MODUL PERKULIAHAN Produksi Berita TV Modul Standar untuk digunakan dalam Perkuliahan di Universitas Mercu Buana Fakultas Program Studi Ilmu Komunikasi Broadcasting Tatap Muka 03 Kode MK Disusun Oleh MK41030 Syaifuddin, S.Sos, M.Si. Abstract Kompetensi Analisis Kepemirsaan TV yang mewujud dalam survey Rating dan share acara TV menjadi salah satu alat ukur keberhasilan sebuah program TV, termasuk program berita Setelah mengikuti mata kuliah ini diharapkan mahasiswa dapat : Mengetahui dan mampu memahami apa itu rating dan TV. Bagaimana hubungan Rating-share dengan keberadaan program berita TV? share sebuah program TV dan dampaknya bagi keberlangsungan program. Rating dan Share Program Berita TV Rating Televisi Sejarah rating televisi tidak mungkin terlepas dari sejarah penggunaan meda secara luas di ranah publik. McLuhan mengatakan bahwa media adalah ‘the extension of man’ – perpanjangan tangan manusia – dalam menyerap realitas. Media dianggap berhasil memperkecil jarak antara ruang dan waktu di lingkup sosial. Media juga telah membentuk konstruksi realitas sosial (Carey, 1988). Dengan pengaruhnya yang sedemikian besar, tidak heran media memperoleh perhatian dari publik untuk dipergunakan mencapai kepentingankepentingan tertentu. Rating televisi pada awalnya tidak terlepas dari nama-nama Frank Stanton, Hadley Cantril dan Gordon Allport. Stanton berjasa mengembangkan sebuah metode untuk mengkaji perilaku khalayak dalam mendengarkan atau menyimak radio. Sedangkan Cantril dan Allport melakukan riset psikologi radio pada tahun 1935 yang kemudian dikembangkan menjadi riset untuk mempelajari metodologi-metodologi pengukuran radio. Pada akhirnya, kiprah mereka menghasilkan Princeton Radio Research Project yang kemudian berubah nama menjadi Biro Riset Sosial Terapan yang memiliki akuntabilitas yang tinggi (Webster & Lichty, 1992). Inilah cikal bakal munculnya sistem rating yang kemudian juga diterapkan pada media televisi. Seiring dengan adanya komodifikasi, fungsi televisi menjadi fungsi komersil, muncul pula berbagai pengukuran yang dijadikan patokan nilai televisi tersebut. Rating mengukur proporsi televisi di berbagai rumah tangga yang menyaksikan suatu program acara tertentu, yang biasanya ditampilkan dalam persentase. Rating berfungsi untuk mengukur efektivitas sebuah stasiun televisi dalam penyampaian pesan, terutama iklan. Menurut Morissan (2005), rating merupakan hal yang sangat penting bagi pemasang iklan karena mereka akan selalu mencari stasiun televisi dengan program siaran yang paling banyak ditonton masyarakat sehingga produk mereka dapat diketahui lebih banyak orang. Hubungan antara rating, audiens dan konten informasi Media telah menjadikan khalayak sebuah komoditi yang ‘diperjual-belikan’ untuk mendapat keuntungan dari pemasang iklan. Rating adalah kerangka kepentingan media dan khalayak merupakan komoditi yang diperjual-belikan dalam market place. Dengan adanya komodifikasi tersebut, televisi tidak lagi berperan sebagai public sphere karena stasiun televisi berorientasi pada keuntungan sebesar-besarnya. Idealnya, media massa seharusnya berfungsi sebagai sarana pertukaran wacana – marketplace of ideas – dimana publik dapat mendiskusikan berbagai isu dan persoalan secara bebas melalui saluran media massa. Implikasi negatif dari rating yang digunakan secara meluas untuk menetapkan standarisasi program televisi sebagai cultural goods telah menjadi pelanggaran atas prinsip demokrasi. Dalam ranah politik, demokrasi dijalankan dengan sistem multipartai yang merupakan represntasi dari keberagaman komunitas. Ketika diterapkan dalam dunia penyiaran, demokrasi dijalankan dengan sistem keberagaman pemilik (diversity of ownership) dan keberagaman isi (diversity of content). Perihal keberagaman isi jelas sudah dilanggar karena dengan adanya rating sebagai standarisasi baik atau buruknya sebuah program acara televisi, para stasiun televisi akan berlomba-lomba untuk menghasilkan acara yang serupa dengan program acara yang memiliki rating paling tinggi. Ghazali (2003) mengungkapkan, muatan televisi yang berlomba-lomba mencapai rating tertinggi kemudian dalam kondisi ekstrim dapat menyebabkan kesenjangan kultural. Hal ini tercermin dalam muatan stasiun televisi swasta yang bersifat terpusat di Jakarta atau Jakartaoriented. Sebagai contoh, berbagai program berita yang menampilkan laporan arus lalu lintas ke arah Puncak, Bandung dan Bogor pada musim liburan yang memiliki target khalayak penduduk Jakarta yang hendak berlibur ke tempat-tempat tersebut. Laporan berita ini tentu tidak ada hubungannya dengan penonton di luar pulau Jawa yang tidak memiliki kepentingan apa-apa terkait pemberitaan tersebut. Lembaga Pembuat Pemeringkatan Rating/Share TV Setiap hari Rabu, AGB Nielsen lembaga riset yang mengkhususkan diri pada Survey Kepemirsaan Televisi (Television Audience Measurement –TAM) mengucurkan data statistik ke stasiun televisi nasional minus TVRI. 10 stasiun televisi terestrial (sebutan untuk tv yang siarannya sampai ke seluruh Indonesia) antara lain; RCTI, SCTV, Trans TV, Indosiar, MNCTV, Trans 7, tvOne, Global TV, ANTV, Metro TV dan NET. Kebetulan perusahaan yang membuat Survey Kepemirsaan Televisi di Indonesia yang dipercaya oleh stasiun televisi di Indonesia hanya AGB Nielsen. Entah percaya atau terpaksa percaya, karena tidak ada perusahaan survey riset sejenis yang mampu melakukannya dengan sangat kompleks dan lengkap seperti AGB Nielsen. Siapa AGB Nielsen? AGB Nielsen adalah joint venture antara VNU-Media Measurement & Information dan Audits of Great Britain Group (AGB Group) dengan Nielsen Media Researchnya yang berdiri Maret 2005. Sejak itulah AGB-Nielsen Media Research Indonesia resmi beroperasi sebagai badan hukum di Indonesia untuk bisnis Survey Kepemirsaan Televisi. Jauh sebelumnya di tahun 1976 Nielsen sudah masuk ke Indonesia dan bergabung dengan Survey Research Indonesia (SRI) dalam bagiannya dengan Survey Research Group yang mendata informasi dan pelayanan media cetak dan elektronik untuk keperluan industri periklanan. Tahun 1991, ketika televisi swasta nasional baru ada tiga, RCTI (1989), SCTV (1990), TPI (1991), Nielsen menawarkan jasa Survey Kepemirsaan Televisi untuk memudahkan televisi swasta nasional mendapatkan kue dari bisnis iklan. Tahun 1994, Nielsen mengambilalih Survey Research Group dan bisnis Survey Kepemirsaan Televisi jadi bagian dari Departemen Media AC Nielsen Indonesia. Barulah di tahun 2005 nama AC Nielsen sedikit berganti menjadi AGB Nielsen. Setidaknya ada 30 negara yang sudah didatangi oleh AGB Nielsen dalam melakukan kegiatan Survey Kepemirsaan Televisi, yaitu; Australia, Indonesia, Malaysia, Selandia Baru, Filipina, Korea Selatan, Taiwan, Thailand, Armenia, Azerbaijan, Kroasia, Cyprus, Georgia, Yunani, Hungaria, Irlandia, Italia, Macedonia, Moldova, Polandia, Serbia, Slovenia, Swedia, Turki, Libanon, Afrika Selatan, Republik Dominika, Meksiko, Puerto Rico dan Venezuela. Rating Dan Share Istilah rating dan share bagi sebagian orang bukan hal yang baru. Selalu dikatakan hidup-mati sebuah program TV tergantung rating dan share yang diraih. Tetapi hanya sedikit yang memahami makna rating dan share, juga bagaimana rating dan share dihasilkan. Khusus untuk TV, sebutannya Television Audience Measurement (TAM) yang dilakukan Nielsen di Indonesia dan 26 negara lainnya. Survey itu dirancang bagi pengiklan, agensi iklan, maupun pengelola TV untuk memperoleh pemahaman yang lebih baik karakter penonton TV dan acuan tontonan TV di kota-kota besar Indonesia. Sejak 1991, Nielsen Indonesia telah menyediakan laporan rating mingguan bagi stasiun TV dan pengiklan mengunakan Layanan Rating Harian—penonton sampel mencatat acara yang ditonton serta di kanal mana, di dalam buku harian yang disediakan. Hasilnya dikirimkan pada NMR yang kemudian mentransfernya ke komputer. Tahun 1997 NMR beralih menggunakan Peoplemeter System untuk mengembangkan pengukuran yang lebih akurat menit per menit.. Metode Peoplemeter untuk memperoleh gambaran lebih akurat mencakup 5 kota besar (Jabodetabek, Surabaya, Medan, Semarang, dan Bandung). Pada 2002 di tambah Makassar. Pada 2003 ditambah Yogyakarta (termasuk Bantul dan Sleman) serta Palembang, 2004 (Denpasar), dan 2006 (Banjarmasin). Survey Nielsen mencakup populasi 49,5 juta penonton TV. Angka rating dapat dipengaruhi oleh berbagai macam faktor, misalnya saja durasi suatu program, program tandingan, kualitas gambar yang diterima di rumah, penonton yang ada (available audience), jadwal tayang, waktu-waktu insidentil, juga pola kebiasaan penonton di daerah-daerah tertentu. Rating program tidak mencerminkan kualitas program. Rating adalah presentase dari penonton suatu acara dibandingkan dengan total atau spesifik populasi pada waktu tertentu. Yang diukur melalui rating ini kuantitas dan bukan kualitas suatu acara. Dengan perhitungan rating yang menit per menit, panjangnya program mempengaruhi rating dari satu program. Misalnya program yang tadinya berdurasi 30 menit mempunyai rating 10. Ketika diperpanjang menjadi 60 menit, ratingnya turun menjadi 8 persen, dikarenakan angka pembagi yang semakin besar. Lantas, apakah share? Apa bedanya dengan rating? Share adalah persentase jumlah pemirsa atau target pemirsa pada ukuran satuan waktu tertentu pada suatu channel tertentu terhadap total pemirsa di semua channel. Menghitung Rating TV Survey pemirsa TV di Indonesia dilakukan oleh AGB Nielsen yang saat ini wilayah suirveinya mencakup 10 kota besar, yaitu Jakarta, Surabaya, Medan, Semarang, Bandung, Makassar, Yogyakarta, Palembang, Denpasar, dan Banjarmasin. Tingkat penyebaran panel (satu set perangkat pencatatan rating pada televisi rseponden) didasarkan pada survei awal atau Establishment Survey (ES) di 10 kota tersebut untuk menetapkan dan mengidentifikasi profil demografi penonton TV. Dari ES, akan didapatkan jumlah rumah tangga (berusia 5 tahun ke atas) yang memiliki TV yang berfungsi dengan baik atau disebut populasi TV. Penyebaran sampel tidak sama di setiap kota, yaitu Jakarta 55 persen, Surabaya 20 persen, Bandung 5 persen, Yogyakarta 5 persen, Medan 4 persen, Semarang 3 persen, Palembang 3 persen, Makassar 2 persen, Denpasar 2 persen, dan Banjarmasin 1 persen. Angka ini proporsional berdasarkan populasi kepemilikan televsisi di tiap-tiap kota itu. Kepemilikan televisi di Jakarta, misalnya, 55 persen terhadap total 10 kota, maka jumlah sampelnya 55 persen. Angka rating televisi dihitung dengan rumus sederhana: Rating = Jumlah Penonton Suatu Program ————————————————— X 100 % Jumlah Universe Sedangkan : Share = Jumlah Penonton Suatu Program ——————————————————— X 100 % Total Penonton TV Disaat Bersamaan Contoh jumlah universe di Jakarta teradapat 3 televisi. Misalnya akan dihitung rating dan share masing-masing televisi tersebut pada pukul 9 sampai pukul 10 malam dimana misalnya TV A ditonton oleh 5 juta orang, TV B 4 juta orang, TV C 2 juta orang. Maka seluruh jumlah pemirsa adalah 11 juta orang. Dengan rumus tadi rating TV A adalah 25% dengan perhitungan: 5 juta dibagi 20 juta dikali 100%. Sedangkan share untuk TV A: 5 juta dibagi dibagi 11 juta dikali 100 % yakni 45%. Demikian juga dengan TV B dan C, tinggal memasukan rumus di atas tadi. Contoh TV Rating dan Twitter rating Pengambilan Data Kepermirsaan Televisi Pesawat televisi dan perlatan yang terhubung akan dipantau secara elektronik oleh sistim people meter. Masing-masing anggota rumah tangga diberikan sebuah tombol khusus pada handset people meter, misalnya tombol 1 untuk ayah, tombol 2 untuk ibu, tombol 3 untuk anak. Anggota rumah tangga diminta untuk menekan tombol handset pada saat menonton televisi dan menekan kembali ketika selesai menonton. Pengambilan data dilakukan melalui dua sistim yakni offline dan online. Pada sistem online data diambil setiap malam melalui siteim telpon yang diset secara otomatis dan dihubungkan dengan sistim pengolahan data sentral di AGB Nielsen Media Research. Sitem penarikan data harian atau daily rating di Jakara, Bandung, dan Surabaya. Sedangkan untuk data offline di kota lainnya akan didatangi petugas Liaison Officer untuk mengganti modul atau alat perekam data. Contoh Rating-Share Acara TV Indonesia Membaca Rating Lalu bagaimana data rating televisi bisa menjadi “kebijakan” para programmer televisi? Data rating yang dibeli dari AGB Nielsen bisa ditelaah dengan mudah oleh bagian departemen programming televisi, pun leh production house atau agency. Data berupa grafik dan angka suatu acara di televisi A bisa dikomparasi dengan acara di televisi B di waktu yang sama. Program acara juga bisa dilihat minutes by minute, sehingga bisa terbaca pada menit ke berapa acara ditonton banyak orang dan kapan mulai ada penurunan. Jadi selain head to head dengan program lain, data rating acara televisi juga bisa dilihat secara detail bagaimana trend pemirsa menonton acara tersebut. Inilah yang nantinya diolah sehingga pada akhirnya menjadi “kebijakan” programing, misalnya apakah acara itu akan terus dilanjutkan, dihentikan, atau “direvisi” sana-sini. Data rating yang telah diolah tadi lantas didistribusikan pada para produser dan tim kreatif. Maka seperti penjelasan di atas, angka nol koma sekian saja menjadi sangat penting untuk mereka. Rating Televisi vs Kualitas Acara Ini sudah lumayan lama diperdebatkan, nyatanya rating televisi tidak berbanding lurus dengan kualitas acara tv. Sebagian masyarakat menginginkan ada semacam lembaga yang justru bisa mengukur kualitas acara televisi, dengan demikian akan menjadi salah satu panduan bagi penonton untuk melihat acara televisi yang baik. Parameter serta bagaimana metode penilainya tentu saja bisa dirumuskan. Jika pada rating televisi merupakan metode kuantitatif maka untuk menilai bagus tidaknya program televisi tentu mesti menggunakan metode kualitatif. Institut Kesenian Jakarta sebetulnya pernah melakukan semacam pengukuran rating televisi dengan metode ini dan hasilnya memang jauh dengan rating yang dikeluarkan oleh AGB Nielsen. Namun demikian hal ini tidak bisa dilakukan secara berkala karena terkait dengan berbagai hal dan yang paling utama masalah pendanaan. Sebuah riset pasti memerlukan dana, dan riset nirlaba harus didukung oleh pendanaan yang banyak serta bisa secara simultan. Inilah salah satu problem besarnya. Lantas bagaimana ke depannya? Mesti ada terobosan, bagaimana mengukur kecenderungan penonton televisi dengan tak bergantung pada salah satu lembaga rating saja. Belum lama Komisi Penyiaran Indonesia sudah melakukan seminar perihal rating, namun rasanya belum ada solusi yang mumpuni dalam waktu dekat agar persoalan kualitas acara televisi dan bagaimana cara menakar dan mengukur dengan ideal. Daftar Pustaka Deddy Iskandar Muda, Jurnalistik Televisi : Menjadi Reporter Profesional, Remaja Rosdakarya, Bandung 2003 Morissan, Jurnalistik Televisi Mutakhir, Ghalia Indonesia, Jakarta, 2004 Ted White, Broadcast News: Writing, Reporting, and Producing, Focal Press, New York, 2005