I. PENDAHULUAN A. Latar Belakang Teh merupakan minuman terpopuler di dunia karena tidak mengandung alkohol dan mampu berperan sebagai obat. Menurut FAOSTAT, luas area perkebunan teh di dunia mencapai sekitar 2.996 kilo hektar, dengan produksi 3.885 kilo ton pada tahun 2009. Produksi tersebut 83,8 % dihasilkan di Asia dan 13,7 % di Afrika. Luas area dan total produksi terus meningkat dari tahun ke tahun. Pada tahun 2010 luas area tanam teh di dunia berjumlah sekitar 3.692 kilo hektar dan total output berjumlah 4.162 kilo ton (ITC, 2011 cit. Chen and Chen, 2012). Indonesia merupakan salah satu dari 8 Negara di dunia yang menjadi produsen utama teh selain China, India, Kenya, Sri Lanka, Vietnam, Turki, dan Jepang. Menurut FAO (2010) cit. Sriyadi et al. (2012) Indonesia menjadi negara produsen yang menempati urutan ke-7 di dunia. Luas area perkebunannya mencapai 127,4 kilo hektar dengan produksi 136,5 kilo ton, dan diekspor sebanyak 92,3 kilo ton pada tahun 2009 berturut-turut (ITC, 2010 cit. Sriyadi et al., 2012). Hal ini membuktikan bahwa tanaman teh memiliki peranan penting sebagai sumber devisa negara. Kontribusinya terhadap pendapatan negara dari sektor perkebunan menempati urutan kelima setelah karet, kelapa sawit, kopi dan kakao (Biro Pusat Statistik, 1996). Meskipun demikian, produktivitas teh di Indonesia masih rendah dan sulit untuk ditingkatkan karena mayoritas tanamannya berasal dari hasil persemaian biji dan umurnya tua. Dengan demikian, perlu dilakukan upaya untuk meningkatkan produksi dan mutu teh. Upaya tersebut antara lain rehabilitasi, perluasan area, penggunaan bibit unggul dan penyediaan bibit unggul melalui berbagai teknik persilangan. Persilangan dilakukan untuk meningkatkan hasil produksi dan mutu teh dengan memilih tetua dari klon-klon unggulan yang memiliki sifat yang diinginkan. Dalam persilangan tanaman, banyak ditemui kegagalan dalam pembentukan embrio yang baik. Kegagalan disebabkan oleh hambatan pada polinasi, pertumbuhan pollen tube, fertilisasi dan perkembangan embrio atau endosperm (Dure, 1975 cit. Hutami et al., 2003). Hasil persilangan juga seringkali dijumpai permasalahan antara lain buah yang terbentuk gugur saat embrio belum matang, terbentuk buah dengan endosperm yang kecil atau embrio kecil 1 dan lemah. Kondisi tersebut akan menghambat program pemuliaan karena embrio dengan endosperm yang kecil dan lemah tidak dapat berkecambah secara normal pada kondisi biasa. Tanaman teh sebagian besar mempunyai sifat self steril pada bunganya. Sifatnya yang self steril tidak memungkinkan untuk menghasilkan buah dengan hasil penyerbukan sendiri, sehingga perlu upaya penyerbukan silang dengan klon lain. Sementara menurut Setyamidjaja (2000) hasil persilangan yang mampu membentuk buah hanya 2 % dari keseluruhan bunga pada satu tanaman teh. Embrio hasil persilangan interspesifik sering mengalami keguguran. Embrio yang mengalami keguguran akan sulit untuk dikembangkan melalui perkecambahan secara normal sehingga perlu adanya upaya penyelamatan embrio hasil persilangan. Kultur in vitro telah banyak digunakan sebagai alternatif untuk permasalahan tersebut. Kultur jaringan (Tissue Culture) atau kultur in vitro adalah suatu teknik untuk mengisolasi sel, protoplasma, jaringan, dan organ serta menumbuhkan bagian tersebut pada nutrisi yang mengandung zat pengatur tumbuh tanaman pada kondisi aseptik, sehingga bagian-bagian tersebut dapat memperbanyak diri dan beregenerasi menjadi tanaman sempurna (Faisal et al., 2005). Dengan demikian embrio dapat digunakan sebagai bahan tanam untuk menghasilkan tanaman baru yang utuh. Penggunaan embrio sebagai eksplan dalam kultur jaringan biasa disebut dengan istilah kultur embrio (embryo culture). Kultur embrio juga digunakan untuk tujuan mematahkan dormansi bagi biji-biji yang sulit berkecambah sehingga sangat tepat digunakan pada tanaman teh karena mempunyai kulit biji yang tebal dan keras. Kultur embrio juga dapat digunakan untuk membantu perkecambahan embrio hasil persilangan interspesifik, mempercepat siklus pemuliaan melalui kultur in vitro bagi embrio yang lambat berkembang, serta mampu mendapatkan tanaman yang viabel setelah penyerbukan sendiri (Suliansyah, 2000). Dalam kultur embrio, zat pengatur tumbuh berperan penting sebagai komponen medium bagi pertumbuhan dan diferensiasi. Tingkat keberhasilan dalam penggunaan zat pengatur tumbuh dipengaruhi oleh jenis dan konsentrasi. Jenis zat pengatur tumbuh yang biasa digunakan adalah sitokinin dan auksin. Sitokinin merupakan salah satu zat pengatur tumbuh yang penting dalam mendukung penggandaan tunas (Balachandran et al. 1990; 2 Mariska dan Lestari 1995; Mariska et al. 1996; Nandang 1993 cit. Hutami dan Purnamaningsih, 2003). Sitokinin juga berfungsi untuk menginisiasi pertumbuhan tunas secara in vitro dan sering ditambahkan ke dalam medium kultur jaringan untuk menstimulasi pertumbuhan pucuk aksiler maupun adventif (Urenbay et al., 2005 cit. Anonim, 2007) sedangkan auksin digunakan untuk mendorong pembentukan organ akar pada tanaman (Looney and McIntosh, 1968; Scagel et al., 2000 cit. Mobli and Baninasab, 2009). Salah satu jenis zat pengatur tumbuh sitokinin adalah BAP (benzylamino purine). Kultur embrio pada media BAP akan membentuk tunas-tunas saja, sehingga diperlukan subkultur pada media perakaran untuk menginduksi pertumbuhan akar. Media perakaran tersebut terdiri atas media MS ditambah salah satu jenis auksin yaitu IBA (indole butyric acid), yang memiliki peran sebagai perangsang pembentukan akar pada tunas. Pengaruh pemberian konsentrasi BAP dan IBA yang berbeda akan mempengaruhi tunas dan akar yang dihasilkan. Oleh karena itu sangat diperlukan formula yang tepat untuk menginduksi tunas dan akar secara optimal. B. Tujuan 1. Mengetahui respon tiga klon teh terhadap pemberian konsentrasi BAP pada kultur embrio. 2. Mengetahui konsentrasi BAP yang tepat untuk multiplikasitunas pada kultur embrio tiga klon tanaman teh. 3. Mengetahui pengaruh pemberian IBA terhadap induksi akar dari tunas hasil kultur embrio. 4. Mengetahui konsentrasi IBA terbaik untuk menginduksi akar dari tunas hasil kultur embrio. C. Kegunaan Hasil penelitian ini diharapkan dapat membantu dalam upaya penyediaan bibit unggul hasil persilangan dan perbanyakan tanaman teh yang berguna sebagai sumber bibit dengan jumlah yang banyak dan efisien, serta tidak tergantung dengan musim. 3