BAB V PENUTUP A. Kesimpulan Berdasarkan hasil

advertisement
BAB V
PENUTUP
A. Kesimpulan
Berdasarkan hasil penelitian dan pembahasan dalam bab sebelumnya, maka
dapat diperoleh kesimpulan sebagai berikut:
1. Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 43/PUU-XIII/2015 berimplikasi pada,
pertama, dengan adanya putusan ini ketentuan normatif yang melibatkan
lembaga negara lain (dalam hal ini KY) dalam proses seleksi pengangkatan
hakim tingkat pertama adalah inkonstitusional karena bertentangan dengan
norma kemerdekaan kekuasaan kehakiman sebagaimana dijamin dan
ditegaskan dalam konstitusi dan kebijakan satu atap. Artinya keterlibatan
lembaga lain dalam proses seleksi pengangkatan hakim pengadilan tingkat
pertama dinilai berpotensi mereduksi independensi kekuasaan kehakiman
dan bertentangan dengan kebijakan sistem satu atap.
Kedua, KY tidak memiliki kewenangan untuk melaksanakan seleksi
pengangkatan hakim pengadilan tingkat pertama bersama MA. Frasa
“wewenang lain” dalam Pasal 24B ayat (1) UUD 1945, tidak dapat diperluas
dengan tafsiran lain. Frasa tersebut adalah semata dalam rangka menjaga dan
menegakkan kehormatan, keluhuran, martabat, serta perilaku hakim. Artinya
frasa “wewenang lain” dalam Pasal 24B ayat (1) UUD 1945 tidak termasuk
dalam kewenangan untuk merekrut hakim tingkat pertama yang
menimbulkan pengertian bahwa proses seleksi pengangkatan hakim bukan
merupakan salah satu bentuk pengawasan dalam rangka menjaga dan
menegakkan kehormatan, keluhuran martabat, serta perilaku hakim. Tafsiran
dari MK ini juga menimbulkan pengertian bahwa kewenangan KY adalah
semata menjaga dan menegakkan kehormatan, keluhuran, martabat, serta
perilaku hakim, bukan calon hakim yang akan menjadi hakim, artinya setelah
ada putusan ini KY benar-benar tidak memiliki kewenangan dalam proses
seleksi pengangkatan hakim pengadilan tingkat pertama.
2. Pasca dikeluarkannya Putusan MK Nomor 43/PUU-XIII/2015, MA menjadi
satu-satunya lembaga yang berwenang melaksanakan proses seleksi
pengangkatan hakim pengadilan tingkat pertama. Akan tetapi walaupun MA
menjadi satu-satunya lembaga yang berwenang, keterlibatan lembaga lain
dimungkinkan tergantung oleh kebijakan dari MA, karena biasanya MA
selalu melibatkan lembaga outsourcing dalam seleksi pengangkatan hakim
pengadilan tingkat pertama yang keterlibatan lembaga tersebut tidak tertulis
di peraturan perundang-undangan. Proses seleksi pengangkatan hakim
pengadilan tingkat pertama juga harus dilaksanakan dengan mendudukkan
hakim sebagai pejabat negara pelaku kekuasaan kehakiman, tidak sebagai
PNS karena putusan ini telah memberikan “nilai khusus” pada status hakim
sebagai pejabat negara, status hakim memang sudah tidak tepat lagi
diidentifikasi sebagai pejabat negara saja, tetapi seharusnya ditempatkan
sebagai pejabat negara pelaku kekuasaan kehakiman sehingga memiliki
karakteristik khusus. Selain itu dalam melaksanakan pendidikan hakim, MA
harus bekerja sama dengan perguruan tinggi negeri atau swasta yang
terakreditasi A dalam jangka waktu yang ditentukan dan melalui proses
seleksi yang ketat sesuai dengan tiga paket UU Peradilan Tahun 2009.
A. Saran
1. Dibutuhkan UU tentang Jabatan Hakim yang mengatur semua hal mengenai
jabatan hakim, termasuk proses pengangkatan, pemberhentian, dan
rekonstruksi manajerial atau pengelolaan jabatan hakim yang sesuai dan
berdasarkan atas filosofi hakim sebagai pejabat negara karena belum ada
payung hukum untuk melaksanakan proses pengangkatan hakim tingkat
pertama dengan status hakim sebagai pejabat negara walaupun di berbagai
peraturan perundang-undangan sudah disebutkan bahwa hakim adalah
pejabat negara.
2. Walaupun KY sudah tidak dapat terlibat dalam proses seleksi pengangkatan
hakim pengadilan tingkat pertama, pengawasan yang ketat tetap dibutuhkan
dalam proses tersebut. Oleh karena itu MA sebaiknya melibatkan partisipasi
masyarakat karena partisipasi masyarakat adalah salah satu kunci yang sangat
vital dalam menentukan atau dalam melakukan seleksi hakim yang baik. LSM
adalah salah satu pengontrol non-pemerintah yang efektif untuk melakukan
pengawasan, sepanjang pengawasan dalam batas-batas profesional. Sehingga
diharapkan proses seleksi yang dilakukan oleh MA menjadi lebih objektif,
transparan, partisipatif dan akuntabel. Akan tetapi apabila MA tidak mau
melibatkan masyarakat, MA harus dapat membuktikan bahwa semua proses
seleksi setidaknya bisa berjalan dengan baik daripada proses seleksi tanpa ada
pengawasan atau partisipasi masyarakat dan dapat dipertanggungjawabkan.
Download