BAB 1 PENDAHULUAN 1.1. Latar belakang masalah Infark miokard

advertisement
1
BAB 1
PENDAHULUAN
1.1.
Latar belakang masalah
Infark miokard akut (IMA) merupakan suatu istilah terjadinya
nekrosis miokard didalam suatu pengertian yang konsisten berkaitan dengan
iskemia miokard akut. IMA ditandai dengan adanya peningkatan biomarker
terutama troponin jantung. IMA sendiri dapat kita bagi menjadi IMA
dengan elevasi segmen ST (STEMI) pada minimal 2 lead elektrokardiografi
(EKG) yang berhubungan dan IMA tanpa elevasi segmen ST (NSTEMI)
(Thygesen et al., 2012). Insiden penyakit jantung koroner (PJK) semakin
meningkat, menurut data Riskesdas 2013, prevalensi PJK di Indonesia
berdasarkan diagnosis maupun gejala berkisar 0.5% - 1.5% (Kementerian
Kesehatan, 2013).
Selama 5 dekade terakhir telah diketahui bahwa oklusi arteri koroner
dimulai dengan adanya ruptur plak aterosklerosis kemudian diikuti kaskade
peristiwa trombotik yang menyebabkan terjadinya gangguan aliran darah
dan suplai oksigen koroner, sehingga menyebabkan terjadinya IMA. Oleh
karena itu penegakkan secara dini diagnosis IMA sangat diperlukan. Saat
ini troponin i masih menjadi pilihan utama biomarker diagnosis IMA.
Nekrosis miokard yang terjadi menyebabkan terjadinya gagal jantung,
ruptur miokard, maupun aritmia. Terapi dini IMA seperti fibrinolisis, bedah
pintas arteri koroner, intervensi koroner perkutan, dapat mencegah
terjadinya nekrosis sehingga memperbaiki prognosis (Chan et al., 2010).
Aterosklerosis pada penyakit arteri koroner berhubungan dengan
peningkatan Low-Density Lipoprotein (LDL). Nilai prediksi dari LDL
teroksidasi dalam sirkulasi menjadi suatu nilai tambahan pada Global Risk
Assesment Score untuk memprediksi resiko kardiovaskular berdasarkan
usia, jenis kelamin, kolesterol total, High-Density Lipoprotein (HDL),
diabetes, hipertensi, dan rokok. LDL teroksidasi tidak berasal dari oksidasi
ion logam di dalam darah, akan tetapi berasal dari oksidasi ringan pada
1
2
dinding arteri oleh sel-sel yang berhubungan dengan lypoxygenase dan/atau
myeloperoxidase (Holvoet et al., 1999).
Banyak penelitian telah mempelajari mengenai efek kerusakan yang
ditimbulkan oleh produk-produk hasil peroksidase lemak yang terbentuk
dari respon radikal bebas terhadap mekanisme radical-trapping di dalam
tubuh dengan unsaturated fatty acids. Reaksi dari polyunsaturated fatty
acids (PUFA’s) dengan produk dari reactive oxygen species (ROS) dalam
lipidhydroperoxides (produk primer dari peroksidase lemak) yang
kemudian akan terdegradasi menjadi produk sekunder dari peroksidase
lemak seperti alkanes (ethane dan pentane), aliphatic aldehydes
(malondialdehyde/MDA dan 4-hydroxynonenale/4-HNE) (Drapper dan
Hadley, 1990).
Produk-produk sekunder dari peroksidase lemak seperti MDA atau
4-HNE dapat bereaksi dengan DNA, secara khusus dengan basa guanin dan
adenin. Abnormalitas yang terjadi pada DNA mengakibatkan terjadinya
kesalahan transkripsi yang kemudian mengakibatkan perubahan pada gen.
Ikatan-ikatan peptida akan terpecah diakibatkan oleh adanya MDA di dalam
protein. Aldehid bereaksi dengan grup amino dari protein Schiff-bases
sehingga menganggu fungsi normal dari protein. Produk-produk dari
oksidasi asam lemak ini berperan dalam patogenesis terjadinya berbagai
macam penyakit serta disfungsi organ, termasuk aterosklerosis dan proses
iskemik (Valenzuela, 1990).
Iskemik
endotelium
berhubungan
dengan
hipoksia
yang
mengaktivasi jalur cyclooxygenase sintesis prostaglandin dalam sel endotel
dan peningkatan produksi F2α - isoprostanes yang menginduksi terjadinya
adesi serta aktivasi platelet. Kemudian terjadi produksi aldehid
(malondialdehyde) yang berinteraksi dengan residu lisin apolipoprotein B100 dari LDL dimana selanjutnya memodifikasi oksidatif protein dari LDL.
Sehingga pada pasien IMA akan didapatkan peningkatan dari kadar MDA
(Holvoet et al., 1999).
3
Pada pasien infark miokard akut, kadar HDL-C yang rendah serta
kadar LDL-C, kolesterol dan trigliserida yang tinggi merupakan faktor
resiko yang berkaitan dengan peningkatan kadar MDA secara signifikan
(Sorathia et al., 2014).
MDA telah digunakan selama bertahun-tahun sebagai biomarker
untuk peroksidase lemak dari asam lemak omega-3 dan omega-6
dikarenakan sangat mudah bereaksi dengan asam tiobarbiturik (TBA).
Beberapa teknologi telah dikembangkan untuk mendeterminasi MDA
bebas, seperti gas chromatography-mass spectrometry (GC-MS/MS), liquid
chromatography-mass spectrometry (LC-MS/MS), dan beberapa teknologi
lain telah dikembangkan. Dikarenakan MDA merupakan yang paling
populer dan dapat diandalkan sebagai penanda stres oksidatif dalam situasi
klinis, dan dikarenakan tingginya reaktifitas serta toksisitas yang
terkandung menjadikan molekul ini sangat relevan untuk penelitian
biomedik (Giera et al., 2012).
Stres oksidatif merupakan salah satu kontibutor penting dalam
perjalanan aterosklerosis dimana suatu proses stres oksidatif mengakibatkan
ketidakseimbangan antara oksidan dan antioksidan sehingga akan terjadi
suatu peroksidase lemak yang berlanjut kepada terjadinya penurunan
kontraktilitas miokard sebagai akibat dari rusaknya jaringan miokard.
Penurunan kontraktilitas merupakan salah satu komplikasi kejadian IMA
yang dapat berakibat kepada terjadinya suatu syok kardiogenik dimana
nantinya akan meningkatkan resiko kemungkinan morbiditas dan mortalitas
pada pasien paska IMA sebesar 81% dalam 30 hari perawatan (Khan et al.,
2013; De Mello et al., 2014).
1.2.
Rumusan masalah
Bagaimana nilai prediksi, sensitivitas, spesifisitas dan resiko yang
diakibatkan peningkatan malondialdehyde dibandingkan dengan troponin i
terhadap kontraktilitas miokard pada pasien infark miokard akut dengan
elevasi segmen ST.
4
1.3.
Tujuan
Untuk mengetahui nilai prediksi, sensitivitas, spesifisitas dan resiko
yang diakibatkan oleh peningkatan malondialdehyde dibandingkan dengan
troponin i terhadap kontraktilitas miokard pada pasien infark miokard akut
dengan elevasi segmen ST.
1.4.
Manfaat
1.4.1. Manfaat teoritik
Mendapatkan
pengetahuan
tentang
nilai
prediksi,
sensitivitas, spesifisitas dan resiko yang diakibatkan peningkatan
malondialdehyde dibandingkan dengan troponin i terhadap
kontraktilitas miokard pada pasien infark miokard akut dengan
elevasi segmen ST.
1.4.2. Manfaat praktis
Dengan mengetahui nilai prediksi, sensitivitas, spesifisitas
dan resiko yang diakibatkan peningkatan malondialdehyde
dibandingkan dengan troponin i terhadap kontraktilitas miokard
pada pasien infark miokard akut dengan elevasi segmen ST,
diharapkan malondialdehyde kedepannya dapat digunakan sebagai
marker sasaran dalam tatalaksana pada pasien dengan infark
miokard akut.
5
BAB 2
KAJIAN TEORI
2.1.
Infark miokard akut
2.1.1. Definisi, diagnosis, klasifikasi dan faktor resiko
Infark miokard akut adalah suatu kejadian dimana
didapatkan bukti nekrosis miokardium pada kondisi klinis yang
konsisten dengan iskemik miokard akut serta memiliki salah satu
kriteria berikut :
1.
Peningkatan dan / atau penurunan kadar biomarker jantung
(diutamakan troponin jantung) dengan setidaknya ada satu
dengan nilai diatas persentil 99 diatas nilai referensi normal
serta diikuti setidaknya satu gejala berikut ini :
a.
Gejala-gejala iskemia.
b.
Perubahan segmen ST dan gelombang T yang baru atau
diasumsikan baru secara signifikan, left bundle branch
block (LBBB) baru.
c.
Berkembangnya gelombang Q patologis di EKG.
d.
Terdapat bukti pencitraan yang membuktikan kejadian
yang baru dari berkurangnya viabilitas miokardium atau
abnormalitas gerakan dinding jantung secara regional
yang baru.
e.
Identifikasi trombus intra koroner dengan angiografi
atau otopsi.
2.
Kematian jantung dengan gejala yang mengarah ke iskemik
miokard dan diasumsikan ada perubahan gambaran EKG
iskemik yang baru atau LBBB baru, tetapi kematian terjadi
sebelum
dilakukan
pemeriksaan
biomarker
jantung
dilakukan atau nilai biomarker jantung belum meningkat.
3.
Intervensi
koroner
perkutan
terkait
infark
miokard
didefinisikan sebagai peningkatan troponin jantung (>5x
5
6
persentil 99 diatas nilai referensi normal) pada pasien dengan
nilai dasar yang normal atau peningkatan troponin jantung
sebesar 20% apabila didapatkan peningkatan nilai dasar yang
stabil atau didapatkan penurunan nilai dasar.
4.
Trombosis stent yang terkait dengan infark miokard dan
terdeteksi melalui angiografi atau otopsi pada kondisi infark
miokard dengan peningkatan atau penurunan nilai biomarker
jantung dan setidaknya terdapat satu biomarker dengan nilai
> persentil 99 diatas nilai referensi normal.
5.
Operasi bedah pintas jantung terkait infark miokard
didefinisikan sebagai peningkatan kadar troponin jantung
>10x persentil 99 pada pasien dengan nilai dasar troponin
jantung yang normal (Thygesen et al., 2012).
Infark miokard akut berkaitan dengan berbagai kondisi
klinis. ESC/AHA tahun 2012 mengklasifikasikan infark miokard
akut sebagai :
1.
Tipe 1 : Infark miokard spontan (gambar 1).
2.
Tipe 2 : Infark miokard sekunder karena ketidakseimbangan
iskemik (gambar 1).
3.
Tipe 3 : Infark miokard yang menyebabkan kematian
sebelum kadar biomarker diketahui.
4.
Tipe 4a : Infark miokard yang berhubungan dengan tindakan
intervensi koroner perkutan.
5.
Tipe 4b : Infark miokard yang berhubungan dengan
trombosis stent.
6.
Tipe 5 : Infark miokard yang berhubungan dengan operasi
bedah pintas koroner (Thygesen et al., 2012).
Secara umum, faktor resiko dari infark miokard akut dibagi
menjadi faktor resiko yang dapat dimodifikasi, diantaranya
dislipidemia (peningkatan LDL, penurunan HDL), merokok,
hipertensi, diabetes melitus, sindroma metabolik, dan kurangnya
7
aktivitas fisik, serta faktor resiko yang tidak dapat dimodifikasi
antara lain adalah usia, jenis kelamin, dan faktor keturunan (Young
dan Libby, 2011). Abnormalitas dari nilai pemeriksaan penunjang
seperti adanya pembesaran ventrikel kiri, peningkatan fibrinogen,
lipoprotein A, dan C reactive protein juga saat ini menjadi faktor
resiko dari terjadinya aterosklerosis yang dapat berujung pada
terjadinya infark miokard akut (Waters, 2010).
Gambar 1. Perbedaan antara infark miokard tipe 1 dan 2 berdasarkan
kondisi arteri koroner (Thygesen et al., 2012).
2.1.2.
Patogenesis infark miokard akut
Infark miokard akut merupakan bagian dari sindroma
koroner akut dimana patofisiologi dimulai dari aterosklerosis.
Aterosklerosis adalah suatu proses yang mendasari terbentuknya
penyempitan pembuluh darah oleh plak aterosklerotik, dan
kemudian mengakibatkan terjadinya gangguan aliran darah
sehingga terjadi gangguan pengangkutan oksigen serta hasil
metabolisme ke otot jantung yang menyebabkan terjadinya iskemik
miokard. Proses ini bersifat progresif dalam beberapa tahun. Bila
plak ateroma ini menyebabkan penyempitan lebih dari 70%, aliran
8
darah akan terganggu dan menimbukan manifestasi klinis sebagai
angina pektoris. Robekan plak aterosklerotik dan ulserasi atau tukak,
akan menimbulkan terjadinya manifestasi klinis angina pektoris
yang tidak stabil atau infark miokard (Libby, 2015).
Pada mulanya, aterosklerosis dianggap sebagai suatu
penyakit degeneratif yang tidak dapat dihindari sebagai konsekuensi
dari bertambahnya usia. Namun penelitian terbaru menunjukkan
bahwa aterosklerosis merupakan penyakit inflamasi progresif yang
berjalan secara perlahan pada arteri berukuran sedang dan besar
dimana menghasilkan pembentukan lesi fatty dan fibrous (Bonomini
et al., 2015).
Proses patogenesis aterosklerosis dimulai sejak awal
kehidupan, selama perkembangan post natal, dan bertambah seiring
dengan bertambahnya usia. Terbentuknya lesi aterosklerosis diawali
oleh aktivasi atau disfungsi endotel dan deposisi kolesterol LDL
pada dinding arteri yang dimediasi oleh faktor-faktor resiko seperti
dislipidemia,
hipertensi,
diabetes
mellitus,
dan
merokok.
Selanjutnya akumulasi dari LDL teroksidasi menghasilkan oxidized
LDLs (OxLDLs) yang kemudian di ikuti dengan akumulasi dari
monosit (Bonomini et al., 2015). Bersamaan dengan monosit,
limfosit T juga akan terakumulasi. Ekspresi dari molekul adesi
leukosit tertentu pada permukaan sel endotel akan menyebabkan
perlekatan dari monosit dan sel T di endotelium. Beberapa bentuk
dari molekul adesi leukosit akan bermunculan seperti vascular cell
adhesion molecule 1 (VCAM-1). Stres oksidatif menginduksi
terkumpulnya sitokin-sitokin lokal seperti interleukin 1 dan
interleukin 6. Sitokin yang terinduksi akan mengeskpresikan
molekul adesi untuk leukosit yang menyebabkan perlekatan dan
migrasi molekul kemoatraktan ke tunika intima. Monosit darah yang
memasuki dinding arteri sebagai monocyte chemoattractant protein
1 (MCP 1) akan terstimulasi menjadi macrophage colony
9
stimulating factors yang akan memperkuat ekspresi reseptor
scavenger. Reseptor scavenger memperantarai pengambilan partikel
lipoprotein yang akan membentuk sel busa. Sel busa makrofag
merupakan sumber perantara dari sitokin tambahan dan molekul
efektor seperti asam hipoklorida, anion superoksida, dan matrix
metalloproteinase (MMP). Sel otot polos akan bermigrasi dari
tunika intima ke tunika media. Sel otot polos akan terbagi dan
mengumpulkan matriks ekstra seluler menyebabkan akumulasi
matriks ekstraseluler pada plak aterosklerotik yang sedang
berkembang, pada saat ini fatty streak akan berubah menjadi lesi
fibrofatty. Pada akhirnya kalsifikasi dapat terjadi dan fibrosis terus
berlanjut, terkadang disertai dengan kematian sel otot polos
(termasuk programmed cell death atau apoptosis) menyebabkan
kapsul fibrosis aseluler melapisi lipid-rich core yang berisi sel-sel
mati dan sisanya (gambar 2) (Libby, 2015).
Gambar 2. Patogenesis Aterosklerosis (Libby, 2015).
Ateroma dengan resiko tinggi memiliki kapsul fibrosis yang
tipis. Ketika terjadi ruptur kapsul fibrosis, protein koagulasi pada
fase cairan di darah akan mengaktivasi faktor-faktor jaringan yang
akan membentuk formasi trombus pada plak yang ruptur.
Konsekuensi klinis akan tergantung dari jumlah faktor jaringan dan
10
apoptosis pada inti plak dan kadar fibrinogen dan plasminogen
activator inhibitor-1 (PAI-1) pada darah (gambar 3) (Libby, 2015).
Gambar 3 Terjadinya trombosis koroner pada plak aterosklerotik
(Libby, 2015).
Trombosis yang terjadi apabila menyumbat sebagian dari
arteri koroner maka akan menimbulkan gejala angina pektoris tidak
stabil yang dapat bermanifestasi klinis sebagai NSTEMI, dan
apabila trombosis yang terjadi menyumbat arteri koroner
sepenuhnya atau secara total maka akan bermanifestasi klinis
sebagai STEMI (gambar 4) (Libby dan Theroux, 2005).
11
Gambar 4. Infark miokard akut dengan ST-elevasi dan tanpa STelevasi (Libby dan Theroux, 2005).
Pada kejadian IMA akan didapatkan peningkatan kadar
troponin i yang merupakan suatu unit yang menghambat kompleks
troponin untuk berasosiasi dengan filamenn-filamen tipis, serta
menghambat interaksi aktimiosin dari Ca2+ intraselular, dimana
perubahan dari peran Ca2+ ini nantinya juga mengakibatkan
perubahan regulasi dari kontraktilitas miokard (Layland et al.,
2005).
2.2.
Malondialdehyde
2.2.1. Stres oksidatif dan malondialdehyde
Stres oksidatif merupakan suatu komponen krusial yang
terlibat dalam proses perkembangan dan progresivitas dari suatu
penyakit. Oksigen aktif meskipun penting bagi tubuh kita, namun
dapat menyebabkan kerusakan terhadap komponen-komponen
penting dari sistem seluler dan menganggu fungsi fisiologis penting
dari protein, lemak, enzim, dan deoxyribonucleic acid (DNA) yang
kemudian menghambat kode genetik. Stres oksidatif terlibat dalam
12
patogenesis berbagai macam penyakit termasuk iskemik (DalleDonne et al., 2003).
Stres oksidatif adalah hasil dari ketidakseimbangan antara
pro-oksidan dengan antioksidan yang kemudian berlanjut kepada
terjadinya ROS yang bersifat toksik seperti hidrogen peroksida,
oksida nitrat, superoksida dan radikal hidroksil. Saat terjadi
ketidakseimbangan,
makromolekul
seluler
akan
mengalami
kerusakan yang diakibatkan oleh radikal bebas pre-dominan.
Selanjutnya hal ini mengakibatkan modifikasi oksidatif dari genom,
protein, karbohidrat struktural serta lemak, yang nantinya mengarah
kepada proses peroksidase lemak. (Suranjana et al., 2014; Rahman
et al., 2012).
Oksidan berasal dari hasil metabolisme normal intraseluler
yang terjadi di dalam mitokondria dan peroksisom, serta berasal dari
variasi sistem enzim sitosolik. Sebagai tambahan, beberapa agen
eksternal memicu produksi ROS. Suatu sistem pertahanan
antioksidan enzimatik dan non enzimatik termasuk catalase (CAT),
superoxide dismutase (SOD) dan reduced glutathione (GSH)
meregulasi kadar dari ROS untuk menjaga homeostasis fisiologis
(gambar 5). Kadar ROS dibawah batasan homeostasis dapat
menganggu peran fisiologis dari oksidan di dalam proliferasi sel dan
pertahanan pejamu. Sebaliknya, peningkatan kadar ROS dapat
menyebabkan kematian sel atau mempercepat proses penuaan dan
penyakit-penyakit yang berhubungan dengan usia. Peningkatan
kadar ROS juga berperan sebagai sinyal stres yang mengaktivasi
jalur redoksensitif spesifik. Begitu teraktivasi, jalur-jalur sinyal ini
dapat merusak atau berfungsi sebagai pelindung (tabel 1) (Finkel
dan Holbrook, 2000).
13
Gambar 5. Sumber dan respon-respon seluler terhadap ROS (Finkel
dan Holbrook, 2000).
Produksi primer ROS dari metabolisme oksigen adalah
superoksida, yang merupakan ROS sitotoksik yang sangat reaktif
(gambar 6). Superoksida di konversikan menjadi hidrogen peroksida
(H2O2), suatu produk dengan reaktifitas rendah golongan
metaloenzim yang dikenal dengan SOD (Vaziri et al., 2003).
Tabel 1. Tipe-tipe ROS, sumber sintesis dan kerusakan yang
diakibatkan oleh produksi ROS (Finkel dan Holbrook, 2000).
14
Gambar 6. ROS menginduksi kerusakan oksidatif (Kohen dan
Nyska, 2002).
GSH merupakan antioksidan paling penting pada sel
mamalia dan menjalankan berbagai fungsi seluler diantaranya
menghancurkan oksigen reaktif perantara dan radikal bebas yang
dihasilkan dalam metabolisme (Rahman et al., 2012). GSH
intraseluler diubah menjadi oxidized glutathione (GSSG) oleh
selenium berisi peroksidase GSH yang mengkatalis reduksi dari
hidrogen peroksida (H2O2) bersama GSH dan peroksidase GSH
dengan oksidasi glukosa-6-fosfat dan 6-fosfoglukonat yang
kemudian
menyediakan
nicotinamide
adenine
dinucleotide
phosphate (NADPH) untuk reduksi GSSG oleh reduktase GSSG. Ini
merupakan jalur utama dari metabolisme H2O2 pada banyak sel.
Meskipun memiliki peranan penting sebagai pelindung dari
membran lemak terhadap oksidasi, hidrogen peroksida dapat
ternetralisir menjadi molekul oksigen (O2) dan air (H2O) oleh enzim
antioksidan CAT. Disamping itu, CAT juga mengakatalis oksidasi
dari berbagai penyumbang hidrogen pada saat konsentrasi hidrogen
15
peroksida cukup rendah. Lemak ketika bereaksi dengan radikal
bebas akan mengalami proses peroksidasi menjadi lemak peroksida.
(Raghuvanshi et al., 2007).
Aktivitas dari SOD, GSH dan CAT berkontribusi dalam
mengeliminasi superoksida, hidrogen peroksida dan radikal
hidroksil. Manusia telah berkembang dengan sistem antioksidan
untuk melindungi diri dari radikal bebas (gambar 7). Sistem ini
termasuk memproduksi antioksidan di dalam tubuh (endogen) serta
didapatkan dari konsumsi makanan (eksogen). Antioksidan secara
endogen termasuk a) pertahanan enzimatik seperti glutathione
peroxidase
(GPX),
CAT
dan
SOD
yang
memetabolisme
superoksida, hidrogen peroksida, dan peroksidase lemak yang
menghambat pembentukan radikal hidroksil (OH) yang toksik, dan
b) pertahanan nonenzimatik seperti glutathione, histidine-peptides
dan zat besi yang mengikat protein transferrin dan ferritin, asam
dihidrofilik, melatonin, urate, dan protein plasma thiol (Sharma dan
Agarwal, 2004; Kunwar et al., 2011).
16
Gambar 7. Klasifikasi mekanisme pertahanan seluler antioksidan
(Kohen dan Nyska, 2002).
Radikal hidroksil (OH.) dan hidroperoksil (HO.2) merupakan
ROS yang secara khusus paling mempengaruhi lemak. Radikal
hidroksil berukuran kecil, mobilitas tinggi, larut dalam air dan
merupakan ROS paling reaktif secara kimiawi. Molekul berusia
pendek ini dapat diproduksi dari oksigen dalam metabolisme sel dan
dalam berbagai kondisi stres. Setiap 1 sel dalam 1 detiknya
memproduksi sekitar 50 radikal hidroksil. Sehingga dalam satu hari
penuh, setiap sel memproduksi sekitar 4 juta radikal hidroksil yang
dapat di netralisir atau merusak biomolekul (Lane, 2002). Radikal
hidroksil menyebabkan kerusakan oksidatif terhadap sel karena
tidak bersifat spesifik dalam merusak biomolekul dan berperan
dalam kelainan seluler pada penyakit kardiovaskular (Ayala et al.,
2014; Lipinski dan Pretorius, 2012). Secara umum dapat
17
disimpulkan bahwa (OH.) dalam sistem biologi dibentuk melalui
siklus redoks oleh reaksi Fenton, dimana besi bebas (Fe2+) bereaksi
dengan (H2O2) dan reaksi Haber-Weiss yang merupakan hasil dalam
produksi Fe2+ ketika superoksida bereaksi dengan besi ferric (Fe3+)
(gambar 8) (Ayala et al., 2014).
Gambar 8. Reaksi Fenton dan Haber-Weiss (Ayala et al., 2014).
Radikal hidroperoksil (HO.2) memiliki peranan penting
dalam peroksidase lemak. Merupakan bentuk dari H2O2, suatu
produk superoksida yang telah ter-protonisasi dan dapat bereaksi
dengan redoks metal aktif ternasuk besi dan tembaga yang
selanjutnya menghasilkan OH. melalui reaksi Fenton dan HaberWeiss. HO.2 merupakan oksidan yang lebih kuat bila dibandingkan
radikal anion superoksida serta dapat menginisiasi rantai oksidasi
dari
polyunsaturated
phospholipids
yang
selanjutnya
mengakibatkan kecacatan fungsi membran (Ayala et al., 2014;
Schneider et al., 2008; Browne dan Armstrong, 2000).
Peroksidase lemak secara umum dapat di deskripsikan
sebagai proses dibawah suatu oksidan seperti radikal bebas atau
spesies non radikal yang merusak lemak dengan kandungan rantai
ganda karbon, terutama polyunsaturated fatty acids (PUFA) yang
melibatkan pelepasan hidrogen dari karbon dan disertai penarikan
oksigen
sehingga
terbentuk
radikal
lemak
peroksil
dan
hidroperoksida (Yin et al., 2011). Glikolipid, fosfolipid (PLs) dan
18
kolesterol (Ch) merupakan target potensial yang dirusak oleh
modifikasi peroksidatif. Lemak juga dapat di oksidasi oleh enzim
lipoksigenase, siklooksigenase dan sitokrom P450. Sebagai respon
dari peroksidase membran lemak dan berdasarkan kepada keadaan
metabolik
seluler
yang
spesifik
serta
kemampuan
untuk
memperbaiki diri, sel-sel dapat berhasil memperbaiki diri atau
terinduksi sehingga terjadi kematian sel. Pada keadaan fisiologis
atau tingkat peroksidase lemak yang rendah (kondisi subtoksik), selsel menstimulasi kemampuan bertahan hidup dan memperbaiki diri
mereka melalui mekanisme pertahanan antioksidan atau aktivasi
jalur penanda sehingga terjadi peningkatan regulasi protein
antioksidan sebagai respon adaptasi stres. Sebaliknya apabila dalam
keadaan dengan tingkat peroksidase sedang atau tinggi (kondisi
toksik), kerusakan oksidatif yang ditimbulkan melebihi kemampuan
sel-sel untuk memperbaiki diri sehingga sel-sel mengalami
apoptosis atau nekrosis. Kedua proses tersebut pada akhirnya
mengarah kepada kerusakan molekuler sel yang memfasilitasi
terjadinya perkembangan berbagai macam keadaan patologis dan
mempercepat proses penuaan (Volinsky dan Kinnunen, 2013;
Kinnunen et al., 2012; Reis dan Spickett, 2012; Fruhwirth et al.,
2007).
Radikal bebas sebagai perantara peroksidasi dari PUFA
dimulai dari 5 reaksi dasar: a) transfer atom hidrogen dari PUFA
menuju rantai yang memulai radikal atau rantai yang membawa
radikal peroksil kemudian menghasilkan pentadienyl carboncentered lipid radical, b) reaksi dari radikal lemak dengan oksigen
molekuler menghasilkan radikal lemak peroksil, c) fragmen dari
radikal lemak peroksil yang kemudian menyusun ulang oksigen dan
radikal lemak (kebalikan dari reaksi b), d) penyusunan ulang dari
radikal peroksil, e) siklisasi dari radikal peroksil. Reaksi terakhir
hanya berguna untuk menghasilkan PUFA dengan 3 ikatan ganda
19
atau lebih dan tidak berlangsung pada saat oksidasi linoleat (Niki et
al., 2005).
Keseluruhan dari proses peroksidase lemak terdiri dari 3
langkah: inisiasi, propagasi dan terminasi (Yin et al., 2011; Ayala et
al., 2014) Pada langkah inisiasi dari peroksidase lemak, prooksidan
seperti radikal hidroksil melepaskan hidrogen alilik kemudian
membentuk radikal lemak carbon-centered (L.). Pada fase
propagasi, radikal lemak (L.) secara cepat bereaksi dengan oksigen
membentuk radikal lemak peroksi (LOO.) yang melepas suatu
hidrogen dari molekul lemak lain kemudian membentuk L. baru
(yang melanjutkan rantai reaksi) dan lemak hidroperoksida
(LOOH). Pada reaksi terminasi, anti oksidan seperti vitamin E
menyumbangkan atom hidrogen kepada spesies LOO. Dan
membentuk produk non radikal (gambar 9). Ketika peroksidase
lemak ter-inisiasi, akan terjadi rantai reaksi yang berkelanjutan
hingga terbentuk produk dari fase terminasi (Yin et al., 2011).
Gambar 9. Proses peroksidase lemak (Turens, 2003).
20
Peroksidase lemak atau reaksi dari oksigen dengan lemak tak
jenuh menghasilkan berbagai macam produk oksidasi. Produk
primer dari peroksidase lemak adalah lemak hidroperoksida
(LOOH). Diantara begitu banyaknya aldehid yang dapat terbentuk
sebagai produk sekunder dari peroksidase lemak, malondialdehyde
(MDA), propanal, heksanal dan 4-hidroksinonenal (4-HNE)
merupakan produk-produk yang paling sering dipelajari. MDA
merupakan produk yang paling mutagenik, sedangkan 4-HNE
merupakan yang paling toksik (Ayala, 2014).
Hidroperoksida diproduksi pada saat fase propagasi
mewakili produk primer dari peroksidase lemak. Kelompok
hidroperoksida dapat bergabung dengan berbagai macam struktur
lemak seperti asam lemak bebas, triasilgliserol, fosfolipid, dan
sterol. Berbeda dengan radikal bebas yang bersifat sangat reaktif dan
secara kimiawi tidak stabil, pada kondisi reaksi sedang seperti saat
temperatur rendah dan tidak adanya ion besi, lemak hidroperoksida
relatif lebih stabil. Melalui penelitian didapatkan bahwa lemak
hidroperoksida dapat berguna untuk memprediksi stres oksidatif
dalam jaringan (Arguelles et al., 2007).
2.2.2. Malondialdehyde pada infark miokard akut
MDA merupakan produk akhir yang terbentuk dari
dekomposisi asam arakidonat dan PUFA melalui proses enzimatik
dan non enzimatik (gambar 10). Produksi MDA melalui proses
enzimatik telah lama dikenal namun fungsi biologisnya masih belum
diketahui meskipun MDA secara kimiawi lebih stabil dan lebih
permeabel terhadap membran bila dibandingkan dengan ROS dan
toksisitasnya tidak setinggi 4-HNE dan metilgliosal (MG). Sampai
saat ini masih belum banyak penelitian melaporkan bahwa MDA
dapat berperan sebagai pengirim sinyal dan meregulasi ekspresi gen.
Di sisi lain, produksi MDA dari proses non enzimatik masih belum
banyak diketahui meskipun sebenarnya memiliki potensi terapeutik,
21
dikarenakan MDA ini diyakini berasal dari kondisi stres dan
memiliki kemampuan yang tinggi bereaksi dengan berbagai macam
biomolekul seperti protein atau DNA (Zarkovic et al., 2013; Blair,
2008; Luczaj dan Skrzydlewska, 2003).
Pada produksi MDA melalui proses enzimatik, MDA
dihasilkan secara in vivo sebagai produk sampingan dalam proses
enzimatik selama biosintesis dari tromboksan A2 (TXA2) (Tsikas et
al., 2012; Griesser et al., 2009). TXA2 merupakan metabolit aktif
secara biologis dari asam arakidonat yang terbentuk dari aksi sintase
tromboksan
A2
pada
prostaglandin
endoperoksida
atau
prostaglandin H2 (PGH2) yang sebelumnya dihasilkan dari aksi
siklooksigenase asam arakidonat (Massey dan Nicolaou, 2011;
Riccotti dan Fitzgerald, 2011; Ekambaram et al., 2011; Yang dan
Chen, 2008).
Saat terjadi proses peroksidase lemak, terbentuk campuran
dari lemak hidroksiperosida. Radikal peroksil dari hidroperoksida
berikatan dengan grup peroksil sehingga memungkinkan untuk
terjadinya suatu siklisasi oleh radikal intramolekular sebagai
tambahan pada rantai ganda dan pembentukan radikal baru. Radikal
bebas yang terbentuk dari siklisasi dapat tersiklisasi kembali untuk
membentuk siklus ganda endoperoksida yang secara struktur terkait
dengan
prostaglandin
dan
mengalami
pembelahan
untuk
memproduksi MDA. Melalui reaksi non enzimatik radikal oksigen,
asam arakidonat merupakan prekursor utama dari siklus ganda
endoperoksida, yang kemudian akan bereaksi lebih lanjut dengan
atau tanpa partisipasi dari senyawa lain membentuk MDA (Lin et
al., 2011; Milne et al., 2008; Yin et al., 2007; Brooks et al., 2008;
Roberts et al., 2005; Onyango dan Baba, 2010).
22
Gambar 10. Proses enzimatik dan non enzimatik MDA (Yin et al.,
2011).
Setelah MDA dapat dimetabolisme secara enzimatik atau
dapat bereaksi pada protein selular, jaringan, atau DNA, kemudian
membentuk
suatu
produk
yang
mengakibatkan
kerusakan
biomolekuler. Penelitian terdahulu menunjukkan bahwa terdapat
kemungkinan rute biokimia untuk metabolisme MDA melibatkan
oksidasi oleh mitokondria aldehid dehidrogenase yang diikuti oleh
dekarboksilasi untuk memproduksi asetaldehid yang kemudian di
oksidasi oleh aldehid dehidrogenase membentuk asetat dan
selanjutnya menjadi CO2 dan H2O. Di sisi lain isomerase
fosfoglukosa kemungkinan bertanggung jawab dalam metabolisme
sitoplasma MDA menjadi metilglioksal, dan selanjutnya menjadi D-
23
laktat oleh enzim dari sistem glioksal menggunakan GSH sebagai
faktor pendamping (Agadjanyan et al., 2005).
Peningkatan kolesterol, trigliserida, LDL-C dan penurunan
HDL-C seringkali ditemukan pada pasien-pasien penyakit jantung
koroner. Penelitian terbaru mengungkapkan selain komponenkomponen tersebut tadi, MDA juga dapat menjadi penanda stres
oksidatif bersamaan dengan troponin i dan CKMB (Valiuniene et
al., 2007). Meskipun peningkatan kadar LDL memainkan peranan
penting dalam resiko aterosklerosis, LDL sendiri ternyata tidaklah
aterogenik tetapi harus dimodifikasi terlebih dahulu agar terjadi
aterogenesis LDL. Ketika partikel LDL terjebak pada pembuluh
darah arteri akan terjadi oksidasi dan akan difagosit oleh makrofag
dimana selanjutnya akan terjadi peroksidase lemak serta akumulasi
dari ester kolesterol yang pada akhirnya menghasilkan sel busa
(Vidya et al., 2012).
Sebagaimana telah kita ketahui, ruptur plak aterosklerosis
merupakan kejadian penting yang sangat berpengaruh sebagai
pemicu terbentuknya trombus dan kejadian IMA (Libby dan
Theroux, 2005). Plak yang berpotensi untuk ruptur berisikan lesi
intima yang luas dengan makrofag dalam jumlah yang banyak, selsel busa, serta fibrous cap yang tipis (Shah, 2002). Analisa ekspresi
gen pada plak aterosklerosis menunjukkan apabila dibandingkan
dengan plak stabil, plak rapuh memiliki ekspresi metaloproteinase
matriks (MMPs) lebih tinggi dengan aktivitas kolagenase yang
mengakibatkan
menipisnya
fibrous
cap
sehingga
terjadi
ketidakstabilan plak dan ruptur plak. Diantara MMPs, MMP-9
merupakan
faktor
resiko
independen
terjadinya
kejadian
aterotrombotik (Loftus et al., 2001; Blankenberg et al., 2003).
Sintesis serta pelepasan MMP-9 dapat di induksi melalui stimulasi
toll like receptor -4 (TLR-4) yang biasanya melibatkan bakteri
endotoksin, tetapi juga oleh modifikasi minimal dari LDL dan tipe-
24
tipe modifikasi LDL lainnya (Lundberg dan Hanson, 2010; Choi et
al., 2009).
Disamping ekspresi yang berlebihan dari MMP, plak rapuh
juga terbentuk dari akumulasi makrofag yang mengalami apoptosis
disekitar inti yang nekrosis. Berbagai macam pro-apoptosis berperan
secara signifikan pada evolusi dari ateroma, termasuk stres oksidatif,
stres retikulum endoplasmik (ER), akumulasi dari kolesterol bebas,
dan efek dari sitokin pro-inflamasi yang dilepaskan oleh makrofag
yang teraktivasi. Seringkali faktor-faktor ini berefek sebagai adiktif
atau bersinergi menginduksi terjadinya apoptosis. Sebagai contoh
akumulasi intraseluler dari kolesterol bebas dapat menginduksi
terjadinya stres ER, akan tetapi pada kadar stres ER yang rendah
memberikan perlindungan terhadap apoptosis (Seimon dan Tabas,
2009). Sebaliknya, akumulasi dari kolesterol bebas dalam makrofag
dan dikombinasikan dengan sinyal yang dihantarkan melalui
reseptor scavenger atau dengan interferon-ɤ yang dilepaskan oleh
sel T teraktivasi pada ateroma mengakibatkan terjadinya fosforilasi
serin dari signal transducer and activator of transcription -1 (STAT1) yang merupakan elemen penting yang menginduksi apoptosis,
sekunder dari stres ER (Lim et al., 2008). Makrofag yang mengalami
apoptosis dalam ateroma akan dimakan oleh makrofag fungsional
(eferositosis). Eferositosis pada tahap awal lesi berperan menekan
terjadinya inflamasi, namun pada tahap lesi yang lebih lanjut akan
meningkatkan terjadinya inflamasi. Evolusi ini merupakan akibat
dari eferositosis yang defektif pada lesi tahap lanjut yang
menyebabkan sel-sel apoptosis mengalami nekrosis dan selanjutnya
terjadi akumulasi dari fragmen-fragmen pemicu inflamasi dan
ketidakstabilan plak (Seimon dan Tabs, 2009).
LDL teroksidasi mengaktifkan berbagai tipe sel ekspresi
cluster of differentiation 36 (CD36) dan reseptor scavenger lain,
berkontribusi terhadap terbentuknya ROS (Li et al., 2010). Pada
25
makrofag, interaksi dari LDL teroksidasi dengan CD36 (dimediasi
oleh fosfolipid teroksidasi) mengaktivasi Fyn/Lyn dan beberapa
komponen dari jalur mitogen activated protein (MAP) kinase
termasuk MAP kinase kinase kinase (MKKK), MAP kinase kinase
(MKK), focal adhesion kinase (FAK), dan mitogen-activated
protein kinase (MAPK). Aktivasi dari kinase-kinase serta proteinprotein terkait seperti Vav berhubungan dengan terbentuknya sel
busa serta polimerisasi aktin tidak teregulasi dan hilangnya polaritas
sel menyebabkan defek migrasi dan terperangkapnya sel-sel
teraktivasi pada lesi ateroma (Silverstein et al., 2010). Pada platelet,
kejadian sinyal yang sama menyebabkan reaktivasi platelet dan
merangsang pembentukan trombi (Silverstein, 2009). Penelitian
terbaru menunjukkan bahwa ligase dari CD36 oleh LDL teroksidasi
menyebabkan terbentuknya heterodimer TLR-4-TLR-6 yang
kemudian mengaktivasi myeloid differentiation 88 (MyD88) dan
nuclear factor kappa beta (NFkB) yang merupakan suatu langkah
penting dalam induksi dari sintesis dan pelepasan sitokin proinflamasi (Stewart et al., 2010).
Sel endotel, monosit, makrofag, limfosit dan sel-sel otot
polos memiliki kemampuan untuk meningkatkan laju oksidasi LDL.
Pada saat terjadinya proses inflamasi, beberapa jenis sel mensekresi
dan mensintesis fosfolipase A2. Mieloperoksidase, suatu protein
yang disekresi oleh fagosit yang teraktivasi, mengoksidasi Ltyrosine menjadi radikal tirosol yang secara fisiologis mengkatalis
terjadinya proses inisiasi oksidasi lemak pada LDL. Berbeda dengan
mekanisme oksidasi LDL yang diperantarai oleh sel, reaksi
katalisasi mieloperoksidase tidak dipengaruhi oleh ion-ion besi
bebas. Oksidasi lemak menghasilkan aldehid yang menggantikan
residu lisin pada apolipoprotein B-100 dari LDL dan menyebabkan
fragmentasi. Hasil dari LDL yang termodifikasi secara oksidatif
disebut sebagai LDL teroksidasi. Stres oksidatif pada sel-sel endotel
26
dan aktivasi platelet berhubungan dengan oksidasi dari asam
arakidonat menjadi aldehid, yang selanjutnya berinteraksi dengan
residu lisin apolipoprotein B-100 dari LDL yang dikenal dengan
MDA (gambar 11) (Holvoet et al., 1999).
Peroksidase lemak menginisiasi PUFA pada LDL dengan
permukaan fosfolipid sehingga terbentuk inti-inti lemak yang
menyebabkan
terjadinya
modifikasi
oksidatif
dari
PUFA,
pemecahan kolesterol dan fosfolipid. Diantara produk-produk hasil
dari peroksidase lemak, MDA secara luas digunakan sebagai indeks
dari kerusakan oksidatif dikarenakan kemampuannya berinteraksi
dengan lipoprotein (Sreekanth et al., 2002; Sharma et al., 2008;
Surekha et al., 2007; Mogadam et al., 2008; Kaur et al., 2008).
Gambar 11. Kemungkinan mekanisme dari modifikasi oksidatif
LDL (Holvoet et al., 1999).
Lipoprotein yang telah termodifikasi akan diambil oleh
makrofag yang selanjutnya bertransformasi menjadi sel busa dan
kemudian mengakibatkan perkembangan dari plak aterosklerosis
dan progresivitas dari aterogenesis. Peningkatan peroksidase lemak
27
merupakan konsekuensi dari stres oksidatif yang terjadi ketika
terjadi ketidakseimbangan mekanisme antara prooksidan dengan
antioksidan. Oleh karena itu untuk menilai proses peroksidase serta
melihat luasnya mekanisme peroksidase yang membentuk radikal
serta yang mengeliminasi sistem antioksidatif, maka dilakukan
pengukuran MDA (Vidya et al., 2012).
Pada kejadian infark miokard akut terjadi suatu oksidasi
LDL yang masif dan menyebabkan terjadinya peningkatan ROS
yang signifikan serta diikuti dengan penurunan dari NO. Kadar ROS
yang tinggi memicu pembentukan hidrogen peroksida dari
superoksida. Pada kejadian seperti ini normalnya akan terjadi respon
anti oksidan secara enzimatik oleh CAT, GPX dan SOD yang
distimulus oleh NO. Akan tetapi pada IMA dikarenakan terjadi
penurunan dari NO, sehingga aktivitas respon anti oksidan ini juga
mengalami penurunan (Khaki et al., 2012). Tingginya jumlah
hidrogen peroksida yang terbentuk serta menurunnya kemampuan
anti oksidan dan dengan perantara jalur fenton, sehingga terbentuk
radikal hidroksil yang selanjutnya memicu terjadinya peroksidase
lemak dengan hasil akhir MDA. Peningkatan kadar MDA pada
pasien infark miokard mengindikasikan peran dari ROS pada
kerusakan endotel serta patogenesis dari penyakit (Vidya et al.,
2012).
2.3.
Penelitian yang relevan
Penelitian terdahulu menunjukkan bahwa peningkatan kadar MDA
memberikan informasi adanya ketidakstabilan plak sehingga dapat
digunakan untuk mengidentifikasi IMA (Holvoet et al., 1998). Berikut
beberapa penelitian yang menggunakan MDA sebagai biomarker pada
IMA.
1.
Gangte et al (2014) menyatakan bahwa kadar MDA rata-rata
(4.02+0.72 µmol/L pada pria dan 3.77+0.58 µmol/L pada
wanita) meningkat signifikan pada pasien IMA (p<.001)
28
dibandingkan dengan grup kontrol (1.34+0.22 µmol/L pada
pria dan 1.30+0.26 µmol/L pada wanita), akan tetapi kadar
GPX rata-rata pasien IMA (23.3+4.2 u/gHb pada pria dan
23.0+3.6 u/gHb pada wanita) lebih rendah dibandingkan
dengan grup kontrol (29.68+1.4 u/gHb pada pria dan
29.57+1.0 u/gHb pada wanita) dan bernilai signifikan secara
statistik (p<.001).
2.
Sorathia et al (2014) melakukan pengukuran MDA pada
pasien IMA dibandingkan dengan grup kontrol yang tidak
mengalami IMA, didapatkan hasil kadar MDA rata-rata
4.62+0.696 µmol/L pada pasien IMA dan 2.21+0.505
µmol/L pada grup kontrol dengan p<.0001.
3.
Khan et al (2013) melalui penelitian dengan membandingkan
kadar MDA, AST, LDH, CK, GSH yang dilakukan kepada
128 subyek dengan IMA terhadap 121 subyek normal,
didapatkan hasil peningkatan kadar MDA yang signifikan
pada subjek dengan IMA (p<.05) dan penurunan kadar GSH
(p<.01) dibandingkan dengan grup kontrol.
p<.
p<.
Gambar 12. Serum GSH dan MDA pada subjek kontrol dan
subjek IMA (Khan et al., 2013).
29
Pada penelitian ini tidak didapatkan korelasi yang signifikan
antara tingginya kadar MDA dengan usia, kebiasaan
merokok serta hipertensi, namun didapatkan korelasi yang
signifikan antara jenis kelamin dengan peningkatan kadar
MDA.
Tabel 2. Korelasi antara biomarker dengan karakteristik
pasien (Khan et al., 2013).
4.
Vidya et al (2012) melakukan pengukuran MDA pada pasien
IMA yang dibagi kepada 4 grup (grup I DM dan hipertensi,
grup II hipertensi, grup III tidak merokok, grup IV merokok)
dibandingkan dengan grup kontrol. Didapatkan hasil seluruh
grup pasien IMA mengalami peningkatan kadar MDA
dibandingkan dengan grup kontrol (kontrol: 267.55+59.61,
grup I: 575.82+65.09, grup II: 472.81+101.8, grup III:
483.07+119.77, grup IV: 502.06+101.6) dengan p<0.001.
Kemudian dibandingkan kadar MDA diantara grup IMA
didapatkan hasil MDA meningkat signifikan antara grup II
dengan grup III, serta grup IV dibandingkan dengan grup II
dan III.
30
Tabel 3. Perbedaan kadar MDA diantara grup IMA (Vidya et
al., 2012).
5.
Holvoet et al (1999) melakukan penelitian terhadap pasien
IMA, angina pektoris tidak stabil, dan penyakit arteri koroner
stabil. Dilakukan pengukuran kadar MDA, didapatkan hasil
kadar MDA meningkat 2.9 kali lipat pada pasien angina
pektoris tidak stabil (p<.001) dan meningkat 2.6 kali lipat
pada pasien IMA (p<.001). Sedangkan bila dibandingkan
antara pasien angina pektoris tidak stabil dengan pasien IMA
tidak didapatkan perbedaan kadar MDA yang signifikan
(p=.09). MDA secara signifikan dapat membedakan antara
penyakit arteri koroner stabil dengan IMA (x2=14.6; p<.001).
Untuk sensitivitas serta spesifisitas pada pasien IMA, MDA
memiliki nilai 95%.
31
2.4.
Kerangka pikir
Infark Miokard Akut
NO ↓
ROS ↑
GPX ↓
O2-.(HO2.) ↑
SOD ↓
H2O2
Troponin I ↑
OH.
Sensitivitas
miofilamen
terhadap Ca2+ ↓
Modifikasi Lemak
Peroksidase Lemak
MDA
Kerusakan Jaringan dan Membran
Kontraktilitas Miokard
↓
Keterangan :
1.
: Mengaktivasi
3.
: Meningkatkan
2.
: Menghambat
4.
:Variabel yang diperiksa
NO
: Nitric Oxide
Ca2+
: Kalsium
GPX
: Glutathione Peroxidase
O2-.(HO2.) : Superoksida
SOD
: Superoxide Dismutase
H2O2
: Hidrogen Peroksida
ROS
: Reactive Oxygen Species
OH.
: Radikal Hidroksil
32
Keterangan bagan kerangka pikir
Ketika partikel LDL terjebak pada pembuluh darah arteri akan terjadi
oksidasi dan akan difagosit oleh makrofag dimana selanjutnya akan terjadi
akumulasi dari ester kolesterol yang pada akhirnya menghasilkan sel busa dan
berlanjut kepada ruptur plak (Vidya et al., 2012). Pada kejadian infark miokard
akut, oksidasi LDL yang masif mengakibatkan terjadinya peningkatan ROS yang
signifikan serta diikuti dengan penurunan dari NO. Kadar ROS yang tinggi memicu
pembentukan hidrogen peroksida dari superoksida. CAT, GPX dan SOD normalnya
akan terstimulus oleh NO sebagai respon anti oksidan secara enzimatik. Namun
pada IMA hal ini tidak terjadi dikarenakan adanya penurunan dari NO, sehingga
aktivitas respon anti oksidan ini juga mengalami penurunan (Khaki et al., 2012).
Tingginya jumlah hidrogen peroksida yang terbentuk serta menurunnya
kemampuan anti oksidan dan dengan perantara jalur fenton, sehingga terbentuk
radikal hidroksil yang selanjutnya memicu terjadinya peroksidase lemak dengan
hasil akhir MDA. Peningkatan kadar MDA pada pasien infark miokard
mengindikasikan peran dari ROS pada kerusakan endotel serta patogenesis dari
penyakit yang selanjutnya mengakibatkan penurunan kontraktilitas dari miokard
(Vidya et al., 2012). Pada IMA juga terjadi peningkatan kadar troponin i dimana
peningkatan ini kemudian akan menghambat sensitivitas miofilamen terhadap Ca2+
dan pada akhirnya berakibat kepada menurunnya kemampuan kontraktilitas
miokard (Layland et al., 2005).
2.5.
Hipotesis
Malondialdehyde memiliki nilai prediksi, sensitivitas, spesifisitas
yang lebih baik dibandingkan dengan troponin i terhadap kontraktilitas
miokard pada pasien infark miokard akut dengan elevasi segmen ST.
Peningkatan malondialdehyde turut meningkatkan resiko penurunan
kontraktilitas miokard pada pasien infark miokard akut dengan elevasi
segmen ST.
33
BAB 3
METODE PENELITIAN
3.1.
Tempat dan waktu penelitian
Penelitian ini dilakukan di Intensive Cardiovascular Care Unit
RSUD. DR. Moewardi, Surakarta, Jawa Tengah.
Waktu yang diperlukan dalam penelitian ini selama 2 bulan dengan
jadwal penelitian sebagai berikut (tabel 4):
Tabel 4. Jadwal Penelitian.
Bulan
Kegiatan
Agustus 2016
September 2016
Pengumpulan Data
Analisa data dan
Pelaporan
3.2.
Jenis penelitian
Jenis penelitian ini adalah kohort prospektif. Pada penelitian ini
yang menjadi paparan adalah kejadian IMA dengan elevasi segmen ST,
kemudian dilakukan pengukuran kadar malondialdehyde dan troponin i
darah serta dilakukan pengukuran fraksi ejeksi untuk melihat peran dari
malondialdehyde dan troponin i terhadap kontraktilitas miokard sebagai
keluaran.
3.3.
Populasi dan sampel
3.3.1. Populasi sumber
Pasien IMA dengan elevasi segmen ST yang menjalani
perawatan di Intensive Cardiovascular Care Unit RSUD. DR.
Moewardi, Surakarta, Jawa Tengah.
3.3.2. Populasi sasaran
Pasien IMA dengan elevasi segmen ST yang menjalani
perawatan di Intensive Cardiovascular Care Unit RSUD. DR.
33
34
Moewardi, Surakarta, Jawa Tengah dengan jumlah sampel 40
subyek.
3.3.2.1.
Kriteria inklusi
1.
3.3.2.2.
Pasien IMA dengan elevasi segmen ST (killip 1-3).
Kriteria eksklusi
1.
Pasien yang mengkonsumsi suplemen vitamin atau
antioksidan sebelum kejadian IMA.
2.
Pasien dengan infeksi aktif.
3.
Pasien dengan penyakit inflamasi kronis.
4.
Pasien penyakit ginjal kronis.
5.
Pasien dengan keganasan.
6.
Pasien yang menjalani operasi dalam 6 bulan terakhir.
3.3.3. Sampel
Diambil secara konsekutif pada pasien IMA dengan elevasi
segmen ST yang menjalani perawatan di Intensive Cardiovascular
Care Unit RSUD. DR. Moewardi, Surakarta, Jawa Tengah dan
bersedia untuk dilakukan pemeriksaan ekokardiografi serta
dilakukan pengambilan darah untuk penelitian.
3.3.4. Besar sampel
Penelitian ini merupakan penelitian kohort prospektif.
Dengan menggunakan perangkat lunak OpenEpi versi 3.01 secara
daring untuk perhitungan jumlah sampel berdasarkan penelitian
sebelumnya oleh Holvoet et al (1999) didapatkan besar sampel
sebanyak 14 subyek (gambar 13). Sedangkan untuk analisis
multivariat dibutuhkan rasio jumlah subyek dan jumlah variabel
bebas tidak boleh kurang dari 5:1. Jika rasio kurang dari 5:1 akan
terdapat resiko overfitting model terhadap sampel (Hair et al., 1998).
Jumlah sampel pada penelitian ini dengan melibatkan 2 variabel
bebas dibutuhkan 2 x (n subyek) dimana n = 20 subyek, sehingga
didapatkan jumlah sampel sebanyak 40 subyek.
35
Gambar 13. Besar sampel kohort prospektif menggunakan OpenEpi
versi 3.01.
3.4.
Variabel dan definisi operasional
3.4.1. Variabel penelitian
3.4.1.1.
3.4.1.2.
Variabel bebas
1.
Malondialdehyde.
2.
Troponin I
Variabel terikat
1.
Kontraktilitas Miokard.
3.4.2. Definisi operasional
3.4.2.1.
Infark miokard akut
 Definisi : Infark miokard akut adalah suatu kejadian
dimana didapatkan bukti nekrosis miokardium pada
kondisi klinis yang konsisten dengan iskemik miokard
akut serta memiliki salah satu kriteria berikut :
1.
Peningkatan dan / atau penurunan kadar biomarker
jantung (diutamakan troponin jantung) dengan
setidaknya ada satu dengan nilai diatas persentil 99
diatas
nilai
referensi
normal
setidaknya satu gejala berikut ini :
serta
diikuti
36
a.
Gejala-gejala iskemia.
b.
Perubahan segmen ST dan gelombang T yang
baru atau diasumsikan baru secara signifikan,
left bundle branch block (LBBB) baru.
c.
Berkembangnya gelombang Q patologis di
EKG.
d.
Terdapat bukti pencitraan yang membuktikan
kejadian
yang
baru
dari
berkurangnya
viabilitas miokardium atau abnormalitas
gerakan dinding jantung secara regional yang
baru.
e.
Identifikasi trombus intra koroner dengan
angiografi atau otopsi.
2.
Kematian jantung dengan gejala yang mengarah
ke iskemik miokard dan diasumsikan ada
perubahan gambaran EKG iskemik yang baru atau
LBBB baru, tetapi kematian terjadi sebelum
dilakukan
pemeriksaan
biomarker
jantung
dilakukan atau nilai biomarker jantung belum
meningkat.
3.
Intervensi koroner perkutan terkait infark miokard
didefinisikan
sebagai
peningkatan
troponin
jantung (>5x persentil 99 diatas nilai referensi
normal) pada pasien dengan nilai dasar yang
normal atau peningkatan troponin jantung sebesar
20% apabila didapatkan peningkatan nilai dasar
yang stabil atau didapatkan penurunan nilai dasar.
4.
Trombosis stent yang terkait dengan infark
miokard dan terdeteksi melalui angiografi atau
otopsi pada kondisi infark miokard dengan
peningkatan atau penurunan nilai biomarker
37
jantung dan setidaknya terdapat satu biomarker
dengan nilai > persentil 99 diatas nilai referensi
normal.
5.
Operasi bedah pintas jantung terkait infark
miokard didefinisikan sebagai peningkatan kadar
troponin jantung >10x persentil 99 pada pasien
dengan nilai dasar troponin jantung yang normal.
 Alat ukur
:
Elektrokardiografi
dan
biomarker
jantung (Troponin I).
3.4.2.2.
Malondialdehyde
 Definisi
: Produk akhir peroksidase lemak yang
terbentuk dari dekomposisi asam arakidonat dan PUFA
melalui proses enzimatik dan non enzimatik.
 Alat ukur
:
High
Performance
Liquid
Chromatography 1260 Infinity Binary Pump with
Flourescent Detector (Agilent Technologies, Hanover,
Germany), metode fluorescence.
 Satuan data : µmol/L (nilai rujukan 0.61 µmol/L).
 Skala data
3.4.2.3.
: kontinu.
Troponin I
 Definisi
: Terdapat pada jaringan otot jantung.
Bagian dari kompleks troponin, berikatan dengan aktin
yang berada di dalam miofilamen-miofilamen tipis
untuk
mempertahankan
ikatan
komplek
aktin-
tropomiosin.
 Alat ukur
: Vidas Troponin I Ultra (Biomeriux SA
Tech, Lyon, France), metode ELFA.
 Satuan data : µg/L (nilai rujukan 0.01 µg/L).
 Skala data
: kontinu.
38
3.4.2.4.
Kontraktilitas miokard
 Definisi
: Kemampuan intrinsik miokard untuk
berkontraksi.
 Alat ukur
: Ekokardiografi GE Vivid 6.
 Satuan data : Fraksi ejeksi (%).
 Skala data
3.5.
: kontinu.
Instrumen penelitian
3.5.1. Pengambilan data ekokardiografi
Pemeriksaan ekokardiografi dilakukan pada hari ke 5
perawatan dengan menggunakan mesin ekokardiografi GE Vivid
S6. Teknik pengambilan data ekokardiografi adalah sebagai berikut:
1.
Dilakukan identifikasi identitas pasien, dijelaskan maksud
dan tujuan pemeriksaan ekokardiografi.
2.
Pasien diposisikan untuk pemeriksaan ekokardiografi, yaitu
posisi tidur terlentang atau sedikit miring ke kiri.
3.
Pasien diberitahu bahwa pemeriksaan akan dimulai.
4.
Dilakukan pemasangan EKG 3 lead.
5.
Tranduser diletakkan pada lokasi yang akan diperiksa.
6.
Dilakukan pengambilan gambaran 2-dimensi
7.
Dilakukan pengukuran fraksi ejeksi dan analisis segmental
pada lokasi yang diperiksa.
8.
Dilakukan pengambilan gambar yang optimal.
9.
Dilakukan pengukuran lainnya seperti diameter atrium kiri,
dimensi, fungsi diastolik ventrikel kiri, ada tidaknya kelainan
stenosis atau regurgitasi pada katup jantung, dan ada
tidaknya kelainan anatomi.
3.5.2. Pengambilan darah dan penanganan spesimen
3.5.2.1.
Teknik pengambilan darah
1.
Pemeriksaan MDA dan Troponin I dilakukan
sebelum pengambilan data ekokardiografi pada hari
ke 1 perawatan.
39
2.
Sampel darah untuk pemeriksaan MDA dan Troponin
I diambil dari vena antekubiti pada suhu (24-25oC).
3.
Proses penanganan spesimen untuk sampel darah
yang diperoleh dimasukkan dalam tabung EDTA dan
kemudian dilakukan sentrifus dengan kecepatan 3000
rpm selama 10 menit pada suhu 4oC. Pemrosesan,
penyimpanan sampel darah dan pemeriksaan MDA
dilakukan di Laboratorium Klinik Prodia, sedangkan
pemeriksaan Troponin I dilakukan di Laboratorium
Patologi Klinik RSUD. DR. Moewardi.
3.5.2.2.
Teknik pemeriksaan
Pemeriksaan serum MDA dengan menggunakan
metode fluorescence pada High Performance Liquid
Chromatography 1260 Infinity Binary Pump with
Flourescent Detector (Agilent Technologies, Hanover,
Germany). Pemeriksaan Troponin I menggunakan metode
ELFA pada Vidas Troponin I Ultra (Biomeriux SA Tech,
Lyon, France).
3.6.
Analisis statistik
Data karakteristik subyek penelitian disajikan dalam bentuk
deskriptif. Analisis korelasi malondialdehyde dengan kontraktilitas miokard
serta troponin i dengan kontraktilitas miokard menggunakan uji pearsons.
Koefisien korelasi (R) menunjukkan seberapa besar hubungan yang
terjadi antara malondialdehyde dan troponin i secara serentak terhadap
kontraktilitas miokard, koefisien determinasi (R2) untuk mengetahui
seberapa besar persentase malondialdehyde dan troponin i mempengaruhi
kontraktilitas miokard. Nilai p < 0,050 menyatakan perbedaan bermakna
secara statistik.
Analisis regresi logistik digunakan untuk menganalisis pengaruh
malondialdehyde dan troponin i terhadap derajat keparahan kontraktilitas
miokard. Sensitivitas dan spesifisitas malondialdehyde dan troponin i
40
didapatkan dari kurva ROC. Sedangkan uji beda dilakukan untuk
menganalisis dari pengaruh faktor luar (hipertensi, dislipidemia, merokok,
diabetes melitus dan derajat killip) terhadap malondialdehyde. Perangkat
lunak yang digunakan untuk menganalisis statistik adalah SPSS versi 22
(SPSS Inc, Chicago, IL, USA).
3.7.
Alur penelitian
Pasien STEMI yang dirawat di
Intensive Cardiovascular Care
Unit RSUD. DR. Moewardi
Kriteria inklusi dan eksklusi
Pengambilan sampel darah vena
perifer
Malondialdehyde
Dilakukan ekokardiografi
Troponin I
Fraksi ejeksi
Analisis statistik
Hasil
Gambar 14. Alur penelitian
41
BAB 4
HASIL PENELITIAN dan PEMBAHASAN
4.1.
Hasil penelitian
Penelitian ini dilakukan di ruang Intensive Cardiovascular Care
Unit RSUD. DR. Moewardi, Laboratorium Patologi Klinik RSUD. DR.
Moewardi, dan Laboratorium Klinik Prodia, Surakarta selama periode
Agustus sampai September 2016. Penelitian ini menggunakan metode
kohort prospektif untuk mengetahui nilai prediksi, sensitivitas, spesifisitas
dan
resiko
yang
diakibatkan
oleh
peningkatan
malondialdehyde
dibandingkan dengan troponin i terhadap kontraktilitas miokard pada pasien
infark miokard akut dengan elevasi segmen ST, serta untuk mengetahui
faktor-faktor apa saja yang mempengaruhi malondialdehyde pada pasien
infark miokard akut dengan elevasi segmen ST. Subyek pada penelitian kali
ini berjumlah 40 orang.
4.1.1. Karakteristik subyek penelitian
Subyek penelitian terdiri dari 40 pasien infark miokard
akut dengan elevasi segmen ST yang telah memenuhi kriteria inklusi
dan ekslusi dimana data kontinu dipresentasikan sebagai Mean + SD,
sedangkan data diskrit dipresentasikan dalam bentuk persentase
(tabel 5).
41
42
Tabel 5. Karakteristik subyek penelitian
Variabel
Usia
Jenis Kelamin
Laki-laki
Perempuan
Profil Lemak
Kolesterol Total
LDL
HDL
Trigliserida
Fraksi Ejeksi Hari
Variabel
Hipertensi
Diabetes Melitus
Merokok
Dislipidemia
STEMI
Anterior
Anterospetal
Anterior Luas
Inferior
Inferoposterior RV
Killip
I
II
III
n
40
Range
48-84
Mean + SD
65,33 + 8,12
68-263
41-199
21-67
48-956
26-62
171,68 + 38,26
105,68 + 32,57
41,7 + 10,72
135,78 + 38,26
42,72 + 8,97
26
14
40
40
40
40
40
n
31
14
22
10
%
77,5
35
55
25
8
16
4
4
8
20
40
10
10
20
24
13
3
60
32,5
7,5
4.1.2. Uji regresi linear
Uji regresi linear dilakukan untuk mengetahui hubungan
antara malondialdehyde dan kontraktilitas miokard pada pasien
dalam penelitian ini. Berdasarkan analisis didapatkan hasil yang
menunjukkan bahwa terdapat korelasi negatif yang kuat antara
malondialdehyde dengan kontraktilitas miokard (β = -14,23; CI 95%
-19,27 - -9,20; p < 0,001). Untuk nilai koefisien determinasi (R2)
didapatkan angka sebesar 46,3% yang menunjukkan pengaruh
43
malondialdehyde terhadap kontraktilitas miokard, dan sisanya
sebesar 53,7% dipengaruhi oleh variabel lain yang tidak dimasukkan
dalam penelitian (tabel 6).
Tabel
6.
Hasil
analisis
regresi
linear
hubungan
antara
malondialdehyde dengan kontraktilitas miokard pada pasien IMA
dengan elevasi segmen ST.
Variabel
Koefisien
Regresi (β)
Confident Interval 95%
Batas bawah
Batas atas
P
Konstanta
66,00
57,50
74,51
<0,001
Malondialdehyde
-14,23
-19,27
-9,20
<0,001
n observasi 40 subyek
Koefisien determinasi (R2):46,3%
Uji regresi linear juga dilakukan untuk mengetahui
hubungan antara troponin i dan kontraktilitas miokard pada pasien
dalam penelitian ini. Hasil analisis menunjukkan bahwa terdapat
korelasi yang lemah antara troponin i dan kontraktilitas miokard (β
= 0,19; CI 95% -0,16 – 0,54; p = 0,273). Untuk nilai koefisien
determinasi (R2) didapatkan angka sebesar 3,2% yang menunjukkan
bahwa peran dari troponin i sangat kecil dalam mempengaruhi
kontraktilitas miokard, dan sisanya sebesar 96,8% dipengaruhi oleh
variabel lain (tabel 7).
44
Tabel 7. Hasil analisis regresi linear hubungan antara troponin i
dengan kontraktilitas miokard pada pasien IMA dengan elevasi
segmen ST.
Variabel
Koefisien
Regresi (β)
Confident Interval 95%
Batas bawah
Batas atas
P
Konstanta
41,33
37,50
45,15
<0,001
Troponin I
0,19
-0,16
0,54
0,273
n observasi 40 subyek
Koefisien determinasi (R2):3,2%
4.1.3. Analisis sensitivitas dan spesifisitas malondialdehyde
Pada penelitian kali ini dengan menggunakan metode
kurva
receiver
operating
characteristic
(ROC)
didapatkan
malondialdehyde > 1,92 µmol/L memiliki sensitivitas sebesar 75,6%
sebagai prediktor kontraktilitas miokard (gambar 15).
Gambar 15. Kurva ROC sensitivitas malondialdehyde sebagai
prediktor kontraktilitas miokard.
45
Nilai area under the curve (AUC) sebesar 0,83 (CI 95%
0,69-0,97; p < 0,001) dimana hasil ini memiliki arti apabila nilai
malondialdehyde > 1,92 µmol/L digunakan sebagai prediktor
kontraktilitas miokard pada 100 pasien STEMI, didapatkan 83 orang
diantaranya akan mengalami penurunan kontraktilitas miokard. Titik
potong optimal malondialdehyde didapatkan pada angka 1,92
µmol/L dengan sensitivitas 75,6 % serta spesifisitas 74,6 % (gambar
16).
1,2
1
0,8
0,6
0,4
0,2
0
1
3
5
7
9
11 13 15 17 19 21 23 25 27 29 31 33
Sensitivitas
Spesifisitas
Gambar 16. Titik potong optimal nilai malondialdehyde.
Untuk troponin i dengan menggunakan metode kurva
ROC didapatkan nilai troponin i > 2,58 µg/L memiliki sensitivitas
sebesar 57,7% sebagai prediktor kontraktilitas miokard (gambar 17).
Nilai area under the curve (AUC) sebesar 0,67 (CI 95%
0,50-0,83; p = 0,089) dimana hasil ini memiliki arti apabila nilai
troponin i > 2,58 µg/L digunakan sebagai prediktor kontraktilitas
miokard pada 100 pasien STEMI, didapatkan 67 orang diantaranya
akan mengalami penurunan kontraktilitas miokard. Titik potong
optimal malondialdehyde didapatkan pada angka 2,58 µg/L dengan
sensitivitas 57,7 % serta spesifisitas 57,1 % (gambar 18)
46
Gambar 17. Kurva ROC sensitivitas troponin i sebagai prediktor
kontraktilitas miokard.
1,2
1
0,8
0,6
0,4
0,2
0
1
3
5
7
9 11 13 15 17 19 21 23 25 27 29 31 33 35 37 39
Sensitivitas
Spesifisitas
Gambar 18. Titik potong optimal nilai troponin i.
47
4.1.4. Uji regresi logistik
Untuk mengetahui besarnya pengaruh dari masingmasing variabel bebas terhadap variabel terikat, dilakukan pula uji
regresi logistik. Selain itu, pengujian ini dilakukan untuk mengetahui
variabel bebas mana yang memiliki pengaruh paling besar terhadap
variabel terikat yang diteliti. Dari hasil analisis ini didapatkan bahwa
malondialdehyde secara statistik memiliki pengaruh yang lebih
signifikan terhadap kontraktilitas miokard (OR 27,28; CI 95% 1,92386,78; p = 0,015) bila dibandingkan dengan troponin i (OR 0,93;
CI 95% 0,83-1,06; p = 0,272) dimana berarti setiap pasien yang
mengalami peningkatan malondialdehyde diatas 1,92 µmol/L
memiliki potensi 27,28 kali lipat untuk terjadi penurunan
kontraktilitas miokard (tabel 8).
Tabel 8. Hasil analisis regresi logistik hubungan antara
malondialdehyde dan troponin i dengan kontraktilitas miokard pada
pasien IMA dengan elevasi segmen ST.
Variabel
Odds
Confident Interval 95%
Ratios
Batas bawah
Batas atas
P
Malondialdehyde
27,28
1,92
386,78
0,015
Troponin I
0,93
0,83
1,06
0,272
4.1.5. Uji perbandingan
Uji beda dilakukan untuk mengetahui adakah perbedaan
bermakna yang ditimbulkan oleh variabel yang mempengaruhi
malondialdehyde antara kelompok MDA < 1,92 µmol/L dengan
kelompok MDA > 1,92 µmol/L.
48
Tabel 9. Uji beda beberapa variabel antara kelompok MDA < 1,92
µmol/L dan MDA > 1,92 µmol/L.
Variabel
MDA < 1,92 µmol/L
MDA > 1,92 µmol/L
n
%
N
%
p
Hipertensi
18
58,1
13
41,9
0,019
Diabetes
Melitus
9
64,3
5
35,7
1,000
Merokok
17
77,3
5
22,7
0,263
Dislipidemia
7
70
3
30
1,000
Killip
10
62,5
6
37,5
0,836
p = 0,050
Dari hasil pengujian didapatkan hasil bahwa hipertensi
secara signifikan menjadi variabel yang memberikan pengaruh
terhadap tingginya kadar malondialdehyde (p = 0,019), sedangkan
variabel lain seperti diabetes melitus (p = 1,000), merokok (p =
0,263), dislipidemia (p = 1,000) dan killip sebagai derajat keparahan
STEMI (p = 0,836) tidak memberikan pengaruh yang signifikan
terhadap malondialdehyde (tabel 9).
4.1.6. Uji multivariat
Setelah dilakukan uji beda didapatkan bahwa hipertensi
merupakan faktor yang berpengaruh secara signifikan pada nilai
MDA > 1,92 µmol/L. Selanjutnya dilakukan uji multivariat untuk
mengetahui apakah hipertensi juga berpengaruh terhadap fraksi
ejeksi.
49
Tabel 10. Uji multivariat MDA > 1,92 µmol/L dan hipertensi
terhadap fraksi ejeksi.
Variabel
Koefisien
Regresi (β)
Confident Interval 95%
Batas bawah
Batas atas
P
Malondialdehyde
0,18
0,04
0,75
0,019
Hipertensi
0,33
0,03
3,31
0,342
Dari hasil uji multivariat didapatkan bahwa hipertensi
tidak berpengaruh secara signifikan terhadap fraksi ejeksi (β = 0,33;
CI 95% 0,03 – 3,31; p = 0,342) dibandingkan dengan
malondialdehyde (β = 0,18; CI 95% 0,04 – 0,75; p = 0,019). Hal ini
menandakan bahwa hipertensi hanya sekedar faktor perancu
daripada malondialdehyde (tabel 10).
4.2.
Pembahasan
Saat ini stres oksidatif serta inflamasi dianggap sebagai suatu faktor
resiko baru terjadinya suatu penyakit jantung koroner disamping faktorfaktor tradisional yang selama ini telah kita ketahui seperti hipertensi,
dislipidemia, usia, jenis kelamin, rokok, dan riwayat keluarga dengan
penyakit jantung koroner (Surekha et al., 2007). Peran stres oksidatif pada
IMA sudah cukup sering dibicarakan, ROS terutama dapat menyebabkan
kerusakan pada DNA, protein dan lemak (Soydinc et al., 2007; Rodrigo et
al., 2013).
Stres oksidatif merupakan salah satu kontibutor penting dalam
perjalanan aterosklerosis dimana suatu proses stres oksidatif mengakibatkan
ketidakseimbangan antara oksidan dan antioksidan sehingga akan terjadi
suatu peroksidase lemak yang berlanjut kepada terjadinya kerusakan
jaringan miokard (Khan et al., 2013). Peroksidase lemak merupakan suatu
proses yang dimulai saat partikel LDL terjebak pada pembuluh darah arteri
yang menjadi pemicu terjadinya oksidasi, akan difagosit oleh makrofag dan
berlanjut kepada akumulasi dari ester kolesterol yang pada akhirnya nanti
menghasilkan sel busa lalu berlanjut kepada suatu kejadian ruptur plak
(Vidya et al., 2012). Oksidasi LDL yang masif saat kejadian IMA
50
mengakibatkan terjadinya peningkatan ROS yang signifikan serta diikuti
dengan penurunan dari NO. Kadar ROS yang tinggi memicu pembentukan
hidrogen peroksida dari superoksida (Khaki et al., 2012). Tingginya jumlah
hidrogen peroksida yang terbentuk serta menurunnya kemampuan anti
oksidan, memicu terjadinya peroksidase lemak dengan malondialdehyde
sebagai produk sekunder. Malondialdehyde suatu biomarker yang
merupakan produk sekunder dari peroksidase lemak memiliki nilai klinis
pada pasien IMA. Pada kejadian IMA, malondialdehyde memiliki
sensitivitas 95%, lebih tinggi dibandingkan dengan troponin i yang
memiliki nilai sensitivitas 90%, sedangkan untuk spesifisitas keduanya
memiliki nilai sebesar 95% (Holvoet et al., 1999; Ho et al., 2013).
Peningkatan malondialdehyde dapat berakibat kepada menurunnya
kontraktilitas dari miokard (Vidya et al., 2012).
Penurunan kontraktilitas miokard sendiri merupakan salah satu
komplikasi kejadian IMA yang dapat berakibat kepada terjadinya suatu
syok kardiogenik dimana nantinya akan meningkatkan resiko kemungkinan
morbiditas dan mortalitas pada pasien paska IMA sebesar 81% dalam 30
hari perawatan (De Mello et al., 2014).
Penelitian kali ini menunjukkan hasil bahwa malondialdehyde
berkorelasi kuat (negatif) dengan kontraktilitas miokard pada pasien IMA
dengan elevasi segmen ST (β = -14,23; CI 95% -19,27 - -9,20; p < 0,001),
bila dibandingkan dengan troponin i (β = 0,19; CI 95% -0,16 – 0,54; p =
0,273). Hasil ini memperkuat penelitian-penelitian sebelumnya dimana
untuk
suatu
kejadian
malondialdehyde
yang
IMA
akan
nantinya
didapatkan
berhubungan
peningkatan
dengan
dari
penurunan
kontraktilitas miokard (Kaur et al., 2008; Suranjana dan Maitree, 2014).
Pada troponin i, hasil ini dapat dikarenakan troponin i memiliki waktu
puncak sekitar 12 jam dan selanjutnya akan mengalami penurunan,
sedangkan pasien yang tiba di unit gawat darurat memiliki onset kejadian
IMA yang berbeda-beda (Mahajan dan Jarolim, 2011).
51
Dengan menggunakan metode kurva ROC didapatkan bahwa
malondialdehyde memiliki sensitivitas sebesar 75,6% dan spesifisitas
sebesar 74,6% sebagai prediktor kontraktilitas miokard pasien dengan
STEMI pada nilai MDA > 1,92 µmol/L, dimana hasil ini lebih baik
dibandingkan dengan troponin i yang hanya memiliki sensitivitas sebesar
57,7% dan spesifisitas sebesar 57,1% pada nilai troponin i > 2,58 µg/L. Nilai
area under the curve (AUC) dihasilkan oleh malondialdehyde sebesar 0,83
(CI 95% 0,69-0,97; p < 0,001), hasil ini juga memberikan bukti bahwa
malondialdehyde
lebih
baik
untuk
digunakan
sebagai
prediktor
kontraktilitas miokard pada pasien STEMI dibandingkan dengan troponin i
sebesar 0,67 (CI 95% 0,50-0,83; p = 0,089). Hal ini dapat diartikan apabila
terdapat 100 pasien STEMI dengan MDA > 1,92 µmol/L, maka 83 orang
diantaranya diprediksi akan mengalami penurunan kontraktilitas miokard.
Berdasarkan kemampuan kontraktilitas, gagal jantung terbagi atas
gagal jantung dengan fraksi ejeksi terjaga (EF > 50%), gagal jantung dengan
fraksi ejeksi menengah (EF 40% - 49%), gagal jantung dengan fraksi ejeksi
menurun (EF < 40%) (Ponikowski et al, 2016). Pasien dengan gagal jantung
paska IMA tanpa disertai dengan penurunan kontraktilitas miokard dimana
fraksi ejeksinya masih baik (> 50%) memiliki resiko mortalitas dalam 3
tahun sebesar 33%, angka ini meningkat signifikan pada pasien gagal
jantung paska IMA dengan penurunan kontraktilitas miokard yang ditandai
dengan
penurunan
fraksi
ejeksi
berdasarkan
hasil
pemeriksaan
ekokardiografi (Hasdai et al, 2000; Dagres dan Hindricks, 2013).
Malondialdehyde sebagai produk dari peroksidase lemak dan
merupakan suatu biomarker yang poten untuk stres oksidatif memiliki peran
yang sangat penting dalam meningkatkan derajat keparahan suatu penyakit
(Suranjana dan Maitree, 2014). Pada penelitian kali ini klasifikasi gagal
jantung dibagi kedalam dua variabel dimana gagal jantung dengan EF <
40% dikategorikan kedalam kontraktilitas miokard menurun, sedangkan EF
40%-49% serta > 50% dikategorikan kedalam kontraktilitas miokard baik.
Hasil penelitian menunjukkan MDA > 1,92 µmol/L memiliki potensi yang
52
besar untuk menyebabkan terjadinya penurunan kontraktilitas miokard
sebesar 27,28 kali lipat (OR 27,28; CI 95% 1,92-386,78; p = 0,015).
(Sorathia et al., 2014).
Beberapa faktor resiko penyebab suatu IMA dapat mempengaruhi
tinggi rendahnya malondialdehyde. Berdasarkan pada studi sebelumnya
didapatkan signifikansi yang diakibatkan oleh hipertensi pada peningkatan
malondialdehyde. Uji beda yang dilakukan pada penelitian kali ini dengan
membandingkan antara kelompok MDA < 1,92 µmol/L dengan MDA >
1,92 µmol/L memberikan hasil bahwa faktor resiko diabetes melitus (p =
1,000), merokok (p = 0,263), dislipidemia (p = 1,000) serta killip sebagai
derajat keparahan STEMI (p = 0,836) tidak memberikan pengaruh yang
signifikan terhadap malondialdehyde. Hanya hipertensi saja yang memiliki
pengaruh signifikan secara statistik terhadap peningkatan malondialdehyde
(p = 0,019), namun hipertensi tidak mempengaruhi fraksi ejeksi secara
signifikan (β = 0,33; CI 95% 0,03 – 3,31; p = 0,342), yang berarti
menandakan bahwa hipertensi disini hanya sekedar faktor perancu bagi
malondialdehyde (Vidya et al., 2012; Rodrigo et al., 2013).
4.3.
Keterbatasan penelitian
Penelitian ini memiliki keterbatasan dimana evaluasi kontraktilitas
miokard dengan ekokardiografi dinilai pada hari ke 5, dimana sebaiknya
untuk pasien IMA penilaian kontraktilitas dilakukan pada 4 minggu paska
IMA sehingga hasil fraksi ejeksi yang didapatkan pada penelitian ini masih
memungkinkan untuk berubah. Hal ini dilakukan karena waktu rawat inap
pasien IMA di RSUD. DR. Moewardi berkisar antara 5-6 hari sehingga
untuk mencegah kemungkinan hilangnya data akibat ketidakpatuhan pasien
untuk kontrol, maka penilaian kontraktilitas miokard dilakukan sebelum
pasien dipulangkan.
Penelitian kali ini juga tidak dapat melakukan kontrol terhadap terapi
reperfusi yang didapatkan pada pasien dikarenakan onset kejadian IMA
yang berbeda antar pasien disamping kemampuan ekonomi pasien yang
berbeda-beda dalam pembiayaan terapi reperfusi. Sehingga peneliti tidak
53
dapat
mengetahui
apakah
reperfusi
juga
mempengaruhi
kadar
malondialdehyde.
Penelitian ini hanya dilakukan pada satu pusat kesehatan saja,
sehingga menurut peneliti kedepannya penelitian ini dapat dilakukan pada
beberapa pusat kesehatan dengan jumlah subyek yang lebih banyak agar
menambah kekuatan penelitian.
54
BAB 5
PENUTUP
5.1.
Kesimpulan
1.
Malondialdehyde memiliki validitas lebih baik (β = -14,23; CI 95%
-19,27 - -9,20; p < 0,001), bila dibandingkan dengan troponin i (β =
0,19; CI 95% -0,16 – 0,54; p = 0,273) untuk memprediksi
kontraktilitas miokard pada pasien IMA dengan elevasi segmen ST.
2.
Malondialdehyde
memiliki
sensitivitas
sebesar
75,6%
dan
spesifisitas sebesar 74,6% lebih baik dibandingkan dengan troponin
i yang memiliki sensitivitas sebesar 57,7% dan spesifisitas sebesar
57,1% sebagai prediktor kontraktilitas miokard pasien dengan
STEMI.
3.
Pada MDA > 1,92 µmol/L akan meningkatkan resiko penurunan
kontraktilitas daripada miokard sebesar 27,28 kali lipat (OR 27,28;
CI 95% 1,92-386,78; p = 0,015) yang berakibat kepada prognostik
yang lebih buruk pada pasien IMA.
5.2.
Implikasi
Malondialdehyde memilki validitas nilai prediksi serta sensitivitas
dan spesifisitas yang lebih baik dibandingkan troponin i dalam memprediksi
kontraktilitas miokard pada pasien infark miokard akut dengan elevasi
segmen ST, sehingga kedepannya dapat dipertimbangkan penggunaan
malondialdehyde sebagai marker sasaran dari tatalaksana pasien dengan
infark miokard akut.
5.1.
Saran
1.
Perlu dilakukan penelitian yang lebih besar lagi dengan melibatkan
beberapa pusat kesehatan serta jumlah subyek yang lebih banyak
untuk semakin memperkuat hasil penelitian.
2.
Evaluasi kontraktilitas miokard sebaiknya dilakukan pada 4 minggu
paska IMA, dengan resiko ketidakpatuhan pasien untuk kontrol yang
54
55
berakibat kepada hilangnya data, sehingga dibutuhkan subyek awal
yang lebih banyak untuk mengantisipasi hal ini.
3.
Sebaiknya dilakukan kontrol terhadap terapi reperfusi sehingga
dapat
dinilai
malondialdehyde.
apakah
terapi
reperfusi
mempengaruhi
56
DAFTAR PUSTAKA
Agadjanyan, Z. S., Dimitriev, L. F. & Dugin, S. F. 2005. “A New Role of
Phosphoglucose Isomerase. Involvement of The Glycolytic Enzyme in
Aldehyde Metabolism”. Biochemistry, 70, 1251-5.
Ali-Panah Mogadam, R., Nemati, A. & Naghizadeh, A. B. 2008. “Serum MDA as
A Diagnostic’s Biomarker in Stable Coronary Heart Disease”. Research
Journal of Biological Science, 3, 206-10.
Arguelles, S., Garcia, S., Maldonaldo, M., Machado, A. & Ayala, A. 2004. “Do The
Serum Oxidative Stress Biomarkers Provide A Reasonable Index of The
General Oxidative Stress Status?”. Biochimica et Biophysica Acta: General
Subjects, 1674, 251-9.
Arguelles, S., Gomez, A., Machado, A. & Ayala, A. 2007. “A Preliminary Analysis
of Within-Subject Variation in Human Serum Oxidative Stress Parameters
as A Function of Time”. Rejuvenation Res, 10, 621-36.
Ayala, A., Munoz, M. F. & Arguelles, S. 2014. “Lipid Peroxidation: Production,
Metabolism and Signaling Mechanisms of Malondialdehyde and 4Hydroxy-2-Nonenal”. Oxid Med Cell Longev, 3, 1-31.
Blair, I. A. 2008. “ DNA Adducts with Lipid Peroxidation Products”. Journal of
Biological Chemistry, 283, 15545-9.
Blankenberg, S., Rupprecht, H. J., Poirier, O., Bickel, C., Smieja, M., Hafner, G.,
Meyer, J., Cambien, F. & Tiret, L. 2003. “Plasma Concentrations and
Genetic Variation of Matrix Metalloproteinase 9 and Prognosis of Patients
with Cardiovascular Disease”. Circulation, 107, 1579-85.
Bonomini, F., Favero, G. & Rezzani, R. 2015. “NF-κB — A Key Factor in
Atherogenesis and Atheroprogression”. In: Bozic-Mijovski, M. (ed.)
Thrombosis, Atherosclerosis and Atherothrombosis - New Insights and
Experimental Protocols. InTech.
Brooks, J. D., Milne, G. L., Yin, H., Sanchez, S. C., Porter, N. A. & Morrow, J. D.
2008. “Formation of Highly Reactive Cyclopentenone Isoprostane
Compounds (A 3/J3-Isoprostanes) in Vivo from Eicosapentaenoic Acid”.
Journal of Biological Chemistry, 283, 12043-55.
Browne, R. W. & Armstrong, D. 2000. “HPLC Analysis of Lipid Derived
Polyunsaturated Fatty Acid Peroxidation Products in Oxidatively Modified
Human Plasma”. Clinical Chemistry. 46, 829-36.
57
Chan, D & Ng. L. L. 2010. “Biomarkers in Acute Myocardial Infarction”. BMC
Med, 8, 34-45.
Choi, S. H., Harkewicz, R., Lee, J. H., Boullier, A., Almazan, F., Li, A. C., Witzum,
J. L., Bae, Y. S. & Miller, Y. I. 2009. “Lipoprotein Accumulation in
Macrophages via Toll-Like Receptor-4-Dependent Fluid Phase Uptake”.
Circ. Res, 104, 1355-63.
Dahlan, S. 2013. “Besar Sampel untuk Desain Khusus”. Besar Sampel dan Cara
Pengambilan Sampel dalam Penelitian Kedokteran dan Kesehatan. ed III,
105. Jakarta: Salemba Medika.
Dagres, N & Hindricks, G. 2013. “Risk Stratification After Myocardial Infarction:
Is Left Ventricular Ejection Fraction Enough to Prevent Sudden Cardiac
Death?”. Eur Heart J, 34, 1964-71.
Dalle, D. I., Rossi, R., Giustarini, D., Milzani, A. & Colombo, R. 2003. “Protein
Carbonyl Groups as Biomarkers of Oxidative Stress”. Clin Chim Acta., 329,
23-38.
De Mello, B. H. G., Oliveira, G. B. F., Ramos, R. F., Lopes, B. B. C., Barros, C. B.
S., Carvalho, E. O., Teixeira, F. B. P., Aruda, G. D. S., Revelo, M. S. C. &
Piegas, L. S. 2014. “Validation of The Killip-Kimball Classification and
Late Mortality After Acute Myocardial Infarction”. Arq Bras Cardiol,
103(2), 107-17.
Drapper, H. H. & Hadley, M. 1990. “A Review of Recent Studies on The
Metabolism of Exogenous and Endogenous Malondialdehyde”.
Xenobiotika, 20, 901-7.
Ekambaran, P., Lambiv, W., Cazzolli, R., Ashton, W. A. & Honn, V. K. 2011.”The
Thromboxane Synthase and Receptor Signaling Pathway in Cancer: An
Emerging Paradigm in Cancer Progression and Metastasis”. Cancer and
Metastasis Reviews, 30, 397-408.
Finkel, T., Holbrook, N. J. 2000. “Oxidants, Oxidative Stress and The Biology of
Ageing”. Nature, 408, 239-47.
Fruhwirth, G. O., Loidl, A. & Hermetter A. 2007. “Oxidized Phospolipids: From
Molecular Properties to Disease”. Biochimica et Biphysica Acta: Molecular
Basis of Disease, 1772, 718-36.
Gangte, D., Hijam, D., Roy, A., Dolma, S. T., Lalnunpuii. & Devi, T. I. 2014.
“Lipid Peroxidation and Glutathione Peroxidase in Acute Myocardial
Infarction”. British Journal of Medicine & Medical Research, 4(1), 331-9.
58
Giera, M., Lingeman, H. & Niessen, W. M. A. 2012. “Recent Advancements in The
LC- and GC-based Analysis of Malondialdehyde (MDA): A Brief
Overview”. Chromatographia, 75, 433-40.
Griesser, M., Boeglin, W. E., Suzuki, T. & Schneider C. 2009. “Convergence of
The 5-LOX and COX-2 Pathways: Hemecatalyzed Cleavage of The 5SHETE-Derived Di_endoperoxide Into Aldehyde Fragments”. Journal of
Lipid Research, 50, 2455-62.
Hair, J. F., Tatham, R. L., Anderson. R. E. & Black, W. 1998. Multivariate Data
Analysis 5 ed. New Jersey. Prentice Hall.
Hasdai, D., Topol, E. J., Califf, R. M., Berger, P. B. & Holmes. 2000. “Cardiogenic
Shock Complicating Acute Coronary Syndromes”. Lancet, 356, 749-56.
Ho, E., Galougahi, K. K., Chi Liu, C., Bhindi, R & Figtree, G. A. 2013. “Biological
Markers of Oxidative Stress: Applications to Cardiovascular Research and
Practice”. Redox Biology, 1, 483-91.
Holvoet, P., Collen, D. & Van de Werf, F. 1999. “Malondialdehyde-Modified LDL
as A Marker of Acute Coronary Syndromes”. JAMA, 281, 1718-21.
Kaur, K., Bedi, G., Kaur, M., Vij, A. & Kaur, I. 2008. “Lipid Peroxidation and The
Levels of Antioxidant Enzymes in Coronary Artery Disease”. Indian
Journal of Clinical Biochemistry, 23, 33-7.
Kementerian Kesehatan, R. I. 2013. Riset Kesehatan Dasar. Jakarta: Kementerian
Kesehatan RI.
Khaki, K. F., Yaghoubi, A. R. & Rahbani, N. M. 2012. “Study of Antioxidant
Enzymes, Lipid Peroxidation, Lipid Profile and Immunologic Factor in
Coronary Artery Disease in East Azarbijan”. Int J Med Biomed Res, 1(2),
147-52.
Khan, H. A., Alhomida, A. S., Sobki, S. H., Habib, S. S., Al Aseri, Z., Khan, A. A.
& Al Moghairi, A. 2013. “Serum Markers of Tissue Damage and Oxidative
Stress in Patients with Acute Myocardial Infarction”. Biomed Res, 24(1),
15-20.
Kinnunen, P. K. J., Kaarniranta, K. & Mahalka, A. K. 2012. “Protein-Oxidized
Phospolipid Interactions in Cellular Signaling for Cell Death: From
Biophysics to Clinical Correlations”. Biochimica et Biophysica Acta, 1818,
2446-52.
59
Kohen, R.. & Nyska, A. 2002. “ Oxidation of Biological Systems: Oxidative Stress
Phenomena, Antioxidants, Redox Reactions and Methods for Their
Quantification”. Toxicologic Pathology, 30, 620-50.
Kunwar, A. & Priyadarsini, K. I. 2011. “Free Radicals, Oxidative Stress, and
Importance of Antioxidants in Human Health”. J Med Allied Sci, 1, 53-60.
Lane, N. 2002. Oxygen: The Molecule That Made The World. Oxford: Oxford
University Press.
Layland, J., Solaro, R. J. & Shah, A. M. 2005. “Regulation of Cardiac Contractile
Function by Troponin I Phosphorylation”. Cardiovascular Research. 66,
12-21.
Li, W., Febbraio, M., Reddy, S. P., Yu, D. Y., Yamamoto, M. & Silverstein, R.
2010. “CD36 Participates in A Signaling Pathway that Regulates ROS
Formation in Murine VSCMCs”. J. Clin. Invest. 120, 3996-4006.
Libby, P. 2015. “The Vascular Biology of Atherosclerosis”. In: Mann, D. L., Zipes,
D. P., Libby, P., Bonow, R. O. & Braunwald, E. (eds.) Braunwald's Heart
Disease A Textbook of Cardiovascular Medicine. 10 ed. Philadelphia:
Elsevier.
Libby, P. & Theroux, P. 2005. “Pathophysiology of Coronary Artery Disease”.
Circulation, 111, 3481-8.
Lim, W. S., Timmins, J. M., Seimon, T. A., Sadler, A., Kolodgie, F. D., Virmani,
R. & Tabas, I. 2008. “Signal Transducer and Activator of Trancription-1 is
Critical for Apoptosis in Macrophages Subjected to Endoplasmic Reticulum
Stres in Vitro and in Advanced Atherosclerotic Lessions in Vivo”.
Circulation, 117, 940-51.
Lipinski, B. & Pretorius, E. 2012. “Hydroxyl Radical-Modified Fibrinogen as A
Marker of Thrombosis: The Role of Iron”. Hematology, 17, 241-47.
Loftus, I. M., Naylor, A. R., Bell, P. R. & Thompson, M. M. 2001. “Plasma MMP9-A Marker of Carotid Plaque Instability”. Eur. J. Vasc. Endovasc. Surg,
21, 17-21.
Luczaj, W. & Skrzydlewska, E. 2003. “DNA Damage Caused by Lipid
Peroxidation Products”. Cellular and Molecular Biology Letters, 8, 391413.
Lundberg, A. M. & Hansson, G. K. 2010. “Innate Immune Signals in
Atherosclerosis”. Clin. Immunol, 134, 5-24.
60
Mahajan, V. S. & Jarolim, P. 2011. “How To Interpret Elevated Cardiac Troponin
Levels”. Circulation, 124, 2350-4
Milne, G. L., Yin, H. & Morrow, J. D. 2008. “Human Biochemistry of The
Isoprostane Pathway”. Journal of Biological Chemistry, 283, 15533-7.
Niki, E., Yoshida, Y., Saito, Y. & Noguchi, N. 205. “Lipid Peroxidation:
Mechanisms, Inhibition and Biological Effects”. Biochemical and
Biophysical Research Communication, 338, 668-76.
Onyango, A. N. & Baba, N. 2010. “New Hypothesis on The Pathways of Formation
of Malondialdehyde and Isofurans”. Free Radical Biology and Medicine,
49, 1594-1600.
Ponikowski, P., Voors, A. A., Anker, S. D., Bueno, H., Cleland, J. G. F., Coats, A.
J. S., Falk, V., Juanatey, J. R. G., Harjola, V. P., Jankowska, E. A., Jessup,
M., Linde, C., Nihoyannopoulos, P., Parissis, J. T., Pieske, B., Riley, J. P.,
Rosano, G. M. C., Ruilope, L. M., Ruschitzka, F., Rutten, F. H. & Van Der
Meer, P. 2016. “ESC Guidelines for The Diagnosis and Treatment of Acute
and Chronic Heart Failure”. Eur Heart J, 1-85.
Rahman, T., Hosen, I., Islam, T. & Shekhar, H. U. 2012. “Oxidative Stress and
Human Health”. Advances in Bioscience and Biotechnology, 3, 997-1019.
Raghuvanshi, R., Kaul, A., Bhakuni, P., Mishra, A. & Misra, M. K. 2007. “Xanthine
Oxidase as A Marker of Myocardial Infarction”. Indian Journal of Clinical
Biochemistry, 22, 90-2.
Reis, A. & Spickett, C. M. 2012. “Chemistry on Phospolipid Oxidation”.
Biochimica et Biophysica Acta, 1818, 2374-87.
Ricciotti, E. & Fitzgerald, G. A. 2011. “Prostaglandins and Inflamation”.
Arteriosclerosis, Thrombosis and Vascular Biology, 31, 986-1000.
Roberts, L. J., Fessel, J. P. & Davies, S. S. 2005. “The Biochemistry of The
Isoprostane, Neuroprostane and Isofuran Pathways of Lipid Peroxidation.”
Brain Pathology, 15, 143-8.
Rodrigo, R., Libuy, M., Feliu, F & Hason, D. 2013. “Oxidative Stress-Related
Biomarkers in Essential Hypertension and Ischemia-Reperfusion
Myocardial Damage”. Dis Markers, 35(6), 773-90.
Schneider, C., Boeglin, W. E., Yin, H., Porter, N. A. & Brash, A. R. 2008.
“Intermolecular Peroxyl Radical Reactions During Autoxidation of
Hydroxy and Hydroperoxy Arachidonic Acids Generate A Novel Series of
Epoxidized Products”. Chemical Research in Toxicology, 21, 895-903.
61
Seimon, T. & Tabas, I. 2009. “Mechanisms and Consequences of Macrophage
Apoptosis in Atherosclerosis”. J. Lipid. Res, 50, 382-7.
Sharma, R. K. & Agarwal, A. 2004. “Role of Reactive Oxygen Species in
Gynecologic Diseases”. Reproductive Medicine and Biology, 4, 177-99.
Sharma, S. B., Garg, S., Veerwal, A. & Dwivedi, S. 2008. “hs-CRP and Oxidative
Stress in Young CAD Patients: A Pilot Study”. Indian Journal of Clinical
Biochemistry, 23, 334-6.
Shah, P. K. 2002. “Pathophysiology of Coronary Thrombosis: Role of Plaque
Rupture and Plaque Erosion”. Prog. Cardiovasc. Dis, 44, 357-68.
Silverstein, R. L. 2009. “Type 2 Scavenger Receptor CD36 in Platelet Activation:
The Role of Hyperlipemia and Oxidative Stress”. Clin. Lipidol, 4, 767.
Silverstein, R. L., Li, W., Park, Y. & Rahaman, S. O. 2010. “Mechanisms of Cell
Signaling by The Scavenger Receptor CD36: Implications in
Atherosclerosis and Thrombosis”. Trans. Am. Clin. Climatol. Assoc, 121,
2016-20.
Sorathia, P., Pradhan, R., Lekharu, R. & Saxena, K. 2014. “Malondialdehyde Level
in Patients with Myocardial Infarction (A Case Control Study of 30
Patients)”. International Journal of Current Research, 6(8), 8023-5.
Soydinc, S., Celik, A. & Demiryurek, S. 2007. “The Relationship Between
Oxidative Stress, Nitric Oxide, and Coronary Artery Disease”. Eur J Gen
Med, 4, 62-6.
Sreekanth, K. S., Geevar, Z. & Pandapulakki, T. A. 2002. “Serum Free Iron as A
Risk Factor for Acute Myocardial Infarction”. Kuwait Medical Journal, 34,
217-20.
Stewart, C. R., Stuart, L. M., Wilkinson, K., Van Gils, J. M., Deng, J., Halle, A.,
Rayner, K. J., Boyer, L., Zhong, R., Frazier, W. A., Lacy-Hulbert, A., El
Khoury, J., Golenbock, D. T. & Moore, K. J. 2010. “CD36 Ligands,
Promote Sterile Inflammation Through Assembly of A Toll-Like Receptor
4 and 6 Heterodimer”. Nat. Immunol, 11, 155-61.
Sugiyono, 2013.Metode Penelitian Kuantitatif Kualitatif dan R&D ed. 19.
Bandung. CV Alfabeta.
Suranjana, R. H. & Bhattacharyya, M. 2014. “Oxidative Stress: Lipid Peroxidation
Product as Predictors in Disease Progression”. J Exp Integr Med, 4, 151-64.
62
Surekha, R. H., Srikanth, B. B., Jharna P., Ramachandra, R. V., Dayasagar, R. V.
& Jyothy, A. 2007. “Oxidative Stess and Total Antioxidant Status in
Myocardial Infarction”. Singapore Med J, 48, 137.
Thygesen, K., Alpert, J. S., Jaffe, A. S., Simoons, M. L., Chaitman, B. R., White,
H. D., Katus, H. A., Lindahl, B., Morrow, D. A., Clemmensen, P. M.,
Johanson, P., Hod, H., Underwood, R., Bax, J. J., Bonow, R. O., Pinto, F.,
Gibbons, R. J., Fox, K. A., Atar, D., Newby, L. K., Galvani, M., Hamm, C.
W., Uretsky, B. F., Steg, P. G., Wijns, W., Bassand, J. P., Menasche, P.,
Ravkilde, J., Ohman, E. M., Antman, E. M., Wallentin, L. C., Armstrong,
P. W., Januzzi, J. L., Nieminen, M. S., Gheorghiade, M., Filippatos, G.,
Luepker, R. V., Fortmann, S. P., Rosamond, W. D., Levy, D., Wood, D.,
Smith, S. C., Hu, D., Lopez-Sendon, J. L., Robertson, R. M., Weaver, D.,
Tendera, M., Bove, A. A., Parkhomenko, A. N., Vasilieva, E. J. & Mendis,
S. 2012. “Third Universal Definition of Myocardial Infarction”.
Circulation, 126, 2020-35.
Tsikas, D., Suchy, M. T., Niemann, J., Tossios, P., Schneider, Y., Rothmann, S.,
Gutzki, F. M., Frolich, J. C. & Stichtenoth, D. O. 2012. “Glutathione
Promotes Prostaglandin H Synthase (Cyclooxygenase)-Dependent
Formation of Malondialdehyde and 15(S0-8-Iso-Prostaglandin F2α”. FEBS
Lett, 586, 3723-30.
Turens, J. F. 2003. “Mitochondrial Formation of Reactive Oxygen Species”. J
Physiol, 552, 335-44.
Valenzuela, A. 1990. “The Biological Significance of Malondialdehyde
Determination in The Assessment of Tissue Oxidative Stress”. Life Science,
48, 301-9.
Valiuniene, J., Jablonskiene, V. & Kucinskiene, Z. A. 2007. “Homocysteine and
Lipid Peroxidation Markers in Patients with Coronary Heart Disease”.
Biologia, 1, 23-9.
Vaziri, N. D., Dicus, M., Ho, N. D., Boroujerdirad, L. & Sindhu, R. K. 2003. “
Oxidative Stress and Dysregulation of Superoxide Dismutase and NADPH
Oxidase in Renal Insufficiency”. Kidney International, 63, 179-85.
Vidya, D., Prabodh, S., Chowdary, N. V. S. & Shekhar, R. 2012. “Oxidative Stress
in Myocardial Infarction.” International Journal of Pharma and Bio
Sciences, 3, 17-25.
Volinsky, R. & Kinnunen, P. K. J. 2013. “Oxidized Phosphatidylcolines in
Membrane-Level Cellular Signaling: From Biophysics to Physiology and
Mollecular Pathology”. FEBS Journal, 280, 2806-16.
63
Waters, D. D. 2010. “Risk Factors for Cardiovascular Disease”. In: Crawford, M.
H., Dimarco, J. P. & Paulus, W. J. (eds.) Cardiology. 3 ed. Philadelphia:
Elsevier.
Yang, H. & Chen, C. 2008. “Cyclooxygenase-2 in Synaptic Signaling.” Current
Pharmaceutical Design, 14, 1443-51.
Yin, H., Gao, L., Tai, H., Murphey, J., Porter, N. A. & Morrow, J. D. 2007. “Urinary
Prostaglandin F2α is Generated from The Isoprostane Pathway and Not The
Cyclooxygenase in Humans.” Journal of Biological Chemistry, 282, 32936.
Yin, H., Xu, L. & Porter, N. A. 2011. “Free Radical Peroxidation: Mechanisms and
Analysis”. Chemical Reviews, 3, 5944-72.
Young, J. L. & Libby, P. 2011. “Atherosclerosis”. In: Lilly, L. S. (ed.)
Patophysiology of Heart Disease. 5 ed. Philadelphia: Lippincott Williams
and Wilkins.
Zarkovic, N., Cipak, A., Jaganjac, M., Borovic, S. & Zarkovic, K. 2013.
“Pathophysiological Relevance of Aldehydic Protein Modifications”.
Journal of Proteomics, 92, 239-47.
Download