18 | Ekonomi Nasional KAMIS, 28 OKTOBER 2010 | MEDIA INDONESIA Kenali Selera Baru Wisatawan Wisata telah menjadi simbol eksistensi kelas sosial. Anindityo Wicaksono I NDUSTRI pariwisata saat ini telah berubah mengikuti tren baru atau new tourism. Pembaruan ini sejalan dengan perubahan gaya hidup dan selera konsumen di era modern. Mulai dari sisi psikologi wisatawan, manajemen pariwisata, teknologi, hingga rantai produksinya. Managing Director Tourism Intelligence International (TII) Auliana Poon, pada seminar ‘International Tourism Businesss Opportunities 20112015 di Jakarta, Senin (25/10), menuturkan, perubahan tren itu disertai dengan munculnya konsumen baru, pasar baru, dan permintaan baru. Era pariwisata lama, menurutnya, ditandai konsumsi massal. Saat itu, perjalanan wisata sekadar menjadi pelarian dari rutinitas hidup. Namun, di era baru sekarang ini, perjalanan wisata lintas negara telah menjadi bagian gaya hidup, kegiatan untuk menjawab rasa ingin tahu dan memperluas horizon kebudayaan lewat pengalaman dan perjalanan. “Wisata juga telah menjadi simbol eksistensi kelas sosial,” kata dia. Oleh karena itu, kata Auliana, pemangku kepentingan di industri pariwisata Indonesia harus mengenali selera baru wisatawan mancanegara untuk menangkap peluang pemulihan pariwisata global pada 2011-2015. “Ciptakan program-program promosi dan paket perjalanan dengan berpatokan pada ANTARA/AHMAD SUBAIDI POTENSI WISATA: Pengunjung menikmati panorama gili Kenawa di Desa Tano, Kecamatan Poto Tano, Taliwang, Kabupaten Sumbawa Barat, NTB, beberapa waktu lalu. Pulau Kenawa dengan luas 13,8 hektare memiliki panorama alam yang indah. Kawasan ini cocok untuk wisata diving dan snorkeling karena memiliki jenis ikan dan terumbu karang yang bervariasi dan berkerapatan tinggi. preferensi turis modern yang mencari kearifan lokal dan kegiatan serta produk-produk kebudayaan,” terangnya. Dari sisi suplai, tak diragukan lagi Indonesia punya segalanya yang diinginkan wisatawan. Namun, suplai luar biasa itu pun harus menyesuaikan diri dengan perubahan preferensi konsumen yang radikal dan cepat. “Tiap negara tak bisa lagi mengandalkan keindahan alam dan industri hiburan untuk memenangi kompetisi, tapi juga nilai-nilai. Wisatawan modern ingin dapat pengalaman berinteraksi langsung dengan masyarakat lokal dan kebudayaannya, serta cerita di baliknya” ujarnya. Pulau kecil Sementara itu, menurut peneliti senior Pusat Litbang Kembudpar Roby Ardiwidjaja, inovasi produk pariwisata di tengah tren pergeseran wisatawan modern yang mencari autentisitas dari suatu destinasi bisa dilakukan dengan mengembangkan pulau kecil sebagai tujuan wisata baru. Namun, ia mengingatkan, “Jangan sampai terjadi eksploitasi berlebih di pulau kecil yang dibuka jadi destinasi wisata. Buatlah paket-paket wisata dengan tetap mengutamakan prinsip ekologi dan sosial budayanya.” Yang tak kalah penting, menurut pemerhati pariwisata Wuryastuti Sunario, para pelaku usaha di sektor pariwisata butuh kepastian hukum dalam menanamkan modal pengembangan pulau-pulau kecil di Indonesia. “Kemenbudpar harus segera memetakan aturan main yang jelas sebagai pegangan pemerintah daerah,” tegasnya. Di sisi lain, Dirjen Pemasaran Kemenbudpar Sapta Nirwandar mengatakan tren pemu- lihan sektor pariwisata pada 2010 memang harus ditangkap Indonesia. Berdasarkan prediksi Organisasi Pariwisata Dunia PBB (UNWTO), kedatangan wisatawan internasional pada 2010 akan tumbuh sekitar 3%-4% atau bertambah 26-35 juta orang. “Jika melihat tren itu, jumlah wisatawan mancanegara ke Indonesia diproyeksikan tumbuh 7%, bertambah dari 6,5 juta orang di 2009 menjadi 7 juta. Angka optimistisnya bisa 7,3 juta orang,” jelasnya. (E-3) [email protected] Prospek Perikanan masih Cerah PROSPEK usaha produkproduk perikanan Indonesia masih cerah ke depan. Hal itu ditandai masih besarnya permintaan dalam negeri yang belum terpenuhi dan pasar ekspor yang akan terus meningkat. Menurut Ketua Umum Asosiasi Pengusaha Pengolahan dan Pemasaran Produk Perikan an Indonesia (AP51) Thomas Darmawan, tahun ini tingkat ekspor produk perikanan memang masih cenderung stagnan jika dibandingkan dengan pada 2009. Rendahnya pertumbuhan ekspor itu, berkaitan dengan meningkatnya permintaan dalam negeri tahun ini yang bisa mencapai 15%-20%. “Produk ikan tawar yang jadi primadona di Indonesia ini di antaranya ikan mas, gurame, dan patin,” ujarnya di sela pembukaan pameran produkproduk makanan minuman, percetakan, dan farmasi di Jakarta, kemarin. Menurut Thomas, tren positif pertumbuhan pasar dalam negeri ini selain sebagai dampak bertambahnya jumlah penduduk, karena bertambahnya tingkat konsumsi masyarakat. “Pasar produk perikanan dalam negeri ini bisa terdongkrak salah satunya karena tren kenaikan harga daging sapi dan ayam belakangan ini. Kita lihat saat ini, banyak orang beralih mengonsumsi ikan saat harga daging sapi dan ayam mahal,” ujarnya. Jika dapat dimanfaatkan, ujar Thomas, usaha produk perikan an masih akan bergairah ke depan. Pasalnya, jika dibandingkan dengan negara-negara lain di kawasan ASEAN, tingkat konsumsi ikan per kapita masyarakat Indonesia masih jauh lebih kecil. Tingkat konsumsi ikan nasional hanya sekitar 3 kg per kapita per tahun. Bandingkan dengan daging sapi dan ayam yang mencapai 4-5 kg per tahun. “Untuk menangkap potensi pasar ini, Indonesia perlu menambah industri-industri pengolahan,” ujarnya. Thomas melanjutkan, selain industri pengolahan, dari sisi hulu atau budi dayanya pun masih perlu terus dikembangkan. Karena itu, saat ini, fokus pengembangan dunia usaha Untuk menangkap potensi pasar ini, Indonesia perlu menambah industri-industri pengolahan.” Thomas Darmawan Ketua Umum AP51 adalah pada penyiapan sumber daya manusianya, teknologi budi daya serta pemasarannya. Untuk ekspor, terutama produk primadona udang, tahun depan akan menjadi masamasa penuh kesempatan bagi Indonesia. Itu terkait dengan China yang mengumumkan memerlukan produk udang hingga 1 juta ton per tahun mulai tahun depan. Saat ini, pasar ekspor produk udang Indonesia masih terpusat di Jepang, Eropa, dan Amerika Serikat. (AW/E-2) Kebijakan Pembiayaan Perumahan tidak Memihak Pekerja Informal TIDAK sinkronnya aturan pembiayaan perumahan dengan kondisi riil masyarakat Indonesia menjadi pemicu tingginya kesenjangan antara kebutuhan dan pasokan perumahan (backlog) yang kini mencapai 8 juta unit lebih per tahun. Pengamat ekonomi Aviliani menilai aturan perbankan yang berlaku dalam pembiayaan kredit pemilikan rumah (KPR) di Indonesia hanya berpihak pada masyarakat yang bekerja di sektor formal. Di sisi lain, belum ada skema khusus yang mengatur pembiayaan perumahan bagi pekerja informal. Akibatnya, banyak masyarakat berpenghasilan rendah (MBR) yang bekerja di sektor informal kesulitan mendapatkan pembiayaan perumahan lantaran dianggap tidak bankable. Padahal, struktur perekonomian Indonesia didominasi lapangan kerja informal. Masya rakat yang bekerja pada sektor itu, menurutnya, mencapai angka 75% dari total angkatan kerja. “Perbankan hanya memberikan pinjaman dengan melihat pendapatan debitur, apakah MI/ADAM DWI PERUMAHAN: Mobil diparkir di depan perumahan di kawasan Bintaro, Tangerang Selatan, beberapa waktu lalu. 30% penghasilannya bisa membayar cicilan. Problem yang ada pada kalangan informal adalah ketidakpastian penghasilan. Mereka tidak bisa mencicil bulanan,” ujarnya dalam pembukaan Rapat Kerja Daerah (Rakerda) Realestat Indonesia (REI) DKI Jakarta, di Jakarta, kemarin. Di sisi lain, Kementerian Perumahan Rakyat (Kemenpera) mengaku tengah mempersiapkan skema khusus subsidi kredit perumahan bagi MBR di sektor informal. “Kita sedang upayakan supaya 2011 masyarakat yang menurut bank tidak bankable supaya bisa menjadi bankable untuk mendapatkan pembiayaan perumahan,” ujar Menpera Suharso Monoarfa. Pada 1 Oktober lalu pemerintah mulai menerapkan fasilitas likuiditas pembiayaan perumahan (FLPP) untuk menekan tingkat suku bunga. Namun, sistem pembiayaan itu dinilai hanya dapat menyentuh MBR yang bekerja di sektor formal. Sebab, FLPP hanya dapat diberikan kepada masyarakat berpenghasilan tetap maksimal Rp2,5 juta per bulan untuk jenis rumah sejahtera sederhana (tapak) dan penghasilan maksimal Rp4,5 juta per bulan untuk rumah susun sederhana. Sementara itu, Ketua Umum DPP REI Teguh Satria mengungkapkan, lambannya proses perizinan pembangunan perumahan di daerah selalu menjadi kendala utama bagi pengembang. Contohnya di DKI, jika mengikuti aturan formal, proses perizinan memerlukan waktu minimal setahun. Akibatnya, pengembang harus menanggung ongkos tambahan yang akhirnya dibebankan kepada konsumen melalui penaikan harga. (CS/E-4)