(KHV) Pada Ikan Koi

advertisement
3
II. TINJAUAN PUSTAKA
2.1 Ikan Koi (Cyprinus carpio koi)
2.1.1 Sistematika dan Ciri Morfologi Ikan Koi
Ikan Koi berasal dari keturunan ikan karper hitam atau ikan Mas yang
melalui proses perkawinan silang dan menghasilkan keturunan yang berwarnawarni. Ikan Koi memiliki klasifikasi yang sama dengan ikan Mas, seperti berikut:
Filum
Sub Filum
Super Kelas
Kelas
Sub Kelas
Ordo
Sub Ordo
Suku
Genus
Spesies
: Chordata
: Vertebrata
: Pisces
: Osteichtyes
: Actino Ptergll
: Cypriniformei
: Cyprinidae
: Cyrinidae
: Cyprinus
: Cyprinus carpio
(Saanin H 1984).
Ikan Koi dan ikan Mas mempunyai hubungan kekerabatan yang sangat
erat karena memiliki famili, genus, dan spesies yang sama. Menurut Susanto
(2000), badan ikan Koi berbentuk seperti torpedo dengan alat gerak berupa sirip.
Ikan Koi jantan mempunyai bentuk tubuh langsing, sedangkan ikan Koi betina
bentuk tubuhnya agak membulat. Ikan koi memiliki 5 sirip yaitu sirip dada, sirip
perut, sirip anal, sirip ekor dan sirip punggung. Sirip dada dan sirip ekor ikan Koi
tersusun atas jari-jari lunak. Sirip punggung tersusun atas 3 jari-jari keras dan 20
jari-jari lunak sedang sirip perut tersusun atas 9 jari-jari lunak. Sirip anus tersusun
atas 3 jari-jari keras dan jari-jari lunak. Pada sisi badan dari pertengahan batang
sampai batang ekor terdapat gurat sisi yang berguna untuk merasakan getaran
suara. Garis ini terbentuk dari urat-urat yang ada di dalam sisik.
2.1.2 Pakan dan Pola Makan
Ikan Koi tergolong dalam hewan omnivora. Biasanya pakan ikan Koi
berupa ikan kecil, kerang-kerangan atau jenis tumbuh-tumbuhan. Pakan utama
anak Koi adalah udang-udang renik (Daphnia). Sejalan dengan pertumbuhan
badannya, ikan Koi dapat memakan serangga air, jentik-jentik nyamuk atau
lumut-lumut yang menempel pada tanaman.
4
Menurut Susanto (2000), ikan Koi di dalam air mampu mengenali
pakannya dan bahkan mencarinya diantara lumpur di dasar kolam, karena ikan
Koi mempunyai organ penciuman yang sangat tajam. Organ penciuman ini berupa
dua pasang kumis yang terletak pada bagian kiri dan kanan mulutnya. Ikan Koi
akan memburu sepotong pakan atau mengaduk-aduk lumpur untuk mendapatkan
pakan yang dibutuhkan. Mulut ikan Koi berukuran cukup besar dan dapat
disembulkan. Pakan berukuran kecil bersama-sama air memasuki rongga mulut
langsung ditelan masuk ke dalam kerongkongan dan dicerna di usus. Sedang air
melewati lamella insang setelah oksigen dalam air diserap.
2.1.3 Jenis Koi
Berbagai jenis ikan Koi, diantaranya adalah ikan Koi Kohaku, Koi Taisho
Sanke, Koi Showa Sanshoku, Koi Utsurimono, Koi Asagi, Koi Ogon yang, Koi
Kin Ginrin, Koi Bekko, Shiro Bekko Ki Bekko Aka Bekko, Koi Tancho dan Koi
Koromo atau Goromo (Tiara dan Muhananto 2011).
Gambar 1 Jenis ikan Koi
Pertumbuhan ikan Koi tergantung pada suhu air, pakan dan jenis kelamin.
Enam bulan pertama, ikan Koi tumbuh sangat cepat. Sampai umur 2 tahun, ikan
Koi jantan tumbuh pesat dibandingkan ikan Koi betina. Namun setelah umur 2
5
tahun ikan Koi betina tumbuh pesat dibandingkan ikan Koi jantan (Tiara dan
Muhananto 2011).
2.2 Kualitas Air
Air merupakan media hidup yang sangat mendukung dalam pertumbuhan
dan kelangsungan hidup organisme akuatik. Setiap jenis ikan memiliki batas
toleran yang berbeda-beda dan dinyatakan dengan kisaran nilai tertentu. Ada
beberapa parameter kelayakan perairan perikanan disebut kualitas air. Parameter
kualitas air ini digolongkan menjadi 2 yaitu secara fisika dan kimia. Kualitas air
tersebut diantaranya adalah
suhu, salinitas, kekeruhan, oksigen terlarut, pH,
amonia, nitrat dan nitrit (Effendy 2003).
Suhu merupakan salah satu parameter air yang berperan penting sebagai
controlling factor. Metabolisme optimal akan terjadi pada suhu yang optimal.
Setiap jenis ikan mempunyai batas toleran yang berbeda-beda. Effendy (2003) mengatakan bahwa ikan Koi dapat hidup pada kisaran suhu 8-30ºC, oleh sebab itu
ikan Koi dapat di pelihara di seluruh Indonesia, mulai dari pantai hingga daerah
pegunungan. Suhu ideal untuk pertumbuhan ikan Koi adalah 15-25ºC.
2.2.1 Power of hydrogen (pH)
Kesuburan air juga ditentukan oleh pH dimana logaritma negatif dari
konsentrasi ion hidrogen (pH) = -log [H]. Air murni pada suhu 25 C memiliki
konsentrasi pH 7. Perairan dengan pH netral sampai alkalis dapat digunakan untuk
budidaya ikan daripada perairan dengan pH asam. Ikan Koi bertahan hidup pada
pH 6,5-8. Perubahan pH biasanya menimbulkan stres pada ikan. Kemampuan air
menahan perubahan pH lebih penting daripada nilai pH itu sendiri. Namun Boyd
(1982) mengatakan bahwa ikan akan mati pada pH < 4; ikan tidak dapat
bereproduksi pada pH 4-5; laju pertumbuhan ikan menjadi lambat pada pH 5-6;
layak untuk budidaya pada pH 6,5-9; pertumbuhan ikan menjadi lambat pada pH
9-11; dan bila pH >11 maka ikan akan mati.
2.2.2 Deplesi Oksigen (DO)
Kebutuhan ikan terhadap oksigen tergantung pada jenis, ukuran, aktivitas,
suhu dan kualitas pakan. Ikan kecil masih bertahan hidup untuk beberapa saat
pada DO 0,0-0,3 mg/liter, namun akan mati pada DO 0,3-1,0 mg/liter. Bila DO air
berada pada kisaran 1,0-5,0 mg/liter, ikan akan mengalami pertumbuhan yang
6
lambat tetapi pada DO > 5 mg/liter maka ikan akan tumbuh secara optimal
(Effendy 2003).
2.2.3 Amonia
Amonia dihasilkan akibat dari proses pemupukan, ekskresi ikan,
dekomposisi mikroba dari komponen nitrogen. Ketika amonia memasuki perairan,
ion hidrogen langsung bereaksi dan mengubah amonia ke dalam suatu kondisi
keseimbangan antara ion amonium yang tidak beracun (NH4+) dan amonia tak
terionisasi (NH3) yang beracun (Boyd 1982).
NH3 + H+ + OH-
NH4+ + OH-
Penguraian amonia di dalam air bergantung pada pH dan suhu. Selain itu
juga dipengaruhi faktor lain seperti kekuatan ion dalam larutan dan salinitas.
Toksisitas amonia dapat meningkat pada kondisi DO yang rendah. Amonia tak
terionisasi (NH3) akan menurun secara relatif menjadi amonia yang terionisasi
(NH4+) pada air sadah dan bersalinitas.
Total amonia dalam bentuk NH4+ dan NH3 tergantung pada peningkatan
pH dan temperatur. Pengaruh pH terhadap amonia lebih dominan dibandingkan
temperatur. Air dengan pH yang rendah memiliki ion hidrogen lebih banyak
sehingga bentuk NH4+ lebih dominan, yang mana NH4+ tidak beracun bila jauh
lebih banyak dibandingkan NH3. Peningkatan suhu air juga dapat meningkatkan
NH3 jauh lebih banyak dibandingkan NH4+, sehingga dapat membahayakan ikan
yang berada dalam sistem tersebut.
Keberadaan amonia mempengaruhi pertumbuhan karena mereduksi
masukan oksigen yang disebabkan oleh rusaknya insang, menambah energi untuk
keperluan detoksifikasi, mengganggu osmoregulasi dan mengakibatkan kerusakan
fisik pada jaringan.
Kadar amonia yang tinggi juga mempengaruhi permeabelitas tubuh ikan
terhadap air dan mengurangi konsentrasi ion dalam tubuh, meningkatkan
konsumsi oksigen pada jaringan, merusak insang dan mengurangi kemampuan
darah dalam melakukan transport oksigen. Ketika konsentrasi amonia
dilingkungan meningkat, eksresi amonia pada ikan akan turun sehingga kadar
amonia dalam darah dan jaringan akan meningkat. Ikan yang berada dalam
7
konsentrasi amonia lingkungan yang tinggi secara terus-menerus akan
menurunkan pertumbuhan dan meningkatkan kerentanan terhadap penyakit.
Kadar amonia bebas yang tidak terionisasi (NH3) pada air tawar sebaiknya
tidak lebih 0,2 mg/liter, karena pada beberapa spesies ikan zat tersebut dapat
bersifat toksik. Pada kadar amonia 0,52 mg/liter, pertumbuhan tubuh ikan akan
turun hingga 50% dan tidak akan terjadi pertumbuhan pada konsentrasi 0,97
mg/liter. Kadar amonia yang tinggi merupakan salah satu parameter adanya
pencemaran bahan organik. Kadar amonia yang tinggi dapat terjadi pula pada
dasar
danau
yang
mengalami
deplesi
oksigen
(Effendy
2003).
UNESCO/WHO/UNEP (1992) menyampaikan bahwa kadar maksimum kualitas
air yang diperkenankan untuk kehidupan organisme akuatik adalah 1.37-2.2
mg/liter.
2.2.4 Nitrit Nitrogen (NO2-N)
Ion nitrit dibentuk dari nitrat (NO3-) atau ion amonium (NH4+) oleh
mikroorganisme tertentu yang dapat ditemukan di tanah dan air. Nitrit dihasilkan
dari dekomposisi feses dan sisa pakan oleh bakteri Nitrosomonas. Nitrit juga
merupakan produk intermediet antara amonium dan nitrat. Toksisitas nitrit
mungkin berhubungan dengan konsentrasi asam nitrit, yang tergantung pada suhu,
pH dan salinitas. Rendahnya pH akan meningkatkan pembentukan asam nitrit.
Selain itu toksisitas nitrit (atau asam nitrit) akan meningkat pada konsentrasi DO
rendah dan suhu yang tinggi.
Kalium dan klorida dapat meningkatkan toleransi ikan terhadap nitrit
karena ion-ion tersebut dapat bersaing dengan nitrit dalam transportasi melalui
epitel insang, sehingga dapat menurunkan jumlah pengambilan nitrit di air.
Penurunan pH akan meningkatkan toksisitas nitrit karena nitrit akan dikonversi
menjadi asam nitrit. Selain itu, toksisitas nitrit juga dipengaruhi oleh ukuran ikan,
oksigen terlarut, kandungan nitrit, status makanan dan infeksi (Effendy 2003).
Konsentrasi toksik nitrit berbeda-beda tergantung spesies, untuk salmoid
sekitar 0.3 mg/l NO2-N, dan catfish 13 mg/l NO2-N. Namun secara umum
konsentrasi
nitrit
yang
aman
bagi
ikan
adalah
0.6
mg/l
NO2-N
(UNESCO/WHO/UNEP 1992). Saat nitrit diabsorbsi oleh ikan, nitrit akan
bereaksi dengan hemoglobin membentuk methemoglobin.
8
Hb + NO2-
Met-Hb
2+
Nitrit akan mengoksidasi ferro (Fe ) menjadi ferri (Fe3+). Hal ini meyebabkan
darah tidak dapat mengikat oksigen, sehingga toksisitas nitrit akan menyebabkan
aktivitas hemogloblin menurun. Toksisitas nitrit disebut methemoglobinaemia
(Murray 2000).
2.2.5 Nitrat Nitrogen (NO3-N)
Ion nitrat dibentuk oleh oksidasi lengkap dari ion amonium oleh
mikroorganisme yang berada dalam tanah, air dan atau akibat proses nitrifikasi
dari amonia. Bakteri yang berperan dalam nitrifikasi untuk mengubah nitrit
menjadi nitrat menjadi nitrogen bebas (N2) yang dapat terlepas dari sistem gas.
Reaksi ini dapat ditemukan pada biofilter dan lingkungan alamiah serta
bertanggung jawab untuk mempertahankan konsentrasi amonia dalam kisaran
yang layak. Nitrat (NO3-) umumnya tidak beracun bagi ikan, namun bila kadar
nitrat lebih dari 0,2 mg/liter dapat menyebabkan peningkatan jumlah nutrient di
dalam ekosistem air (eutrofikasi) dan selanjutnya menstimulasi pertumbuhan alga
dan tumbuhan air (blooming) (Effendy 2003). Blooming dapat menyebabkan
produksi destritus berlebihan sehingga menghabiskan suplai oksigen di perairan
dan menyebabkan kematian bagi ekosistem perairan (Prasetyo 2011).
Ledakan populasi fitoplankton yang diikuti dengan keberadaan jenis
fitoplankton beracun akan menimbulkan Ledakan Populasi Alga Berbahaya
(Harmful Algae Blooms – HABs). Faktor yang dapat memicu ledakan populasi
fitoplankton berbahaya antara lain karena adanya eutrofikasi upwelling yang
mengangkat massa air kaya unsur-unsur hara (Aunurohim et al. 2009).
Pencemaran antropogenik tergambarkan bila nitrat lebih dari 5 mg/liter. Hal ini
dapat terjadi akibat kehadiran feses manusia atau hewan.
2.3 Stres
Stres adalah sejumlah respon fisiologis yang terjadi pada saat individu
mempertahankan homeostasis. Berbagai faktor yang mempengaruhi stres,
diantaranya adalah perubahan kebiasaan pola hidup secara draktis misal terhadap
makan dan minum, transportasi jarak yang jauh, perpindahan kolam lama ke
kolam baru, kehadiran predator, penanganan dan perlakuan yang kasar serta
perubahan iklim dan cuaca lingkungan (Ross and Ross 2006).
9
Faktor lain yang menyebabkan stres adalah spesies ikan, kualitas dan
kuantitas ikan, bentuk kontainer, kuantitas sisa pakan dalam akuarium/kolam, dan
kecepatan laju kendaraan. Kondisi lingkungan turut menentukan tingkat stres, ini
meliputi temperatur, kelembaban, suara gaduh, ventilasi dan cahaya serta
perlakuan selama perjalanan.
Ikan mudah megalami stres. Hal ini biasanya akibat transportasi dari satu
lokasi ke lokasi lainnya misal dari kolam satu ke kolam lain, dari kolam satu ke
kolam pemasaran, atau dari kolam ke plastik pengemasan baik melalui
transportasi darat, udara maupun laut sering (Ross and Ross 1999). Selain itu,
faktor penyebab stres lainya adalah perubahan jenis pakan, perlakuan dari
karyawan atau petugas yang kasar, kepadatan ikan dalam kolam/akuarium/
kemasan plastik serta suara gaduh lingkungan.
Pada saat ikan mengalami stres, ikan akan mengeluarkan banyak tenaga
secara ekstra untuk menghadapi perubahan lingkungan yang mendadak. Ketika
terjadi perubahan suhu dalam air maka suhu tubuh ikan turut berubah-ubah. Ikan
menggunakan energi berlebihan untuk mempertahankan diri dalam waktu tertentu
sehingga energi untuk pertumbuhannya berkurang. Stres dapat mengakibatkan
daya tahan tubuh ikan menurun bahkan menyebabkan kematian.
2.4 Koi herpesvirus (KHV)
Virus herpes banyak terdapat di lingkungan, tipe virus ini mampu menyerang
manusia dan hewan. Lebih dari 100 spesies virus herpes saat ini, delapan
diantaranya menyerang manusia dan bersifat zoonosis. Virus herpes termasuk
dalam tipe virus yang memiliki ukuran besar dibandingkan dengan virus yang
lainnya. Secara morfologi, anggota virus herpes memiliki struktur yang serupa satu
dengan yang lainnya.
Morfologi struktur dari virus herpes dari arah dalam keluar terdiri dari
genom DNA utas ganda linier (double helix linear), berbentuk toroid, kapsid,
lapisan tegumen, dan selubung. Kapsid terdiri atas protein yang tersusun dalam simetri
ikosahedral. Tegumen yang terdapat diantara kapsid dan selubung merupakan massa
fibrous dengan ketebalan yang bervariasi.
Amplop virus bersifat sedikit pleomorphic (mampu berubah bentuk),
berbentuk bola dengan diameter 120-200 nm. Pada permukaan amplop yang dapat
10
diproyeksikan dengan banyaknya duri (spike) yang menyebar merata di seluruh
permukaan virus herpes. Nukleokapsid virus herpes dikelilingi oleh kulit yang terdiri
dari bahan globular yang sering asimetris. Virus herpes memiliki total panjang
genom 120.000-220.000 nm dengan rasio guanine dan cytosine 35-75 % (Fenner et al.
1993 ).
2.4. 1 Klasifikasi Herpesviridae
Herpesviridae diklasifikasikan menjadi 3 sub famili yaitu Alphaherpesvirus,
Betaherpesvirus dan Gammaherpesvirus. Sub-famili Alphaherpesvirus memiliki 2 genus
yaitu Simplexvirus
dan Varicellovirus. Betaherpesvirus memiliki 3 genus yaitu
sitomegalovirus, muromegalovirus dan roseolovirus, sedang Gammaherpesvirus
memiliki 2 genus yaitu lymphocryptovirus dan rhadinovirus.
2.4.2 Replikasi Virus Herpes
Virus herpes bereplikasi dalam metabolisme sel inang dengan menggunakan
asam nukleat. Virus yang menempel pada induk semang akan masuk dalam
metabolisme induk semang dan keluar dari sel induk semang dengan merusak
membran plasma (Sugiri 1992).
Awalnya peplomer glikoprotein amplop berfusi dengan reseptor sel inang.
Kemudian proteoglikan heparin sulfat (nukleokapsid) memasuki sitoplasma dengan
cara virion amplop berfusi dengan membran sel atau melalui vakuola fagositis.
Kompleks DNA-protein kemudian terbebaskan dari nukleokapsid dan memasuki
nukleus, menghentikan sintesis makromolekul sel inang. mRNA, protein
dan ß
ditranskripsi oleh polymerase RNA II sel. RNA diubah menjadi mRNA dan ditranslasi
menjadi protein, yang menstimulasi terjadinya translasi mRNA ß menjadi protein ß.
Runutan replikasi, transkripsi dan translasi terjadi lagi. Replikasi DNA virus dengan
menggunakan beberapa protein, ß dan protein sel inang. Transkripsi terjadi dengan
terbentuknya mRNA dengan urutan terletak sepanjang genom, selanjutnya terjadi
translasi menjadi protein. Selama siklus dihasilkan lebih dari 70 protein tersandi-virus.
Replikasi DNA virus terjadi di nukleus (Fenner et al. 1993). Protein alfa dan beta
merupakan enzim dari protein lain yang akan berikatan dengan DNA genom virus
(Sugiri 1992).
Transkripsi DNA virus terjadi sepanjang siklus replikasi di dalam sel dengan
bantuan enzim RNA polymerase sel dan protein virus lain. Transkripsi dalam bentuk
11
DNA virus selanjutnya dirakit menjadi virion pada membran inti sel. Pelepasan virion
dari sitoplasma keluar inti sel terjadi melalui struktur tubuler atau melalui proses
eksositosis vakuola yang berisi virion (Sugiri 1992).
2.5 Penyakit Koi Herpes Virus (KHV)
Penyakit KHV merupakan salah satu penyakit infeksius yang menyerang
spesies ikan Koi dan ikan Mas yang disebabkan oleh golongan virus DNA. Di
Indonesia, kasus penyakit KHV diawali di Blitar pada tahun 2002 yang mana telah
terjadi kematian massal (80%-95%). Kira-kira akhir April 2002, kasus kematian ikan
Mas terjadi di Subang serta kasus serupa pada bulan Mei 2002 terjadi di sentra
budidaya ikan Mas di daerah Cirata, Jawa Barat. Wabah penyakit KHV kembali
terjadi di daerah Lubuk Linggau, Sumatra Selatan pada bulan Februari 2003 dengan
gejala yang ditimbulkan sama seperti yang ditemukan pada ikan Mas di pulau Jawa.
Kemudian wabah terus menyebar di propinsi sekitarnya termasuk Bengkulu, dan
Jambi. Wabah KHV di Indonesia telah menyebar sampai ke Denpasar (Bali),
Banyuwangi, Tulungagung, Blitar, Malang, Kediri, dan Surabaya (Jawa Timur),
Semarang dan Brebes (Jawa Tengah), Subang, Bogor, Bandung, Purwakarta, Cianjur,
dan Bekasi (Jawa Barat), Banten, dan Lampung, Bengkulu, dan Sumatera Selatan
(Sumatra) (Pasaribu 2003).
Penyakit ini masuk ke Indonesia melalui perdagangan ikan lintas antar
negara (Pasaribu 2003). Penyakit ini menyebar sampai ke Eropa, Jepang, Rusia,
Israel, Korea, Amerika Serikat, Malaysia dan Indonesia (Kementerian Kelautan
dan Perikanan 2010). Sejak ada wabah penyakit KHV di Indonesia, produksi ikan
Koi dan ikan Mas mengalami penurunan yang drastis (Departemen Kelautan dan
Perikanan 2010).
2.5.1 Cara Penularan
Penyakit KHV ini menyebar melalui kontak langsung antara ikan sehat dan
ikan yang sakit, kontaminasi air, transportasi dan penanganan yang tidak higienis
seperti pergantian lingkungan. Secara morfologi KHV termasuk dalam golongan
herpesvirus yaitu virus yang memiliki bentuk ikosahedral dengan diameter 100 nm. Koi
herpesvirus pada umumnya dapat hidup dan memperbanyak diri pada temperatur
antara 18-30°C (Sunarto 2005).
12
2.5.2 Gejala Klinis
Ikan yang terinfeksi penyakit KHV akan memperlihatkan gejala penurunan
nafsu makan, lemah, penurunan permeabelitas mukosa kulit dan insang. Penurunan
permeabelitas mukosa kulit ini menyebabkan kulit tampak kering, hemorrhagi pada
sirip dan kulit, nekrosa sel insang atau menjadi nekrosis pada ujung lamela (OATA
2001; Departemen Kelautan dan Perikanan 2010). Ikan yang terserang penyakit ini
akan sedikit banyak mengalami perubahan tingkah laku antara lain ikan berenang di
permukaan air, berkumpul mendekati sumber aerasi, gerakan yang kurang terkontrol,
dan terlihat dispnoe pada permukaan air.
2.5.3 Perubahan Makroskopis
Pada pemeriksaan perubahan makroskopis ditemukan adanya nekrosa pada
insang, sisik, sirip, ekor, ginjal, limpa, dan hati (Sunarto 2005). Belakangan ini
perubahan makroskopis akibat infeksi virus KHV jarang muncul, namun ikan yang
terinfeksi KHV biasanya mati mendadak.
2.5.4 Diagnosa
Diagnosa penyakit KHV sampai saat ini dengan 3 cara yaitu berdasar gejala
klinis dan perubahan makroskopis, pemeriksaan histopatologi dan pemeriksaan biologi
molekuler dengan metode PCR. Diagnosa berdasar perubahan kondisi fisik atau sakit
dengan gejala klinis dan perubahan makroskopis digolongkan ke dalam level 1, dan
pemeriksaan histopatologi digolongkan dalam cara diagnosa penyakit ikan pada level 2.
Diagnosa penyakit ikan dalam level tertinggi adalah pemeriksaan biologi molekuler
dengan metode PCR yaitu termasuk dalam level 3 (Departemen Kelautan dan
Perikanan 2007). Penggolongan level diagnosa penyakit ini disesuaikan dengan fasilitas
peralatan yang ada. Diagnosa penyakit pada level 1 biasanya dilakukan oleh para
petugas lapang dan stasion kelas 2. Diagnosa penyakit pada level 2 dilakukan oleh para
petugas di laboratorium dan stasion kelas 1 karantina ikan, sedangkan diagnosa
penyakit pada level 3 dilakukan oleh petugas laboratorium virologi pada Balai Besar
dan Balai Riset dalam Departemen Kelautan dan Perikanan.
Selain itu diagnosa KHV dapat dilakukan dengan cara isolasi virus pada
kultur jaringan. Sel yang digunakan adalah sel fibroblast dari Koi Tail (KT). Supernatan
homogenat dari bagian ikan yang dianggap sakit di inokulasikan dalam KT, kemudian
di inkubasi selama 1 jam pada suhu 25°C agar KHV menempel pada permukaan KT.
13
Setelah diinokulasikan, virus dapat terdeteksi dengan terlihatnya efek sitopatik yang
cepat dalam kultur sel (Sunarto 2005).
2.6 Polymerase Chain Reaction (PCR)
2.6.1 Single PCR
PCR merupakan suatu teknik perbanyakan (amplifikasi) potongan DNA
secara in vitro pada daerah spesifik yang dibatasi oleh dua buah primer
oligonukleotida. Primer yang digunakan sebagai pembatas daerah yang
diperbanyak adalah DNA untai tunggal yang urutannya komplemen dengan DNA
templatenya. Proses tersebut mirip dengan proses replikasi DNA secara in vivo
yang bersifat semi konservatif. Teknik ini mampu memperbanyak sebuah urutan
105-106 kali lipat dari jumlah nanogram DNA template (Stephenson 2003). PCR
dilakukan dengan bantuan alat yang disebut thermocycler (Muladno 2010).
Dalam proses PCR membutuhkan 4 komponen utama, yaitu (1) DNA
template, (2) oligopolisakarida primer, (3) deoxyribonucleotida triphosphate dan
(4) enzim polymerase. DNA template adalah frakmen DNA yang akan
dilipatgandakan. Oligopolisakarida primer adalah suatu sekuen pendek dari
oligonukleotida yaitu antara 15-25 basa nukleotida yang akan digunakan untuk
mengawali sintesis rantai DNA. Deoxiribonucleotida triphosphate sering disebut
dNTP, ini terdiri dari dATP, dCTP, dGTP dan dTTP. Enzim polymerase adalah
enzim yang melakukan katalisis reaksi sintesis rantai DNA. Komponen lain yang
juga penting adalah senyawa buffer (Yuwono 2006).
Reaksi pelipatgandaan suatu frakmen DNA dimulai dengan melakukan
denaturasi DNA template sehingga rantai DNA yang berantai ganda akan
dipisahkan menjadi rantai tunggal. Denaturasi menggunakan panas (90 C) selama
1-2 menit, kemudian suhu diturunkan menjadi 55 C selama 1-2 menit, sehingga
primer menempel (annealing) pada cetakan terpisah menjadi rantai tunggal.
Primer akan membentuk jembatan hidrogen dengan template pada daerah sekuen
yang komplementer dengan sekuen primer (Glick dan Pasternak 1998).
Pada single PCR membutuhkan sepasang primer untuk proses annealing.
Primer pertama adalah oligonukleotida dalam primer ini mempunyai sekuen yang
identik dengan salah satu rantai DNA template pada ujung 5’-fosfat, primer kedua
adalah oligonukleotida yang identik dengan sekuen pada ujung 3’-OH rantai
14
DNA template yang lain. Setelah proses annealing, suhu inkubasi ditingkatkan
menjadi 72 C selama 1,5 menit. Pada suhu ini, DNA polymerase akan melakukan
proses polimerase rantai DNA yang baru berdasarkan informasi yang ada pada
DNA template. Setelah polimerasi, rantai DNA yang baru akan membentuk
jembatan hidrogen dengan DNA template . DNA rantai ganda akan terbentuk
dengan adanya ikatan hidrogen antara DNA template dengan rantai DNA baru
hasil polimerasi, selanjutnya akan didenaturasi
lagi. Rantai DNA yang baru
tersebut akan berfungsi sebagai cetakan bagi reaksi polimerasi berikutnya
(Yuwono 2006).
Proses amplifikasi tersebut diulang lagi sampai 25-30 kali/siklus sehingga
pada akhir siklus akan mendapatkan molekul-molekul DNA rantai ganda yang
baru hasil polimerasi dalam jumlah yang jauh lebih banyak dibandingkan dengan
jumlah DNA cetakan yang digunakan. Banyaknya siklus amplifikasi tergantung
pada DNA target di dalam campuran reaksi (Glick dan Pasternak 1998).
Hasil amplifikasi ini dapat divisualisasikan dengan mata telanjang setelah
melewati proses elektroforesis dengan menggunakan gel poliakrilamida atau gel
agarose. Prinsip elektroforesis adalah molekul DNA bermuatan negatif pada pH
netral akan bermigrasi ke arah yang bermuatan positif. Migrasi molekul DNA
pada gel elektroforesis dipengaruhi oleh komposisi dan kelarutan ion buffer
elektroforesis. Beberapa buffer yang digunakan diantaranya Tris Asetate EDTA
(TAE), Tris pHospate EDTA (TBE) dan Tris Borate EDTA (TPE), serta buffer
alkalin elektroforesis (Sambrook et al. 1989). Pada saat elektroforesis, molekul
DNA akan berikatan dengan ethidium bromida (EtBr) sehingga molekul DNA
tersebut dapat divisualisasikan dibawah lampu ultra violet.
15
Gambar 2 Proses amplifikasi ekstrak DNA dalam thermocycler
2.6.2 Nested PCR
Ada berbagai metode PCR, diantaranya adalah Nested PCR. Metode
Nested PCR ini biasanya digunakan untuk mendiagnosa suatu penyakit dengan
tingkat sensitifitas dan spesifisitas yang tinggi.
Gambar 3 Diagram amplifikasi pada nested PCR
16
Pada prinsipnya, nested PCR menggunakan 2 pasang primer dengan 2
kali/siklus amplifikasi, hal ini berbeda dengan PCR biasa atau single PCR yang
mana hanya menggunakan 1 pasang primer dengan 1 kali siklus amplifikasi. Oleh
karenanya nested PCR lebih sensitif dan spesifik dibandingkan dengan single
PCR, sehingga mampu untuk mendeteksi virus/bakteri dalam jumlah sedikit.
Tabel 1 Master mix I dari nested PCR
Keterangan
dNTP mix (2mM each dNTP)
10x PCR buffer (15mM MgCl2)
Taq polymerase (0.2U)
dH2O
Primer mix. Forward and Reverse
primers (5 pmoles/µl each)
Total Mastermix Volume:
DNA Template
Tabel 2 Master mix II dari nested PCR
Keterangan
dNTP mix (2mM each dNTP)
10x PCR buffer (15mM MgCl2)
Taq polymerase (0.2U)
dH2O
Primer mix. Forward and Reverse
primers (5 pmoles/µl each)
Total Mastermix Volume:
DNA Template (Sample from external
round PCR product)
Volume
5 µl
5 µl
0.2 µl
25.8 µl
4 µl
40 µl
10 µl
Volume
5 µl
5 µl
0.2 µl
35.8 µl
4 µl
49 µl
1 µl
Tabel 3 Siklus amplifikasi-nested PCR
PCR Machine Cycling Parameters
For Both External and Internal PCR Rounds
94ºC/30 sec
1 cycle
94ºC/30 sec.
55ºC/30 sec.
72ºC/30 sec. to 120 sec.
35 cycles
4ºC
Hold
(http://www.pcrstation.com/nested-pcr/).
Download