BAB 2 TINJAUAN PUSTAKA 2.1. Anatomi Punggung Bawah

advertisement
4
BAB 2
TINJAUAN PUSTAKA
2.1. Anatomi Punggung Bawah
Menurut Snell (2012), columna vertebralis merupakan pilar utama tubuh, dan
berfungsi menyanggah cranium, gelang bahu, ektremitas superior, dan dinding
thorax serta melalui gelang panggul meneruskan berat badan ke ekstremitas
inferior. Di dalam rongganya terletak medulla spinalis, radix nervi spinalis, dan
lapisan penutup meningen, yang dilindungi oleh columna vertrebalis. Columna
vertebralis terdiri dari 33 vertebra, yaitu 7 vertebra cervicalis, 12 vertebra
thoracicus, 5 vertebra lumbalis, 5 vertebra sacralis (yang bergabung membentuk
os sacrum), dan 4 vertebra coccygea (tiga yang di bawah umumnya bersatu).
Struktur columna ini fleksibel, karena columna ini bersegmen-segmen dan
tersusun dari vertebra, sendi-sendi, dan bantalan fibrocartilago yang disebut discus
intervertebralis. Discus intervertebralis membentuk kira-kira seperempat panjang
kolumna.
Gambar 2.1 Tulang Belakang
Sumber: SpineUniverse, 2013
Vertebra yang khas terdiri dari corpus yang bulat di anterior dan arcus
vertebrae di posterior. Keduanya melingkupi sebuah ruang disebut foramen
Universitas Sumatera Utara
5
vertebrale, yang dilalui oleh medulla spinalis dan bungkus-bungkusnya. Arcus
vertebrae terdiri atas sepasang pediculus yang berbentuk silinder, yang
membentuk sisi-sisi arcus, dan sepasang lamina yang pipih yang melengkapi
arcus pada daerah posterior (Snell, 2012)
Arcus vertebrae mempunyai tujuh processus yaitu satu processus spinosus,
dua processus transversus, dan empat processus articularis. Processus spinosus
atau spina, menonjol ke posterior dari pertemuan kedua lamina. Processus
transversus menonjol ke lateral dari pertemuan lamina dan pediculus. Processus
spinosus dan processus transversus berfungsi sebagai pengungkit dan menjadi
tempat melekatnya otot dan ligamentum. Processus articularis terletak vertikal dan
terdiri dari dua processus articularis superior dan dua processus articularis
inferior. Processus ini menonjol dari pertemuan antara lamina dan pediculus, dan
facies articularisnya diliputi oleh kartilago hialin. Kedua processus articularis
superior dari sebuah arcus vertebrae bersendi dengan kedua processus articularis
inferior dari arcus yang ada diatasnya, membentuk sendi sinovial (Snell, 2012).
Pediculus mempunyai lekuk pada pinggir atas dan bawahnya, membentuk
incisura vertebralis superior dan inferior. Pada masing-masing sisi, incisura
vertebralis superior sebuah vertebra dan incisura vertebralis inferior vertebra di
atasnya membentuk foramen intervertebrale. Foramina ini pada kerangka yang
bersendi berfungsi sebagai tempat lewatnya nervus spinalis dan pembuluh darah.
Radix anterior dan posterior nervi spinalis bergabung di dalam foramina ini,
bersama dengan pembungkus duramaternya membentuk saraf spinalis segmentalis
(Snell, 2012).
2.1.1. Vertebra Lumbalis Tipikal dan Os Sacrum
Menurut Snell (2012), sebuah vertebra lumbalis tipikal mempunyai ciri-ciri
sebagai berikut.
1.
Corpus besar dan berbentuk ginjal.
2.
Pediculus kuat dan mengarah ke belakang.
3.
Lamina tebal.
4.
Foramina vertebrale berbentuk segitiga.
Universitas Sumatera Utara
6
5.
Processus transversus panjang dan langsing.
6.
Processus spinosus pendek, rata, dan berbentuk segiempat dan mengarah ke
belakang.
7.
Facies articularis processus articularis superior menghadap ke medial dan
facies articularis processus articularis inferior menghadap ke lateral.
Gambar 2.2 Vertebra Lumbal
Sumber: Medscape, 2014
Vertebra lumbalis tidak mempunyai facies articularis untuk bersendi dengan
costa dan tidak ada foramina pada processus transversus.
Os sacrum terdiri atas lima vertebra rudimenter yang bergabung menjadi
satu membentuk sebuah tulang berbentuk baji, yang cekung di anterior. Pinggir
atas atau basis tulang bersendi dengan vertebara lumbalis V. Pinggir bawah yang
sempit bersendi dengan os coccygis. Di lateral, os sacrum bersendi dengan dua os
coxae untuk membentuk articulatio sacroiliaca. Pinggir anterior dan atas vertebra
S1 menonjol ke depan sebagai margo posterior apertura pelvis superior dan
dikenal sebagai promontorium sacralis. Promontorium sacralis pada wanita
penting untuk obstetrik dan digunakan pada saat menentukan ukuran pelvis (Snell,
2012).
Terdapat foramina vertebralis dan membentuk canalis sacralis. Lamina
vertebrae sacralis V dan kadang-kadang juga vertebra sacralis IV tidak mencapai
garis tengah dan membentuk hiatus sacralis. Canalis sacralis berisi radices
Universitas Sumatera Utara
7
anteriores dan posteriores nervi spinales sacrales dan coccygeales, filum
terminale,
dan
zat
fibroadiposa.
Juga
berisi
bagian
bawah
spatium
subarachnoideum, ke bawah sampai setinggi pinggir bawah vertebra S2.
Permukaan anterior dan posterior sacrum mempunyai empat foramen pada setiap
sisi, untuk tempat lewatnya rami anteriores dan posteriores empat nervi spinales
sacrales bagian atas (Snell, 2012).
2.1.2. Otot-Otot Punggung
Menurut Snell (2012), otot-otot punggung dapat dibagi dalam tiga
kelompok:
1.
Otot-otot superficial yang berhubungan dengan cingulum membri
superioris.
2.
Otot-otot intermedia yang ikut menggerakkan cavea thoracis.
3.
Otot-otot profunda atau postvertebralis yang terdapat pada columna
vertebralis.
Otot-otot postvertebra berkembang dengan baik pada manusia dan
membentuk tiang jaringan otot yang lebar dan tebal, yang menempati rongga di
kanan kiri processus spinosus columna vertebralis. Processus spinosus dan
processus transversus vertebrae berfungsi sebagai pengungkit yang mempermudah
kerja otot. Otot-otot terpanjang terletak superficial dan berjalan dari sacrum ke
angulus costae, processus transversus, dan processus spinosus vertebrae bagian
atas. Otot-otot dengan panjang sedang (intermedia) berjalan miring dari processus
transversus ke processus spinosus. Serabut otot yang terpendek dan terdalam
berjalan diantara processus spinosus dan di antara processus transversus vertebrae
yang berdekatan. Otot-otot punggung dapat diklasifikasikan sebagai berikut
(Snell, 2012):

Otot-otot Superficial yang Berjalan Vertikal.

Musculus erector spinae: musculus iliocostalis, musculus longissimus, dan
musculus spinalis.

Otot-otot Intermedia yang Berjalan Miring.
Universitas Sumatera Utara
8

Musculus transversospinalis: musculus semispinalis, musculi multifidi, dan
musculi rotatores.

Otot-otot Profunda: musculi interspinales dan musculi intertransversarii.
Trigonum lumbalis merupakan trigonum musculare punggung, yaitu lokasi
dimana pus dapat muncul dari dinding abdominal. Batas-batasnya adalah
musculus latissimus dorsi, pinggir posterior musculus obliquus abdominis
externus dan crista iliaca (Snell, 2012).
Otot-otot punggung terbanyak dipersarafi oleh ramus posterior nervi
spinalis, tetapi beberapa otot dipersarafi oleh ramus anterior nervi spinalis.
Musculi intertransversarii anteriores cervicis dipersarafi oleh ramus anterior nervi
spinalis (Moore dan Agur, 2002).
2.1.3. Sendi-Sendi Columna Vertebralis di Bawah Axis
Permukaan atas dan bawah corpus vertebrae yang berdekatan dilapisi oleh
lempeng tulang rawan hialin yang tipis. Di antara lempeng tulang rawan tersebut,
terdapat discus intervertebralis yang tersusun dari jaringan fibrocartilago. Discus
intervertebralis paling tebal di daerah cervical dan lumbal, tempat di mana paling
banyak terjadi gerakan columna vertebralis. Discus ini berperan sebagai peredam
benturan bila beban pada columna vertebralis mendadak bertambah. Sayangnya
daya pegas ini berangsur-angsur menghilang dengan bertambahnya usia (Snell,
2012).
Ketebalan discus intervertebralis di berbagai daerah berbeda satu dari yang
lain; discus intervertebralis yang paling tebal terdapat di daerah lumbal dan yang
paling tipis di daerah torakal sebelah kranial. Di daerah servikal dan daerah
lumbal discus intervertebralis lebih tebal di sebelah ventral dan lebih merata
ketebalannya di daerah torakal (Moore dan Argur, 2002).
Setiap discus terdiri dari bagian pinggir, anulus fibrosus, dan bagian tengah
yaitu nucleus pulposus. Anulus fibrosus terdiri atas jaringan fibrocartilago, yang
melekat dengan erat pada corpus vertebrae dan ligamentum longitudinale anterius
dan posterius columna vertebralis. Nucleus pulposus pada anak-anak dan remaja
merupakan massa lonjong dari zat gelatin. Biasanya berada dalam tekanan dan
Universitas Sumatera Utara
9
terletak sedikit ke pinggir posterior daripada pinggir anterior discus. Permukaan
atas dan bawah corpus vertebrae yang berdekatan yang menempel pada discus
diliputi oleh cartilago hialin yang tipis (Snell, 2012).
Gambar 2.3 Discus Intervertebralis
Sumber: Mayfield Clinic, 2013
Sifat setengah cair nucleus pulposus memungkinkannya berubah bentuk dan
vertebrae dapat menjungkit ke depan atau ke belakang di atas yang lain.
Peningkatan beban kompresi yang mendadak pada columna vertebralis
menyebabkan nucleus pulposus yang semi cair ini menjadi gepeng dan keadaan
ini diakomodasi oleh daya pegas di sekeliling anulus fibrosus. Kadang-kadang,
dorongan keluar ini terlalu kuat bagi anulus, sehingga anulus menjadi robek dan
nucleus pulposus keluar dan menonjol ke dalam canalis vertebralis, di mana
nucleus ini dapat menekan radix nervi spinalis, nervus spinalis, atau bahkan
medulla spinalis (Snell, 2012).
Ligamentum longitudinale anterius dan posterius berjalan turun sebagai
sebuah pita utuh pada permukaan anterior dan posterior columna vertebralis dari
cranium sampai ke sacrum. Ligamentum longitudinale anterius lebar dan melekat
dengan kuat pada pinggir depan dan samping corpus vertebrae, dan pada discus
intervertebralis. Ligamentum longitudinale posterius lemah dan sempit dan
melekat pada pinggir posterior discus.
Sendi-sendi antar dua arcus vertebrae terdiri atas sendi sinovial antara
processus articularis superior dan inferior vertebra yang berdekatan. Facies
articularis diliputi oleh tulang rawan hialin, dan sendi-sendi dikelilingi oleh
ligamentum capsulare.
Universitas Sumatera Utara
10

Ligamentum supraspinale: berjalan di antara ujung-ujung processus
spinosus yang berdekatan.

Ligamentum interspinale: menghubungkan processus spinosus yang
berdekatan.

Ligamentum intertransversaria: berjalan di antara processus transversus
yang berdekatan.

Ligamentum
flavum:
menghubungkan
lamina
dari
vertebra
yang
berdekatan.
Gambar 2.4 Ligamen pada Vertebra
Sumber: SpineUniverse, 2014
Sendi-sendi antara corpus vertebrae dipersarafi oleh cabang kecil meningea
masing-masing saraf spinal. Saraf ini berasal dari nervus spinalis pada saat saraf
ini keluar dari foramen intervertebrale. Kemudian saraf ini masuk kembali ke
dalam canalis vertebralis melalui foramen intervertebrale dan menyarafi
meningen, ligamenta, dan discus intervertebralis. Sendi-sendi antara processus
articularis dipersarafi oleh cabang-cabang dari rami posteriores nervi spinales.
Sendi-sendi pada setiap tingkat menerima serabut saraf dari dua nervus spinalis
yang berdekatan (Snell, 2012).
2.1.4. Gerakan Columna Vertebralis
Gerakan-gerakan berikut ini dapat dilakukan, yaitu fleksi, ekstensi, fleksi
lateral, rotasi, dan sirkumduksi (Snell, 2012).
Universitas Sumatera Utara
11

Fleksi adalah gerakan ke depan, dan ekstensi adalah gerakan ke belakang.
Keduanya dapat dilakukan dengan leluasa di daerah cervical dan lumbal,
tetapi terbatas pada daerah thoracal.

Fleksi lateral adalah melengkungnya tubuh ke salah satu sisi. Gerakan ini
mudah dilakukan di daerah cervical dan lumbal, tetapi terbatas di daerah
thoracal.

Rotasi adalah gerakan memutar columna vertebralis. Gerakan ini sangat
terbatas di daerah lumbal.

Sirkumduksi adalah kombinasi dari seluruh gerakan-gerakan di atas.
Di daerah lumbal, fleksi dilakukan oleh musculus rectus abdominis dan
musculi psoas. Ekstensi dilakukan oleh musculi postvertebrales. Fleksi lateral
dilakukan oleh musculi postvertebrales, musculus quadratus lumborum, dan otototot serong dinding anterolateral abdomen. Musculus psoas mungkin ikut dalam
gerakan ini. Gerakan rotasi dilakukan oleh otot-otot rotator dan otot-otot serong
dinding anterolateral abdomen (Snell, 2012).
2.2. Nyeri Punggung Bawah
2.2.1. Definisi
Nyeri punggung bawah ialah perasaan nyeri di daerah lumbosakral dan
sakroiliakal. Nyeri punggung bawah sering disertai penjalaran ke tungkai sampai
kaki (Harsono dan Soeharso, 2009).
2.2.2. Etiologi
Menurut Engstrom (2006), penyebab nyeri punggung bawah yaitu sebagai
berikut.
Tabel 2.1 Etiologi Nyeri Punggung Bawah
1.
Kongenital atau
 Spondilolisis dan spondilolistesis
perkembangan
 Kifoskoliosis
 Spina bifida occulta
 Tethered spinal cord
Universitas Sumatera Utara
12
2.
Trauma minor
 Strain (cedera akibat peregangan yang
berlebihan) atau sprain (keseleo)
3.
Fraktur
 Traumatik: jatuh, kecelakaan lalu lintas
 Atraumatik:
osteoporosis,
neoplastic
infiltration, steroid eksogen
4.
Herniasi diskus intervertebral
5.
Degeneratif
 Disk-osteophyte complex
 Gangguan pada diskus internal
 Spinal stenosis with neurogenic claudication
 Penyakit sendi atlantoaxial (misalnya, artritis
reumatoid)
6.
Artritis
 Spondilosis
 Facet or sacroiliac arthropathy
 Autoimun (misalnya spondilitis ankilosa,
Reiter’s syndrome)
7.
Neoplasma
 Metastasis, hematologis, tumor tulang primer
8.
Infeksi atau inflamasi
 Osteomielitis vertebral
 Abses epidural spinal
 Septik diskus
 Meningitis
 Araknoiditis lumbal
9.
Metabolik
 Osteoporosis
–
hiperparatiroidisme,
imobilitas
 Osteosklerosis (misalnya Paget’s disease)
10. Lainnya
 Referred pain dari penyakit viseral
 Postural
 Psikiatrik,
malingering,
chronic
pain
syndromes
 Diseksi arteri vertebral
Sumber: Engstrom, 2006
Universitas Sumatera Utara
13
2.2.3. Faktor Risiko
Banyak artikel yang telah dipublikasikan membahas tentang faktor risiko
nyeri punggung bawah dari segi fisik, psikososial, dan faktor individu. Faktorfaktor tersebut berinteraksi dalam jalan yang berbeda sehingga dapat
menimbulkan nyeri punggung bawah. Dalam satu kondisi, faktor risiko
psikososial mungkin menjadi kontributor utama, sementara pada kondisi yang lain
faktor risiko fisik mungkin menjadi penyebab utama (Op De Beeck dan Hermans,
2000).
Ringkasan mengenai hubungan antara nyeri punggung bawah dan faktor
risikonya dimuat dalam tabel di bawah. Sistem klasifikasi Bernard et al (1997)
dan klasifikasi Hoogendoorn et al (2000) digunakan untuk menggolongkan
kekuatan bukti dari keterkaitan kerja (work-relatedness), memeriksa kontribusi
dari setiap faktor risiko fisik terhadap nyeri punggung bawah (Op De Beeck dan
Hermans, 2000). Bukti dari keterkaitan tersebut diklasifikasikan sebagai berikut.

Bukti yang kuat dari keterkaitan kerja (+++) : terdapat dalam temuantemuan yang konsisten pada banyak studi yang berkualitas tinggi.

Ada bukti (++) : terdapat dalam temuan-temuan yang konsisten pada satu
studi yang berkualitas tinggi dan satu atau lebih studi yang berkualitas
rendah, atau pada banyak studi yang berkualitas rendah.

Bukti tidak cukup (+/0) : hanya terdapat dalam satu studi atau temuan yang
tidak konsisten pada banyak studi.
Tabel 2.2 The work relatedness of low back disorders: overview of the risk factors
Category of risk factor
Risk factor
Evidence
Heavy manual labour
++
Manual material handling
+++
Awkward postures
++
Static work
+/0
Whole-body-vibration
+++
Slipping and falling
+
Physical factors
Universitas Sumatera Utara
14
Psychosocial/workorganisational factors
Job content
+/0
Work/time pressure
+/0
Job control
+/0
Social support
+++
Job dissatisfaction
+++
Age
+/0
Socio-economic status
+++
Smoking
++
Medical history
+++
Gender
+/0
Anthropometry
+/0
Physical activity
+/0
Individual factors
Sumber: Op De Beeck dan Hermans, 2000
2.2.4. Subtipe
Nyeri punggung bawah dapat diklasifikasikan ke dalam tiga kategori yaitu
sebagai berikut (Duthey, 2013).
1.
Kronik, yaitu nyeri punggung bawah yang dialami selama lebih dari 7-12
minggu, atau setelah masa penyembuhan atau nyeri punggung berulang
yang secara intermiten memengaruhi individu selama periode waktu yang
panjang.
2.
Akut, yaitu nyeri punggung bawah yang dialami selama kurang dari 12
minggu.
3.
Subakut, yaitu nyeri punggung bawah yang dialami selama 6 minggu
sampai 3 bulan.
Universitas Sumatera Utara
15
2.2.5. Patofisiologi
Menurut Harsono dan Soeharso (2009), salah satu karakteristik nyeri
punggung bawah adalah nyeri punggung bawah miogenik, yaitu yang disebabkan
oleh ketegangan otot, spasme otot, defisiensi otot, dan hipersensitif. Ketegangan
otot, disebabkan oleh sikap tegang yang konstan atau berulang-ulang pada posisi
yang sama akan memendekkan otot yang akhirnya akan menimbulkan perasaan
nyeri. Keadaan ini tidak akan terlepas dari kebiasaan buruk atau sikap tubuh yang
tidak atau kurang fisiologik. Pada struktur yang normal, kontraksi otot
mengurangi beban pada ligamentum dalam waktu yang wajar. Apabila otot-otot
menjadi lelah, maka ligamentum yang kurang elastis akan menerima beban yang
lebih berat. Rasa nyeri timbul oleh karena iskemia ringan pada jaringan otot,
regangan yang berlebihan pada perlekatan miofasial terhadap tulang, serta
regangan pada kapsula (Harsono dan Soeharso, 2009).
Spasme otot atau kejang otot, disebabkan oleh gerakan yang tiba-tiba di
mana jaringan otot sebelumnya dalam kondisi yang tegang atau kaku atau kurang
pemanasan. Spasme otot ini memberi gejala yang khas, ialah dengan adanya
kontraksi otot yang disertai dengan nyeri yang hebat. Setiap gerakan akan
memperberat rasa nyeri sekaligus menambah kontraksi. Akan terjadi suatu
lingkaran antara nyeri, kejang atau spasme dan ketidakmampuan bergerak
(Harsono dan Soeharso, 2009).
Defisiensi otot, dapat disebabkan oleh kurang latihan sebagai akibat dari
mekanisasi yang berlebihan. Tirah baring yang terlalu lama maupun karena
imobilisasi. Otot yang hipersensitif akan’menciptakan’ satu daerah kecil yang
apabila dirangsang akan menimbulkan rasa nyeri dan menjalar ke daerah tertentu
(target area). Daerah kecil tadi disebut sebagai noktah picu (trigger point). Dalam
pemeriksaan klinik terhadap penderita nyeri punggung bawah, tidak jarang
dijumpai adanya noktah picu ini. Titik ini apabila ditekan dapat menimbulkan rasa
nyeri bercampur rasa sedikit nyaman (Harsono dan Soeharso, 2009).
Pasien umumnya menceritakan riwayat serangan-serangan nyeri transien
dan berkurangnya mobilitas tulang belakang secara bertahap. Walaupun pasien
cenderung mengaitkan masalahnya dengan kejadian mengangkat barang atau
Universitas Sumatera Utara
16
membungkuk, herniasi adalah suatu proses bertahap yang ditandai dengan
serangan-serangan penekanan akar saraf (yang menimbulkan berbagai gejala dan
periode penyesuaian anatomik) (Hartwig dan Wilson, 2012).
Regio lumbalis merupakan bagian yang tersering mengalami herniasi
nukleus pulposus. Kandungan air diskus berkurang seiring bertambahnya usia
(dari 90% pada masa bayi menjadi 70% pada lanjut usia; Schwartz, 1998). Selain
itu, serat-serat menjadi lebih kasar dan mengalami hialinisasi, yang ikut berperan
menimbulkan perubahan yang menyebabkan herniasi nukleus pulposus melalui
anulus disertai penekanan akar saraf spinalis. Umumnya herniasi paling besar
kemungkinannya terjadi di daerah kolumna vertebralis tempat terjadinya transisi
dari segmen yang lebih banyak bergerak ke yang kurang bergerak (hubungan
lumbosakral dan servikotorakalis) (Hartwig dan Wilson, 2012).
Gambar 2.5 Compression of L5 and S1 roots by herniated disks
Sumber: Engstrom, 2006
Sebagian besar herniasi diskus terjadi di daerah lumbal di antar-ruang
lumbal IV ke V (L4 ke L5) atau lumbal kelima ke sakral pertama (L5 ke S1). Arah
tersering herniasi bahan nukleus pulposus adalah posterolateral. Karena akar saraf
di daerah lumbal miring ke bawah sewaktu keluar melalui foramen saraf, herniasi
diskus antara L5 dan S1 lebih mempengaruhi akar saraf S1 daripada L5 seperti
yang diperhitungkan. Herniasi diskus antara L4 dan L5 menekan akar saraf L5
(Hartwig dan Wilson, 2012).
Universitas Sumatera Utara
17
2.2.6. Gejala
Menurut Bull dan Archard (2007), nyeri merupakan perasaan yang sangat
subjektif dan tingkat keparahannya sangat dipengaruhi oleh pendapat pribadi dan
keadaan saat nyeri tersebut terjadi. Gejala-gejala nyeri punggung dapat sangat
bervariasi dari satu orang ke orang yang lain. Gejala tersebut meliputi:

sakit

kekakuan

rasa baal (mati rasa)

kelemahan

rasa kesemutan (seperti ditusuk peniti dan jarum).
Batuk atau bersin seringkali dapat memperberat nyeri punggung dengan
menyebabkan spasme (kontraksi) otot punggung yang terasa sangat nyeri.
2.2.7. Penegakkan Diagnosa
1. Anamnesis
Anamnesis nyeri punggung bawah mempunyai kerangka acuan tertentu,
minimal harus meliputi hal-hal sebagai berikut (Harsono dan Soeharso, 2009):
 Letak atau lokasi nyeri
 Penyebaran nyeri
 Sifat nyeri, seperti ditusuk-tusuk, disayat, mendenyut, kena api, nyeri
tumpul, dan sebagainya.
 Pengaruh aktivitas terhadap nyeri
 Pengaruh posisi tubuh atau anggota tubuh
 Trauma
 Proses terjadinya dan perkembangannya
 Obat-obat analgetika yang pernah diminum
 Kemungkinan adanya proses keganasan
 Riwayat menstruasi
 Kondisi mental/emosional
2. Pemeriksaan Fisik
Universitas Sumatera Utara
18
 Inspeksi
Mengobservasi pasien saat berdiri, duduk, bersandar maupun berbaring dan
bangun dari berbaring. Observasi punggung, pelvis dan tungkai selama
bergerak apakah ada hambatan selama melakukan gerakan.
 Palpasi dan perkusi
Palpasi dan perkusi harus dilakukan dengan hati-hati. Pada palpasi, terlebih
dahulu diraba daerah yang sekitarnya paling ringan rasa nyerinya, kemudian
menuju ke arah daerah yang terasa paling nyeri.
 Pemeriksaan tanda vital
 Pemeriksaan neurologik
Pemeriksaan neurologik menurut Harsono dan Soeharso (2009) meliputi
pemeriksaan motorik, sensorik, refleks fisiologik dan patologik, serta
percobaan-percobaan atau test untuk menentukan apakah sarafnya ada yang
mengalami kelainan, misalnya pemeriksaan range of movement (ROM) dan
Lasegue test.
3. Pemeriksaan penunjang
Ketika nyeri yang dirasakan berat dan tidak hilang dalam waktu 6 sampai 12
minggu,
diagnosis
spesifik
menjadi
lebih
penting
untuk
menentukan
penatalaksanaannya (Ullrich, 2012). Pemeriksaan tambahannya yaitu:
 X-ray
 CT scan
 Myelogram
 MRI scan
2.2.8. Penatalaksanaan
Penatalaksanaan untuk nyeri punggung bawah tergantung pada riwayat
pasien dan tipe serta keparahan dari nyerinya. Kebanyakan kasus nyeri punggung
bawah akan baik dalam waktu enam minggu tanpa operasi, dan latihan (exercises)
untuk
nyeri
punggung
bawah
hampir
selalu
menjadi
rencana
dari
penatalaksanaannya. Jika nyeri tetap ada ataupun memburuk, prosedur diagnostik
dan operasi mungkin dianjurkan (Ullrich, 2012).
Universitas Sumatera Utara
19

Istirahat. Menghentikan aktivitas selama beberapa hari akan memberikan
kesempatan untuk jaringan yang cedera dan bahkan saraf agar sembuh,
yang akan meringankan nyeri punggung bawah. Namun, istirahat yang
berlebihan dapat melemahkan otot, sehingga otot tersebut harus berusaha
untuk menyangga tulang belakang. Pasien yang tidak melakukan olahraga
teratur biasanya mengalami nyeri punggung bawah berulang atau
berkepanjangan.

Heat and Ice Packs membantu meringankan nyeri punggung bawah dengan
mengurangi inflamasi. Kebanyakan pasien menggunakan es (ice), tetapi
yang lain memilih panas (heat). Keduanya dapat digunakan bergantian.

Obat-obatan yang digunakan seperti analgesik (acetaminophen, duloxetine),
obat anti inflamatori non-steroid (aspirin, naprosyn), cyclooxygenase II
inhibitors (celecoxib), muscle relaxant (cyclobenzaprine, orphenadrine,
carisoprodol), opioid (oxycodone) (Hills, 2014).
2.3. Ergonomi dan Manual Handling
2.3.1. Definisi Ergonomi
Istilah “ergonomi” berasal dari bahasa Yunani, yaitu ergon yang artinya
kerja dan nomos yang artinya aturan atau hukum alam. Menurut International
Ergonomics Association, ergonomi merupakan suatu disiplin ilmu mengenai
pemahaman tentang interaksi antara manusia dan elemen-elemen lain dalam
sebuah sistem, serta profesi yang menggunakan teori, prinsip, data, dan metode
untuk mendesain, dalam rangka mengoptimalkan kesejahteraan manusia dan
kinerja sistem secara menyeluruh.
Ergonomi pada hakikatnya berarti ilmu tentang kerja, yaitu bagaimana
pekerjaan dilakukan dan bagaimana bekerja lebih baik, sehingga ergonomi sangat
berguna dalam desain pelayanan atau proses. Ergonomi berbicara mengenai
desain sistem terutama sistem kerja agar sesuai dengan atribut atau karakteristik
manusia (to fit the job to the man) (Soedirman dan Suma’mur, 2014).
Ergonomi adalah bidang studi multidisiplin yang mempelajari prinsipprinsip dalam mendesain peralatan, mesin, proses, dan tempat kerja yang sesuai
Universitas Sumatera Utara
20
dengan kemampuan dan keterbatasan manusia yang menggunakannya (Harrianto,
2010).
Tujuan:
 Optimasi
 Efisiensi
(produktifitas)
 Kesehatan
 Keselamatan
 Aman
 Nyaman
Lingkungan
Manusia
-Anatomi
-Fisiologi
-Psikologi
-Biomekanik
-Kinesiologi
-Enginering
-Manajemen /
Organisasi
-Desain / redesain
Gambar 2.6 Pendekatan Ergonomi
Sumber: Santoso, 2004
2.3.2. Aspek Ergonomi
Berdasarkan International Ergonomics Association, sebagai bidang ilmu
yang multidisiplin, ergonomi dapat dibagi menjadi 3 area spesialisasi, yaitu
sebagai berikut.
1.
Physical Ergonomics, yaitu mengenai anatomi manusia, antropometri,
fisiologi dan karakteristik biomekanik yang berkaitan dengan aktivitas fisik.
Meliputi postur saat kerja, mengangkat beban, gerakan berulang, penyakit
muskuloskeletal akibat kerja, tata ruang tempat kerja, keamanan, dan
kesehatan kerja.
2.
Cognitive Ergonomics, yaitu mengenai proses mental, seperti persepsi,
memori, pemikiran, dan respon motorik, yang semuanya memengaruhi
interaksi antara manusia dan elemen lainnya di dalam sistem. Meliputi
beban mental akibat kerja, pengambilan keputusan, performa keterampilan
kerja, interaksi manusia-mesin, keandalan manusia, stres kerja, dan latihan
yang berhubungan dengan desain manusia-sistem.
Universitas Sumatera Utara
21
3.
Organizational Ergonomics, yaitu mengenai optimisasi sistem sosioteknis
termasuk struktur organisasi, berbagai kebijakan dan proses. Meliputi
komunikasi, manajemen sumber daya pekerja, desain kerja, desain waktu
kerja, kerja tim, desain partisipasi kerja, ergonomi komunitas, kerjasama
tim, paradigma kerja yang baru, virtual organizations, pola kerja jarak jauh,
dan manajemen kualitas kerja.
Suatu lapangan penting dalam ergonomi adalah posisi tubuh (work posture)
dan gerakan seluruh dan anggota badan (body and limb movements), yang
menentukan besarnya pemakaian energi daan aktivitas sensorimotoris. Ilmu
tentang postur kerja dan gerakan seluruh atau sebagian termasuk anggota badan
disebut biomekanik (Suma’mur, 2009). Oleh karena itu, seorang tenaga kerja
dapat
dikatakan
memenuhi
persyaratan
biomekanis
dalam
melakukan
pekerjaannya, apabila postur kerja dan gerakan yang dilakukan saat bekerja sesuai
dengan keadaan alami dari tubuh serta anggota badan.
2.3.3. Definisi Manual Handling
Menurut European Agency for Safety and Health at Work (EU-OSHA)
tahun 2007, manual handling adalah segala kegiatan transportasi atau mengangkat
beban yang dilakukan oleh satu atau lebih pekerja. Kegiatan tersebut termasuk
mengangkat, menahan, meletakkan, mendorong, menarik, membawa atau
memindahkan sebuah beban (Barnard, 2012). Beban dapat berupa objek bernyawa
seperti manusia atau hewan, serta objek yang tidak bernyawa seperti boks,
peralatan dan sebagainya. Manual handling juga dapat disebut manual material
handling (MMH) (EU-OSHA, 2007).
2.3.4. Klasifikasi Manual Handling
Occupational
Safety
and
Health
Administration
(OSHA)
mengklasifikasikan kegiatan manual material handling menjadi lima yaitu
sebagai berikut (Suhadri, 2008).
Universitas Sumatera Utara
22
1.
Mengangkat/Menurunkan (Lifting/Lowering)
Mengangkat adalah kegiatan memindahkan barang ke empat yang lebih
tinggi yang masih dapat dijangkau oleh tangan. Kegiatan lainnya adalah
menurunkan barang.
Gambar 2.7 Kegiatan Mengangkat/Menurunkan
Sumber: Suhadri, 2008
2.
Mendorong/Menarik (Push/Pull)
Kegiatan mendorong adalah kegiatan menekan berlawanan arah tubuh
dengan usaha yang bertujuan untuk memindahkan objek. Kegiatan menarik
kebalikan dengan itu.
Gambar 2.8 Kegiatan Mendorong/Menarik
Sumber: Suhadri, 2008
3.
Memutar (Twisting)
Kegiatan memutar merupakan kegiatan MMH yang merupakan gerakan
memutar tubuh bagian atas ke satu atau dua sisi, sementara tubuh bagian
bawah berada dalam posisi tetap, Kegatan memutar ini dapat dilakukan
dalam keadaan tubuh yang diam.
Universitas Sumatera Utara
23
Gambar 2.9 Kegiatan Memutar
Sumber: Suhadri, 2008
4.
Membawa (Carrying)
Kegiatan membawa merupakan kegiatan memegang atau mengambil barang
dan memindahkannya. Berat benda menjadi berat total pekerja.
Gambar 2.10 Kegiatan Membawa
Sumber: Suhadri, 2008
5.
Menahan (Holding)
Memegang objek saat tubuh berada dalam posisi diam (statis).
Gambar 2.11 Kegiatan Menahan
Sumber: Suhadri, 2008
Universitas Sumatera Utara
24
2.4. Risiko dan Bahaya Manual Handling
Cedera akibat manual handling bisa terjadi di mana pun manusia bekerja – di
peternakan atau perkebunan dan lokasi pembangunan gedung, dalam pabrik,
kantor, gudang, rumah sakit, bank, laboratorium, dan pada jasa pengiriman
(Health and Safety Executive (HSE), 2012). Melakukan salah satu atau lebih
kegiatan manual handling secara berulang-ulang dan terus-menerus dapat
menyebabkan kelelahan dan ketidaknyamanan. Seiring berjalannya waktu, cedera
punggung, bahu, tangan, pergelangan tangan, atau bagian tubuh lainnya dapat
muncul. Dapat pula terjadi kerusakan otot, tendon, ligamen, saraf, dan pembuluh
darah. Cedera seperti ini dikenal sebagai musculoskeletal disorders atau MSDs
(California Department of Industrial Relations, 2007).
OSHA membagi dua kelompok cedera yang disebabkan oleh kegiatan manual
handling yaitu sebagai berikut.
1.
Luka, memar, patah tulang dan sebagainya, akibat kejadian tiba-tiba dan tidak
diharapkan seperti kecelakaan.
2.
Kerusakan sistem muskuloskeletal tubuh (otot, tendon, ligamen, tulang, sendi,
bursa, pembuluh darah dan saraf) sebagai konsekuensi selama melakukan
aktivitas
manual
handling
berulang.
Cedera
ini
disebut
penyakit
muskuloskeletal (MSDs) dan dapat dibagi ke dalam tiga grup:
a. Penyakit pada leher dan ekstremitas atas (neck and upper limb disorders)
b. Penyakit ektremitas bawah (lower limbs disorders)
c. Nyeri punggung dan cedera punggung (back pain and back injuries).
2.4.1. Risiko Manual Handling pada Perawat
Menurut WorkCover NSW (WorkCover New South Wales) tahun 2006,
manual handling masih menjadi penyebab cedera utama dan terbesar pada
perawat. Cedera akibat manual handling merupakan penyebab signifikan
kehilangan profesi perawat dari pelayanan komunitas dan kesehatan. Kelompok
lain yang memiliki risiko tinggi termasuk petugas kebersihan rumah sakit dan
asisten bangsal.
Universitas Sumatera Utara
25
Pada edisi pertama Guide the Health Industry Classification Project tahun
1997, dilaporkan bahwa beberapa berikut menjadi kontributor utama penyebab
cedera pada perawat, yaitu manual handling pasien, stres muskular tanpa
memegang objek, tergelincir, tersandung, terjatuh, manual handling troli,
penggunaan dan penyetelan tempat tidur, serta mengatur kain linen dan celemek
timbal (lead aprons).
Di bawah ini beberapa risiko dari manual handling pasien untuk keselamatan
dan kesehatan menurut Occupational Safety and Health Branch Labour
Department (2000).
1.
Berat – memindahkan pasien, khususnya pasien dewasa yang memiliki
keterbatasan bisa menyebabkan cedera pada tenaga kesehatan. Cedera dapat
disebabkan oleh berbagai hal, contohnya pekerjaan yang terlalu keras, faktor
kebugaran dan keterampilan, frekuensi, kondisi kerja, serta kondisi pasien
yang sedang ditangani.
2.
Jarak – semakin jauh jarak antara batang tubuh dan tangan, semakin besar efek
dari berat. Oleh karena itu, jarak yang memisahkan pekerja dengan pasien dapat
menyebabkan cedera. Juga seperti, tiang infus, pagar pengaman tempat tidur,
kursi roda, dan furnitur dekat tempat tidur.
3.
Postur – aktivitas mengangkat, postur yang janggal, dilakukan terpisah atau
bersamaan dengan pengerahan tenaga dapat menyebabkan cedera atau
penyakit. Contoh postur yang janggal adalah membungkuk lama, memutar ke
samping, meraih sesuatu melewati tinggi bahu, mengangkat atau membawa
dengan satu tangan.
4.
Tugas yang berisiko – dengan tiga tiga faktor yaitu berat, jarak, dan postur
yang
janggal,
memindahkan
pasien
dapat
mengakibatkan
penyakit
muskuloskeletal. Yang termasuk tugas yang paling sering berisiko, yaitu:
 memindahkan pasien yang sangat tergantung pada orang lain,
 memindahkan pasien yang tidak kooperatif,
 mengangkat pasien dari lantai,
 lateral transfer – memindahkan pasien, pasien tetap dalam keadaan
berbaring,
Universitas Sumatera Utara
26
 memindahkan pasien dari tempat tidur ke kursi atau sebaliknya,
 memindahkan pasien dari kursi ke kursi (misalnya, dari atau ke kursi roda,
toilet),
 memandikan pasien,
 mereposisi pasien di tempat tidur atau kursi,
 menimbang pasien,
 menempatkan pispot atau mengganti alas atau bantalan inkontinensia,
 mencoba menghentikan pasien yang akan terjatuh, dan
 membantu pasien dengan disabilitas untuk memasuki kendaraan.
5.
Lainnya – hal-hal lain yang meningkatkan risiko keselamatan dan kesehatan saat
memindahkan pasien yaitu:
 lantai yang tidak rata, basah atau licin,
 ruang tidak cukup untuk melakukan manuver,
 secara manual memnidahkan pasien dalam jarak jauh,
 pencahayaan kurang,
 peralatan yang cacat atau tidak terawat,
 kelemahan genggaman tangan karena kondisi kesehatan tertentu,
 kelelahan akibat aktivitas manual handling berulang,
 mendorong dan menarik bersamaan dengan reposisi, dan
 menggenggam kain pengangkat pasien.
Universitas Sumatera Utara
Download