BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Masalah Keselamatan

advertisement
BAB I
PENDAHULUAN
1.1 Latar Belakang Masalah
Keselamatan pasien di rumah sakit adalah suatu upaya yang mendorong rumah sakit untuk
memberikan pelayanan kesehatan yang aman dan berkualitas tinggi. Panduan keselamatan pasien
pada prinsipnya ditujukan untuk meningkatkan keselamatan pasien dan terhindarnya pasien dari
cidera yang disebabkan oleh proses pelayanan kesehatan. Berbagai Negara maju telah
melaksanakan pelayanan kesehatan yang tidak hanya mengutamakan mutu tetapi juga kualitas
keselamatan pasien (quality-patient safety) Departemen Kesehatan Republik Indonesia, (Dep.
Kes RI,2006).
Kualitas pelayanan keperawatan perlu diukur melalui indikator mutu keperawatan. Tujuan
ditetapkannya indikator mutu keperawatan yaitu sebagai standar dalam memberikan pelayanan
keperawatan dan sebagai pedoman untuk mengukur dan mengevaluasi kualitas pelayanan
keperawatan yang dilakukan. Indikator mutu unit keperawatan yaitu angka kejadian plebitis Unit
Penjamin Mutu Rumah Sakit Umum Pusat Sanglah Denpasar, (RSUP Sanglah Denpasar,2013).
Angka kejadian plebitis termasuk infeksi nosokomial yang merupakan salah satu indikator mutu
dalam standar pelayanan rumah sakit dimana angka standar yang menjadi acuan adalah ≤1.5%.
Angka kejadian plebitis adalah perbandingan jumlah kejadian plebitis dengan jumlah pasien
yang mendapat terapi infus (Dep.Kes RI,2008).
Plebitis didefinisikan
sebagai inflamasi vena yang disebabkan oleh iritasi kimia, mekanik
maupun oleh bakteri. Hal ini dikarakteristikan dengan adanya daerah yang memerah dan hangat
di sekitar daerah penusukan atau sepanjang vena, pembengkakan, nyeri atau rasa keras disekitar
daerah penusukan atau sepanjang vena dan bisa keluar cairan/pus. Insiden plebitis meningkat
sesuai dengan lamanya pemasangan jalur intravena, komplikasi cairan atau obat yang
dimasukkan (terutama PH dan tonisitasnya), ukuran dan tempat kanula dimasukkan, pemasangan
jalur intravena yang tidak sesuai dan masuknya mikroorganisme pada saat penusukan (Brunner
dan Sudarth,2008).
Berdasarkan data Dep. Kes RI, 2008 angka kejadian plebitis pada Rumah Sakit di Indonesia
tahun 2004 adalah 2.168 (1.7%), sedangkan menurut Dep.Kes RI 2006, jumlah kejadian infeksi
nosokomial berupa plebitis di Indonesia sebanyak (17,11%). Dari beberapa hasil penelitian yang
dilakukan seperti Fitria tahun 2007 mengatakan bahwa angka kejadian plebitis di Rumah Sakit
Umum Mokopindo Tolitoli sebanyak 42,4%. Penelitian yang dilakukan Pasaribu tahun 2008
mengatakan bahwa angka kejadian plebitis di Rumah Sakit Haji Medan sebanyak 52%.
Penelitian Putra tahun 2011 mengatakan bahwa angka kejadian plebitis di RSUD Dr M. Yunus
Bengkulu sebanyak 44,5%. Hasil penelitian yang dilakukan oleh Mulyani tahun 2010, yang
menyatakan rata-rata kejadian plebitis waktu >24 jam dan <72 jam setelah pemasangan terapi
intravena (Pasaribu, 2008).
Kejadian plebitis meningkat sejalan dengan lamanya kanulasi atau waktu pemasangan. Seperti
yang dikemukakan oleh Gabriel,et al, 2005 dalam Royal College of Nursing (RCN) 2005 yang
mengatakan bahwa angka kejadian plebitis meningkat 12% menjadi 34% pada 24 jam pertama
setelah hari pemasangan infus, diikuti oleh peningkatan angka dari 35% menjadi 65% setelah 48
jam pemasangan infus. Untuk itu pemindahan lokasi pemasangan harus dilakukan sebelum
terjadi plebitis. Infusion Nursing Society (INS) 2006 merekomendasikan bahwa kanula perifer
harus diganti setiap 72 jam dan segera mungkin jika diduga terkontaminasi, adanya komplikasi,
atau ketika telah dihentikan (Alexander,et al., 2010). Hal ini sejalan dengan hasil penelitian
Pujasari dan Sumarwati 2006 dalam Wayunah 2011 mendapatkan waktu kejadian plebitis mulai
dari satu sampai tiga hari, dengan rata-rata kejadian adalah pada hari kedua dari pemasangan
infus. Hal ini menunjukkan bahwa waktu terjadinya plebitis dapat terjadi sebelum 72 jam.
Plebitis dapat menyebabkan thrombus yang selanjutnya dapat menjadi tromboplebitis.
Tromboplebitis merupakan peradangan dinding vena dan biasanya disertai pembentukan bekuan
darah. Jika thrombus terlepas kemudian diangkut dalam aliran darah dan masuk ke jantung maka
dapat menimbulkan gumpalan darah seperti katup bola yang bisa menyumbat atrioventikular
jantung secara mendadak dan dapat menimbulkan kematian. Hal ini menjadikan plebitis sebagai
salah satu permasalahan yang penting untuk dibahas disamping plebitis juga sering ditemukan
dalam proses keperawatan (Brunner dan Suddart,2008).
Dampak yang terjadi dari plebitis bagi pasien menimbulkan dampak yang nyata yaitu:
ketidaknyamanan pasien, pergantian kanul infus baru, menambah lama perawatan dan akan
menambah biaya perawatan di rumah sakit. Sedangkan untuk institusi yaitu: beban kerja atau
tugas bertambah bagi tenaga kesehatan, dapat menimbulkan terjadinya tuntutan (malpraktek),
dan juga dapat menurunkan citra dan kualitas pelayanan rumah sakit (Darmadi,2008).
Peran perawat dalam terapi infus terutama dalam melakukan tugas delegasi, yaitu perawat harus
memiliki pengetahuan tentang praktik keperawatan yang berhubungan dengan pengkajian,
perencanaan, implementasi dan evaluasi dalam perawatan terapi infus Pemberian terapi infus
diinstruksikan oleh dokter tetapi perawatlah yang bertanggungjawab pada pemberian serta
mempertahankan terapi tersebut pada pasien. Peran perawat dalam terapi infus bukan hanya
untuk pemberian agen medikasi, tetapi lebih luas meliputi pemasangan alat akses intravena,
perawatan,
monitoring
plebitis(Alexander,etal,2010).
dan
yang
paling
penting
adalah
pencegahan
Salah satu cara perawat untuk mencegah dan mengatasi plebitis yaitu dengan mendeteksi dan
menilai terjadinya plebitis selama pemasangan infus. Menurut RCN (2010), adapun cara yang
dapat digunakan adalah dengan menerapkan visual infusion phlebitis (VIP) score. Dinas
Kesehatan di Inggris tahun 2010, INS di Inggris tahun 2011 dan RCN di Amerika Serikat tahun
2010 merekomendasikan VIP score sebagai alat atau indikator yang valid, reliabilitas dan secara
klinis layak digunakan untuk menentukan indikasi dini plebitis dan menentukan skor yang tepat
untuk plebitis. VIP score sudah diterima sebagai standar internasional, sudah digunakan di
banyak negara dan sudah diterjemahkan ke dalam beberapa bahasa.
Visual infusion phlebitis (VIP) score sudah dikembangkan oleh Andrew Jackson, konsultan
perawat terapi intravena dan perawatan Rumah Sakit Umum Rotherharm, di Inggris. Andrew
Jackson telah mengembangkan skor visual untuk deteksi dini kejadian plebitis dan penetapan
skor yang tepat sehingga plebitis dapat dinilai dan dapat dicegah sedini mungkin melalui
pengamatan visual yang dilakukan oleh perawat. Dengan penerapan VIP score akan
memberdayakan perawat dalam mendeteksi dini terjadinya plebitis dan penentuan skor yang
tepat untuk plebitis, sehingga kanul infus dapat dicabut dan dipindahkan ketempat penusukan
yang lain pada indikasi resiko terjadinya plebitis (INS 2011).
Menurut Ermira Tartari Bonnici (2012) VIP score dapat digunakan sebagai standar untuk
mendeksi dini kejadian plebitis. Hal ini sudah dibuktikan dengan penelitian mengenai VIP score
yang dilakukan oleh Ermira Tartari Bonnici tahun 2012 pada Infection Control Unit di Rumah
Sakit Dei Mater Imsida Malta, dari hasil penelitiannya tingkat plebitis turun dari 22,7% pada pre
intervensi menjadi 6,5% pada post intervensi penerapan VIP score.
Dari hasil studi pendahuluan yang dilakukan peneliti pada bulan Desember 2013 untuk Ruang
Neonatus Intensif Care Unit (NICU) mengalami angka kejadian plebitis tertinggi. Adapun
diperoleh data angka kejadian plebitis di Ruang NICU untuk tahun 2013 mengalami peningkatan
atau melebihi standar yang ditetapkan untuk angka kejadian plebitis yaitu ≤1,5%. Pada bulan
Oktober sebanyak 68% dan bulan Nopember sebanyak 43%, sedangkan untuk jumlah
pemasangan infus rata-rata perbulan 300 kali.
Sesuai dengan hasil wawancara dengan Kepala Ruangan NICU RSUP Sanglah didapatkan data
masih ada kejadian plebitis yang dilaporkan. Dalam hal ini plebitis bisa terjadi karena kondisi
tubuh bayi yang rentan terjadinya infeksi, pergerakan bayi, keadaan vena yang terlalu kecil,
pemberian cairan dan obat-obatan yang memiliki kepekatan tinggi contohnya KCl dan
pemberian total parenteral nutrisi (TPN). Menurut World Health Organization, (WHO 2009)
sebagian besar infeksi lanjut neonatus di dapat di rumah sakit melalui pemberian cairan
intravena, kurangnya tindakan aseptik untuk semua prosedur dan tindakan menyuntik yang
kurang bersih. Pada neonatus rentan terjadi infeksi oleh karena itu perlu upaya untuk mengontrol
infeksi.
Adapun upaya yang sudah dilakukan oleh RSUP Sanglah untuk mencegah terjadinya plebitis
yaitu dengan menerapkan SPO pemasangan infus dan pemindahan tempat insersi dan
penggantian intravena kateter setiap 3 hari kecuali ada komplikasi, SPO patient savety yaitu saat
pemberian cairan konsentrasi tinggi dan flasing pada saat pemberian obat melalui infus, SPO
cuci tangan efektif, diadakan inservice training pemasangan infus serta observasi plebitis dengan
menggunakan lembar pengumpulan data INOS. Namun pada kenyataannya pelaporan untuk
angka kejadian plebitis masih tinggi di ruang neonatus. Apalagi RS Sanglah sudah mendapatkan
sertifikat Joint Commision International (JCI) seharusnya angka kejadian plebitis bisa mencapai
standar minimal yang sudah ditetapkan yaitu ≤1,5%. Menurut Amina 2010 idealnya pasien yang
terpasang infus tidak mengalami plebitis apabila sudah dilakukan deteksi sejak awal pada pasien
yang beresiko untuk terjadinya plebitis. Kelemahan lembar pengumpulan data INOS yang
digunakan selama ini di RSUP Sanglah yaitu belum tercantum skor plebitis sehingga perawat
belum bisa menentukan skor plebitis dengan tepat dan pada lembar tersebut masih digabung
dengan tindakan yang lain. Oleh karena itu Rumah Sakit Sanglah belum memiliki standar yang
digunakan sebagai pedoman untuk mendeteksi dini plebitis dan untuk menentukan skor plebitis
dengan tepat, sehingga bisa mempengaruhi angka kejadian plebitis.
Berdasarkan hasil wawancara kepada perawat di Ruang NICU, kejadian plebitis masih ada, hal
ini bisa terjadi karena deteksi dini yang kurang, dan mereka mengatakan belum mengetahui skor
plebitis secara pasti, karena di ruang tersebut belum ada standar yang digunakan untuk
menentukan skor plebitis, sedangkan selama ini yang mereka gunakan untuk menilai plebitis
hanya berdasarkan lembar pengumpulan data INOS. Pada lembar tersebut tidak dijelaskan
kriteria plebitis, perawat hanya melaporkan apabila terjadi bengkak, kemerahan dan infus macet
sudah dilaporkan sebagai plebitis.
Berdasarkan latar belakang tersebut diatas, maka penulis tertarik untuk meneliti Analisis
Perbedaan Angka Kejadian Plebitis dengan Visual Infusion Plebitis (VIP) score dan Lembar
Pengumpulan Data INOS di Ruang NICU RSUP Sanglah Denpasar.
1.2 Rumusan Masalah
Rumusan masalah dalam penelitian ini adalah apakah ada perbedaan angka kejadian plebitis bila
diukur dengan Visual Infusion Phlebitis (VIP) Score dan Lembar Pengumpulan Data INOS di
Ruang NICU RSUP Sanglah Denpasar?
1.3 Tujuan Penelitian
1.3.1 Tujuan Umum
Penelitian ini bertujuan mengetahui perbedaan angka kejadian plebitis bila diukur dengan Visual
Infusion Phlebitis (VIP) score dan lembar pengumpulan data INOS di Ruang NICU RSUP
Sanglah Denpasar.
1.3.2 Tujuan Khusus
a.
Mengidentifikasi karakteristik responden penelitian di Ruang NICU RSUP Sanglah
Denpasar
b.
Mengidentifikasi kejadian plebitis dengan menggunakan lembar pengumpulan data INOS di
Ruang NICU RSUP Sanglah Denpasar.
c.
Mengidentifikasi kejadian plebitis dengan menggunakan VIP Score di Ruang NICU RSUP
Sanglah Denpasar.
d.
Menganalisis perbedaan angka kejadian plebitis dengan Visual Infusion Phlebitis (VIP)
score dibandingkan lembar pengumpulan data INOS di Ruang NICU RSUP Sanglah
Denpasar.
1.4 Manfaat Penelitian
1.4.1 Manfaat Teoritis
a.
Sebagai masukan dalam pengembangan ilmu keperawatan khususnya dalam pencegahan
infeksi nosokomial (terjadi plebitis) akibat tindakan invasif pemasangan infus.
b.
Hasil penelitian ini juga dapat digunakan sebagai bahan masukan untuk pengembangan
penelitian selanjutnya sehingga dapat meningkatkan kualitas dan ketepatan penelitian
dimasa yang akan datang.
1.4.2 Manfaat Praktis
a.
Hasil penelitian ini dapat digunakan oleh perawat sebagai alat atau standar untuk melakukan
deteksi dini terjadinya plebitis
sehingga dapat mencegah terjadinya komplikasi akibat
pemasangan infus dan digunakan juga untuk menetapkan skor yang tepat untuk menentukan
plebitis.
b.
Hasil penelitian ini dapat digunakan sebagai bahan masukan dalam meningkatkan mutu
layanan kesehatan khususnya tentang pencegahan infeksi nosokomial akibat tindakan invasif
pemasangan infus.
1.5 Keaslian Penelitian
Berdasarkan telaah literatur, penelitian Analisis Perbedaan Angka Kejadian Plebitis dengan
Visual Infusion Phlebitis (VIP) score dibandingkan Lembar Pengumpulan data INOS di
Ruang NICU RSUP Sanglah Denpasar. Penelitan lain yang berkaitan
dengan judul
penelitian ini, diantaranya adalah sebagai berikut:
1.5.1 Kamma, (2010) dengan judul “Hubungan antara pemasangan infus dengan pemasangan
infus dan kejadian flebitis. Metode kejadian flebitis di Rumah Sakit Prikasih Jakarta Selatan
Variabel yang diteliti adalah yang digunakan adalah deskriptif korelasi dengan pendekatan
studi kohort Hasil penelitian menunjukkan bahwa ada hubungan yang bermakna antara
lokasi pemasangan infus (pvalue =0,042), jenis cairan infus yg diberikan (pvalue= 0,001)
dan pemasangan infus (pvalue=0,011)
1.5.2 Pasaribu, (2008) dengan judul “Analisis Pelaksanaan Standar Operasional Prosedur
Pemasangan Infus Terhadap Kejadian Plebitis di Rumah Sakit Haji Medan. Variabel SOP
pemasangan infus dan kejadian plebitis. Jenis penelitian survey analitik obsevasional (non
eksperimen). Hasil penelitian menunjukkan ada hubungan antara perawat yang
melaksanakan pemasangan infus sesuai SOP dengan kejadian plebitis pada pasien, hal ini
terlihat dari p value 0,008. Dari 100 orang sampel yang di observasi terdapat kejadian
plebitis sebanyak 52 orang (52%) dan yang tidak 8 Plebitis Di Ruang Rawat Inap Rumah
Sakit Haji Medan” plebitis 48 orang (48%).
1.5.3 Jarumiyati (2009) dengan judul ”Hubungan Lama pemasangan Kateter Intravena dengan
Kejadian Plebitis Pada Pasien Dewasa Rawat Inap Di Bangsal Menur Dan Bakung Di
RSUD Wonosari”. Didapatkan hasil bahwa ada hubungan antara lama pemasangan kateter
intravena dengan kejadian plebitis. Variabel yang digunakan dalam penelitian tersebut yaitu
lama pemasangan kateter intravena sebagai variabel independen dan kejadian plebitis
sebagai variabel dependen. Pada penelitian tersebut, peneliti menggunakan rancangan
penelitian survey dengan pendekatan planatory research analisis data penelitian
menggunakan uji somers’d Kesimpulan dari penelitian tersebut adalah ada hubungan antara
lama pemasangan kateter intravena dengan kejadian plebitis.
1.5.4 Putra (2011) dengan judul “Bagiamanakah Gambaran Penggunaan Jarum dan Prosedur
Tindakan Pemasangan Infus Pada Pasien Yang Mengalami Plebitis di Ruang Melati RSUD
Dr. M. Yunus Bengkulu?” didapatkan hasil bahwa terlihat sebagian besar pasien yang
mengalami plebitis terpasang ukuran jarum kateter vena sebagian besar(44,5%) dengan
ukuran jarum 20 -22, (33,3%) ukuran jarum 24–26, dan sebagian kecil (11,1%)
menggunakan ukuran jarum 16–18 serta jenis kupu-kupu/wings dan pasien yang mengalami
plebitis yang dilakukan tindakan pemasangan infus lebih dari sebagian besar dengan
kategori tidak sesuai dengan protap (66,7%) dan sebagian kecil prosedur pemasangan infus
dengan kategori sesuai dengan protap (33,3%). Variabel yang digunakan dalam penelitian
tersebut yaitu penggunaan jarum dan prosedur tindakan pemasangan infus pada pasien yang
mengalami plebitis. Pada penelitian tersebut, peneliti menggunakan rancangan penelitian
survey dengan pendekatan menggunakan teknik non-statistik, melainkan dengan analisis
deskriptif. Kesimpulan dari penelitian tersebut adalah terlihat sebagian besar pasien yang
mengalami plebitis terpasang ukuran jarum kateter vena sebagian besar (44,5%) dengan
ukuran jarum 20-22, (33,3%) ukuran jarum 24–26, dan sebagian kecil (11,1%)
menggunakan ukuran jarum 16–18 serta jenis kupu-kupu/wings dan pasien yang mengalami
plebitis yang dilakukan tindakan pemasangan infus lebih dari sebagian besar dengan
kategori tidak sesuai dengan protap (66,7%) dan sebagian kecil prosedur pemasangan infus
dengan kategori sesuai dengan protap (33,3%).
1.5.5 Ermira Tartari Bonnici (2012), “Safer patient care through better peripheralintravenous
catheter management in Infection Control Unit, Mater Dei Hospital Imsida Malta.
Penelitian tersebut menggunakan metode penelitian pre test dan post test. Tujuan
penelitiannya untuk memperkenalkan standar kateter perifer (PVC) dan untuk mencegah
secara dini terjadinya plebitis dengan menerapkan VIP Score. Hasil penelitian tersebut
terjadi penurunan yang signifikan yaitu kejadian plebitis turun dari 22,7% pada pre
intervensi menjadi 6,5% pada post intervensi.
1.5.6 Wayunah (2011), “ Hubungan pengetahuan perawat tentang terapi infus dengan
kejadian plebitis dan kenyamanan pasien di ruang inap RSUD Indramayu”. Desain
penelitian yang digunakan Analitik Korelasi dengan rancangan penelitian cross sectional.
Hasil penelitian tersebut menyatakan ada hubungan antara antara pengetahuan perawat
dengan kejadian plebitis dan kenyamanan pasien di ruang inap RSUD Indramayu.
Download