang-undang Sistem Pendidikan Nasional No. 20 tahun
2003, Bab XI pasal 39, disebutkan bahwa: “Pendidik merupakan tenaga
profesional yang bertugas merencanakan dan melaksanakan proses pembelajaran,
menilai hasil pembelajaran, melakukan pembimbingan dan pelatihan, serta
melakukan penelitian dan pengabdian kepada masyarakat, terutama bagi pendidik
pada perguruan tinggi”.51
Menurut Ahmad Tafsir, “Pendidik dalam Islam adalah siapa saja yang
bertanggung jawab terhadap perkembangan anak didik. Tugas pendidik dalam
pandangan
48
Islam
secara
umum
ialah
mendidik,
yaitu
mengupayakan
Ahmad Tafsir, Ilmu Pendidikan Dalam Perspektif Islam, (Bandung: PT. Remaja Rosda
Karya, 2001), cet. 4, hal. 76.
49
Ibid.
50
Hasan Langgulung, Op.cit., h. 113.
51
Himpunan Peraturan Perundang-undangan Sistem Pendidikan Nasional, Op. cit., h. 21.
25
perkembangan seluruh potensi anak didik, baik potensi psikomotorik, kognitif,
maupun potensi afektif.”52
Menurut Arifin, “tugas guru sebagai pendidik tidak hanya terbatas pada
mencerdaskan otak saja, melainkan juga harus berusaha membentuk seluruh
pribadi anak menjadi manusia dewasa yang berkemampuan untuk menguasai ilmu
pengetahuan
dan
mengembangkannya
untuk
kesejahteraan
hidup
umat
manusia.”53
Sebagaimana pernyataan di atas bahwa tugas guru tidak hanya sekedar
mengajar tetapi juga bertanggung jawab untuk mengarahkan perkembangan anak
didik menjadi manusia yang beradab dan berakhlak, maka sudah barang tentu
guru atau pendidik dituntut mempunyai kapasitas yang memadai sebagai pengarah
anak didik. Karena itu maka Ahmad Tafsir menyebutkan bahwa: “guru harus
sudah dewasa, harus sehat jasmani dan rohani, harus ahli, harus berkesusilaan,
dan berdedikasi tinggi”.54
Tugas
guru
sebagai
pendidik
dan
bertanggung
jawab
atas
perkembangan anak didiknya, maka seorang guru dalam Islam tidak saja dituntut
memiliki ilmu pengetahuan yang baik, namun juga harus mempunyai sifat-sifat
khusus yang mendukung visi misi pendidikan bisa tercapai.
Sifat yang mesti dimiliki seorang pendidik sebagaimana penulis kutif
dari tulisan Ahmad Tafsir yaitu:
a. kasih sayang kepada anak didik
b. lemah lembut
c. rendah hati
d. menghormati ilmu
e. adil
f. menyenangi ijtihad
g. konsekuen dengan pernyataan sesuai perbuatan
h. sederhana.55
52
Ahmad Tafsir, Op. cit., hal. 74.
Arifin, HM. Op. Cit., h. 164.
54
Ahmad Tafsir, Op. Cit., hal. 80.
55
Ibid, hal. 84.
53
26
3. Peserta Didik
Menurut Undang-undang Sistem Pendidikan Nasional No. 20 Tahun
2003 Bab I pasal 1, disebutkan bahwa yang dimaksud peserta didik adalah
anggota masyarakat yang berusaha mengembangkan potensi diri melalui proses
pembelajaran yang tersedia pada jalur, jenjang, dan jenis pendidikan tertentu.56
Siswa atau Peserta didik dalam pendidikan Islam ialah setiap manusia
yang sepanjang hayatnya selalu berada dalam perkembangan. Jadi bukan hanya
anak-anak yang sedang dalam pengasuhan dan pengasihan orang tuanya.57
Inti dari pernyataan di atas, bahwa siswa atau peserta didik adalah
setiap anggota masyarakat yang ikut serta dalam program pendidikan dan tidak
dibatasi dengan usia.
4. Lingkungan Pendidikan
Lingkungan ialah segala sesuatu yang tampak dan terdapat dalam alam
kehidupan yang senantiasa berkembang. Ia adalah seluruh yang ada, baik manusia
maupun benda buatan manusia.58
Lingkungan Pendidikan menunjukan kepada situasi dan kondisi yang
mengelilingi dan mempunyai pengaruh terhadap perkembangan pribadi
pendidikan. Lingkungan terbagi dua, yaitu lingkungan sekitar dan lingkungan
pusat pendidikan.59
Dari pernyataan diatas dapat dipahami, bahwa lingkungan pendidikan
merupakan sesutu hal yang mengelilingi dan melingkupi lembaga pendidikan baik
lingkungan di sekitar lembaga pendidikan maupun lingkungan dalam pendidikan
itu sendiri. Corak lingkungan pendidikan turut mempengaruhi bentuk suatu
pendidikan. Dengan demikian bagi Pendidikan Islam lingkungan yang islami
sangat dibutuhkan untuk tercapainya visi dan misi dari pendidikan Islam itu
sendiri.
5. Peralatan Pendidikan
56
Himpunan Peraturan Perundang-undangan Sistem Pendidikan Nasional , Op. Cit., h. 3
Hery Noer Aly. Op. Cit., h. 209
58
Zakiyah Daradjat, Op. Cit., h. 63
59
Hery Noer Aly. Op. Cit., h. 209
57
27
Peralatan Pendidikan bisa juga disebut sebagai media pendidikan, yaitu
media/alat yang digunakan dalam ruang lingkup pendidikan.
Menurut Ahmad Tafsir, “peralatan pendidikan
adalah semua yang
digunakan guru dan murid dalam proses pendidikan. Ini mencakup perangkat
keras dan perangkat lunak. perangkat keras misalnya gedung sekolah dan
laboratorium, perangkat lunak umpamanya kurikulum, metode, dan administrasi
pendidikan”.60
Inti dari pendapat di atas adalah bahwa alat atau media pendidikan
meliputi segala sesuatu yang dapat membantu proses pencapaian tujuan
pendidikan.
D. Tujuan Pendidikan Islam
1. Pengertian Tujuan Pendidikan Islam
Menurut Hery Noer Aly, “Tujuan adalah batas akhir yang dicita-citakan
seseorang dan dijadikan pusat perhatiannya untuk dicapai melalui usaha. Dalam
tujuan terkandung cita-cita, khendak, dan kesengajaan, serta berkonsekuensi
penyusunan daya-upaya untuk mencapainya.”61
Hery Noer Aly menyatakan pula, “bahwa tujuan pendidikan ialah batas
akhir yang dicita-citakan tercapai melalui suatu usaha pendidikan.”62
Menurut Zakiyah Daradjat, Tujuan ialah suatu yang diharapkan tercapai
setelah sesuatu usaha atau kegiatan selesai. Maka, pendidikan karena merupakan
suatu usaha dan kegiatan yang berproses melalui tahap-tahap dan tingkatantingkatan, tujuannya bertahap dan bertingkat.63
Dari pengertian tujuan diatas, maka Tujuan pendidikan bisa diartikan
sebagai batas akhir dari upaya mendidik atau suatu batasan pencapaian pendidikan
dari apa yang diusahakan oleh pendidik dan lembaga pendidikan yang tentunya
sesuai dengan landasan dasar pendidikan sebagaimana telah disebutkan diatas.
60
Ahmad Tafsir, Op. Cit., hal. 90.
Hery Noer Aly, Op.cit, h. 51
62
Ibid, h. 53
63
Zakiyah Daradjat, Op.cit, h. 30
61
28
2. Tujuan Pendidikan dalam Islam
Tujuan pendidikan dalam Islam secara garis besar terbagi 3 tujuan,
yakni: 1) Tujuan umum, 2)Tujuan Sementara, dan 3) Tujuan akhir.
a. Tujuan Umum
Menurut Zakiyah Daradjat tujuan umum dari pendidikan Islam ialah:
“tujuan yang akan dicapai dengan semua kegiatan pendidikan, baik dengan cara
pengajaran atau dengan cara lain. Tujuan ini meliputi seluruh aspek kemanusiaan
yang meliputi sikap, tingkah laku, penampilan, kebiasaan, dan pandangan.”64
Menurut Abdurrahman An-Nahlawi, tujuan umum pendidikan Islam
adalah: “merealisasikan penghambaan kepada Allah dalam kehidupan manusia,
baik secara individual maupun secara sosial.”65
Menurut kongres Pendidikan Islam sedunia di Islamabad tahun 1980,
Tujuan Pendidikan islam adalah:
Pendidikan harus merealisasikan cita-cita (idealitas) islami yang
mencakup pengembangan kepribadian muslim yang bersifat menyeluruh
secara harmonis berdasarkan potensi psikologis dan fisiologis (jasmaniah)
manusia mengacu kepada keimanan dan ilmu pengetahuan secara
berkeseimbangan sehingga terbentuklah manusia muslim yang paripurna
yang berjiwa tawakal (menyerahkan diri) secara total kepada Allah Swt.66
pendapat para ahli sebagaimana diatas, pada dasarnya sesuai dengan
firman Allah dalam surat Ad-Dzariyat ayat 56, yatu:
      
Dan aku tidak menciptakan jin dan manusia melainkan supaya mereka
mengabdi kepada-Ku. (Qs. Ad-Dzariyat:56)
Dari pernyataan para ahli di atas, penulis menyimpulkan bahwa Tujuan
secara umum dalam pendidikan Islam yakni menggali, dan mengembangkan
potensi-potensi dasar anak didik sehingga anak didik mampu memandang
kedepan, mampu menghadapi setiap persoalan dalam hidupnya disertai dengan
dasar ketaqwaan kepada Allah swt.
64
Ibid, h. 30
Abdurrahman An-Nahlawi, Pendidikan Islam di Rumah, Sekolah, dan Masyarakat.
Terj. Dari Ushulut Tarbiyah Islamiyah wa Asalibiha Fil Baiti wal Madrasati wal Mujtam‟ oleh
Shihabudin, (Jakarta: Gema Insani Press, 1995), cet. 1, h. 117
66
H.M. Arifin, Op.ci.t., h. 55
65
29
b. Tujuan Sementara
Menurut Zakiyah Daradjat, tujuan sementara dari Pendidikan Islam
yakni: “tujuan yang akan dicapai setelah anak didik diberi sejumlah pengalaman
tertentu yang direncanakan dalam suatu kurikulum pendidikan formal.”67
Hery Noer Aly menyatakan: “Tujuan sementara merupakan penjabaran
dari tujuan akhir serta berfungsi membantu memlihara arah seluruh usaha dan
menjadi batu loncatan untuk mencapai tujuan akhir.”68
Kalau dilihat dari dua pernyataan di atas, tujuan sementara merupakan
hal terpenting untuk terlaksananya tujuan akhir, karena tidak mungkin tujuan
akhir terlaksana tanpa adanya tujuan sementara yang berupa penjabaran,
pengajaran dan praktek pendidikan lainnya dalam rangka mencapai seluruh dari
tujuan Pendidikan Islam.
Tentang pentingnya pengajaran dan penjabaran dalam rangka
Pendidikan Islam, Zakiyah Daradjat menyebutkan sebagai berikut: “perubahan itu
tidak terjadi otomatis atau lantaran motivasi kebendaan atau kesan dari
perkembangan evolusi seperti yang diungkapkan oleh pengikut teori evolusi,
tetapi oleh proses pengajaran yang dilalui seja bayi sampai akhir hayat.69
Untuk memperkuat pendapatnya ini, Zakiyah Daradjat mengutif dalil
al-Qur‟andan Hadits Sebagai berikut:
       
         
7) Dan jiwa serta penyempurnaannya (ciptaannya), 8) Maka Allah
mengilhamkan kepada jiwa itu (jalan) kefasikan dan ketakwaannya. 9)
Sesungguhnya beruntunglah orang yang mensucikan jiwa itu, 10) Dan
Sesungguhnya merugilah orang yang mengotorinya. (Qs. Asy-Syams:
7-10)
Nabi Muhammad Saw. bersabda:
67
Zakiyah Daradjat, Op.cit., h. 31
Hery Noer Aly, Op.cit., h. 80
69
Zakiyah Daradjat, Op.cit, h. 61
68
30
‫ُكّلُ مٌَْلٌُْدٍ يٌُلَ ُد عَلَى الْفِطْزَةِ فَاَتٌََا ُه يُيٌَِدَاّنِو اًَْيُنَّصِزَّنِ ِو‬
“tiap bayi yang dilahirkan dengan fitrah, ibu bapaknyalah yang
menyahudikan atau mengkristenkannya. (HR. bukhari Muslim)
Dari keterangan di atas, dapatlah disimpulkan bahwa “tujuan
sementara” Pendidikan Islam adalah batasan pencapaian dalam satuan kurikulum
yang terencana dalam waktu tertentu sesuai dengan tingkatan anak atau orang
yang menerima didikan.
c. Tujuan Akhir
Tujuan akhir pendidikan Islam yaitu: “Tujuan yang hendak dicapai oleh
pendidikan terhadap peserta didik melalui seluruh proses pendidikan.70
Menurut Zakiyah Daradjat, tujuan akhir dari pendidikan Islam yakni:
“meninggalkan dunia dalam keadaan berserah diri kepada Allah sebagai
muslim yang merupakan ujung dari takwa sebagai akhir dari proses hidup jelas
berisi kegiatan pendidikan. Insan Kamil yang mati dan akan menghadap
Tuhannya merupakan tujuan akhir dari proses pendidikan Islam.”71
Allah Swt berfirman:
            
Hai orang-orang yang beriman, bertakwalah kepada Allah sebenarbenar takwa kepada-Nya; dan janganlah sekali-kali kamu mati
melainkan dalam Keadaan beragama Islam.(Qs. Ali Imran: 102)
Mengenai
tujuan
akhir
dari
pendidikan
Islam
ini,
penulis
menyimpulkan, bahwa Pendidikan Islam tujuan akhirnya adalah mempersiapkan
manusia agar ketika ajal datang menjemput, ia sudah siap untuk menghadap
kepada Tuhannya (Allah Swt) sebagai seorang Muslim bertaqwa dan mendapat
ridha dari Allah Swt.
70
Ibid, hal. 76
Zakiyah Daradjat, Loc.cit.
71
BAB III
METODOLOGI PENELITIAN
A. Waktu dan Tempat Penelitian
Penelitian yang berjudul “Konsep Pendidikan Islam Modern Menurut
Pemikiran Dr. Mohammad Natsir” ini dilaksanakan dengan pengaturan waktu dan
tempat sebagai berikut:
No. Waktu
Kegiatan Penelitian
Tempat Penelitian
Penelitian
1
9 September – Pengumpulan data-data sumberr15
Oktober mengenai
2013
sumber
tertulis
yang
Perpustakaan
Utama
UIN
Jakarta
diperoleh dari berbagai -
Perpustakaan
buku-buku yang ada di
Islam
Iman
perpustakaan dan Toko
Jama
Lebak
buku yang mendukung
Bulus Jakarta.
penelitian,
terutama
yang berkaitan dengan
konsep
Pendidikan,
Biografi
Mohammad
Natsir,
dan
tulisan-
tulisan beliau yang telah
dibukukan.
2
16 Oktober – Menyimpulkan,
13 Desember menafsirkan,
2013
-
Perpustakaan
dan
Utama
menyusun data dalam
Jakarta
bentuk hasil penelitian -
Perpustakaan
dan mencari data atau
FITK
keterangan
Jakarta
untuk
kembali
melengkapi -
32
UIN
UIN
Perpustakaan
33
susunan
penelitian
kajian
Islam
Iman
yang
Jama
Lebak
dianggap kurang atau
perlu diperbaiki.
3
Bulus Jakarta.
-
Rumah Kos
14 Desember
Meneliti kembali hasil -
Perpustakaan
2013 – 1
penelitian yang sudah
Utama
Januari 2014
jadi
Jakarta
tersebut
untuk
mencari
dan -
UIN
Perpustakaan
memperbaiki kesalahan
FITK
pengetikan, kesimpulan,
Jakarta
pengambilan
Rumah Kos
dan
sumber, -
UIN
kesalahan-
kesalahan lainnya.
B. Pendekatan dan Jenis Penelitian
Dalam penulisan Skripsi ini, penulis menggunakan jenis penelitian
kepustakaan dengan penyajian yang bersifat deskrptif analitik.
Jenis penelitian ini bersifat kualitatif, yakni“suatu penelitian yang
ditujukan untuk medeskripsikan dan menganalisis fenomena, peristiwa, aktivitas
sosial, sikap, kepercayaan, persepsi, pemikiran orang secara individual maupun
kelompok”.1“Penelitian kualitatif ini didasarkan pada penyusunan suatu gambaran
yang kompleks dan holistik menurut pandangan yang rinci dari para informan,
serta dilaksanakan di tengah setting ilmiah.”2 Selain itu Penelitian Kualitatif juga
bertujuan mendiskripsikan suatu proses kegiatan pendidikan berdasarkan Studi
Pustaka sebagai kajian lebih lanjut, untuk menemukan kekurangan dan kelemahan
sistem dalam program pendidikan, sehingga dapat diketahui dan dapat
menentukan jenis dan upaya penyempurnaannya.
1
Nana Syaodih Sukmadinata, Metode Penelitian Pendidikan, (Bandung: PT. Remaja
Rosda Karya, 2012), Cet. 8, h. 60
2
Nuaraida dan Halid Alkaf, Metodologi Penelitian Pendidikan, (Jakarta: Islamic
Research Publishing, 2009), Cet. 1, h. 35
34
C. Metode Penelitian
Dalam pengumpulan data, penulis sepenuhnya menggunakan metode
penelitian kepustakaan. Untuk mendapatkan data-data penelitian, penulis
mengumpulkan bahan kepustakaan, terutama yang berkaitan dengan pendidikan
Islam dan pemikiran Mohammad Natsir dalam Pendidikan Islam.
Sumber primer yang dijadikan rukjukan pokok yaitu sebagai berikut:
1. Berbagai karya dan catatan-catatan M. Natsir yang telah dibukukan dalam
judul buku Capita Selecta jilid 1 diedit oleh Sati Alimin.
2. Buku “Virus Liberalisme di Perguruan Tinggi Islam” karya Adian Husaini.
Sedangkan sumber skunder yang dijadikan rujukan pokok yaitu sebagai
berikut:
1. Buku “Ilmu Pendidikan Islam” kary Hery Noer Aly MA.
2. Buku “Ilmu Pendidikan Islam” karya Zakiyah daradjat.
Selain buku-buku di atas, untuk memperkuat analisanya, penelitian ini
dilengkapi juga dengan buku-buku dan sumber lain yang berkaitan dengan
Pendidikan Islam dan konsep pemikiran Pendidikan Islam Mohammad Natsir.
Pada
tulisan
ini
digunakan
metode
deskriptif,
yakni
untuk
mendeskripsikan secara sistematis, faktual dan akurat mengenai fakta-fakta,
situasi-situasi atau kejadian-kejadian dan krakteristik populasi.3 Dan metode
penelitian ini juga memberikan gambaran atau uraian atas suatu keadaan sejelas
mungkin tanpa ada perlakuan dari objek yang diteliti, setelah data diperoleh
kemudian dibahas dengan memberikan gambaran deskriptif tentang masalah yang
diteliti yang selanjutnya dianalisis untuk mendapatkan gambaran yang jelas
persepektif Mohammad Natsir dalam masalah Pendidikan Islam.
D. Tehnik Pengumpulan Data
Metode yang digunakan dalam pembahasan penelitian ini adalah
penelitian deskriptif fenomenologis yang ditunjang oleh data yang diperoleh
melalui penelitian kepustakaan (Library research).
3
h. 63
Hadeli, Metodologi Penelitian Kependidikan, (Jakarta: PT. Ciputat Press, 2006), Cet. 1,
35
Penelitian kepustakaan (Library research) dimaksud menelaah, mengkaji
dan mempelajari berbagai literatur (referency) yang erat kaitannya dengan
masalah yang dibahas. Adapun tahap pelaksanaannya adalah peneliti mengadakan
kunjungan perpustakaan dan dalam rangka pengumpulan data dari sumber-sumber
yang berkaitan dengan pokok penelitian.
E. Pengelolaan Data
Setelah melakukan tahap pengumpulan data, langkah selanjutnya ialah
pengelolaan data sehingga data yang diperoleh dapat digunakan untuk
menganalisa permasalahan yang akan diteliti dan dalam mengumpulkan data
untuk penulisan skripsi ini, digunakan langkah-langkah pengelolaan data melalui
tahap-tahap yaitu pemeriksaan data, klasifikasi data dan selanjutnya penyusunan
data. Penjelasannya adalah sebagai berikut:
1. Pemeriksaan Data, yaitu data yang telah terkumpul dipriksa kembali agar
diketahui kekurangan atau ada data yang tidak cocok dengan masalah
penelitian.
2. Klasifikasi Data, yaitu dilakukan dengan cara mengelompokan data yang
sesuai dengan pokok bahasan agar mempermudah dalam menganalisa data
tersebut.
3. Penyusunan Data yaitu dilakukan dengan cara menyusun dan menempatkan
data pada setiap pokok bahasan secara sistematis sehingga memudahkan
permasalahan.
F. Tekhnik Analisa Data
Dalam skripsi ini tekhnik analisanya adalah dengan menggunakan content
Analisys yaitu menarik kesimpulan dalam usaha menemukan karakteristik pesan
yang dilakukan secara objektif dan sistematis.
Seluruh data yang ada akan dibahas dan dianalisis secara analisa kualitatif
dengan proses yaitu “mereduksi data, mendisplay data dan memberikan
kesimpulan atau verifikasi”. Dan penjelasannya adalah sebagai berikut:
36
1. Reduksi data
Data yang diperoleh dilapangan ditulis dalam bentuk uarian atau laporan
terperinci. Laporan yang telah disusun kemudian direduksi, dirangkum, diseleksi
hal-hal yang dikategorikan pokok kemudian difokuskan pada hal-hal yang
dianggap penting lalu dicarikan temanya.
Data yang telah direduksi memberi gambaran yang lebih tajam tentang
hasil pengamatan, juga mempermudah peneliti untuk mencari kembali data yang
diperoleh jika diperlukan.
2. Display Data
Data
yang
telah
diperoleh,
diklasifikasikan
berdasarkan
pokok
permasalahan kemudian dibuat dalam bentuk matriks sehingga memudahkan
peneliti untuk melihat adanya hubungan suatu data dengan data lainnya.
3. Mengambil Kesimpulan/Varifikasi
Peneliti membuat kesimpulan berdasarkan data yang telah diproses
melalui reduksi dan display data.
G. Sumber Penelitian
Sumber penelitian ini adalah buku-buku yang berkaitan dengan
permasalahan Pendidikan Islam dan tentang pemikiran dan biografi Mohammad
Natsir.
H. Tehnik Penulisan
Tehnik penulisan yang digunakan dalam skripsi ini berpedoman pada
“buku pedoman penulisan skripsi yang diterbitkan oleh Fakultas Ilmu Tarbiyah
dan Keguruan UIN Syarif Hidayatullah Jakarta tahun 2013”. Sedangkan kutipan
ayat-ayat suci al-Qur’am dan terjemahnya berasal dari terbitan Kementrian
Agama Repulik Indonesia.
BAB IV
KONSEP PENDIDIKAN ISLAM MODERN
MENURUTMOHAMMAD NATSIR
A. Biografi Mohammad Natsir
Ketika menyebut tokoh Islam Mohammad Natsir, teringat pula kepada
“Masyumi”, yaitu partai Islam tempat ia berkiprah dalam politik dan
pemerintahan Indonesia ketika negara ini baru benar-benar merdeka. Dan
memang itu tidak salah dan benar adanya bahwa Mohammad Natsir adalah
seorang politikus sekaligus salah satu dari bapak pendiri negara yang bernama
Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI) ini. Selama ia berkecimpung dalam
pemerintahan, jasa-jasanya tidak bisa dianggap remeh dan dilupakan begitu saja,
salah satu jasanya yang paling penomenal adalah pada tahun 1950 ia berusaha
melobi para pemimpin bangsa lainnya sehingga beliau berhasil menyatukan
kembali Indonesia yang tadinya terpecah belah dalam bentuk RIS kepada Negara
Kesatuan Republik Indonesia (NKRI). Kejadian ini terkenal dengan “Mosi
Integral Natsir.”
Sebagai seorang Politisi, tentunya ia banyak dikenal orang dan
generasi-generasi muda bangsa Indonesia, namun kita pun tak boleh melupakan
begitu saja sisi lain dari kiprah Mohammad Natsir, yakni sebelum ia terjun ke
dunia politik, Natsir adalah seorang Pejuang Pendidikan, ia seorang guru yang
tanpa pamrih. Dengan demikian, berakar dari latar belakangnya sebagai seorang
guru dan orang yang mengetahui secara baik ajaran Islam, maka ketika di
Parlemen bersama kawan-kawannya ia kerap menyuarakan pentingnya pendidikan
yang berciri khas agama Islam dan memang itu merupakan suatu kebutuhan bagi
rakyat Indonesia yang mayoritas Islam dan pendidikannya pun harus sesuai
dengan agamanya.
Sebagai seorang Politisi, Pendidik dan Agamawan, beliau selalu
berusaha dan berjuang menanamkan nilai-nilai agama dalam kehidupan dan
dimana ia berada serta terhadap objek mana yang bisa dicapai ketika ia
37
38
mempunyai peranan untuk menanamkannya. Salah satu contohnya ialah Pada saat
ia menjadi perdana menteri 1950-1951, ia bersama-sama KH. Wahid Hasyim
(mentri Agama) dan Bahder Johan (Menteri Pendidikan) menerapkan peraturan
pemerintah yang mewajibkan Pendidikan Agama di sekolah-sekolah umum.
Untuk secara jelas mengetahui bagaimana kiprah Mohammad Natsir
dalam dunia pendidikan dan mengkaitkannya dengan tema yang diambil penulis
yakni konsep-konsep Pendidikan Islam Mohammad Natsir, tentu harus
melihatnya melalui penelusuran dari sisi Biografi kehidupannya, sehingga bisa
lebih mudah memahami siapa Mohammad Natsir? dan kenapa konsep-konsep
pendidikan Islam beliau seperti ini atau seperti itu?, maka mulai dari sinilah bisa
memberikan penilaian terhadap tokoh yang sangat penomenal ini, tokoh yang
cukup disegani khususnya di kalangan pendidikan dan pergerakan Islam di
Indonesia bahkan di dunia Internasional.
1. Latar Belakang Mohammad Natsir dan Sejarah Kehidupannya
Mohammad Natsir dilahirkan di kampung Jembatan Berukir, Alahan
Panjang, Sumatera Barat pada tanggal 17 Juli 1908. Ia adalah putera pasangan
Sutan Saripado, seorang pegawai pemerintah, dan Chadijah.1
Mohammad Natsir dibesarkan di keluarga agamis, Lingkungan seperti
ini sangat berpengaruh pada pertumbuhan sang putra.2
Mengenai masa kecil Mohammad Natsir, Abudin Nata memaparkan
sebagai berikut:
Natsir melewati masa kehidupannya dengan penuh perjuangan berat.
Sejak kecil ia memasak, mencari kayu bakar, menimba air, mencuci
pakaian, menyapu halaman, dan lain-lain. Pada usianya yang sangat muda,
Natsir mulai berpisah dengan orang tuanya, dan menempuh hidup sebagai
orang dewasa. Mulailah ia tidur disurau bersama kawan-kawannya yang lain
sesama laki-laki. Hanya waktu siang dan saat tertentu saja, Natsir berada di
rumah.3
1
Lukman Hakiem (ed.), 100 Tahun Mohammad Natsir, (Jakarta: Republika, 2008), cet. 1,
h. 423
2
Al-Musytasyar Abdullah Al-Aqil, Mereka yang Telah Pergi, Tokoh-tokoh
PembangunanPergerakan Islam Kontemporer, Terj. Dari Min A’lami Al-Harakah wa As-Da’wah
Al-Islamiyah Al-Mu’ashirah, Oleh Khozin Abu Faqih, (Jakarta: Al-I‟tishom Cahaya Umat, 2003),
cet. 1, h. 26
3
Abudin Nata, Tokoh-tokoh Pembaruan Pendidikan Islam di Indonesia, (Jakarta:
Rajawali Pers, 2005), cet. 3 h. 74
39
Mengenai Riwayat pendidikannya, secara ringkas Adian Husaini
memaparkan sebagai berikut: “Tahun 1916-1923, Natsir memasuki HIS (Hollands
Inlandsche School) di Solok. Sore harinya ia menimba Ilmu di Madrasah Diniyah.
Tahun 1923-1927, Natsir memasuki jenjang MULO (Meer Uitgebreid Lager
Onderwijs) di Padang. Lalu, pada 1927-1930, ia memasuki jenjang sekolah
lanjutan atas di AMS (Algemene Middelbare School) di bandung”.4
Di kota Bandung inilah Mohammad Natsir mulai berinteraksi dengan
para cendekiawan dan aktivis Islam terkemuka seperti KH. Agus Salim, Prawoto
Mangkusasmito dan lainnya. Dan di kota ini pula beliau mulai banyak belajar, ia
mulai mendalami masalah agama, mempelajari bahasa Belanda, dan pelajaranpelajaran lainnya.
Adian Husaini menyebutkan: “ada tiga guru yang mempengaruhi alam
pikirannya, yaitu pemimpin Persis A. Hassan, Haji Agus Salim, dan Pendiri alIrsyad Islamiyah Syech Akhmad Syoerkati.”5
Pada tahun 1930, Mohammad Natsir lulus dari AMS dengan nilai
sangat baik. Dengan nilai tersebut sebenarnya ia mempunyai kesempatan untuk
melanjutkan setudinya ke perguruan tinggi elit dan terkenal ketika itu, atau
menjadi pegawai negeri dengan gaji yang cukup lumayan, namun Mohammad
Natsir tidak tertarik kepada yang demikian itu, ia memutuskan untuk berdakwah
dan berperan aktif dalam lembaga pendidikan.
Berikut Penuturan M. Natsir, seperti dikutip oleh Adian Husaiani dari
majalah Tempo: “tamat AMS, sebetulnya saya dapat beasiswa untuk kuliah di
fakultas hukum, tapi saya memilih tidak melanjutkan kuliah. Saya lebih tertarik
melihat persoalan-persoalan masyarakat, persoalan politik. Jadi sebagai politik
oposisi sebagai orang jajahan itu sangat terasa.6
Selanjutnya Adian Husaini menyatakan:
Pilihan Natsir untuk tidak melanjutkan studi ke Universitas-universitas
terkemuka sama sekali tidak menyurutkan dan menghentikan langkahnya
untuk mengkaji ilmu. Pilihannya untuk menerjuni bidang keilmuan dan
4
Adian Husaini, Virus Liberalisme di Perguruan Tinggi Islam, (Jakarta: Gema Insani
Press, 2009), cet. 1. h. 26
5
Ibid, h. 27
6
Ibid, h. 29
40
pendidikan Islam membuktikan kesungguhannya dalam bidang ini. Inilah
sebuah pilihan berani dari seorang pemuda cerdas dan berani seperti Natsir.7
Berawal dari sinilah langkah perjuangan Mohammad Natsir untuk
bangsa Indonesia, beliau mencari ilmu tidak untuk tujuan-tujuan keuntungan
duniawi, sehingga tidak aneh jika dalam kisah hidupnya beliau sama sekali tidak
tergiur oleh tawaran pekerjaan yang sangat menguntungkan pribadinya.
Ketika kita mengingat sekarang-sekarang ini, para petinggi negeri ini
banyak yang sakit jiwanya dan perasaanya tidak berprikemanusiaan, mereka tidak
lagi memikirkan kemajuan bangsanya, yang ada dibenak mereka adalah
bagaimana caranya agar bisa sebanyak-banyaknya merampok uang negara untuk
memperkaya diri, sungguh memperihatinkan. Maka dengan demikian menurut
hemat penulis, tokoh seperti Mohammad Natsir ini lah salah satu contoh bapak
bangsa yang harus diangkat kepermukaan sebagai contoh teladan bagi generasi
penerus bangsa Indonesia.
Lebih lanjut Adian Husaini menyatakan:
“Bersama A. Hasan, Natsir bekerja menerbitkan majalah Pembela
Islam, Malamnya, beliau mengaji al-Qur‟an dan membaca kitab-kitab berbahasa
Arab dan Inggris. Tahun 1931-1932, Natsir mengambil kursus Diploma LO
(Lager Ondewijs).”8
Sebelumnya, pada tahun 1927 beliau berhasil medirikan sebuah
lembaga pendidikan Islam (Pendis), ini merupakan Pendidikan formal pertama
yang ada di lingkungan keluarga besar Persatuan Islam.9
Di Sekolah Pendidikan Islam (Pendis) ini Mohammad Natsir mulai
berkiprah di bidang pendidikan. Pada masa-masa ini Mohammad Natsir terus
menerus menggali dan mengembangkan keilmuannya, sehingga dari sini ia
memahami berbagai konsep-konsep ajaran Islam tak terkecuali konsep-konsep
Pendidikannya. dari pengamatannya akan kebutuhan ummat terhadap pendidikan,
dan pengalaman beliau sebagai pendidik, maka dari beliau ini muncullah ide atau
7
Ibid, h. 32
Ibid, h. 34
9
Tiar Anwar Bachtiar, “M. Natsir Pelopor Pendidikan Islam Integral”, Jurnal Pemikiran
dan Peradaban Islam Islamia, Vol. V. No. 1, 2009, h. 82
8
41
gagasan-gagasan yang menjadi konsep Pemikiran Pendidikan Islam, sebagaimana
dalam bagian B Bab IV pada skripsi ini penulis kemukakan.
Di samping ia sebagai pendidik, Natsir tidak hanya mengajar,
mengkonsep kurikulum, dan mengelola guru-gurunya, bahkan untuk menghidupi
sekolah ini kadang dia harus menggadaikan gelang Istrinya. Para siswanya diajar
hidup mandiri agar tida bergantung kepada pemerintah.10 Sekolah ini ditutup oleh
Jepang pada tahun 1942,11
Mengenai Kiprahnya di bidang Politik, Abudin Nata menjelaskan
sebagai berikut:
Tahun 1938, Natsir mulai aktif di bidang politik dengan melibatkan diri
sebagai anggota Persatuan Islam Indonesia (PII) cabang Bandung. Pada
tahun 1940-1942, Natsir menjabat ketua PII, dan pada tahun 1942-1945, ia
merangkap jabatan sebagai kepala Biro Pendidikan Kota Madya Bandung,
serta sebagai sekretaris Sekolah Tinggi (STI) di Jakarta yang merupakan
Perguruan Tinggi Islam pertama yang berdiri pasca kemerdekaan.12
Menurut Tiar Anwar Bachtiar, Setelah Pendis ditutup, Natsir memilih
terjun ke dunia politik dan pemerintahan. Selama periode pendudukan Jepang,
Natsir diangkat menjadi kepala Biro Pendidikan Balai Kota Bandung oleh
Walikota R. Admadinata.13
Selanjutnya Tiar Anwar menyatakan: “Saat Indonesia mendapatkan
kembali kemerdekaannya 17 Agustus 1945. Natsir memilih untuk terus berjuang
di dunia politik melalui partai Masyumi.”14
Di dunia politik inilah Mohammad Natsir bersama kawan-kawannya
khususnya yang seideologi seperti KH. Agus Salim, Daud Beureh, Prawoto
Mangkusasmito, Kiai Zarkasji, Mohammad Hatta, Kahar Muzakkir dan lainlainnya berusaha berjuang untuk mempertahankan kemerdekaan bangsa Indonesia
dari rongrongan Belanda dan antek-anteknya yang ingin kembali menjajah bangsa
Indonesia.
10
Adian Husaini, Loc, It
Tiar Anwar Bachtiar, Op.cit., h. 85
12
Abudin Nata, Op.cit, h. 77
13
Tiar Anwar, Loc.cit
14
Tiar Anwar, Loc.cit
11
42
Mengenai Mosi Integral Natsir dalam menyelamatkan NKRI, Sabam
Sirait dalam Makalahnya menuliskan sebagai berikut:
Natsir berpendirian bahwa republik Indonesia Serikat (RIS) harus bubar
dan kembali ke Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI) sesuai dengan
Undang-Undang Dasar 1945 (UUD 45).... Natsir yakin negara-negara
bagian pada waktu itu akan kembali bersatu dalam satu negara kesatuan
melalui pendekatan-pendekatan. Natsir bekerja sebagai politisi di luar
parlemen, menggalang kekuatan-kekuatan Nasional dalam bentuk partaipartai politik untuk mendukung Mosi Integral yang diprakarsai olehnya,
yaitu kembali ke Negera Kesatuan Republik Indonesia.15
Ketika Sukarno mengangkat dirinya sebagai formatur kabinet, dan dia
memperkenalkan konsepsi Demokrasi Terpimpin, maka Natsir bersama-sama
politis lainnya memprotes kebijakan presiden dan konsep tersebut karena dinilai
melanggar UUD 1945 sehingga secara praktis elit politik pada waktu itu terpecah
menjadi dua, yang pro dan kontra terhadap kebijakan presiden Sukarno. Dengan
demikian maka Natsir menganggap tidak ada kewajiban lagi untuk taat kepada
kepala negara. Sehingga beliau bersama Syafruddin Prawiranegara dan
Burhanudin harahap terlibat dalam PRRI.
Mengenai protesnya atas Sukarno dan keterlibatannya dengan PRRI,
Hery Mohammad menjelaskan sebagai berikut:
Ketika soekarno sebagai presiden yang sudah mengarah pada
penyimpangan amanat UUD 1945, Natsir kembali angkat bicara dan fisik.
Natsir, Syafruddin Prawiranegara, dan Burhanudin Harahap yang didukung
oleh puluhan politisi menuntut agar dibentuk kabinet yang dipimpin oleh
Mohammad Hatta dan Hamengkubuono IX, masing-masing sebagai
Perdana Menteri dan Wakil Perdana Menteri. Puncaknya adalah
dikeluarkannya ultimatum pada 10 Februari 1958. Isinya, jika pemerintah
pusat tidak memberi jawaban, maka mereka mengaganggap tak punya
kewajiban taat kepada pemerintah yang melanggar UUD. Tak ada jawaban,
dan pecahlah PRRI di Sumatera Barat, Natsir dan kawan-kawan masuk
hutan. Setelah Sumatera Barat dikuasai oleh pemerintah, Natsir bersama
beberapa petinggi PRRI mendekam dipenjara, dari tahun 1961 sampai tahun
1966.16
15
Lukman Hakiem, (ed.), M. Natsir di Panggung Sejarah Republik, (Jakarta: Republika,
2008), cet. 1, h. 117
16
Herry Mohammad, Tokoh-tokoh Islam yang Berpengaruh Abad 20, (Jakarta: Gema
Insani Press, 2006), cet. 1, h. 52
43
Selain peristiwa diatas yang menyebabkan M. Natsir pindah dari jakarta
ke Padang dan masuk hutan bersama PRRI, peristiwa teror dan fitnah terhadap
beliau juga menjadi penyababnya, sebagaimana Burhan D. Magenda dalam
Makalahnya memaparkan sebagai berikut:
Mengapa beliau pindah dari Jakarta ke Padang pada akhir 1957 saya
kira yang terpenting pada waktu itu adalah percobaan pembunuhan terhadap
Bung Karno di Perguruan Cikini, 30 Nopember 1957. Diantara yang terlibat
ada anggota Gerakan Pemuda Islam Indonesia (GPII), maka Masyumi
dituduh berada di balik peristiwa cikini. Pak Natsir dan tokoh-tokoh
Masyumi mau dilibatkan padahal beliau tidak tahu menahu sama sekali.
Tetapi beliau terlanjur diteror dan diintimidasi. Pak Syafruddin
Prawiranegara juga diintimidasi oleh kalangan komunis, sehingga pak
Natsir dan Pak Syafruddin tidak merasa aman di Jakarta pindah ke
Sumatera.17
Lebih lanjut Burhan D. Magenda menjelaskan:
“sebenarnya Pak Natsir dan Pak Syafruddin itu cukup mempertahankan
NKRI dalam proklamasi PRRI. Pak Natsir dan Pak Syafruddin tidak mau
pusat diultimatum, tapi pada 5 Februari 1958 kelompok militer Simbolon
dan Ahmad Hesein mengultimatum pusat. Sayap militer juga yang
meminta-minta bantuan Asing.18
Setelah peristiwa tersebut
akhirnya Masyumi
dibekukan oleh
Pemerintah, hingga pada masa Suharto pun usaha untuk merehabilitasi Masyumi
gagal. Akhirnya Mohammad Natsir dan aktivis Masyumi lainnya mendirikan
Dewan Dakwah Islamiyah Indonesia pada tahun 1967.
Mengenai akhir dari keterlibatan M. Natsir dalam politik praktis
dipemerintahan, Adian Husaini menyebutkan sebagai berikut:
Setelah lepas dari gelanggang politik formal, Natsir mengaktifkan diri
dalam dunia dakwah melalui Dewan Dakwah Islamiyah Indonesia (DDII).
Di sinilah Natsir mulai melakukan pembinaan intlektual melalui tiga jalur
strategis, yaitu kampus, masjid, dan pesantren. Dari berbagai masjid kampus
yang didirikan, Natsir berhasil melakukan kaderisasi intlektual dan
menanamkan benih dakwah dikalangan kaum intlektual. Tahun 1984. Natsir
juga tercatat sebagai Ketua Badan Penasehat Yayasan Pembina Pondok
Pesantren Indonesia. Beliau juga termasuk pelopor berdirinya berbagai
Pesantren Tinggi (Ma‟had „Aliy) di Indonesia.19
17
Lukman Hakiem (ed.), Op.cit, h. 12-13
Ibid, h. 13
19
Adian Husainin, Op.cit., h. 38
18
44
Dengan mendirikan Dewan Dakwah Islamiyah Indonesia, maka
sebenarnya M. Natsir kembali kepada Khittahnya sebagai Da‟i dan pendidik
ummat. Namun bila kita perhatikan karirnya selama di pemerintahan, beliau
adalah sebagai politikus yang jujur, adil, ikhlas dan berwibawa sehingga sangat
layak sekali dijadikan contoh teladan bagi generasi penerus bangsa Indonesia.
Pada tahun 1991, Mohammad Natsir mendapat gelar Doktor Honoris
Causa di bidang pemikiran dari Universiti Kebangsaan Malaysia.20
Muhammad Natsir wafat dalam usia 85 tahun pada hari Sabtu 6
Februarui 1993 pukul 12.10 WIB di ruang ICU RSCM, Jakarta. Almarhum
meninggalkan empat orang anak dan delapan belas orang cucu. Pada detik-detik
terakhir dirungan ICU, beliau didampingi anaknya Ny. Asma Farida, Fauzi Natsir,
Sekretaris
pribadinya
Dr.
Anwar
Haryono,
mantan
Wakil
Muhammadiyah Lukman Harun, para cucu, dan sejumlah kenalannya.
Ketua
PP
21
2. Peran, kepedulian, dan jasa-jasa Mohammad Natsir Terhadap Umat
Islam dan Bangsa Indonesia Khususnya
Dari beberapa sumber yang berhasil penulis kumpulkan, maka secara
garis besar terdapat lima jasa-jasa atau peranan Mohammad Natsir kepada umat
Islam dan bangsa Indonesia pada umumnya. Kelima jasa-jasa tersebut ialah: 1)
kontribusinya terhadap pendirian berbagai Sekolah Tinggi Islam di Indonesia;2)
Pendidikan dan Dakwah;3) Pemikiran Islam dan upaya membendung kristenisasi;
4) Politik Islam; dan 5) kontribusinya bagi pergerakan organisasi Islam
Internasional.
a. Penetapan berbagai Sekolah Tinggi Islam di Indonesia
Peranan Mohammad Natsir dalam Pendirian Sekolah-sekolah Tinggi
Islam di Indonesia berawal dari kepeduliannya terhadap pentingnya suatu
perguruan tinggi Islam yang benar-benar dilandaskan kepada nilai-nilai Tauhid
dalam Islam. Selain itu perguruan Tinggi Islam oleh Mohammad Natsir
diharapkan bisa membentuk generasi penerus Islam yang tidak minder dan merasa
20
Ibid, h. 39
Saiful Falah, Rindu Pendidikan dan Kepemimpinan M. Natsir, (Jakarta: Republika,
2012), cet. 1, h. 65-66
21
45
asing bila berhadapan dengan golongan yang bersifat “modern”, mereka tetap
percaya diri ketika mengemban dakwah Islam di setiap golongan masayarakat.
Berikut ini adalah pernyataan Mohammad Natsir mengenai Sekolah
Tinggi Islam:
....Akan tetapi ini tidak berarti bahwa mereka didikan ketimuran itu
tidak lajak merima peladjaran Sekolah Tinngi. Malah sebaliknja: buat
mereka inilah, sepentasnja terlebih dahulu kita usahakan Sekolah Tinggi
jang akan memperkokoh dasar jang sudah ada, jang akan memperlengkapi
dengan rempah-ragam bahasa-bahasa dan ilmu pengetahuan dasar-dasar
Agama jang ada pada mereka, jang perlu untuk berhadapan dengan segala
matjam lapisan masjarakat, sebagai propogandis Islam. Supaja hilang
perasaan asing dari pergaulan hidup (Weltfremdekeit), supaja kembali
kepertjajaan akan harga diri, bila berhadapan dengan golongan jang
bergelar “modern”.22
Kepedulian Mohammad Natsir tidak hanya sebatas wacana dan
pernyataan, tetapi beliau terlibat langsung bersama tokoh-tokoh nasional lainnya
dalam pendirian lembaga pendidikan Islam, contohnya: tahun 1946, beliau
bersama para petinggi Masyumi lainnya membentuk suatu panitia perguruan
Tinggi Islam yang dinamai STI (Sekolah Tinggi Islam) yang menjadi cikal bakal
Universitas Islam Indonesia (UII) Yogyakarta. Waktu itu Mohammad Hatta
sebagai ketua panitia dan Mohammad Natsir sebagai Sekertaris.23
Peranan beliau dalam pendirian perguruan tinggi Islam tidak sampai
disitu, beliaupun ambil bagian dalam menginisiasi pendirian perguruan tinggi
Islam lainnya, seperti Universitas Islam Bandung (Unisba), Universitas Islam
Sumatera Utara (UISU) Universitas Muslimin Indonesia (UMI) di Makasar,24
Universitas Riau, dan Universitas Ibnu Khaldun (UIK) Bogor.25
b. Pendidikan dan dakwah
Peranan Mohammad Natsir dalam bidang pendidikan dan dakwah dapat
kita lihat dari pernyataan beliau dan aktivitas yang sering beliau lakukan.
Aktivitas beliau dibidang Pendidikan dan dakwah terus berjalan hingga akhir
hayatnya. Sebagaimana berikut ini Asma Farida (putri ketiga M. Natsir)
22
D.P. Sati Alimin (ed.), Capita Selecta Jilid 1, (Jakarta: Bulan Bintang, 1973). Cet. 3, h.
95-96
23
Tiar Anwar Bachtiar, Op.cit., h. 86
Lukman Hakiem (ed.), Op.cit., h. 438
25
Adian Husaini, Op.cit., h. 35
24
46
menuturkan kepada Wartawan yang mewawancarainya, yaitu: “ketika tubuhnya
terbaring lemas diruang ICU rumah sakit Cipto Mangunkusumo (RSCM), beliau
masih menanyakan keadaan sebuah pesantren di daerah Bogor yang dibinanya.”26
Berikut ini pernyataan Mohammad Natsir tentang pentingnya
pendidikan bagi kemajuan bangsa. Yaitu: “Marilah sama-sama kita insafi bahwa
menurut sunnatullah semua sifat dan kesanggupan-kesanggupan itu tidak dapat
ditjapai, ketjuali dengan didikan jang sungguh-sungguh. Lantaran itu masalah
pendidikan ini adalah masalah masjarakat, masalah kemadjuan jang sangat
penting sekali, lebih penting dari masalah jang lain-lain”.27
Sejak lulus dari AMS tahun 1930, Mohammad Natsir sudah bisa
merintis sebuah sekolah formal yakni Pendis (Pendidikan Islam), selain disekolah
yang Ia dirikan, Ia pun aktif mengajar sekolah lain, seperti HIS, MULO, dan
Kweek School.28
Ketika berada di dunia politik, beliau bersama-sama dengan Kiai Wahid
Hasyim memasukan pelajaran agama ke sekolah-sekolah umum, dan Ia pun selalu
mengkampanyekan aturan-atuaran lainnya yang bersifat keagamaan dalam
pemerintahan hingga terjadi perdebatan dengan Sukarno tentang masalah agama
dalam negera.
Setelah Mohammad Natsir dihambat aktivitas politiknya oleh
Pemerintahan Presiden Suharto, M. Natsir memilih jalur Dakwah sebagai
aktivitasnya. Bersama-sama dengan aktivis Masyumi lainnya, tahun 1967 beliau
mendirikan Dewan Dakwah Islamiyah Indonesia.29
Dari Dewan Dakwah Islamiyah Indonesia (DDII) inilah maka muncul
semacam organisasi Dakwah kampus LDMI (Lembaga Dakwah Mahasiswa
Islam). Dari LDMI ini, maka muncullah para intlektual-intlektual semacam
Endang Saefudin Anshari dari UNPAD dan Imaduddin Abdurachim dari UI. Dari
para aktivis hasil binaan Mohammad Natsir ini, maka menyebar pelatihanpelatihan dakwah dan kajian-kajian ke Islaman diberbagai kampus di Indonesia,
26
Saiful Falah, Op.cit., h. 64
D.P. Sati Alimin (ed.), Op.cit., h. 79
28
Adian Husaini, Op.cit., h. 32
29
Tiar Anwar Bachtiar, Op.cit., h. 87
27
47
sehingga terbentuk jaringan-jaringan Lembaga Dakwah kampus (LDK) diseluruh
Perguruan Tinggi di Indonesia.30
Selain mendorong aktivitas keislaman Mahasiswa di berbgai perguruan
Tinggi di Indonesia, DDII juga berhasil mendorong aktivitas keagamaan
diberbagai sektor yang berhasil ditempuh. Sejarawan Muslim Indonesia Ahmad
Mansur Suryanegara memaparkan sebagai berikut:
Program peningkatan kualitas Dakwah Islamiyah dari Dewan Dakwah
Islamiyah Indonesia, membangkitkan kalangan cendekiawan Muslim
berpartisipasi aktif mendakwahkan Islam. Kalangan medis, pakar ekonomi,
budayawan, sejarawan, arsitek, pakar busana, dosen dari berbagai cabang
ilmu, terpanggil untuk ikut serta mendakwahkan ajaran Islam sejalan
dengan ilmunya, diwilayah kerjanya. Tidak lupa dikalangan militer dan
polisi, serta disetiap departemen, mendirikan seksi dakwah, membangkitkan
semangat Islam dalam warganya. Demikian pula dimasyarakat, timbul
kesadaran kaum Ibu membangun Majelis Taklim, disamping adanya
Dharma Wanita di setiap instansi, aktif pula mengadakan dakwah rutin.31
Dari keterangan-keterangan diatas sebagai mana penulis kemukakan,
maka dapat dipastikan, bahwa Peranan Mohammad Natsir dalam bidang
pendidikan dan dakwah tidak bisa diragukan lagi, beliau aktif berdakwah,
memberikan teladan, dan mendidik ummat dimanapun berada dan dalam
kedudukan apapun Posisinya. Sejak dari Pendis (Pendidikan Islam) hingga
Pendidikan Tinggi, dari jabatan sebagai guru hingga politisi, dari Pesantren Persis
(Persatuan Islam) di Bandung hingga Pesantren-pesantren Tinggi (Ma‟had Aliy)
dan Lembaga-lembaga Kajian Islam di berbagai Universitas terkemuka di
Indonesia, sehingga dari kegigihan dan keistiqamahannya dalam berjuang serta
kesantunannya dalam bersikap, penghormatan tidak saja diberikan oleh umat
Islam namun tidak sedikit umat non muslim pun yang menaruh hormat dan
simpati kepada beliau.
c. Pemikiran Islam dan Upaya membendung Kristenisasi
Dalam hal pemikiran Islam, Adian Husaini menyebutkan: “Pada sekitar
tahun 1930-an, Natsir telah aktif menulis tentang berbagai persoalan keilmuan dan
30
Ibid, h. 88
Ahmad Mansur Suryanegara, Api Sejarah Jilid 2, (Bandung: Salamadani, 2010), cet. 1,
h. 521-522
31
48
terlibat langsung dalam perdebatan ilmiah dengan berbagai kalangan. Melalui
tulisan-tulisannya ketika itu, tampak Natsir sudah membaca berbagai literatur
tentang aqidah, sejarah, ilmu kalam, tasawuf, filsafat, syari‟ah, perbandingan
agama dan sebagainya.32
Sebenarnya pemikiran Mohammad Natsir dalam visi misi dan
keyakinannya terhadap Islam sangat jelas, kita bisa melihat dari berbagai sudut
kehidupannya, yaitu dari pribadinya, dari ketabahan dan ketegarannya, dari
kesantunan dan ketegasannya ketika bersikap, dari tulisan-tulisannya, dari jasajasanya, dan dari beberapa tokoh yang menilainya.
Dari berbagai kisah kehidupannya sebagaimana diatas, penulis
menyimpulkan bahwa secara garis besar pemikiran Mohammad Natsir itu
bertujuan untuk dakwah Islam dan membela Aqidah Islam dari berbagai serangan
dari orang-orang yang tidak senang dengan Islam. Diantara Dakwah dan
pembelaannya terhadap Islam adalah beliau berupaya mengingatkan umat Islam
akan bahaya Kristenisasi dan bahaya pendangkalan Aqidah yang dilakukan oleh
orang-orang yang dengki terhadap Islam. Beliau berjuang melalui pendidikan,
politik, dan Dakwah.
Berikut ini penuturan beliau dalam mengingatkan umat Islam tentang
upaya para Zending Misionaris dalam mengkristenkan penduduk Muslim, yaitu:
Apakah akan dibiarkan sadja mereka terlantar, djadi bodoh dan dungu
terbenam dalam kegelapan? Atau apakah sudah rela benar-benar kita
melepaskan anak-anak kita itu diperkemasi oleh mereka jang bekerdja
dengan giat dan radjin serta tabah mendirikan sekolah-sekolah mereka, jang
membukakan pintunja dengan luas sekali kepada anak-anak kita jaitu pihak
missi dan zending dinegeri kita ini?Wahai ibu-bapa kaum Mslimin!
“Alangkah sukanja Ahli Kitab, djika mereka dapat membelokkan kamu
kembali, sesudah kamu beriman (kepada Muhammad), sebab tidak senang
hati mereka....! demikian al-Qur‟an adalah surat al-Baqarah: 109. Peringatan
ini dihadapkan oleh Muhammad kepada kaum Muslimin 13 abad jang lalu
dan jang rupanja perlu diperingatkan berulang-ulang kepada kita.33
Selanjutnya beliau mengatakan:
Djadi kita kaum Muslimin wadjib mengadakan dari antara kaum kita
djuga, satu golongan yang akan mendidik anak-anak kita, supaja didikan
32
Adian Husaini, Op.cit., h. 40
D.P. Sati Alimin (ed.), Op.cit., h. 80
33
49
anak-anak itu djangan diserahkan kepada mereka jang tidak sehaluan, tidak
sedasar, tidak seiman dan tidak seagama dengan kita. Begini peringatan dari
Nabi kita Muhammad s.a.w, begitu pula perintah dari Allah s.w.t.34
Dari pernyataan Mohammad Natsir diatas, jelas sekali bisa kita pahami,
bahwa Mohammad Natsir sangat menginginkan sekali agar umat Islam sadar dan
jangan terpedaya oleh orang-orang yang hendak merusak keyakinan ummat Islam.
Al-Mustasyar Abdullah Al-Aqil menyatakan: Meskipun para misionaris
mendapat banyak kemudahan dari antek-anteknya didalam negeri, suntikan dana
sangat besar, dan peralatan memadai, tapi upaya Dr. Mohammad Natsir dan
rekan-rekannya menjadi penghambat aktivitas para misionaris.35
d. Politik Islam
Dalam Masyarakat sering tumbul pertanyaan, “kenapa agama dibawabawa dalam politik, atau kenapa politik dibawa-bawa dalam agama?” Mohammad
Natsir menjawab sebagai berikut:
Pertanjaan ini timbul oleh sebab seringkali orang mengartikan bahwa
jang dinamakan agama itu, hanjalah se-mata2 satu sistem peribadatan antara
machluk dengan Tuhan jang Maha kuasa. Definisi ini mungkin tepat bagi
ber-matjam2 agama. Akan tetapi tidak tepat bagi agama jang bernama Islam
itu, jang hakikatnja njata adalah lebih dari itu. Kalau kita memindjam
perkataan seorang orientalist, H. A. R. Gibb, maka kita dapat simpulkan
dalam satu kalimat: “Islam is much more than a religious syistem. Itu is a
complete ciliization” “Islam itu adalah lebih dari sistem” peribadatan. Ia
itu adalah satu kebudajaan jang lengkap sempurna!”. Malah lebih dari itu!
Islam adalah satu falsafah hidup, satu levens-filosofie, satu ideologi, satu
sistem peri kehidupan, untuk kemenangan manusia sekarang dan diachirat
nanti. Oleh karena itu bagi kita sebagai muslim, kita tidak dapat melepaskan
diri dari politik. Dan sebagai orang berpolitik, kita tak dapat melepaskan diri
dari ideologi kita, jakni ideologi Islam. Bagi kita, menegakan Islam itu tak
dapat dilepaskan dari menegakkan masjarakat, menegakkan Negara,
menegakkan Kemerdekaan.36
Dari pernyataan Mohammad Natsir diatas, penulis menyimpulkan
bahwa menurut Mohammad Natsir berpolitik dalam Islam sah-sah saja, karena
Islam bukan hanya sekedar agama yang mengurus hubungan antara makhluk
dengan Tuhan, tetapi juga mengurus hubungan antara manusia dengan manusia.
34
Ibid, h. 81
Al-Mustasyar Abdullah al-Aqil, Op.cit, h. 30
36
D. P. Sati Alimin (ed), Capita Selecta Jilid 2, (Jakarta: Pustaka Pendis, 1957). Cet. 1
35
50
Tetapi yang perlu digaris bawahi adalah “tidaklah kita melepaskan Islam dan
seperangkat ajarannya ketika berpolitik”. Maka inilah yang disebut dengan
”politik Islam.”
Peranan dan pengalaman Mohammd Natsir dalam berpolitik, secara
garis besar adalah sebagai berikut:
1. Mohammad Natsir mulai belajar berpolitik dari KH. Agus Salaim.37
2. Tahun 1938, Mohammad Natsir mulai aktif sebagai anggota Persatuan Islam
Indonesia (PII) cabang Bandung. Dan tahun 1940-1942 menjabat sebagai
ketua PII.38
3. Tahun 1945-1946 sebagai anggota Bdan Pekerja KNIP39
4. Tahun 1946-1949 Menjabat menteri penerangan RI40
5. Tahun 1949-1958 menjabat ketua umum partai Masjumi, Ketua Fraksi
Masjumi dalam DPR-RIS pada waktu itu mengajukan mosi untuk kembali ke
Negara Kesatuan R.I yang kemudian dikenal dengan Mosi Integral Natsir
dkk. Yang diterima secara aklamasi oleh DPR-RIS.41
6. Tahun 1950-1951 Perdana Menteri RI42
7. Tahun 1950-1958 Anggota Parlemen RI43
8. Tahun 1956-1958 Anggota Konstituante RI44
9. Tahun 1958-1960 Anggota PRRI45
10. Tahun 1980 M. Natsir bersama 50 tokoh masyarakat menandatangani
pernyataan keprihatinan yang dikenal dengan petisi 50 yaitu mengkritik dua
pidato presiden Suharto tentang Pancasila. Petisi 50 ini menyebabkan M.
Natsir dan kawan-kawannya yang menandatangani Petisi tersebut dicekal
hak-hak sipilnya.46
37
Herry Mohammad, Op.cit., h. 48
Abudin Nata, Op.cit., h. 77
39
Lukman Hakiem (ed.), Op.cit., h. 149
40
Ibid.
41
Ibid.
42
Ibid., h. 150
43
Ibid.
44
Ibid.
45
Ibid.
46
Ibid.
38
51
e. Peranannya di dalam organisasi Islam Internasional
Peranan Mohammad Natsir dalam dakwah dan Perjuangan Islam tidak
hanya sebatas di Indonesia, tetapi juga dikancah Internasional. Berikut ini
pengalaman dan peranannnya di Dunia Islam Internasional:
1. Pada Tahun 1956 ia bersama Syaikh Maulana Abul A‟la al-Maududi (Lahore)
dan Abu Hasan al-Nadwi memimpin sidang Muktamar Alam Islamy di
Damaskus. Selain itu ia juga pernah menjadi wakil presiden Kongres Islam
sedunia yang berpusat di Pakistan.47
2. Tahun 1968 sebagai anggota Muslim World League (Rabithah Alam Islamy)
yang berpusat di Mekah.48
3. Tahun 1976 sebagai anggota A‟la Al-Alamy lil Masjid (Dewan Masjid
Sedunia) bermarkas di Mekah49
4. Tahun 1980 menerima penghargaan dibidang pengkhidmatan kepada Islam
dari “King Feisal Foundation”, Riyadh.50
B. Konsep Pemikiran Pendidikan Islam Mohammad Natsir
Konsep adalah “gambaran mental dari objek, proses, atau apa yang ada
diluar
bahasa,
dan
yang
memerlukan
penggunaan
akal
budi
untuk
memahaminya.”51
Berdasarkan data-data yang berhasil diperoleh penulis, setidaknya
terdapat 8 point penting mengenai gagasan Pendidikan Islam Mohammad Natsir,
yaitu Asas dari pendidikan, tujuan pendidikan, Pendidikan dan nilai-nilai agama,
pendidikan yang universal, Konsep ilmu, pentingnya bahasa asing, dan hubungan
pendidikan dengan masyarakat. berikut ini penulis menjabarkan satu persatu dari
point-point tersebut yang penulis anggap sebagai konsep Pendidikan Islam
Mohammad Natsir.
47
Abudin Nata, Op.cit., h. 78
Lukman Hakiem, Loc.it.,
49
Ibid.
50
Ibid.
51
Hasanudin, dkk., Ensiklopedia Kebahasaan Indonesia, Jilid II (Bandung: Angkasa,
2009), cet. 1, h. 628
48
52
1. Tauhid Sebagai Asas Pendidikan
Sebagaimana kita ketahui, umat Islam telah sepakat bahwa asas atau
sumber dasar dari Pendidikan Islam adalah Tauhid. Jika Tauhid tidak dijadikan
landasan atau dikesampingkan peranannya dari Pendidikan umat Islam, maka
Pendidikan tersebut tidak lagi disebut pendidikan Islam dan jika hal itu terjadi
maka Pendidikan tidak lagi mendidik umat Islam sebagaimana yang dicita-citakan
dalam Islam, yakni menjadikan hamba Allah swt.
Di sinilah maka Mohammad Natsir sangat menekankan tentang
pentingnya Tauhid sebagai dasar Pendidikan dalam Islam. Ia menyatakan:
“Ajaran Tauhid manifestasinya adalah pembentukan kepribadian dan sasaran serta
tujuan dari pendidikan itu sendiri, memberikan didikan Tauhid kepada anak
haruslah sedini mungkin, selagi masih muda dan mudah dibentuk, sebelum rebung
menjadi betung, dan sebelum kedahuluan oleh faham atau ideologi lain.”52
Mohammad Natsir juga menyatakan bahwa meninggalkan Tauhid
sebagai asas pendidikan berarti suatu pengkhianatan yang besar terhadap anakanak yang kita didik. Sebagaimana pernyataan beliau berikut ini:
Mengenal Allah, mentauhidkan Allah, mempercayai dan menyerahkan
diri kepada Allah, tak dapat tidak harus menjadi dasar bagi tiap pendidikan
yang hendak diberikan kepada generasi yang kita latih. Meninggalkan dasar
ini merupakan suatu kelalaian yang amat besar, yang tidak kurang besar
bahaya daripada berkhianat terhadap anak-anak yang kita didik walaupun
sudah kita sempurnakan makan dan minumnya, serta sudah kita lengakpkan
pula ilmu pengetahuan untuk bekal hidupnya. Semua ini tidak ada artinya
tanpa Tauhid.53
Lebih lanjut beliau pun menyatakan:
Hubungan dengan manusia dan sesama machluk dapat diadakan kapan
sadja waktunja. Akan tetapi hubungan dengan ilahi tidaklah boleh dinantinantikan setelahnja besar atau berumur landjut. Malapetaka dan kehinaanlah
jang akan menimpa mereka, dimana sadja mereka berada, ketjuali apabila
mereka mempunjai hubungan dengan Allah dan pertalian sesama manusia.54
52
Anwar Harjini (ed.), Pemikiran dan Perjuangan M. Natsir, (Jakarta: Pustaka Firdaus,
2011), cet. 2, h. 152
53
Ibdi, h. 196
54
D.P. Sati Alimin (ed.), Op.cit., h. 143
53
Dalam hal pentingnya tauhid sebagai dasar pendidikan, Mohammad
Natsir mengambil salah satu contoh pada seorang profesor fisika bernama Paul
Ehrenfest yang membunuh anak kesayangannya dan iapun mati bunuh diri. dalam
menjelaskan maksud pemikiran M. Natsir ini, Abudin Nata menggambarkan“Paul
Ehrenfest seorang Profesor yang sudah berada pada tingkat keilmuan yang
mumpuni dan benar-benar menguasai bidang-bidang sains, berbagai hasil
penemuan-penemuan rahasia alam menjadi
rujukan dalam dunia ilmu
pengetahuan. Disamping itu pekerjaannya sehari-hari tak pernah tercela.
Pergaulannya pun dengan orang-orang baik, bahkan iapun seorang yang ramah.55”
Namun ia adalah seorang Atheis, tidak mengenal Tuhan, sehingga walaupun ia
sudah menguasai Ilmu Pengetahuan yang sangat tinggi, Jiwanya tetap merasa
kosong dan selalu merasa ada sesuatu yang kurang, yakni tidak adanya tempat
atau pegangan untuk menggantungkan perasaan pergolakan nuraninya kepada
sesuatu yang absolut dan mutlak adanya bila datang suatu panca roba yang
menerpanya. Ia tidak menemukan hal ini dalam sejumlah teori-teorinya.
Dalam surat yang ditinggalkan Paul Ehrenfest, yakni agama itu perlu,
barang siapa yang tidak memiliki agama, ia munkin binasa karena itu. suratnya
itu kemudian ditutup dengan do‟a yang sangat mengharukan sahabat-sahabatnya.
“Mudah-mudahan Tuhan akan menolong kamu, yang amat aku lukai sekarang
ini.”56
Dalam kumpulan tulisannya Capita Selecta, Mohammad Natsir
menyimpulkan dengan kata-kata sebagai berikut:
“Demikianlah gambaran batin seseorang jang pada lahirnja boleh
dinamakan “atheist.” Seseorang jang pada hakikatnja amat rindu untuk
mempunjai Tuhan, tetapi tidak diperdapatnja dalam hidupnja. Seolah-olah
dengan membunuh diri itu ia hendak mentjahari Tuhan diseberang kubur,
Jakni diachirat dan supaja ia terlepas dari tekanan ruhani jang dirasanja amat
berat menghimpitnja didunia ini.57
55
Abudin Nata, Op.cit., h. 85
Ibid, h. 86
57
D.P. Sati Alimin (ed.), Capita Jilid 1,Op.cit. h. 142
56
54
2. Tujuan Pendidikan Islam
Menurut Mohammad Natsir, tujuan akhir atau tujuan utama pendidikan
selaras dengan tujuan diciptakannya manusia, yakni sebagai hamba Allah.
sebagaimana dalam surat Ad-Dzariyat ayat 56:
      
Dan aku tidak menciptakan jin dan manusia melainkan supaya mereka
mengabdi kepada-Ku. (Adzariyat: 56)
Berikut ini pernyataan Mohammad Natsir dalam buku Capita Selecta
Jilid I. “Apakah tudjuan jang akan ditudju oleh didikan kita? Sebenarnya tidak
pula dapat didjawab sebelum mendjawab pertanjaan jang lebih tinggi lagi, jaitu:
Apakah tudjuan hidup kita didunia ini? Kedua pertanjaan ini tidak dapat
dipisahkan, keduanja sama (identiek), Tudjuan didikan ialah tudjuan hidup.”58
Dan hamba Allah sebagaimana dalam surat Ad-Dzariyat ayat 56 diatas
adalah: “orang jang ditinggikan Allah deradjatnja, sebagai pemimpin untuk
manusia. Mereka menurut perintah Allah, dan berbuat baik kepada sesama
machluk, lagi menunaikan ibadah terhadap Tuhanja.”59
Dari pernyataan Mohammad Natsir diatas, jadi jelas sekali, bahwa
tujuan dari pendidikan Islam menurut beliau adalah tujuan manusia hidup didunia.
Dan tujuan manusia hidup didunia intinya tidak lain hanyalah menjadi hamba
Allah. Sebagaimana yang tertera dalam surat Ad-Dzariyat ayat 56: Dan aku tidak
menciptakan jin dan manusia melainkan supaya mereka mengabdi kepada-Ku.
3. Pendidikan dan nilai-nilai agama
Dalam catatannya yang sudah dibukukan dalam buku “Capita Selecta”
Mohammad Natsir menyatakan: “Peliharalah dirimu dan ahlimu dari api neraka,
demikian lagi peringatan Tuhan dalam kitab Sutjinya. Surat at-Tahrim ajat 6,
kepada kita, jang maksudnja ialah: harus kita berikan kepada anak dan isteri kita
didikan yang akan memeliharanja dari kesesatan dan memberikan keselamatan di
Dunia dan di Achirat”60
58
Ibdi, h. 83
D.P. Sati Alimin. Loc.it
60
Ibid, h. 81
59
55
Pandangan Mohammad Natsir dalam pendidikan dan nilai agama ini
sama dengan pandangan M. Quraish Shihab. Dalam bukunya Quraish Shihab
menyebutkan: “kurikulum dan niali agama harus seperti baju yang kita pakai,
yakni sesuai dalam ukuran dan modelnya dengan diri, slera, dan kebutuhan kita.
Ia tidak boleh kita pinjam dari orang lain, karena betapapun indahnya terlihat, atau
batapapun ukurannya boleh jadi secara umum sama, namun jika tidak dibuat
sesuai selera dan kebutuhan riil kita, maka ia tidak akan nyaman dipakai.61
Dari penjelasan diatas artinya adalah: bahwa pendidikan yang harus kita
berikan kepada anak-anak dan istri kita adalah pendidikan yang sesuai dengan
kebutuhan kita sebagai muslim yaitu pendidikan yang dapat memelihara dari
kesesatan supaya selamat hidup di Dunia dan di Akhirat.
Mengenai Pendidikan dan nilai-nilai agama ini, Mohammad Natsir
bersama kawan-kawannya di KNIP (Komita Nasional Indonesia Pusat) telah
mengusulkan tiga hal dalam undang-undang pendidikan. Tiga hal yang diusulkan
tersebut sebagai mana penulis kutif dari Jurnal “Islamia” ialah: “Pertama,
kepengurusan
sekolah-sekolah
agama
diberikan
secara
khusus
kepada
Departemen Agama, terpisah dari Departemen Pendidikan, kedua, memisahkan
sekolah laki-laki dan Perempuan dalam sekolah-sekolah agama (madrasah), dan
Ketiga, mengajarkan sekolah-sekolah agama dalam sekolah-sekolah umum.”62
Hasilnya sebagaimana ditulis dalam Jurnal Islamia, “Usul pertama
diterima dengan baik oleh mayoritas anggota KNIP, usul kedua sekalipun
mendapat dukungan, namun akhirnya pihak pengusul menoleransi. Sementara
usul ketiga mendapat tantangan cukup sengit dari pemimpin sekuler dan Kristen.
Pembahasan mengenai usul ketiga ini terus berlarut-larut dan baru disetujui pada
tahun 1954.”63
Dari pernyataan-pernyataan dan apa yang diperjuangkan Mohammad
Natsir baik di masyarakat maupun di pemerintahan, kita bisa memahami, bahwa
menurut Mohammad Natsir pendidikan dan Nilai-niali Agama tidak boleh
61
Shihab, M. Quraish, Membumikan al-Qur’an jilid 2, (Jakarta: Lentera Hati, 2011) cet. 1,
h. 284
62
Tiar Anwar Bachtiar, Op.cit, h. 85
Ibid, h. 85-86
63
56
dilepaskan. Pendidikan seharusnya dibalut dengan nilai-nilai agama sehingga
tujuan utama dalam pendidikan sebagai hamba Allah dapat terlaksana.
4. Pendidikan yang Universal
Universal artinya”bersikap umum, mencakup secara keseluruhan.64
Pendidikan yang Universal dalam konsep Mohmmad Natsir yakni Pendidikan
secara menyeluruh mencakup berbagai jenis disiplin Ilmu, baik ilmu-ilmu yang
bercorak keagamaan maupun ilmu pengetahuan yang berciri khas Sains dan
Tekhnologi, dan tanpa ada diskriminasi terhadap jenis ilmu dan pendidikan.
Berikut ini penulis paparkan pendapat beliau mengenai pentingnya Pendidikan
yang universal dalam berbangsa dan bernegara.
Konsep Mohammad Natsir tentang Pendidikan yang universal berawal
dari pandangannya yang Integral terhadap kehidupan, bahwa antara kehidupan
dunia dan akhirat tidak boleh dipisahkan, kedua-duanya saling berkaitan.
Sebagaimana Abudin Nata menyatakan: “Pandangan Natsir tentang Islam yang
Integral
antara
Dunia
dan
Akhirat
tersebut
selanjutnya
memengaruhi
pandangannya tentang integrasi pendidikan agama dan pendidikan umum yang
selanjutnya mengarah pada penghapusan dikotomi antara keduanya.”65
Dalam catatannya Natsir menyatakan:
Ialah bahwa kemunduran dan kemadjuan itu, tidak bergantung kepada
ketimuran dan kebaratan, tidak bergantung kepada putih, kuning atau hitamnja
warna kulit, tetapi bergantung kepada ada atau tidaknja sifat-sifat dan bibit-bibit
kesanggupan dalam salah satu umat, jang mendjadikan mereka lajak atau tidaknja
menduduki tempat jang mulia diatas dunia ini.66
Lebih lanjut beliau menyatakan:
Apakah jang sematjam itu sematjam didikan ke-“barat‟-an atau ke“timur”-an namanja, tidak menjadi soal. Timur kepunjaan Allah, Baratpun
kepunjaan Allah Djua. Sebagai machluk jang bersifat “hadits” (baharu) kedua-
64
Pius A partanto dan M. Dahlan al-Barry, Kamus Ilmiah Populer, (Surabaya: Arkaloka,
1994), h. 768
65
Abudin Nata, Op.cit, h. 88
66
D.P. Sati Alimin (ed.), Capita Jilid 1,Op.cit. h. 78
57
duanja, Barat dan timur mempunjai hal yang kurang baik dan jang baik,
mengandung beberapa kelebihan dan beberapa keburukan.67
Untuk para pendidik Islam beliau menyatakan: “Seorang pendidik
Islam tidak usah memperdalam-dalam dan memperbesar-besarkan antagonisme
(pertentangan) antara Barat dengan timur itu. Islam hanja mengenal antagonisme
antara hak dan batil. Semua jang hak akan ia terima, biarpun datangnnja dari
“Barat”, semua jang batil akan ia singkirkan, walaupun datangnja dari “Timur”.68
Dari
beberapa
pernyataan-pernyataan
diatas,
maka
dapatlah
disimpulkan bahwa dalam Pendidikan khususnya Pendidikan dalam Islam
seyogyanya tidak membeda-bedakan ini pendidikan timur atau barat, ini
pendidikan agama atau umum, tetapi pendidikan dalam Islam hendaknya
merupakan suatu pendidikan yang mencakup secara keseluruhan darimanapun
asalnya selama tidak bertentangan dengan syari‟at Islam. Dalam Islam hanya ada
dua pilihan yaitu batil dan haq. tinggalkan yang batil walaupun itu dari timur, dan
ambil yang haq walaupun itu dari barat.
Pemikiran Natsir dalam hal ini sesuai dengan surat al-Ghasiyah ayat 17
– 20. Yaitu:
    
      
         
(17) Maka tidakkah mereka memperhatikan unta, bagaimana diciptakan.
(18) Dan langit bagaimana ditinggikan? (19) Dan gunung-gunung
bagaimana ditegakkan? (20) Dan bumi bagaimana dihamparkan.(Qs. AlGhasiyah: 17 – 20)
Maksud dari ayat diatas, sebagaimana disebutkan dalam kitab tafsir
“Al-Qur‟an dan Tafsirnya” disebutkan: “Allah menyuruh mereka memperlihatkan
tanda-tanda kebesaran dan kekuasaannya yang ada di Langit dan di Bumi seperti
meneliti keadaan unta, binatang peliharaan mereka dan lain-lain. Demikian pula
67
Ibid, h. 84
Ibid, h. 84-85
68
58
mereka disuruh memperhatikan gunung-gunung yang dapat dijadikan petunjuk
dalam melakukan perjalanan.69
Dari tafsir ayat diatas, bisa dipahami dan disimpulkan bahwa
pendidikan Islam itu mencakup segala aspek bidang kehidupan, yaitu sesuatu
yang bermanfaat dalam membantu kehidupan ummat manusia untuk beribadah
dan menambah keyakinan akan keesaan dan kekuasaan Allah Swt. Jadi inilah
makna dari pendidikan universal menurut Mohammad Natsir.
5. Konsep Ilmu dan orang berilmu dalam pendidikan
Mengenai konsep Ilmu, Mohammad Natsir mengutif surat Al-
            
“Sesungguhnya diantara hamba-hamba Allah yang takut kepada-Nya,
hanyalah para ulama, sungguh Allah maha bijaksana, maha
pengampun. (Qs. Fathir: 28)
Menurut Mohammad Natsir, “Ayat ini menjelaskan bahwa Ilmu, ialah
satu sjarat jang terpenting untuk mendjadi hamba Allah yang sebenar-benarnya.
Hamba Allah ialah orang jang ditinggikan Allah deradjatnja, sebagai pemimpin
untuk manusia. Mereka menurut perintah Allah, dan berbuat baik kepada sesama
machluk, lagi menunaikan ibadah kepad Tuhannja.”70
Selanjutnya beliau menyatakan: “Agama Islam mewadjibkan tiap-tiap
pemeluknja, lelaki dan perempuan menuntut ilmu dan menghormati mereka jang
mempunjai ilmu.”71
Dari pernyataan-pernyataan diatas, maka bisa disimpulkan, bahwa
Pandangan Mohammad Natsir tentang Ilmu adalah bahwa Ilmu merupakan suatu
pokok utama untuk menjadi hamba Allah sehingga semestinya orang yang
berilmu (hamba Allah) tersebut haruslah dihormati karena dengan Ilmunya ia
menjadi seorang yang bertakwa kepada Allah dan menjadi pemimpin, panutan,
dan pencerah untuk masyarakat, orang tidak mungkin menjadi hamba Allah dalam
69
Dahlan, Zaini, dkk. “Al-Qur’an dan Tafsirnya (Yogyakarta: UII, 1995), cet. 1 h. 687
D.P. Sati Alimin (ed.), Capita Jilid 1,Op.cit. h. 82-83
71
Ibid, h. 147
70
59
hal yang diharapkan oleh Islam tanpa berilmu, maka dengan demikian menuntut
Ilmu dalam Islam adalah suatu kewajiban bagi laki-laki ataupun perempuan.
6. Penguasaan Bahasa Asing
Menurut Mohammad Natsir, bahasa Asing sangat penting untuk
dikuasai oleh suatu bangsa, namun demikian jangan pula memandang remeh
bahasa sendiri, karena bahasa sendiri merupakan tulang punggung kultur suatu
bangsa. Artinya kita mengetahui bahasa luar tapi kita juga harus lebih mengetahui
bahasa ibunya sendiri.
Berikut ini penulis paparkan pernyataan Mohammad Natsir mengenai
pentingnya penguasaan bahasa asing, Yaitu:
Kemadjuan berfikir, bergantung sangat kepada keluasan medan jang
mungkin dikuasai oleh bahasa jang dipakai. Dan apabila satu bahasa seperti
bahasa Indonesia masih berada pada tingkat seperti sekarang, dan belum
pula tjukup kekajaannja untuk mengutarakan bermatjam-matjam pengertian
jang ma‟nawi, maka bahasa itu sendiri akan mendjadi kurungan jang
membatasi ruang gerak kita dalam menudju ketjerdasan umum yang lebih
luas.72
Selanjutnya beliau menambahkan:
Bagi kita untuk perhubungan kebudajaan ini, amat perlulah bahasa jang
amat lengkap dan lebih luas daerahnja dari daerah bahasa kita sendiri. Oleh
karena itu “disamping bahasa-ibu kita” sendiri, adalah bahasa “asing” jang
lebih luas dan lebih kaja, jang dapat memperhubungkan kita dengan negeri
luar, mendjadi satu rukun jang tak boleh tidak bagi kemadjuan dan
ketjerdasan kita.73
Dari pernyataan-pernyataan diatas, kita bisa memahami bahwa
Mohammad Natsir memandang perlu penguasaan bahasa asing untuk kemajuan
suatu bangsa. Karena dengan bahasa asing kita akan mampu memperhubungkan
diri dengan bangsa lain dan disitu kita bisa mengambil pelajaran dari apa yang
tidak ada di dalam bangsa kita.
Di indonesia, bahasa Asing yang dominan adalah Bahasa Arab, Belanda
dan bahasa Inggris. Dari ketiga bahasa tersebut, dalam masa-masa sekarang (akhir
abada ke 20 dan awal abad ke 21) bahasa Belanda menjadi kurang peminat
72
Ibid, h. 131
Ibid, h. 132
73
60
maupun peranannya dalam masyarakat. Sementara bahasa Arab dan Inggris masih
banyak ditemui dihampir semua lapisan masyarakat.
Sebelum bahasa Belanda menjadi bahasa pembawa ketjerdasan itu,
sudah terlebih dulu bahasa Arab mendjadi satu-satunja pembuluh kebudjajaan
bagi kita anak Indonesia74
Khusus untuk bahasa Arab memang suatu hal yang penting sekali
peranannya dalam Pendidikan Islam, karena bahasa Arab sejak awal-awal
perkembangannya merupakan bahasa persatuan bagi kaum Muslimin, bahasa
Arab adalah bahasa Al-Qur‟an. Maka akan sulitlah bagi kaum Muslimin jika
bahasa Arab ini ditinggalkan. Dengan demikian Muhammad Natsir menegaskan
bahwa:
“Besar kerugian dan kerusakan jang menimpa kita apabila bahasa ini
(Arab) kita abaikan dan kita kesampingkan.75
Mengenai besarnya jasa bahasa Arab dalam mencerdaskan bangsa
Indonesia, Muhammad Natsir menyatakan sebabagai berikut:
Melihatlah disekeliling tuan, perhatikanlah ketjerdasan bangsa kita
sekarang ini! Selidikilah, djangan di-kota jang besar-besar sadja akan tetapi
masuklah kekampung dan desa-desa, disitu tuan akan mendapat gambaran,
bagaimana besar djasanja bahasa Arab ini bagi ketjerdasan bangsa kita.
Belum ditilik lagi dari djurusan keagamaan, akan tetapi baru dari jurusan
ketjerdasan umum.76
Lebih lanjut beliau menyatakan: “Bahasa inilah jang telah masuk
kedalam lingkungan bangsa dan dunia anak Indonesia jang telah menimbulkan
sumber ketjerdasan jang bertebaran dikepulauan kita ini.”77
Dari beberapa keterangan dan pernyataan diatas, dapalah disimpulkan
bahwa penguasaan terhadap bahasa asing dalam pendidikan, khususnya
pendidikan Islam adalah merupakan suatu kepentingan yang tidak bisa ditawar
lagi, mutlak keharusannya. Dan hal itu telah terbukti, bahwa meleknya bangsa
74
Ibid, h. 132
Ibid, h. 135
76
Ibid, h. 133
77
Ibid, h. 134
75
61
Indonesia karena banyaknya orang-orang dari bangsa indonesia ini yang
menguasai bahasa asing, khususnya bahasa Arab.
Mengenai bahasa Arab, sebenarnya bisa dilihat dari dua sisi, jika dilihat
dari kecemata agama (Islam), bahasa arab bukanlah suatu bahasa asing dan tidak
boleh dijadikan bahasa asing, karena kita menjalankan ritual agama kita tentu
harus dengan bahasa Arab yang sudah diajarkan oleh Nabi Muhammad Saw. tapi
jika dilihat dari segi kebangsaan, barulah bahasa Arab merupakan bahasa asing.
7. Kebebasan Berpikir Sebagai Tradisi Ilmu
Menurut pemikiran Mohammad Natsir, salah satu konsep dalam
Pendidikan Islam adalah adanya kebebasan berpikir. Pemikiran beliau ini berawal
dari ajaran Islam yang beliau pahami bahwa agama Islam menghormati akal.
Sebagaimana pernyataannya dalam buku “Capita Selecta jilid I” berikut ini:
“Nabi Muhammad meletakan akal pada tempat jang terhormat dan mendjadikan
aka itu sebagai salah satu alat untuk mengetahui Tuhan.78
Selanjutnya beliau menyatakan:
Islam amat mentjela landasan orang-orang jang tak mempergunakan
akalnja, orang-orang jang terikat fikirannja dengan kepertjajaan dan pahampaham jang tak berdasar kepada landasan jang benar, jaitu mereka jang tak
mau memeriksa apakah kepertjajaan dan paham-paham jang disuruh orang
terima atau dianut mereka itu, benar, dan adakah berdasar kepada
kebenaran atau tidak.79
Lebih lanjut beliau menyatakan:
Akal merdeka bisa memperkuat dan memperteguh iman kita,
menambah chusju‟ dan tawadhu‟ kita terhadap kebesaran ilahi serta
membantu kita mentjahari rahasia-rahasia firman Tuhan, menolong kita
memahamkan hikmah-hikmah suruhan dan adjaran agama, mempertinggi
dan memperhalus perasaan keagamaan kita.80
Dari Pernyataan Mohammad Natsir diatas, dipat kita pahami, bahwa
beliau sangat menekankan kepada umat Islam agar mempergunakan sebaikbaiknya akal pikiran yang telah Allah anugerahkan kepada manusia untuk
memajukan bangsa indonesia dan umat Islam. Dan sepertinya beliau sangat
prihatin dengan kepercayaan-kepercayaan yang berkembang di masyarakat yang
78
Ibid, h. 238
Ibid, h. 239
80
Ibid, h. 242
79
62
tak berdasar kepada landasan yang benar dan tidak pula membawa manfaatnya
untuk kemajuan bangsa yang baru merdeka dari penjajahan bangsa asing beratusratus tahun. Mohammad Natsir menganggap kepercayaan-kepercayaan seperti
itulah sebagai sumber kemunduruan bangsa, itulah yang menyebabkan bangsa
indonesia Jumud dan beku.
Berikut ini pernyataan Mohammad Natsir akan kprihatinannya terhadap
orang yang tidak mau menggunakan akalnya, yaitu: “adapun jang dinamakan
orang djumud atau beku itu, ialah merekajang tidak suka mempergunakan
kemerdekaan mengatur keduniaan jang telah diizinkan oleh Islam itu.”81
Namun disisi lain kita sering juga melihat orang yang kelihatan
mempergunakan akalnya justru malah merusak agamanya sendiri, bahkan tak
sedikit yang keluar dari kepercayaan agamanya menjadi atheis. Bagaimana
dengan hal ini?
Berikut ini penulis kemukakan pernyataan-pernyataan cemerlang
Mohammad Natsir untuk menjawab pertanyaan diatas. Namun sebelum penulis
memaparkan pernyataan Mohammad Natsir, terlebih dahulu penulis menggaris
bawahi tentang agama. Agama yang dimaksud adalah agama Islam. Karena jika
agama yang dimaksud diluar Islam, maka itu akan lain jawabannya dan bukan
disini penulis menjelaskannya. Mari kita perhatikan pernyataan-pernyataan
Mohammad Natsir berikut ini:
1. Tapi dalam pada itu akal merdeka pandai pula membongkar tiang-tiang
agama itu melemparkan hudud dan melangkahi batas, djadi bukan sadja ia
bisa memasukan udara jang sedjuk dan sepoi-sepoi basah, tetapi dapat djuga
memasukan topan-limbubu menhantjurkan apa yang ada.82
2. Agama Datang membangunkan akal dan membangkitkan akal itu serta
menggemarkan agar manusia memakai akalnja dengan sebaik-baiknja sebagai
suatu ni‟mat ilahi jang maha indah.83
3. Islam datang, bukan melepaskan akal sebagai kita melepaskan kuda ditengah
padang, untuk meradjalela disemua lapangan.84
81
Ibid., h. 248
Ibid., h. 242
83
Ibid.
82
63
4. Dalam beberapa hal Islam bertindak sebagai suplement dari akal,
menjambung kekuatan akal dimana siakal tak dapat mentjapai lebih tinggi
lagi. Seseorang jang mendakwakan bahwa “akal” itu bisa mentjapai semua
kebenaran, pada hakikatnja, bukanlah sebenar-benarnja orang jang telah
mempergunakan akalnja dan bukanlah seseorang jang akalnja merdeka dari
hawa-nafsu tjongkak dan tekebur, tetapi jang terikat oleh salah satu matjam
taklidisme modern jang bernama “rasionalism”!.85
5. Siapakah jang tidak mengakui bahwa Immanuel Kant itu seorang ahli fikir
jang beser? Akan tetapi Immanuel Kant jang besar itulah, jang telah
membantah paham orang jang mengatakan bahwa semua boleh dipulangkan
kepada akal merdeka, boleh diputuskan menurut kemauan “rein Vernunft?”86
6. Prof. Farid Wadjdi, salah seorang pengandjur akal merdeka diabad kita
sekarang, apakah ia “merasionilkan” semua aturan-aturan Islam? Tidak!
dalam beberapa tulisannja a.I. dalam “Al-Islamu Dienun „Aam wa Chalid”
ditjontohkannja bagaimana kita harus mempergunakan akal kita supaja si akal
djangan tekebur menganggap semua jang dinamakan perasaan keagamaan itu
adalah sentimen jang rendah. Didjelaskanja supaya si akal mengakui akan
kekuatan perasaan-keagamaan itu dan kepentingannja, untuk djadi rem bagi
tabiat kedjahatan dari manusia, tabiat jang tak dapat direm dan dikekang
dengan ratio dan akal semata-mata. Diuraikannja bagaimana Agama Islam
telah memperhubungkan akal dengan perasaan-keagamaan dalam satu
kombinasi jang harmonis, jang satu menghargai jang lain pada tempatnja
masing-masing.87
Dari beberapa pernyataan Mohammad Natsir diatas, dapatlah kita
mengambil kesimpulan, bahwa kita umat Islam sangat dianjurkan untuk
memperguanakan akal kita demi kesejahteraan hidup dan berkembangnya
peradaban yang maju, dan pada akhirnya akan menguntungkan ummat Islam
sendiri, baik dibidang pendidikan dan dakwah Islam maupun dibidang lainnya,
84
Ibid.
Ibid, h. 243
86
Ibid, h. 243-244
87
Ibid, h. 245-246
85
64
dan itu semua akan menjadi ladang ibadah buat kita. Namun disisi lain jangan
pula kita memaksakan akal kepada sesuatu yang mustahil bisa dicapai dengan
akal, karena jika kita memaksakan akal untuk mencapai sesuatu yang tidak
mungkin dicapai oleh akal, itu pada hakikatnya sama dengan tidak
mempergunakan akal. Jadi intinya kita bersikaplah secara wajar (Pertengahan)
dan dalam batas-batas tertentu dalam mempergunakan akal. Batas tetentu tersebut
ada dalam agama (Islam).
Bagi orang-orang yang bersikap ekstrim yakni orang yang memegang
kuat paham “rasionalism” dan orang yang “Jumud”, Mohammad Natsir
mengomentari sebagai berikut: “Jang perlu, bukan sadja berseru kepada kaum
kita: “Djangan engkau terima sesuatu jang engkau tak mempunjai ilmu tentang
itu!”, akan tetapi kepada pihak jang satu lagi harus kita berseru djuga:
“Djanganlah saudara menolak sesuatu urusan jang saudara belum selidiki apa
jang saudar hendak tolak itu!”
8. Hubungan Pendidikan dan Masyarakat
Hubungan Pendidikan dan masyarakat menurut Mohammad Natsir
haruslah bisa berhubungan dengan baik dan tentunya harus mempunyai garisgaris besar yang sama sehingga masyarakat pada umumnya merasakan
keperluannya terpenuhi, yakni keperluan masyarakat yang akan menyambut
murid-murid yang telah mereka kirim ke lembaga pendidikan untuk membina atau
memimpin wilayahnya.
Berikut ini pernyataan-pernyataan Mohammad Natsir:
Kalau ada satu pekerdjaan jang amat bersangkut paut, berdjalin
berkelindan dengan masjarakat hidup, maka pekerdjaan dalam perguruan
dan pendidikan salah satu dari padnja, jang terutama. Sia-sialah perguruan
apabila putus perhubungan antara sifat didikan jang diberi dengan kehendak
dan keperluan masjarakat jang akan menjambut murid-murid jang telah
dapat didikan itu kelanja. 88
Lebih lanjut beliau menyatakan: “Masyarakat kita telah mempunjai
garis-garis besar jang tertentu dalam kehendak dan keperluanja kepada pendidikan
kandidat-kandidat anggtoa masjarakat itu, sebab itu perguruan-perguruan kita
88
Ibid, h. 105
65
harus pula mempunjai garis dan rentjana tertentu pula dalam ragam ilmu dan
tehnik peladjaranja”.89
Pandangan Mohammad Natsir dalam hal ini sama dengan pandangan
Syed M. Naquib Al-Latas, sebagaiman dikemukakan oleh Wan mohd nor wan
daud berikut ini:masyarakat terdiri dari individu, melahirkan seseorang akan
melahirkan masyarakat yang baik. Pendidikan adalah struktur masyarakat.90
Dari pernyataan di atas, dapatlah dipahami, bahwa pendidikan itu
haruslah bertolak ukur dari sejauh mana kebutuhan masyarakat setempat, karena
pendidikan adalah bagian dari pada masyarakat. Masyarakat bisa mengambil
banyak manfaat dari pendidikan tersebut, dan sebaliknya pendidikan pun akan
berkembang karena adanya dukungan dari masyarakat, jadi sama-sama saling
menguntungkan dan saling membutuhkan.
B. Kerakteristik Konsep Pendidikan Islam Modern Menurut
Pemikiran Mohammad Natsir
Mohammad Natsir secara maksimal telah berupaya menyampaikan ideide pemikirannya dalam membangun kesadaran ummat Islam, khususnya ummat
Islam di Indonesia. Dilihat dari sejarah perjalanan hidupnya, maka jelas sekali,
Mohammad Natsir telah mengabdikan hampir seluruh hidupnya untuk
kepentingan perjuangan dakwah Islam. Sebelum Indonesia merdeka, Mohammad
Natsir aktif sebagai seorang pendidik sekaligus aktivis dalam berbagai pergerakan
perjuangan kemerdekaan bangsa Indonesia. Setelah merdeka, Mohammad Natsir
aktif di bidang politik. Ia berusaha berdakwah dan menanamkan ide-ide ajaran
syari‟at Islam di pemerintahan. Setelah beliau tidak bisa lagi berpolitik,
Mohammad Natsir berdakwah di masyarakat secara luas dan mampu
menyadarkan banyak masyarakat Indonesia baik dari segi sosial maupun spiritual.
Salah satu bidang dakwah Mohammad Natsir adalah bidang
pendidikan. Dalam bidang pendidikan ini nampaknya Mohammad Natsir
mempunyai teori yang utuh, yakni berbagai konsep dan gagasan pemikiran
89
Ibid, h. 106
Wan Daud, Wan Mohd. Nor. Filsafat dan Praktek Pendidikan Islam Syed M. Naquib
Al-Latas, (Bandung: Mijan, 2003) cet. 1, h. 189
90
66
tentang pendidikan Islam modern yang mampu mengimbangi perkembangan
jaman.
Kerakteristik dari konsep pemikiran pendidikan Islam modern
Mohammad Natsir adalah Pendidikan berdasarkan konsep ketuhanan namun
bersifat universal. artinya pendidikan yang tetap berpijak pada ajaran Islam secara
utuh namun mampu menempatkan diri dalam tatanan dunia modern global dalam
rangka menjawab sekularisasi ilmu pengetahuan dan pendidikan yang semakin
mejauhkan kehidupan umat manusia dari agama.
Konsep pendidikan modern yang berdasarkan pada ketuhanan dalam
pemikiran Mohammad Natsir ini ditinjau dari isi teorinya bisa dipahami bahwa ini
merupakan suatu reformasi pemikiran pendidikan Islam, khususnya khususnya di
bidang kurikulum dan metode pendidikan. Pendidikan modern berdasarkan
ketuhanan ini maksudnya yaitu pendidikan berlandaskan keimanan kepada Allah
swt.
Hal ini sejalan dengan pendapat Muhammad „Athiyah al-Abrasy,
sebagaimana telah dikutif oleh abdurrahman Assegaf al-Abrasy menyatakan:
“Iman sebagai landasan utama dalam Pendidikan Islam, iman adalah perasaan
pesikologis manusia terhadap sang penciptanya dan yang menciptakan Islam.
Berpegang teguh pada iman kepada Allah, keesaan-Nya, kekuasaan-Nya, dan
keagungan-Nya merupakan landasan Islam dan merupakan rahasia kekuatan
Islam”.91
Kurikulum pendidikan Islam menurut Mohammad Natsir harus bersifat
menyeluruh dalam bidang-bidang disiplin ilmunya. Kurikulum pendidikan Islam
tidak cukup hanya dengan mengandalkan ilmu-ilmu di bidang fiqh, aqidah, dan
akhlak saja, karena tantangan terhadap agama di dunia modern ini beragam
macamnya dan semakin kuat menggiring umat manusia kepada kehidupan yang
sekuler yang berakhir pada sikap anti Tuhan (atheis). Oleh sebab itu maka
menurut Mohammad Natsir dalam kurikulum pendidikan Islam sangat perlu
ditambahkan bidang ilmu-ilmu yang lainnya, seperti ilmu Sains dan teknologi,
91
Abd Rachman Assegaf. Aliran Pemikiran Pendidikan Islam, (Jakarta: PT. Raja
Grafindo Persada, 2013). Cet. 1, h. 199
67
ilmu kedokteran, ilmu bahasa (penguasaan bahasa asing), dan ilmu-ilmu sosial
lainnya.
Pemikiran Mohammad Natsir dalam Pendidikan Islam Modern ini
sejalan dengan pemikiran Abdurrahman an-Nahlawi. Ia menyatakan: “seluruh
alam adalah milik Allah. Atas dasar ini maka seluruh ilmu duniawi berubah
menjadi salah satu faktor pembinaan jiwa insani secara rabbani melalui
pendidikan islami yang bertopang kukuh pada dasar-dasarnya. Keterpaduan
kurikulum seperti itu tidak lagi memecah dan memisah-misah mana ilmu agama
dan mana ilmu dunia”.92
Selanjutnya an-Nahlawi berpendapat bahwa: “Mempelajari ilmu-ilmu
kealaman dimaksudkan tidak lain agar manusia memanfaatkan apa-apa yang telah
diperuntukan Allah, baik yang ada di daratan, lautan, maupun di udara, seperti
berbagai kekuatan angin, air, pertanian, dan pertambangan. Disamping itu agar
manusia bersyukur kepada Allah atas semua itu, dan menyucikan-Nya sambil
merasakan keagungan-Nya. Ilmu sosial menunjukan kepada manusia sunnahsunnah Allah, mengikatkan manusia kepada ajaran Islam, serta menyadarkan
kepada ummat Islam untuk menjadi tentara Allah, pembela agama dan RasulNya”.93
Dilihat dari banyaknya bidang ilmu yang harus masuk dalam kurikulum
pendidikan Islam, dan tidak mungkin semua orang menguasai seluruh bidangbidang ilmu tersebut, maka dalam gagasan pendidikannya ini Mohammad Natsir
menjadikan ilmu aqidah dan akhlak beserta sebagian ilmu fiqih sebagai landasan
dasar dari ilmu-ilmu yang lain. Artinya setiap orang yang berusaha memperdalam
bidang ilmu-ilmu tertentu seperti ilmu sains dan sosial sebagaimana di atas telah
disebutkan, diharuskan memahami terlebih dahulu ilmu-ilmu akhlak, aqidah, dan
sebagian ilmu fiqih, sehingga ilmu apapun yang oleh seorang muslim dipelajari,
tidak akan membawa dirinya menyimpang dari tujuan akhir pendidikan Islam,
yakni menjadi hamba Allah yang beriman. Hal ini bisa dipahami dari konsep
92
Abdurrahman An-Nahlawi, Prinsip-prinsip dan Metode Pendidikan Islam Terj. Dari
Ushulut Tarbiyatil Islamiyah wa Asalibuha. oleh Drs. Hery Noer Aly, (Bandung: CV. Dipenegoro,
1992), cet. 2, h. 275.
93
Ibid, h. 281
68
pendidikannya sebagaimana penulis telah kemukakan di atas, yaitu Tauhid
sebagai asas pendidikan dan pendidikan berdasarkan nilai agama.
Begitu pula dengan metode pendidikan, Mohammad Natsir berpendapat
bahwa metode pendidikan dalam Islam harus bersifat dinamis, yakni mengikuti
perkembangan jaman. Karena dari masa ke masa pola berpikir dan berperilaku
umat manusia selalu berubah-ubah, dan tentunya dengan syarat motode tersebut
tidak bertentangan dengan pokok dasar ajaran Islam. Hal ini bisa dipahami dari
gagasannya tentang penguasaan bahasa asing, kebebasan berpikir sebagai tradisi
ilmu, dan hubungan pendidikan dan masyarakat.
Pemikiran Mohammad Natsir sesuai pula dengan pendapat KH.
Abdullah Syukri Zarkasy, MA. Pimpinan Pondok Pesantren Modern Gontor
Ponorogo. Ia berpendapat: “Integrasi atau Perpaduan antara keilmuan umum
dengan keilmuan agama Islam ini diharapkan dapat menjembatani antara kedua
sistem tersebut. Sehingga keduanya dapat berperan saling melengkapi. Dalam hal
ini, para pendiri pondok sering mengatakan bahwa tujuan pendidikan Gontor
adalah mencetak ulama yang intlek”.94
Dalam realitas pendidikan Islam sekarang (abad ke 20 hingga awal abad
ke 21) khususnya di Indonesia banyak bermunculan pesantren dan sekolahsekolah Islam yang mengintegrasikan kurikulumnya antara ilmu pengetahuan
umum dan ilmu pengetahuan agama. Hal ini bisa dilihat dari kegiatan pendidikan
di Madrasah-Madrasah dan pondok pesantren modern seperti Pondok pesantren
Gontor, dan pondok pesantren lainnya, juga Sekolah-sekolah Islam Terpadu yang
semuanya memadukan kurikulum keilmuan berbasis agama dan kurikulum
keilmuan umum. Hal ini bisa dipastikan adalah hasil perjuangan para pakar
pendidikan seperti Mohammad Natsir dan tokoh lainnya dan diteruskan oleh para
murid-murid dan pengikutnya sampai sekarang.
94
Abdullah Syukri Zarkasyi, Gontor dan Pembaharuan Pendidikan Pesantren (Jakarta:
PT. Raja Grafindo Persada, 2005). Cet. 1, h. 112
BAB V
PENUTUP
A. Kesimpulan
Dari uraian hasil pegkajian dalam skripsi ini, dan sesuai dengan rumusan
masalah yang telah ditetapkan, maka penulis menyimpulkan bahwa:
Dari masa ke masa, pemikiran, peradaban, dan perkembangan sosial
politik umat manusia selalu berkembang dan berubah-ubah, sehingga pendidikan
Islam dituntut bisa memenuhi dan mengimbangi perubahan jaman itu agar umat
Islam selalu bisa berperan aktif dan mampu mempertahankan eksistensi
peradaban dan budaya keislamannya agar tidak tertinggal dengan peradaban dan
budaya lainnya. Maka dengan demikian pada setiap masa selalu ada dan mesti ada
tokoh-tokoh yang mengeluarkan ide pemikirannya mengenai pendidikan Islam.
Maka pada abad modern ini di Indonesia salah satu tokoh yang mampu
menanamkan ide “pemikiran Pendidikan Islam yang siap menghadapi perubahan
jaman” adalah Mohammad Natsir. Mohammad Natsir tidak hanya mampu
menelurkan ide tapi juga berperan aktif untuk membumikan ide pemikiran
pendidikan modernnya tersebut di masyarakat Muslim Indonesia, sehingga
menumbuhkan berbagai kajian dan lembaga-lembaga dakwah di kampus-kampus
di Indonesia, serta menumbuhkan para aktivis muda yang siap berdakwah dan
mengembangkan ide-ide pendidikan beliau.
Ide-ide Pendidikan Mohammad Natsir yaitu meliputi: Tauhid sebagai asas
pendidikan, Tujuan pendidikan Islam, pendidikan dan nilai-nilai agama,
pendidikan yang universal, konsep Ilmu dalam pendidikan, pentingnya bahasa
asing bagi pendidikan Islam, kebebasan berpikir sebagai tradisi ilmu, dan
hubungan pendidikan dengan masyarakat.
Dari teori konsep pendidikan Islam Mohammad Natsir di atas, bisa
dipahami bahwa konsep pendidikan Islam Mohammad Natsir adalah mereformasi
bentuk pendidikan Islam yang dianggap masih terbelakang dan cenderung
69
70
menutup diri dari perkembangan jaman, sehingga akhirnya banyak orang tidak
sadar dan beranggapan bahwa pada jaman modern ini agama tidak diperlukan
lagi. Untuk membantah anggapan tersebut maka Mohammad Natsir berusaha
meluruskannya dengan menanamkan konsep pemikiran pendidikannya. Dalam
konsepnya tersebut bisa dipahami bahwa Pendidikan Islam sebagaimana agama
Islam itu sendiri bersifat menyeluruh mengatur berbagai masalah kehidupan.
Pendidikan Islam bersifat menyeluruh mengenai berbagai disiplin ilmu
pengetahuan dan kebudayaan. Landasan dasar dari berbagai ilmu pengetahuan
adalah Aqidah/tauhid, akhlak, dan fiqih (hal-hal yang menyangkut dengan teknis
beribadah kepada Allah secara baik dan benar).
Dari pemikiran pendidikan modern Mohammad Natsir sebagai mana
penulis kemukakan di atas, maka jika semua ide-ide pemikirannya berhasil disatu
padukan menjadi sebuah sistem yang menjalankan lembaga pendidikan Islam,
maka akan menghasilkan suatu generasi yang mampu bersikap seimbang antara
kehidupan dunianya dan juga akhiratnya, suatu generasi bangsa yang mampu
berpikir rasional, dinamis dan berpegang teguh sebagai hamba Allah yang
beriman, sehingga mampu berperan aktif dalam mengembangkan peradaban dan
kebudayaaan yang baik di tengah-tengah ummat manusia modern serta mampu
menangkal efek negatif dari budaya modern yang sering menyampingkan peranan
ketuhanan dalam kehidupan sehari-harinya.
B. Implikasi
Pada bagian ini, sesuai dengan kesimpulan inti pada kajian skripsi ini
bahwa secara keseluruhan Konsep Pendidikan Islam Mohammad Natsir adalah:
“mengintegrasikan antara keilmuan dan pendidikan yang sudah ada dalam Islam
dengan keilmuan dan pendidikan umum (barat). Dengan alasan bahwa ilmu atau
kebenaran itu berada dimana saja, barat atau timur semuanya kepunyaan Allah.
Ukurannya adalah haq dan batil versi Al-Qur’an dan al-Hadits, jika itu benar
menurut al-Qur’an dan hadits walaupun dari barat, tetap harus kita ambil, tetapi
jika itu buruk menurut al-Qur’an dan al-Hadits, walaupun dari timur harus kita
buang.” Maka implikasinya adalah:
71
1. Definisi Pendidikan Islam
Semua definisi tentang Pendidikan Islam seharusnya sesuai dan mengarah
kepada landasan dan tujuan dari Pendidikan Islam tersebut, sehingga landasan
dan tujuan akhir atau dengan kata lain bentuk asli dari pendidikan Islam itu
tetap terjaga.
2. Konsep Ilmu dalam Pendidikan Islam.
Dalam Pendidikan Islam, seharusnya disiplin Ilmu bersifat menyeluruh,
semuanya harus dianggap penting dan tidak membeda-bedakan antara
berbagai klasifikasi Ilmu. Ilmu hanya dibedakan dalam pengertian Ilmu yang
dalam kewajiban mencarinya sebagai fardhu ain dan fardhu kifayah.
3. Kurikulum Pendidikan Islam
Bentuk kurikulum Pendidikan Islam disesuaikan dengan konsep Ilmu
sebagaimana pada nomor dua diatas. Maka dengan demikian kurikulum
Pendidikan Islam harus mencakup berbagai jenis ilmu. Selain itu jenis
kurikulum dalam Islam disesuaikan dengan Jenis dan tingkatan pendidikan.
4. Bentuk Institusi Pendidikan Islam
Institusi berarti lembaga, yakni lembaga Pendidikan Islam. Dalam Pendidikan
Islam ini seharusnya masuk dalam berbagai bentuk dan aktivitas umat Islam,
baik formal maupun nonformal. Yang formal yaitu Sekolah disemua jenis dan
tingkatan, dan yang non formal seperti Pendidikan dirumah, lingkungan
(lingkungan tempat tinggal maupun aktivitas kerja), dan pelatihan-pelatihan
atau diskusi-diskusi.
5. Proses Belajar mengajar dalam Pendidikan Islam
Proses belajar mengajar mencakup Pendidik, orang yang dididik, metode,
tempat, dan waktu belajar. Kesemua komponen tersebut bentuk dan
variasinya didasarkan kepada landasan dan tujuan Pendidikan Islam.
Misalnya Pendidik, maka aktivatas dan kondisi pendidik tidak boleh
melenceng dari landasan Pendidikan Islam, begitu pula dengan yang lainlainnya. Semuanya dalam proses belajar mengajar harus mengacu kepada
tujuan dan landasan pendidikan Islam.
72
C. Saran-saran
Alhamdulillâhirabbil’âlamiin, berkat rahmat dan karunia Allah Swt.
Skripsi yang berjudul “Konsep Pendidikan Islam Dr. Mohammad Natsir” telah
berhasil disusun. Dari kajian-kajian ini, maka secara umum saran-saran yang
dikemukakan oleh Penulis adalah sebagai berikut:
1. Mohammad Natsir adalah salah satu Tokoh Pendiri bangsa yang sangat layak
sekali dimunculkan kepermukaan, baik dari segi keteladanannya maupun dari
segi pemikirannya.
2. Bagi umat Islam khususnya para pendidik dan kalangan-kalangan yang
berkecimpung dalam pendidikan disarankan untuk membaca, menelaah dan
mengkaji biografi Mohammad Natsir dan Pemikirannya, sehingga diharapkan
akan memberikan semangat dan motivasi untuk mengabdi kepada Islam,
bangsa dan Negara Kesatuan Republik Indonesia.
3. Bagi pemerintah yang memegang kebijakan untuk mengatur pendidikan
Islam dinegaranya sangat diharapkan untuk mendukung dan menerapkan
konsep-konsep pemikiran Pendidikan Islam Mohammad Natsir ataupemikiran
tokoh Islam lainnya yang sama dengan pemikiran Mohammad Natsir, karena
menurut penulis, Konsep-konsep Pendidikan Mohammad Natsir cukup baik
dan sesuai diterapkan untuk Pendidikan Islam di abad modern ini khsusunya
di Indonesia yang mayoritas Penduduknya beragama Islam dan harus
diberikan pendidikan yang sesuai dengan ciri khas agamanya.
DAFTAR PUSTAKA
Al-Qur’an dan Terjemah perkata, Bandung: PT. Syamil Cipta Media, cet. 1
Oktober, 2007,
Abbas, Siradjuddin, I’tiqad Ahlussunnah Waljamaah. Jakarta: Pustaka Tarbiyah,
cet. 3, 1977.
Alimin, Sati D.P. (ed.), Capita Selecta Jilid 1. Jakarta: Bulan Bintang, cet. 3,
1973.
(ed), Capita Selecta Jilid 2. Jakarta: Pustaka Pendis, cet. 1, 1957.
Ali, Mohammad Daud, Pendidikan Agama Islam. Jakarta: PT. Raja Grafindo
Persada, cet. 3, 2000.
Aly, Hery Noer, Ilmu Pendidikan Islam. Jakarta: PT. Logos Wacana Ilmu, cet. 1,
1999.
Anshari, Endang Saifudin, (ed.), Pak Natsir 80 Tahun buku kedua. Jakarta:
Media Dakwah, cet. 1, 1988.
Al-Aqil, Al-Musytasyar Abdullah, Mereka yang Telah Pergi, Tokoh-tokoh
PembangunanPergerakan Islam Kontemporer, Terj. Dari Min A’lami AlHarakah wa As-Da’wah Al-Islamiyah Al-Mu’ashirah, Oleh Khozin Abu
Faqih. Jakarta: Al-I’tishom Cahaya Umat, cet. 1, 2003.
Arifin, HM, Ilmu Pendidikan Islam. Jakarta: PT. Bumi Aksara, cet. 4, 2009.
(ed) Kapita Selekta Pendidikan Islam dan Umum. Jakarta: PT.
Bumi Aksara, cet. 1, 1991),
Assegaf, Abd Rachman, Aliran Pemikiran Pendidikan Islam, Jakarta: PT. Raja
Grafindo Persada, 2013. Cet. 1.
As-Suyuti, Jamaludin Abdurrahman, Al-Jami as-Shaghir, terj. Najih Ahjad,
Surabaya: Bina Ilmu, cet. 1, 1995.
Bachtiar, Tiar Anwar, M. Natsir Pelopor Pendidikan Islam Integral, Jurnal
Pemikiran dan Peradaban Islam Islamia, Vol. V. No. 1, 2009.
Dahlan, Zaini, dkk. “Al-Qur’an dan Tafsirnya Yogyakarta: UII, cet. 1 1995
Daradzat, Zakiyah, Ilmu Pendidikan Islam. Jakarta: Bumi Aksara, cet. 3, 1996.
73
74
Daulay, Haidar Putra, Pendidikan Islam Dalam Sistem Pendidikan Nasional di
Indonesia. Jakarta: Prenada Media, cet. 1, 2004.
Endarmoko, Eko, Tesaurus Bahasa Indonesia. Jakarta: PT. Gramedia Pustaka
Utama, cet. 3, 2009.
Falah, Saeful, Rindu Pendidikan dan Kepemimpinan M. Natsir.Jakarta:
Republika, cet. 1, 2012.
Hadeli, Metodologi Penelitian Kependidikan. Jakarta: PT. Ciputat Press, cet. 1,
2006.
Hakiem, Lukman (ed.), 100 Tahun Mohammad Natsir. Jakarta: Republika, cet. 1,
2008.
(ed.), M. Natsir di Panggung Sejarah Republik (Jakarta:
Republika, cet. 1, 2008.
Harjono, Anwar (ed.), Pemikiran dan Perjuangan M. Natsir.Jakarta: Pustaka
Firdaus, cet. 2, 2011.
Hasanudin (eds.), Ensiklopedi Kebahasaan Indonesia, Jilid IV.Bandung:
Angkasa, cet. 1, 2009.
dkk., Ensiklopedia Kebahasaan Indonesia, Jilid II.Bandung:
Angkasa, cet. 1, 2009.
Hasbullah, Otonomi Pendidikan, Jakara: PT. Raja Grafindo Persada, cet. 1, 2006,
cet. 1
Himpunan
Peraturan
Perundang-undangan
Sistem
Pendidikan
Nasional,
Bandung, Fokus Media, cet. 1, 2009.
Husaini, Adian, Wajah Peradaban Barat Dari Hegemoni Kristen ke Dominasi
Sekular-Liberal. Jakarta: Gema Insani Press, cet. 1, 2005.
Virus Liberalisme di Perguruan Tinggi Islam. Jakarta: Gema
Insani Press, cet. 1, 2009.
Ibn Majah, Muhammad Ibn Yajid ar-Rabi, Sunan Ibn Majah, Juz 2. Riyadh:
Darussalam, 1999),
Imam Bukhari, Terjemah Hadis Shahih Bukhari, Terj. Dari Shahih Bukhari oleh
H. Zainuddin Hamidy (dkk.), (Jakarta: Widya, 1952)
Jalal, Abdul Fatah, Azas-azas Pendidikan Islam. Bandung: CV. Dipenegoro, cet.
1, 1988.
75
Khallaf, Abdul Wahab, Ilmu Ushul Fikih, Terj. Dari ‘Ilmu Ushul Fiqh oleh Faiz
el Muttaqin. Jakarta: Pustaka Amani,cet. 1, 2003.
Langgulung, Hasan, Asas-asas Pendidikan Islam. Jakarta: Pustaka Al Husna
Baru, cet. 5, 2003.
Mahmud, Abdul Halim, Pendidikan Ruhani, Terj. Dari At-Tarbiyah ar-Ruhiyah
oleh Abdul Hayyie al-Kattani. Jakarta: Gema Insani Press, cet. 1, 2000.
Mohammad, Herry, Tokoh-tokoh Islam yang Berpengaruh Abad 20. Jakarta:
Gema Insani Press, cet. 1, 2006.
Mujib, Abdul dan Jusuf Mudzakkir, Ilmu Pendidikan Islam. Jakarta: Kencana
Prenada Media Group, cet. 2, 2008.
Muhaimin,et.al, Paradigma Pendidikan Islam. Bandung: PT. Remaja Rosda
Karya, cet. 3, 2004.
Munadir, Ensiklopedia Pendidikan. Malang: UM-Press, cet. 1, 2001.
Al-Nahlawi, Abdurrahman, Pendidikan Islam di Rumah, Sekolah, dan
Masyarakat. Terj. Dari Ushulut Tarbiyah Islamiyah wa Asalibiha Fil
Baiti wal Madrasati wal Mujtam’ oleh Shihabudin. Jakarta: Gema Insani
Press, cet. 1, 1995.
Prinsip-prinsip dan Metode Pendidikan Islam Terj. Dari Ushulut
Tarbiyatil Islamiyah wa Asalibuha. oleh Drs. Hery Noer Aly. Bandung:
CV. Dipenegoro, 1992, cet. 2.
,
Nata, Abudin, Tokoh-tokoh Pembaruan Pendidikan Islam di Indonesia. Jakarta:
Rajawali Pers, cet. 3, 2005.
Al-Nawawi, Terjemah Hadits Arba’in An-Nawawiyah. Terj. Dari Al-Arba’in AnNawawiyah, Tim Shalahuddin, Jakarta: Shalahuddin Press, cet. 4, 2006.
Nizar, Syamsul, Filsafat Pendidikan Islam, Pendekatan Historis, Teoritis, dan
Praktis. Jakarta: ciputat Pers, cet. 1, 2002).
Nuaraida dan Halid Alkaf, Metodologi Penelitian Pendidikan.Jakarta: Islamic
Research Publishing, cet. 1, 2009.
Partanto, A Pius dan M Dahlan Al Barry, Kamus Ilmiah Poluler. Surabaya:
Arkola, 1994.
Salim, Peter dan Yenny Salim, Kamus Besar Bahasa Indonesia. Jakarta: Modern
English Press, cet. 3, 2002.
Shadily, Hasan (eds.), Ensiklopedia Indonesia.Jilid V, Jakarta: Ichtiar Baru-Van
Hoeve, cet. 1, 1984.
76
Shihab, M. Quraish, Membumikan al-Qur’an jilid 2, Jakarta: Lentera Hati, cet. 1,
2011
Sukmadinata, dan Nana Syaodih, Metode Penelitian Pendidikan. (Bandung: PT.
Remaja Rosda Karya, cet. 8, 2012.
Suparta, Munzier, Ilmu Hadis. Jakarta: Rajawali Pers, cet. 1, 2001.
Suryanegara, Ahmad Mansur, Api Sejarah Jilid 2. Bandung: Salamadani, cet. 1,
2010.
Suwendi, Sejarah dan Pemikiran Pendidikan Islam. Jakarta: Rajawali Pers, cet.
1, 2004.
Syukri Zarkasyi, Abdullah, Gontor dan Pembaharuan Pendidikan Pesantren
Jakarta: PT. Raja Grafindo Persada, 2005, Cet. 1.
Tafsir, Ahmad, Ilmu Pendidikan Dalam Perspektif Islam, Bandung: PT. Remaja
Rosda Karya, cet. 4, 2001,
Wan Daud, Wan Mohd. Nor. Filsafat dan praktek pendidikan Islam Syed M.
Naquib Al-Latas, Bandung: Mijan, cet. 1, 2003
Waite, William Outh (ed.), Ensiklopedi Pemikiran Sosial Modern. Jakarta:
Kencana, cet. 1, 2008
Al-Qarni, Aidh bin Abdullah. 391 Hadis Pilihan, Terj. Dari Tarjuman asSunnah, oleh Muhammad Iqbal Ghazali. Lc., (Jakarta: Darul Haq, 2007),
cet. 1
Zuhairini dkk, Sejarah Pendidikan Islam. Jakarta: Bumi Aksara, cet. 9, 2008.
LAMPIRAN-LAMPIRAN
Download