bab i pendahuluan

advertisement
BAB I
PENDAHULUAN
1.1 Latar Belakang
Appendiks merupakan organ yang berbentuk tabung dengan panjang kira-kira 10
cm dan berpangkal pada seikum. Appendiks pertama kali tampak saat perkembangan
embriologi minggu ke delapan yaitu bagian ujung dari protuberans sekum. Pada saat
antenatal dan postnatal, pertumbuhan dari sekum yang berlebih akan menjadi
appendiks yang akan berpindah dari medial menuju katup ileocaecal.
Banyak factor yang menyebabkan timbulnya peradangan pada appendiks, diantaranya
karena ada infeksi yang diakibatkan oleh berbagai factor, factor tersering karena
adanya fecalith yang sering menyumbat dan menimbulkan obstruksi.
Penanganan appendicitis biasanya dilakukan dengan tindakan bedah yaitu
appendiktomi, yakni dilakukan pemotongan pada appendix vesiformis. Dan untuk
melakukan tindakan bedah tersebut biasanya dilakukan anastesi terlebih dahulu. Dan
anastesi yang tersering untuk melakukan tindakan pemotongan appendiks adalah
dengan anastesi regional. Yaitu regional anastesi- subarachnoid. Di dalam pembuatan
paper ini kami akan membahas mengenai anastesi regional subarachnoid blok pada
kasus appendicitis. Karena memang appendicitis ini merupakan kasus yang cukup
banyak, dan anastesi yang sering digunakan adalah regional anastesi subarachnoid
blok, mengingat anastesi regional subarachnoid lebih menguntungkan untuk
digunakan dalam tindakan pemotongan appendiks (appendiktomi). Karena mengingat
tindakan operasi appendiktomi ini tidak membutuhkan waktu yang lama dan cukup
dengan anastesi regional subarachnoid blok.
Appendicitis dengan RA-SAB |
1
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
2.1 Definisi Appendicitis 1,2
Appendiks merupakan organ yang berbentuk tabung dengan panjang kira-kira 10 cm
dan berpangkal pada seikum. Appendiks pertama kali tampak saat perkembangan
embriologi minggu ke delapan yaitu bagian ujung dari protuberans sekum. Pada saat
antenatal dan postnatal, pertumbuhan dari sekum yang berlebih akan menjadi
appendiks yang akan berpindah dari medial menuju katup ileocaecal.
Pada bayi appendiks berbentuk kerucut, lebar pada pangkal dan menyempit kearah
ujung. Keadaan ini menjadi sebab rendahnya insidens appendicitis pada usia tersebut.
Appendiks memiliki lumen sempit di bagian proksimal dan melebar pada bagian
distal. Pada appendiks terdapat tiga tanea coli yang menyatu dipersambungan sekum
dan berguna untuk mendeteksi posisi appendiks. Gejala klinik appendicitis ditentukan
oleh letak appendiks. Posisi appendiks adalah retrocaecal (di belakang sekum)
65,28%, pelvic (panggul) 31,01%, subcaecal (di bawah sekum) 2,26%, preileal (di
depan usus halus) 1%, dan postileal (di belakang usus halus) 0,4%, seperti terlihat
pada gambar dibawah ini.
Appendicitis dengan RA-SAB |
2
Appendicitis dengan RA-SAB |
3
Appendiks disebut tonsil abdomen karena ditemukan banyak jaringan limfoid.
Jaringan limfoid pertama kali muncul pada appendiks sekitar dua minggu setelah
lahir, jumlahnya meningkat selama pubertas sampai puncaknya berjumlah sekitar 200
folikel antara usia 12-20 tahun dan menetap saat dewasa. Setelah itu, mengalami
atropi dan menghilang pada usia 60 tahun. Persarafan parasimpatis berasal dari
cabang nervus vagus yang mengikuti arteri mesenterika superior dari arteri
appendikularis, sedangkan persarafan simpatis berasal dari nervus torakalis X. Oleh
karena itu, nyeri viseral pada appendicitis bermula di sekitar umbilikus. Appendiks
didarahi oleh arteri apendikularis yang merupakan cabang dari bagian bawah arteri
ileocolica. Arteri appendiks termasuk end arteri. Bila terjadi penyumbatan pada arteri
ini, maka appendiks mengalami ganggren.3
Appendicitis adalah infeksi pada appendiks karena tersumbatnya lumen oleh fekalith
(batu feces), hiperplasi jaringan limfoid, dan cacing usus. Obstruksi lumen
merupakan penyebab utama appendicitis. Erosi membran mukosa appendiks dapat
terjadi karena parasit seperti Entamoeba histolytica, Trichuris trichiura, dan
Enterobius vermikularis.26 Penelitian Collin (1990) di Amerika Serikat pada 3.400
kasus, 50% ditemukan adanya faktor obstruksi. Obstruksi yang disebabkan hiperplasi
jaringan limfoid submukosa 60%, fekalith 35%, benda asing 4%, dan sebab lainnya
1%.4
Appendicitis merupakan peradangan appendiks yang mengenai semua lapisan
dinding organ tersebut. Tanda patogenetik primer diduga karena obstruksi lumen dan
ulserasi mukosa menjadi langkah awal terjadinya appendicitis. Obstruksi intraluminal
appendiks menghambat keluarnya sekresi mukosa dan menimbulkan distensi dinding
appendiks. Sirkulasi darah pada dinding appendiks akan terganggu. Adanya kongesti
vena dan iskemia arteri menimbulkan luka pada dinding appendiks. Kondisi ini
mengundang invasi mikroorganisme yang ada di usus besar memasuki luka dan
menyebabkan proses radang akut, kemudian terjadi proses irreversibel meskipun
faktor obstruksi telah dihilangkan. Appendicitis dimulai dengan proses eksudasi pada
Appendicitis dengan RA-SAB |
4
mukosa, sub mukosa, dan muskularis propia. Pembuluh darah pada serosa kongesti
disertai dengan infiltrasi sel radang neutrofil dan edema, warnanya menjadi kemerahmerahan dan ditutupi granular membran. Pada perkembangan selanjutnya, lapisan
serosa ditutupi oleh fibrinoid supuratif disertai nekrosis lokal disebut appendicitis
akut supuratif. Edema dinding appendiks menimbulkan gangguan sirkulasi darah
sehingga terjadi ganggren, warnanya menjadi hitam kehijauan yang sangat potensial
ruptur. Pada semua dinding appendiks tampak infiltrasi radang neutrofil, dinding
menebal karena edema dan pembuluh darah kongesti.
Appendiks yang pernah meradang tidak akan sembuh dengan sempurna, tetapi
akan membentuk jaringan parut. Jaringan ini menyebabkan terjadinya perlengketan
dengan jaringan sekitarnya. Perlengketan tersebut dapat kembali menimbulkan
keluhan pada perut kanan bawah. Pada suatu saat organ ini dapat mengalami
peradangan kembali dan dinyatakan mengalami eksaserbasi.
2.2 Klasifikasi appendicitis 5,6
Adapun klasifikasi appendicitis berdasarkan klinikopatologis adalah sebagai berikut:
1. Appendisitis Akut.
a. Appendisitis Akut Sederhana (Cataral Appendicitis)
Proses peradangan baru terjadi di mukosa dan sub mukosa disebabkan obstruksi.
Sekresi mukosa menumpuk dalam lumen appendiks dan terjadi peningkatan tekanan
dalam lumen yang mengganggu aliran limfe, mukosa appendiks jadi menebal, edema,
dan kemerahan. Gejala diawali dengan rasa nyeri di daerah umbilikus, mual, muntah,
anoreksia, malaise, dan demam ringan. Pada appendicitis kataral terjadi leukositosis
dan appendiks terlihat normal, hiperemia, edema, dan tidak ada eksudat serosa.
b. Appendicitis Akut Purulenta (Supurative Appendicitis)
Tekanan dalam lumen yang terus bertambah disertai edema menyebabkan
terbendungnya aliran vena pada dinding appendiks dan menimbulkan trombosis.
Appendicitis dengan RA-SAB |
5
Keadaan ini memperberat iskemia dan edema pada apendiks. Mikroorganisme yang
ada di usus besar berinvasi ke dalam dinding appendiks menimbulkan infeksi serosa
sehingga serosa menjadi suram karena dilapisi eksudat dan fibrin. Pada appendiks
dan mesoappendiks terjadi edema, hiperemia, dan di dalam lumen terdapat eksudat
fibrinopurulen.
Ditandai dengan rangsangan peritoneum lokal seperti nyeri tekan, nyeri lepas di
titik Mc Burney, defans muskuler, dan nyeri pada gerak aktif dan pasif. Nyeri dan
defans muskuler dapat terjadi pada seluruh perut disertai dengan tanda-tanda
peritonitis umum.
c. Appendisitis Akut Gangrenosa
Bila tekanan dalam lumen terus bertambah, aliran darah arteri mulai terganggu
sehingga terjadi infrak dan ganggren. Selain didapatkan tanda-tanda supuratif,
appendiks mengalami gangren pada bagian tertentu. Dinding appendiks berwarna
ungu, hijau keabuan atau merah kehitaman. Pada appendicitis akut gangrenosa
terdapat mikroperforasi dan kenaikan cairan peritoneal yang purulen.
2. Appendisitis infiltrat
Appendicitis infiltrat adalah proses radang appendiks yang penyebarannya dapat
dibatasi oleh omentum, usus halus, sekum, kolon dan peritoneum sehingga
membentuk gumpalan massa flegmon yang melekat erat satu dengan yang lainnya.
3. Appendicitis Abses
Appendicitis abses terjadi bila massa lokal yang terbentuk berisi nanah (pus),
biasanya di fossa iliaka kanan, lateral dari sekum, retrocaecal, subcaecal, dan pelvic.
4. Appendicitis Perforasi
Appendicitis dengan RA-SAB |
6
Appendicitis perforasi adalah pecahnya appendiks yang sudah ganggren yang
menyebabkan pus masuk ke dalam rongga perut sehingga terjadi peritonitis umum.
Pada dinding appendiks tampak daerah perforasi dikelilingi oleh jaringan nekrotik.
5.Appendicitis Kronis
Appendicitis kronis merupakan lanjutan appendicitis akut supuratif sebagai proses
radang yang persisten akibat infeksi mikroorganisme dengan virulensi rendah,
khususnya obstruksi parsial terhadap lumen. Diagnosa appendicitis kronis baru dapat
ditegakkan jika ada riwayat serangan nyeri berulang di perut kanan bawah lebih dari
dua minggu, radang kronik appendiks secara makroskopik dan mikroskopik. Secara
histologis, dinding appendiks menebal, sub mukosa dan muskularis propia
mengalami fibrosis. Terdapat infiltrasi sel radang limfosit dan eosinofil pada sub
mukosa, muskularis propia, dan serosa. Pembuluh darah serosa tampak dilatasi.
2.3 Gejala Appendicitis 7
Beberapa gejala yang sering terjadi yaitu:
a.Rasa sakit di daerah epigastrum, daerah periumbilikus, di seluruh abdomen atau di
kuadran kanan bawah merupakan gejala-gejala pertama. Rasa sakit ini samar-samar,
ringan sampai moderat, dan kadang-kadang berupa kejang. Sesudah empat jam
biasanya rasa nyeri itu sedikit demi sedikit menghilang kemudian beralih ke kuadran
bawah kanan. Rasa nyeri menetap dan secara progesif bertambah hebat apabila pasien
bergerak.
b.Anoreksia, mual, dan muntah yang timbul selang beberapa jam dan merupakan
kelanjutan dari rasa sakit yang timbul permulaan.
c.Demam tidak tinggi (kurang dari 380C), kekakuan otot, dan konstipasi.
Appendicitis dengan RA-SAB |
7
d.Appendicitis pada bayi ditandai dengan rasa gelisah, mengantuk, dan terdapat nyeri
lokal. Pada usia lanjut, rasa nyeri tidak nyata. Pada wanita hamil rasa nyeri terasa
lebih tinggi di daerah abdomen dibandingkan dengan biasanya.
e.Nyeri tekan didaerah kuadran kanan bawah. Nyeri tekan mungkin ditemukan juga
di daerah panggul sebelah kanan jika appendiks terletak retrocaecal. Rasa nyeri
ditemukan di daerah rektum pada pemeriksaan rektum apabila posisi appendiks di
pelvic. Letak appendiks mempengaruhi letak rasa nyeri.
2.4 Diagnosa Appendicitis
Cara menegakkan diagnose apendisitis antara lain melalui :
Pemeriksaan Fisik 2,8
a.Inspeksi, pada appendicitis akut tidak ditemukan gambaran yang spesifik
dan terlihat distensi perut.
b.Palpasi pada daerah perut kanan bawah, apabila ditekan akan terasa nyeri
dan bila tekanan dilepas juga akan terasa nyeri. Nyeri tekan perut kanan
bawah merupakan kunci diagnosa appendicitis. Pada penekanan perut kiri
bawah akan dirasakan nyeri pada perut kanan bawah yang disebut tanda
Rovsing (Rovsing Sign). Apabila tekanan di perut kiri bawah dilepaskan juga
akan terasa nyeri pada perut kanan bawah yang disebut tanda Blumberg
(Blumberg Sign).
c. Pemeriksaan rektum, pemeriksaan ini dilakukan pada appendicitis untuk
menentukan letak appendiks apabila letaknya sulit diketahui. Jika saat
dilakukan pemeriksaan ini terasa nyeri, maka kemungkinan appendiks yang
meradang terletak di daerah pelvic.
Appendicitis dengan RA-SAB |
8
d. Pemeriksaan uji psoas dan uji obturator, pemeriksaan ini dilakukan untuk
mengetahui letak appendiks yang meradang. Uji psoas dilakukan dengan
rangsangan otot psoas lewat hiperektensi sendi panggul kanan atau fleksi aktif
sendi panggul kanan, kemudian paha kanan ditahan. Bila appendiks yang
meradang menempel di m. psoas mayor, maka tindakan tersebut akan
menimbulkan nyeri. Pada uji obturator dilakukan gerakan fleksi dan
endorotasi sendi panggul pada posisi terlentang. Bila appendiks yang
meradang kontak dengan obturator internus yang merupakan dinding panggul
kecil, maka tindakan ini akan menimbulkan nyeri.
Pemeriksaan Penunjang 9
a.Laboratorium, terdiri dari pemeriksaan darah lengkap dan C-reactive
protein (CRP). Pada pemeriksaan darah lengkap ditemukan jumlah leukosit
antara 10.000-18.000/mm3 (leukositosis) dan neutrofil diatas 75%, sedangkan
pada CRP ditemukan jumlah serum yang meningkat. CRP adalah salah satu
komponen protein fase akut yang akan meningkat 4-6 jam setelah terjadinya
proses inflamasi, dapat dilihat melalui proses elektroforesis serum protein.
Angka sensitivitas dan spesifisitas CRP yaitu 80% dan 90%.
b.Radiologi, terdiri dari pemeriksaan ultrasonografi (USG) dan Computed
Tomography Scanning (CT-scan). Pada pemeriksaan USG ditemukan bagian
memanjang pada tempat yang terjadi inflamasi pada appendiks, sedangkan
pada pemeriksaan CT-scan ditemukan bagian yang menyilang dengan fekalith
dan perluasan dari appendiks yang mengalami inflamasi serta adanya
pelebaran sekum. Tingkat akurasi USG 90-94% dengan angka sensitivitas dan
spesifisitas yaitu 85% dan 92%, sedangkan CT-Scan mempunyai tingkat
akurasi 94-100% dengan sensitivitas dan spesifisitas yang tinggi yaitu 90100% dan 96-97%.
Appendicitis dengan RA-SAB |
9
Penatalaksanaan Medis
Penatalaksanaan yang dapat dilakukan pada penderita appendicitis meliputi
penanggulangan konservatif dan operasi.
a. Penanggulangan konservatif 10
Penanggulangan konservatif terutama diberikan pada penderita yang tidak
mempunyai akses ke pelayanan bedah berupa pemberian antibiotik.
Pemberian antibiotik berguna untuk mencegah infeksi. Pada penderita
appendicitis perforasi, sebelum operasi dilakukan penggantian cairan dan
elektrolit, serta pemberian antibiotik sistemik.
b.
Operasi 11
Bila diagnosa sudah tepat dan jelas ditemukan appendicitis maka tindakan
yang
dilakukan
adalah operasi membuang appendiks (appendektomi).
Penundaan appendektomi dengan pemberian antibiotik dapat mengakibatkan
abses dan perforasi.
2.5 Regional Anastesi-Subarachnoid Block (RA-SAB)
Anastesi spinal (intratekal,intradural,subdural,subarachnoid) ialah pemberian obat
anastetik local ke dalam ruang subarachnoid. Anastesi spinal diperoleh dengan cara
menyuntikkan anestetik lokal ke dalam ruang subarachnoid. Teknik ini sederhana,
cukup efektif dan mudah dikerjakan.
2.5.1 Indikasi, kontraindikasi, komplikasi RA-SAB
Indikasi dilakukan Regional Anastesi-Subarachnoid Block antara lain;
1. Bedah ekstremitas bawah.
2. Bedah panggul
3. Tindakan sekitar rektum-perineum.
Appendicitis dengan RA-SAB |
10
4. Bedah obstetric-gynekologi.
5. Bedah urologi.
6. Bedah abdomen bawah.
7. Pada bedah abdomen atas dan bedah pediatri biasanya dikombinasi dengan anestesi
umum ringan.
Kontraindikasi spinal anastesi terbagi menjadi dua, yaitu kontraindikasi absolute dan
kontraindikasi relative;
Kontraindikasi absolute;
1. Pasien menolak.
2. Infeksi pada tempat suntikan.
3. Hipovolemik berat, syok.
4. Koagulopati atau mendapat terapi antikoagulan.
5. Tekanan intracranial meninggi.
6. Fasilitas resusitasi minimum.
7. Kurang pengalaman atau didampingi konsultasi anestesi.
Kontraindikasi relative:
1. Infeksi Sistemik.
2. Infeksi Sekitar Tempat Suntikan.
3. Kelainan Neurologis.
4. Kelainan Psikis.
Appendicitis dengan RA-SAB |
11
5. Bedah Lama.
6. Penyakit Jantung.
7. Hipovolemia Ringan.
8. Nyeri Punggung Kronis.
Komplikasi Spinal Anastesi
Komplikasi Tindakan
1. Hipotensi berat.
Akibat blok simpatis, terjadi “ venous pooling” . biasanya dapat dicegah dengan
memberikan infuse cairan elektrolit 1000 mL atau 500 mL cairan koloid sebelum
tindakan.
2. Bradikardi.
Dapat terjadi tanpa disertai hipotensi atau hipoksia, terjadi akibat blok sampai T2.
3. Hipoventilasi.
Akibat paralisis saraf frenikus atau hipoperfusi pusat kendali nafas.
4.
5.
6.
7.
Trauma pembuluh darah.
Trauma saraf.
Mual-muntah.
Blok spinal tinggi atau spinal total.
Komplikasi Pasca Tindakan
1. Nyeri pada tempat suntikan.
2. Nyeri punggung.
3. Nyeri kepala karena PDPH.
Appendicitis dengan RA-SAB |
12
4. Retensi urin.
5. Meningitis.
2.5.2 Teknik anastesi spinal (RA-SAB) :
Posisi duduk atau lateral dekubitus dengan tusukan pada garis tengah ialah posisi
yang paling sering dikerjakan . biasanya dikerjakan diatas meja operasi tanpa
dipindah lagi dan hanya diperlukan sedikit perubahan posisi pasien.
1. Setelah dimonitor tidurkan pasien dalam posisi duduk. Buat pasien
membungkuk maksimal agar proc. Spinosus mudah teraba.
2. Perpotongan antara garis yang menghubungkan kedua Krista iliaka dengan
tulang punggung ialah L4 atau L4-L5. Jangan melakukan penusukan pada L12 karena berisiko trauma terhadap medulla spinalis.
3. Sterilkan tempat tusukan dengan betadine atau alcohol.
4. Beri anastetik lokal pada tempat tusukan misalnya dengan lidokain 1-2% 2-3
mL.
5. Cara tusukan median atau paramedian. Biasanya jarum yang digunakan
adalah berukuran 25 G. tusukan introduser sedalam kira-kira 2 cm agak
sedikit kea rah sefal, kemudian masukkan jarum spinal berikut mandrinnya ke
lubang jarum tersebut. Jika menggunakan jarum yang tajam (quinckebabcock), irisan jarum (bevel) harus sejajar dengan serat duramater yaitu pada
posisi tidur miring bevel mengarah ke atas atau kebawah untuk menghindari
kebocoran liquor yang dapat berakibat timbulnya nyeri kepala pasca spinal
anastesi. Setelah resistensi menghilang , mandarin jarum spinal dicabut dan
keluar CSF, kemudian masukkan obat secara perlahan-lahan diselingi aspirasi
sedikit , hanya untuk meyakinkan posisi jarum tetap baik.
Peralatan anastesi spinal.
1. Peralatan monitor.
Appendicitis dengan RA-SAB |
13
Tekanan darah, nadi, pulse oksimetri dan EKG.
2. Peralatan resusitasi/ anastesi umum.
3. Jarum spinal.
Jarum spinal dengan ujung tajam ( ujung bambu runcing, quincke-babcock) atau
jarum spinal dengan ujung pinsil ( pencil point, whitecare).
2.5.3 Preoperatif RA-SAB
Penilaian Preoperatif
Penilaian preoperative merupakan langkah awal dari serangkaian tindakan
anesthesia yang dilakukan terhadap pasien yang direncanakan untuk menjalani
tindakan operatif. 12
Tujuan:
1.
2.
3.
4.
Mengetahui status fisik pasien praoperatif
Mengetahui dan menganalisis jenis operasi
Memilih jenis atau teknik anesthesia yang sesuai
Meramalkan penyulit yang mungkin terjadi selama operasi dan atau
pascabedah
5. Mempersiapkan obat atau alat guna menanggulangi penyulit yang
diramalkan.12
Tatalaksana evaluasi
1. Anamnesis.
Appendicitis dengan RA-SAB |
14
Anamnesis baik autoanamnesis maupun alloanamnesis, yakni meliputi
identitas pasien, anamnesis khusus yang berkaitan dengan penyakit bedah
yang mungkin menimbulkan kerusakan fungsi organ, dan anamnesis umum
yang meliputi riwayat penyakit sistemik, riwayat pemakaian obat-obatan,
riwayat operasi/anesthesia terdahulu, kebiasaan buruk, dan riwayat alergi. 12
2. Pemeriksaan fisik.
Yakni memeriksa status pasien saat ini yang meliputi kesadaran,
frekuensi nafas, tekanan darah, nadi, suhu tubuh, berat dan tinggi badan untuk
menilai status gizi/BMI. Disamping itu juga dilakukan pemeriksaan fisik
umum yang meliputi pemeriksaan status psikis, saraf, respirasi, hemodinamik,
penyakit darah, gastrointestinal, hepato-bilier, urogenital dan saluran kencing,
metabolik dan endokrin, otot rangka, integument.12
Pada anestesi juga diperlukan pemeriksaan skor Mallampati yang digunakan
untuk memprediksi kemudahan intubasi (Mallampati,et al. 1985) Hal ini dilakukan
dengan melihat anatomi cavum oral, terutama didasari terlihatnya dasar uvula, arkus
di depan dan belakang tonsil, dan palatum mole. Skoring dilakukan saat pasien duduk
dan pandangan ke depan. Skor Mallampati yang tinggi (III atau IV) berhubungan
dengan intubasi yang lebih sulit sebanding juga dengan insiden yang lebih tinggi
untuk terjadi apneu. 13
Skoring Mallampati (Nuckton, et al.)13




Terlihat tonsil, uvula, dan palatum mole secara keseluruhan
Terlihat palatum mole dan durum, bagian atas tonsil dan uvula
Terlihat palatum mole dan durum, dan dasar uvula
Hanya terlihat palatum durum
3. Pemeriksaan laboratorium, radiologi dan yang lainnya.
Meliputi pemeriksaan rutin yakni pemeriksaan darah dan urin. Selain
itu pada pasien yang akan operasi besar dan pasien yang menderita penyakit
Appendicitis dengan RA-SAB |
15
sistemik tertentu diperlukan pemeriksaan khusus sesuai indikasi yang meliputi
pemeriksaan laboratorium lengkap, pemeriksaan radiologi, evaluasi kardiologi
terutama pada pasien berumur diatas 35 tahun, pemeriksaan spirometri pada
pasien PPOM.12
4. Menentukan prognosis pasien perioperatif.
Hal ini dapat menggunakan klasifikasi yang dibuat oleh American
Society of Anesthesiologist (ASA) (Wiryana dkk, 2010).
Persiapan anastesi spinal (RA-SAB)
Appendicitis dengan RA-SAB |
16
Pada dasarnya persiapan untuk anastesi spinal seperti persiapan anastesi umum.
Daerah sekitar tempat tusukan diteliti apakah menimbulkan kesulitan, misalnya ada
kelainan anatomis tulang punggung atau pasien gemuk sekali sehingga tak teraba
tonjolan proc. Spinosus. Selain itu perlu diperhatikan hal-hal dibawah ini :
1. Informed consent.
Sebelum dilakukan anastesi wajib meminta izin kepada pasien dan tidak
boleh memkasanya.
2. Pemeriksaan fisik.
Tidak dijumpai kelainan spesifik seperti kelainan tulang punggung dan lainlainnya.
3. Pemeriksaan laboratorium anjuran.
Hemoglobin, hematokrit , PT (protrombin time) dan PTT (partial
tromboplastin time).
Persiapan Preoperatif
a. Masukan oral
Reflek laring mengalami penurunan selama anestesi. Regurgitasi isi
lambung dan kotoran yang terdapat dalam jalan nafas merupakan resiko utama
pada pasien yang menjalani anestesi. Untuk meminimalkan risiko tersebut,
semua pasien yang dijadwalkan untuk operasi elektif dengan anestesi harus
dipantangkan dari masukan oral (puasa) selama periode tertentu sebelum
induksi anestesi. Pada pasien dewasa umumnya puasa 6-8 jam, anak kecil 4-6
jam dan pada bayi 3-4 jam. Makanan tak berlemak diperbolehkan 5 jam
sebelum induksi anestesi. Minuman bening, air putih, teh manis sampai 3 jam
dan untuk keperluan minum obat air putih dalam jumlah terbatas boleh I jam
sebelum induksi anesthesia.
b. Terapi Cairan.
Appendicitis dengan RA-SAB |
17
Pasien yang puasa tanpa intake cairan sebelum operasi akan mengalami defisit
cairan karena durasi puasa . Dengan tidak adanya intake oral, defisit cairan dan
elektrolit bisa terjadi cepat karena terjadinya pembentukan urin, sekresi
gastrointestinal, keringat, dan insensible losses yang terus menerus dari kulit
dan paru. Defisit bisa dihitung dengan mengalikan kebutuhan cairan
maintenance dengan waktu puasa.
2.5.4 Durante Operasi RA-SAB
Persiapan Pasien
Pasien dengan tindakan appendiktomi dapat terjadi evaporasi. Oleh karena
itu, pasien ini diselimuti dan dilakukan monitor balans cairan (keseimbangan cairan).
Perlu juga untuk mengatur suhu pendingin ruangan.
Pemakaian Obat Anestesi
Infiltrasi lokal menggunakan lidokain 5% di area L4-5 dengan menyusuri
krista iliaka. Dilanjutkan anestesi dengan bupivacaine 0.5% 12.5 mg.
Terapi Cairan
Terapi cairan intravena dapat terdiri dari infus kristaloid, koloid, atau
kombinasi keduanya. Cairan kristaloid adalah cairan dengan ion low molecular
weight (garam) dengan atau tanpa glukosa, sedangkan cairan koloid juga
mengandung zat-zat high molecular weight seperti protein atau glukosa polimer
besar. Cairan koloid menjaga tekanan onkotik koloid plasma dan untuk sebagian
besar intravaskular, sedangkan cairan kristaloid cepat menyeimbangkan dengan dan
mendistribusikan seluruh ruang cairan ekstraseluler.
Appendicitis dengan RA-SAB |
18
Cairan dipilih sesuai dengan jenis kehilangan cairan yang digantikan. Untuk
kehilangan terutama yang melibatkan air, penggantian dengan cairan hipotonik, juga
disebut cairan jenis maintenance. Jika kehilangan melibatkan baik air dan elektrolit,
penggantian dengan cairan elektrolit isotonik, juga disebut cairan jenis replacement.
Karena kebanyakan kehilangan cairan intraoperatif adalah isotonik, cairan
jenis replacement yang umumnya digunakan. Cairan yang paling umum digunakan
adalah larutan Ringer laktat. Meskipun sedikit hipotonik, menyediakan sekitar 100
mL free water per liter dan cenderung untuk menurunkan natrium serum 130 mEq/L,
Ringer laktat umumnya memiliki efek yang paling sedikit pada komposisi cairan
ekstraseluler dan merupakan menjadi cairan yang paling fisiologis ketika volume
besar diperlukan. Kehilangan darah durante operasi biasanya digantikan dengan
cairan RL sebanyak 3 hingga empat kali jumlah volume darah yang hilang.
Metode yang paling umum digunakan untuk memperkirakan kehilangan darah
adalah
pengukuran
darah
dalam
wadah
hisap/suction
dan
secara
visual
memperkirakan darah pada spons atau lap yang terendam darah. Untuk 1 spon ukuran
4x4 cm dapat menyerap darah 10 cc sedangkan untuk lap dapat menyerap 100-150 cc
darah. Pengukuran tersebut menjadi lebih akurat jika kassa atau lap tersebut
ditimbang sebelum dan sesudah terendam oleh darah.
2.5.5 Postoperatif RA-SAB
Pemindahan Pasien dari Kamar Operasi ke Recovery Room
Segera setelah operasi, pasien akan dipindah ke post-anesthesia care unit
(PACU), biasa disebut dengan recovery room. Di tempat ini, pasien akan diobservasi
dengan ketat, termasuk vital sign dan level nyerinya (WebMD, 2011). Pemindahan
pasien dari kamar operasi ke PACU memerlukan pertimbangan-pertimbangan khusus.
Pertimbangan ini di antaranya ialah letak insisi bedah, perbuhan vaskular, dan
pemajanan. Letak insisi bedah harus selalu dipertimbangkan setiap kali pasien pasca
operasi dipindahkan. Banyak luka ditutup dengan tegangan yang cukup tinggi, dan
setiap upaya dilakukan untuk mencegah regangan sutura yang lebih lanjut. Selain itu,
Appendicitis dengan RA-SAB |
19
pasien diposisikan sehingga tidak berbaring pada posisi yang menyumbat drain dan
selang drainase.
Perawatan Post Anestesi di Recovery Room
Recovery dari anestesi terjadi ketika efek obat-obatan anestesi hilang dan fungsi
tubuh mulai kembali. Perlu beberapa waktu sebelum efek anestesi benar-benar hilang.
Setelah anestesi, sejumlah kecil obat masih terdapat dalam tubuh pasien, tetapi
efeknya minimal.
Waktu recovery dari anestesi bergantung pada jenis anestesi, usia pasien, jenis
operasi, durasi operasi, pre-existing disease, dan sensitivitas individu terhadap obatobatan. Perkiraan waktu recovery yang tepat dapat ditentukan jika semua spesifikasi
pembedahan, riwayat pasien dan jenis anestesi diketahui.
Appendicitis dengan RA-SAB |
20
BAB III
STATUS PASIEN
1.1 Identitas Pasien
Nama
: Hotris Simbolon.
Usia
: 21 tahun
Jenis Kelamin
: Laki-laki
Alamat
: Jln. Tuasan no.113
Berat Badan
: 56 kg
Register
: 235959
Dirawat di
: Ruang An-nisa
Tanggal dilakukan Anestesi
: 28-Juli-2015
Lama anestesi
: 10.45– 11.48 WIB
Diagnosis pra bedah
: Appendicitis akut
Jenis pembedahan
: Appendektomi
Jenis anesthesia
: Regional Anestesia-Sub Arachnoid Block
1.2 Preoperatif
1.2.1 Anamnesis
Alergi
Medication
Past Medical
: : Tidak didapatkan riwayat alergi terhadap obat/ makanan
: Tidak mengkonsumsi obat-obatan sebelumnya.
: DM (-), HT (-), asma (-)
Appendicitis dengan RA-SAB |
21
History
Last Meal
Event
.
: Minimal sejak 6 jam sebelum operasi (Pukul 02.00 WIB)
: Pasien dapat BAK  tidak terpasang kateter
1.2.2 Pemeriksaan Fisik
B1 (Breathing)
: airway clear, napas spontan, RR 20x/menit, rhonki (-),
wheezing (-)
B2 (Blood)
: akral hangat, CRT <2 detik, nadi 90x/mnt, TD 12080
mmHg, S1S2 regular, murmur (-), gallop (-)
B3 (Brain)
: compos mentis, GCS 456, pupil isokor 3mm/3mm,
reflek cahaya +/+
B4 (Bladder)
: urin output (-), kateter (-)
B5 (Bowel)
: soepel, peristaltic usus (+) normal, mual (-), muntah (-)
B6 (Bone)
:
edema -/-.
1.2.3 Pemeriksaan Penunjang Preoperasi
1) Pemeriksaan Laboratorium (27 Juli 2015)
Darah Lengkap






Hb
Leukosit
Trombosit
MCV
MCH
MCHC
: 14,2 gr/dL
: 14.800/µl
: 256.000/µl
: 90,0 fL
: 32,0 pg
:35,6%
(N : 11 – 16,5 gr/dl)
(N : 3.500 – 10.000 /µl)
(N : 150.000 – 390.000 /µl)
: 79 mg/dl
(N: <200 mg/dl)
Kimia Darah
 GDA
Appendicitis dengan RA-SAB |
22
2) Foto Thorax PA
Kesimpulan : cord an pulmo dalam batas normal.
1.2.4 Laporan Anestesi Preoperatif



Assessment: ASA I
Diagnosa prabedah appendicitis akut.
Keadaan prabedah (3 Agustus 2012, pukul 08.00 WIB) :
 BB 56 kg, golongan darah O
 TD 120/80 mmHg, nadi 90 x/menit, suhu 36,6°C
 Hb 14,2 gr/dL
 Dipuasakan 6 jam preoperasi
 Jenis pembedahan: appendiktomi
1.2.5 Persiapan Preoperatif
1.2.5.1 Di Ruangan (R.19)

Surat persetujuan operasi + surat persetujuan tindakan anestesi

IVFD RL 100 cc/jam selama dipuasakan

Inj. Ranitidin 50 mg

Inj. Metoclopramide 10 mg
sesaat sbelum berangkat ke OK
1.2.5.2 Di Kamar Operasi







Scope
Tubes
Airway
Tape
Introducer
Connector
Suction
 stetoskop, laringoskop
 ETT (cuffed) size 7,0 kink fix
 orotracheal airway
 plester untuk fiksasi
 untuk memandu agar pipa ETT mudah dimasukkan
 penyambung antara pipa dan alat anestesi
 memastikan tidak ada kerusakan pada alat suction
Appendicitis dengan RA-SAB |
23
Obat emergensi : sulfas atropin, lidokain, adrenalin, efedrin
1.3 Durante Operatif
1.3.1 Laporan Anestesi Durante Operatif


Jenis anestesia
: Regional anestesia-Sub Arachnoid Blok
Teknik anestesia
:
1. memposisikan pasien dengan kondisi duduk, meluruskan punggung
dan kaki, tapi tetap dalam keadaan tidak tegang, dan menundukkan
2.
3.
4.
5.
kepala.
Lokasi injeksi diberi antiseptik, dengan savlon.
Identifikasi ruang interspinosus diantara L4-L5.
Kemudian di infiltrasi lokal dengan lidokain 2% di area L4-L5
Dilanjutkan anestesi dengan insersi spino catheter ukuran 25 gauge,
barbotage (+), dan cairan serebrospinal (+)
6. injeksi bupivacaine 0.5% 12 mg, kemudian dilakukan pengecekan


area sensoris, motoris dan tanda-tanda toksikasi pada pasien.
Lama anestesi
: 10.45 – 11.48 WIB
Lama operasi
: 10.50– 11.45 WIB
1.3.2 Tindakan Regional Anestesia
Posisi anestesi
Teknik anestesi
12,5 mg.
: pasien duduk dengan mendekap bantal, kepala
menekuk ke dada, punggung tidak tegang, kedua
kaki lurus.
: Anestesi regional spinal dengan bupivacaine 0.5%
1.3.3 Monitoring



Pernafasan
Medikasi durante operasi
 Ondansetron 4 mg i.v
 Ketorolac 30 mg i.v
 Pethidin 25 mg i.v
Cairan masuk:
: O2 nasal canule, 2 lpm
:
Appendicitis dengan RA-SAB |
24
 Preoperatif
: Kristaloid RL 1000 cc
 Durante operatif : RL 500 cc

Cairan keluar : durante operatif :
 Preoperatif
: 100 cc
 Durante operatif : 50 cc
1.4 Postoperatif
1.4.1 Laporan Anestesi Postoperatif di Ruang Pulih Sadar



Pasien masuk jam 11.
Keluhan pasien: mual (-), muntah (-), pusing (-), nyeri (-)
Pemeriksaan fisik:
B1 : airway clear, napas spontan, Rhonki (-), Wheezing (-)
B2 : nadi 80x/menit, TD 113/67 mmHg, CRT <2detik
B3
B4
B5
B6
: compos mentis, GCS 456, pupil isokor 3mm/3mm, reflek cahaya+/+
: Dower catheter (+)
: soefl, BU (+)
: akral hangat, kering, kemerahan, mobilitas (-), edema (-)
Terapi Pasca Bedah
 O2 nasal canul 2 liter/menit
 Infus: RL 100 cc/jam selama dipuasakan
 Inj. Ranitidin 2x50 mg iv
 Inj. Ketorolac 3x30 mg iv prn
 Bila mual muntah : Inj.Ondansetron 4 mg
1.4.2 Monitoring





Cek vital sign tiap 15 menit selama 2 jam
Bila RR <10x/menit, berikan O2 10 liter/menit
Bila nadi ≤50, berikan sulfas atropin 0,5 mg iv cepat
Jika tekanan darah sistole <90 mmHg berikan RL 500 cc dalam 30 menit 
efedrin 5 mg iv
Makan dan minum: diberikan secara bertahap bila pasien tidak mual
dan muntah
Appendicitis dengan RA-SAB |
25
 Bila pasien kesakitan dapat diberikan injeksi ketorolac 30mg i.v
BAB IV
KESIMPULAN
Appendicitis merupakan peradangan appendiks yang mengenai semua lapisan
dinding organ tersebut. Tanda patogenetik primer diduga karena obstruksi lumen dan
ulserasi mukosa menjadi langkah awal terjadinya appendicitis. Bila diagnosa sudah
tepat dan jelas ditemukan appendicitis maka tindakan yang
operasi
membuang
appendiks
(appendektomi).
dilakukan
adalah
Anastesi
spinal
(intratekal,intradural,subdural,subarachnoid) ialah pemberian obat anastetik local ke
dalam ruang subarachnoid. Anastesi spinal diperoleh dengan cara menyuntikkan
anestetik lokal ke dalam ruang subarachnoid. Teknik ini sederhana, cukup efektif dan
mudah dikerjakan. Pada penatalaksanaan appendicitis dengan indikasi operasi
dilakukan tindakan appendektomi dimana dilakukan pembedahan yang berlokasi
pada abdoimen bagian bawah, maka anastesi yang relevan dengan tindakan ini adalah
yaitu regional anastesi subarachnoid block.
Appendicitis dengan RA-SAB |
26
DAFTAR PUSTAKA
1. Schwartz, I.S., 2000. Principles of Surgery 7th. Penerbit Buku Kedokteran
EGC. Jakarta
2. Sjamsuhidajat, R., dan Jong, W., 2005. Buku Ajar Ilmu Bedah. Edisi revisi.
Penerbit Buku Kedokteran EGC. Jakarta.
3. Kumar, V., 2007. Robins Basic Pathology. Edisi 8. Penerbit Buku
Kedokteran EGC. Jakarta
Appendicitis dengan RA-SAB |
27
4. Collin, B, et al, 1990. Acute Appendicitis Risks of Complications. Official
Journal of The American Academy, Vol 106 No 1. http://www.aafp.org
5. Way, L., Doherty, G., 1994. Current Diagnosis & Treatment. Edisi 11
Penerbit Buku Kedokteran EGC. Jakarta
6. Soeparman, 1998. Ilmu Penyakit Dalam. Jilid II. Balai Penerbit FKUI.
Jakarta
7. Schrock, T., 1995. Ilmu Bedah. Edisi 7. Penerbit Buku Kedokteran EGC.
Jakarta.
8. Sabiston, D., 1994. Buku Ajar Bedah: Essentials Of Surgery. Bagian 2.
Penerbit Buku Kedokteran EGC. Jakarta.
9. Soeparman, 1998. Ilmu Penyakit Dalam. Jilid II. Balai Penerbit FKUI.
Jakarta
10. Dudley, H., 1992. Hamilton Bailey Ilmu Bedah Gawat Darurat. Edisi 11.
Gadjah Mada University Press. Yogyakarta
11. Oswari, E., 2000. Bedah dan Perawatannya. Balai penerbit FKUI. Jakarta.
12. Wiryana I M, Sinarja I K, Sujana I B G, Budiarta I G. 2010. Buku Ajar
Anastesia dan Reanimasi, dr. Gede Mangku, Sp.An. KIC, dr. Tjokorda Gede
Agung Senapati, Sp.An. Indeks, Jakarta. Halaman 87-91, Halaman 136-148.
13. Nuckton TJ, Glidden DV, Browner WS, Claman DM. 2006. Physical
Examination: Malampati score as an independent predictor of obstructive
sleep apnea. Sleep 29(7): 903-8.
Appendicitis dengan RA-SAB |
28
Download