tinjauan pustaka

advertisement
Dibandingkan dengan tipe sel lain seperti sel fibroblas dan epitel, kultur
primer sel saraf otak lebih susah ditumbuhkan. Sel saraf berkembang dari
progenitor saraf dan tidak mampu membelah ketika sudah mature, berbeda
dengan sel fibroblas dan epitel yang kemampuan pertumbuhannya masih bagus
meskipun sudah mature. Selain itu sel harus beradaptasi dengan lingkungan
(Mather dan Roberts 1998) dan berinteraksi dengan populasi sel yang tidak
homogen pada awal kultur primer. Oleh karena itu dibutuhkan medium yang
mampu mempertahankan daya hidup pada kultur primer sel saraf otak.
Insulin
transferrin selenium (ITS) diketahui mampu meningkatkan daya hidup dan proliferasi sel (Freshney 1994). Kebanyakan
medium kultur tidak mengandung ITS sehingga ingin diketahui pertumbuhan sel saraf dalam medium yang mengandung
ITS. Penambahan ITS diharapkan dapat meningkatkan proliferasi sel.
Tujuan
Penelitian ini bertujuan mengetahui kemampuan pertumbuhan secara in vitro sel-sel saraf yang diisolasi dari
otak besar anak tikus umur tiga hari dan secara khusus untuk mengidentifikasi tipe-tipe sel yang tumbuh, tingkat
proliferasi, population doubling time (PDT) dan panjang akson dan dendrit serta
gambaran kualitatif protein yang
disekresikan.
Manfaat
Manfaat yang diperoleh dari penelitian ini adalah mendapatkan informasi
tentang kemampuan pertumbuhan
secara in vitro
dan tingkat proliferasi sel saraf otak besar
anak tikus dalam medium dengan dan tanpa penambahan ITS. Selain itu juga dapat dimanfaatkan untuk menghasilkan
conditioned medium dan galur sel.
TINJAUAN PUSTAKA
Sel Saraf Otak
Otak merupakan bagian dari sistem saraf yang termasuk dalam susunan
saraf pusat. Otak terdiri atas sel-sel saraf yang jumlahnya diperkirakan mencapai
100 milyar sel (Freudenrich 2001; Kuntarti 2007). Otak berfungsi dalam
mengkoordinasi, mengontrol, dan mengatur seluruh aktivitas tubuh (Freudenrich
2001). Bagian-bagian otak vertebrata secara umum antara lain cerebrum,
diensefalon, cerebellum, midbrain, pons, dan medulla oblongata (Kuntarti 2007).
Bagian-bagian otak pada tikus dapat dibagi menjadi beberapa bagian utama yaitu
otak depan (forebrain), batang otak (brain stem), otak tengah (midbrain),
cerebellum, dan medulla oblongata. Otak depan terdiri atas korteks serebri,
hippocampus, dan bulbus olfactorius. Batang otak meliputi ganglia basalis,
septum, epithalamus, thalamus, dan hypothalamus. Sedangkan otak tengah
meliputi tectum, tegmentum, dan pedunculi cerebri (Hedrich & Bullock 2004).
Secara umum sistem saraf disusun oleh jaringan saraf yang terdiri atas selsel saraf atau neuron dan sel pendukung atau sel glia (Beresford 2001; Junqueira
& Carneiro 2005). Neuron memiliki bagian-bagian yang sama seperti sel yang
lain akan tetapi memiliki kemampuan yang istimewa yaitu kemampuan
mentransmisikan sinyal dan menyampaikan pesan menuju sel target (Freudenrich
2001) sehingga dapat menjalankan fungsi sistem saraf seperti mengingat, berfikir,
dan mengontrol semua aktivitas tubuh. Secara khusus neuron juga berfungsi
dalam merangsang aktivitas sel tertentu dan melepaskan neurotransmitter dan
molekul lain (Junqueira & Carneiro 2005). Sel glia atau neuroglia berfungsi untuk
melindungi, mendukung, merawat, dan mempertahankan homeostasis cairan di
sekeliling neuron (Kuntarti 2007).
Morfologi dan Fungsi Berbagai Jenis Sel Otak
Neuron terdiri dari tiga bagian utama yaitu dendrit, badan sel, dan akson
(Gambar 1). Dendrit merupakan penjuluran-penjuluran kecil yang memanjang
berfungsi dalam menerima stimulus dari lingkungan, sel sensoris atau sel saraf
lainnya (Junqueira & Carneiro 2005). Badan sel berukuran besar mengandung
bagian-bagian utama sel seperti nukleus, reticulum endoplasma, ribosom, dan
mitokondria. Kerusakan pada badan sel menyebabkan kematian pada sel saraf
(Freudenrich 2001). Badan sel berfungsi menerima stimulus dari dendrit untuk
diteruskan menuju akson. Akson berupa penjuluran tunggal yang keluar dari
badan sel. Fungsi akson yaitu menghubungkan stimulus menuju sel lainnya
seperti sel saraf, otot, dan kelenjar. Bagian distal akson biasanya bercabang dan
berhubungan dengan sel lain baik sel saraf maupun sel lainnya membentuk
struktur yang disebut sinaps (Junqueira & Carneiro 2005).
Gambar 1 Morfologi neuron di dalam kultur, N: nukleus, P: perikaryon, D:
dendrit, A: akson, H: axon hillock, tanda panah: sel glia (Kerr 2000).
Neuron memiliki bentuk yang bervariasi. Berdasarkan bentuknya neuron
dapat dikelompokkan menjadi neuron multipolar, bipolar, dan unipolar atau
pseudounipolar (Gambar 2) yang didasarkan atas jumlah penjuluran akson dan
dendrit (Junqueira & Carneiro 2005). Neuron multipolar memiliki satu penjuluran
akson dengan banyak penjuluran dendrit. Neuron bipolar memiliki masing-masing
satu penjuluran dendrit dan akson sedangkan neuron unipolar hanya memiliki satu
penjuluran yang dekat dengan badan sel dan membagi menjadi dua cabang.
Kebanyakan neuron dalam tubuh berbentuk multipolar (Cormack 2001; Junqueira
& Carneiro 2005). Neuron bipolar dapat ditemukan pada ganglion cochlearis dan
ganglion vestibularis serta pada retina dan mukosa olfaktorius. Neuron unipolar
banyak ditemukan pada ganglion kranialis dan juga dapat ditemukan pada
ganglion spinalis (Junqueira & Carneiro 2005).
Sel glia terdiri dari astrosit, oligodendrosit, sel Schwann, sel-sel
ependymal, dan mikroglia (Gambar 2). Sel glia lebih banyak jumlahnya
dibandingkan dengan neuron. Sel glia terletak di sekitar sel saraf mengelilingi
badan sel, dendrit, dan akson. Astrosit, oligodendrosit, sel-sel ependymal, dan
mikroglia dapat ditemukan pada sistem saraf pusat sedangkan sel Schwann
ditemukan pada saraf perifer (Junqueira & Carneiro 2005). Masing-masing sel
glia memiliki fungsi yang spesifik. Astrosit berfungsi dalam mengontrol sinyal
antarneuron, mengatur ion dan metabolisme sel saraf, serta sebagai blood brain
barrier (Cormack 2001). Oligodendrosit dan sel Schwann memiliki fungsi yang
sama yaitu bertanggung jawab dalam sintesis selubung myelin, sedangkan
mikroglia berfungsi sebagai makrofag. Sel-sel ependymal merupakan komponen
sel glia yang menyusun plexus choroideus. Sel-sel ependymal berfungsi dalam
sekresi dan pergerakan cairan serebrospinal (Junqueira & Carneiro 2005).
Gambar 2 Berbagai tipe neuron dan sel glia (Cormack 2001).
Kultur Sel Saraf
Kultur sel adalah kultur sel-sel yang berasal dari organ atau jaringan yang
telah diuraikan secara mekanis dan atau secara enzimatis menjadi suspensi sel.
Suspensi sel tersebut kemudian dibiakkan menjadi satu lapisan jaringan
(monolayer) di atas permukaan yang keras seperti botol, tabung, dan cawan atau
menjadi suspensi sel dalam media penumbuh (Malole 1990). Kultur primer berarti
menumbuhkan sel dari jaringan hewan secara langsung dalam medium penumbuh
(Butler 2004). Kebanyakan kultur primer sel saraf didapatkan dari jaringan saraf
tikus pada masa embrionik atau neonatal (Banker & Goslin 1998; Butler 2004).
Sel-sel pada masa embrionik tersebut lebih mudah didispersi dan memiliki potensi
pertumbuhan yang lebih unggul (Butler 2004). Di antara mamalia, tikus dan
mencit merupakan spesies yang umum digunakan sebagai sumber jaringan pada
kultur saraf (Banker & Goslin 1998; Fedoroff & Richardson 2001). Penggunaan
tikus dan mencit dapat memberikan keuntungan terutama pada konsistensi genetik
dan biaya yang tidak terlalu mahal (Banker & Goslin 1998).
Sel saraf dapat juga ditumbuhkan dari neural cell line (Murayama et al.
2001). Beberapa neural cell line telah dikembangkan seperti neuronal cell line,
glial cell line, embryonal carcinoma cell line, dan melanoma cell line.
Keuntungan menggunakan cell line antaralain memiliki kemampuan hidup lebih
lama, pertumbuhannya tidak terbatas, dan terdiri dari satu jenis sel tunggal. Selain
itu penggunaan cell line sebagai sumber kultur dapat mengurangi penggunaan
hewan coba (Murayama et al. 2001). Ketersediaan sel tunggal dalam jumlah
cukup besar dalam kultur dapat memberikan keuntungan untuk purifikasi bahan
alami maupun rekombinan. Misalnya untuk produksi neuroendokrin yang
jumlahnya dalam tubuh sangat sedikit. Meskipun demikian kultur sel saraf dari
sumber cell line memiliki kekurangan terutama karena ketiadaan beberapa jenis
sel yang berkembang dalam sistem saraf secara in vivo (Murayama et al. 2001).
Sistem Kultur
Kultur sel membutuhkan medium dan lingkungan yang sesuai dengan
kondisi in vivo. Kondisi ini diciptakan dengan pengaturan temperatur, pH,
oksigen, CO2, tekanan osmosis, permukaan untuk melekat sel, nutrien dan
vitamin, proteksi terhadap zat toksik, hormon, dan faktor pertumbuhan yang
mengatur pertumbuhan dan diferensiasi sel (Malole 1990). Temperatur yang ideal
untuk pertumbuhan sel adalah pada 37°C (Pollard & Walker 1990) dengan pH
optimal 7,4 (Malole 1990). Selama kultur diusahakan pH tidak lebih rendah dari
7,0 karena pH yang rendah akan memperlambat pertumbuhan sel. Kestabilan pH
dapat dijaga dengan sistem buffer karbondioksida-karbonat sama seperti dalam
darah (Malole 1990). Sistem tersebut terdiri dari penambahan NaHCO 3 dalam
medium dan udara yang mengandung karbondioksida 5%. (Malole 1990).
Permukaan untuk melekat sel harus memiliki daya adhesif. Beberapa bahan
tertentu dapat digunakan sebagai substrat untuk melekatkan sel seperti fibronectin,
gelatin, dan kolagen (Butler 2004).
Sel di dalam tubuh organisme menerima nutrisi dari sirkulasi darah.
Medium untuk kultur sel in vitro harus mampu menyuplai nutrisi yang sama
seperti keadaan nutrisi pada darah (Radledge & Kristiansen 2001). Awalnya untuk
menumbuhkan sel mamalia in vitro melibatkan medium yang berasal dari bahan
alami seperti embrio ayam, serum, dan cairan limfe. Tetapi sejak tahun 1950
ditemukan medium kultur yang mengandung berbagai komponen penting dan
sudah banyak perkembangan.
Medium dasar untuk kultur sel adalah larutan garam seimbang. Larutan ini
berfungsi untuk menciptakan pH dan osmolaritas fisiologis yang dibutuhkan
untuk mempertahankan viabilitas sel in vitro. Untuk menciptakan kondisi yang
mampu merangsang proliferasi sel, dalam medium perlu ditambahkan glukosa,
asam amino, vitamin, dan beberapa garam tertentu yang dibutuhkan sesuai jenis
sel yang dikultur (Radledge & Kristiansen 2001).
Medium pertumbuhan yang sering dipakai untuk kultur sel mamalia adalah
Dulbecco’s Modified Eagle Medium (DMEM). Medium tersebut merupakan
modifikasi dari Basal Medium Eagle (BME) yang mengandung konsentrasi asam
amino dan vitamin empat kali lipat lebih banyak. Asam amino dan vitamin yang
ditambahkan dalam media berfungsi sebagai suplemen tambahan. Awalnya DME
mengandung 1000 mg/L glukosa dan dilaporkan pertama kali digunakan untuk
kultur embrio tikus. Selain asam amino dan vitamin, medium ini juga
mengandung asam folat, nikotinamid, riboflavin, vitamin B-12, dan garam
mineral seperti kalsium korida, potasium klorida, magnesium sulfat, sodium
klorida, dan monosodium fosfat. Natrium bikarbonat digunakan sebagai sumber
karbonat yang dapat mempertahankan pH dan osmolaritas (Mather dan Barnes
1998). Medium DMEM sangat cocok digunakan dalam berbagai kultur sel
termasuk sel-sel yang berasal dari manusia, monyet, hamster, tikus, mencit, ayam,
dan ikan (Pombinho et al. 2004).
Medium kultur dapat juga ditambahkan komponen lain seperti ITS.
Suplemen ITS mengandung tiga komponen faktor pertumbuhan yang penting
untuk beberapa tipe sel tertentu. Insulin penting dalam pertumbuhan dan
kelangsungan hidup sel sedangkan transferrin merupakan protein pengangkut zat
besi (iron-transport protein) yang fungsinya sama seperti insulin (Banker &
Goslin 1998). Selenium berfungsi sebagai kofaktor sintesis glutathione, yaitu
membantu memecah peroksida dan superoksida. Dilaporkan juga bahwa selenium
mampu melindungi kerusakan yang distimulasi oleh cahaya (Banker & Goslin
1998). Selain itu selenium juga dapat mengoptimalkan pertumbuhan sel.
Kebanyakan medium basal untuk kultur sel tidak mengandung ITS. Penambahan
ITS diketahui mampu mengurangi penggunaan serum dalam medium. Banyak cell
line seperti BHK, HeLa, Vero, MDCK, dan CHO dapat tumbuh dengan
penambahan ITS meskipun serum yang digunakan 1-2% (Anonimus 2005).
Sel tidak dapat hidup hanya dengan medium basal saja (Banker & Goslin
1998). Kebutuhan akan nutrisi dan faktor pertumbuhan untuk pemeliharaan sel
dapat disediakan dalam medium dengan penambahan serum. Serum yang
digunakan dapat diperoleh dari berbagai hewan seperti sapi (Fetal Calf Serum
(FCS), Newborn Calf Serum (NBCS)), kuda, dan manusia (Mather & Barnes
1998). Jumlah serum yang ditambahkan biasanya 5-20% (Shuler & Kargi 1992;
Banker & Goslin 1998). Menurut Banker dan Goslin (1998) FCS mengandung
faktor mitogenik yang tinggi sehingga sering digunakan untuk keperluan kultur
cell line atau kultur primer sel glia. Serum terbukti dapat mendukung
pertumbuhan sel melalui penyediaan faktor hormonal, pertumbuhan, perlekatan,
dan penyebaran sel (Mather & Roberts 1998) serta menyediakan transport protein
pembawa hormon, mineral, dan lipid (Shuler & Kargi 1992). Penggunaan
antibiotik dalam medium juga diperlukan untuk mencegah kontaminasi (Jakoby &
Pastan 1979). Antibiotik yang sering digunakan dalam medium adalah gentamisin
(Mather & Roberts 1998).
Pemanfaatan Kultur Sel Saraf
Kultur sel memiliki banyak manfaat terutama untuk menyelidiki
karakteristik fisiologi dan metabolisme sel. Kultur sel juga bermanfaat dalam
pengujian efek zat tertentu terhadap suatu sel. Zat toksik dan bahan-bahan
mutagenik dapat dievaluasi di dalam kultur (Butler 2004). Selain itu kultur sel
dapat digunakan untuk memproduksi bahan-bahan untuk mendiferensiasikan stem
cell menjadi sel spesifik. Secara khusus, kultur sel saraf memiliki potensi untuk
dimanfaatkan dalam terapi penyakit degenerasi saraf seperti Alzheimer dan
penyakit Parkinson. Hal ini karena sel saraf sendiri memiliki stem cell yang
disebut sebagai neural stem cell (Halim et al. 2010). Stem cell pada jaringan saraf
dimanfaatkan untuk regenerasi sel-sel saraf yang rusak. Saat ini penelitian baik
riset maupun klinis telah banyak dilakukan untuk mengarahkan diferensiasi neural
stem cell menjadi sel saraf (Halim et al. 2010)
Protein yang Dihasilkan oleh Sel Saraf
Otak menghasilkan bermacam-macam protein yang disekresikan oleh sel
saraf maupun sel glia. Menurut Quarles et al. (2006) protein menyusun bagian
otak tikus sebanyak 56,9%. Salah satu protein yang dihasilkan oleh sel saraf
adalah protein tau. Protein ini dihasilkan dari bagian akson yang berfungsi dalam
menstabilkan
dan
meningkatkan
pembentukan
mikrotubuli
neuron
serta
meningkatkan viabilitas neuron (Hansson 2008). Bagian lain sel saraf seperti
selubung myelin juga menghasilkan protein yaitu myelin basic protein (MBP) dan
proteolipid protein (PLP). Kedua protein ini dapat larut dalam SDS elektroforesis
dan dapat dipisahkan berdasarkan berat molekulnya (Quarles et al. 2006).
Selain protein, sel saraf juga mensekresikan beberapa growth factor seperti
nerve growth factor (NGF), glial derived neurotrophic factor (GDNF), nestin, dan
glial fibrillary acidic protein (GFAP). Astrosit diketahui mampu mensekresikan
fibroblast growth factor-1 (FGF-1) berdasarkan penelitian Ito et al. (2005).
Metode Analisis Protein Sel Saraf
Identifikasi protein dapat dilakukan dengan berbagai macam metode
diantaranya liquid phase isoelectric focusing (IEF), imunopresipitasi, mass
spectrometry (MS), dan gel elektroforesis (Hansson 2008). Protein merupakan
molekul yang bersifat amfoter yang mengandung grup asam dan basa pada sekuen
asam amino sehingga muatan protein akan bervariasi berdasarkan pH. Sifat
demikian dimanfaatkan untuk memisahkan protein berdasarkan titik isoelektrik
(pI) masing-masing protein dengan IEF. Titik isoelektrik akan berhenti pada pH
spesifik ketika muatan protein sama dengan nol (Hansson 2008). Pemisahan
protein dapat juga dengan metode imunopresipitasi apabila sampel biologis
mengandung beberapa macam protein. Metode MS digunakan untuk menganalisis
massa protein berdasarkan rasio massa per muatan. Selain itu MS juga
memberikan informasi tentang sekuen dan perubahan asam amino (Hansson
2008).
Penelitian ini menggunakan gel elektroforesis untuk menganalisa protein.
Elektroforesis mampu memisahkan protein dengan baik berdasarkan titik
isoelektrik dan berat molekul. Biasanya metode yang digunakan adalah SDSPAGE (Sodium dodecyl sulfate – polyacrilamide gel electrophoresis ) (Hansson
2008). Menurut Roe (2001) dan Ahmed (2005) SDS-PAGE merupakan metode
yang cukup cepat dalam identifikasi protein dan sering digunakan untuk
memperkirakan berat molekul serta menentukan komposisi subunit dari suatu
protein murni (Deutscher 1992). Penggunaan lain SDS-PAGE adalah untuk
monitoring purifikasi protein, verifikasi konsentrasi protein, deteksi proteolisis,
deteksi modifikasi protein, dan deteksi imunopresipitasi protein (Ahmed 2005).
Mekanisme kerja SDS-PAGE sama seperti elektroforesis pada umumnya
akan tetapi ditambahkan dengan sodium dodecyl sulphate (SDS) sebelum
dilakukan elektroforesis. Adanya SDS yang merupakan bahan detergen anionik
ini akan mendenaturasi protein lalu melekat kuat pada molekul yang diuraikan
tersebut. Satu molekul SDS diperkirakan mengikat dua asam amino. Molekul SDS
ini lalu menutupi permukaan protein dan membentuk jejaring muatan negatif yang
dihasilkan dari grup sulfat pada molekul SDS. Semua protein akan bermuatan
negatif dengan berat jenis yang sama sehingga protein tersebut hanya dapat
dipisahkan berdasarkan ukurannya (Hames 1998). Protein dengan berat molekul
rendah akan bergerak lebih cepat di dalam gel dibandingkan dengan protein
dengan berat molekul besar. Berdasarkan prinsip tersebut berat molekul suatu
protein dapat diperkirakan dengan memasukkan marker protein standar yang
sudah diketahui berat molekulnya dalam gel yang sama (Ahmed 2005).
Elektroforesis dapat dilakukan dalam dua sistem bufer yaitu sistem
langsung dan tidak langsung. Sistem langsung (continuous system) hanya
menggunakan satu separating gel serta buffer yang sama baik pada gel maupun
bak elektroforesis sedangkan pada sistem tidak langsung (discontinuous system)
terdiri dari dua macam gel yaitu separating gel dan stacking gel. Kedua gel ini
memiliki daya rembes, daya ion, dan pH yang berbeda. Kelebihan penggunaan
sistem ini adalah didapatkan hasil yang lebih baik dibandingkan dengan tanpa
stacking gel dalam volume sampel yang sama (Ahmed 2005).
Deteksi protein dalam gel dilakukan dengan berbagai macam pewarnaan
seperti coomassie blue, silver nitrat, dan amido black (Ahmed 2005). Coomassie
blue merupakan pewarnaan yang cepat dan sering digunakan untuk visualisasi
protein pada gel poliakrilamid (Ahmed 2005; Bonner 2007). Protein dapat
terdeteksi oleh coomassie blue apabila konsentrasi sampel protein yang diloading
dalam gel sebelum tahapan rehidrasi sebanyak 500 µg sampai dengan 1 mg (Blot
2003). Dibandingkan dengan coomassie blue, pewarnaan silver nitrat jauh lebih
sensitif (Janson & Ryden 1998; Blot 2003) bahkan pada konsentrasi nanogram,
akan tetapi membutuhkan waktu lebih lama (Ahmed 2005).
METODE PENELITIAN
Waktu dan Tempat
Penelitian ini dilaksanakan pada bulan Februari-Juli 2010 di Laboratorium
Embriologi dan Laboratorium Layanan Pendidikan Terpadu, Fakultas Kedokteran
Hewan, Institut Pertanian Bogor.
Download