Partisipasi Politik Masyarakat dalam Pemilihan Kepala Daerah

advertisement
BAB II
KAJIAN TEORI & KERANGKA BERFIKIR
2.1 Kajian Teori
2.1.1
Partisipasi politik
2.1.1.1 Pengertian Partisipasi Politik
Di negara-negara demokratis pemikiran yang mendasari konsep
partisipasi politik ialah bahwa kedaulatan ada ditangan rakyat,
yang dilaksanakan melalui kegiatan bersama untuk menetapkan
tujuan-tujuan serta masa depan masyarakat itu dan untuk
menentukan orang-orang yang akan menduduki kursi kekuasaan.
Partisipasi politik adalah kegiatan seseorang atau kelompok
orang untuk ikut serta secara aktif dalam kehidupan politik, yaitu
dengan jalan memilih pimpinan Negara dan, secara langsung atau
tidak langsung, mempengaruhi kebijakan pemerintah (public
policy). Kemudian dijelaskan pula bahwa kegiatan ini mencakup
tindakan seperti memberikan suara dalam pemilihan umum,
menghadiri rapat umum, menjadi anggota suatu partai atau
kelompok
kepentingan,
mengadakan
hubungan
(contacting)
dengan pejabat pemerintahan atau anggota parlemen, dan
sebagainya (Budiardjo, 1998).
Herbert McClosky menjelaskan bahwa partisipasi politik
adalah kegiatan-kegiatan sukarela dari masyarakat melalui mana
7
mereka mengambil bagian dalam proses pemilihan penguasa, dan
secara langsung atau tidak langsung, serta dalam proses kebijakan
umum (Budiardjo, 1998). Norman H. Nie dan Sidney Verba
mengungkapkan bahwa partisipasi politik adalah semua aktivitas
yang sah oleh semua warga Negara yang kurang lebih langsung
dimaksudkan
untuk
mempengaruhi
pemulihan
pejabat
pemerintahan dan atau tindakan-tindakan yang mereka ambil
(Macridis dan Brown, 1996).
Partisipasi politik adalah kegiatan warga Negara yang
bertindak
sebagai
pribadi-pribadi,
yang
dimaksud
untuk
mempengaruhi pembuatan keputusan oleh pemerintah. Partisipasi
bisa bersifat individual atau kolektif, terorganisir atau spontan,
sinambung atau sporadis, secara damai atau kekerasan, legal atau
ilegal, efektif atau tidak efektif (Huntington dan Nelson, 1994).
Partisipasi politik ialah kegiatan warga Negara biasa dalam
mempengaruhi proses pembuatan dan pelaksanaan kebijakan
umum dan dalam ikut menentukan pemimpin pemerintahan
(Surbakti, 1992).
Sehingga dari penjelasan diatas dapat diketahui bahwa
partisipasi politik merupakan implementasi atau pengejawantahan
dari penyelenggaraan kekuasaan politik yang absah oleh rakyat.
Dalam demokrasi yang menekankan pada partisipasi politik
masyarakat, partisipasi politik warga masyarakat itu sendiri
8
dimaksimalkan melalui berbagai cara di berbagai tingkat dan
bukan semata dalam proses politik seperti pemilihan umum,
walaupun penekanan dalam karya ilmiah ini lebih menekankan
pada partisipasi politik masyarakat kaitannya dengan pemilihan
kepala daerah secara langsung, dalam hal ini pemilihan kepala
daerah kabupaten Wonosobo tahun 2010.
Anggota masyarakat yang berpartisipasi dalam proses politik,
misalnya melalui pemberian suara atau kegiatan lain, terdorong
oleh keyakinan bahwa melalui kegiatan bersama itu akan tersalur
ataupun setidaknya akan diperhatikan, dan bahwa mereka dapat
mengaplikasikan hak mereka yang berupa kewenangan untuk
membuat keputusan yang mengikat. Hal tersebut merupakan salah
satu contoh dari penerapan demokrasi partisipatif yang berada pada
lingkup pemilu atau Pilkada.
Dalam Negara yang demokratis umumnya dianggap lebih
banyak partisipasi masyarakat, lebih baik. Tingginya tingkat
partisipasi politik menunjukkan bahwa warga Negara mengikuti
dan memahami masalah politik dan ingin melibatkan diri dalam
kegiatan-kegiatan itu. Sebaliknya tingkat partisipasi yang rendah
pada umumnya dianggap sebagai tanda yang kurang baik, karena
berarti bahwa banyak warga Negara tidak menaruh perhatian
terhadap masalah ketatanegaraan. Dalam hal ini jika rakyat kurang
berpartisipasi dalam kehidupan politik dan bernegara maka akan
9
timbul kecenderungan penyalahgunaan kekuasaan oleh penguasa
atau pemegang kekuasaan pemerintah.
Rendahnya partisipasi politik ini salah satuya diakibatkan oleh
rendahnya kesadaran politik masyarakat sebagai efek langsung
ataupun tidak langsung dari belum optimalnya proses pendidikan
politik. Sekarang ini ketika Negara Indonesia sedang membangun
Negara yang demokratis sudah seharusnya pendidikan politik juga
harus berjalan dengan optimal. partai politik, pers, dan lembagalembaga swadaya masyarakat harus memainkan peran memberikan
pendidikan politik pada masyarakat. Hal ini diharapkan mampu
meningkatkan partisipasi politik masyarakat secara optimal.
Diantara perangkat pendidikan politik masyarakat yang memiliki
efek signifikan terhadap proses demokratisasi adalah berjalannya
roda komunikasi politik diantara komponen-komponen sosial yang
menjadi bagian penting dari proses tersebut (Muhtadi, 2008).
2.1.1.2 Unsur-unsur Partisipasi Politik
Dari berbagai ulasan tentang definisi partisipasi politik diatas,
dapat dilihat beberapa unsur-unsur partisipasi politik sebagai
berikut, sebagai mana juga yang telah di jelaskan oleh Samuel
P.Huntington dan Joan M.Nelson dalam bukunya mengenai
“Partisipasi Politik di Negara Berkembang” (1994):
a. Kegiatan-kegiatan akan tetapi tidak sikap-sikap atau perilaku
politik individu yang nyata.
10
b. Dilakukan oleh warga negara biasa (preman) bukan pejabat
yang tengah menjalankan fungsinya,
c. Kegiatan itu bertujuan mempengaruhi pengambilan keputusan
oleh pemerintah,
d. Semua kegiatan yang dimaksudkan untuk mempengaruhi
pemerintah , tak peduli apakah kegiatan itu benar-benar
mempunyai efek itu, bisa ada dampaknya bisa juga tidak
berdampak,
e. Kegiatan itu bisa bersifat atas kemampuan sendiri (otonom)
maupun diarahkan oleh pihak lain (dimobilisasi).
Begitu pentingnya partisipasi politik masyarakat dalam
kehidupan bernegara, sehingga sangat disayangkan sekali apabila
masyarakat tidak ikut dalam partisipasi baik partisipasi aktif
maupun pasif. Karena, fungsi partisipasi politik itu sendiri
sebenarnya untuk menyalurkan aspirasi rakyat baik yang berupa
tuntutan maupun dukungan kapada pemerintah. Selain itu
partisipasi politik juga berfungsi untuk menyatakan kontrol rakyat
terhadap kinerja pemerintah.
2.1.1.3 Saluran Partisipasi Politik Masyarakat
Dalam kehidupan bernegara, masyarakat memerlukan sarana
untuk partisipasi politik mereka. Di antaranya yaitu ;
11
1. Partai Politik
Salah satu sarana partisipasi politik masyarakat yaitu partai
politik, partai politik adalah suatu kelompok yang terorganisir,
yang anggota-anggotanya memiliki orientasi, nilai-nilai, dan citacita yang sama (Budiardjo, 1998).
Carl Friedrich memberi batasan partai politik sebagai
kelompok manusia yang terorganisasikan secara stabil dengan
tujuan untuk merebut atau mempertahankan kekuasaan dalam
pemerintahan
bagi
pemimpin
partainya,
dan
berdasarkan
kekuasaan itu akan memberikan kegunaan materiil dan idiil kepada
para anggotanya. Soltau memberikan definisi partai politik sebagai
kelompok warga Negara yang sedikit banyak terorganisasikan ,
yang bertindak sebagai suatu kesatuan politik dan dengan
memanfaatkan kekuasaanya untuk memilih, bertujuan untuk
menguasai pemerintahan dan menjalankan kebijakan umum yang
mereka buat (Surbekti, 1992).
Menurut Undang – Undang Nomor 2 Tahun 2011 Tentang
Partai Politik Bab I pasal 1 ayat 1, di kemukakan bahwa partai
politik adalah organisasi yang bersifat nasional dan dibentuk oleh
sekelompok warga negara Indonesia secara sukarela atas dasar
kesamaan kehendak dan cita–cita untuk memperjuangkan dan
membela kepentingan politik anggota, masyarakat, bangsa dan
negara, serta pemeliharaan keutuhan Negara Kesatuan Republik
12
Indonesia berdasarkan Pancasila dan Undang – Undang Dasar
Negara Republik Indonesia Tahun 1945.
Dari penjelasan diatas dapat penulis simpulkan bahwa partai
politik adalah organisasi yang menghimpun orang – orang yang
memiliki kesamaan tujuan, cita – cita, pandangan, ide atau
gagasan, dan landasan perjuangan.
Sebagai organisasi, partai politik berusaha mewujudkan tujuan,
cita – cita, pandangan, ide atau gagasan tersebut dengan
menempatkan pemimpin – pemimpin dalam pemerintahan dan
jabatan – jabatan publik melalui pemilu. Perbedaan antara partai
politik dan organisasi – organisasi sosial kemasyarakatan lain
terletak pada jalur perjuangan yang dipilih, partai politik berusaha
mewujudkan cita – cita dengan menjadi peserta pemilu (Institute
for Policy and Community Development Studies, 2001).
Fungsi utama partai politik ialah mencari dan mempertahankan
kekuasaan guna mewujudkan program – program yang disusun
berdasarkan ideologi tertentu. Cara yang digunakan suatu partai
politik dalam sistem politik demokrasi untuk mendapatkan dan
mempertahankan kekuasaan ialah ikut serta dalam pemilihan
umum, sedangkan cara yang digunakan partai tunggal dalam
sistem politik totaliter berupa paksaan fisik dan psikologis oleh
suatu diktatorial kelompok (komunis) maupun oleh ditatorial
individu (Surbekti, 1992).
13
Menurut Peraturan Pemerintah Republik Indonesia Nomor 6
Tahun 2005 Tentang Pilkada dinyatakan bahwa: ” Partai politik
adalah partai politik peserta pemilihan umum sebagaimana
dimaksud dalam Undang-undang Nomor 10 Tahun 2008 Tentang
Pemilihan Umum Anggota DPR, DPD, dan DPRD ”.
Pembahasan diatas memberikan gambaran bahwa partai politik
peserta pemilihan kepala daerah mempunyai kedudukan, hak, dan
kewajiban yang sama selama melaksanakan pemilihan dan
kegiatan kampanye tanpa membedakan status sosialnya.
2. Media Massa
Hubungan antara media massa dengan sistem politik sangatlah
tergantung terhadap budaya politik suatu suatu bangsa. Media
massa masuk dalam sarana partisipasi politik masyarakat karena
media massa berfungsi menyebarluaskan ide-ide, buah fikir atau
perasaan seseorang atau sekelompok orang maupun kejadiankejadian, baik dengan kata-kata tertulis maupun lisan, kepada
massa yaitu orang banyak atau khalayak ramai. Media massa lisan
misalnya yaitu televisi dan radio, sedang media massa tertulis atau
media massa cetak adalah surat kabar, tabloid, dan lain sejenisnya.
Media massa atau cetak inilah yang pada mulanya disebut sebagi
pers. Pers sendiri terjemahan dari kata press yang berarti mesin
pencetak. Dalam Undang-Undang No.40 Tahun 1999 tentang Pers
mendefinisikan
pers
sebagai
14
lembaga
sosial
dan
wahana
komunikasi yang melaksanakan kegiatan jurnalistik meliputi
mencari, memperoleh, menyimpan, mengolah, dan menyampaikan
informasi baik dalam bentuk tulisan, suara, gambar, suara dan
gambar, serta data dan grafik maupun dalam bentuk lainnya
dengan menggunakan media cetak, media elektronik, dan segala
jenis saluran yang tersedia.
Dari definisi diatas nampak bahwa pers adalah sama dengan
media massa, sehingga media massa hakikatnya sama dengan pers.
Dalam negara demokrasi media massa amat diperlukan untuk
mewujudkan
jaminan
atas
kebebasan
mengekpresikan
/
menyatakan diri sendiri. Ekspresi atau pernyataan diri seseorang
bisa dilakukan secara lisan dan isyarat atau gerakan tubuh maupun
secara
tertulis,
sehingga
media
yang
diperlukan
untuk
mengekspresikan diri seseorang juga dapat berupa media lisan
maupun media tulis atau cetak. Bila ekspresi diri ini dimaksudkan
untuk disebarluaskan kepada orang banyak atau massa maka
diperlukan media massa lisan maupun media massa tulis atau
cetak. Media massa lisan diperlukan untuk menjamin perwujudan
keabsahan berbicara sedang media cetak diperlukan untuk
mewujudkan jaminan atas kebebasan memberitakan sesuatu secara
tertulis.
Media massa oleh sebagian orang dijadikan ajang pertarungan
politik. Hal ini juga dijelaskan oleh Charlotte Ryan, menurutnya
15
seperti di kutip Komarudin bahwa media adalah suatu ajang
perang simbolik antara pihak-pihak yang berkepentingan. Mereka
saling mengajukan pemaknaan terhadap suatu persoalan agar lebih
diterima khalayak ( Muhtadi, 2008).
Media massa memiliki pengaruh penting dalam proses
pembentukan cara berpikir dan berperilaku politik masyarakat.
Media massa juga dapat menyediakan informasi terbaru tentang
berbagai peristiwa di masyarakat, memberikan ruang kesadaran
sosial bagi eksekutif untuk membaca lebih jauh opini publik yang
berkembang di masyarakat.
3. Kelompok Penekan
Kelompok penekan adalah kelompok terorganisir yang para
anggotanya secara sengaja mengelompokkan diri untuk satu tujuan
khusus tertentu, yaitu mempengaruhi dan menekan para pejabat
pemerintah untuk menyetujui tuntutan mereka. Berbeda dengan
kelompok kepentingan yang relatif permanen, kelompok penekan
akan segera membubarkan diri jika tujuan khusus yang menjadi
alasan pembentukan kelompok itu telah atau tidak tercapai. Di
Jepang kelompok penekan melakukan berbagai cara untuk
mempengaruhi
jalannya
pemerintahan,
diantaranya
melakukan demonstrasi (Mas’oed dan MacAndrews, 2006)
16
dengan
4. Kelompok Kepentingan
Kelompok kepentingan adalah sejumlah orang yang memiliki
kesamaan dan sifat, sikap, kepercayaan dan atau tujuan, yang
sepakat mengorganisasikan diri untuk melindungi dan mencapai
tujuan. Sebagai kelompok yang terorganisasi mereka memiliki
sistem keanggotaan yang jelas, pola kepemimpinan, sumber
keuangan untuk membiayai kegiatan, dan pola komunikasi baik
dalam maupun luar organisasi. Dengan kata lain , kelompok
kepentingan adalah organisasi yang para anggotanya menyadari
akan karakteristik bersamannya, dan yang dalam batas-batas
tertentu mengarahkan perilaku mereka untuk memajukan nilai-nilai
atau kepentingan–kepentingan yang muncul dari karakteristik
bersama itu. Di Amerika Latin kelompok kepentingan sama
pentingnya dengan partai politik Roy C Macridis (1986)
menyatakan ”dalam sistem-sistem yang lebih besar dan yang lebih
di lembagakan, partai dan kelompok kepentingan sering kali
penting dan mempunyai fungsi yang sama dengan partai yang
dijumpai di Amerika Utara atau Eropa”.
Kelompok kepentingan lebih memusatkan perhatiannya pada
bagaimana merumuskan kepentingan tertentu kepada pemerintah
sehingga pemerintah menyusun kebijakan yang menampung
kepentingan kelompok.
17
2.1.1.4 Bentuk-Bentuk Partisipasi Politik
Partisipasi politik dalam suatu masyarakat tidak hanya dalam
satu bentuk, tetapi dapat terjadi dalam berbagai bentuk. Partisipasi
politik masyarakat dapat berbentuk konvensional maupun nonkonvensional. Bentuk partisipasi politik konvensional yaitu
pemberian suara (voting), diskusi politik, kegiatan kampanye,
membentuk dan bergabung dalam kelompok kepentingan, serta
mengadakan komunikasi individual dengan pejabat politik dan
administrative (Mas’oed dan MacAndrews, 2006).
Partisipasi politik konvensional dalam bentuk pemberian suara
(voting) merupakan bentuk partisipasi aktif yang banyak dilakukan
masyarakat. Dewasa ini pemberian suara terdapat di hampir semua
sistem politik, baik yang demokratik maupun otoriter. Mohtar
Mas’oed dan Colin MacAndrews (2006) menyatakan di Uni
Soviet misalnya semua warga negaranya diharapkan berpartisipasi
dalam pemilihan umum, meskipun hanya ada satu partai politik dan
semua calon untuk jabatan politik dan pemerintahan harus disetujui
oleh partai.
Adapun definisi dari asas – asas pemungutan suara pada Pilkada
tersebut adalah sebagaimana, dijelaskan oleh Moh. Mahfud M D
(2011) yaitu ” Asas langsung artinya pemilihan dilakukan sendiri
secara langsung oleh yang berhak dan tidak dapat diwakilkan,
masyarakat memilih secara langsung tanpa perantara siapapun, jika
18
yang berhak itu tidak dapat menggunakan hak pilihnya, maka lebih
baik suara itu terbuang dari pada diwakilkan kepada orang lain.
Asas umum artinya bahwa pada pemilu dilaksanakan secara
menyeluruh. Asas ini diberikan pada semua warga Negara yang
telah memenuhi syarat. Asas bebas menurut adanya suasana dan
jaminan bahwa seseorang dapat dengan bebas menentukan
pilihannya, sangatlah bertentangan dengan hakikat pemilihan jika
pemilihan tidak diberi kebebasan menentukan pilihannya. Asas
jujur berarti bahwa pemilu harus dilaksanakan secara benar tanpa
disertai kecurangan – kecurangan dan rekayasa. Asas adil ini berisi
bahwa setiap warga Negara harus mendapatkan perlakukan yang
sama tanpa membedakan derajat sosial, ekonomi, jenis kelamin,
warna kulit dan sebagainya.”
Meskipun pemberian suara merupakan bentuk aktivitas politik
yang paling umum di hampir semua sistem politik, bentuk-bentuk
partisipasi konvensional lain juga dijalankan oleh sejumlah kecil
warganegara dalam sistem politik otoriter maupun demokratik, dan
dalam hampir semua kebudayaan politik. Tanpa memperhatikan
kecenderungan ideologis dari suatu masyarakat atau nilai-nilai yang
timbulkarena kebudayaan politiknya. Partisipasi lainnya selain
pemberian suara biasanya melibatkan biaya yang lebih besar dalam
artian waktu, tenaga dan uang seperti halnya kegiatan kampanye.
Kampanye sendiri menurut Muhtar Haboddin (2009) adalah
19
”upaya untuk memperkenalkan suatu produk kepada konsumen
(pemilih) agar mereka mau membeli produk tersebut berdasarkan
informasi – informasi yang mereka terima. Kampanye juga dilihat
sebagai usaha untuk mengepung lawan dengan taktik dan strategi
yang tepat, sistematis dan terencana. Kampanye adalah pertempuran
demokrasi.” kaitannya dengan Pilkada menurut Undang-undang
No. 32 Tahun 2004 Tentang Pemerintahan Daerah disebutkan
bahwa “ Kampanye pemilihan kepala daerah dan wakil kepala
daerah adalah kegiatan dalam rangka meyakinkan para pemilih
dengan menawarkan visi, misi, dan program dari masing-masing
pasangan calon .”
Partisipasi politik masyarakat dalam bentuk non-konvensional
yaitu pengajuan petisi, berdemonstrasi, konfrontasi, mogok,
melakukan tindakan kekerasan politik terhadap harta-benda
(perusakan, pengeboman, pembakaran), dan melakukan tindakan
kekerasan politik terhadap manusia (penculikan, pembunuhan),
serta mengadakan perang gerilya dan revolusi (Mas’oed dan
MacAndrews, 2006).
Partisipasi politik masyarakat yang terjadi di masyarakat
tersebut membentuk perilaku memilih masyarakat dalam Pemilihan
Kepala Daerah. Berdasarkan yang diungkapkan oleh Gabriel A
Almond & Sidney Verba (1965) di Amerika Serikat, orang yang
lebih sering berpolitik lebih sering memberikan suara pada saat
20
Pemilu. Namun untuk perilaku politik masyarakat di negara yang
sedang berkembang, terkadang ditentukan oleh pemimpin negara
dalam
menggerakkan
dan
membuat
masyarakatnya
untuk
berpolitik. Julius Nyerere dari Tanzania dan Fidel Castro dari Kuba
adalah dua pemimpin kharismatik negara yang sedang berkembang
yang menggerakkan massa kedalam kegiatan politik.
2.1.1.5 Cara–cara Partisipasi Politik Masyarakat
Samuel
P.Huntington
dan
Joan
M.Nelson
(1994)
menjelaskan bahwa masyarakat biasanya menyampaikan aspirasi
atau melakukan partisipasi politik kurang lebih sebagai berikut :
a) Kegiatan Pemilihan mencakup memberikan suara dalam
pemilu, sumbangan kampanye, bekerja dalam suatu pemilihan.
b) Terlibat dalam kampanye,
c) Lobbying mencakup upaya-upaya perorangan atau kelompok
untuk menghubungi pejabat pemerintah atau pimpinan politik
dengan maksud mempengaruhi keputusan mereka.
d) Membentuk dan bergabung dalam berbagai organisasi,
e) Mencari koneksi (contacting), melakukan diskusi politik,
melakukan komunikasi pribadi dengan pimpinan politik atau
pejabat pemerintahan,
f) Demontrasi, mogok/boikot, pembangkangan sipil, partisipasi
politik dengan cara tersebut disebut pula sebagai cara
partisipasi non-konvensional.
21
2.1.1.6 Rambu-rambu Partisipasi Politik Masyarakat
Di Negara demokrasi rakyatlah yang berdaulat, untuk itu sudah
semestinya rakyat meyakini dan menjunjung tinggi nilai-nilai
kewarganegaraan
kewarganegaraan
demokratis,
demokratis
dan
ketrampilan-ketrampilan
pengetahuan-pengetahuan
kewarganegaraan demokratis. Semua itu sesungguhnya menjadi
prasyarat yang harus dipenuhi oleh setiap masyarakat agar mampu
berpartisipasi politik secara bertanggungjawab.
Masyarakat dalam melakukan partisipasi politik haruslah
dilakukan berdasarkan rambu-rambunya yaitu sesuai dengan yang
dituliskan Sulasmono (2010), sebagai berikut;
a) Partisipasi politik hendaknya dilakukan secara beradab.
Artinya bahwasanya partisipasi politik yang dilakukan oleh
masyarakat harus berlaku sopan, berlaku baik dan tidak
dilakukan dengan biadap.
b) Mengutamakan penalara.
Partisipasi
politik
seharusnya
dilaksanakan
dengan
mengutamakan pemikiran yang logis, bukan dengan perasaan
ataupun pengalaman.
c) Selalu dalam koridor norma atau patuh norma.
Jadi partisipasi politik dilaksanakan sesuai dengan ketentuan
yang mengikat dan berlaku di masyarakat yang dijadikan tolak
ukur dalam pelaksanaan partisipasi politik. Berkaitan dengan
22
Pilkada maka sesuai dengan Undang-undang yang mengatur
tentang pemerintahan daerah.
2.1.1.7 Tipe-tipe Budaya Politik dan Implikasinya terhadap
Partisipasi Politik
Berdasarkan sikap, nilai-nilai dan kecakapan politik yang
dimiliki warga negara, dapat digolongkan kebudayaan politiknya
sebagai berikut:
1. Budaya politik parokial (Parochial political culture)
Budaya politik parokial ini adalah orang-orang yang
sama sekali tidak menyadari atau mengabaikan adanya
pemerintahan dan politik. Mereka ini mungkin buta huruf,
tinggal di desa yang terpencil atau mungkin nenek-nenek tua
yang tidak tanggap terhadap hak pilih dan mengungkung diri
dalam kesibukan keluarga ( Mas’oed dan MacAndrews, 2006).
Budaya politik ini cenderung berada didaerah-daerah
yang terpencil, masyarakatnya tidak begitu minat terhadap
politik praktis yang ada. Sulasmono dkk (2011) menjelaskan
bahwasannya ” budaya politik parokial ini terbatas pada satu
wilayah atau lingkup yang kecil atau sempit, ini pada umumnya
terdapat dalam masyarakat yang tradisional dan sederhana
dalam masyarakat seperti ini, spesialisasi sangat kecil, belum
banyak berkembang. Pada kebudayaan parokial anggota
masyarakatnya cenderung tidak menaruh minat terhadap
23
obyek-obyek yang luas, kecuali dalam batas tertentu di tempat
dimana mereka tinggal, itupun terbatas pada kesadaran anggota
masyarakat akan adanya pusat kewenangan/ kekuasaan politik
dalam masyarakat”.
Jadi pada budaya ini masyarakatnya tidak berpartisipasi
secara pasif maupun aktif dalam kegiatan politik dan dalam
menanggapi kebijakan-kebijakan pemerintah.
2. Budaya politik subyek (subjecty political culture)
Budaya politik subyek ini, menurut Mochtar Masoed
dan Colin MacAndrews (2006) budaya politik ini menunjuk
pada “masyarakat sebagai subyek yang pasif, mengakui
pemerintah dan tunduk pada hukumnya, tetapi tidak melibatkan
diri dalam urusan pemerintahan.”
Jadi pada budaya politik
ini masyarakatnya sudah
paham akan politik praktis dan peduli akan adanya hukumhukum yang dibuat oleh pemerintah, namun masyarakat disini
belum mampu terlibat secara aktif dalam pemerintahan dan
hanya cenderung sebagai subyek yang pasif. Masyarakat disini
memiliki budaya yang hanya bisa menerima kebijakan yang
dibuat oleh pemerintah. Sehingga masyarakat pada budaya ini
belum begitu mampu berpartisipasi secara aktif dalam kegiatan
politik.
24
3. Budaya politik partisipan (participant political culture)
Budaya politik partisipan di jelaskan oleh Almond dan
Verba
sebagai
suatu
bentuk
kultur
dimana
anggota
masyarakatnya cenderung diorientasikan secara eksplisit
terhadap sistem sebagai keseluruhan dan terhadap struktur dan
proses politik serta administrartif (Sulasmono dkk, 2011).
Dijelaskan lebih lanjut oleh Sulasmono dkk (2011) bahwa ”
budaya politik ini ditandai oleh adanya kesadaran bahwa
dirinya ataupun orang lain sebagai anggota aktif dalam
kehidupan politik. Ini menunjuk pada orang-orang yang
melibatkan diri dalam kegiatan politk, paling tidak dalam
kegiatan memberikan suara (voting) dan memperoleh informasi
yang cukup banyak tentang kehidupan politik.
Jadi dalam budaya politik ini masyarakat sudah mampu
merealisasikan
dan menggunakan hak dan menangggung
kewajibannya, selain percaya terhadap pemerintahan yang ada
dan tunduk terhadap hukum yang berlaku, masyarakatnya juga
sudah mampu menilai kebijakan-kebijakan yang dibuat oleh
pemerintah, sehingga berkemungkinan mampu dengan penuh
berpartisipasi aktif dalam sistem politik.
Menurut Gabriel A. Almond & Sidney Verba (1984) Ketiga
klasifikasi kebudayaan politik ini tidak menyimpulkan bahwa
orientasi yang satu akan menggantikan yang lain. Budaya politik
25
disetiap negara dan daerah berbeda-beda, seperti yang telah
diungkapkan diatas. Budaya politik yang ada di masyarakat juga
mempengaruhi perilaku memilih masyarakat dalam Pemilu
maupun Pilkada, seperti halnya bentuk partisipasi politik
masyarakat.
Budaya politik bukanlah budaya modern, tetapi
merupakan suatu kombinasi antara modernitas dengan tradisi
(Almond & Verba, 1984). Inggris memberikan suatu contoh
bagaimana kebudayaan ini dapat dikembangkan. Sedangkan
Amerika
Serikat
dan
negara
persemakmurannya
baru
mengembangkan budaya politiknya setelah mengatasi peperangan
besar.
Masyarakat yang memiliki budaya politik parokial mungkin
tidak mempedulikan persolan politik praktis dalam negara.
Kepasifan mereka dalam berpolitik sebenarnya merupakan
pemancaran peran-peran yang bersifat politis-ekonomis. Keadaan
budaya politik yang seperti ini menimbulkan adanya golongan
putih di suatu masyarakat. Golongan putih (Golput) yang ada di
masyarakat bisa saja timbul karena ketidakpahaman mereka
terhadap
hak-hak
mereka
dalam
suatu
negara
maupun
kepeduliannya terhadap peraturan atau kebijakan yang di buat oleh
pemerintah. Golongan putih juga mulai muncul di indonesia sejak
era kepemimpinan Soeharto, dan mulai hangat diperbincangkan
26
kembali semenjak munculnya pernyataan dari Abdurahman Wahid
(Gus Dur) yang mengajak golput di pemilu 2009 (Wahid, 2009).
Bagi masyarakat yang memiliki budaya subyek, mereka
cenderung memiliki kepercayaan terhadap pemerintah, seperti
yang dijelaskan di atas bahwa mereka cenderung memilki sikap
tanggap terhadap pemerintah dan kebijakkannya tetapi tidak ikut
serta terhadap kegiatan dan urusan politik. Mereka hanya menjadi
subyek dari kebijakan pemerintahan dan masyarakat yang
cenderung memiliki kebudayaan subyek cenderung memilki
orientasi yang tinggi terhadap sistem politik tetapi bisa pula
menjadi partisipan yang aktif mendekati nol (Almond & verba,
1984). Mendekati nol disini berarti bisa saja mereka tidak
mengikuti kegiatan politik secara aktif.
Kebudayaan politik partisipan yang ada di masyarakat
menempatkan anggota-anggota pemerintahan yang partisipatif
dapat secara menyenangkan atau sebaliknya diarahkan kepada
berbagai obyek politik yang beragam. Hal ini menimbulkan
perilaku politik mereka yang cenderung aktif dalam sistem politik
dan kegiatan politik lainnya. Meraka cenderung diarahkan kepada
peranan pribadi sebagai aktivis masyarakat, sekalipun perasaan dan
evaluasi mereka terhadap peranan yang demikian bisa saja bersifat
menerima maupun menolaknya (Almond & Verba, 1984).
27
2.1.2 Politik Aliran di Indonesia
2.1.2.1 Sejarah Aliran dalam Pemikiran Politik di Indonesia
Secara tradisi istilah aliran digunakan sebagai alat untuk
menerangkan
perilaku
politik
di
Indonesia.
Asal
muasal
penggunaan istilah ini biasanya ditarik dari ilmu antropologi
dengan ranah kajian di daerah Jawa. Namun demikian konsep
aliran sudah lama juga digunakan sebagai alat penjelasan di dunia
perpolitikan di Indonesia. Misalnya sering dicatat dulu bahwa basis
dukungan politik dari kaum santri diarahkan pada kekuatan politik
di kubu NU dan Masyumi sedangkan dari kaum abangan dukungan
diarahkan pada kekuatan politik PNI dan PKI pada tahun 1950-an.
Membicarakan tentang aliran pemikiran politik di Indonesia
kita megacu pada lima aliran politik di Indonesia ada Nasionalisme
Radikal, Tradisionalisme Jawa, Islam, Sosialisme Demokratis, dan
Komunisme . Namun pada awal kemerdekaan presiden Soekarno
berpendapat bahwa ada tiga aliran politik yaitu Nasionalis, Islam
dan Marxisme. Seiring berjalannya demokrasi terpimpin, tiga
aliran ini diberi status resmi dengan bentuk baru. Koalisi partaipartai propemerintah disebut NASAKOM (Nasionalis, Agama, dan
Komunis). Akan tetapi penafsiran tidak resmi dari singkatan ini
menampilkan
adanya
kelompok
keempat
yang
tidak
pro
pemerintah yaitu Masyumi dan Partai Sosialis Indonesia yang
menentang demokrasi terpimpin (Budiardjo, 1998).
28
Kenyataan bahwa empat partai besar ini tidak cukup mewakili
pengelompokan pemikiran di Indonesia maka lima aliran ini yang
masuk bisa dikelompokkan lebih sempit lagi. Pertama dengan
ranah Islami yaitu Nahdatul Ulama dan Masyumi, kemudian yang
masuk Jawa Hindu yaitu Nasionalisme Radikal dan Komunis serta
yang memasuki segala ranah yaitu Sosialis Demokrasi ( tidak
termasuk komunis).
Dari kelima aliran politik inilah muncul berbagai partai politik
yang mengikuti Pemilu dan menempatkan kader-kadernya sampai
di parlemen. Sampai tumbangnya orde lama dan diganti orde baru
dengan tokohnya Soeharto munculah kekuatan baru dalam dunia
politik di Indonesia. Kekuatan militer sebagai kekuatan baru
mampu menutupi dan menghabisi beberapa aliran politik di
Indonesia. Kemudian dari berbagai partai politik yang ada di orde
lama pada tahun 1973 disederhanakan hanya menjadi dua partai
politik dan satu Golongan Karya. Sehingga banyak partai yang
kehillangan identitas dirinya atau ditiadakan sama sekali jika tidak
mengelompokkan diri.
Pengelompokan ini mencakup Golongan Nasional yaitu Partai
Demokrasi Indonesia (PDI), Golongan Spiritual
yaitu Partai
Persatuan Pembangunan (PPP) dan (Golkar) Golongan Karya
(Budiardjo, 1998). Dengan demikian sejak Pemilu 1977 sampai
1997 hanya ada tiga organisasi sosial politik yaitu PDI, PPP, dan
29
Golkar, dan ketiga-tiganya tersebut memiliki azas yang sama.
Mulai Pemilu 1982 sampai 1987 Golkar selalu mengalami
kenaikan hasil suara dan pada 1997 Golkar menang besar-besaran
dalam Pemilu. Kemenangan ini antara lain disebabkan karena
diberlakukannya intervensi aparatur Negara secara berlebihan.
Namun setelah orde baru tumbang, kembalilah sistem partai di
Indonesia menjadi multi partai dan banyak partai yang muncul
dengan jati diri dan ideologi mereka masing-masing sehingga dari
1999 sampai 2009 banyak Pemilu diikuti oleh banyak partai dan
sudah tidak ada lagi Golongan Karya karena juga sudah menjadi
Parpol.
Sebelumnya dua Parpol tersebut disebut sebagai kubu kanan
dan kubu kiri dan Golongan Karya disebut sebagai Golongan
Tengah. Golongan kanan ini yaitu PPP yang merupakan gabungan
dari Nahdatul Ulama, Partai Muslim Indonesia, Partai Sarekat
Islam Indonesia, dan Perti (Persatuan Tarbiyah Islamiayah).
Sedangkan di kubu kiri yaitu PDI gabungan dari Partai Nasional
Indonesia, Partai Kristen Indonesia, Partai Katolik, Partai Murba,
dan
Partai
Ikatan
Pendukung
Kemerdekaan
Indonesia
(Muhtadi,2008).
Setelah reformasi sampai dengan Pemilu 2009 bahkan sampai
sekarang (2012) kubu kiri mempunyai sikap yang sangat tidak
ingin terhadap potensi munculnya perbedaan kewarganegaraan
30
berdasarkan latar belakang agama atau peletakan khusus untuk
agama Islam dalam tatanan konstitusional Negara. Contoh partai
ini adalah PDIP dan PDS. Pada sayap kanan terdapat aliran politik
yang menilai bahwa agama Islam harus merupakan bagian tak
terpisah dari roh dan semangat kebangsaan Indonesia. Contoh
partai ini adalah PPP, PKS, PBB dan PBR. Namun demikian pada
zaman modern nampak bangsa Indonesia berhasil mengembangkan
visi menengah di antara kedua visi tradisional. Secara singkat
aliran
menengah
ini
hanya
menginginkan
Negara
yang
berketuhanan. Kekuatan politik di aliran tengah ini menilai agama
Islam beserta agama lain sebagai sumber pemikiran yang dapat
mengilhami kebijakan publik, walau tidak sebagai penentu atau
dasar. Contoh partai di ranah tengah ini yaitu Partai Demokrat,
PAN, PKB, dan Partai Golkar.
Namun walaupun demikian adanya perpecahan politik atau
ideologi antar aliran politik ataupun partai politik selalu hidup di
dunia perpolitikan di Indonesia, hal ini menyebabkan timbulnya
berbagai kebijakan pemerintah yang dirasa hanya berpihak pada
salah satu kelompok saja. Sejarah sudat mencatat bagaimana
dahsyatnya perpecahan antara kedua ideologi kebangsaan ini.
2.1.2.2 Islam dan Aliran Politik di Indonesia
Wacana Islam
politik di Indonesia hampir selalu menarik
perhatian banyak kalangan. Alasannya sederhana, selain Islam
31
merupakan agama yang dipeluk mayoritas penduduk Indonesia,
Islam juga memberikan perhatian penuh dalam siyasah (Politik).
Karena
itu
kaitan
memperlihatkan
antara
catatan
Islam
penting
dan
politik
khususnya
senantiasa
dalam
sejarah
perpolitikan Indonesia. Islam sebagai agama memiliki peran yang
besar mulai abad ke-15, sejak penyebaran agama Islam di
Indonesia, agama memainkan peran penting bahkan pada abad ke20 Islam tetap tampil sebagai ideologi walaupun sudah bercampur
dengan ideologi-ideologi lain seperti nasionalisme, komunisme,
sosialisme (Muhtadi, 2008).
Hal ini bisa dilihat, sejak dibukanya kembali pintu kebebasan
mendirikan partai politik menjelang pemilu 1999, dalam waktu
singkat lahir tidak kurang dari dua puluh lima partai politik yang
secara
eksplisit
maupun
implisit
memperlihatkan
identitas
keislamannya. Bahkan sebagian besar menjadikan Islam sebagai
azas partainya. Partai-partai Islam ini mengklaim sebagai jelmaan
dari Masyumi yang Berjaya pada Pemilu 1955. Jika dikatagorisasi
modernis-tradisionalis para pengikut Muslim, maka dari kaum
modernis lahir Partai Bulan Bintang (PBB) yang lebih dikesani
sebagai perwujudan baru kekuatan Masyumi. Pimpinannya sendiri
Yusril Ihza Mahendra disebut-sebut sebagai Natsir “Muda” karena
gairah politiknya yang kuat membangkitkan memori politik
Masyumi. Namun, setelah timbul konflik ditubuh PBB sebagian
32
pimpinan partai mendirikan Partai Bintang Reformasi (PBR)
menjelang Pemilu 2004. Hal ini berdampak pada kemrosotan
jumlah suara PBB pada Pemilu 2004 dan 2009. Kemudian ada
yang secara eksplisit menyebutkan kata Masyumi sebagai nama
baru seperti Partai Politik Islam Indonesia Masyumi Baru pimpinan
Abdulah Hehamahua. Kemudian Partai Masyarakat Muslim
Indonesia Baru (Partai Masyumi Baru) pempinan Ridwan Saidi.
Masih dari kalangan modernis Deliar Noer juga mendirikan Partai
Umat Islam (PUI), partai ini masuk dalam jajaran modernis karena
motor utama dan jajaran kepengurusannya berasal dari kalangan
dimaksud, seperti Harun Alrasid, Mochtar Effendi, Abdurahman
Gunadirdja, Mursalin Dahlan, dan lain sebagainya di jajaran
pimpinan (Muhtadi, 2008).
Nuansa saling ingin berkuasa cenderung menimbulkan konflik
tersendiri diantara sesama partai Islam. Kemunculan Partai
Syarikat Islam Indonesia (PSII) dan PSII 1905 adalah diantara
contoh partai yang memiliki akar sejarah yang sama. Sejak saat
fusi tahun 1973 PSII merupakan salah satu faksi yang melebur
menjadi PPP yang pada saat itu hanya ada satu PSII yang
bergabung dengan dua partai lainnya diluar NU yaitu Permusi dan
Perti.
Dari kalangan tradisional Islam muncul pula sederetan Parpol,
namun berbeda dengan Pemilu 1955 dimana NU tidak tampil
33
sebagai Parpol, NU tetap pada posisinya sebagai Ormas sesuai
Khittah yang diputuskan lima belas tahun sebelumnya. Namun
untuk
meyalurkan
aspirasi
politik
komunitas
Nahdliyin,
dimunculkanlah sejumlah Parpol dengan basis konstituen yang
terikat pada organisasi NU (Muhtadi, 2008).
Khittah NU sendiri memiliki makna sebagaimana yang
dijelaskan oleh Martin Van Bruinessen (1994) yaitu kembalinya
pola dasar dan bertindak NU 1926, yang muncul pada Munas
Situbondo 1983. Maksud dari apa yang diungkapkan Van
Bruinessen yaitu bahwa pendirian NU sejatinya tidak didirikan
oleh para pendirinya untuk kepentingan politik namun untuk
kepentingan dan memperjuangkan pendidikan dan sosial lainnya.
Hal ini sama dengan sikap Muhamadiyah yang sejak satu dasa
warsa tidak mendukung Masyumi dan menerima Pancasila sebagai
asas tunggal.
Menurut Asep Saeful Muhtadi (2008) setidaknya ada empat
partai politik berbasis NU yang tampil sebagai Organisasi Peserta
Pemilu (OPP) pada pemilu pertama sejak tumbangnya Orde Baru
yaitu Partai Kebangkitan Bangsa (PKB) dibawah pimpinan Matori
Abdul Jalil, Partai Solidaritas Uni Nasional (SUNI) dibawah
pimpinan Abu Hasan, Partai Kebangkitan Umat (PKU) dibawah
pimpinan Yusuf Hasyim paman dan “musuh” lama Gus Dur, dan
Partai Nahdhatul Umat (PNU) dibawah pimpinan Syukron
34
Ma’mun da’i bereprutasi yang sering mengkritik sayap progresif
NU.
Sebenarnya ada satu Parpol yang berbau NU namun tidak
begitu terikat dengan Ormas NU yaitu PPP di bawah pimpinan
Hamzah Haz yang telah mengalahkan kader MI, AM Saefudin
dalam Muktamarnya. PPP merupakan wadah aspirasi warga
Nahdliyin yang tidak begitu suka dengan konflik yang terjadi di
NU karena kemunculan empat partai tersebut, apalagi setelah jelas
adanya keberpihakan PBNU kepada salah satu parpol saja yaitu
PKB yang di kampanyekan pula oleh Gus Dur, sehingga waktu itu
mantan ketua Gerakan Pemuda Anshor Yusuf Effendi menilai Gus
Dur sebagai sosok demokrat yang belum bisa menerima
pluralisme. Namun hal itu segera ditepis oleh Khatib Syuriah NU
Said Agil Siradj yang menyebutkan bahwa PKB adalah leburan
dari NU dan tiga Parpol diatas adalah sempalan, separatis PKB.
Perebutan dukungan para elit Parpol berbasiskan NU ini karena
perkirakan NU memiliki massa kurang lebih 30-40 juta orang
(Muhtadi, 2008).
Diluar dari katagorisasi modernis dan tradisionalis lahir Partai
Amanat Nasional (PAN) dan Partai Keadilan. PAN sendiri digagas
oleh Majelis Amanat Rakyat (MARA) yang lahir pada 14 Mei
1998. PAN sebelumnya bernama Partai Amanat Bangsa.
Kemudian oleh para penggagasnya diganti dengan PAN yang di
35
ketuai oleh Amien Rais sendiri pada 23 Agustus 1998 (Muhtadi,
2008). Sebenarnya PAN sendiri memiliki basis massa dari
kalangan Muhammadiyah, namun hal itu tidak diungkapkan secara
terbuka oleh para petinggi parpol guna menjaga konsep pluralitas
partai. Dukungan massa tersebut timbul karena Amin Rais sendiri
adalah orang nomor satu Ormas Muhammadiyah. Namun dengan
keberpihakan
Ketua
Dewan
Syuro
kepada
PAN
maka
Muhammadiyah di bawah pimpinan Din Syamsudin mendirikan
Parpol sendiri menjelang Pemilu 2004 yaitu Partai Matahari
Bangsa (PMB).
Partai Keadilan yang seiring berjalannya dunia perpolitikan
nasional berganti nama Partai Keadilan Seahtera (PKS) pada
pemilu 2004, juga mengundang banyak perhatian publik. Partai ini
lahir dan didirikan oleh sebagian besar alumnus Timur Tengah di
bawah pimpinan mudanya Nur Mahmudi Isma’il. PKS di bawah
Hidayat Nur Wahid (ketua MPR-RI 2004-2009) terus melaju
kencang. PKS memilki basis massa yang sangat loyal dan kaderkadernya sangat militan, basis massa PKS adalah Ikhwanul
Muslimin yang sangat kuat mengusung Islam dalam platform
mereka. Ikwanul Muslimin (IM) merupakan organisasi yang lahir
di Mesir dengan tokohnya yaitu Hasan Albana (Mujahid,2011).
Organisasi ini merupakan aliran Islam semi moderat yaitu dengan
mengusung demokrasi dan syariat Islam sebagi asasnya. IM
36
berkembang dengan pesat dikawasan Asia Timur terkhusus
Indonesia sejak 1998. Menurut Abu Mujahid (2011) pula “IM
menginginkan adanya Negara yang berlandaskan Islam maka hal
itu untuk menjembatani visinya maka para kader IM mendirikan
PKS seperti halnya yang terjadi di Palestina dengan Hamas, Mesir
dengan IM, Malaysia dengan Partai Keadilannya”. Karena hal
itulah PKS terbentuk dari kader-kader pilihan sehingga tak salah
jika PKS disebut sebagai satu-satunya Partai Kader di Indonesia
saat ini. Di Negara lain IM selalu menjadi oposisi yang kuat dan
tak sering memberontak pada pemimpin Parpol yang berkuasa.
Namun hal seperti di Indonesia sekarang ini PKS masuk koalisi
Parpol penguasa.
Dibandingkan PPP, PKB, dan PAN yang selalu mengalami
penurunan konstituen PKS selalu mengalami peningkatan jumlah
suara nasioanl disetiap Pemilu. IM dalam berdakwah selalu
menjurus pada PKS sehingga para santri Tarbiyahnya sangat segan
dengan tokoh-tokoh PKS karena mereka berangkat dari bawah.
Namun di Wonosobo sendiri PKS tidak begitu memiliki massa
yang banyak, Bahkan hasil rekapitulasi KPUD kabupaten
Wonosobo pada Pemilu 2009 di antara Parpol Islam yaitu PKS,
PKB, PAN, PKNU, PBB, PPP, PBR, PPNUI, dan PMB, pemeroleh
suara terbanyak adalah PKB, disusul PAN dan PKNU baru PKS di
urutan nomor empat disusul PBB dan PMB (KPUD Kab.
37
Wonosobo, 2010). Hal ini dikarenakan memang sebagian warga
masyarakat Wonosobo berdasarkan tinjauan langsung beragama
Islam dengan aliran Nahdliyin, baru Muhammadiyah, kemudian
yang lainnya adalah Ikhwanul Muslimin, Ahmadiyah, Salafi
(FKAWJ), Syiah, dan Khowarij (JAT/MMI).
2.1.3 Tahap – Tahap Pemilihan Kepala Daerah
2.1.3.1 Tahap Persiapan Pemilihan Kepala Daerah
Menurut Peraturan Pemerintah Nomor 6 Pasal 2 tahap
persiapan pemilihan kepala daerah sebagai berikut :
a. Pemberitahuan DPRD mengenai berakhirnya masa jabatan
kepala daerah.
b. Perencanaan penyelenggaraan meliputi penetapan tata cara dan
jadwal tahapan pelaksanaan pemilihan kepala daerah.
c. Pembentukan panitia pengawas, PPK, PPS dan KPPS.
d. Pemberitahuan dan pendaftaran pemantau pemilihan.
Dari penjelasan di atas dapat disimpulkan bahwa tahap
persiapan pemilihan kepala daerah merupakan tahap atau rencana
yang paling mendasar karena tanpa adanya persiapan terlebih
dahulu tidak akan berjalan dengan lancar.
Menurut Peraturan Pemerintah Nomor 6 Tahun 2005 pasal 14
yang berbunyi ” Panitia pengawas adalah panitia pemilihan Kepala
Daerah dan Wakil Kepala Daerah yang dibentuk oleh DPRD dalam
38
melakukan pengawasan terhadap seluruh tahapan pelaksanaan
pemilihan”.
Penjelasan di atas menerangkan bahwa panitia pengawas
peranannya sangat penting bagi kelangsungan proses pemilihan
Kepala Daerah dan Wakil Kepala Daerah supaya berjalan dengan
lancar dan tidak disertai kecurangan – kecurangan.
Dalam Undang – Undang Nomor 32 tahun 2004 pasal 166
ayat 4 bahwa panitia pengawasan pemilihan mempunyai tugas dan
wewenang sebagai berikut:
a. Mengawasi semua tahapan penyelenggaraan pemilihan Kepala
Daerah dan Wakil Kepala Daerah.
b. Menerima
laporan
pelanggaran
peraturan
perundang –
undangan pemilihan Kepala Daerah dan Wakil Kepala Daerah.
c. Menyelesaikan sengketa yang timbul dalam penyelengaraan
pemilihan Kepala Daerah dan Wakil Kepala Daerah.
d. Meneruskan temuan dan laporan yang tidak dapat diselesaikan
instansi yang berwenang.
e. Mengatur hubungan koordinasi antara panitia pengawas pada
semua tingkatan.
Dalam Peraturan Pemerintah Nomor 6 Tahun 2005 yang
dimaksud pemantau pemilihan yaitu pelaksana pemantauan
pemilihan yang telah tercatat dan memperoleh akreditasi dari
KPUD yang berfungsi untuk memantau jalannya proses pemilihan
39
Kepala Daerah dan Wakil Kepala Daerah. Dibentuknya tim
pemantau pemilihan Kepala Daerah dan Wakil Kepala Daerah
pada saat pelaksanaan pencoblosan terutama di kalangan
masyarakat sebagai tim pemantau diharapkan dapat menjalankan
tugasnya sesuai dengan peraturan yang berlaku.
Adapun kewajiban Komisi Pemilihan Umum yaitu :
a. Memperlakukan pasangan calon secara adil dan setara.
b. Menetapkan standarisasi sera kebutuhan barang dan jasa yang
berkaitan dengan penyelenggaraan pemilihan Kepala Daerah
dan Wakil Kepala Daerah berdasarkan peraturan perundang –
undangan.
c. Menyampaikan laporan pada DPRD untuk setiap tahap
pelaksanaan
pemilihan
dan
menyampaikan
informasi
kegiatannya kepada masyarakat.
d. Memelihara arsip dan dokumen serta mengelola barang
inventaris milik KPUD berdasarkan peraturan perundang –
undangan.
e. Mempertanggungjawabkan
penggunaan
anggaran
kepada
DPRD.
f. Melaksanakan semua tahapan pemilihan Kepala Daerah dan
Wakil Kepala Daerah secara tepat waktu.
40
2.1.3.2 Tahap Pelaksanaan Pemilihan Kepala Daerah
Dalam Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2004 tentang
Pemerintahan Daerah di jelaskan bahwa tahap pelaksanaan
pemilihan Kepala Daerah dan Wakil Kepala Daerah meliputi
sebagai berikut :
a. Penetapan Pemilihan
Penetapan pemilihan yaitu warga negara Republik
Indonesia yang sudah berumur 17 (tujuh belas Tahun) yang
pada hari pemungutan suara Kepala Daerah dan Wakil Kepala
Daerah atau sudah kawin dan mempunyai hak memilih Kepala
Daerah dan Wakil Kepala Daerah dimana warga negara
Republik Indonesia itu terdaftar sebagai pemilih. Adapun
syarat yang harus dipenuhi pemilih menurut Undang-Undang
Nomor 32 Tahun 2004, yaitu :
1. Nyata – nyata sedang tidak terganggu jiwa / ingaannya.
2. Tidak sedang dicabut hak pilihannya berdasarkan putusan
pengadilan yang telah mempunyai kekuatan hukum tetap.
Dari uraian diatas dapat disimpulkan bahwa penetapan
seorang pemilih harus warga negara Indonesia yang telah
memenuhi syarat dengan ketentuan apabila seseorang pemilih
tidak dapat menggunakan hak pilihnya dan bila telah terdaftar
sebagai peserta akan diberi tanda bukti untuk setiap
pemungutan suara dengan catatan seorang pemilih hanya
41
didaftar satu kali dalam pemilih dan bila mempunyai lebih dari
satu tempat tinggal maka pemilih tersebut harus menentukan
satu untuk ditetapkan sebagai tempat tinggal yang dicantumkan
dalam daftar pemilih.
b. Pendaftaran dan Penetapan Pasangan Calon
Dalam proses penetapan pasangan calon Kepala Daerah
dan Wakil Kepala Daerah yang diajukan oleh partai politik atau
gabungan partai politik wajib memperhatikan pendapat dan
tanggapan masyarakat. Hal ini sesuai dengan apa yang
dijelaskan dalam PP Nomor 6 Tahun 2005 pasal 36 ayat 1 yang
berbunyi ” Peserta pemilihan adalah pasangan calon yang
diusulkan oleh partai politik atau gabungan dari partai politik
secara berpasangan.”
Dengan demikian pasangan calon dapat mendaftarkan diri
setelah
memenuhi
syarat-syarat
yang
telah
ditentukan
perolehan sekurang-kurangnya 15 % dari jumlah kursi DPRD
atau 15% dari akumulasi perolehan suara yang sah dalam
pemilihan anggota DPRD di daerah, dengan ketentuan partai
politik atau gabungan dari partai politik hanya dapat
mengusulkan satu pasangan calon dan tidak boleh dicalonkan
lagi oleh partai politik atau gabungan partai politik lainnya.
Dalam pendaftaran pasangan calon kepala daerah dan wakil
kepala daerah yaitu kepada komisi pemilihan umum paling
42
lama 7 (tujuh) hari terhitung sejak pengumuman pendaftaran
pasangan calon.
c. Kampanye
Kegiatan kampanye dilaksanakan sebagai bagian dari
penyelenggaraan pemilihan kepala daerah dan wakil kepala
daerah. Kampanye dilakukan selama 14 (empat belas) hari dan
berakhir 3 (tiga) sebelum hari pemungutan suara. Kampanye
sendiri diselenggarakan oleh tim kampanye yang dibentuk oleh
pasangan calon bersama-sama partai politik atau gabungan
partai politik yang mengusulkan pasangan calon.
Adapun jadwal kampanye ditetapkan oleh KPUD dengan
memperhatikan usul dari masing-masing pasangan calon. Tim
kampanye dibentuk secara berjenjang. Selama kampanye orang
bebas mengekspresikan kepentingannya, aspirasi maupun
pendapat secara bebas, dapat menghantarkan pasangan calon
yang bersangkutan pada suasana dimana pasangan calon
tersebut mencoba menarik simpatisan pemilih.
Suasana kampanye yang dimobilisasi oleh masa yang
banyak cenderung akan mendapatkan simpatisan publik dan
cenderung pula masa melakukan tindakan – tindakan yang
dilarang dalam rambu rambu kampanye.
43
d. Pemungutan Suara dan Perhitungan Suara
Secara formal tata cara pemberian suara berupa memilih
pasangan calon sudah menjamin penggunaan hak pilih serta
kebebasan dan kerahasiaan, apabila disertakan dengan adanya
hak bagi pasangan calon menyiapkan saksi dalam pilkada.
Menurut pasal 70 Peraturan Pemerintah Nomor 6 Tahun
2005
berbunyi
bahwa
pemungutan
suara
pemilihan
diselenggarakan paling lambat 30 (tiga puluh) hari sebelum
masa jabatan kepala daerah berakhir.
Dengan demikian pemungutan suara dimaksud yaitu
dengan memberikan suara melalui surat suara yang berisi
nomor, foto dan nama pasangan calon dan jadwal waktu
pelaksanaan pemungutan suara dimulai pukul 07.00 dan
berakhir 13.00 waktu setempat, dimana pemberian suara untuk
pemilihan dilakukan dengan mencoblos salah satu pasangan
calon yang ada dalam surat suara.
e. Penetapan Calon Terpilih, Pengesahan Pengangkatan dan
Pelantikan
Menurut Peraturan Pemerintah Nomor 6 Tahun 2005 pasal
9 ayat 1 yang berbunyi ” pasangan calon kepala daerah dan
wakil kepala daerah yang memperoleh suara lebih dari 50%
44
(lima puluh persen) jumlah suara sah ditetapkan sebagai
pasangan calon terpilih.”
Apabila pasangan calon tidak memperoleh suara lebih dari
25 % dari jumlah sah maka calon yang memperoleh suara
terbesar ditetapkan sebagai calon terpilih, dan pengesahan
pengangkatan pasangan calon Kepala Daerah dan Wakil
Kepala Daerah dilakukan oleh Menteri Dalam Negeri atas
nama Presiden paling lambat 30 hari, sebelum kepala daerah
dan wakil kepala daerah memangku jabatan dilantik terlebih
dahulu dengan mengucapkan sumpah atau janji yang dibimbing
oleh pejabat yang melantik, adapun cara pelantikan disesuaikan
dengan peraturan tata tertib DPRD.
f. Tahap Evaluasi
Sebagaimana yang dimaksud pada Peraturan Pemerintah
Nomor 6 Tahun 2005 bahwa tahap evaluasi merupakan tahap
atau kegiatan penyelesaian yaitu sebagai berikut : (1)
pembubaran panitia pemilihan ditingkat PPK, PPS, dan KPPS
sesuai dengan tugas dan tingkatannya. (2) penghimpunan dan
penyusunan hasil pemantauan pengawasan dan pelaksanaan
pemilihan Kepala Daerah dan Wakil Kepala Daerah. (3)
evaluasi pelaksanaan kegiatan pemilihan Kepala Daerah dan
Wakil Kepala Daerah. (4) laporan pelaksanaan kegiatan dan
45
pertanggungjawaban anggaran pelaksanaan pemilihan Kepala
Daerah dan Wakil Kepala Daerah.
2.2 Kerangka Berfikir
Sebagai titik tolak dari penelitian ini adalah harus adanya kerangka
berfikir yang penulis kemukakan sebagai berikut :
a. Pemilihan Kepala Daerah dan Wakil Kepala Daerah yang selanjutnya
disebut Pimilukada adalah sarana pelaksanaan kedaulatan rakyat di
wilayah Provinsi dan/atau Kabupaten/kota berdasarkan Pancasila dan
Undang-undang Dasar Negara Republik Indonesia
1945 untuk
memilih Kepala Daerah dan Wakil Kepala Daerah.(PP N0. 6 Tahun
2005).
b. Proses dari pemilihan Kepala Daerah dan Wakil Kepala Daerah
diselenggarakan oleh KPUD (Komisi Pemilihan Umum Daerah) yang
bertanggung jawab kepada DPRD dimana tugas utama dari KPUD
dalam penyelenggaraan Pemilihan Kepala Daerah dan Wakil Kepala
Daerah yaitu merencanakan penyelenggaraan Pemilihan Kepala
Daerah dan Wakil Kepala Daerah sesuai dengan tahapan-tahapan yang
diatur dalam peraturan perundang-undangan (UU No.32 Tahun 2004).
c. Kepala Daerah dan Wakil Kepala Daerah merupakan pejabat negara
yang mempunyai peranan yang sangat strategis dalam rangka
pengembangan
kehidupan
demokrasi,
keadilan,
pemerataan,
kesejahteraan masyarakat, memelihara hubungan yang serasi antara
46
pemerintahan pusat dan daerah serta antar daerah. Sejalan dengan hal
tersebut diatas, diperlukan figur Kepala Daerah yang mampu
mengembangkan inovasi, berwawasan kedepan dan siap melakukan
perubahan-perubahan ke arah yang lebih baik, dimana proses-proses
pemilihan Kepala Daerah dilaksanakan melalui beberapa tahapan
dimulai dari tahap pendaftaran, penyaringan, penetapan pasangan
calon, rapat paripurna khusus, pengiriman berkas pemilihan,
pengesahan, dan pelantikan.
47
Download