9 BAB II LANDASAN TEORI 2.1 Pengertian Experience Marketing

advertisement
BAB II
LANDASAN TEORI
2.1
Pengertian Experience Marketing
Experiential marketing merupakan sebuah pendekatan dalam pemasaran
yang sebenarnya telah dilakukan sejak jaman dulu hingga sekarang oleh pemasar.
Pendekatan ini dinilai sangat efektif karena sejalan dengan perkembangan jaman
dan teknologi, para pemasar lebih menekankan diferensiasi produk untuk
membedakan produknya dengan produk kompetitor.
Experience marketing merupakan sebuah pendekatan untuk memberikan
informasi yang lebih dari sekedar informasi mengenai sebuah produk atau jasa.
Experience adalah kejadian-kejadian pribadi yang terjadi sebagai tanggapan atas
stimulasi atau rangsangan. (Contohnya sebagaimana diciptakan oleh usaha-usaha
pemasaran sebelum dan sesudah pembelian). Experience sering kali merupakan
hasil dari pengamatan/observasi langsung dan atau partisipasi di dalam kegiatankegiatan baik mereka itu nyata, angan-angan ataupun virtual. Dengan demikian
seorang pemasar perlu menciptakan lingkungan dan setting yang tepat agar dapat
menghasilkan customer experience yang akan diinginkan.
Experience dapat dipandang sebagai struktur yang kompleks dan terus
berkembang. Tidak ada dua pengalaman yang sama persis namun mereka dapat
dikategorikan menjadi tipe-tipe pengalaman yang berbeda. Dengan demikian
seorang pemasar tidak harus berfokus pada pengalaman individual saja melainkan
9
10
beralih ke pemikiran strategis mengenai tipe-tipe pengalaman apa yang hendak
disediakan dan bagaimana cara menyediakannya dengan tingkat appeal yang
tinggi.
2.1.1 Lahirnya Experiential Marketing
Seiring dengan masuknya kita ke dalam abad baru, perusahaan-perusahaan
me-reengineer dari mereka dan mendefinisikan keunggulan utama mereka, dan
mereka sekarang telah siap untuk mengkapitalisasikan kekuatan baru serta
mengembangkan aset mereka. Fokusnya ada pada pertumbuhan (growth),
kebangkitan, dan perluasan. Perusahaan ingin mengkapitalisasikan kesempatan
yang disediakan oleh revolusi informasi. Mereka ingin membangun merek mereka
dan menciptakan komunikasi dua arah yang terintegrasi secara global dengan para
konsumennya.
Di masa kini, konsumen menganggap fitur fungsional dan kegunaan,
kualitas produk, dan brand image yang positif sebagai sesuatu yang mutlak ada
pada sebuah produk. Apa yang mereka inginkan sekarang adalah produk,
komunikasi, dan kampanye pemasaran yang menggugah indera, menyentuh hati,
dan merangsang pikiran mereka. Mereka menginginkan produk, komunikasi, dan
kampanye pemasaran yang dapat mereka kaitkan dengan dirinya sendiri dan
dapat mereka terjemahkan ke dalam gaya hidup mereka. Mereka menginginkan
produk, komunikasi, dan kampanye pemasaran yang memberikan sebuah
pengalaman. Kemampuan sebuah perusahaan untuk menciptakan sebuah
pengamalan konsumen (customer experience) yang diinginkan dan menggunakan
11
teknologi informasi, merek, integrated communications dan hiburan untuk
menciptakannya akan sangat menentukan kesuksesannya di dalam pasar global di
era baru ini.
2.1.2 Experiential Marketing VS Traditional Marketing
Bernd H. Schmitt dalam Nesti (2009), menggunakan istilah “traditional
marketing” untuk sekumpulan prinsip, konsep, dan metodologi yang dibangun
oleh akademisi, praktisi (direktur pemasar, brand manager, manager komunikasi),
dan konsultan pemasaran sepanjang abad ini, dan khususnya, dalam tiga puluh
tahun terakhir.
Prinsip dan konsep dari tranditional marketing menggambarkan sifat dari
produk, perilaku konsumen, dan aktivitas kompetitif di pasar. Prinsip dan konsep
ini digunakan untuk mengembangkan produk baru, merencanakan lini produk dan
merek, merancang komunikasi, dan merespon aktivitas dari para pesaing. Berikut
ini adalah karakteristik dari traditional marketing:
a. Fokus pada functional features dan benefits
Traditional marketing berfokus pada fitur fungsional (functional features)
dan manfaat (benefits). Traditional marketing menganggap bahwa
customer (business customer atau end customer) di dalam pasar yang
beragam (industrial, consumer, technology, service) menimbang fitur.
Fitur fungsional berdasarkan tingkat kepentingan, menilai keberadaan dari
fitur produk, dan memilih produk dengan tingkat kegunaan terbesar secara
keseluruhan
(didefinisikan
sebagai
jumlah
dari
fitur-fitur
yang
12
dipertimbangkan). Hal-hal lain yang tidak masuk ke dalam kerangka ini
diberi label sebagai efek “image” atau “brand” tanpa ada pengertian
konseptual mengenai apa artinya. Bahkan kadang kala hal-hal semacam ini
diperhitungkan sebagai error variance yang “tidak relevan” atau “tidak
berarti”.
b. Kategori produk dan kompetisi didefinisikan secara sempit dalam dunia
pemasaran tradisional, Mcdonald’s bersaing dengan Burger King dan
Wendy’s (dan bukan bersaing dengan Pizza Hut atau Starbucks), Parfum
Chanel bersaing dengan Dior (dan bukan bersaing dengan Lancome atau
Loreal atau parfum lainnya yang ditawarkan oleh Carrefour atau
Matahari). Bagi seorang pemasar tradisional kompetisi hanya terjadi di
dalam kategori produk yang didefinisikan secara sempit.
c. Konsumen dipandang sebagai pengambil keputusan yang rasional
sepanjang abad ini, para ahli ekonomi dan pemasaran memandang proses
pengambilan keputusan sebagai pemecahan masalah yang sifatnya
langsung dan sederhana. Pemecahan masalah mengacu pada tindakan
penuh pemikiran dan logika yang diambil untuk menghasilkan kepuasan.
Proses pengambilan keputusan konsumen biasanya dianggap melibatkan
beberapa tahap ini :
1. Identifikasi kebutuhan (Need recognition)
2. Pencarian informasi (Information search)
3. Pemilihan dari alternatif yang ada (Evaluation of Alternatives)
4. Pembelian dan konsumsi (Purchase and Consumtion)
13
d. Metode dan alat penelitian bersifat analitis, kuantitatif, dan verbal
Pemasaran tradisional menggunakan metodologi dan obat-obat uji yang
analitis, kuantitatif, dan verbal. Metode yang digunakan antara lain adalah
regresasion models, positioning maps, conjoint analysis.
Experiential marketing berbeda dari traditional marketing yang berfokus
pada features and benefits dalam empat segi yang berbeda.
e. Fokus pada Customer Experiences
Berlawanan dengan traditional
marketing, experiential
marketing
berfokus pada pengalaman konsumen (customer experiences). Experience
merupakan hasil dari penemuan, keterlibatan, atau menjalani suatu situasi.
Experience memicu rangsangan ke indera, ke hati dan ke pikiran.
Experience juga menghubungkan perusahaan dan merek ke gaya hidup
konsumen dan menempatkan tindakan individual konsumen dan situasi
pembelian ke dalam konteks sosial yang lebih luas. Pada intinya
experience memberikan nilai-nilai sensory, emotional, behavioral, dan
relational yang menggantikan nilai-nilai fungsional.
f. Pengamatan atas Situasi Konsumsi
Experiential marketing tidak berfokus pada kategori produk dan kompetisi
yang didefinisikan secara sempit. Para experiential marketers tidak
berfikir mengenai sempoa, krim pencukur, alat pengering rambut (atau
dryer) dan parfum. Sebaliknya, mereka berfikir mengenai “perawatan diri
di kamar mandi” dan bertanya kepada diri mereka sendiri produk-produk
apa yang sesuai dengan situasi konsumsi ini dan bagaimana produk-
14
produk ini. Kemasannya suatu iklannya dapat meningkatkan consumption
experience ini. Tipe pemikiran semacam ini memperluas konsep dari
sebuah kategori dan mengamati arti dari situasi konsumsi secara spesifik
didalam konteks sosiokultural yang lebih luas pula. Perbedaan penting
lainnya adalah para experiential marketers percaya bahwa kesempatan
paling berharga untuk mempengaruhi sebuah merek adalah pada masa
setelah pembelian (post-purchase). Pada saat konsumsi pengalaman
merupakan kunci utama penentu kepuasan pelanggan dan loyalitas merek.
g. Konsumen adalah Binatang Rasional dan Emosional
Bagi seorang experiential marketer, tindakan konsumen didorong secara
emosional maupun rasional. Konsumen sama seringnya terlibat dalam
pemilihan berdasarkan pemikiran rasional maupun oleh perasaan/emosi.
Ada baiknya juga memandang konsumen sebagai binatang dimana alatalat fisik dan mentalnya yang digunakan untuk menghasilkan sensasi
pemikiran, dan perasaan berkembang dan berubah menurut seleksi alam
untuk memecahkan masalah yang dihadapi oleh nenek moyangnya. Hal ini
membawa pesan bagi para pemasar agar jangan memperlakukan
konsumen sebagai pengambilan keputusan yang rasional. Konsumen butuh
untuk dihibur, dirangsang disantun secara emosional dan ditantang secara
kreatif.
h. Metode dan alat bersifat elektrik
Berlawanan dengan metode analitis, kuantitatif, dan verbal dari traditional
marketing, metode dan alat yang digunakan oleh experiential marketer
15
sangat beragam dan kompleks. Experiential marketing tidak hanya terikat
pada satu ideologi metodologi saja namun sebaliknya bersifat elektrik.
2.1.3 Kegunaan Dari Experiential Marketing
Experiential
marketing
semakin
banyak
digunakan
oleh
perusahaan-perusahaan untuk menciptakan experiential connections
dengan konsumennya. Experiential marketing khususnya sangat relevan
bagi perusahaan marketing dapat digunakan secara menguntungkan
didalam banyak situasi di antaranya:
a. Membangkitkan kembali merek yang mengalami penurunan
b. Mendiferensiasikan sebuah produk dari para pesaingnya
c. Menciptakan sebuah image dan identitas untuk sebuah perusahaan
d. Mempromosikan inovasi
e. Mendorong percobaan (trial), pembelian, dan yang paling penting,
loyal consumption.
2.2.
Strategi Experiential Modules (SEMs)
Menurut Bernd H. Schmitt dalam Nesti (2009) ada lima tipe
experience
disebut
strategic
experiential
modules
(SEMs)
yang
indera
yakni:
membentuk tujuan dan strategi dari usaha pemasaran.
a. SENSE
Sense
marketing menarik menggugah lima
penglihatan (sight), pendengaran (sound), penciuman (scent),
16
pengecapan (taste), dan perabaan (touch). Tujuan keseluruhan dari
kampanye
pemasaran
SENSE
adalah
untuk
menciptakan
kesenangan estetika, kegembiraan, keindahan, dan kepuasan
melalui rangsangan indera.
SENSE marketing dapat dilakukan untuk mencapai tiga
tujuan yakni untuk mendiferensiasikan diri sebuah perusahaan dan
mereknya di pasar, memotivasi konsumen untuk membeli
produknya, dan menciptakan nilai bagi para konsumennya.
S-P-C model digunakan untuk menciptakan pengaruh
SENSE dalam upaya untuk mencapai ketiga tujuan di atas. “S-PC” adalah singkatan dari stimuli, processes, consequences dari
rangsangan indera untuk mendiferensiasikan produk kita melalui
ketertarikan indera (sensory appeal) kita harus mempertimbangkan
rangsangan (stimuli) apa yang paling tepat untuk menciptakannya.
Untuk memotivasi konsumen kita harus mengidentifikasikan
prinsip-prinsip dari prosesnya. Pada akhirnya, untuk menciptakan
nilai, kita harus memahami konsekuensi dari sensory appeal.
1. Stimuli
Keputusan untuk memperhatikan atau tidak memperhatikan dan
menyimpan informasi indera (sensory information) dibuat oleh
otak besar. Otak besar memilih informasi apa yang akan
diperhatikan dan disimpannya.
17
2. Processes
Untuk proses, yakni bagaimana melakukan rangsangan prinsipprinsip yang berbeda ada di tiga tingkatan yakni lintas media,
lintas expros, dan lintas ruang dan waktu.
3. Consequences
Konsumen
menggunakan
kata-kata
semacam
ini
untuk
menggambarkan sensory input. “ini sangat indah”, “itu sangat
menarik”, “jelek sekali atau akan berkata”, “sangat menarik” atau
“sangat nyaman”. Pada intinya, konsekuensi jatuh kedalam dua
kategori, pleasing beauty atau arousing excitement. Seorang
pemasar harus mementingkan apakah ingin menyenangkan
(please) atau menggembirakan (excite).
b. FEEL
FEEL marketing merupakan strategi dan implementasi untuk
memberikan perasaan (affect) kepada perusahaan dan merek
melalui experience providers. Agar dapat berhasil, FEEL
marketing
membutuhkan
pengertian
yang
jelas
mengenai
bagaimana menciptakan perasaan ketika terjadi consumption
experience. Konsumen cenderung memilih untuk merasa baik
(feeling good) dan menghindari perasaan tidak baik (feeling bad).
Ketika mereka merasa senang, mereka akan menyukai produk dan
perusahaan penciptanya. Ketika mereka merasa tidak senang,
18
mereka akan menghindari produk dan perusahaan itu. Jika sebuah
strategi pemasaran dapat menciptakan perasaan senang secara
konsisten bagi konsumennya, maka ia akan dapat menciptakan
loyalitas merek yang kuat dan tahan lama. Perasaan paling kuat
terjadi pada saat konsumsi. Perasaan yang kuat muncul dari kontak
dan interaksi, dan berkembang secara dengan waktu. Bahkan
perasaan terhadap produk muncul dari hubungan selama konsumsi
dalam jangka waktu tertentu.
Beberapa ahli pemasaran telah mengembangkan typologi
emosi yang spesifik terhadap situasi pemasaran. FEEL experience
dapat mengambil beragam bentuk, mulai dari mood ringan hingga
emosi yang kuat. Situasi konsumsi merupakan hal terpenting untuk
FEEL. Seorang experiential marketer harus dapat memahami
bagaimana menggugah perasaan dan bagaimana cara menyediakan
tingkat rangsangan yang tepat atas perasaan.
c. THINK
Tujuan dari think marketing adalah untuk mendorong konsumen
untuk terlibat dalam pemikiran yang dalam dan kreatif yang dapat
menghasilkan evaluasi ulang mengenai perusahaan dan produknya.
THINK marketing memiliki potensi untuk masuk ke dalam atau
bahkan memimpin terjadinya “perubahan paradigma” di dalam
masyarakat di mana mereka berpikir ulang mengenai asumsi, inti
19
dari THINK marketing adalah untuk menarik pemikiran kreatif
konsumen mengenai sebuah perusahaan dan merek-mereknya.
Menurut psikolog J.P. Gulford, manusia secara rutin terlibat
di dalam dua tipe pemikian yang berbeda, yang ia beri nama
covergent dan divergent thinking. Konsep ini mengacu pada caracara berbeda dari pemikiran, menyempatkan fokus pikiran hingga
menghasilkan (converges) sebuah solusi atau memperluas fokus
pemikiran ke dalam banyak arah. Kreatifitas membutuhkan baik
convergent maupun divergent thinking.
Bentuk paling spesifik dari convergent thinking adalah
pemikiran analitis atau pemikiran probabilistik yang melibatkan
masalah-masalah rasional yang terdefinisikan dengan baik.
Sebaliknya divergent thinking lebih bebas dan sering kali menjadi
lebih berharga.
Prinsip dari kampanye THINK agar sukses adalah dengan
pertama-pertama menciptakan rasa keterkejutan baik secara visual
verbal, maupun konseptual. Kemudian ditambah dengan bumbu
intrik, dan ditutup dengan bentuk diprovokasi.
d. ACT
Strategi pemasaran ACT dirancang untuk menciptakan customer
experience yang berkaitan dengan tubuh secara fisik, pada jangka
panjang dari perilaku dan gaya hidup serta pengalaman yang terjadi
20
sebagai hasil dari interaksi dengan orang lain. ACT juga berkaitan
dengan perilaku yang nyata dan gaya hidup seseorang.
ACT marketing memperkaya kehidupan konsumen dengan
meningkatkan pengalaman fisik mereka, menunjukkan kepada
mereka cara-cara yang berbeda dalam melakukan hal-hal,
mengubah gaya hidup serta cara berinteraksi.
e. RELATE
Relate berkaitan dengan budaya seseorang dan kelompok
referensinya yang dapat menciptakan identitas seseorang. Relate
marketing mengandung aspek-aspek dari SENSE, FEEL, THINK,
dan ACT Marketing. Namun RELATE marketing lebih luas
daripada pengalaman pribadi seseorang dan meningkatkan pribadi
ideal seseorang dengan orang atau kebudayaan lain.
Kampanye RELATE menggugah keinginan seseorang untuk
pengembangan dirinya (misalnya, “pribadi ideal” di masa depan
yang ia inginkan). RELATE membangkitkan keinginan untuk
dipandang secara positif oleh orang lain. Kampanye Relate juga
meningkatkan seseorang dengan sistem sosial yang lebih baik
sehingga menciptakan brand relations dan brand communications
yang kuat.
21
2.2.1
Experience Providers (EXPROS)
Pengalaman SENSE, FEEL, THINK, ACT, dan RELATE dihasilkan
melalui “experience providers” atau Expros. Expros merupakan komponen
implementasi taktis yang digunakan oleh pemasaran untuk menciptakan
kampanye SENSE, FEEL, THINK, ACT, dan RELATE. Expros mencakup
komunikasi, identitas visual dan verbal, tampilan produk, co-branding,
media elektronik dan karyawan (people).
1. Komunikasi
Communications Expros mencakup iklan, komunikasi perusahaan baik
internal maupun eksternal (seperti magalog, brosur, newslatter, laporan
tahunan, dsb) dan juga kegiatan hubungan masyarakat (public relations)
yang diorganisir dengan baik.
2. Identitas visual/verbal
Identitas visual/verbal termasuk nama serta logo atau lambang dari
perusahaan atau produk.
3. Tampilan produk
Product-presence Expros adalah desain produk, kemasan dan display
produk, dan karakter merek (brand characters) yang digunakan sebagai
bagian dari kemasan dan materi point-of-sale.
22
4. Co-branding
Co-branding Expros mencakup event marketing dan sponsorship
kerjasama dan partnership, licensing, penempatan produk di film-film,
dan bentuk-bentuk kerja sama lainnya.
5. Media elektornik
Penyampaian experience melalui media elektronik di masa kini dapat
dilakukan melalui web sites.
6. People
People dapat menjadi provider terkuat dari kelima SEMs experience,
people mencakup/sales people, company representatives, servise provider
dan siapapun yang dapat diasosiasikan dengan sebuah perusahaan atau
merek.
2.3
Brand
2.3.1 Definisi Brand
Keahlian
yang
sangat
unik
dari
pemasar
profesional
adalah
kemampuannya untuk menciptakan, memelihara, melindungi, dan meningkatkan
merek. Para pemasar mengatakan bahwa pemberian merek adalah seni dan bagian
paling penting dalam pemasaran.
Menurut American Merketing Assosiation (Kotler, 2000:460) bahwa:
“Merek adalah nama, istilah, tanda, symbol, rancangan, atau
kombinasi dari hal-hal tersebut, yang dimaksudkan untuk
23
mengidentifikasikan barang atau jasa dari seorang atau kelompok
penjual dan untuk membedakannya dari produk pesaing”.
Sedangkan menurut David A. Aaker dalam Nesti (2009) :
”Merek adalah nama dan atau simbol yang bersifat membedakan
(seperti sebuah logo, cap atau kemasan) dengan maksud
mengidentifikasi barang atau jasa dari seorang penjual atau sebuah
kelompok penjual tertentu. Dengan demikian satu merek
membedakannya dari barang dan jasa yang dihasilkan oleh
kompetitor”.
2.3.2 Brand Equity
Menurut Aaker dalam Nesti (2009), brand equity adalah:
“...a set of brand assets and liabilities linked to a brand, its name and
symbol, that add to or substract from the value provided by a product or
service to a firm and/or to that firm’s customers”.
Assets dan liabilities yang menjadi dasar dari brand equity akan berbedabeda tergantung dari konteksnya, elemen brand equity dapat digolongkan kedalam
5 kategori, yaitu:
1. Brand Loyalty
Brand loyalty seorang pelanggan seringkali menjadi inti dari brand equity.
Jika pelanggan indifferent terhadap suatu merek, dan membeli produk tersebut
karena fitur, harga, dan kenyamanan, dan tidak terlalu memperhatikan merek,
maka ini berarti ekuitas produk tersebut kecil.
24
Setiap tingkatan loyalitas memiliki tantangan pemasaran yang berbeda dan
juga beragam aset yang berbeda untuk dikelola dan dimanfaatkan.
a. Tingkat
loyalitas
terendah
adalah
Switcher
(berpindah-pindah).
Pelanggan yang berada pada tingkat loyalitas ini dikatakan sebagai
pelanggan yang berada pada tingkat yang paling dasar. Semakin tinggi
frekuensi pelanggan untuk memindahkan pembeliannya dari suatu merek
ke merek yang lain mengindikasikan mereka sebagai pembeli yang sama
sekali tidak loyal atau tidak tertarik pada merek tersebut. Pada tingkatan
ini merek apapun mereka anggap memadai serta memegang perannya
yang sangat kecil dalam keputusan pembelian. Ciri yang paling nampak
dari jenis pelanggan ini adalah mereka membeli suatu produk karena
harganya murah.
b. Tingkat kedua ditempati oleh Habitual buyer (pembeli yang bersifat
kebiasaan). para pembeli yang puas dengan produk atau setidaknya tidak
puas. Pada dasarnya, tidak ada dimensi dari ketidakpuasan yang mampu
untuk mendorong perubahan apalagi jika perubahan itu membutuhkan
suatu upaya. Pembeli semacam ini biasanya diberi istilah habitual
buyers. Segmen ini cukup rentan terhadap penawaran dari kompetitor
yang dapat memberikan sebuah keuntungan nyata untuk berpindah ke
produknya. Namun mereka cukup sulit untuk diraih karena tidak ada
alasan bagi mereka untuk secara aktif mencari alternatif produk lain.
c. Tingkat ketiga adalah Satisfied buyer (pembelian yang puas dengan
biaya peralihan). Pada tingkatan ini, pembeli merek masuk dalam
25
kategori puas bila mereka mengkonsumsi merek tersebut, meskipun
demikian mungkin saja mereka memindahkan pembeliannya ke merek
lain dengan menanggung switching cost (biaya peralihan) yang terkait
dengan waktu, uang, atau resiko kinerja yang melekat dengan tindakan
mereka beralih merek. Untuk dapat menarik minat para pembeli yang
masuk dalam tingkay loyalitas ini maka para pesaing perlu mengatasi
biaya peralihan yang harus ditanggung oleh pembeli yang masuk dalam
kategori ini dengan menawarkan berbagai manfaat yang cukup besar
sebagai kompensasinya (switching cost loyal)
d. Pada tingkat keempat kita akan menemukan likes the brand (menyukai
merek) atau mereka yang sungguh-sungguh menyukai merek tersebu.
Preferensi mereka dapat berdasarkan pada asosiasi dengan hal-hal seperti
simbol, serangkaian pengalaman penggunaan (use experience), atau
perceived quality yang tinggi. Segmen pada tingkat keempat ini dapat
diberi istilah friends of the broad karena adanya ikatan perasaan/emosi.
e. Tingkat teratas pada piramida loyalitas ditempati oleh committed buyer
(pembeli yang komit). Mereka memiliki rasa bangga karena menemukan
dan bisa menjadi pengguna dari sebuah merek. Merek ini merupakan hal
yang sangat penting bagi mereka baik secara fungsional maupun sebagai
ekspresi dari siapa diri mereka. Mereka memiliki keyakinan yang sangat
tinggi akan merek sehingga merekomendasikannya kepada orang lain,
nilai terpenting dari committed buyer adalah pengaruhnya kepada orang
lain dan juga kepada pasar itu sendiri.
26
2. Name Awareness
Brand Awareness adalah informasi mengenai tingkat kemampuan pembeli
potensial untuk mengenali atau mengingat kembali bahwa suatu merek adalah
anggota dari kategori produk tertentu. Di dalamnya terlibat hubungan antara kelas
produk dan merek. Pengenalan merek (brand recognition) adalah tingkat terendah
dari brand awareness.
3. Perceived Quality
Perceived quality dapat didefinisikan sebagai persepsi pelanggan terhadap
kualitas keseluruhan atau superioritas suatu produk, relatif terhadap alternatif
produk tersebut. Perceived quality dipengaruhi oleh kualitas produk dapat dilihat
dari kinerja produk, ciri khas produk, dapat dipercaya, daya tahan produk,
kemampuan dalam memberikan layanan, dan apakah produk tampak berkualitas.
Service quality dapat dilihat dan pelayanan yang diberikan kepada konsumen
dalam bentuk nyata, yaitu penampilan dan kemampuan sarana dan prasarana fisik
harus dapat diandalkan, juga dapat dilihat dari servis yang dapat diandalkan,
respon kepada pelanggan, serta empati (memberikan perhatian yang bersifat
personal kepada pelanggan dan berupaya untuk memahami keinginan konsumen),
dan kemampuan untuk memberikan jasa yang dijanjikan secara akurat dan
terpercaya.
4. Brand Associations
Brand Association adalah apapun diingatkan seseorang yang “terhubung”
dengan suatu merek. Sekumpulan brand associations akan membentuk brand
image.
27
5. Other proprietary brand assets – patents, trademarks, channel relations ships,
etc.
Aset suatu merek akan sangat berharga jika aset tersebut dapat mencegah
kompetitor menarik konsumen untuk berpindah ke produknya.
Brand loyalty merupakan inti dari brand equity suatu produk bisa saja
mempunyai name awareness yang tinggi, perceived quality yang baik, brand
association yang cukup kuat, tetapi belum tentu memiliki brand loyalty.
Sebaliknya, produk yang mempunyai brand loyalty dapat dipastikan memiliki
name awarenss yang cukup tinggi, kualitas yang baik, serta brand association
yang cukup dikenal.
2.3.3 Konsep Brand Loyalty
Seperti yang telah dibahas di atas loyalitas merek (brand loyalty)
seringkali merupakan inti dari ekuitas sebuah merek (brand equity). Jika
konsumen bersikap indifferent terhadap merek dan membeli produk hanya
berdasarkan pada fitur, harga, dan kenyamanan dan hanya memberikan sedikit
perhatian kepada nama mereknya, maka dapat dikatakan bahwa produk itu hanya
memiliki sedikit ekuitas. Namun jika konsumen terus membeli sebuah merek
walaupun dihadapkan dengan beragam pilihan dari kompetitor lain dengan fitur,
harga dan kenyamanan yang lebih baik, berarti merek tersebut memiliki nilai yang
tinggi.
28
Aaker dalam Nesti (2009) berpendapat bahwa loyalitas merek merupakan ukuran
dari keterkaitan seorang konsumen atas sebuah produk loyalitas merek
mencerminkan besarnya kemungkinan seorang konsumen akan berpindah ke
merek lain, terutama ketika merek tersebut mengalami perubahan, baik dalam hal
harga maupun fitur produk. Sejalan dengan meningkatnya loyalitas merek, maka
kemungkinan konsumen untuk berpindah ke kompetitor juga berkurang. Selain itu
loyalitas merek mendapatkan indikator dari brand equity yang terkait secara jelas
dengan keuntungan di masa mendatang, karena loyalitas merek secara nyata
berkaitan dengan besarnya penjualan di masa mendatang.
a. Brand loyalty dalam kaitannya dengan use experience
Brand loyalty secara kualitatif berbeda dari dimensi brand equity lainnya
karena lebih terkait dengan pengalaman penggunaan (use experience), Brand
loyalty hanya dapat terbentuk setelah didahului oleh pembelian dan pengalaman
penggunaan.
b. Mengukur Brand Loyalty
Aaker dalam Nesti (2009) mengemukakan berapa pedoman untuk
mengukur loyalitas merek sebagai berikut ini:
1. Behavior Measures
Sebuah cara langsung untuk mengukur loyalitas, adalah dengan
mempertimbangkan pola pembelian nyata (actual purchase patterns)
beberapa ukuran yang dapat digunakan adalah:
a. Repuchase rates
29
b. Percent of purchases
c. Number of brands purchases
2. Switching costs
Analisa mengenai switching cost dapat memberikan masukan
tentang seberapa switching cost tersebut dapat menjadi dasar dari brand
loyalty. Jika sangat mahal atau beresiko bagi seorang konsumen untuk
berpindah ke merek lain, maka konsumen akan menjadi lebih loyal.
3. Measuring Satisfactions
Alat untuk mendiagnosa setiap tingkatan dari brand loyalty adalah
pengukuran kepuasan dan ketidakpuasan konsumen. Pengukuran kepuasan
harus selalu current, representatif, dan sensitif.
4. Liking of The Brand
Perasaan positif atas sebuah merek dapat menghasilkan kekebalan
terhadap masuknya kompetitor ke dalam pilihan konsumen. Konsepnya
adalah bahwa ada kesukaan umum (general liking). Seseorang dapat secara
sederhana menyukai sebuah merek dan rasa suka ini tidak dapat dijelaskan
secara menyeluruh oleh persepsi dan kepercayaan mereka terhadap atributatribut dari merek tersebut. Namun perusahaan ini direfleksikan oleh
pernyataan-pernyataan umum tentang kesukaan (liking) seperti berikut:
a. Liking
b. Respect
c. Friendship
d. Trust
30
Sebuah ukuran lain atas kesukaan direfleksikan dari kesediaan
konsumen untuk membayar untuk memperoleh mereknya dengan price
advantage yang harus diusahakan oleh kompetitor sebelum dapat menarik
seorang pembeli yang loyal dijelaskan bahwa konsumen yang loyal
bersedia untuk membayar harga premium bahkan jika harga dinaikkan
karena perceived risk yang sangat tinggi sehingga mereka rela membayar
harga yang lebih tinggi untuk menghindari risiko dari adanya pergantian
merek secara umum, hubungan jangka panjang yang dibangun dari
loyalitas menyebabkan konsumen yang setia menjadi lebih toleran
terhadap harga karena loyalitas mencegah konsumen untuk membandingbandingkan harga dengan lainnya dan untuk mencari alternatif lain.
5. Commitment
Merek-merek terkuat yang memiliki ekuitas yang sangat tinggi
akan memiliki banyak committed customers. Salah satu indikator utama
adalah banyaknya interaksi dan komunikasi yang berkaitan dengan
produk, diantaranya adalah apakah konsumen senang membicarakan
mengenai produk itu, merekomendasikan dan dapat memberikan alasan
kepada orang lain untuk membeli produk itu (word of mouth).
2.3.4 Manfaat Brand Loyalty
Keberhasilan dari sebuah merek relatif terhadap kemampuannya untuk
mempertahankan konsumen dan menjaga loyalitas merek-merek memerlukan
konsumen yang dapat melakukan pembelian ulang (repeat purchase) dan tidak
31
berpindah merek. Konsumen seperti ini tidak berpindah ke merek lain untuk
atribut tambahan atau keuntungan layanan tambahan. Brand loyalty lebih tidak
sensitif terhadap harga dan ini juga terefleksikan di dalam brand equity. Dengan
demikian brand loyalty memungkinkan merek untuk bertahan lama di pasar,
mengurangi biaya untuk meraih konsumen baru dan juga meminimalkan biaya
untuk melayani konsumen yang ada saat ini. Ketika brand loyalty tercipta,
konsumen
cenderung
mengurangi
upaya
pencarian
informasi
sehingga
menyederhanakan proses pengambilan keputusan. Konsumen tidak lagi mencari
informasi atau mengevaluasi alternatif merek lainnya karena mereka secara
terbiasa membeli merek tertentu.
32
2.4
Kerangka Berpikir
Dalam kondisi persaingan yang semakin ketat, setiap perusahaan harus
mampu bertahan hidup, bahkan harus dapat terus berkembang. Salah satu hal
penting yang perlu diperlukan dan diperhatikan oleh setiap perusahaan adalah
mempertahankan pelanggan yang telah ada, terus menggarap pelangganpelanggan potensial baru agar jangan sampai pelanggan meninggalkan perusahaan
menjadi pelanggan perusahaan lain. Dengan kata lain perusahaan harus
mempertahankan loyalitas pelanggan melalui strategi experiential marketing yang
telah diterapkan oleh perusahaan. Melalui strategi experiential marketing
pelanggan akan mampu membedakan produk dan jasa yang satu dengan yang
lainnya karena mereka dapat merasakan dan memperoleh pengalaman secara
langsung melalui lima pendekatan (sense, feel, think, act, relate), baik sebelum
maupun ketika mereka mengkonsumsi sebuah produk atau jasa.
Dengan demikian, dapat ditarik kesimpulan bahwa strategi experiential
marketing yang digunakan perusahaan sangat penting untuk mengetahui seberapa
besar loyalitas konsumen terhadap merek dan
perusahaan.
produk yang dikeluarkan
33
Gambar 2.1
Skema Kerangka Pemikiran
STRATEGI
EXPERIENTIAL
MARKETING
-
Sense
Feel
Think
Act
Relate
BRAND
LOYALTY
-
Switcher
Habitual Buyer
Satisfied Buyer
Likes The Brand
Comitted Buyer
Sumber: Fransisca Andreani (2007) dan Gede Riana(2008)
2.5
Hipotesis Teoritis
Hipotesis dalam penelitian ini adalah diduga ada pengaruh dari
experiential marketing terhadap pembentukan brand loyalty pada RS SARI ASIH.
2.6
Penelitian Terdahulu
Experiential marketing merupakan sebuah pendekatan dalam pemasaran
yang sebenarnya telah dilakukan sejak jaman dulu hingga sekarang oleh pemasar.
Pendekatan ini dinilai sangat efektif karena sejalan /dengan perkembangan jaman
dan teknologi, para pemasar lebih menekankan diferensiasi produk untuk
membedakan produknya dengan produk kompetitor.
Beberapa studi yang berhubungan dengan experiential marketing dalam
pembentukan brand loyalty adalah:
1. Irwin & Greenberg dalam Fransisca Andreani (2007:4), menguji
experiential marketing menghadapi beberapa tantangan utamanya
terkait dengan ukuran keberhasilannya (meansurement). Ada
34
beberapa tujuan yang bisa dicapai seseorang pemasar dengan
melibatkan perasaan dan emosi pelanggannya berkaitan dengan
produk dan jasa untuk meningkatkan dan membentuk brand loyalty
demi mencapai keberhasilan.
2. Hazlett dalam Fransisca Andreani (2007:4), menguji experiential
marketing merupakan sebuah pendekatan baru untuk memberikan
informasi mengenai merek dan produk. Hal ini terkait erat dengan
pengalaman pelanggan dan sangat berbeda dengan system
pemasaran tradisional yang berfokus pada fungsi dan keuntungan
sebuah produk.
3. David A Aaker dalam Gege Riana (2008:187), menguji bahwa
loyalitas merek menunjukkan adanya suatu ikatan antara pelanggan
dengan merek tertentu dan ini sering kali ditandai dengan adanya
pembelian ulang dari pelanggan. Loyalitas merek dapat dipandang
sebagai komitmen internal dalam diri konsumen untuk membeli
dan membeli ulang suatu merek tertentu meskipun ada pengaruh
situasional dan usaha pemasaran yang dapat menimbulkan perilaku
peralihan.
Dari penelitian di atas dapat disimpulkan dengan experiential marketing, pemasar
diharapkan dapat menggunakan berbagai pilihan strategi yang sesuai dengan
tujuan yang diharapkan, untuk mencapai brand loyalty sehingga pelanggan
memiliki komitmen terhadap produk. Experiential marketing memberikan
peluang pada pelanggan untuk memperoleh serangkaian pengalaman atas merek,
35
produk dan jasa yang memberikan cukup informasi untuk melakukan keputusan
pembelian.
2.7
Pelayanan Rumah sakit
Pada hakikatnya, rumah sakit adalah salah satu jenis industri jasa, dalam
hal ini industri jasa kesehatan. Oleh karena itu rumah sakit harus patuh
pada kaidah-kaidah bisnis dengan berbagai peran fungsi manajerialnya.
Akan tetapi, harus diakui bahwa pada kenyataannya rumah sakit
mempunyai beberapa ciri khas yang membedakan dengan industri lainnya.
Karenanya rumah sakit memiliki pendekatan yang berbeda pula.
Rachael Massie dalam Tjandra Yoga Aditama (2003) mengemukakan tiga
ciri khas rumah sakit yang membedakannya dengan industri lainnya.
Pertama, kenyataan bahwa bahan baku dari industri jasa kesehatan adalah
manusia. Dalam industri rumah sakit, seyogianya tujuan utamanya adalah
melayani kebutuhan manusia, bukan semata-mata menghasilkan produk
dengan proses dan biaya yang seefisien mungkin. Kedua, kenyataan bahwa
dalam industri rumah sakit yang disebut sebagai pelanggan (customer)
tidak selalu mereka yang menerima pelayanan. Pasien adalah mereka yang
diobati di rumah sakit. Akan tetapi, terkadang bukan mereka sendiri yang
menentukan di rumah sakit mana mereka harus dirawat. Misalnya anggota
keluarga yang lebih mengetahui dengan baik mengenai infomasi fasilitas
dan pelayanan rumah sakit, biasanya akan mengarahkan kemana
keluarganya harus mendapatkan pelayanan kesehatan. Ketiga, kenyataan
36
menunjukkan bahwa pentingnya peran profesional, termasuk dokter,
perawat, apoteker, fisioterapi, radiografer, ahli gizi dan lain-lain. Para
profesional ini banyak sekali jumlahnya di rumah sakit.
Rowland
&
Rowland
dalam
Tjandra
Yoga
Aditama
(2003)
mengemukakan bahwa di rumah sakit pengertian produk adalah jenis
pelayanan yang diberikan, baik dalam bentuk preventif, diagnostik,
terapeutik dan lain-lain. Pelayanan ini harus dapat dilihat dari kacamata
konsumen, artinya apa yang dapat diberikan adalah untuk menghilangkan
rasa
nyeri,
menyembuhkan
penyakit,
mengurangi
kecacatan,
menyelamatkan harapan hidup dan sebagainya. Willan JA dalam Tjandra
Yoga Aditama (2003) mengemukakan bahwa pemasaran pelayanan rumah
sakit meliputi upaya mengetahui kebutuhan masyarakat kini dan dimasa
datang. Rumah sakit yang tempat tidurnya under utilized perlu
memasarkan dirinya untuk meningkatkan pendapatan agar rumah sakit
dapat survive.
Download