Analisis Persepsi Konsumen Terhadap Daging

advertisement
ANAL
LISIS PE
ERSEPSI KONSUM
MEN TER
RHADAP
P DAGING
KELINC
CI DI KO
OTA BOG
GOR
SKRIP
PSI
HE
ENGKI AG
GUSTIAN
H34070014
DEPART
TEMEN AGRIBIS
A
SNIS
FAKUL
LTAS EK
KONOMI DAN MA
ANAJEM
MEN
IN
NSTITUT
T PERTA
ANIAN BO
OGOR
BOGO
OR
2011
1
RINGKASAN
HENGKI AGUSTIAN Analisis Persepsi Konsumen Terhadap Daging Kelinci
di Kota Bogor. Skripsi. Departemen Agribisnis, Fakultas Ekonomi dan
Manajemen, Institut Pertanian Bogor (Di bawah bimbingan FEBRIANTINA
DEWI).
Peternakan merupakan salah satu subsector pertanian penyuplai protein
hewani yang sangat dibutuhkan oleh masyarakat. Namun saat ini kebutuhan
tersebut sebagian besar masih dipenuhi dengan cara mengimpor. Oleh sebab itu
perlu dikembangkan ternak lokal yang dapat membantu dalam penyediaan protein
hewani. Salah satu potensi ternak lokal yang bisa dikembangkan adalah kelinci.
Kelinci mempunyai banyak keunggulan untuk dikembangkan. Namun pada
kenyataannya daging kelinci belum terlalu dikenal di Kota Bogor.Hal ini salah
satunya disebabkan oleh adanya masalah psikologis yang dihadapi masyarakat
saat mengkonsumsi daging kelinci. Tujuan dari penelitian ini adalah (1)
menganalisis karakteristik konsumen daging kelinci di Kota Bogor (2)
mengetahui persepsi konsumen Kota Bogor terhadap daging kelinci, (3)
menganalisis variabel apa saja yang mempengaruhi persepsi konsumen terhadap
daging kelinci di Kota Bogor, (4) mengetahui konsumen potensial daging kelinci,
dan (5) memberikan rekomendasi bauran pemasaran produk daging kelinci di
Kota Bogor.
Penelitian dilaksanakan di Kota Bogor selama bulan Mei 2011. Responden
yang diambil dalam penelitian ini adalah sebanyak 50 responden yang dipilih
dengan metode convenience. Metode analisis data menggunakan metode
deskriptif dan analisis regresi logistik biner.
Karakteristik konsumen konsumen daging kelinci yang ada di Kota Bogor
dapat dibagi berdasarkan usia, jenis kelamin, pendidikan, pekerjaan, dan
pengeluaran. Berdasarkan usia, mayoritas konsumen berada pada usia produktif,
yaitu antara 31-40 tahun sedangkan jumlah yang paling sedikit adalah pada
kelompok usia 51-65 tahun. Konsumen tersebut mayoritas berjenis kelamin
perempuan dengan tingkat pendidikan tinggi yang didominasi oleh sarjana.
Adapun pekerjaan sebagian besar dari konsumen daging kelinci adalah pegawai
swasta. Untuk tingkat pengeluaran, sebagian besar konsumen berada pada kisaran
antara Rp 1.620.000,00 hingga Rp 2.700.000,00.
Persepsi konsumen dari aspek budaya adalah sangat baik ditinjau dari adat
istiadat dan agama konsumen. Dari aspek sosial, konsumen memberikan persepsi
yang baik terhadap daging kelinci. Untuk aspek psikologis konsumen juga
memberikan persepsi yang baik, hal ini berarti masalah psikologis bagi konsumen
yang mengkonsumsi daging kelinci, tidak terlalu berpengaruh. Sedangkan aspek
bauran pemasaran mendapatkan persepsi tidak baik dari konsumen, terutama
dalam hal promosi. Untuk persepsi keseluruhan, konsumen memberikan persepsi
yang baik terhadap daging kelinci.
Variabel yang memiliki pengaruh nyata dalam pembentukan persepsi
konsumen terhadap daging kelinci ini adalah variabel jenis kelamin. Konsumen
yang berjenis kelamin perempuan cenderung memberikan persepsi yang baik
terhadap daging kelinci 8,3 kali dibandingkan konsumen pria.
Pasar potensial dari daging kelinci inilah adalah para konsumen wanita
golongan ekonomi menengah ke atas dengan menonjolkan aspek kesehatan yang
ditawarkan oleh daging kelinci.
Rekomendasi bauran pemasaran yang bisa dilakukan pemasar antara lain:
membuat produk inovatif, bekerja sama dengan kelompok ternak kelinci,
menetapkan pasar sasaran menengah ke atas, menciptakan layanan delivery order,
membangun lokasi usaha di wilayah yang memiliki konsumen potensial yang
lebih besar, menyebarkan pamflet dan brosur mengenai daging kelinci, mengikuti
pameran-pameran, serta menggunakan media internet.
ANALISIS PERSEPSI KONSUMEN TERHADAP DAGING
KELINCI DI KOTA BOGOR
Hengki Agustian
H34070014
Skripsi ini merupakan salah satu syarat untuk
memperoleh gelar Sarjana Ekonomi pada
Departemen Agribisnis
DEPARTEMEN AGRIBISNIS
FAKULTAS EKONOMI DAN MANAJEMEN
INSTITUT PERTANIAN BOGOR
BOGOR
2011
PERNYATAAN
Dengan ini saya menyatakan bahwa skripsi yang berjudul “Analisis Persepsi
Konsumen Terhadap Daging Kelinci di Kota Bogor” adalah hasil karya sendiri
dan belum pernah digunakan untuk skripsi atau karya ilmiah pada perguruan
tinggi atau lembaga manapun. Sumber informasi yang berasal atau dikutip dari
karya yang diterbitkan maupun tidak diterbitkan dari penulis lain telah disebutkan
dalam teks dan dicantumkan dalam bentuk daftar pustaka di bagian akhir skripsi
ini.
Bogor, Agustus 2011
Hengki Agustian
H34070014
RIWAYAT HIDUP
Penulis dilahirkan di Curup pada tanggal 10 Agustus 1988 dalam keluarga
yang sederhana. Penulis merupakan anak ketiga dari lima bersaudara pasangan
Ramli Sianipar dan Dahliana Silalahi. Penulis memulai pendidikan di SD
Xaverius 20 Curup dari tahun 1995-2001. Lalu pada tahun 2001 hingga 2004
penulis melanjutkan studi di SMP Negeri 1 Curup. Kemudian pada tahun 2001
hingga 2004 penulis menyelesaikan pendidikan di SMA Negeri 1 Curup. Dari SD
hingga SMA penulis mendapatkan beasiswa prestasi dari sekolah. Penulis
diterima di Institut Pertanian Bogor melalui jalur USMI (Undangan Seleksi
Masuk IPB) pada tahun 2007 dan mengikuti Tahap Persiapan Bersama Institut
Pertanian Bogor (TPB IPB). Setelah selesai melalui program TPB, Penulis
melanjutkan pendidikan pada Mayor Departemen Agribisnis Fakultas Ekonomi
dan Manajemen (FEM) dan mengambil minor Agronomi dan Hortikultura.
Selama menjadi mahasiswa di Institut Pertanian Bogor, Penulis aktif
dalam berbagai kegiatan organisasi diantaranya sebagai Kepala Divisi Creativity
and Career Development di HIPMA dan Ketua Divisi Kesejahteraan Masyarakat
ISPC BEM KM. Penulis juga aktif dalam beberapa kegiatan kepanitiaan,
diantaranya adalah Ketua Agricareer 2010 dan Ketua Web Business Workshop
and Competition 2009. Pada tahun 2010 penulis pernah menjadi pembicara dalam
kegiatan inisiasi dan pembentukan kelompok ternak kelinci di Desa Cileungsi,
Kecamatan Ciawi Bogor. Selain itu dari tahun 2009 hingga 2011 Penulis juga
aktif sebagai asisten dosen untuk matakuliah Ekonomi Umum.
KATA PENGANTAR
Puji syukur penulis panjatkan kehadirat Tuhan Yang Maha Esa yang telah
memberikan rahmat dan karunia-Nya kepada penulis, sehingga penulis dapat
menyelesaikan skripsi ini dengan baik. Skripsi ini disusun sebagai salah satu
syarat untuk memperoleh gelar Sarjana Ekonomi pada Departemen Agribisnis,
Fakultas Ekonomi dan Manajemen Institut Pertanian Bogor.
Skripsi berjudul “Analisis Persepsi Konsumen Terhadap Daging Kelinci di
Kota Bogor” bertujuan untuk memberi informasi kepada para konsumen daging
kelinci, calon pengusaha, dan pemerintah daerah yang akan mengembangkan
ternak kelinci mengenai persepsi konsumen Kota Bogor terhadap daging kelinci.
Di samping itu, skripsi ini memberi rekomendasi alternatif bauran pemasaran
berdasarkan analisis persepsi konsumen terhadap bauran pemasaran daging
kelinci di Kota Bogor.
Penulis berharap semoga skripsi ini dapat memberikan dukungan
kontribusi pemikiran bagi semua pihak yang membutuhkannya.
Bogor, Agustus 2011
Hengki Agustian
UCAPAN TERIMA KASIH
Penulis panjatkan kehadirat Tuhan Yang Maha Esa yang telah memberi
rahmat, hidayah, dan karunia, sehingga Penulis dapat menyelesaikan skripsi ini
dengan baik. Selama penyusunan skripsi ini penulis telah banyak dibantu oleh
berbagai pihak baik secara moril maupun materil. Oleh karena itu, penulis juga
mengucapkan terima kasih yang sebesar-besarnya kepada:
1.
Ibu Febriantina Dewi SE, MM, M.Sc selaku dosen pembimbing skripsi yang
telah banyak meluangkan waktunya untuk memberikan bimbingan, ilmu,
saran, motivasi dan pengarahan kepada penulis dalam proses penyusunan dan
penyelesaian skripsi ini.
2.
Dr.Ir.Rita Nurmalina,MS selaku dosen penguji utama yang bersedia
meluangkan waktunya serta berkenan memberikan segala bentuk saran dan
kritik demi kesempurnaan hasil penelitian ini.
3.
Dr.Amzul Rifin,SP,MA selaku dosen penguji wakil komisi pendidikan
Departemen Agribisnis atas segala kritik dan saran yang telah diberikan demi
kesempurnaan hasil penelitian ini.
4.
Dr.Wahyu Budi Priatna selaku dosen pembimbing akademik yang telah
memberikan arahan dan bimbingan selama Penulis kuliah.
5.
Orang tua tercinta (Ramli Sianipar dan Dahliana Silalahi), abang (Herianto
dan Rudi Susanto), serta adik-adikku tercinta (Lestari dan Erni) yang selalu
mendoakan, mendidik, memberi semangat dan memberikan dorongan kepada
penulis sehingga penulis dapat menyelesaikan studi dan penulisan skripsi ini.
Juga buat tulang dan uda yang sudah banyak berkontribusi dalam bentuk
moril dan materil dalam pendidikan yang dijalani Penulis.
6.
Anisa Apriyani yang selalu memberikan semangat, dorongan serta doanya
sehingga penulis bisa menghadapi tantangan yang ada dalam penyelesaian
skripsi ini.
7.
Kakak mentor (Kak Ani, Kak Echa,dan Bang Billy) dan teman-teman Komsel
(Vera, Olin, Sisca, Boris, Retni, Mega, dan Tulus) yang memberikan
semangat, motivasi, doa, bantuan
8.
Aristi Pramadita yang sudah turut membantu penulis dalam banyak hal
selama proses penyelesaian skripsi ini.
9.
Seluruh staff pengajar dan staff pendidikan di Departemen Agribisnis, FEM
IPB.
10. Sahabat-sahabat penulis, teman berekspresi, dan sumber inspirasi: Hatta,
Felicia, Citra, Keluarga Osa, Keluarga Delahoya, dan Keluarga Biboki serta
Biboka.
11. Teman-teman di Agribistic dan D’Cabs Band, semoga musik selalu menjadi
bagian dari napas kita.
12. Teman-teman gladikarya yang sudah menjadi keluarga selama dua bulan:
Ayu, Ungki, Tari dan Amel.
13. Seluruh teman-teman Agribisnis 44 yang selalu bersama-sama membuat
kenangan indah selama kuliah.
14. Semua pihak yang telah membantu penulis selama menyelesaikan skripsi ini
yang tidak dapat Penulis sebutkan satu persatu.
Terimakasih sebesar-besarnya, tanpa kalian Penulis tidak akan mampu
menyelesaikan skripsi ini. Semoga Tuhan
memberikan pahala atas kebaikan
kalian.
Bogor, Agustus 2011
Hengki Agustian
DAFTAR ISI
Halaman
DAFTAR TABEL .........................................................................................................
xi
DAFTAR GAMBAR ...................................................................................................
xiii
DAFTAR LAMPIRAN ……………………………………………………………...
xiv
I
PENDAHULUAN ………………………………………………………………..
1.1 Latar Belakang ………………………………………………………………...
1.2 Perumusan Masalah …………………………………………………………...
1.3 Tujuan Penelitian ……………………………………………………………...
1.4 Manfaat Penelitian …………………………………………………………….
1
1
6
7
7
II TINJAUAN PUSTAKA .......................................................................................
2.1 Sejarah Perkembangan Kelinci ………………………………………………
2.2 Klasifikasi dan Jenis-jenis Kelinci …………………………………………….
2.3 Karakteristik dan Kandungan Gizi Daging Kelinci ………………………….
2.4 Penelitian Terdahulu ………………………………………………………….
9
9
8
11
12
III KERANGKA PEMIKIRAN ……………………………………………………
3.1 Kerangka Pemikiran Teoritis ………………………………………………...
3.1.1 Perilaku Konsumen dan Konsumen ……………………………………
3.1.2 Persepsi …………………………………………………………….......
3.1.2.1 Elemen Persepsi ………………………………………
3.1.2.2 Dinamika Persepsi ……………………………………
3.1.2.3 Proses Persepsi ……………………………………….
3.2 Kerangka Pemikiran Operasional …………………………………………....
15
15
15
16
17
17
19
20
VI METODE PENELITIAN ………………………………………………….......
4.1 Lokasi dan Waktu Penelitian ………………………………………………...
4.2 Metode Penentuan Sampel …………………………………………………..
4.3 Data dan Instrumentasi ………………………………………………............
4.4 Metode Pengolahan dan Analisis Data ……………………………………....
4.4.1 Metode Analisis Deskriptif .....................................................................
4.4.2 Analisis Regresi Logistik ........................................................................
4.4.2.1 Evaluasi Model Logistik ............................................................
4.4.2.2 Nilai Odds ratio ..........................................................................
4.4.3 Skala Likert ............................................................................................
4.5 Definisi Operasional .........................................................................................
24
24
24
25
26
26
28
28
28
32
33
V Gambaran Umum Lokasi Penelitian ...................................................................
5.1 Letak Geografis Kota Bogor ............................................................................
5.2 Keadaan Demografi ..........................................................................................
34
35
36
5.3 Produk Domestik Bruto Regional (PDRB) Kota Bogor ..................................
39
VI Hasil dan Pembahasan .......................................................................................
6.1 Karakteristik Umum Konsumen ......................................................................
6.1.1 Karakteristik Umum Konsumen Berdasarkan Variabel Usia .................
6.1.2 Karakteristik Umum Konsumen Berdasarkan Variabel Jenis Kelamin ..
6.1.3 Karakteristik Umum Konsumen Berdasarkan Variabel Pendidikan.......
6.1.4 Karakteristik Umum Konsumen Berdasarkan Variabel Pekerjaan .........
6.1.5 Karakteristik Umum Konsumen Berdasarkan Variabel Pengeluaran .....
6.1.6 Karakteristik Umum Konsumen Berdasarkan Variabel Suku Bangsa....
6.1.1 Karakteristik Umum Konsumen Berdasarkan Variabel Agama .............
6.2 Persepsi Konsumen Terhadap Daging Kelinci ................................................
6.2.1 Persepsi Konsumen Ditinjau Dari Aspek Budaya ..................................
6.2.2 Persepsi Konsumen Ditinjau Dari Aspek Sosial .....................................
6.2.3 Persepsi Konsumen Ditinjau Dari Aspek Psikologis ..............................
6.2.4 Persepsi Konsumen Ditinjau Dari Aspek Bauran Pemasaran.................
6.2.4.1 Persepsi Konsumen Ditinjau Dari Aspek Produk .......................
6.2.4.1 Persepsi Konsumen Ditinjau Dari Aspek Harga .........................
6.2.4.1 Persepsi Konsumen Ditinjau Dari Aspek Tempat ......................
6.2.4.1 Persepsi Konsumen Ditinjau Dari Aspek Promosi .....................
6.3 Analisis Variabel yang Mempengaruhi Persepsi Konsumen Terhadap
Daging Kelinci .................................................................................................
6.5 Rekomendasi Bagi Pengusaha Daging Kelinci di Kota Bogor ........................
VII Kesimpulan dan Saran .......................................................................................
7.1 Kesimpulan ......................................................................................................
7.2 Saran ................................................................................................................
40
40
40
41
42
42
44
45
45
46
46
49
52
53
54
55
56
58
60
70
69
69
69
DAFTAR PUSTAKA ...................................................................................................
71
LAMPIRAN
DAFTAR TABEL
Nomor
Halaman
1. Angka Kecukupan Gizi (Energi dan Protein)
Rata-Rata yang Dianjurkan untuk Usia 7-19
Tahun (per orang per hari) ..........................................................
2. Rata-rata Konsumsi Protein per Kapita
Menurut Kelompok Makanan2005 – 2009 ................................
1
3
3. Perbandingan Komposisi Kimia Daging Kelinci
Dengan Ternak Lainnya ..............................................................
4
4. Perbandingan Populai Beberapa Hewan Ternak
Di kabupaten Bogor ....................................................................
6
5. Jumlah Responden pada Setiap Kecamatan di Kota Bogor .......
6. Jumlah Penduduk dan Tingkat Kepadatan Penduduk
Berdasarkan Wilayah Kecamatan Di Kota Bogor
25
Pada Tahun 2010 ........................................................................
35
7. PDRB Kota Bogor Atas Dasar Harga Berlaku dan
Atas Dasar Harga Konstan (2000)
Tahun 2005-2009 (Jutaan Rupiah) ............................................
8. PDRB Perkapita Kota Bogor 2005-2009 (Rupiah) hal 37 .........
9. Karakteristik Konsumen Daging Kelinci
di Kota Bogor Berdasarkan Variabel Usia.................................
10. Karakteristik Konsumen Daging Kelinci di Kota
Bogor Berdasarkan Variabel Jenis Kelamin ..............................
11. Karakteristik Konsumen Daging Kelinci di Kota
Bogor
Berdasarkan
Variabel
Tingkat
Pendidikan..................................................................................
12. Karakteristik Konsumen Daging Kelinci di Kota
Bogor Berdasarkan Variabel Pekerjaan .....................................
13. Karakteristik Konsumen Daging Kelinci di Kota
Bogor Berdasarkan Variabel Pengeluaran .................................
14. Karakteristik Konsumen Daging Kelinci di Kota
Bogor Berdasarkan Variabel Suku Bangsa ................................
15. Karakteristik Konsumen Daging Kelinci di Kota
Bogor Berdasarkan Variabel Agama .........................................
16. Sebaran Responden Berdasarkan Skor RataRata Persepsi Konsumen dari Aspek Budaya ............................
17. Sebaran Responden Berdasarkan Skor RataRata Persepsi Konsumen dari Aspek Budaya
(Agama) ....................................................................................
37
37
39
40
41
42
44
45
45
47
48
18. Sebaran Responden Berdasarkan Skor RataRata Persepsi Konsumen dari Aspek Sosial
(Keluarga) .................................................................................
19. Sebaran Responden Berdasarkan Skor RataRata Persepsi Konsumen dari Aspek Sosial
(Kelompok atau komunitas) ......................................................
20. Sebaran Responden Berdasarkan Skor RataRata Persepsi Konsumen dari Aspek Psikologis
(Proses Pemotongan) ................................................................
21. Bentuk Olahan Daging Kelinci yang pernah
Dikonsumsi Responden ............................................................
22. Sebaran Responden Berdasarkan Skor RataRata Persepsi Konsumen dari Aspek Produk
(Rasa) ........................................................................................
23. Sebaran Responden Berdasarkan Skor RataRata Persepsi Konsumen dari Aspek Produk
(Tekstur) .....................................................................................
24. Sebaran Responden Berdasarkan Skor RataRata Persepsi Konsumen dari Aspek Produk
(Bau) .........................................................................................
25. Sebaran Responden Berdasarkan Skor RataRata Persepsi Konsumen dari Aspek Harga .............................
26. Sebaran Responden Berdasarkan Skor RataRata Persepsi Konsumen dari Aspek Lokasi
Penjualan ....................................................................................
27. Sebaran Responden Berdasarkan Skor RataRata Persepsi Konsumen dari Aspek Lokasi
Penjualan ....................................................................................
28. Rataan Keseluruhan Aspek dan Sub Aspek
Analisis Persepsi Konsumen .....................................................
29. Hasil Estimasi Regresi Logistik Terhadap
Variabel-Variabel
yang
Mempengaruhi
Responden untuk Memiliki Persepsi Baik
Terhadap Daging Kelinci ..........................................................
49
50
51
52
53
53
54
55
56
56
57
59
DAFTAR GAMBAR
Nomor
1. Kerangka Pemikiran Operasional .................................................
Halaman
22
DAFTAR LAMPIRAN
Nomor
1. Kuesioner Karakteristik Konsumen ..............................................
2. Kuesioner Gambaran Umum Konsumsi Daging Kelinci .............
3. Kuesioner Persepsi Konsumen .....................................................
Halaman
79
80
81
I.
1.1
PENDAHULUAN
Latar Belakang
Peternakan memegang peranan penting dalam pembangunan nasional dan
perekonomian
Indonesia. Bidang peternakan memiliki kontribusi dalam
pemenuhan kebutuhan hidup manusia yaitu sebagai komoditas utama penghasil
daging, telur, susu, maupun produk sampingan berupa kotoran. Peternakan juga
berkontribusi dalam menyediakan sumber protein dalam bentuk protein hewani.
Protein hewani merupakan bagian yang sangat penting bagi tubuh manusia karena
sifatnya yang sulit digantikan dan merupakan pembawa sifat keturunan dari
generasi ke generasi dan sangat berperan dalam proses perkembangan kecerdasan
manusia dan pembangunan bangsa.
Indonesia, pada saat ini cukup banyak mengalami masalah kesehatan
berupa malnutrisi protein yang cukup besar. Sesuai dengan Angka Kecukupan
Gizi (AKG) dari Departemen Kesehatan, konsumsi ideal protein untuk orang
Indonesia dewasa rata-rata sebesar 55,14 gram/hari. Dari Tabel 1 dapat dilihat
kebutuhan rata-rata protein masyarakat Indonesia.
Tabel 1. Angka Kecukupan Gizi (Energi dan Protein) Rata-Rata yang Dianjurkan
untuk Usia 7-19 Tahun (per orang per hari)
Umur
7-9 tahun
Pria :
10-12 tahun
13-15 tahun
16-19 tahun
Wanita :
10-12 tahun
13-15 tahun
16-19 tahun
Berat Badan
(Kg)
25
Tinggi Badan (Cm)
Energi (Kkal)
Protein (g)
120
1800
45
35
46
55
138
150
160
2050
2400
2600
50
60
65
37
48
50
145
153
154
2050
2350
2200
50
57
50
Sumber: Departemen Kesehatan (2004)
Pada kenyataannya pemenuhan protein di Indonesia masih di bawah AKG
yaitu sebesar 54,35 gram/hari di mana 40,58 persen protein disokong oleh
konsumsi serealia seperti beras. Sedangkan sumber-sumber protein seperti hewan
ternak, susu, sayuran, dan telur hanya dikonsumsi masyarakat berkisar nol hingga
enam persen saja (BPS, 2009). Hal ini dikarenakan pola konsumsi masyarakat
Indonesia yang sebagian besar menjadi beras sebagai makanan pokok sehingga
kontribusi serealia menjadi sangat besar. Pada Tabel 2 disajikan Rata-rata
Konsumsi Protein per Kapita Menurut Kelompok Makanan.
Tabel 2. Rata-rata Konsumsi Protein per Kapita Menurut Kelompok Makanan
(2005 – 2009)
No.
Komoditi
2005
2006
2007
2008
2009
1
Padi-padian
23.69
23.33
22.43
22.75
22.06
2
Umbi-umbian
0.45
0.41
0.4
0.42
0.33
3
Ikan
8.02
7.49
7.77
7.94
7.28
4
Daging
2.61
1.95
2.62
2.4
2.22
5
Telur dan susu
2.71
2.51
3.23
3.05
2.96
6
Sayur-sayuran
2.52
2.66
3.02
3.01
2.58
7
Kacang-kacangan
6.31
5.88
6.51
5.49
5.19
8
Buah-buahan
0.43
0.39
0.57
0.52
0.41
9
Minyak dan lemak
0.48
0.45
0.46
0.39
0.34
10
Bahan minuman
1.08
1
1.13
1.06
0.98
11
Bumbu-bumbuan
0.82
0.81
0.76
0.73
0.68
12
Konsumsi lainnya
1.03
0.95
1.43
1.37
1.21
13
Makanan jadi
6,44
5.83
7,33
8,36
8,10
Jumlah
55.27
53.65
57.66
57.49
54.35
Sumber: BPS (2010)
Pada Tabel 2 dapat dilihat rata-rata konsumsi protein per kapita penduduk
Indonesia sebagian besar masih bergantung pada beras-berasan yang kandungan
proteinnya hanya berkisar antara dua hingga delapan gram, dibandingkan dengan
daging dan telur yang kandungan proteinnya masing-masing berkisar antara 14
sampai 55 gram dan 10 sampai 17 gram. Hal ini dikarenakan masih terbatasnya
kemampuan Indonesia dalam mencukupi sumber protein hewani yang berupa
daging, telur, dan susu melalui hasil dari ternak lokal. Padahal dalam kurun waktu
lima tahun ke depan, kebutuhan protein hewani penduduk Indonesia belum dapat
dipenuhi hanya dengan mengandalkan hasil pemotongan ternak lokal, baik
ruminansia maupun nonruminansia (Balitnak, 2008). Untuk memenuhi kebutuhan
protein asal ternak tersebut, pemerintah melakukan impor ternak bakalan dan
daging dari negara tetangga.
Selama kurun waktu 5 tahun terakhir (2003-2007) angka impor ternak dan
hasil ternak meningkat cukup tajam, baik ternak, hasil ternak, dan bahan baku
pakan dan bahan-bahan selain yang digunakan untuk pangan yang berasal dari
ternak. Sementara nilai ekspor yang masih jauh lebih kecil dibandingkan impor
menyebabkan Indonesia mengalami deficit dalam neraca ekspor impor ternak
seperti yang ditunjukkan pada Tabel 3 berikut:
Tabel 3. Neraca Ekspor-Impor Komoditi Peternakan Tahun 2003-2007 (US$ 000)
No Uraian
Tahun/ Year
.
2003
2004
2005
2006
2007
(2)
(3)
(4)
(5)
(6)
(7)
Ekspor
336.492,6
356.370,1
354.644,8
288.784,9
377.671,9
512.753.0
694.099,1
817.668,2
886.754,4
1.386.482,8
(1)
1
/
Export
2
Impor/
Import
3
Neraca
(176.260,4 (337.729,0 (463.023,4 (597.969,5 (1.008.810,9
/
)
)
)
)
)
Balanc
e
Sumber: Direktorat Jenderal Peternakan Dan Kesehatan Hewan (2010)
Tahun 2003 nilai impor keseluruhan ternak, belum termasuk bahan baku
pakan dan hasil-hasilnya berjumlah US$ 512.753.000 yang identik Rp 4,7 triliun.
(kurs rupiah ekuvalen Rp 9.200). Kemudian pada tahun 2007 ini meningkat
menjadi US$ 1.386.482,8 ribu atau menyedot devisa senilai Rp12,8 triliun, Tetapi
nilai impor tahun 2007 akan semakin membengkak apabila kita memasukkan nilai
impor bahan baku pakan unggas yang bernilai US$ 1.102.373.548,52 atau
berjumlah Rp. 10,2 triliun sehingga nilai impor keseluruhan peternakan untuk
tahun 2007 menjadi berjumlah Rp. 22,9 triliun (Ditjennak 2010). Melihat nilai
impor tehadap hewan ternak yang terus mengalami peningkatan, sudah
seharusnya dikembangkan sumber daya yang ada di negara kita sendiri, misalnya
dengan mengembangkan ternak lokal yang potensial.
Kelinci merupakan ternak potensial yang keberadaannya belum banyak
mendapat perhatian dari berbagai pihak. Menurut Sartika (2009), kelinci cepat
dan mudah berkembang biak, sehingga sangat cocok dikembangkan pada
masyarakat miskin karena hanya membutuhkan input pakan yang relatif murah.
Dengan kemampuan berkembang biak yang sangat cepat, maka kelinci sangat
memungkinkan untuk dikembangkan dalam rangka memenuhi kekurangan
pasokan daging di Indonesia. Selain itu daging kelinci juga lebih sehat,
kandungan kolesterolnya rendah, kandungan proteinnya lebih baik dibandingkan
ayam, babi, domba, dan sapi, serta kotorannya dapat dimanfaatkan untuk
pembuatan pupuk organik sebagai salah satu solusi dalam mencegah pemanasan
global yang saat ini menjadi perhatian dunia. Perbandingan komposisi kimia
antara kelinci dengan ternak lain disajikan dalam Tabel 4.
Tabel 4. Perbandingan Komposisi Kimia Daging Kelinci dan Ternak Lainnya
Jenis
Energi
Sodium
Lemak Jenuh
Kadar Air
Protein
Lemak
(kkal/kg)
(mg/g)
(mg/g)
(%)
(%)
(%)
Kelinci
160
40
Ayam
200
70
Sapi
380
65
Domba
345
Babi
330
37
70
21
8
67
19.5
12
41.3
49
15.5
35
75
55.4
53
15
31
70
38.6
54.5
15
29.5
Sumber: Sarwono (2001)
Komposisi gizi kelinci yang sehat tersebut membuat ternak ini cocok
untuk dijadikan menu diet. Daging kelinci bisa diolah menjadi berbagai produk
turunan, seperti abon, bakso, dendeng, dan sate kelinci. Selain untuk menu diet,
daging kelinci juga bisa mencegah kanker dan menolong penderita asma. Hal ini
dikarenakan kelinci mengandung niasin (8,43 mg/100 gr bahan, setara dengan
42% dari total kebutuhan harian), vitamin B12 (8,3 µg/100 gr bahan), dan
selenium (Se) dengan kadar 38,5 µg/100 gr bahan, suatu jumlah yang dapat
menutupi sekitar 55 persen kebutuhan harian tubuh akan unsur ini dan daging
kelinci juga mengandung ketotifen, yaitu kandungan kimia organik yang mampu
membantu meredakan asma.1
Dari keunggulan-keunggulan tersebut, kelinci sudah seharusnya mampu
menjadi salah satu penyumbang protein nasional yang sangat potensial. Namun
pada kenyataanya masyarakat sendiri secara psikologis masih belum nyaman
mengkonsumsi daging kelinci. Hal ini dikarenakan kelinci umumnya dianggap
sebagai hewan kesayangan yang lucu dan menggemaskan. Bahkan ada yang
menganggap kelinci mirip dengan kucing sehingga tidak tega untuk
1
Pramita Y. 23 Juli 2009. Gizi Kelinci Memang “Nyeni”. Pikiran Rakyat mengkonsumsinya. Hal ini membuat daya terima masyarakat terhadap daging
kelinci juga menjadi sangat rendah.
Bogor merupakan salah satu wilayah yang mulai mengembangkan kelinci
sebagai komoditas hias dan pangan. Pertumbuhan populasi ternak kelinci di
Kabupaten Bogor, yang merupakan lokasi terdekat penghasil daging kelinci bagi
Kota Bogor, menunjukkan peningkatan yang cukup signifikan dari tahun 2008
hingga 2009, yaitu mencapai 24 persen di mana pada tahun 2008 jumlah populasi
kelinci di Kabupaten Bogor sebanyak 11.362 menjadi 14.165 pada tahun 2008
(Disnakan 2010). Hal ini diikuti dengan mulai menjamurnya usaha pengolahan
daging kelinci di kawasan puncak dan sekitarnya. Namun para pengusaha
pengolah daging kelinci tersebut mengeluhkan antusiasme dari warga Bogor yang
masih sangat rendah dalam mengkonsumsi daging kelinci. Sehingga pertumbuhan
usaha mereka terkesan lambat. Kebanyakan dari masyarakat sekitar masih awam
dengan daging kelinci untuk dikonsumsi. Hal ini dikarenakan kelinci merupakan
hewan kesayangan yang lucu dan sangat menggemaskan sehingga menimbulkan
hambatan psikologis untuk mengkonsumsinya.
Daging kelinci merupakan produk baru di Kota Bogor yang sangat
prospektif dikembangkan namun belum mendapatkan penerimaan dari masyarakat
luas, maka perlu dilakukan analisis mengenai konsumen daging kelinci di Kota
Bogor. Adapun analisis yang akan dilakukan adalah mengenai persepsi konsumen
dan penjabaran mengenai karakteristik konsumen daging kelinci di Kota Bogor.
Hal ini sangat penting dilakukan agar para pengusaha maupun calon pengusaha
yang akan masuk ke dalam industri pangan olahan berbahan baku daging kelinci
memiliki gambaran mengenai konsumen yang akan menjadi sasaran mereka
sehingga pemasaran yang dilakukan bisa lebih efektif. Selain itu, dari persepsi
konsumen yang sudah mengkonsumsi daging kelinci tersebut, bisa menjadi acuan
bagi konsumen lain yang belum pernah mengkonsumsi daging kelinci, sehingga
diharapkan mampu meningkatkan penerimaan konsumen terhadap daging kelinci.
1.2 Rumusan Masalah
Kelinci merupakan salah satu komoditas pangan penghasil daging yang
mulai dikembangkan di wilayah Bogor. Hal ini dikarenakan berbagai keunggulan
yang dimiliki oleh daging kelinci dibandingkan dengan ternak lainnya. Di wilayah
Bogor sendiri populasi kelinci mengalami peningkatan sebesar 24,67 persen
dimana tahun 2008 populasi kelinci sebanyak 11,362 ekor menjadi 14,165 ekor
pada tahun 2009. Pertumbuhan ini dikarenakan pemerintah Bogor mulai gencar
menggalakkan pengembangan ternak kelinci di wilayah Bogor, salah satunya
melalui pembentukan kampong kelinci. Pemerintah daerah Bogor membagikan
bantuan dalam bentuk ternak kelinci kepada kelompok tani dan masyarakat
miskin di wilayah Bogor untuk dikembangkan menjadi usaha kelompok maupun
keluarga.
Pertumbuhan populasi kelinci di kawasan Bogor ini lebih tinggi
dibandingkan dengan beberapa ternak seperti ayam petelur, itik, sapi potong,
kerbau, dan kambing non PE. Perbandingan tingkat pertumbuhan populasi
beberapa hewan ternak tersebut disajikan pada Tabel 5 berikut.
Tabel 5. Perbandingan Tingkat Pertumbuhan Populasi Beberapa Hewan Ternak
di Kabupaten Bogor (2008-2009)
No.
Jenis Ternak
Tingkat Pertumbuhan Populasi
(%)
1.
Kelinci
2.
Ayam Petelur
3.
Itik
4,27
4.
Sapi Potong
-3,98
5.
Kerbau
0,89
6.
Kambing Non PE
5,29
24,67
11
Sumber: Disnakan Kabupaten Bogor (2010)
Pertumbuhan populasi kelinci tersebut ternyata tidak menunjang
pertumbuhan usaha makanan olahan dari daging kelinci. Dari hasil wawancara
dengan beberapa pemilik usaha yang menjual pangan olahan dari daging kelinci,
dari waktu ke waktu pengunjung mereka mulai menurun. Sehingga pemesanan
kelinci potong pun tidak rutin dilakukan, hanya sebatas jika ada pesanan.
Meskipun daging kelinci mempunyai nilai gizi yang lebih unggul dibanding
daging yang berasal dari ternak lainnya, namun pada kenyataannya daging kelinci
belum memasyarakat. Hal ini dikarenakan adanya beberapa hambatan psikologis
dan teknis, antara lain kelinci merupakan hewan kesayangan, dan bentuknya mirip
kucing dan tikus, serta adanya anggapan bahwa kelinci tidak halal untuk dimakan.
Kehalalan daging kelinci telah terjamin dengan terbitnya Fatwa MUI pada tanggal
12 Maret 1983 M yang menetapkan bahwa memakan daging kelinci hukumnya
halal (Balitnak, 2010).
Kurang populernya daging kelinci di masyarakat kemungkinan pada
adanya kebiasaan makan (food habit) yang susah dirubah karena manusia
biasanya memiliki ikatan batin, loyalitas dan sensitifitas terhadap kebiasaan
makannya, meskipun dalam jangka waktu yang lama dapat ditembus pula pola
kebiasaan makan tersebut, disamping itu efek psikologis sangat mendominasi
kebiasaan makan daging kelinci dan sementara pihak ada yang beranggapan
bahwa daging kelinci mempunyai rasa khas yang belum tentu dapat diterima oleh
semua orang (Suradi, 2003).
Fannani (2006) dalam penelitiannya menyatakan bahwa perkembangan
usaha sate kelinci di Kota Bogor, berjalan dengan sangat lambat. Hal itu bisa
dilihat dari kuantitas produsen olahan daging kelinci yang bisa ditemui oleh
penulis. Beberapa faktor yang menyebabkan perkembangan usaha ini terhambat
seperti: pasokan daging kelinci yang cukup sulit dan mahal, serta persepsi
konsumen yang masih awam terhadap kelinci.
Dari pemaparan di atas, maka didapat rumusan masalah sebagai berikut:
1. Bagaimana karakteristik konsumen daging kelinci di Kota Bogor?
2. Bagaimana persepsi konsumen terhadap daging kelinci di Kota Bogor?
3. Apa saja variabel yang mempengaruhi persepsi konsumen terhadap daging kelinci
di Kota Bogor?
4. Apa saja yang dapat dilakukan dalam menjalankan usaha daging kelinci di Kota
Bogor?
1.3 Tujuan
1. Menganalisis karakteristik konsumen daging kelinci di Kota Bogor.
2. Mengetahui persepsi konsumen Kota Bogor terhadap daging kelinci.
3. Menganalisis variabel apa saja yang mempengaruhi persepsi konsumen terhadap
daging kelinci di Kota Bogor.
4. Memberikan rekomendasi kepada pihak pengusaha yang baru akan memulai
usaha daging kelinci atau yang akan mengembangkan usaha daging kelinci di
Kota Bogor.
1.4 Manfaat
Hasil penelitian ini diharapkan dapat memberikan manfaat bagi berbagai
pihak, diantaranya:
1. Bagi mahasiswa, penelitian ini menjadi sarana untuk menambah wawasan dan
aplikasi dari teori yang didapatkan diperkuliahan. Diharapkan pula penelitian ini
bisa menjadi referensi bagi mahasiswa lain untuk penelitian lainnya.
2. Bagi para pengusaha produk olahan daging kelinci, penelitian ini bermanfaat
dalam memberikan data mengenai pasar potensial dan konsumen sasaran dari
produk turunan daging kelinci.
3. Bagi para peternak kelinci, hasil penelitian ini bisa digunakan dalam mengambil
keputusan mengenai komposisi pemeliharaan kelinci hias dan kelinci pedaging.
II. TINJAUAN PUSTAKA
2.1 Sejarah Perkembangan Kelinci
Kelinci semula merupakan
hewan liar yang sulit dijinakkan. Kelinci
dijinakkan sejak 2000 tahun silam dengan tujuan keindahan, bahan pangan dan
sebagai hewan percobaan. Hampir setiap negara di dunia memiliki ternak kelinci
karena kelinci mempunyai daya adaptasi tubuh yang relatif tinggi sehingga
mampu hidup di hampir seluruh dunia. Kelinci dikembangkan di daerah dengan
populasi penduduk relatif tinggi, Adanya penyebaran kelinci juga menimbulkan
sebutan yang berbeda, di Eropa disebut rabbit, Indonesia disebut kelinci, Jawa
disebut trewelu dan sebagainya. Adapun menurut Kartadisastra (1994)
domestikasi kelinci pertama kali dilakukan oleh bangsa romawi yang
menginginkan sumber pangan yang mudah. Domesitikasi dilakukan dari kelincikelinci hutan yang liar, proses domestikasi ini pun untuk selanjutnya menyebar ke
wilayah eropa tengah dan wilayah eropa timur.
Peternakan kelinci sudah dikembangkan di Indonesia sejak tahun 1837
yang konon dibawa oleh orang-orang Belanda sebagai kelinci hias. Kelinci pada
awalnya merupakan hewan kesayangan yang dimiliki oleh tuan tanah. Progam
pengembangan kelinci ditujukan untuk mengurangi rawan gizi telah dilakukan
pemerintah pada tahun 1980, selanjutnya pada Tahun 1990 pemerintah sudah
menerbitkan Pedoman Teknis Perusahaan Peternakan Kelinci sebagai upaya
mendorong perkembangan budidaya kelinci di masyarakat. Namun sampai saat
ini perkembangannya mengalami hambatan karena perbedaan tujuan produksi
dalam pengembangannya (Balitnak, 2010).
2.2 Klasifikasi dan Jenis-jenis Kelinci
Kelinci domestik (Oryctolagus cuniculus) yang ada saat ini berasal dari
kelinci liar di Eropa dan Afrika Utara. Beberapa bangsa kelinci ditemukan pada
abad ke 16 yang menyebar di Perancis dan Italia.
Pada mulanya kelinci
diklasifikasikan dalam ordo rodensia (binatang mengerat) yang bergigi seri
empat, tetapi akhirnya dimasukkan dalam ordo lagomorpha karena bergigi seri
enam). Kelinci (Oryctolagus cuniculus) diklasifikasikan dalam Kerajaan
Animalia, filum Chordata,
kelas Mammalia, ordo Lagomorpha, famili
Leporidae, genus Oryctolagus dan spesies O. cuniculus (Spacerad.com 2004).
Sementara Kartadisastra (1994) membagi genus kelinci menjadi kelompok yang
lebih spesifik, antara lain: Lepus (Genuine Hare) , Orictalagos (European Rabbit),
Sylvilagus (Cooton Tail Rabbit), Pronolagus (Red Hare), Bunolagus (Bushman
Hare), Pentalagus (Riu,Kiu Rabbit), Caprolagus (Brietle Rabbit), Poelagus
(African Rabbit), Nesolagus (Sumatera Rabbit), Romerolagus (Volcano Rabbit),
dan Brachyalgus (Dwarft Rabbit).
Lebas et al. (1986), diacu dalam Balitnak (2010) mengelompokkan kelinci
menjadi kelinci besar, kelinci medium, kelinci ringan dan kelinci kecil
berdasarkan ukuran tubuh dewasa, pertumbuhan rata-rata, dan umur mulai
dewasa.
1.
Kelinci besar adalah kelinci dengan bobot dewasa lebih dari 5.0 kg, potensi
pertumbuhan bangsa ini dapat dieksploitasi terutama untuk persilangan. Termasuk
kelompok ini adalah kelinci Bouscat Giant White, French Lop, Flemish Giant dan
French Giant Papillon. Bangsa ini secara genetik dapat memperbaiki
pertumbuhan pada bangsa lain.
2. Kelinci medium adalah kelinci dengan bobot dewasa 3.5-4.5 kg, kelinci ini
merupakan kelinci yang dapat dipelihara secara intensif untuk produksi daging.
Kelinci ini memilki nilai productivitas unggul yaitu fertilitas yang tinggi,
pertumbuhan cepat, perkembangan perototan yang bagus, kualitas daging yang
baik. Bangsa kelinci yang termasuk kedalam bangsa ini adalah English Silver,
German Silver, Champagne d’Argent, New Zealand Red, New Zealand White dan
Grand Chinchilla.
3. Kelinci ringan adalah kelinci dengan bobot dewasa 2.5-3.0 kg, kelinci tipe ringan
dapat berkembang dengan sangat cepat dan merupakan induk yang baik.
Konsumsi pakan lebih sedikit daripada kelinci tipe besar dan medium, dan bisa
disilangkan untuk menghasilkan tipe ringan dengan berat karkas 1.0-1.2 kg. Tipe
ini terdiri atas Himalaya, Small Chinchilla, Dutch, dan French Havana.
4. Kelinci kecil (kerdil) adalah kelinci dengan bobot dewasa 1 kg, kelinci jenis ini
banyak digunakan sebagai kelinci pertunjukkan dan sebagai hewan kesenangan.
Kelinci tipe ini diantaranya adalah Netherland Dwarf dan Polish Dwarf.
Jenis yang umum diternakkan adalah American Chinchilla, Angora,
Belgian, Californian, Dutch, English Spot, Flemish Giant, Havana, Himalayan,
New Zealand Red, White dan Black, Rex Amerika. Kelinci lokal yang ada
sebenarnya berasal dari dari Eropa yang telah bercampur dengan jenis lain hingga
sulit dikenali lagi. Jenis New Zealand White dan Californian sangat baik untuk
produksi daging, sedangkan Angora baik untuk bulu.
2.3 Karakteristik dan Kandungan Gizi Daging Kelinci
Karakteristik daging kelinci diantaranya : berwarna putih, serat halus dan
pendek seperti daging ayam dan juga rasa selezat daging ayam, warna sedikit
pucat, lemak rendah, glikogen tinggi, kalori rendah, kolesterol rendah, Natrium
rendah, mudah dikunyah, kadar air rendah, asam lemak tak jenuh dalam daging
kelinci lebih banyak dibanding daging lainnya dan asam lemak jenuhnya lebih
sedikit . Seperti kita ketahui bahwa asam lemak tidak jenuh tidak akan
membentuk kolesterol dibandingkan dengan asam lemak jenuh. Selain itu daging
kelinci (yang disebut juga sebagai daging putih) memiliki tingkat keempukan
yang lebih baik dibandingkan dengan daging merah. Hal ini dikarenakan seratnya
yang lebih halus dan lebih besar dibandingkan dengan daging merah (Balitnak,
2010).
Daging kelinci memiliki kandungan protein tinggi, rendah lemak dan
rendah kolesterol, sehingga dapat disebut sebagai ‘daging sehat’ (Yono dan
Ridwan 2004; Kusmayadi 2005). Daging kelinci diketahui memilki kandungan
kolesterol yang rendah sehingga baik bagi kesehatan dan juga dapat digunakan
dalam program diet.
Komposisi gizi kelinci yang sehat tersebut membuat ternak ini cocok
untuk dijadikan menu diet. Daging kelinci bisa diolah menjadi berbagai produk
turunan, seperti abon, bakso, dendeng, dan sate kelinci. Selain untuk menu diet,
daging kelinci juga bisa mencegah kanker dan menolong penderita asma. Hal ini
dikarenakan kelinci mengandung niasin (8,43 mg/100 gr bahan, setara dengan 42
persen dari total kebutuhan harian), vitamin B12 (8,3 µg/100 gr bahan), dan
selenium (Se) dengan kadar 38,5 µg/100 gr bahan, suatu jumlah yang dapat
menutupi sekitar 55 persen kebutuhan harian tubuh akan unsur ini dan daging
kelinci juga mengandung ketotifen untuk membantu para penderita asma. Daging
kelinci sendiri dapat dijadikan sebagai pangan olahan dalam bentuk sate, nugget,
abon, dendeng, dan bakso.
2.4 Penelitian Terdahulu
Penelitian terhadap konsumen daging kelinci masih sangat jarang
dilakukan. Hal ini dikarenakan perkembangan daging kelinci sebagai produk
pangan masih tergolong baru. Hal ini menyebabkan sebagian besar pustaka
diambil dari penelitian mengenai persepsi konsumen.
Fannani (2006) menganalisis mengenai respon dan kepuasan konsumen
terhadap sate kelinci Kedai Daci di Kelurahan Ciparigi, Kotamadya Bogor, Jawa
Barat. Responden diambil secara Convenient Sampling, dimana responden adalah
konsumen yang sedang membeli sate kelinci di Kedai Daci. Ditentukan pula
responden merupakan warga yang benar-benar tinggal di Ciparigi. Dari data
responden yang didapatkan oleh peneliti dapat dilihat bahwa, 51 persen responden
berasal dari Keluarga Sejahtera II, 26 persen dari Keluarga Sejahtera III, dan
Keluarga Sejahtera III Plus sebanyak 23 persen. Namun jika kita bandingkan
secara langsung antara jumlah responden dari masing-masing kelas sosial dengan
jumlah masyarakat dari masing-masing kelas sosial di atas, maka persentase
terbesar dari responden yang berbelanja ke Kedai Daci adalah berasal dari
Keluarga Sejahtera III yaitu sebesar 4,98 persen, dikuti oleh Keluarga Sejahtera
III Plus dan Keluarga Sejahtera I, masing-masing sebesar 4,82 dan 2,44 persen.
Jika dilihat dari tingkat pendidikan responden, mayoritas konsumen sate
kelinci di Kedai Daci berpendidikan di atas SLTA dengan rincian sebagai berikut:
sarjana/S1, D3, Pasca Sarjana, SLTA, dan SLTP masing-masing sebesar 41, 17,
13, 17, dan 1 persen. Hal ini menunjukkan bahwa sebagian besar konsumen
daging kelinci adalah masyarakat dengan tingkat pendidikan yang tinggi. Dan hal
ini berkorelasi dengan alasan para responden membeli sate daging kelinci, dimana
mayoritas (39 persen) mengonsumsi sate kelinci karena proteinnya yang tinggi.
Pada hasil penelitiannya, Fannani telah menyinggung kurangnya minat
masyarakat Bogor untuk mengonsumsi kelinci masih sangat rendah dipengaruhi
oleh persepsi konsumen, namun Fannani belum membahas mengenai persepsi
tersebut secara detail. Untuk karakteristik konsumen daging kelinci sendiri
memang sudah sedikit dibahas oleh Fannani namun terbatas pada masyarakat di
wilayah Ciparigi saja dan belum dibahas bagaimana pengaruh karakteristik
tersebut terhadap keinginan untuk mengonsumsi daging kelinci serta bagaimana
signifikansi dari karakteristik tersebut.
Sementara itu, Wicaksena (2006) menganalisis persepsi konsumen
terhadap kopi bubuk torabika di Jakarta Timur. Tujuan dari penelitian ini adalah
untuk menganalisis persepsi konsumen atas harga, merek, dan kualitas kopi bubuk
torabika dibandingkan dengan produk pesaing. Metode yang digunakan dalam
penelitian ini adalah analisis deskriptif, diagram ular, dan perceived quality
analysis. Analisis deskriftif digunakan untuk menilai karakteristik responden dan
persepsi konsumen terhadap harga kopi bubuk Torabika dan Kapal Api. Diagram
ular digunakan untuk mengetahui bagaimana persepsi merek kopi bubuk Torabika
terhadap kopi bubuk Kapal Api, sedangkan perceived quality analysis digunakan
untuk mengukur apakah kopi bubuk Torabika memberikan nilai yang sesuai
dengan harapan konsumen. Adapun untuk perolehan responden digunakan sampel
fraction dari sepuluh kecamatan di Jakarta timur berdasarkan populasinya.
Persamaan antara penelitian yang akan peneliti lakukan dan yang telah dilakukan
Wicaksena terdapat pada metode perolehan sampel yang telah disebutkan di atas.
Hal ini dikarenakan peneliti memiliki kesamaan dalam hal lingkup geografis yang
akan diteliti yaitu satu wilayah kota dengan jumlah populasi yang tidak diketahui.
Sedangkan perbedaan penelitian ini terletak pada komoditi yang dianalisis, lokasi
penelitian, dan metode analisis.
Penelitian mengenai persepsi konsumen juga dilakukan oleh Nurmarchus
(2006) yang menganalisis mengenai pola konsumsi dan persepsi konsumen
terhadap ikan laut di Kota Bogor. Tujuan dari penelitian ini adalah untuk
mengetahui gambaran karakteristik konsumen ikan laut di Kota Bogor,
menganalisis hubungan antara tingkat pendidikan, pendapatan, pengetahuan gizi,
pekerjaan dan status sosial dengan frekuensi ikan laut, mengetahui pola konsumsi
ikan laut di Kota Bogor, dan menganalisis persepsi konsumen terhadap ikan laut
di Kota Bogor. Metode analisis yang digunakan adalah metode analisis deskripstif
untuk menganalisis pola konsumsi ikan laut, metode analisis Chi-square untuk
menganalisis karakteristik konsumen, dan model sikap multiatribut Fishbein
untuk menganalisis persepsi konsumen. Adapun pengambilan sampel dilakukan
dengan pendekatan lingkungan fisik dan tempat tinggal dimana dari 100 sampel
ibu rumah tangga yang diambil kemudian dibagi menjadi tiga kelas yaitu kelas
bawah, menengah, dan atas.
Julaeha (2010) menganalisis mengenai persepsi dan sikap konsumen
terhadap produk Oreo setelah adanya isu melamin. Adapun tujuan dari penelitian
ini antara lain, untuk menganalisis tingkat pengetahuan keamanan pangan
responden, menganalisis tingkat persepsi konsumen terhadap produk oreo setelah
adanya isu melamin, menganalisis tingkat sikap responden terhadap produk Oreo
setelah adanya isu melamin, dan menganalisis faktor-faktor yang mempengaruhi
persepsi dan sikap terhadap produk Oreo setelah adanya isu melamin.
Pengambilan sampel pada penelitian ini menggunakan Cluster Sampling. Teknik
pengolahan dan analisis data menggunakan tabulasi deskriptif, analisis skala
Likert, dan regresi logistik. Persamaan dengan penelitian ini adalah pada teknik
analisis data, yaitu menggunakan tabulasi deskriptif, analisis skala Likert, dan
regresi logistik. Pada analisis regresi logistic yang digunakan, terdapat beberapa
perbedaan variabel. Untuk analisis regresi logistik, Julaeha menggunakan
beberapa variabel, antara lain: jenis kelamin, usia, uang saku, tingkat pengetahuan
keamanan pangan, dan tingkat pengetahuan terhadap produk oreo. Sedangkan
untuk penelitian yang akan dilakukan ini, variabel yang digunakan antara lain:
usia, jenis kelamin, pekerjaan, pendidikan, dan tingkat pengeluaran. Dari hasil
penelitian Julaeha, faktor yang memiliki pengaruh yang signifikan hanyalah faktor
pengetahuan pangan1, yaitu tingkat pengetahuan pangan sedang. Perbedaan lain
dari penelitian ini dengan penelitian yang telah dilakukan Julaeha adalah dari sisi
komoditas, lokasi penelitian, dan metode pengumpulan data.
III Kerangka Pemikiran
3.1 Kerangka Pemikiran Teoritis
Beberapa teori yang digunakan sebagai bahan acuan meliputi teori
konsumen dan perilaku konsumen,teori persepsi, baik elemen-elemen persepsi
maupun dinamika persepsi, dan teori sikap konsumen.
3.1.1 Konsumen dan Perilaku Konsumen
Menurut Undang-Undang Nomor 8 mengenai perlindungan konsumen,
konsumen didefinisikan sebagai setiap orang pemakai barang dan atau jasa yang
tersedia dalam masyarakat, baik bagi kepentingan sendiri, keluarga, orang lain,
maupun makhluk hidup lain dan tidak untuk diperdagangkan. Dengan kata lain
konsumen dapat didefinisikan sebagai orang yang melakukan tindakan
menghabiskan nilai barang dan jasa setelah mengeluarkan sejumlah biaya dengan
tujuan utama untuk memenuhi kebutuhan dan diukur sebagai kepuasan yang
diperoleh. Besarnya kepuasan konsumen diukur dari sejumlah nilai yang
diperoleh dari mengonsumsi suatu barang dan jasa terhadap biaya yang
dikeluarkan (Kotler, 2000).
Konsumen
memiliki
kekuasaan
penuh
untuk
menentukan
atau
memutuskan mengonsumsi suatu barang. Kebutuhan ini merupakan kebutuhan
dasar dan alami, sehingga kebutuhan tidak bisa diciptakan melainkan oleh
konsumen itu sendiri. Namun dalam praktiknya, kebutuhan dapat ditimbulkan
melalui stimuli yang diciptakan oleh pemasar.
Perilaku konsumen menurut Loudon dan Della Bitta (1995) adalah
"consumer behaviour may be defined as decision process and physical motivity
indivials image in when evaluating, acquiting, using or disposing of goods and
service". (perilaku konsumen dapat didefinisikan sebagai proses pengambilan
keputusan dan aktivitas individu secara fisik dalam mengevaluasi, memperoleh,
menggunakan atau dapat mempergunakan barang dan jasa).
Perilaku konsumen didefinisikan juga sebagai tindakan-tindakan yang
langsung terlibat dalam mendapatkan, mengonsumsi, dan menghabiskan produk
dan jasa, termasuk proses keputusan yang mendahului dan mengikuti tindakantindakan tersebut (Engel: et al 1994). Mempelajari perilaku konsumen berarti
mempelajari bagaimana konsumen membuat keputusan untuk menggunakan
sumber daya yang dimilikinya (waktu, uang, usaha) untuk memperoleh barang
atau jasa yang diinginkan.
3.1.2 Persepsi
Menurut Kotler dan Amstrong (2001), terdapat beberapa faktor utama
yang mempengaruhi perilaku konsumen dalam mengonsumsi yaitu faktor budaya,
faktor sosial, faktor pribadi, dan faktor psikologis. Sebuah proses internal yang
dinamakan persepsi, yang bermanfaat sebagai sebuah alat penyaring (filter) dan
sebagai metode untuk mengorganisasi stimuli yang memungkinkan kita
menghadapi lingkungan kita. Proses persepsi tersebut menyediakan mekanisme
melalui seleksi stimuli dan dikelompokkan dalam wujud yang berarti. Akibatnya
adalah bahwa kita lebih dapat memahami gambaran mengenai lingkungan yang
diwakili oleh stimuli tersebut.
Persepsi merupakan aktivitas penting yang menghubungkan konsumen
individual dengan kelompok, situasi dan pengaruh pemasar (Hawkins et al 1996).
Persepsi didefinisikan sebagai proses dimana individu memilih, mengorganisasi
dan mengiterpretasikan stimuli ke dalam gambaran yang mempunyai arti dan
masuk akal sehingga dapat dimengerti. Menurut Kotler (2001) persepsi
merupakan proses bagaimana individu memilih, mengorganisasikan, dan
mengintepretasikan masukan-masukan informasi untuk menciptakan gambaran
dunia yang memiliki arti. Persepsi meliputi semua proses yang dilakukan
seseorang dalam memahami informasi mengenai lingkungannya. Proses
pemahaman ini melalui penglihatan, pendengaran, penyentuhan perasaan dan
penciuman. Jika informasi berasal dari suatu situasi yang telah diketahui
seseorang, maka informasi tersebut akan mempengaruhi cara seseorang
mengorganisasikan persepsinya. Hasil pengorganisasian persepsinya mengenai
suatu informasi dapat berupa pengertian tentang suatu obyek tersebut.
Dari definisi persepsi di atas dapat ditarik kesimpulan bahwa persepsi
merupakan suatu proses bagaimana seseorang menyeleksi, mengatur dan
menginterpretasikan stimuli yang diterima oleh organ indera untuk diolah menjadi
suatu informasi yang utuh dan menimbulkan suatu citra terhadap objek tertentu.
3.1.2.1 Elemen Persepsi
Persepsi terdiri dari beberapa elemen yang terdiri dari sensasi, ambang
mutlak, ambang diferensial, dan persepsi subliminal. Sensasi adalah jawaban atau
tanggapan langsung dari organ sensorik, seperti mata, telinga, mulut, dan kulit
terhadap stimuli yang sederhana. Sedangkan stimuli adalah unit input produk
terhadap indera manusia, seperti produk, kemasan, merek, dan iklan. Sensasi
sangat tergantung pada faktor seberapa efektif stimuli terjadi.
Ambang mutlak adalah batas minimum yang menyebabkan konsumen
dapat merasakan sensasi. Hal ini dapat digambarkan sebagai keadaan di mana
konsumen dapat merasakan perbedaan antara ada dan tidaknya suatu stimuli.
Ambang diferensial adalah perbedaan minimum yang dapat dideteksi antara dua
stimuli yang serupa. Ambang diferensial memberikan gambaran bahwa semakin
besar stimuli awal mengharuskan stimuli berikutnya lebih besar untuk menarik
sensasi konsumen. Persepsi subliminal adalah kondisi dimana stimuli berada di
bawah ambang, sehingga menyebabkan tidak timbulnya sensasi secara optimal
bagi konsumen.
3.1.2.2 Dinamika Persepsi
Persepsi yang dihasilkan individu tidak akan pernah serupa untuk realitas
yang sama. Setiap perubahan lingkungan yang terjadi akan diterima oleh sensor
manusia dengan sensasi yang berbeda-beda. Persepsi setiap individu memiliki
keunikan yang menyebabkan berbeda satu sama lain karena perbedaan individu
dalam memiliki harapan, kebutuhan, keinginan, dan pengalaman sebelumnya
dalam mengonsumsi suatu produk.
Dalam dinamikanya, perbedaan persepsi setiap individu berawal dari
perbedaan dalam perceptual selection, perceptual organization, dan perceptual
interpretation. Perceptual selection merupakan kemampuan individu dalam
menerima stimuli berdasarkan kemampuan otak. Stimuli yang diseleksi untuk
diterima oleh otak manusia tergantung pada dua faktor, yaitu faktor stimuli dan
faktor personal. Faktor stimuli merupakan stimulus yang dapat menarik perhatian
konsumen, seperti: sifat alami produk dan keunikannya, merek produk, warna,
kemasan, dan posisinya. Faktor personal adalah faktor yang berasal dari individu
itu sendiri untuk menentukan stimuli diseleksi atau tidak. Faktor personal meliputi
harapan, pengalaman sebelumnya, motif pembelian, dan pengenalan kebutuhan.
Faktor personal inilah yang menyebabkan perceptual selection setiap individu
berbeda.
Individu tidak langsung menyerap stimuli yang berasal dari lingkungan.
Setiap stimuli yang ada di lingkungan sekitar akan diadakan pengorganisasian
secara utuh dan menyatu, bukan secara terpisah-pisah. Pengorganisasian terhadap
stimuli disebut perceptual organization. Perceptual organization dilakukan
berdasarkan tiga prinsip, yaitu figure dan latar belakang (figure and ground),
pengelompokan (grouping), dan penyelesaian (closure). Stimuli yang mudah
diingat adalah stimuli yang memberikan sensasi berbeda kepada individu.
Perceptual interpretation adalah proses memberikan arti kepada stimuli
sensoris. Interpretasi juga memiliki keunikan tersendiri dari setiap individu karena
dipengaruhi oleh pengalaman masa lalu, kejelasan informasi, dan motif individu.
Stimuli terkadang begitu ambigu bagi konsumen. Namun, pengalaman
sebelumnya serta cara berinteraksi individu terhadap lingkungannnya dapat
membantu untuk mendefinisikan stimuli. Ketika stimuli berada pada taraf
ambiguitas maksimum, maka individu menginterpretasikan stimuli secara
berbeda-beda sesuai dengan kebutuhan, harapan, dan motif mereka masingmasing. Jauh dekatnya interpretasi individu dengan realitas tergantung pada
kejelasan stimuli, pengalaman masa lalu serta motivasi dan minat individu
tersebut saat pembentukan persepsi.
Persepsi melekat pada benak konsumen dalam jangka waktu yang lama.
Konsumen akan memandang suatu produk secara berbeda tergantung persepsinya.
Hal ini menunjukkan bahwa konsumen memandang berdasarkan citra (image)
produk. Produk yang tidak memiliki citra berarti di mata konsumen belum mampu
mendapatkan persepsi yang konsisten dalam waktu yang lama. Karena persepsi
menyangkut citra produk, maka riset tentang persepsi sama dengan riset citra
produk atau merek (brand image).
3.1.2.3 Proses Persepsi dan Sifat Persepsi
Alport diacu dalam Mar’at (1991) menjelaskan proses persepsi merupakan
suatu proses kognitif yang dipengaruhi oleh pengalaman, cakrawala, dan
pengetahuan individu. Pengalaman dan proses belajar akan memberikan bentuk
dan struktur bagi objek yang ditangkap panca indera, sedangkan pengetahuan dan
cakrawala akan memberikan arti terhadap objek yang ditangkap individu, dan
akhirnya komponen individu akan berperan dalam menentukan tersedianya
jawaban yang berupa sikap dan tingkah laku individu terhadap objek yang ada.
Persepsi merupakan suatu yang terjadi dalam tahap-tahap berikut, antara lain:
1) Tahap pertama, merupakan tahap yang dikenal dengan nama proses kealaman
atau
proses fisik, merupakan proses ditangkapnya suatu stimulus oleh alat
indera manusia.
2) Tahap kedua, merupakan tahap yang dikenal dengan proses fisiologis,
merupakan proses diteruskannya stimulus yang diterima oleh reseptor (alat
indera) melalui saraf-saraf sensorik.
3) Tahap ketiga, merupakan tahap yang dikenal dengan nama proses psikologik,
merupakan proses timbulnya kesadaran individu tentang stimulus yang
diterima reseptor.
4) Tahap ke empat, merupakan hasil yang diperoleh dari proses persepsi yang
berupa tanggapan dan perilaku.
Berdasarkan pendapat para ahli yang telah dikemukakan, bahwa proses
persepsi melalui tiga tahap, yaitu:
1) Tahap penerimaan stimulus, baik stimulus fisik maupun stimulus sosial melalui
alat indera manusia, yang dalam proses ini mencakup pula pengenalan dan
pengumpulan informasi tentang stimulus yang ada.
2) Tahap pengolahan stimulus sosial melalui proses seleksi serta pengorganisasian
informasi.
3) Tahap perubahan stimulus yang diterima individu dalam menanggapi
lingkungan melalui proses kognisi yang dipengaruhi oleh pengalaman,
cakrawala, serta pengetahuan individu.
Menurut Newcomb diacu dalam Arindita (2003), ada beberapa sifat yang
menyertai proses persepsi yaitu:
1) Konstansi (menetap): di mana individu mempersepsikan seseorang sebagai
orang itu sendiri walaupun perilaku yang ditampilkan berbeda-beda.
2) Selektif: persepsi dipengaruhi oleh keadaan psikologis si perseptor. Dalam arti
bahwa banyaknya informasi dalam waktu yang bersamaan dan keterbatasan
kemampuan perseptor dalam mengelola dan menyerap informasi tersebut,
sehingga hanya informasi tertentu saja yang diterima dan diserap.
3) Proses organisasi yang selektif: beberapa kumpulan informasi yang sama dapat
disusun ke dalam pola-pola menurut cara yang berbeda-beda.
3.1.3
Strategi Pemasaran dan Bauran Pemasaran
Menurut Kotler (2006) strategi pemasaran adalah logika pemasaran
dimana perusahaan berharap untuk menciptakan nilai pelanggan dan mencapai
hubungan yang menguntungkan. Dengan dipandu oleh strategi pemasaran tersebut
perusahaan merancang bauran pemasaran terintegrasi yang terdiri dari beberapa
faktor dibawah kendalinya, yaitu produk (product), harga (price), tempat (plce),
dan promosi (promotion) atau yang lebih dikenal dengan istilah Empat P (4P).
Produk merupakan kombinasi barang dan jasa yang ditawarkan
perusahaan kepada pasar sasaran. Adapun komponen dari produk meliputi ragam,
kualitas, desain, fitur, nama merek, layanan, dan kemasan.
Harga adalah jumlah yang harus dibayarkan pelanggan untuk memperoleh
produk. Harga menjadi salah satu elemen yang paling penting dalam menentukan
pangsa pasar dan keuntungan suatu perusahaan. Adapun elemen dari harga antara
lain, daftar harga, diskon, potongan
harga, periode pembayaran, persyaratan
kredit, dan lain-lain. Penetapan harga dapat dipertimbangkan melalui pendekatan
nilai dan pendekatan biaya.
Tempat meliputi kegiatan perusahaan yang membuat produk tersedia bagi
pelanggan sasaran. Tempat ini meliputi saluran, cakupan, pemilahan, lokasi,
persediaan, transportasi, dan logistik.
Komponen terakhir bauran pemasaran adalah promosi. Promosi berarti
aktifitas yang menyampaikan manfaat produk dan membujuk pelanggan untuk
membelinya. Promosi dapat dilakukan dalam bentuk iklan, penjualan pribadi,
promosi penjualan, dan hubungan masyarakat.
3.2
Kerangka Pemikiran Operasional
Kelinci merupakan salah satu ternak yang mempunyai potensi besar untuk
dikembangbiakan sebagai penyedia daging, karena ternak ini mempunyai
kemampuan pertumbuhan dan perkembangan yang sangat pesat, kemampuan
untuk memanfaatkan hijauan dan limbah pertanian maupun industri pangan, dapat
dipelihara dengan skala pemeliharaan yang kecil
maupun besar, sehingga
diharapkan dalam waktu singkat dapat menyediakan daging untuk memenuh
kebutuhan protein hewani penduduk Indonesia yang setiap tahunnya meningkat.
Banyak keunggulan yang diperoleh dari mengonsumsi daging kelinci,
yaitu kandungan protein yang tinggi dan rendah kolesterol, sehingga daging
kelinci dapat dipromosikan sebagai daging sehat, selain itu kulit dan kotorannya
masih mempunyai nilai ekonomis, khususnya kulit bulu (fur) dari ternak kelinci
Rex dan Satin mempunyai nilai komersiil yang tinggi sebagai bahan garmen yang
dapat menggantikan fur dari binatang buas yang semakin langka. Penampilan
ternak kelinci yang jinak dan lucu menjadikan ternak ini sebagai hewan
kesayangan bagi penyayang binatang, disamping itu kemajuan industri farmasi
yang pesat sangat membutuhkan ternak ini sebagai kelinci percobaan.
Salah satu wilayah yang saat ini mulai serius dalam mengembangkan
kelinci sebagai ternak lokal yang potensial adalah Kabupaten Bogor, Jawa Barat.
Melalui kelompok-kelompok tani, pihak pemerintah menyalurkan bantuanbantuan berupa ternak kelinci bagi kelompok rumah tangga miskin untuk
dijadikan salah satu sumber mata pencaharian. Selain itu pemerintah Kabupaten
Bogor juga membentuk kampung kelinci sebagai daerah percontohan untuk
menjadi sentra penghasil kelinci. Adanya upaya yang serius dari pemerintah inilah
yang menyebabkan populasi kelinci di wilayah Bogor mengalami peningkatan
dari 11.362 ekor pada tahun 2008 menjadi 14.165 ekor pada tahun 2009.
Pada kenyataannya pengembangan ternak kelinci sebagai penyedia daging
sampai saat ini masih menemui banyak kendala karena daging dari ternak ini
belum populer dan diterima oleh sebagian masyarakat sehingga sulit dalam
pemasarannya. Kesulitan pemasaran lebih banyak disebabkan oleh faktor
kebiasaan makan (food habit) dan efek psikologis yang menganggap bahwa
kelinci sebagai hewan hias atau kesayangan yang tidak layak untuk dikonsumsi
dagingnya. Hal ini menyebabkan usaha penjualan daging kelinci olahan menjadi
sepi pelanggan, salah satunya adalah Café Kelinci yang ada di wilayah Bogor.
Jika dilihat dari manfaat dan keunggulan yang ditawarkan, selayaknyalah
daging kelinci menjadi primadona dalam hal penyuplai protein hewani, terutama
bagi kelompok menengah ke atas yang sudah menaruh perhatian besar pada
konsumsi daging yang rendah lemak. Namun faktanya daging kelinci masih
belum bisa diterima oleh masyarakat luas untuk dikonsumsi.
Adanya trade off tersebut menyebabkan pentingnya dilakukan analisis
terhadap persepsi konsumen Kota Bogor terhadap daging kelinci. Hal ini bisa
menjadi acuan bagi pengusaha yang ingin mengembangkan usaha berbasis
pengolahan daging kelinci di Kota Bogor. Selain itu dari analisis persepsi tersebut
bisa dikembangkan pula karakteristik konsumen potensial yang bisa menjadi
sasaran pemasaran daging kelinci. Untuk menganalisis persepsi tersebut dapat
digunakan metode analisis deskriptif, sementara untuk menganalisis karakteristik
konsumen yang mengonsumsi daging kelinci dilakukan dengan metode analisis
regresi logistik sehingga didapatkan gambaran mengenai konsumen sasaran untuk
memasarkan daging kelinci tersebut. Setelah diketahui persepsi dan karakateristik
konsumen yang mengonsumsi atau ingin mengonsumsi daging kelinci, maka
pangsa pasar potensial daging kelinci bisa ditentukan dengan menggunakan datadata kependudukan yang ada di suatu wilayah.
Daging Kelinci Dipopulerkan Sebagai
Pangan Alternatif Sumber Protein
Hewani di Kota Bogor
Keunggulan Daging Kelinci Sebagai Sumber
Pangan Baru Sumber Protein Hewani:
- Makanan sehat yang mengandung protein
tinggi namun rendah lemak dan kolesterol.
-176.260,4
Dapat mencegah Kanker dan
menyembuhkan penyakit asma
Hambatan Psikologis Bagi
Beberapa Orang Untuk
Mengkonsumsi Daging
Kelinci
Karakteristik Konsumen Yang
Mengkonsumsi Daging Kelinci Dilihat dari:
Persepsi Konsumen
-
Terhadap Daging Kelinci
Tingkat Pendidikan
Tingkat Pengeluaran
Usia
Pekerjaan
Jenis kelamin
Konsumen Potensial Yang
Menjadi Target Pemasaran
Produk Olahan Daging
Rekomendasi bagi pihak
pemasar yang akan atau
telah menjalankan usaha
pengolahan daging kelinci di
Kota Bogor
Keterangan:
Lingkup Penelitian
Gambar 1. Kerangka Pemikiran Operasional
IV METODE PENELITIAN
4.1 Lokasi dan Waktu Penelitian
Penelitian ini dilakukan di wilayah Kota Bogor. Pemilihan lokasi
dilakukan secara sengaja (purposive) dengan pertimbangan Kota Bogor
merupakan kota berpenduduk padat di provinsi Jawa Barat dengan tingkat
pendapatan per kapita yang terus meningkat dari tahun ke tahun. Sehingga
memungkinkan adanya potensi pemasaran daging kelinci yang cukup baik. Selain
itu letak Kota Bogor sangat strategis, yaitu di tengah-tengah Kabupaten Bogor dan
merupakan pusat pemerintahan dan perekonomian, dimana terdapat pasar induk
yang menjual berbagai komoditas termasuk kelinci. Pengumpulan data di lapang
dilaksanakan selama kurang lebih satu bulan, yaitu dimulai pada awal bulan Mei
2011.
4.2 Metode Penentuan Sampel
Sampel dalam penelitian ini adalah konsumen yang sudah pernah
mengonsumsi daging kelinci dan berusia di atas 18 tahun serta berdomisili di Kota
Bogor. Adapun teknik pemilihan responden yang digunakan adalah metode
convenience sampling yaitu responden dipilih berdasarkan kemudahan ditemui
dan kesediaan responden untuk mengisi kuisioner. Secara keseluruhan responden
diambil dari enam kecamatan yang terdapat di Kota Bogor yaitu kecamatan Bogor
Barat, Bogor Timur, Bogor Tengah, Bogor Selatan, Bogor Utara, dan Tanah
Sareal.
Dengan pertimbangan waktu dan biaya, maka jumlah sampel yang diambil
adalah sebanyak 50 responden. Responden akan diambil dari setiap kecamatan
yang ada di Kota Bogor melalui pendekatan sample fraction yang dihitung
berdasarkan jumlah penduduk dimasing-masing kecamatan terhadap jumlah
seluruh penduduk Kota Bogor.
Menurut Nazir (2005), penentuan sampel dalam setiap kecamatan
menggunakan metode alokasi sampel berimbang melalui pendekatan sample
fraction dihitung dengan rumus:
n1 =
dimana:
n1= jumlah sampel dalam tiap kecamatan
N1= jumlah populasi dalam tiap kecamatan
N = jumlah populasi penduduk Kota Bogor
n = besarnya ukuran sampel (50 orang)
Berdasarkan perhitungan diperoleh sebaran responden dalam setiap kecamatan
yang terlihat pada Tabel 6.
Tabel 6. Jumlah Responden pada Setiap Kecamatan di Kota Bogor
Kecamatan
sample frame
Jumlah
(N1/N)
Penduduk
Jumlah
Jumlah penduduk
responden per
X sample frame
kecamatan
(n1)
(N)
Bogor
Selatan
180.745
0.190445132
9.522256619
10
Bogor Timur
94.572
0.099647443
4.982372143
5
Bogor Utara
170.32
0.179460649
8.973032434
9
102.203
0.10768798
5.384398978
5
Bogor Barat
210.45
0.221744325
11.08721627
11
Tanah sareal
190.776
0.201014471
10.05072355
10
Total
949.066
50
50
Bogor
Tengah
4.3 Data dan Instrumentasi
Data yang digunakan dalam penelitian ini terdiri dari data primer dan data
sekunder, baik kualitatif maupun kuantitatif. Data primer diperoleh dari konsumen
melalui wawancara langsung dan melalui pengisian kuesioner sebagai panduan,
sedangkan data sekunder diperoleh dari dinas-dinas dan instansi terkait , seperti
Badan Pusat Statistik Kota Bogor dan Kabupaten Bogor, Dinas Perdagangan dan
Perindustrian serta referensi kepustakaan lainnya.
Sementara itu instrumentasi yang digunakan berupa kuesioner. Kuesioner
ini terbagi menjadi tiga bagian, yaitu: bagian pertama untuk mengetahui
karakteristik responden, bagian kedua untuk mengetahui pengetahuan responden
mengenai gizi, dan bagian ketiga untuk mengetahui persepsi konsumen terhadap
daging kelinci.
Adapun pengumpulan data primer menggunakan kuesioner terbagi
menjadi beberapa jenis pertanyaan, yaitu:
1) Pertanyaan tertutup (close ended question), adalah pertanyaan dengan jawaban
yang telah ditentukan terlebih dahulu sehingga responden hanya dapat memilih
jawaban yang telah disediakan dalam pertanyaan tersebut.
2) Pertanyaan terbuka (open ended question), merupakan pertanyaan dengan
jawaban yang bersifat bebas sehingga responden dapat mengisi pertanyaan
yang diajukan sesuai dengan pendapat pribadinya.
3) Pertanyaan kombinasi, yaitu pertanyaan dengan jawaban yang telah ditentukan
serta diikuti dengan adanya jawaban yang tidak ditentukan terlebih dahulu,
sehingga responden bebas untuk memberikan jawaban.
4.4 Metode Pengolahan Data
Analisis data konsumen dilakukan secara kuantitatif dan kualitatif. Data
yang diperoleh dianalisis secara deskriptif yang disajikan dalam bentuk tabel,
tulisan, diagram, atau grafik. Selanjutnya untuk mengetahui dan menganalisis
karakteristik responden, dalam penelitian digunakan metode analisis regresi
logistik yang dikaitkan dengan persepsi responden terhadap konsumsi daging
kelinci.
4.4.1 Metode Analisis Deskriptif
Metode deskriptif merupakan metode analisis yang dirancang untuk
mendeskripsikan, menggambarkan, dan melukiskan secara sistematis, faktual, dan
akurat mengenai fakta-fakta, sifat-sifat, serta hubungan antar fenomena yang
diselidiki (Nazir 1988). Teknik ini dilakukan melalui beberapa tahap, yaitu: tahap
pertama adalah pemberian kuesioner kepada responden, mentabulasikan semua
jawaban responden berdasarkan kuesioner, dan melakukan analisis berdasarkan
hasil yang diperoleh dari pentabulasian. Metode ini akan memberikan keluaran
berupa data karakteristik responden.
4.4.2 Metode Regresi Logistik
Analisis regresi logistik merupakan bagian dari analisis regresi. Regresi
logistik adalah persamaan matematik yang menggambarkan hubungan antara
variabel tak bebas dengan sejumlah variabel bebas. Pada model regresi logistik
variabel bebasnya bersifat biner atau dikotomi yakni memiliki nilai yang
diskontinyu 1 dan 0.
Menurut Harmini (2011) model analisis regresi logistik digunakan untuk
pemodelan masalah, yang melibatkan satu variabel respon, berupa kategorik,
dipengaruhi oleh satu atau lebih dari satu variabel independent, yang mencapai
pengukuran metrik atau gabungan metrik dan nonmetrik. Tidak dibutuhkan
asumsi normalitas atas variabel bebas yang digunakan dalam model. Banyaknya
kategori variabel respon bisa hanya dua kategori saja (binary logistic regression),
namun bisa pula lebih dari dua kategori (multinomial logistic regression). Pada
penelitian ini yang digunakan adalah binary logistic regression karena variabel
respon hanya terdiri dari dua kategori kemungkinan, yaitu persepsi baik (1) dan
persepsi buruk (0).
Nilai variabel tak bebas dari model logistik antara 0 dan 1, bentuk fungsi
dari model logistik adalah: Ln [P/1-P] = α + βx + µ
P adalah nilai peluang dari variabel tak bebas yang nilainya biner yaitu 0 dan 1,
nilai P diperoleh dari: Y= Prob (Y=1) =
µ
Sebaran peluang yang digunakan dalam digunakan dalam fungsi logit adalah
sebaran logistik, sehingga nilai harapan bersyarat Y jika diketahui X adalah:
E (Y│X) = π (X) =
dengan g (X)= Ln [π(X)/ 1-π(X)]
Dalam penelitian ini, yang menjadi variabel respon adalah persepsi
konsumen terhadap daging kelinci yang dibagi menjadi dua kategori yaitu,
konsumen mengonsumsi daging kelinci (1) dan konsumen tidak ingin
mengonsumsi daging kelinci (0).
Kotler (2000) membagi faktor-faktor yang mempengaruhi persepsi
konsumen ke dalam kategori budaya, sosial, pribadi, dan psikologis. Faktor
pribadi atau karakteristik pribadi individu merupakan salah satu faktor yang
mempengaruhi keputusan konsumen. Variabel untuk karakteristik konsumen yang
digunakan adalah variabel demografis tersebut meliputi usia, pekerjaan,
pendidikan, pendapatan, jenis kelamin, dan lain-lain. Alasannya adalah variabel
demografis lebih mudah diukur dibandingkan dengan variabel lainnya (Kotler
2006). Adapun variabel independent yang digunakan dalam penelitian ini meliputi
karakteristik konsumen yang terdiri dari:
1) Usia sebagai karakteristik demografi konsumen yang memiliki pengaruh
terhadap cara berperilaku, bertindak, dan berpikir konsumen. Variabel usia
dikategorikan menjadi:
a) 17-23 tahun (0)
b) 24-30 tahun (1)
c) 31-40 tahun (2)
d) 41-50 tahun (3)
e) 51-65 tahun (4)
2) Jenis kelamin merupakan salah satu variabel yang menentukan persepsi
konsumen
terhadap
suatu
produk.
Perbedaan
jenis
kelamin
akan
mempengaruhi konsumen dalam menentukan produk yang dikonsumsinya.
Jenis kelamin dibedakan menjadi dua kategori yaitu, laki-laki (0) dan
perempuan (1).
3) Tingkat pendidikan, dikategorikan menjadi: rendah (0), sedang (1), dan tinggi
(2). Tingkat pendidikan akan terkait dengan banyaknya informasi dan pada
akhirnya menentukan keputusan seseorang dalam melakukan pembelian dan
mempengaruhi persepsi konsumen.
a) Rendah (Tamat SD dan SMP)
b) Sedang (Tamat SMA/Sederajat)
c) Tinggi (Tamat Diploma sampai dengan Pasca Sarjana)
4) Pekerjaan responden yang dikategorikan menjadi dua kategori berdasarkan
profesi atau pekerjaan sehari-hari, yaitu: pegawai (1) dan nonpegawai (0).
Tingkat pendidikan akan mempengaruhi jenis pekerjaan seseorang. Hal ini
dikarenakan untuk mendapatkan suatu pekerjaan, tingkat pendidikan menjadi
salah satu ukuran pertimbangan. Adapun jenis pekerjaan akan mempengaruhi
tingkat pendapatan seseorang dan kemudian mempengaruhi pola konsumsi
dan proses keputusan seseorang.
a) Pegawai (Pegawai negeri, swasta, maupun wiraswasta)
b) Non pegawai (tidak memiliki pekerjaan dan buruh kasar)
5) Tingkat pengeluaran, dikategorikan menjadi: bawah (0), menengah 1 (1),
menengah 2 (2), menengah 3 (3), menengah 4 (4), atas (5). Tingkat
pengeluaran identik dengan tingkat pendapatan. Persepsi konsumen salah
satunya dipengaruhi oleh tingkat pendapatan yang terkait dengan daya beli
konsumen. Adapun interval untuk setiap kategori pendapatan, adalah:
a) bawah ( <540000)
b) menengah 1 (540.000-1.080.000)
c) menengah 2 (1.080.001-1.620.000)
d) menengah 3 (1.620.001-2.700.000)
e) menengah 4 (2.700.000-5.400.000)
f) atas (>5.400.000)
6) Persepsi dikategorikan menjadi persepsi baik (1) dan persepsi buruk (0) yang
dibagi sebaran rataan.
Dengan demikian model regresi logistik yang didapatkan pada penelitian
ini adalah:
Pi=
.…
Setelah ditransformasikan kedalam logit menjadi:
Logit (Pi) = Ln [Pi / (1- Pi)]
= 0
=β0
1 1
β1usia
2 2
3 3
β2jenis kelamin
4 4
5 5
6 6
β3tingkat pendidikan
β4pekerjaan
β5tingkat pengeluaran
Dimana:
β0
= intercept
X1
= Usia
X2
= Jenis kelamin
X3
= Tingkat pendidikan
X4
= Pekerjaan
X5
= Tingkat pengeluaran
4.4.2.1 Evaluasi Model Dugaan
Menurut Harmini (2011), perlu dilakukan uji signifikansi model regresi
logistic dugaan dan uji signifikansi masing-masing variabel independent untuk
memeriksa apakah model secara statistik signifikan, serta variabel independent
apa saja yang berpengaruh signifikan terhadapa variabel dependent.
1) Uji Signifikansi Model Regresi Logistik Dugaan
Untuk menyimpulkan apakah model signifikan, dilakukan melaui uji
hipotesa statistic, yang dinyatakan sebagai,
H0: β1=β2=…= βj=…= βk=0 (model dugaan tidak signifikan)
H1: Minimal ada satu βj 0
(model dugaan signifikan)
Untuk menguji hipotesa tersebut, digunakan statistic uji likehood ratio berikut ini,
H
2
H
Dimana, Ln adalah logaritma dengan basis bilangan natural (e).
Statistik G menyebar mengikuti sebaran Chi-square (X2) dengan derajat
bebas=df=k. Pada output computer tersaji pula nilai P, dimana P=Peluang
(X2df=dk>G). Apabila P<α atau G>X2(df=k)α maka disimpulkan tolak H0 pada taraf
nyata α.
2) Uji Signifikansi Masing-masing Variabel Independent (Xj)
Apabila dari uji sebelumnya, disimpulkan bahwa model dugaan signifikan,
maka perlu ditelusuri lebih lanjut variabel independent mana yang pengaruhnya
signifikan terhadap variabel dependent. Untuk itu, dilakukan melalui uji hipotesa
statistik berikut ini,
H0: βj=0 (variabel Xj tidak berpengaruh signifikan terhadap variabel respon)
H1: βj 0 (variabel Xj berpengaruh signifikan terhadap variabel respon)
Statistik uji Wald di bawah ini, digunakan untuk menguji hipotesa tersebut.
Wj=[
]
Dimana,
bj
= Koefisien model dugaan untuk variabel independent Xj
SECoef (bj)
= Simpangan baku koefisien Xj
Statistik Wj menyebar mengikuti sebaran normal baku (Z). Jika P<α atau |
|>
Zα/2 maka disimpulkan tolak H0 pada tarafnyata α.
4.4.2.2 Nilai Odds Ratio
Ukuran yang sering digunakan untuk melihat hubungan antara peubah
bebas dan peubah tidak bebas dalam model logistic adalah nilai odds ratio (Ψ).
Adapun nilai odds ratio untuk predictor Xj adalah sebagai berikut:
1) Untuk Xj dalam bentuk variabel dummy
Odds ratio untuk Xj =
=
=
Artinya, peluang sukses kategori Xj=1 besarnya
kali lipat dibandingkan Xj=0,
cateris paribus.
2) Untuk Xj dalam bentuk matriks
Odds ratio untuk Xj =
=
=
Artinya, bila Xj bertambah satu satuan Xj,maka peluang suksesnya
kali lipat
dibandingkan sebelumnya, cateris paribus.
Nilai odds ratio berkisar antara nol hingga tak hingga. Adapun nilai odds
ratio dapat dikategorikan menjadi tiga kategori, yaitu:
a) Bila bj bertanda positif, maka odds ratio akan bernilai lebih dari satu, yang
artinya Xj berpengaruh positif terhadap variabel respon sukses.
b) Bila bj bertanda negatif, maka odds ratio akan bernilai antara satu dan nol,
yang artinya Xj berpengaruh negatif terhadap variabel respon sukses.
c) Bila bj bernilai nol, maka odds ratio akan bernilai satu, yang artinya Xj tidak
berpengaruh terhadap variabel respon sukses.
4.4.3
Skala Likert
Skala Likert yang juga dinamakan skala summated-rating, adalah salah
satu teknik pengukuran yang paling sering digunakan dalam riset konsumen
maupun pemasaran. Teknik ini sangat bermanfaat karena memungkinkan
responden untuk mengekspresikan intensitas mereka. Responden diminta untuk
memberikan respon mereka terhadap suatu isu atau objek kemudian responden
diminta untuk mengindikasikan tingkat kesetujuan atau ketidaksetujuan mereka
terhadap masing-masing pernyataan.m dan berbagai kadar kesetujuan akan
diberikan nilai. Pada penelitian ini skala digunakan pada rentang nilai satu hingga
lima, di mana satu untuk pernyataan yang paling negatif atau sangat tidak setuju
dan lima untuk pernyataan yang paling posutuf atau sangat setuju (Churchill
2001).
Setelah didapatkan data dari setiap pernyataan konsumen terhadap suatu
isu atau objek tersebut, maka langkah berikutnya adalah menghitung skor akhir
dari setiap item pernyataan. Skor akhir ini didapatkan dengan cara menghitung
total skor dari setiap pernyataan dan dibagi dengan jumlah responden. Untuk
interpretasi maka skor ini dikelompok menjadi beberapa rentang nilai. Rentang
atau interval tersebut dihitung dengan cara: nilai tertinggi, yaitu 5 dikurangi nilai
terendah, yaitu 1 lalu dibagi dengan banyaknya kelompok interval yang
diinginkan. Pada penelitian ini kelompok interval dibagi menjadi lima kelompok,
sehingga cara menghitungnya adalah: (5-1)/5 = 0,8 (Durianto et al 2003). Rentang
skala tersebut digunakan untuk menginterpretasikan persepsi konsumen
berdasarkan masing-masing pernyataan. Adapun rentang skala tersebut adalah
sebagai berikut:
0,8 – 1,6
= Sangat tidak baik
1,7 – 2,5
= Tidak baik
2,6 – 3,4
= Netral/ sedang/ biasa saja
3,5 – 4,2
= Baik
4,3 – 5,0
= Sangat baik.
Sedangkan untuk mengkategorikan nilai persepsi akhir yang merupakan
gabungan dari skor setiap pernyataan, maka digunakan pendekatan seperti diatas,
yaitu (Total skor tertinggi – total skor terendah)/ 2 karena persepsi pada penelitian
ini dibagi menjadi dua kelompok yaitu, persepsi baik dan persepsi buruk.
4.5 Definisi Operasional
1.
Konsumen adalah masyarakat yang tinggal di Kota Bogor dan yang sudah
mengonsumsi daging kelinci serta berusia di atas 18 tahun.
2.
Daging Kelinci adalah semua produk turunan seperti: sate dan gulai.
3.
Karakterisitik Konsumen adalah gambaran sosial yang melekat pada
konsumen dalam hal ini meliputi: tingkat pendidikan, tingkat pendapatan,
pengetahuan gizi, pekerjaan responden, status kelas ekonomi, dan jenis
kelamin.
4.
Tingkat Pendidikan adalah pendidikan formal terakhir yang dijalani oleh
responden.
5.
Tingkat Pengeluaran adalah jumlah uang yang dikeluarkan responden dalam
memenuhi kebutuhan hidupnya secara pribadi maupun keluarga.
6.
Usia merupakan masa hidup responden yang diukur dari kelahiran responden
hingga waktu penelitian ini dilaksanakan.
7.
Pekerjaan adalah aktifitas responden dalam rangka memenuhi perekonomian
keluarga atau individu.
8.
Persepsi Konsumen adalah pandangan yang dimiliki konsumen terhadap
konsumsi daging kelinci yang kemudian dijabarkan menjadi pandangan
buruk dan pandangan baik.
V KEADAAN UMUM DAERAH PENELITIAN
5. 1. Letak Geografis Kota Bogor
Kota Bogor secara geografis terletak diantara 106°43’30”BT 106°51’00”BT dan
6°30’30”LS - 6°41’00”LS, serta mempunyai rata-rata
ketinggian minimal 190 meter dan maksimal 350 meter dengan batas-batas
wilayahnya semua berbatasan dengan Kabupaten Bogor. Jarak antara Jakarta
sebagai Ibu Kota Negara dengan Kota Bogor sekitar 60 kilometer, sehingga Kota
Bogor termasuk daerah penyangga (buffer zone) DKI Jakarta. Posisi Kota Bogor
yang berjarak sekitar 60 kilometer dari Ibu Kota Jakarta, memungkinkan Kota ini
dijadikan sebagai Kota Internasional. Dalam Keppres tentang rencana tata ruang
wilayah Jabotabek dan Depok, Kota Bogor difungsikan sebagai sebuah Counter
magnet bagi perkembangan DKI Jakarta. Daerah Kota Bogor ini diarahkan
sebagai pusat kegiatan wilayah yang memiliki kegiatan utama sebagai kota
perdagangan regional, jasa, pemukiman, dan industri. Parameter sebuah kota
internasional antara lain ditandai oleh peruntukan sebagaian besar lahan untuk
mendukung fungsi kota tersebut sebagai kota pemukiman, jasa, perdagangan
regional, industri dan wisata ilmiah.
Kota Bogor mempunyai luas wilayah 118,570 km2 dan mengalir beberapa
sungai yang letak permukaan airnya jauh di bawah letak permukaan Kota. Sungai
tersebut seperti sungai Cilliwung, Cisadane, Cipakancilan, Cidepit, Cipangi, dan
Cibalok. Kondisi Kota Bogor yang terletak jauh di atas permukaan air beberapa
sungai tersebut, membuat Kota Bogor relative aman dari bahaya banjir.
Batas Wilayah Kota Bogor dibatasi oleh beberapa kecamatan yang ada di
Bogor. Batas sebelah Selatan berbatasan dengan Kecamatan Cijeruk dan
Kecamatan Caringin Kabupaten Bogor. Sebelah Timur berbatasan dengan
Kecamatan Sukaraja dan Kecamatan Ciawi Kabupaten Bogor. Sebelah Utara
berbatasan dengan Kecamatan Bojong Gede dan Kecamatan Kemang Kabupaten
Bogor, sedangkan untuk bagian Barat berbatasan dengan Kecamatan Kemang dan
Kecamatan Dramaga Kabupaten Bogor.
Kemiringan Kota Bogor berkisar antara 0 – 15 persen dan sebagian kecil
daerahnya mempunyai kemiringan antara 15 – 30 persen. Jenis tanah hampir
seluruh wilayahnya adalah latosol coklat kemerahan dengan kedalaman efektif
tanah lebih dari 90 cm dengan tekstur tanah yang halus serta bersifat agak peka
terhadap erosi. Kedudukan topografis dokumen Kota Bogor yang berada di
tengah-tengah wilayah Kabupaten Bogor serta lokasinya yang dekat dengan Ibu
Kota Negara merupakan potensi yang strategis untuk pertumbuhan dan
perkembangan kegiatan ekonomi. Adanya Kebun Raya, yang didalamnya terdapat
Istana Bogor di pusat Kota merupakan tujuan wisata yang menarik wisatawan dan
dapat mendatangkan pendapatan bagi pertumbuhan ekonomi daerah.
Kota Bogor dengan ketinggian dari laut minimal 190 meter dan maksimal
350 meter, disebut pula sebagai kota hujan dengan keadaan cuaca dan udara yang
sejuk. Suhu udara rata-rata tiap bulannya adakah 26°C dengan kelembapan udara
sekitar 70% dan suhu udara terendah 21,8°C dengan jumlah terbesar pada bulan
Desember dan Januari. Arah mata angin sebagian besar dipengaruhi oleh angin
muson, dan untuk bulan Mei sampai dengan Maret dipengaruhi oleh angin muson
barat.
Berdasarkan struktural pemerintahan, Kota Bogor terbagi atas enam
kecamatan yang mencakup 68 Kelurahan terdiri dari 722 Rukun Warga dan 3.214
Rukun Tetangga. Enam kecamatan tersebut adalah Bogor Selatan, Bogor Utara,
Bogor Timur, Bogor Barat, Bogor Tengah, dan Kecamatan Tanah Sareal.
5.2 Keadaan Demografi
Berdasarkan hasil pencacahan Sensus Penduduk 2010, jumlah penduduk
Kota Bogor sementara adalah 949.066 orang, yang terdiri atas 484.648 laki-laki
dan 464.418 perempuan. Dari hasil SP2010 tersebut masih tampak bahwa
penyebaran/distribusi penduduk Kota Bogor masih bertumpu di Kecamatan Bogor
Barat yakni sebesar 22,17 persen, kemudian diikuti oleh Kecamatan Tanah Sareal
sebesar 20,10 persen, sedangkan kecamatan-kecamatan lainnya di bawah 20
persen.
Kecamatan Bogor Barat, Kecamatan Tanah Sareal, dan Kecamatan Bogor
Selatan adalah tiga kecamatan dengan urutan teratas yang memiliki jumlah
penduduk terbanyak yang masing-masing berjumlah 210.450 orang, 190.776
orang, dan 180.745 orang. Sedangkan Kecamatan Bogor Timur merupakan
kecamatan yang berjumlah penduduk paling kecil yakni sebanyak 94.572 orang.
Dengan luas wilayah Kota Bogor sekitar 111,73 kilometer persegi yang didiami
oleh 949.066 orang maka rata-rata tingkat kepadatan penduduk Kota Bogor
adalah sebanyak 8.494 orang per kilometer persegi. Kecamatan yang paling tinggi
tingkat kepadatan penduduknya adalah Kecamatan Bogor Tengah yakni sebanyak
12.791 orang per kilometer persegi sedangkan yang paling rendah adalah
Kecamatan Bogor Selatan yakni sebanyak 5.880 orang per kilometer persegi.
Tabel 7. Jumlah Penduduk dan Tingkat Kepadatan Penduduk Berdasarkan
Wilayah Kecamatan Di Kota Bogor Pada Tahun 2010
Jenis Kelamin
Kecamatan
Jumlah
Laki-laki
Perempuan
Penduduk
(jiwa)
(jiwa)
(jiwa)
Sex Ratio
Luas Wilayah
(km2)
Bogor Selatan
93. 203
87.542
180.745
106
28.61
Bogor Timur
47. 984
46.588
94.572
103
10.15
Bogor Utara
74.975
83.405
170.320
104
17.72
Bogor Tengah
86. 915
49.997
102.203
104
8.33
Bogor Barat
107. 072
103.378
210.450
104
32.62
Tanah Sareal
97. 268
93.508
190.776
104
21.07
464.418
949.066
104
118.50
Kota Bogor
484. 648
Sumber: BPS Kota Bogor 2010
Penduduk Kota Bogor terus bertambah dari waktu ke waktu. Pada tahun
1961, ketika sensus penduduk pertama setelah Indonesia merdeka, jumlah
penduduk Kota Bogor sebanyak 154,1 ribu jiwa. Pada tahun 1971 penduduk Kota
Bogor sebanyak 195,9 ribu jiwa, tahun 1980 sebanyak 246,9 ribu jiwa, tahun 1990
sebanyak 271,7 ribu jiwa, tahun 2000 sebanyak 750,8 ribu jiwa, dan pada tahun
2010 sebanyak 949,1 ribu jiwa. Kenaikan yang cukup tinggi dalam kurun waktu
1990 – 2000 disebabkan wilayah Kota Bogor bertambah 46 kelurahan dari
kabupaten Bogor berdasarkan PP No. 2/1995. Pertambahan jumlah penduduk di
Kota Bogor tersebut merupakan salah satu indikasi pangsa pasar dari industri
yang bergerak di sektor pangan juga mengalami peningkatan.
5. 3 Produk Domestik Regional Bruto (PDRB) Kota Bogor
Salah satu faktor pendukung guns terciptanya perencanaan pembangunan
perekonomian yang baik adalah tersedianya data statistik yang dapat dijadikan
bahan evaluasi hasil pembangunan yang telah dicapai dan sebagai pereancanaan
dimasa yang akan datang. Salah satu data yang dibutuhkan, terutama dibidang
ekonomi adalah data Produk Domestik Bruto (PDRB).
Selain untuk melihat perkembangan ekonomi di Kota Bogor, besaran
PDRB (per kecamatan) juga digunakan sebagai bahan pembanding tingkat
pembangunan antar kecamatan. Dengan demikian dapat diketahui posisi masingmasing kecamatan berdasarkan aktivitas pembangunan, karena angka PDRB ini
dapat mencerminkan hasil pembangunan. Angka PDRB ini dapat juga digunakan
sebagai indikator ekonomi yang bermanfaat diantaranya: pertumbuhan ekonomi,
struktur perekonomian, tingkat kesejahteraan rakyat, dan tingkat inflasi dan
deflasi.
Ditinjau Atas Dasar Harga Berlaku, PDRB Kota Bogor tahun 2009 secara
umum seluruh sektor lapangan usaha mengalami kenaikan pertumbuhan sebesar
17,98 persen dibanding tahun 2008, yaitu dari Rp 10.089.943,96 juta pada tahun
2008 menjadi Rp 11.904.599,66 juta di tahun 2009.
PDRB Atas Harga Konstan dengan tahun 2000 sebagia tahun dasar,
mengalami pertumbuhan sebesar 6,01 persen dari Rp 4.252.821,78 juta menjadi
Rp 4.508.601,05 juta pada tahun 2009. Keadaan PDRB Kota Bogor Atas Dasar
Harga Berlaku dan PDRB Kota Bogor Atas Dasar Harga konstan 2000 dari kurun
waktu 2005 sampai dengan tahun 2009 disajikan pada tabel berikut
Tabel 8. PDRB Kota Bogor Atas Dasar Harga Berlaku dan Atas Dasar Harga
Konstan (2000) Tahun 2005-2009 (Jutaan Rupiah)
No.
Tahun
PDRB Atas Dasar Harga
PDRB Atas Dasar
Berlaku
Harga Konstan
(1)
(2)
(3)
(4)
1
2005
6.191.918,90
3.567.230,91
2
2006
7.257.742,09
3.782.273,71
3
2007
8.558.035,70
4.012.743,17
4
2008 *)
10.089.943,96
4.252.821,78
5
2009 **)
11.904.599,66
4.508.601,05
*) Angka Perbaikan
**) Angka Sementara
Sumber: Produk Domestik Regional Bruto Kota Bogor 2009
Berdasarkan Tabel 8 dapat kita lihat bahwa Kota Bogor dari tahun 2005
hingga 2009 terus mengalami peningkatan PDRB Agregat baik berdasarkan
Harga Berlaku maupun Harga Konstan (tahun 2000). Namun dengan melihat
peningkatan dari sisi PDRB Agregat saja belum bisa disimpulkan bahwa terjadi
peningkatan kesejahteraan bagi masyarakat Kota Bogor. Untuk itulah diperlukan
data mengenai PDRB Perkapita (Pendapatan Perkapita) yang merupakan hasil
bagi antara Pendapatan Regional (Nilai PDRB) dengan jumlah penduduk
(pertengahan tahun). Pendapatan perkapita ini menunjukkan rata-rata banyaknya
pendapatan yang diterima oleh setipa penduduk. Adapun pendapatan perkapita
penduduk Kota Bogor disajikan pada tabel berikut,
Tabel 9. PDRB Perkapita Kota Bogor 2005-2009 (Rupiah)
No.
Uraian
Tahun
2005
2006
2008*)
2007
(1)
(2)
(3)
(4)
(5)
(6)
1.
PDRB
7.510.609,11
8.626.510,51
9.975.446,96
11.634.895,15
Perkapita
2009**)
(7)
13.464.091
,07
Atas
Dasar
Harga
2
Berlaku
4.326.942,49
4.495.588,79
4.677.347,48
PDRB
4.902.344,97
5.099.212,
20
Perkapita
Berdasar
kan
Harga
Konstan
*) Angka Perbaikan
**)Angka Sementara
Sumber: Produk Domestik Regional Bruto Kota Bogor 2009
Berdasarkan Tabel 9 dapat dilihat bahwa Atas Dasar Harga Berlaku,
pendapatan perkapita Kota Bogor tahun 2009 mengalami peningkatan yang cukup
signifikan dibandingkan pendapatan perkapita pada tahun 2005. Demikian juga
ditinjau Atas Dasar Harga Konstan 2000, terlihat bahwa pendapatan perkapita
Kota Bogor pada tahun 2009 meningkat jika dibandingkan dengan pendapatan
perkapita tahun 2005, walaupun peningkatan yang terjadi belum terlalu
menggembirakan. Ini menunjukkan bahwa daya beli masyarakat Kota Bogor
semakin meningkat. Peningkatan pendapatan perkapita ini akan merangsang
peningkatan konsumsi pangan hewani. Dibanding wilayah desa, partisipasi rumah
tangga kota yang mengkonsumsi pangan hewani relatif tinggi. Semakin tinggi
pendapatan, jenis pangan hewani yang dikonsumsi semakin beragam (Martianto
1995).
Secara umum pertumbuhan ekonomi Kota Bogor semakin membaik
beberapa tahun terakhir ini dengan struktur ekonomi Kota Bogor yang di
dominasi oleh Sektor Perdagangan Besar dan eceran, Hotel, dan Restoran sebesar
38,04 persen dan Sektor Industri Pengolahan sebesar 25,57 persen dimana kedua
sektor ini sangat dipengaruhi oleh jumlah penduduk dan daya beli masyarakat.
Dengan demikian ada suatu peluang yang terbuka untuk mengambangkan sektor
industri pangan berbahan baku daging kelinci di Kota Bogor jika dilihat dari daya
beli masyarakat dan pertumbuhan penduduk Kota Bogor.
VI HASIL DAN PEMBAHASAN
6. 1 Karakteristik Umum Konsumen
Karakteristik umum konsumen yang diambil dalam penelitian ini meliputi
jenis kelamin, usia, pendidikan, pekerjaan, dan pengeluaran per bulan. Penelitian
terhadap karakteristik konsumen diperlukan untuk menganalisis gambaran umum
dari konsumen daging kelinci di Kota Bogor. Adapun jumlah responden pada
penelitian ini berjumlah 50 orang yang merupakan warga Kota Bogor yang pernah
mengonsumsi daging kelinci. Berdasarkan kuesioner yang disebar, maka
didapatkan data karakterisitik konsumen berdasarkan masing-masing kategori
sebagai berikut:
6.1.1 Karakteristik Umum Konsumen Berdasarkan Variabel Usia
Usia sebagai karakteristik demografi konsumen memiliki pengaruh
terhadap cara berperilaku, bertindak, dan berpikir konsumen. Berdasarkan
tingkatan karir (Khasali 2003 yang diacu dalam Amalia 2009) konsumen dapat
dibagi menjadi beberapa rentang usia, antara lain antara 17 hingga 23 tahun, 24
hingga 30 tahun, 31 hingga 40 tahun, 41 hingga 50 tahun, 51 hingga 65 tahun, dan
65 tahun ke atas. Berdasarkan tabulasi dan perhitungan tabel maka di dapatkan
hasil seperti yang ditunjukkan pada Tabel 10.
Tabel 10. Karakteristik Konsumen Daging Kelinci di Kota Bogor Berdasarkan
Variabel Usia
Usia
Frekuensi
Persentase (%)
17-23 tahun
11
22
24-30 tahun
11
22
31-40 tahun
13
26
41-50 tahun
10
20
51-65 tahun
5
10
50
100
Total
Dari hasil pengolahan data didapatkan mayoritas konsumen daging kelinci
yang berada di Kota Bogor berada pada rentang usia 31-40 tahun yaitu sebanyak
26 persen. Hal ini dikarenakan pada rentang usia tersebut konsumen berada pada
masa produktif. Menurut Papilia dan Olds (1986) rentang usia 20-40 tahun
merupakan masa paling produktif dalam siklus hidup manusia. Sehingga mobilitas
dan pencarian informasi pun lebih tinggi. Sedangkan jumlah konsumen yang
paling sedikit berdasarkan usia berada pada rentang usia 51-65 tahun atau yang
sering disebut sebagai usia emas, yaitu sebanyak 10 persen. Hal ini dikarenakan
untuk rentang usia tersebut, kemampuan fisik seseorang sudah sangat menurun,
sehingga untuk pencarian lokasi penjualan akan terasa sangat menyulitkan. Selain
itu kapasitas dan kemampuan pencernaan pun semakin menurun sehingga tingkat
konsumsi daging akan berkurang.
6.1.2 Karakteristik Umum Konsumen Berdasarkan Variabel Jenis Kelamin
Perbedaan
jenis
kelamin
akan
mempengaruhi
konsumen
dalam
menentukan produk yang dikonsumsinya. Berdasarkan pengolahan data, maka
komposisi konsumen berdasarkan jenis kelamin bisa dilihat pada Tabel 11
berikut:
Tabel 11. Karakteristik Konsumen Daging Kelinci di Kota Bogor Berdasarkan
Variabel Jenis Kelamin
Jenis Kelamin
Frekuensi
Persentase (%)
Perempuan
28
56
Laki-laki
22
44
50
100
Total
Berdasarkan variabel jenis kelamin, konsumen daging kelinci di Kota
Bogor didominasi oleh perempuan, yaitu sebanyak 56 persen. Hal ini dikarenakan
adanya keunggulan daging kelinci yang rendah kolesterol sehingga baik untuk
dijadikan menu diet sehingga perempuan lebih banyak yang mengonsumsi daging
kelinci. Sedangkan untuk responden pria jumlahnya tidak terlalu berbeda
signifikan dari responden wanita yaitu sebesar 44 persen.
6.1.3 Karakteristik Umum Konsumen Berdasarkan Variabel Tingkat
Pendidikan
Tingkat pendidikan akan terkait dengan banyaknya informasi dan pada
akhirnya menentukan keputusan seseorang dalam melakukan pembelian. Sebagian
besar konsumen daging kelinci di Kota Bogor memiliki tingkat pendidikan yang
tinggi, seperti yang ditunjukkan pada Tabel 12 berikut:
Tabel 12. Karakteristik Konsumen Daging Kelinci di Kota Bogor Berdasarkan
Variabel Tingkat Pendidikan
Tingkat Pendidikan
Frekuensi
Persentase (%)
SD
2
4
SMA
15
30
Diploma
8
16
Sarjana
23
46
Pasca Sarjana
2
4
Berdasarkan data tersebut mayoritas konsumen daging kelinci di Kota
Bogor memiliki tingkat pendidikan yang tinggi (di atas SMA), yaitu 66 persen
yang didominasi oleh lulusan sarjana. Hal ini dikarenakan semakin tinggi tingkat
pendidikan seseorang, maka tingkat kesadaran terhadap nilai gizi dari suatu
makanan akan semakin tinggi pula. Menurut Sumarwan (2003), semakin tinggi
tingkat pendidikannya maka konsumen akan semakin responsif dalam mengolah
informasi. Daging kelinci sendiri memiliki daya tarik dalam hal kandungan
protein yang tinggi namun rendah lemak. Hal ini tentunya menjadi salah satu
pertimbangan konsumen yang mengonsumsi daging kelinci karena nilai gizinya
yang sangat baik untuk kesehatan.
6.1.4 Karakteristik Umum Konsumen Berdasarkan Variabel Pekerjaan
Tingkat pendidikan akan mempengaruhi jenis pekerjaan seseorang. Hal ini
dikarenakan untuk mendapatkan suatu pekerjaan, tingkat pendidikan menjadi
salah satu ukuran pertimbangan. Adapun jenis pekerjaan akan mempengaruhi
tingkat pendapatan seseorang dan kemudian mempengaruhi pola konsumsi dan
proses keputusan seseorang. Sebaran variabel pekerjaan konsumen daging kelinci
dapat dilihat pada Tabel 13 berikut:
Tabel 13. Karakteristik Konsumen Daging Kelinci di Kota Bogor Berdasarkan
Variabel Pekerjaan
Status Pekerjaan
Frekuensi
Persentase
a) Non Pegawai
Buruh
5
10
Ibu Rumah Tangga
9
18
Pelajar
6
12
Total Non Pegawai
20
40
b) Pegawai
Pegawai Swasta
13
26
Pegawai Negeri
10
20
Profesional
2
4
Wiraswasta
5
10
Total Pegawai
Total
30
50
60
100
Konsumen daging kelinci di Kota Bogor sebagian besar termasuk dalam
golongan pegawai atau memiliki pekerjaan yang tetap, yaitu sebesar 60 persen di
mana 43,3 persen komposisi tersebut diisi oleh pegawai swasta. Hal ini
dikarenakan tingkat pendapatan pegawai swasta cenderung lebih tinggi, sehingga
lebih mudah dalam melakukan pembelian daging kelinci yang harganya relatif
lebih mahal dibandingkan daging yang lain.
Untuk persentase konsumen yang termasuk dalam non pegawai (tidak
memiliki pekerjaan tetap) sebesar 40 persen yang di dominasi oleh ibu rumah
tangga yaitu sebesar 45 persen dari komposisi tersebut. Responden dengan profesi
sebagai ibu rumah tangga memiliki porsi yang cukup tinggi dalam komposisi non
pegawai dikarenakan mereka memiliki peran sebagai figur yang menentukan
keputusan pembelian dan turut dalam mempengaruhi keputusan pembelian. Selain
itu konsumen dengan profesi ibu rumah tangga itu sendiri 77,7 persen berada pada
rentang usia di atas 40 tahun dan sisanya masih di bawah 40 tahun. Sehingga
kebutuhan mereka akan konsumsi makanan yang sehat menjadi lebih tinggi. Dari
Tabel 8 dapat disimpulkan bahwa konsumen daging kelinci di Kota Bogor adalah
mereka yang memiliki pekerjaan tetap.
6.1.5 Karakteristik Umum Konsumen Berdasarkan Variabel Pengeluaran
Para peneliti seringkali mengalami kesulitan untuk mendapatkan data
pendapatan responden. Responden cenderung merasa tidak nyaman untuk
mengungkapkan pendapatan yang diterimanya dan bagi beberapa orang
pendapatan merupakan hal yang sangat pribadi sehingga sangat sensitif jika
diberitahukan kepada orang lain. Untuk mengatasi persoalan di atas, penelitian ini
menggunakan metode lain dalam mengukur pendapatan seorang konsumen, yakni
melalui pendekatan pengeluaran perbulan (Sumarwan, 2003). Konsumen
cenderung menyesuaikan pengeluarannya berdasarkan tingkat pendapatan yang
diperoleh. Pada kelas ekonomi menengah ke atas tingkat pengeluaran yang tinggi
dikarenakan tingkat kebutuhannya yang tinggi pula. Sebagian besar pengeluaran
tersebut dialokasikan untuk konsumsi kebutuhan non pangan. Hal ini sesuai
dengan yang dinyatakan Engel et al (1994) bahwa dengan semakin meningkatnya
pendapatan maka alokasi pengeluaran terbesar bukan lagi untuk pemenuhan
konsumsi pangan tapi konsumsi non pangan. Dengan kata lain, untuk kelas
ekonomi dengan pendapatan yang tinggi maka kebutuhan akan konsumsi pangan
sudah terpenuhi dengan baik sehingga bukan menjadi prioritas bagi anggaran
pengeluaran mereka. Namun menurut hukum Bennet, peningkatan pendapatan
akan mengarah pada meningkatnya proporsi pengeluaran untuk lemak dan protein
(Purba,
2006)
Pengeluaran
konsumen
daging
kelinci
di
Kota
Bogor
dikelompokkan berdasarkan kriteria Bank Dunia seperti ditampilkan pada Tabel
14 berikut ini:
Tabel 14. Karakteristik Konsumen Daging Kelinci di Kota Bogor Berdasarkan
Variabel Pengeluaran
Pengeluaran
Kelas Ekonomi
Frekuensi
Persentase (%)
< 540.000
Miskin
4
8
540.000-1.080.000
menengah 1
11
22
menengah 2
8
16
menengah 3
13
26
5.400.000
menengah 4
8
16
>5.400.000
Atas
6
12
50
100
1.080.0011.620.000
1.620.0012.700.000
2.700.000-
TOTAL
Berdasarkan data sebaran pengeluaran perkapita di atas dapat dilihat
bahwa sebagian besar konsumen daging kelinci di Kota Bogor berada pada kelas
ekonomi menengah tiga atau biasa disebut ekonomi menengah tengah, yaitu
sebesar 26 persen. Sementara dari kelompok miskin hanya 8 persen dari total
responden. Hal ini dikarenakan daging kelinci lebih mahal dibandingkan dengan
harga daging yang lain sehingga konsumen dengan pengeluaran kurang dari Rp
540.000,00 lebih cenderung untuk membeli sumber protein dalam bentuk daging
yang lain dengan harga yang lebih murah. Sementara untuk kalangan dengan
tingkat pengeluaran yang tinggi cenderung lebih selektif dalam memenuhi
kebutuhan konsumsi mereka dan lebih memperhatikan kandungan gizi dari
makanan yang dikonsumsi. Selain itu hal ini dikarenakan masyarakat dengan
kelas ekonomi menengah ke bawah yang berpendapatan rendah akan
meningkatkan
pengeluaran
untuk
pangan
pokok
sebaliknya
kelompok
berpendapatan tinggi dengan kelas sosial menengah ke atas memiliki pengeluaran
yang menurun untuk makanan pokok tetapi pengeluaran untuk pangan hewani,
sayur, dan buah meningkat (Martianto et al, diacu dalam Purba 2006).
6.1.6 Karakteristik Umum Konsumen Berdasarkan Variabel Suku Bangsa
Berdasarkan hasil penelitian dapat diketahui bahwa konsumen daging
kelinci berasal dari berbagai suku bangsa. Kota Bogor yang tergolong dalam tanah
Sunda ternyata memiliki masyarakat dari beragam suku yang berdomisili di
wilayah tersebut. Dari hasil penelitian, mayoritas responden berasal dari suku
sunda yaitu sebesar 54 persen. Hal ini dapat dipahami dikarenakan penelitian
dilakukan di Kota Bogor yang merupakan salah satu dari wilayah tanah Sunda.
Selain itu 18 persen dari responden berasal dari suku Jawa. Sisanya berasal dari
suku Batak, Jawa-Sunda, Manado, Tionghoa, dan Aceh dengan proporsi masingmasing sebesar 8, 8, 6, 4, dan 2 persen. Hal ini menunjukkan bahwa sebagian
besar suku yang ada di Indonesia dapat mengonsumsi daging kelinci sehingga
usaha pengolahan daging kelinci tidak menutup kemungkinan dpat dilakukan di
luar wilayah Bogor atau Jawa Barat secara umum. Tabel 15 berikut ini
menampilkan sebaran data karakteristik konsumen daging kelinci berdasarkan
suku bangsa.
Tabel 15. Karakteristik Konsumen Daging Kelinci di Kota Bogor Berdasarkan
Variabel Suku Bangsa
Suku
Frekuensi
Persentase (%)
Sunda
27
54
Batak
4
8
Jawa
9
18
Manado
3
6
Tionghoa
2
4
Jawa-sunda
4
8
Aceh
1
2
50
100
TOTAL
6.1.7 Karakteristik Umum Konsumen Berdasarkan Variabel Agama
Agama merupakan salah satu bagian dari sub-budaya. Agama turut
menentukan konsumsi terhadap suatu produk terutama terkait kehalalannya atau
aturan-aturan sakral tertentu yang menjadi kepercayaan seseorang. Tabel 16
berikut menampilkan sebaran responden berdasarkan agama:
Tabel 16. Karakteristik Konsumen Daging Kelinci di Kota Bogor Berdasarkan
Variabel Agama
Agama
Frekuensi
Persentase (%)
Islam
41
82
Kristen
6
12
Katolik
2
4
Budha
1
2
Sebagian besar responden berasal dari agama Islam, yaitu sebesar 82
persen. Hal ini dikarenakan mayoritas penduduk Kota Bogor merupakan pemeluk
agama Islam. Agama Kristen sendiri sebanyak 12 persen dan sisanya adalah
pemeluk agama Katolik dan Budha sebesar empat dan dua persen.
6.2 Persepsi Konsumen Terhadap Daging Kelinci
Persepsi merupakan cara seseorang konsumen memandang realitas di luar
dirinya atau lingkungan sekelilingnya (Engel et al., 1995). Persepsi turut
menentukan pengambilan keputusan konsumsi yang dilakukan oleh konsumen.
Persepsi yang baik terhadap suatu produk bisa mendorong konsumen untuk
melakukan pembelian yang berkelanjutan, namun sebaliknya persepsi yang buruk
akan menghalangi konsumen untuk melakukan konsumsi terhadap suatu produk.
Daging kelinci merupakan salah satu produk yang belum terlalu familiar
dikalangan masyarakat sehingga perlu dianalisis persepsi konsumen terhadap
daging kelinci dari berbagai aspek. Penelitian kali ini akan membahas persepsi
konsumen dari aspek budaya, sosial, psikologi, dan bauran pemasaran (4P).
Besarnya skor persepsi diukur dengan menggunakan skala Likert dengan nilai
antara 1 (sangat tidak setuju) hingga 5 (sangat setuju).
6.2.1 Persepsi Konsumen Ditinjau dari Aspek Budaya
Budaya merupakan salah satu aspek penting yang harus diperhatikan para
kelompok pemasar dalam menentukan target pasarnya. Hal ini dikarenakan
budaya merupakan hal tumbuh di dalam suatu masyarakat dan mempengaruhi
pengambilan keputusan konsumsi seseorang. Antar suatu kelompok masyarakat
memiliki budaya yang berbeda-beda.
Kegagalan dalam menyesuaikan diri
terhadap perbedaan ini dapat menghasilkan pemasaran yang tidak efektif dan
kesalahan yang memalukan (Kotler, 2008).
Aspek budaya dapat dibagi menjadi beberapa subbudaya, beberapa
diantaranya adalah adat budaya kesukuan dan agama. Persepsi konsumen ditinjau
dari segi adat dan agama sangat penting dilakukan karena penduduk di Kota
Bogor khususnya terdiri dari beragam suku bangsa dan agama di mana kedua hal
tersebut sangat kuat mempengaruhi nilai-nilai yang ada pada diri seseorang
sehingga pada akhirnya mempengaruhi individu dalam pengambilan keputusan
termasuk dalam hal konsumsi. Berikut dipaparkan persepsi konsumen terhadap
daging kelinci berdasarkan kedua subbudaya tersebut.
6.2.1.1 Persepsi Konsumen Ditinjau dari Segi Adat Budaya
Hasil pengolahan data responden menunjukkan bahwa sebagian besar
responden (62 persen) setuju bahwa adat dan budaya dari suku mereka tidak
melarang untuk mengonsumsi daging kelinci. Sementara 36 persen menyatakan
sangat setuju bahwa adat dan budaya mereka tidak ada larangan untuk
mengonsumsi daging kelinci dan sisanya sebesar 2 persen menyatakan netral.
Dari rataan yang didapat, yaitu sebesar 4,34 persen, dapat disimpulkan bahwa
persepsi konsumen sangat baik terhadap daging kelinci jika dilihat dari aspek
budaya. Dengan kata lain tidak ada hambatan budaya bagi pemasar untuk
mengembangkan produk berbahan baku daging kelinci di Kota Bogor. Sebaran
jawaban responden untuk aspek budaya dapat dilihat pada Tabel 17 berikut:
Tabel 17. Sebaran Responden Berdasarkan Skor Rata-Rata Persepsi Konsumen
dari Aspek Adat
Dari segi adat dan budaya konsumen, tidak ada larangan untuk mengonsumsi
daging kelinci:
Jawaban
Frekuensi
Persentase
Skor
Sangat setuju
18
36
90
Setuju
31
62
124
Netral
TOTAL
1
2
3
50
100
217
RATA-RATA
4,34
6.2.1.2 Persepsi Konsumen Ditinjau dari Segi Agama
Selain dilihat dari suku bangsa, agama merupakan salah satu bagian dari
budaya (subbudaya). Agama memberikan peran yang sangat besar dalam
membangun nilai-nilai yang ada dalam diri seseorang. Kota Bogor merupakan
salah satu wilayah yang masih sangat kuat menanamkan nilai-nilai keagamaan
bagi masyarakatnya. Hal ini bisa dilihat dari moto wilayah ini, yaitu ‘Bogor Kota
Beriman’, dimana sebagian besar penduduknya beragama islam. Agama penting
dimasukkan dalam penelitian ini dikarenakan sebelum dikeluarkannya Fatwa MUI
pada tanggal 12 Maret 1983, beberapa kelompok masyarakat masih menganggap
kelinci haram untuk dikonsumsi. Sehingga saat ini perlu dilakukan penelitian
mengenai persepsi konsunen terhadap daging kelinci yang ditinjau dari aspek
agama sebagai salah satu subbudaya. Berdasarkan data yang ditunjukkan oleh
Tabel 18, mayoritas responden (sebesar 58 persen) setuju bahwa agama yang
mereka anut tidak melarang untuk mengonsumsi daging kelinci, 40 persen lainnya
bahkan menyatakan sangat setuju bahwa agama mereka tidak ada larangan untuk
mengonsumsi daging kelinci. Ini menunjukkan bahwa persepsi masyarakat bahwa
daging kelinci layak dan halal untuk dikonsumsi ditinjau dari aspek agama sudah
sangat baik.
Tabel 18. Sebaran Responden Berdasarkan Skor Rata-Rata Persepsi Konsumen
dari Aspek Agama
Ttidak ada larangan untuk mengonsumsi daging kelinci dari segi agama konsumen:
Jawaban
Frekuensi
Persentase
Skor
Sangat setuju
20
40
100
Setuju
29
58
116
Netral
1
2
3
50
100
219
TOTAL
RATA-RATA
4.38
Dari gabungan antara subbudaya adat dan agama di atas, didapatkan rataan
skor sebesar 4,36 yang berarti bahwa persepsi konsumen terhadap daging kelinci
ditinjau dari aspek budaya sudah sangat baik. Hal ini menunjukkan tidak ada
halangan budaya bagi pemasar produk olahan daging kelinci.
6.2.2
Persepsi Konsumen Ditinjau dari Aspek Sosial
Keputusan konsumsi seseorang juga dipengaruhi oleh lingkungan
sosialnya, seperti kelompok kecil, keluarga, serta peran dan status sosial
konsumen. Keluarga merupakan organisasi yang paling penting dalam
masyarakat. Di dalam anggota keluarga sendiri terdapat beberapa peran yang
menentukan pembelian. Salah satunya adalah peran sebagai influencer (pemberi
pengaruh). Pemberi pengaruh sendiri bisa menjadi orang yang mengajak untuk
menkonsumsi maupun yang memberikan pengaruh untuk tidak mengonsumsi
suatu produk. Pemberi pengaruh sendiri melaksanakan perannya berdasarkan
pengalaman yang pada akhirnya membentuk persepsinya terhadap suatu produk
(Engel, 1994). Dengan demikian mereka yang mengajak anggota keluarganya
untuk turut mengonsumsi suatu produk tentunya memiliki persepsi yang baik
terhadap produk tersebut. Berikut dipaparkan mengenai persepsi konsumen
ditinjau dari aspek sosial berdasarkan lingkungan keluarga dan kelompok
pertemanan.
6.2.2.1 Persepsi Konsumen Ditinjau dari Sisi Keluarga
Berdasarkan Tabel 19 dapat dilihat bahwa 48 persen menyatakan setuju
bahwa anggota keluarga mereka memiliki pengaruh bagi mereka untuk
mengonsumsi daging kelinci, 28 persen netral, 18 persen sangat setuju, empat
persen tidak setuju, dan sisanya sebesar satu persen menyatakan sangat tidak
setuju. Rata-rata yang didapatkan adalah sebesar 3,76. Hal ini berarti secara
keseluruhan sebagian besar konsumen mempunyai persepsi yang baik terhadap
daging kelinci yang dibuktikan dengan adanya peran serta lingkungan sosial
mereka dalam mempengaruhi konsumen untuk mengonsumsi daging kelinci.
Tabel 19. Sebaran Responden Berdasarkan Skor Rata-Rata Persepsi Konsumen
dari Sisi Keluarga
Ada pengaruh dari keluarga bagi konsumen dalam mengkonsumsi daging
kelinci:
Jawaban
Sangat Setuju
Frekuensi
Persentase
Skor
9
18
45
Setuju
24
48
96
Netral
14
28
42
2
4
4
1
2
1
50
100
188
Tidak Setuju
Sangat
Tidak
Setuju
TOTAL
RATA-RATA
3,76
6.2.2.2 Persepsi Konsumen Ditinjau dari Sisi Kelompok Pertemanan atau
Komunitas
Selain keluarga, kelompok kecil atau komunitas merupakan salah satu
bagian dari kehidupan sosial konsumen yang turut dalam membentuk nilai-nilai di
dalam diri konsumen. Jika di dalam keluarga terdapat peran influencer (pemberi
pengaruh), maka dalam kelompok terdapat kelompok referensi, yaitu kelompok
yang memperkenalkan perilaku dan gaya hidup baru kepada seseorang,
mempengaruhi sikap dan konsep diri seseorang, dan menciptakan tekanan untuk
menegaskan apa yang mungkin mempengaruhi pilihan produk dan merek
seseorang (Kotler, 2006). Seperti halnya influencer, kelompok referensi
merupakan orang yang mengajak untuk mengonsumsi suatu produk atau merek
jika mereka memiliki persepsi yang baik terhadap suatu produk atau merek, dan
sebaliknya.
Untuk konsumen daging kelinci di Kota Bogor yang menjadi responden
sendiri, 48 persen menyatakan setuju bahwa teman atau komunitas mereka
berperan dalam mempengaruhi mereka untuk mengonsumsi daging kelinci.
Sisanya sebesar 28, 18, 4, dan 2 persen menyatakan netral, sangat setuju, tidak
setuju, dan sangat tidak setuju terhadap pernyataan tersebut. Rataan yang
diperoleh adalah sebesar 3,76. Hal ini menunjukkan bahwa responden memiliki
persepsi yang baik terhadap daging kelinci ditinjau dari sisi kelompok atau
komunitas sosial. Tabel 20 berikut menyajikan sebaran jawaban responden Kota
Bogor berdasarkan aspek sosial melalui pendekatan peran dalam kelompok:
Tabel 20. Sebaran Responden Berdasarkan Skor Rata-Rata Persepsi Konsumen
dari Sisi Kelompok Pertemanan atau Komunitas
Ada pengaruh teman-teman atau kelompok sosial terhadap konsumen dalam
mengkonsumsi daging kelinci:
Jawaban
Sangat Setuju
Frekuensi
Persentase
Skor
9
18
45
Setuju
24
48
96
Netral
14
28
42
Tidak Setuju
2
4
4
Sangat Tidak Setuju
1
2
1
50
100
188
TOTAL
RATA-RATA
3,76
Dari rataan skor yang didapat pada persepsi konsumen terhadap daging
kelinci ditinjau dari sisi keluarga dan komunitas, maka didapatkan rataan sebesar
3,76. Hal ini menunjukkan jika ditinjau dari aspek sosial, maka persepsi
konsumen terhadap daging kelinci sudah baik. Sehingga aspek sosial bisa menjadi
salah satu celah bagi para pemasar untuk memasarkan produknya karena adanya
pihak yang berpersepsi baik terhadap daging kelinci dan berperan mempengaruhi
orang lain untuk turut mengonsumsi daging kelinci.
6.2.3
Persepsi Konsumen Ditinjau dari Aspek Psikologis
Salah satu masalah yang dihadapi konsumen daging kelinci adalah
masalah psikologis dikarenakan kelinci merupakan binatang yang lucu dan
menggemaskan dan ada hambatan tersendiri jika konsumen melihat proses
pemotongan daging kelinci maka akan menyebabkan perasaan yang kurang
nyaman dalam mengonsumsi daging kelinci.
Berdasarkan hasil penelitian yang di tampilkan Tabel 21, ternyata 44
persen responden menyatakan tidak setuju bahwa mereka menjadi kurang nyaman
dalam mengonsumsi daging kelinci karena kelinci binatang yang lucu dan
menggemaskan. Sementara 34 persen menyatakan netral, 14 dan 8 persen sisanya
menyatakan setuju dan sangat tidak setuju. Jika dilihat dari jenis kelamin, maka
14 persen dari responden yang setuju bahwa mereka kurang nyaman
mengonsumsi daging kelinci dikarenakan kelinci binatang yang lucu dan
menggemaskan seluruhnya adalah wanita sebanyak tujuh responden. Sedangkan
yang memilih sangat tidak setuju berjumlah empat responden dimana tiga
diantaranya adalah responden pria. Hal ini menunjukkan bahwa hambatan
psikologis karena gambaran kelinci sebagai binatang yang lucu memang lebih
banyak dialami oleh responden wanita.
Tabel 21. Sebaran Responden Berdasarkan Skor Rata-Rata Persepsi Konsumen
dari Aspek Psikologis (Kelinci Bianatang yang Lucu dan
Menggemaskan)
Konsumen menjadi kurang nyaman dalam mengkonsumsi daging kelinci karena
citra kelinci sebagai binatang yang lucu dan menggemaskan:
Jawaban
Frekuensi
Persentase
Skor
Setuju
7
14
14
Netral
17
34
51
Tidak Setuju
22
44
88
4
8
20
50
100
173
Sangat
Tidak
Setuju
TOTAL
RATA-RATA
3,46
Sementara terkait hambatan psikologis karena melihat proses pemotongan,
44 persen menyatakan tidak setuju bahwa mereka menjadi kurang nyaman
mengonsumsi daging kelinci jika melihat proses pemotongannya. Hal ini
menunjukkan bahwa sebagian besar responden tidak menghadapi gangguan
psikologis tersendiri saat melihat proses pemotongan daging kelinci. Sementara
24 persen menyatakan setuju. Persentase ini lebih besar jika dibandingkan dengan
hasil pada tabel 15 yang hanya sebesar 14 persen. Hal ini berarti memperlihatkan
proses pemotongan pada konsumen memiliki pengaruh psikologis yang lebih
besar dibandingkan gambaran yang terbentuk dalam benak konsumen bahwa
kelinci binatang yang lucu dan menggemaskan. Sisanya sebesar 20 persen
menyatakan netral, 10 persen menyatakan sangat tidak setuju, dan 2 persen
menyatakan sangat setuju. Tabel 22 berikut menyajikan sebaran responden
berdasarkan skor rata-rata persepsi konsumen untuk aspek psikologis terkait
proses pemotongan.
Tabel 22. Sebaran Responden Berdasarkan Skor Rata-Rata Persepsi Konsumen
dari Aspek Psikologis (Proses Pemotongan)
Konsumen kurang nyaman mengkonsumsi daging kelinci karena melihat proses
pemotongan kelinci:
Jawaban
Sangat Setuju
Frekuensi
Persentase
Skor
1
2
1
Setuju
12
24
24
Netral
10
20
30
Tidak Setuju
22
44
88
5
10
25
50
100
168
Sangat
Tidak
Setuju
TOTAL
RATA-RATA
3,36
Jika digabungkan rataan dari kedua pendekatan diatas maka didapatkan
rataan total sebesar 3,42. Hal ini berarti konsumen memberikan persepsi yang
baik bila ditinjau dari psikologis. Artinya bahwa hambatan psikologis tidak
menjadi pengaruh yang signifikan bagi konsumen daging kelinici untuk
melakukan konsumsi.
6.2.4
Persepsi Konsumen Ditinjau dari Aspek Bauran Pemasaran
Strategi pemasaran adalah seperangkat tindakan yang terintegrasi dalam
upaya memberikan nilai bagi konsumen dan keunggulan bersaing bagi perusahaan
(Kotler, 2005). Starategi pemasaran ini salah satunya diaplikasikan dalam bentuk
bauran pemasaran yang terdiri dari 4P, yaitu product, price, place, dan promotion.
Bauran pemasaran merupakan hal yang sangat penting bagi konsumen dalam
mengambil keputusan untuk melakukan konsumsi sehingga pemasar harus
mampu membangun bauran pemasaran yang tepat dimata konsumen.
6.2.4.1 Persepsi Konsumen Ditinjau dari Aspek Produk
Produk merupakan elemen kunci dalam keseluruhan penawaran pasar.
Sehingga membentuk citra produk yang baik di mata konsumen merupakan hal
yang sangat penting. Bicara tentang citra produk sama halnya berbicara tentang
persepsi konsumen terhadap suatu produk atau dengan kata lain brand image dari
suatu produk. Persepsi terhadap suatu produk terbentuk melalui adanya stimulus
yang diterima oleh indra. Untuk daging kelinci sendiri akan dibahas berdasarkan
rasa, tekstur, dan bau. Adapun untuk produk sendiri diolah dalam bentuk sate,
gulai, bakso, nugget, dendeng, tongseng, dan lain-lain. Tabel 23 berikut
menunjukkan sebaran jumlah responden dan jenis bentuk olahan daging kelinci
yang pernah dikonsumsi:
Tabel 23. Bentuk Olahan Daging Kelinci yang pernah Dikonsumsi Responden
Bentuk Olahan
Responden
Persentase
Sate
48
96
Gulai
15
30
Abon
2
4
Nugget
5
10
Sop
4
8
Baso
6
12
Tongseng
2
4
Sebagian besar responden, yaitu sebesar 96 persen, pernah mengonsumsi
daging kelinci dalam bentuk sate. Sedangkan 30 persen pernah mengonsumsi
dalam bentuk gulai. Untuk abon, nugget, sop, baso, dan tongseng sendiri masingmasing pernah dikonsumsi oleh 4, 10, 8, 12, dan 4 persen dari responden. Tabel
18 menunjukkan persepsi responden terhadap daging kelinci berdasarkan rasa.
Dari 50 respondenm 58 persen menyatakan setuju bahwa daging kelinci enak
dikonsumsi, 38 persen menyatakan sangat setuju, dan 4 persen menyatakan netral.
Secara keseluruhan skor rata-rata untuk rasa adalah sebesar 4,34. Hal ini
menunjukkan persepsi konsumen terhadap rasa daging kelinci sangat baik.
Tabel 24. Sebaran Responden Berdasarkan Skor Rata-Rata Persepsi Konsumen
dari Aspek Rasa
Dari segi rasa, menurut konsumen daging kelinci enak dikonsumsi
Jawaban
Frekuensi
Persentase
Skor
Sangat Setuju
19
38
95
Setuju
29
58
116
Netral
2
4
6
TOTAL
50
100
217
RATA-RATA
4,34
Tabel 25 menunjukkan persepsi konsumen terhadap daging kelinci
berdasarkan tekstur. Berdasarkan tekstur, sebagian besar responden,yaitu sebesar
54 persen, setuju bahwa daging kelinci memiliki tekstur yang empuk, 30 persen
menyatakan sangat setuju, dan 16 persen sisanya menyatakan netral. Dari
frekuensi keseluruhan setelah dikalikan dengan masing-masing skor jawaban,
maka didapatkan rata-rata skor sebesar 4,14. Ini menunjukkan bahwa konsumen
mempunyai persepsi yang baik terhadap tekstur daging kelinci.
Tabel 25. Sebaran Responden Berdasarkan Skor Rata-Rata Persepsi Konsumen
dari Aspek Tekstur
Dari segi tekstur, menurut konsumen daging kelinci memiliki tekstur yang
empuk:
Jawaban
Frekuensi
Persentase
Skor
Sangat Setuju
15
30
75
Setuju
27
54
108
Netral
8
16
24
50
100
207
TOTAL
RATA-RATA
4,14
Ditinjau dari aroma, beberapa literatur menyatakan bahwa daging kelinci
tidak berbau amis. Tabel 25 berikut menunjukkan persepsi konsumen terhadap
daging kelinci berdasarkan aroma. Sebanyak 44 persen responden menyatakan
setuju bahwa daging kelinci tidak berbau amis, 36 persen lainnya menyatakan
netral, dan 20 persen menyatakan sangat setuju bahwa daging kelinci tidak berbau
amis. Rataan skor dari keseluruhan jawaban responden adalah sebesar 3,48
sehingga bisa dikategorikan bahwa konsumen memiliki persepsi yang baik
terhadap daging kelinci berdasarkan aromanya.
Tabel 26. Sebaran Responden Berdasarkan Skor Rata-Rata Persepsi Konsumen
dari Aspek Aroma
Dari segi aroma menurut konsumen daging kelinci tidak berbau amis
Jawaban
Sangat Setuju
Frekuensi
Persentase
10
Skor
20
50
Setuju
22
44
88
Netral
18
36
54
TOTAL
50
100
192
RATA-RATA
3,84
Secara keseluruhan, jika kita merata-ratakan skor yang dihasilkan dari
ketiga segi produk di atas, maka akan didapatkan rata-rata sebesar 4,11. Hal ini
berarti konsumen mempunyai persepsi yang baik terhadap daging kelinci dilihat
dari aspek produk. Dengan adanya persepsi yang baik terhadap produk daging
kelinci tersebut, maka dapat disimpulkan bahwa konsumen menyukai daging
kelinci.
6.2.4.2 Persepsi Konsumen Ditinjau dari Aspek Harga
Secara luas harga merupakan jumlah semua nilai yang diberikan oleh
pelanggan untuk mendapatkan keuntungan dari memiliki atau menggunakan
produk atau jasa. Sepanjang sejarahnya, harga telah menjadi faktor utama yang
mempengaruhi pilihan para pembeli. Sehingga harga menjadi salah satu elemen
yang paling penting dalam menentukan pangsa pasar dan keuntungan suatu
perusahaan (Kotler, 2008). Oleh sebab itu menganalisis persepsi konsumen
terhadap harga suatu produk sangat penting untuk dilakukan agar pemasar lebih
mudah dalam melakukan penyesuaian dan melakukan persaingan.
Untuk daging kelinci sendiri responden memang tidak membeli pada
tingkat harga yang sama. Namun hal tersebut tidak menjadi halangan untuk
mengukur persepsi konsumen, karena persepsi dibangun atas dasar pengalaman
responden sendiri. Tabel 27 berikut menyajikan sebaran persepsi konsumen
terhadap harga daging kelinci.
Tabel 27. Sebaran Responden Berdasarkan Skor Rata-Rata Persepsi Konsumen
dari Aspek Harga
Menurut konsumen daging kelinci harganya mahal
Jawaban
Sangat Setuju
Frekuensi
Persentase
Skor
1
2
1
Setuju
11
22
22
Netral
28
56
84
Tidak Setuju
10
20
40
TOTAL
50
100
147
RATA-RATA
2,94
Sebanyak 56 persen responden menyatakan netral terhadap pernyataan
yang diajukan. Hal ini berarti sebagian besar responden menganggap harga daging
kelinci sudah cukup baik. Sementara 22 responden menyatakan setuju bahwa
harga daging kelinci mahal, 20 persen menyatakan tidak setuju dan 2 persen
sangat setuju. Adapun rataan skor yang didapat adalah sebesar 2,94. Hal ini
berarti persepsi konsumen terhadap harga daging kelinci cukup baik.
6.2.4.3 Persepsi Konsumen Ditinjau dari Aspek Lokasi Penjualan
Kemudahan untuk mendapatkan produk menjadi salah satu faktor yang
mempengaruhi permintaan konsumen terhadap suatu produk. Sehingga faktor
lokasi penjualan menjadi salah satu hal yang penting untuk diperhatikan dalam
mengembangkan pemasaran suatu produk. Untuk Kota Bogor sendiri lokasi
penjualan yang ditemukan oleh peneliti hanya di Kecamatan Bogor Barat. Tabel
28 berikut menunjukkan persepsi konsumen terhadap kemudahan menjangkau
lokasi penjualan daging kelinci:
Tabel 28. Sebaran Responden Berdasarkan Skor Rata-Rata Persepsi Konsumen
dari Aspek Lokasi Penjualan
Menurut konsumen tempat-tempat yang menjual daging kelinci sulit ditemukan:
Jawaban
Frekuensi
Persentase
Skor
Sangat Setuju
15
30
15
Setuju
27
54
54
Netral
6
12
18
Tidak Setuju
2
4
8
50
100
95
TOTAL
RATA-RATA
1,9
Sebanyak 54 persen responden menyatakan setuju bahwa tempat-tempat
yang menjual daging kelinci sulit ditemukan. Bahkan 30 persen menyatakan
sangat setuju bahwa tempat-tempat yang menjual daging kelinci sulit untuk
ditemukan. Sedangkan 12 dan 4 persen lainnya menyatakan netral dan tidak
setuju. Setelah dikalikan dengan masing-masing skor jawaban, maka didapat
rataan sebesar 1,9. Hal ini menggambarkan persepsi yang tidak baik dari
konsumen terhadap daging kelinci ditinjau dari aspek lokasi penjualan. Bisa jadi
permasalahan utama kurangnya respon konsumen di Kota Bogor terhadap daging
kelinci disebabkan karena kesulitan menemukan lokasi penjualan makanan olahan
daging kelinci.
6.2.4.4 Persepsi Konsumen Ditinjau dari Aspek Promosi
Dalam pengambilan keputusan, konsumen melewati fase pencarian
informasi. Minimnya informasi mengenai suatu produk akan menyebabkan
kegagalan tersendiri dalam pemasaran produk karena konsumen akhirnya tidak
mampu mengenali produk yang ditawarkan tersebut. Disinilah promosi sebagai
salah satu bagian dari pemberian informasi mengenai produk perlu dilakukan.
Daging kelinci sebagai produk yang masih awam dikonsumsi banyak orang
tentunya harus lebih gencar dilakukan promosi dalam proses pemasarannya. Tabel
29 berikut menunjukkan persepsi konsumen terhadap promosi tentang daging
kelinci:
Tabel 29. Sebaran Responden Berdasarkan Skor Rata-Rata Persepsi Konsumen
dari Aspek Lokasi Penjualan
Menurut konsumen, promosi tentang daging kelinci masih sangat kurang:
Jawaban
Frekuensi
Persentase
Skor
Sangat Setuju
18
36
18
Setuju
28
56
56
Netral
3
6
9
Tidak Setuju
1
2
4
50
100
87
TOTAL
RATA-RATA
1,74
Berdasarkan data yang didapat di lapang, 56 persen responden menyatakan
setuju bahawa promosi mengenai daging kelinci masih sangat kurang. Sedangkan
36 persen lainnya menyatakan sangat setuju bahwa promosi tentang daging
kelinci masih sangat kurang. Adapun 6 dan 2 persen lainnya menytakan netral dan
tidak setuju. Dari data tersebut setelah dikalikan dengan skor masing-masing
jawaban dan dirata-ratakan, maka didapatkan rata-rata sebesar 1,74. Hal ini
menggambarkan bahwa promosi mengenai daging kelinci sangat tidak baik atau
sangat buruk sekali di mata konsumen. Di Kota Bogor sendiri promosi mengenai
daging kelinci dilakukan oleh pemerintah melalui Dinas Peternakan hanya ada
pada kegiatan-kegiatan tertentu saja, misalnya bazar, sehingga khalayak yang
mengetahui mengenai daging kelinci hanya terbatas pada beberapa orang saja.
Berdasarkan seluruh aspek bauran pemasaran di atas, yaitu meliputi
produk, tempat penjualan, harga, dan promosi, jika hitung rata-rata kseluruhan
maka skor yang didapat adalah sebesar 2.6. Dapat disimpulkan bahwa persepsi
konsumen terhadap bauran pemasaran daging kelinci masih tidak baik. Hal ini
dapat dilihat dari rendahnya skor dari setiap aspek bauran pemasaran daging
kelinci terutama pada bagian promosi.
Jika kita kelompokkan secara keseluruhan dari semua aspek yang diujikan
di atas, maka akan di dapat hasil seperti yang ditunjukkan dalam Tabel 30 berikut
ini:
Tabel 30. Rataan Keseluruhan Aspek dan Sub Aspek Analisis Persepsi
Konsumen
Aspek
Budaya
Sosial
Psikologis
Bauran Pemasaran
Sub Aspek
Adat
Agama
Keluarga
Teman
Citra kelinci
Proses pemotongan
Produk
Tempat Penjualan
Harga
Promosi
Rataan Sub Aspek
4,34
4,38
3,76
3,76
3,46
3,36
4,11
2,94
1,9
1,74
Rataan Aspek
4,4
3,8
3,4
2,6
TOTAL
14,2
RATAAN
3,55
Berdasarkan Tabel 30 tersebut, maka aspek budaya mendapatkan persepsi
yang sangat baik di mata konsumen. Hal ini berarti bagi pemasar, aspek budaya
konsumen Kota Bogor tidak menjadi hambatan dalam pengembangan pemasaran
daging kelinci. Aspek sosial mendapatkan persepsi yang baik di mata konsumen,
dimana konsumen turut berperan dalam memperkenalkan daging kelinci kepada
lingkungannya. Aspek psikologis sendiri dipersepsikan cukup baik oleh
konsumen. Artinya konsumen memang mengalami masalah psikologis dalam
mengonsumsi daging kelinci, namun hambatan tersebut tidak terlalu signifikan
bagi konsumen. Adapun aspek yang mendapat persepsi buruk atau tidak baik di
mata konsumen adalah aspek bauran pemasaran, terutama untuk bagian promosi.
Bauran pemasaran mendapatkan skor keselurahan sebesar 2,6. Hal ini
menandakan bahwa permasalahn utama dalam minimnya konsumsi daging kelinci
di Kota Bogor adalah pada masalah bauran pemasaran bukan pada aspek
psikologi. Oleh sebab itu para pemasar harus lebih gencar dalam melakukan
promosi dan didukung oleh pihak pemerintah.
Sedangkan jika dilihat secara keseluruhan, maka skor yang didapatkan
adalah sebesar 3,55 yang artinya persepsi konsumen ditinjau dari seluruh aspek
terhadap daging kelinci sudah baik. hal inilah yang bisa digunakan untuk menjadi
acuan bagi konsumen yang belum mengonsumsi daging kelinci agar tertarik untuk
menjadi konsumen daging kelinci.
6.3 Analisis Variabel yang Mempengaruhi Persepsi Konsumen Terhadap
Daging Kelinci
Model logit yang digunakan dalam mengolah data pada penelitian ini
digunakan untuk menentukan variabel-variabel yang mempengaruhi persepsi
konsumen terhadap daging kelinci di Kota Bogor. Adapun variabel terikat dalam
penelitian ini terbagi menjadi dua yaitu Y=0 (persepsi buruk) dan Y=1 (persepsi
baik). Sedangkan variabel bebasnya terbagi menjadi lima variabel yaitu usia, jenis
kelamin, pendidikan, pekerjaan, dan tingkat pengeluaran.
Berdasarkan hasil penelitian, dari 50 responden sebanyak 27 orang
mempunyai persepsi yang baik terhadap daging kelinci dan 23 orang mempunyai
persepsi yang buruk. Hasil dugaan model logistik menunjukkan bahwa pada
tingkat kepercayaan 85 persen didapatkan nilai signifikansi Hosmer dan
Lemeshow Test sebesar 0,639. Nilai tersebut lebih besar dibandingkan dengan
nilai alpha 0,15 sehingga dapat disimpulkan bahwa keselurahan model yang
dihasilkan cukup baik, artinya paling sedikitnya terdapat satu variabel bebas yang
berpengaruh nyata (nilai koefisien tidak sama dengan nol) terhadap tingkat
persepsi konsumen terhadap daging kelinci di Kota Bogor. Dengan kata lain
model telah mampu menjelaskan data dengan baik (Goodness of Fit). Adapun
nilai Nagelkerke R-square yang dihasilkan adalah sebesar 0,409. Hal ini
menunjukkan bahwa kelima variabel, yaitu usia,jenis kelamin, pendidikan,
pekerjaan, dan tingkat pengeluaran dapat menjelaskan varians persepsi konsumen
sebesar 40,9 persen dan sisanya yaitu 59,1 persen dijelaskan oleh faktor lain.
Adapun variabel yang berpengaruh nyata terhadap persepsi konsumen adalah
variabel yang memiliki nilai signifikansi di bawah nilai alpa 15 persen (0,15).
Nilai signifikansi dari masing-masing kategori variabel dapat dilihat pada Tabel
31 berikut:
Tabel 31. Hasil Estimasi Regresi Logistik Terhadap Variabel-Variabel yang
Mempengaruhi Responden untuk Memiliki Persepsi Baik Terhadap
Daging Kelinci
B
Step 1(a)
USIA
USIA(1)
USIA(2)
USIA(3)
USIA(4)
JK(1)
PDDIKAN
PDDIKAN(1)
PDDIKAN(2)
PKRJAAN(1)
PNGLUARN
PNGLUARN(1)
PNGLUARN(2)
PNGLUARN(3)
PNGLUARN(4)
PNGLUARN(5)
Constant
S.E.
19.783
21.057
19.673
-1.170
-2.115
16974.325
16974.325
16974.325
1.488
.957
-.879
-.930
1.213
2.288
.998
1.099
-21.324
-20.724
-19.937
-19.719
1.081
1.383
16974.325
16974.325
16974.325
16974.325
1.608
1.422
Wald
2.405
.000
.000
.000
.618
4.890
.883
.148
.869
1.218
1.804
.000
.000
.000
.000
.452
.945
df
Sig.
4
1
1
1
1
1
2
1
1
1
5
1
1
1
1
1
1
.662
.999
.999
.999
.432
.027
.643
.701
.351
.270
.875
.999
.999
.999
.999
.501
.331
Exp(B)
390509754.404
1396209451.917
349777782.440
.310
.121
.415
.395
3.363
.000
.000
.000
.000
2.949
3.986
Berdasarkan Tabel 31, maka dapat dilihat bahwa hanya variabel jenis
kelamin yang memiliki pengaruh nyata terhadap persepsi konsumen. Hal ini
dikarenakan variabel tersebut memiliki P-value (Sig.) lebih kecil dari alpha yang
ditetapkan (α=0,15). Pengaruh dari masing-masing variabel tersebut akan
dijelaskan sebagai berikut:
1. Usia
Semua kategori pada variabel usia memiliki P-value lebih besar dari 0,15
sehingga usia tidak memiliki pengaruh yang signifikan bagi persepsi
konsumen terhadap daging kelinci. Hal ini dikarenakan daging kelinci bisa
dikonsumsi oleh semua usia. Sehingga variabel usia tidak terlalu
berpengaruh nyata dalam membentuk persepsi konsumen terhadap daging
kelinci.
2. Jenis Kelamin
Variabel jenis kelamin memiliki nilai P-value (Sig.) lebih besar dari alpha
yang ditetapkan, dimana nilai P-valuenya sebesar 0,27. Sehingga variabel
jenis kelamin memiliki pengaruh yang nyata dalam membentuk persepsi
konsumen terhadap daging kelinci. Dengan nilai odds ratio atau Exp(B)
sebesar 0,121 dapat disimpulkan bahwa jenis kelamin pria memiliki
peluang sebesar 0,121 kali lipat dibandingkan jenis kelamin wanita untuk
memberikan persepsi yang baik terhadap daging kelinci. Dengan melihat
nilai koefisien variabel yang bernilai negatif (-2,115) menunjukkan bahwa
jenis kelamin pria cenderung memberikan persepsi yang buruk terhadap
daging kelinci dibandingkan dengan wanita. Hal ini dikarenakan daging
kelinci yang sangat baik untuk menu diet, sehingga para wanita lebih
cenderung mempunyai persepsi yang baik terhadap daging kelinci.
3. Pendidikan
Nilai P-value untuk variabel tingkat pendidikan lebih besar dari 0,15
sehingga tidak memiliki pengaruh yang nyata bagi persepsi konsumen
terhadap daging kelinci. Hal ini dikarenakan pada fakta di lapang, ternyata
responden pada setiap tingkatan pendidikan memiliki pengetahuan dan
informasi yang relatif sama mengenai daging kelinci. Baik responden
dengan tingkat pendidikan yang rendah, sedang, maupun tinggi
mengonsumsi daging kelinci dengan alasan kesehatan. Sehingga walaupun
jenjang pendidikan berbeda, namun tidak membedakan secara nyata
persepsi mereka terhadap daging kelinci.
4. Pekerjaan
Variabel pekerjaan memiliki P-value sebesar 0.27 sehingga lebih besar
daripada nilai alpha. Hal ini berarti variabel pekerjaan tidak memiliki
pengaruh nyata dalam membentuk persepsi baik konsumen terhadap
daging kelinci. Seperti halnya yang sudah dijelaskan pada variabel tingkat
pendidikan, konsumen yang mengonsumsi daging kelinci cenderung
menjadikan daging kelinci sebagai ‘obat’ sehingga untuk jenis pekerjaan
yang berbeda, responden memiliki kesamaan tujuan dalam mengonsumsi
yaitu alasan kesehatan. Sehingga variabel pekerjaan tidak berpengaruh
terhadap persepsi konsumen daging kelinci.
5. Pengeluaran
Nilai P-value dari variabel pengeluaran untuk setiap kategori bernilai lebih
besar dari 0,15. Hal ini berarti variabel pengeluaran tidak memiliki
pengaruh dalam pembentukan persepsi baik konsumen terhadap daging
kelinci. Bagi beberapa kalangan daging kelinci memang relatif lebih
mahal. Namun jika pengetahuan konsumen mengenai daging kelinci sudah
sangat bagus, maka konsumen akan bisa memahami kesenjangan harga
tersebut yang salah satunya disebabkan oleh sulitnya mendapatkan
pasokan daging kelinci.
Dari hasil analisis di atas maka dapat disimpulkan bahwa variabel yang
memiliki pengaruh nyata dalam membentuk persepsi baik konsumen terhadap
daging kelinci adalah variabel jenis kelamin. Sedangkan variabel usia, pendidikan,
pekerjaan, dan pengeluaran tidak berpengaruh nyata dalam membentuk persepsi
konsumen terhadap daging kelinci.
6.4 Rekomendasi Bagi Pengusaha Daging Kelinci di Kota Bogor
Salah satu keluaran dari penelitian ini adalah untuk memberikan
rekomendasi pengembangan usaha daging kelinci di Kota Bogor. Adapun
rekomendasi yang diberikan berdasarkan dari data-data dan hasil analisis yang
telah dilakukan. Berdasarkan hasil analisis terhadap data hasil dari wawancara dan
kuesioner, maka didapatkan beberapa matriks sebagai berikut:
Tabel 32. Matriks Karakteristik Konsumen Daging Kelinci di Kota Bogor
Variabel
Keterangan
Usia
31-40 Tahun
Jenis Kelamin
Perempuan
Pendidikan
Tinggi
Pekerjaan
Pegawai Swasta
Pengeluaran
Rp 1.620.000,00-Rp 2.700.000,00.
Sementara terkait dengan persepsi konsumen terhadap daging kelinci,
didapatkan matriks berikut ini:
Tabel 33. Matriks Persepsi Konsumen Terhadap Daging Kelinci
Aspek
Budaya
Sosial
Psikologis
Bauran Pemasaran
Sub Aspek
Adat
Agama
Keluarga
Teman
Citra kelinci
Proses pemotongan
Produk
Rataan Sub Aspek
4,34 (Sangat Baik)
4,38 (Sangat Baik)
3,76 (Baik)
3,76 (Baik)
3,46 (Cukup baik)
3,36 (Cukup Baik)
4,11 (Baik)
Tempat Penjualan
Harga
Promosi
2,94 (Cukup Baik)
1,9 (Kurang Baik)
1,74 (Sangat Tidak Baik)
Rataan Aspek
4,4 (Sangat Baik)
3,8 (Baik)
3,4 (Cukup Baik)
2,6 (Kurang
Baik)
TOTAL
14,2
RATAAN
3,55
Berdasarkan matriks di atas, maka dapat diberikan beberapa rekomendasi
dalam pengembangan usaha daging kelinci di Kota Bogor diantaranya terkait
dengan konsumen potensial daging kelinci dan pengembangan pemasaran daging
kelinci. Untuk konsumen potensial daging kelinci dapat dilihat pada matriks
pertama, mayoritas konsumen daging kelinci berada pada usia 31 hingga 40
tahun, berjenis kelamin perempuan, memiliki tingkat pendidikan yang tinggi,
pekerjaan sebagai pegawai swasta, dan berada pada kelas ekonomi menengah ke
atas. Diantara variabel-variabel tersebut yang memiliki pengaruh nyata dalam
memberikan persepsi positif terhadap daging kelinci adalah variabel jenis
kelamin. Jenis kelamin wanita lebih cenderung memberikan persepsi yang baik
terhadap daging kelinci dibandingkan jenis kelamin pria. Oleh sebab itu dapat
direkomendasikan sebagai target pasar sasaran adalah jenis kelamin wanita.
Positioning daging kelinci sebagai makanan yang rendah lemak namun tinggi
protein dapat digunakan sebagai salah satu daya tarik bagi konsumen wanita.
Masalah mengenai berat badan menjadi masalah yang sangat penting bagi
para wanita saat ini. Bahkan berdasarkan hasil jajak pendapat yang pernah
dilakukan di London, wanita lebih stres karena masalah berat badan daripada
kanker2. Terdengar cukup ekstrim namun itu terjadi bahkan di Indonesia. Wanita
cenderung sensitif jika disinggung mengenai berat badan mereka.
Hal ini merupakan suatu peluang yang sangat baik untuk mengembangkan
daging kelinci di mana wanita sebagai segmen pasar potensialnya. Wanita
merupakan konsumen yang konsumtif
dan dalam lingkungan keluarga pun
keputusan konsumsi keluarga sebagian besar dipegang oleh wanita.
Untuk target pasar yang lebih spesifik maka dari segmen wanita tersebut bisa
dipersempit dengan menargetkan wanita dengan kelas ekonomi menengah ke atas.
Hal ini dikarenakan mereka yang berada pada kelas sosial ini memiliki daya beli
yang lebih tinggi dan kepedulian yang tinggi terhadap kandungan gizi makanan
yang dikonsumsinya. Selain itu menurut Engel (1995) dalam analisis variabel
sosioekonomi, menunjukkan bahwa orang dengan status sosial yang lebih tinggi
memiliki hubungan yang positif dalam hal keinovatifan (kemungkinan
mengkonsumsi produk baru). Orang dengan kelas sosial yang lebih tinggi tidak
hanya mempunyai kemampuan untuk lebih banyak membeli produk baru, tetapi
juga memiliki kemampuan untuk mengambil risko mengkonsumsi produk baru.
Selain itu konsumen target juga bisa berasal dari wanita dengan tingkat
pendidikan yang tinggi, bekerja sebagai pegawai swasta, atau yang berada pada
usia yang produktif. Namun variabel kelas ekonomi merupakan variabel yang
lebih sering digunakan karena permintaan terhadap suatu produk sangat terkait
erat dengan daya beli yang ditunjukkan oleh tingkat pendapatan atau pengeluaran
individu.
2
Vonisa M. 14 Januari 2009. Wanita Lebih Stres Dengan Berat Badan Daripada Kanker.Tempo
Interaktif.
Selain konsumen potensial sebagai target sasaran, berdasarkan hasil
penelitian dapat direkomendasikan juga beberapa hal terkait dengan bauran
pemasaran. Pada matriks kedua ditunjukkan persepsi konsumen terhadap daging
kelinci dilihat dari beberapa aspek, diantaranya: aspek sosial, budaya, psikologis
dan bauran pemasaran. Berdasarkan data yang didapat, ternyata bauran pemasaran
daging kelinci masih kurang baik di persepsikan oleh konsumen. Adapun unsur
bauran pemasaran yang belum mendapatkan persepsi yang baik adalah tempat
harga, penjualan, dan promosi. Oleh sebab itu perlu dilakukan beberapa langkah
dalam mengatasi hal tersebut.
Berdasarkan hasil penelitian yang dilakukan, persepsi konsumen terhadap
harga produk olahan berbahan baku daging kelinci adalah cukup baik. Hal ini
berarti harga produk olahan daging kelinci dimata konsumen merupakan harga
yang normal. Namun jika dilihat perbandingan antara responden yang setuju
bahwa harga daging kelinci mahal dengan responden yang menyatakan tidak
setuju, maka frekuensi yang terbanyak adalah responden setuju bahwa daging
kelinci memiliki harga yang mahal. Tentunya responden mendapatkan harga yang
berbeda-beda karena tempat pembelian responden pun berbeda-beda. Untuk
gambaran, peneliti membeli sate kelinci dengan harga Rp 15.000,00 per porsi,
sedangkan harga sate ayam Rp 12.000,00 dan harga sate kambing Rp 14.000,00
per porsi untuk satu lokasi penjualan yang sama.
Sulitnya mendapatkan bahan baku menjadi salah satu penyebab harga
daging kelinci lebih mahal dibandingkan dengan daging ayam maupun kambing.
Sehingga harga yang didapatkan konsumen juga lebih mahal. Untuk mengatasi
hal tersebut, pengusaha produk olahan daging kelinci seperti sate kelinci,
sebaiknya melakukan kemitraan dengan kelompok peternak kelinci yang ada di
Bogor (Fannani, 2006). Selain harga yang lebih murah, ketersediaan bahan baku
juga lebih terjamin. Untuk peternak sendiri juga lebih mudah menemukan pasar
yang tepat untuk kelinci pedaging mereka. Selain bekerjasama dengan peternak,
pengusaha juga bisa membuka peternakan kelinci sendiri. Hal ini jauh lebih
menekan biaya karena kelinci merupakan hewan yang cepat berkembang biak dan
mudah untuk dipelihara. Namun yang perlu diperhatikan adalah menjaga lokasi
peternakan dengan lokasi penjualan produk. Hal ini dilakukan agar konsumen
tidak melihat kelinci hidup secara langsung ketika melakukan pembelian, karena
mampu meningkatkan hambatan psikologis mereka untuk mengonsumsi daging
kelinci.
Persepsi konsumen terhadap tempat atau lokasi penjualan daging kelinci
masih sangat tidak baik. Hal ini menunjukkan bahwa konsumen mengalami
kesulitan dalam mendapatkan produk daging kelinci. Fannani (2006) dalam
penelitiannya mengurutkan peringkat atribut produk atas tingkat kepentingan dan
dari hasil penelitian didapatkan bahwa kemudahan memperoleh produk
menempati urutan kedua setelah harga. Berdasarkan keterangan tersebut dapat
dilihat bahwa konsumen sangat mempertimbangkan ketersediaan produk dalam
memutuskan produk yang akan dikonsumsinya. Seperti yang sudah dianalisis,
konsumen potensial untuk daging kelinci adalah konsumen wanita yang jika
disempitkan lagi dengan karakteristik yang lain konsumen wanita yang dimaksud
adalah konsumen wanita dengan pendidikan tinggi, kelas ekonomi menengah ke
atas, berada pada usia produktif, dan memiliki pekerjaan tetap. Untuk itu lokasi
perumahan-perumahan menengah ke atas patut dicoba untuk dijadikan lokasi
usaha.
Terkait dengan promosi, persepsi konsumen masih sangat tidak baik.
Kurangnya promosi menyebabkan informasi yang diterima konsumen juga
menjadi lebih sedikit. Informasi mengenai produk sangat dibutuhkan oleh
konsumen dalam rangka pengenalan akan produk tersebut dan berujung pada
keputusan konsumen untuk mengonsumsi produk tersebut. Hal ini terutama
dikarenakan daging kelinci yang belum terlalu familiar di kalangan masyarakat
Kota Bogor. Yang bisa dilakukan dalam rangka meningkatkan promosi adalah
dengan menyebarkan pamflet atau brosur mengenai daging kelinci, mengikuti
pameran-pameran kuliner, dengan media internet melalui situs pertemanan, dan
dengan melakukan promosi seperti membagikan sampel produk kepada pembeli
serta direct marketing (Tjiptono, 2008).
Selain itu membuat papan nama usaha sehingga konsumen dapat
mengetahui keberadaan usaha juga bisa dilakukan sebagai bentuk promosi.
Karena ini memudahkan konsumen untuk mengindetifikasi lokasi sehingga dapat
meningkatkan jumlah pelanggan yang dating. Hal ini diperkuat oleh hasil
penelitian Fannani (2006), dimana 43 persen konsumen yang berkunjung ke
Kedai Daci adalah orang-orang yang kebetulan lewat. Pengusaha harus mampu
memberikan informasi bagi setiap pembeli yang dating, karena pembeli tersebut
merupakan salah satu media promosi melalui word of mouth (WOM). Word of
mouth ini biasanya cepat diterima pelanggan karena yang menyampaikannya
adalah mereka yang dapat dipercayainya, seperti para ahli, teman, keluarga, dan
publikasi media masa. Di samping itu, word of mouth juga cepat diterima sebagai
referensi karena pelanggan sulit mengevaluasi produk yang belum pernah
dikonsumsinya (Tjiptono, 2008). Oleh karena itu pemberian informasi yang
komprehensif mengenail keunggulan daging kelinci harus mampu diinformasikan
dengan baik kepada setiap pembeli yang datang sehingga mereka yang nantinya
menjadi agen promosi perusahaan. Cara ini juga bisa dilakukan jika modal
promosi yang dimiliki terbatas (Mayasari, 2010).
VII KESIMPULAN DAN SARAN
7.1
Kesimpulan
Berdasarkan tujuan dan analisis hasil penelitian yang diperoleh maka
dapat ditarik kesimpulan sebagai berikut:
1. Karakteristik konsumen konsumen daging kelinci yang ada di Kota Bogor
dapat dibagi berdasarkan usia, jenis kelamin, pendidikan, pekerjaan, dan
pengeluaran. Berdasarkan usia, mayoritas konsumen berada pada usia
produktif, yaitu antara 31-40 tahun sedangkan jumlah yang paling sedikit
adalah pada kelompok usia 51-65 tahun. Konsumen tersebut mayoritas
berjenis kelamin perempuan dengan tingkat pendidikan tinggi yang
didominasi oleh sarjana. Adapun pekerjaan sebagian besar dari konsumen
daging kelinci adalah pegawai swasta. Untuk tingkat pengeluaran,
sebagian besar konsumen berada pada kisaran antara Rp 1.620.000,00
hingga Rp 2.700.000,00.
2. Persepsi konsumen terhadap daging kelinci ditinjau dari beberapa aspek,
antara lain aspek budaya, sosial, psikologis, dan bauran pemasaran. Untuk
aspek budaya, konsumen memberikan persepsi yang sangat baik ditinjau
dari adat istiadat dan agama konsumen. Dari aspek sosial, konsumen
memberikan persepsi yang baik terhadap daging kelinci. Untuk aspek
psikologis konsumen juga memberikan persepsi yang baik, hal ini berarti
masalah psikologis bagi konsumen yang mengkonsumsi daging kelinci,
tidak
terlalu
berpengaruh.
Sedangkan
aspek
bauran
pemasaran
mendapatkan persepsi tidak baik dari konsumen, terutama dalam hal
promosi. Untuk persepsi keseluruhan, konsumen memberikan persepsi
yang baik terhadap daging kelinci.
3. Variabel yang memiliki pengaruh nyata dalam pembentukan persepsi
konsumen terhadap daging kelinci ini adalah variabel jenis kelamin.
Konsumen yang berjenis kelamin perempuan cenderung memberikan
persepsi yang baik terhadap daging kelinci 8,3 kali dibandingkan
konsumen pria.
4. Untuk rekomendasi pengembangan usaha daging kelinci di Kota Bogor,
pihak pemasar dapat menetapkan wanita sebagai target pasar. Selain itu,
perlu dilakukan beberapa perbaikan terkait bauran pemasaran, yaitu harga,
tempat, dan promosi.
7.2
Saran
Berdasarkan hasil penelitian, saran yang dapat diberikan antara lain:
1. Pemerintah Kota Bogor sebaiknya turut dalam mempromosikan daging
kelinci sebagai sumber protein hewani alternatif di Kota Bogor. Selain itu,
pengembangan kelompok ternak kelinci di Kota Bogor juga harus di
kembangkan agar suplai daging kelinci tidak hanya bergantung pada
Kabupaten Bogor saja, karena kurangnya ketersediaan daging kelinci di
Kota Bogor menyebabkan harga daging kelinci lebih mahal dibandingkan
dengan daging yang lain.
2. Kepada pemasar sebaiknya menjadikan konsumen perempuan sebagai
target pasar karena konsumen berjenis kelamin perempuan lebih
cenderung memberikan persepsi yang baik terhadap daging kelinci
dibandingkan dengan konsumen berjenis kelamin laki-laki. Selain itu
pihak pemasar yang hendak mengembangkan usaha daging kelinci di Kota
Bogor sebaiknya meningkatkan promosi penjualan, menyesuaikan harga,
dan memilih tempat yang strategis agar pasar sasaran lebih mudah dalam
mendapatkan produk dari daging kelinci.
3. Untuk peneltian selanjutnya dapat ditambahkan beberapa variabel yang
mempengaruhi persepsi konsumen terhadap daging kelinci. Salah satunya
adalah pengetahuan konsumen terhadap kandungan gizi daging kelinci.
Karena pada saat dilakukan wawancara, konsumen yang memiliki
pengetahuan nilai gizi dagng kelinci yang lebih tinggi, cenderung
memberikan persepsi yang baik terhadap daging kelinci. Adapun variabel
lain yang bisa ditambahkan adalah motivasi dan preferensi. Untuk
penelitian selanjutnya akan lebih menarik jika dilakukan komparasi antara
konsumen yang sudah mengkonsumsi daging kelinci dengan yang belum,
sehingga pasar potensial dan strategi yang direkomendasikan semakin
komprehensif. Untuk preferensi sendiri, bisa dilakukan komparasi antara
preferensi konsumen daging kelinci dibandingkan dengan daging yang
lain.
DAFTAR PUSTAKA
Amalia R.2009. Strategi pengembangan usaha jus buah pada CV.Winner Perkasa
Indo Unggul [skripsi]. Bogor: Fakultas Ekonomi dan Manajemen, Institut
Pertanian Bogor.
Ariningsih E. 2002. Perilaku konsumsi pangan sumber protein hewani dan nabati
sebelum dan pada masa krisis di Jawa [tesis]. Bogor: Sekolah Pasca
Sarjana, Institut Pertanian Bogor.
Arindita S. 2003. Hubungan antara persepsi kualitas pelayanan dan citra bank
dengan loyalitas nasabah [skripsi]. Surakarta: Fakultas Psikologi,
Universitas Muhammadyah Surakarta.
[Balitnak] Balai Penelitian Ternak Ciawi. 2010. Pedoman pembibitan ternak
kelinci yang baik. Bogor: Balitnak Kabupaten Bogor.
[Balitnak] Balai Penelitian Ciawi. 2010. Teknologi budidaya ternak kelinci.
Bogor: Balitnak Kabupaten Bogor.
[BPS] Badan Pusat Statistik Kabupaten Bogor. 2010. Kabupaten Bogor dalam
angka. Bogor. BPS Kabupaten Bogor.
[BPS] Badan Pusat Statistik Kota Bogor. 2010. Kota Bogor dalam angka. Bogor.
BPS Kota Bogor.
[BPS] Badan Pusat Statistik Kota Bogor. 2010. Produk domestik regional Kota
Bogor 2005-2009. Bogor. BPS Kota Bogor.
[BPS] Badan Pusat Statistik Indonesia. 2009. Rata-rata Konsumsi Protein per
Kapita Menurut Kelompok Makanan 1999, 2002 - 2009. Jakarta: BPS
Indonesia.
Churchill GA. 2001. Dasar-dasar riset pemasaran. Andriati, Yahya KD, Salim
Emil, penerjemah; Saat Suryadi, Kristiaji WC, editor. Jakarta: Penerbit
Erlangga. Terjemahan dari: Basic Marketing Research, Fourth Edition.
Engel JF, Blackwel RD, Miniard PW. 1994. Budijanto, penerjemah; Jakarta:
Binarupa Aksara. Terjemahan dari: Consumer Behavior.
Engel JF, Blackwel RD, Miniard PW. 1995. Budijanto, penerjemah; Jakarta:
Binarupa Aksara. Terjemahan dari: Consumer Behavior 6th ed.
[Ditjennak] Direktorat Jendral Peternakan. 2010. Analisa impor peternakan.
Jakarta: Ditjennak Jakarta.
Fannani O. 2006. Analisis respon dan kepuasan konsumen terhadap sate kelinci
Kedai Daci studi kasus di Kelurahan Ciparigi, Kecamatan Bogor Utara,
Kotamadya Bogor, Provinsi Jawa Barat [skripsi]. Bogor: Fakultas
Pertanin, Institut Pertanian Bogor.
Hawkins DI, Best RJ. 1996. Consumer Behavior Building Strategy. New York:
Mc Graw Hill Inc.
Kartadisatra HR. 1994. Kelinci Unggul. Yogyakarta: Kanisius.
Kotler P, Amstrong. 2001. Prinsip-Prinsip Pemasaran (Terjemahan Jilid I).
Jakarta: Erlangga.
Loudon DL, Albert JDB. 1993. Consumer Behaviour: Concepts and Aplicants.
New York: Mc Graw Hill Inc.
Mar’at, 1991. Sikap Manusia Perubahan Serta Pengukurannya. Jakarta: Ghalia
Indonesia.
Nazir, M. 2003. Metode Penelitian. Ghalia Indonesia. Jakarta.
Numarchus T. 2006. Analisis pola konsumsi dan persepsi konsumen ikan laut di
Kota Bogor [skripsi]. Bogor: Fakultas Pertanian, Institut Pertanian Bogor.
Papilia DG, Olds SW. 1986. Human Development . New York: McGraw-Hill
Book Company
Purba RP. 2004. Analisis perubahan pola konsumsi daging di Indonesia [tesis].
Bogor: Sekolah Pasca Sarjana, Institut Pertanian Bogor.
Rismunandar. 1990. Meningkatkan Konsumsi Protein dengan Beternak Kelinci.
Bandung: Sinar Baru.
Setiawan A. 2006. Analisis persepsi dan pilihan konsumen terhadap produk teh di
Kota Bogor [skripsi]. Bogor: Fakultas Pertanian, Institut Peranian Bogor.
Sevilla, C. G et al.1993. Pengantar Metode Penelitoan. Tuwu A, Penerjemah: UI
Press. Terjemahan dari: An Introduction to Research Methods.
Sumarwan, U. 2003. Perilaku konsumen : teori dan Penerapannya dalam
Pemasaran. Ghalia Indonesia. Jakarta
Supranto, J.1997. Pengukuran Tingkat Kepuasan Pelanggan Untuk Menaikkan
Pangsa Pasar. Jakarta: Rhineka Cipta
Tjiptono F. 2008. Strategi Pemasaran. Yogyakarta: Andi Offset
Wicaksena B. 2006. Analisis persepsi konsumen terhadap kopi bubuk Torabika di
Jkarta Timur [skripsi]. Bogor: Fakultas Pertanian, Institut Pertanian Bogor.
Download