BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Komunikasi

advertisement
BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
Komunikasi dan budaya memiliki relevansi yang terkait satu sama lain.
Budaya menjadi bagian dari perilaku komunikasi dan pada gilirannya
komunikasi turut menentukan, memelihara, mengembangkan dan mewariskan
budaya (Mulyana, 2013: 6). Adalah suatu fakta yang tidak terbantahkan,
bahwa komunikasi merupakan faktor esensial dalam transformasi budaya.
Bali adalah salah satu pulau yang kaya akan budaya, tidak dapat
dipungkiri akibat efek pariwisata telah terjadi beberapa perubahan struktural
dalam masyarakat Bali, tetapi hal –hal yang mendasar sebagai esensi
kebudayaan Bali masih tetap kuat tumbuh, berakar dan berkembang dengan
subur (Pitana dkk, 1994:6). Salah satunya adalah upacara kremasi jenazah
yang dikenal dengan ngaben.
Budaya ngaben selama ini memunculkan daya tarik bagi masyarakat
maupun wisatawan, namun dibalik keunikannya upacara ngaben sendiri
dianggap sebagai upacara keagamaan yang paling berat bagi umat Hindu di
Bali. Dikatakan berat karena di dalam pelaksanaannya dibutuhkan sarana dan
prasarana yang sulit, waktu dan tenaga yang banyak serta dana yang tidak
sedikit. Bahkan pada beberapa kasus ritual upacara ngaben menimbulkan
berbagai konflik pada masyarakat Bali.
Hakikatnya ngaben terikat erat oleh budaya kolektif, di mana umat Hindu
di Bali pada saat menguburkan jenazah ataupun melakukan upacara ngaben
harus menggunakan kuburan di tempat asalnya serta turut melibatkan banjar
atau desa adat setempat (semacam rukun warga) (Puspa, 2014). Hal ini
menimbulkan berbagai masalah pelik, terutama bagi masyarakat urban yang
menetap diluar pulau Bali sehingga tidak memungkinkan terikat oleh satu desa
adat dan dengan eksis mengikuti segala kegiatan dan aturan yang dibuat.
Maka ketika meninggal dan ingin melaksanakan upacara ngaben diperlukan
berbagai prosedur supaya jenazah bisa di abenkan (Kebayantini,2013).
1
Seperti berita yang dikutip dalam Nusa Bali (24 Februari 2012,p-) Warga
adat Tabanan memberikan sanksi kasepekang (sanksi adat berupa pelepasan
keanggotaan sebagai warga adat) dengan tidak mengizinkan jenazah salah satu
warganya di kuburkan di desa tersebut karena menantunya korupsi dana di
Lembaga Perkreditan Desa (LPD). Akibat nya jenazah didiamkan selama dua
hari tanpa kejelesan dan akhirnya harus di kremasi pada krematorium umum
tanpa bisa dilakukan upacara pengabenan.
Selain itu seperti yang disampaikan oleh Profesor Pitana dalam wawancara
menyatakan bahwa saat ini masyarakat Bali mulai tergusur dalam persaingan
dunia kerja karena dianggap terlalu banyak cuti untuk menjalankan kewajiban
dalam upacara keagamaam termasuk ngaben bahkan beberapa orang menjual
tanah warisan demi melangsungkan upacara ngaben. Hal ini bukan hanya
merusak citra Bali secara luas namun juga menimbulkan masalah dalam
bidang sosial dan ekonomi.
Untuk merespon hal tersebut, para pemangku kepentingan di Bali meliputi
pemerintah, ahli budayawan, agama dan akademisi, membuat sebuah inovasi
dengan mendirikan pusat krematorium sebagai alternatif upacara ngaben di
Bali. Krematorium ini diprakarsai oleh organisasi non profit Maha Gotra
Pasek Sanak Sapta Rsi (MGPSSR). MGPSSR adalah nama kelompok bagi
warga dengan garis keturunan pasek. Krematorium ini diberi nama Santha
Yana yang berarti “jalan damai” menawarkan pelaksanaan ritual upacara
ngaben yang lebih praktis dan efisien dengan waktu, tenaga, dan biaya yang
lebih mudah dan murah dibandingkan upacara ngaben pada umumnya, tanpa
mengurangi substansi upacara ngaben sendiri. Krematorium ini terbuka untuk
digunakan oleh umum termasuk warga Hindu perantauan dan warga dari garis
keturunan dan agama lain (Dalam Suara Pasek, edisi Januari 2009, p. 3).
Tidak mudah bagi organisasi ini untuk mengkomunikasikan ide – ide baru
atau inovasi dalam ritual upacara ngaben kepada masyarakat Bali yang telah
memiliki persepsi dan kepercayaan mengenai budaya ngaben yang
berlangsung selama ini. Dibutuhkan sebuah strategi komunikasi sehingga
masyarakat dapat menerima ide dan jasa yang ditawarkan oleh organisasi ini.
2
Setelah kurang lebih enam tahun berdiri krematorium Santha Yana mulai
populer di tengah masyarakat Bali. Laporan Mahasabha IX MGPSSR (2014)
menyebutkan bahwa pengguna krematorium Santha Yana naik secara
signifikan dari tahun ke tahun. Hal ini dapat dilihat dari jumlah pengguna
yang awal diresmikannya tahun 2008 hanya 2 orang, tahun 2009; 35 orang,
tahun 2010; 70 orang dan tahun 2011 naik signifikan menjadi 148 orang dan
bertambah terus setiap tahunnya.
Fenomena di atas mengindikasi bahwa telah terjadi perubahan pada
pelaksanaan budaya ngaben, di mana sebelum hadirmya krematorium Santha
Yana masyarakat Bali akan merancang dan melaksanakan upacara ngaben
secara bersama – sama dalam komunitas seperti desa adat. Namun seiring
pengaruh globalisasi menyebabkan perubahan aspek kehidupan masyarakat
Hindu ke arah modernisasi, yaitu perubahan suatu transformasi total dari
kehidupan bersama cenderung bersifat kolektif ke arah pola – pola ekonomis
dan politis (Kebayantini, 2014). Dengan demikian masyarakat lebih bersifat
rasional dan pragmatis hal ini ditandai dengan penggunaan jasa krematorium
Santha Yana dalam melaksanakan upacara ngaben karena dipandang lebih
praktis dan efisien.
Pelaksanaan ngaben melalui krematorium merupakan sebuah inovasi bagi
masyarakat Bali, dimana terdapat perbedaan yang mendasar dengan upacara
ngaben yang dilakukan oleh masyarakat selama ini melalui desa adat secara
kolektif. Perubahan ini memicu kontroversi di kalangan tokoh-tokoh Hindu
dan adat di Bali. Kekhawatiran terbesar dari pihak yang kontra adalah
terjadinya distorsi budaya kolektif pada upacara ngaben dan terjadinya
pergeseran nilai religius menuju komodifikasi upacara ngaben, namun bagi
pihak yang pro beranggapan bahwa krematorium ini menjadi alternatif dan
kebutuhan bagi masyarakat modern saat ini (Dalam Suara Pasek, edisi Januri
2009,p.3).
Penelitian mengenai strategi komunikasi dan transformasi budaya penting
dan relevan dilakukan di mana dalam konteks ini strategi komunikasi berfokus
pada rancangan yang dibuat untuk mengubah tingkah laku manusia dalam
3
skala yang lebih besar melalui transfer ide –ide baru (Roger, 1976). Bukti
empiris menunjukan peran strategi komunikasi dalam transformasi budaya
terdapat dalam buku yang berjudul “Communication of Innovation A CrossCultural Approach” (Rogers, 1971). Gagasan pada buku ini adalah sebuah
teori mengenai difusi inovasi di mana sebuah inovasi diseberluaskan pada
suatu masyarakat tertentu pada kurun waktu tertentu melalui strategi
komunikasi yang disebut dengan difusi. Penyebaran inovasi melalui strategi
komunikasi difusi terbukti menimbulkan sebuah konsekuensi yaitu terjadinya
transformasi budaya.
Dalam konteks ini strategi komunikasi berfokus pada tiga indikator yaitu
pertama pemilihan media, kedua pesan dan ketiga, peran komunikator dalam
mempengaruhi target audience. Melalui saluran media baik massa maupun
interpersonal inovasi disebar luaskan pada masyarakat dalam kurun waktu
tertentu, pesan dalam strategi difusi harus menceritakan mengenai kelebihan
inovasi daripada yang digantikan sedangkan komunikator memiliki peran
besar dalam mempengaruhi target audience untuk menggunakan inovasi
(Rogers,1971).
Terdapat banyak penelitian yang membahas mengenai strategi komunikasi
organisasi non profit. Namun sayangnya, hanya sedikit penelitian yang secara
spesifik meneliti bagaimana strategi komunikasi organisasi non profit
memiliki kemampuan dalam melakukan transformasi budaya. Berdasarkan
permasalahan yang ada serta asumsi dasar dalam teori difusi inovasi, maka
dalam penelitian ini akan diteliti mengenai strategi komunikasi organisasi non
profit MGPSSR
dalam proses difusi inovasi krematorium Santha Yana
sehingga menimbulkan sebuah konsekuensi yaitu transformasi budaya pada
pelaksanaan upacara ngaben di Bali.
4
B. Rumusan Masalah
Bagaimana strategi komunikasi organisasi non profit krematorium Santha
Yana Maha Gotra Pasek Sanak Sapta Rsi (MGPSSR) dalam transformasi
budaya ritual upacara ngaben di Provinsi Bali?
C. Tujuan Penelitian
Tujuan penelitian ini adalah menganalisis strategi komunikasi organisasi
non profit krematorium Santha Yana Maha Gotra Pasek Sanak Sapta Rsi
(MGPSSR) dalam transformasi budaya ritual upacara ngaben di Provinsi
Bali. Penelitian ini juga berusaha menjelaskan perbedaan persepsi antara
kelompok yang pro dan kontra terhadap yayasan krematorium ini.
D. Manfaat Penelitian
1. Hasil studi ini dapat memberikan tambahan kajian dalam ilmu
komunikasi, khususnya bagi manajemen komunikasi yang berkaitan
dengan strategi komunikasi organisasi non profit dalam transformasi
budaya
2. Penelitian
ini
pertimbangan
diharapkan
untuk
dapat
melakukan
dipergunakan
sebagai
strategi
komunikasi
bahan
bagi
krematorium Santha Yana Maha Gotra Pasek Sanak Sapta Rsi
(MGPSSR) dalam mengelola krematorium ngaben agar sesuai dengan
koridor budaya Bali.
3. Memberikan gambaran bagi masyarakat dan pemangku kepentingan
dalam melihat krematorium Santha Yana Maha Gotra Pasek Sanak
Sapta Rsi (MGPSSR) dalam transformasi budaya ngaben di Bali.
5
E. Kerangka Pemikiran
Kerangka pemikiran dalam penelitian ini terbagi dalam dua konsep.
Pertama, strategi komunikasi dalam proses transformasi budaya. Dalam
menganalisis penelitian ini akan digunakan teori difusi inovasi oleh Roger
(1971) teori ini berfokus pada perencanaan komunikasi dalam penyebarluasan
gagasan atau ide –ide baru. Konsep ini sesuai dengan masalah penelitian yang
diangkat. Selain itu mengingat objek dalam penelitian ini adalah organisasi
non profit dalam transformasi budaya maka konsep yang kedua adalah
organisasi non profit dan transformasi budaya. Adapun penjelasan mengenai
kerangka pemikiran sebagai berikut.
1. Strategi Komunikasi dan Transformasi Budaya
Menurut Middleton (dikutip oleh Cangara 2013) strategi komunikasi
adalah kombinasi yang terbaik dari semua elemen komunikasi mulai dari
komunikator, pesan, media, penerima sampai efek yang dirancang untuk
mencapai tujuan komunikasi yang optimal. Husein (2002) menyatakan bahwa
strategi dapat diklasifikasikan berdasarkan dua jenis yaitu strategi umum
(grand strategy) merupakan panduan seluruh arah dan aktivitas yang
dilakukan oleh perusahaan untuk mencapai tujuan jangka panjang dan strategi
fungsional adalah aktivitas jangka pendek dimana tiap unit fungsional dalam
perusahaan berpartisipasi dalam implementasi strategi besar perusahaan.
Sejalan dengan hal diatas Rogers (1976) memberi batasan pengertian
strategi komunikasi sebagai suatu rancangan yang dibuat untuk mengubah
tingkah laku manusia dalam skala yang lebih besar melalui transfer ide – ide
baru. Berdasarkan pengertian diatas, konsep strategi komunikasi dalam
penelitian ini diletakan sebagai bagian dalam perubahan budaya tertentu.
Untuk menganilisis strategi komunikasi dalam penelitian ini akan
digunakan model perencanaan komunikasi yaitu Difusi Inovasi yang
dikemukakan oleh Everett M. Rogers. Difusi inovasi adalah suatu proses
penyebaran ide-ide atau hal-hal yang baru dalam upaya untuk merubah suatu
masyarakat yang terjadi secara terus menerus dari suatu tempat ke tempat
6
yang lain, dari suatu kurun waktu ke kurun waktu yang berikut, dari suatu
bidang tertentu ke bidang yang lainnya kepada sekelompok anggota dari
sistem sosial. Tujuan utama dari difusi inovasi adalah diadopsinya suatu
inovasi (ilmu pengetahuan, teknologi, bidang pengembangan masyarakat) oleh
anggota sistem sosial tertentu. Sistem sosial dapat berupa individu, kelompok
informal, organisasi sampai kepada masyarakat (Rogers, 1976).
Meskipun teori ini tergolong teori lama, dibuat oleh Roger pada tahun
1957 namun teori divusi inovasi ini masih relevan digunakan saat ini dan
sesuai dengan masalah penelitian yang diangkat. Hal tersebut menyangkut
beberapa aspek pertama, teori ini mampu menjelaskan tahapan dalam
penyebaran sebuah ide baru atau gagasan baru. Dalam penelitian ini yang
ingin di jawab adalah strategi komunikasi yang dilakukan dalam
menyampaikan gagasan baru mengenai ritual upacara ngaben di Bali.
Terdapat beberapa unsur dalam strategi komunikasi difusi inovasi yang
dipaparkan oleh Rogers (1971) sebagai berikut:
a) Inovasi
Inovasi sendiri menurut Rogers (1971) adalah suatu ide, praktek atau objek
yang dianggap sebagai sesuatu yang baru oleh individu. Inovasi ini dapat
berupa ide, pengetahuan, kepercayaan ideologis bahkan gerakan sosial.
b) Saluran – Saluran Komunikasi
Komunikasi adalah pemindahan ide – ide dari suatu sumber dengan tujuan
terjadinya perubahan perilaku si penerima. Saluran komunikasi adalah
sarana dengan mana pesan diperoleh. Difusi di sini mengacu pada
penelitian komunikasi yang hanya menyangkut ide – ide baru. Esensi
proses difusi adalah di mana seseorang mengkomunikasikan suatu ide
kepada satu atau beberapa orang lainnya. Rogers menekankan pada dua
saluran komunikasi yaitu saluran mass media dan interpersonal yang
ditentukan berdasarkan tujuan dan target komunikasinya.
7
c) Waktu
Dimensi waktu dalam proses difusi, berpengaruh dalam hal: proses
keputusan inovasi, yaitu tahapan sejak seseorang menerima informasi
pertama sampai ia menerima atau menolak inovasi.
d) Sistem Sosial.
Proses difusi terjadi dalam suatu sistem sosial. Sisitem sosial adalah satu
set unit yang saling berhubungan yang tergabung dalam suatu upaya
pemecahan masalah bersama untuk mencapai suatu tujuan.
Rogers menjelaskan bahwa proses pengenalan suatu inovasi ditentukan
oleh tiga hal. Pada ahap awal (antencedent) khalayak dalam menerima suatu
gagasan baru dipengaruhi oleh beberapa faktor yaitu keperibadian penerima,
wawasan sosial dan kebutuhan untuk menerima gagasan baru tersebut. Pada
tahap kedua proses, kebutuhan untuk memiliki barang tersebut didukung oleh
pengetahuan (knowledge) yang berkaitan dengan sistem sosial. Tahap
selanjutnya adalah persuasi, pada tahap ini gagasan atau inovasi dipertanyakan
tentang kegunaannya (advantages), apakah cocok digunakan (compability),
tidak ruwet (complexity), apa bisa dicoba dan di amati (Rogers,1976).
Sesudah tahap persuasi, selanjutnya tahap pengambilan keputusan
(decision) untuk menerima gagasan atau inovasi tersebut. Dalam tahap ini
terjadi konsekuensi dalam diri khalayak yakni menerima atau menolak, jika ia
menerima
ide
atau
gagasan
tersebut
kemungkinan
akan
terus
menggunakannya jika ia sudah merasakan manfaatnya atau tidak melanjutkan
dengan mengganti jenis barang lain tapi dengan fungsi yang sama atau sama
sekali tidak melanjutkan karena tidak memenuhi harapan (Rogers,1976).
Sebaliknya jika khalayak menolak ada beberapa faktor yaitu tidak melihat
manfaat yang ditawarkan, mencoba jika orang lain sudah terbukti berhasil,
atau tidak sesuai dengan pikiran dan sistem nilai yang di anut (Rogers 1976).
Misalnya tidak menerima adanya konsep krematorium pada ritual upacara
ngaben karena menganggap ngaben melalui krematorium mengurangi nilai –
8
nilai agama Hindu. Semua tahapan memiliki jangka waktu yang tidak terbatas.
Berkaitan dengan model ini, Rogers memberi peran besar kepada komunikator
untuk mempengaruhi khalayak.
Flongel Braid (dikutip oleh Cangara 2013) menunjukan posisi penting
seorang agen perubahan (agent of change) sebagai komunikator berada pada
titik sentral yang bisa menghubungkan antara dua kepentingan, yakni
kepentingan insitusi dan kepentingan khalayak. Di satu sisi ia membawa
informasi dari lembaga yang diwakilinya kepada khalayak dan di sisi lain ia
berperan sebagai pembawa aspirasi (umpan balik) dari khalayak kepada
institusi.
Laswell (dikutip oleh Mulyana 2013) berpendapat terdapat tiga kelompok
spesialis yang bertanggung jawab sebagai komunikator dalam hal ini yaitu
pemimpin politik dan diplomat termasuk ke dalam kelompok pengawas
lingkungan, pendidik, jurnalis, dan penceramah membantu mengkorelasikan
orang – orang terhadap informasi baru. Hal serupa juga diungkapkan oleh
Cangara (2013) mengenai komunikator dalam perubahan masyarakat dimana
didalam masyarakat ada kelompok – kelompok yang menentukan besarnya
pengaruh suatu program yaitu kelompok yang memberi izin, kelompok
pendukung, kelompok oposisi, dan kelompok evaluasi. Sejalan dengan hal
tersebut menurut Efendi (2004) terdapat tiga faktor penting yang harus
diperhatikan komunikator agar komunikasi dapat berjalan dengan lancar yaitu
daya tarik sumber, kredibilitas sumber dan kekuatan atau kekuasaan (power)
Seluruh kegiatan yang dilakukan dalam proses strategi komunikasi
memiliki target audiens (komunikan) atau penerima ide –ide baru
(innovation). Sejalan dengan hal itu Effendy (2004) mendefinisikan
komunikan adalah individu atau kelompok tertentu yang merupakan sasaran
pengiriman seseorang dalam proses komunikasi. Sedangkan Rogers (1976)
membagi tingkat atau derajat penerimaan innovation atas lima tingkatan yaitu
pembaharu
(innovator)
pertama
kali
tersentuh
inovasi
jumlahnya
diperkirakan hanya 2,5% dari jumlah keseluruhan target sasaran, penerima
awal (early adopter) baru tersentuh inovasi setelah diperkenalkan jumlahnya
9
hanya 13,5% dari jumlah target sasaran, penerima mayoritas awal (early
majority) sebagai penerima inovasi sebelum anggota kelompok lainnya
menerima inovasi tersebut, late majority penerima inovasi setelah rata – rata
anggota lainnya menerima lebih awal dan terakhir Pengikut (laggard)
penerima akhir dari sistem sosial yang ada.
Selain kelompok masyarakat diatas, tokoh masyarakat adalah penggerak
penting bagi masyarakat untuk menerima perubahan atau program – program
yang dikomunikasikan. Pada beberapa daerah terutama pedesaan, masyarakat
dalam mengambil keputusan masih tergantung pada tokoh –tokoh formal dan
informal. Tokoh formal misalnya camat dan kepala desa, sedangkan tokoh
non formal misalnya imam desa, tetua adat, punggawa dan semacamnya. Para
warga umumnya hanya bisa menerima sesuatu pembaruan jika para tokoh –
tokoh masyarakat yang mereka panuti juga sudah menerima perubahan itu
(Cangara,2013:142).
Strategi komunikasi yang dilakukan oleh sebuah organisasi secara umum
terencana dan memiliki berbagai tujuan yang ingin dicapai. Disadari atau tidak
setiap proses komunikasi akan menghasilkan efek atau pengaruh. Efek adalah
perbedaan antara apa yang dipikirkan, dirasakan dan dilakukan oleh penerima
sebelum dan sesudah menerima pesan dan dapat terjadi dalam berbagai bentuk
yaitu perubahan pengetahuan (knowledge), sikap dan perilaku. Pada tingkat
pengetahuan terjadi perubahan persepsi dan pendapat, sedangkan perubahan
sikap ialah adanya perubahan internal pada diri seseorang yang diorganisir
dalam bentuk prinsip, sedangkan perubahan perilaku terjadi dalam bentuk
tindakan (Cangara,2013).
Strategi komunikasi selalu memiliki efek, dalam hubungannya dengan
difusi inovasi, perubahan (transformasi) budaya merupakan efek atau
konsekuensi secara individual dan sosial yang merupakan hasil dari
penerimaan dan penolakan suatu inovasi. Meskipun komunikasi selalu
dikaitkan dengan budaya namun Birdwhistell (dikutip oleh Hoed 2007)
menyatakan bahwa komunikasi dan budaya memiliki konsepsi yang berbeda,
fokus budaya terletak pada struktur dan komunikasi terletak pada proses. Jika
10
dicermati dalam perspektif komunikasi maka definisi tersebut menunjukan
bahwa komunikasi merupakan elemen yang penting dalam seluruh proses
perubahan (transformasi budaya) (Rogers,1971).
Sejalan dengan itu Laswell (dikutip oleh Mulyana 2013) mengemukakan
tiga fungsi komunikasi yaitu pertama, pengawasan lingkungan yang
mengingatkan anggota – anggota masyarakat akan bahaya dan peluang dalam
lingkungan, kedua, korelasi berbagai bagian terpisah dalam masyarakat yang
merespon lingkungan dan ketiga, transmisi warisan sosial dan budaya dari
suatu generasi kegenerasi lainnya. Berdasarkan pengertian diatas maka
komunikasi diposisikan sebagai faktor sentral dalam transmisi dan
transformasi budaya.
Setiap masyarakat selalu mengalami transformasi dalam fungsi waktu baik
pada masyarakat tradisional maupun masyarakat modern dengan laju
perubahan yang berfariasi (Pitana dkk, 1994). Komunikasi merupakan salah
satu faktor esensial dalam perubahan atau transformasi suatu budaya. Agar
proses transformasi budaya dapat berjalan sesuai tujuan maka dibutuhkan
sebuah strategi komunikasi. Hal ini sejalan dengan pernyataan Hadebro (1982)
fungsi
komunikasi
adalah
menciptakan
iklim
perubahan
dengan
memperkenalkan nilai – nilai baru untuk mengubah sikap dan perilaku ke arah
modernisasi.
Menurut definisi kamus besar bahasa Indonesia transformasi dapat
diartikan sebagai perubahan rupa (bentuk, sifat, fungsi, dsb), perubahan
struktur gramatikal lain dengan menambah, mengurangi, atau menata kembali
unsur – unsurnya. Dalam perspektif komunikasi seperti yang dijabarkan oleh
Triandis (dikutip oleh Samovar dkk 2010) kebudayaan merupakan elemen
subjektif dan objektif yang dibuat manusia untuk bertahan hidup berakibat
pada kepuasan pribadi dan hal tersebut diperoleh melalui proses komunikasi
bagi mereka yang mempunyai kesamaan perilaku dalam waktu dan tempat
yang sama.
11
2. Organisasi Non Profit dan Transformasi Budaya
Setiap proses komunikasi selalu diawali dengan adanya elemen sumber
Cangara (2013) mengartikan sumber komunikasi adalah pihak yang
menyampaikan atau mengirim pesan kepada penerima. Sumber pesan dapat
melalui personal, kelompok, massa maupun organisasi. Rogers (dikutip oleh
Pace dan Faules 2010) mendefinisikan organisasi sebagai suatu sistem yang
mapan dari mereka yang bekerja sama untuk mencapai tujuan bersama melalui
jenjang kepangkatan, dan pembagian tugas.
Organisasi non profit sering juga di sebut organisasi nirlaba yaitu suatu
organisasi yang bersasaran pokok untuk mendukung suatu isu atau perihal
didalam menarik perhatian publik untuk suatu tujuan yang tidak komersil,
tanpa ada perhatian terhadap hal – hal yang bersifat mencari laba (Komang,
2008). Organisasi non profit berdiri untuk mewujudkan perubahan pada
individu dan komunitas. Aset bagi organisasi non profit adalah sumber daya
manusia karena segala aktivitasnya dilakukan dari, oleh dan untuk manusia.
Sejalan dengan itu Coulson dan Thomas (2002) menyatakan bahwa strategi
komunikasi nirlaba mengarah pada memperoleh pengakuan, kekuasaan dalam
lingkungan dan memperoleh sumber daya.
Organisasi non profit sangat banyak ragamnya, seperti organisasi
pemerintah, Lembaga Swadaya Masyarakat (LSM), yayasan sosial, yayasan
keagamaan, dll. Salah satu fungsi organisasi non profit adalah menjadi agen
dalam perubahan masyarakat dan budaya (Coulson dan Thomas, 2002).
Sebagaimana yang diungkapkan Max Weber mengenai budaya (dikutip oleh
Geertz 1992) bahwa manusia adalah seekor binatang yang bergantung pada
jaringan –jaring makna yang ditenunnya sendiri. Sejalan dengan itu
Setyaningrum (2002) mengartikan kebudayaan dipahami sebagai jaringan
makna tempat manusia bukan hanya menciptakan jaring –jaring makna
tersebut, melainkan juga terperangkap didalamnya. Disinilah terdapat
hubungan yang erat antara kebudayaan, sistem makna dan implikasinya dalam
sistem sosial. Komunikasi disini dimaknai sebagai suatu proses budaya dan
didalamnya mampu menjelaskan perubahan sosial.
12
Geertz (dikutip oleh West dan Turner 2008) menyatakan bahwa dimana
saat mereka berkomunikasi, berbicara, menyampaikan pesan, menyanyi,
menari, mereka sedang mengkontruksi budaya mereka. Pengertian ini akan
digunakan sebagai titik awal untuk memahami hadirnya organisasi non profit
di dalam melakukan transformasi budaya.
Setiap Budaya menurut
Hall (dikutip oleh West dan Tuner 2008)
dipengaruhi oleh struktur kekuasaan yang dominan dan bersifat hierarki.
Dalam perspektif ini terdapat dua konsep utama yaitu ideologi dan hegemoni.
Konsep ideologi mendefinisikan budaya sebagai sebuah komunitas makna.
Ideologi memberikan nilai bagi kita dalam memaknai lingkungan kita. Semua
kelompok masyarakat pada dasarnya secara konstan menciptakan makna,
nilai (ideology) hal ini memicu terjadinya perang budaya (culture war) yaitu
pergulatan budaya akan makna, identitas dan pengaruh (West dan Tuner,
2008: 65-66). Hal ini ditandai dengan adanya perbedaan persepsi dalam
melihat budaya tertentu. Ideologi menghasilkan konsep hegemoni, secara
umum menurut West dan Tuner (2008) hegemoni dapat didefinisikan sebagai
pengaruh, kekuasaan atau dominasi dari sebuah kelompok social terhadap
yang lain, biasanya kelompok yang lemah.
Organisasi non profit merupakan organisasi sosial memiliki fungsi untuk
mencari solusi dalam mengatasi masalah sosial yang ada salah satunya adalah
mengantisipasi terjadinya kekuasaan dominan sehingga mengakibatkan
berbagai konflik dan permasalahan sosial lainnya. Organisasi non profit
melalui agen perubahan memiliki kemampuan besar dalam merubah struktur
sosial dan budaya tertentu melalui ide – ide baru (inovasi) yang dilakukan
melalui proses komunikasi (Rogers, 1971).
Organisasi non profit atau nirlaba tidaklah dimiliki seperti halnya
perusahaan swasta dan tidak pula harus menjalani proses pemilihan seperti
organisasi pemerintahan (Kotler dan Andreasen,1995). Organisasi non profit
bertanggung jawab kepada banyak pihak atas pekerjaannya. Seperti
penyandang dana, klien, masyarakat luas, organisasi lain, pembuat undang –
undang, yang disebut sebagai stakeholder eksternal. Sementara anggota
13
dewan, direktur, staf dan relawan sebagai stakeholder internal. Disini yang
dimaksud stakeholder adalah siapapun yang memperhatikan atau harus
memperhatikan organisasi dan siapapun yang memiliki taruhan dalam
keberhasilan misi organisasi itu (Allison dan Kaye, 2005).
Menurut Bryson (2005) menyatakan bahwa lingkungan organisasi maupun
komunitas publik dan non profit saat ini telah berubah secara dramatis bukan
hanya dalam masa belakang ini, namun nanti di masa depan. Strategi
komunikasi salah satu cara untuk membantu organisasi dan komunitas
mengatasi lingkungan mereka yang telah berubah. Seperti yang dikemukakan
oleh Cornelissen (2011) strategi komunikasi pada organisasi adalah fungsi
manajemen dalam membuat strategi komunikasi untuk pihak internal dan
eksternal dengan tujuan membangun dan mempertahankan reputasi dengan
para stakeholder yang tergantung dalam organisasi.
Dalam merumuskan sebuah strategi komunikasi yang berfokus pada
budaya, maka perlu dipahami mengenai elemen – elemen budaya. Elemen
budaya menurut Samovar,dkk (2010) terdiri atas elemen –elemen yang tidak
terhitung jumlahnya salah satunya adalah agama. Agama memiliki pengaruh
besar dalam kontrol sosial, penyelesaian konflik dan penguatan kelompok
solidaritas (Samovar dkk 2010;29). Hal ini sejalan dengan yang diungkapkan
oleh Geertz (1992) dalam memahami aktivitas kebudayaan salah satu elemen
terpentingnya adalah agama. Agama menurut Kimball (dikutip oleh Samovar
2010) merupakan identitas setiap orang, tradisi agama menyediakan struktur,
disiplin, dan partisipasi sosial dalam suatu komunitas. Dalam kata lain agama
itu sendiri terdapat kekuatan kolektif dimana, kata “agama” (religion) berasal
dari bahasa latin religare yang berarti “untuk mengikat” hal ini berarti agama
mengikat manusia dengan hal – hal sakral (Samovar dkk, 2010;123).
Seperti yang disampaikan oleh Osborne (dikutip oleh Samovar dkk 2010)
setiap agama pada dasarnya mengekspresikan kekaguman atas misteri alam
semesta, menolong untuk memahami dari mana manusia berasal, mengapa
mereka ada didusnia ini dan apa yang terjadi ketika mereka meninggal.
Contohnya masyarakat Hindu di Bali dalam memandang konsep pembakaran
14
jenazah pada upacara ngaben. Pandangan Hindu mengenai kematian
disimpulkan oleh Narayana yaitu umat Hindu percaya akan kekekalan jiwa
dan reinkarnasi artinya walaupun tubuh mati, jiwa seseorang tidak memiliki
awal dan akhir, namun hanya berpindah ke reinkarnasi yang lain dalam akhir
hidupnya (Samovar dkk, 2010). Kepercayaan inilah yang menghasilkan ritual
upacara pembakaran jenazah ngaben di Bali.
F. Metodologi Penelitian
Tujuan dari penelitian ini adalah untuk mengetahui bagaimana strategi
komunikasi dalam transformasi budaya ngaben di Bali melalui inovasi
krematorium Santha Yana MGPSSR. Untuk mendapatkan gambaran yang
utuh terkait kasus tersebut maka pada bagian metodologi penelitian ini akan
dipaparkan mengenai metode yang digunakan, proses pengumpulan data
hingga proses analisis data.
1. Metode Penelitian
Metode yang digunakan dalam penelitian ini adalah studi kasus. Riset
studi kasus dalam penelitian ini bersifat intrinsik (intrinsic case study).
Menurut Stake (dikutip oleh Denzin dan Lincoln 2009) studi kasus intrinsik,
yaitu studi untuk mendapatkan pemahaman yang lebih baik dari kasus yang
khusus, hal ini disebabkan karena seluruh kekhususan dan keluar biasaan
kasus itu sendiri menarik perhatian. Tujuan studi kasus intrinsik bukan untuk
memahami suatu konstruksi abstrak atau konstruksi fenomena umum yang
mana, dalam penelitian ini strategi komunikasi yang dilakukan oleh organisasi
non profit dalam transformasi budaya ngaben di Bali dibahas secara khusus
dan mendalam. Mulai dari latar belakang didirikannya organisasi ini, strategi
komunikasi yang digunakan sampai prediksi mengenai adanya transformasi
budaya yang menimbulkan pro dan kontra antara kelompok - kelompok yang
memiliki perbedaan persepsi mengenai budaya ngaben di Bali.
Oleh karena itu metode ini dipandang tepat digunakan untuk memahami
proses dan menjawab rumusan masalah dalam penelitian ini yaitu bagaimana
15
proses strategi komunikasi yang dilakukan organisasi non profit dalam
transformasi budaya ngaben di Bali. Terdapat banyak organisasi non profit
yang menggunakan strategi komunikasi untuk berbagai tujuan. Namun
organisasi non profit dalam penelitian ini berbeda dengan organisasi lainnya di
Bali pada khususnya. Melalui strategi komunikasi dalam proses difusi inovasi
organisasi ini menciptakan sebuah transformasi budaya ditengah perbedaan
persepsi. Keunikan dari kasus ini menjadi daya tarik tersendiri dari
permasalahan komunikasi yang ada. Sejalan dengan itu Menurut Stake
(dikutip oleh Denzin dan Lincoln 2009) menyatakan bahwa studi kasus adalah
suatu bentuk penelitian (inquiry) atau studi tentang suatu masalah yang
memiliki sifat kekhususan (particularity).
Berdasarkan hal tersebut, maka penelitian ini menggunakan paradigma
konstruktivisme sosial. West dan Tuner (2008) menyatakan bahwa melalui
paradigma kontruktivisme para individu secara berkala menciptakan struktur
sosial melalui aksi dan interaksi mereka. Melalui paradigma ini akan dianalisis
mengenai strategi komunikasi organisasi non profit dalam proses difusi
upacara ngaben sehingga terjadinya transformasi budaya ngaben di bali.
Budaya tidak terlepas dari adanya kontruksi makna yang ditransmisi melalui
proses komunikasi dan paradigma konstruktivisme ini memiliki tujuan untuk
memaknai dan menafsirkan makna – makna yang dimiliki orang lain tentang
dunia ini (Creswell, 2012). Begitu pula bagi masyarakat Bali dalam memaknai
ritual upacara ngaben.
2. Lokasi Penelitian
Penelitian ini dilakukan pada organisasi non profit Maha Gotra Pasek
Sanak Sapta Rsi pada krematorium Santha Yana yaitu di Jl. Cekomaria 777
Peguyangan Kangin, Denpasar Bali.
3. Teknik Pengumpulan Data
Untuk mendapatkan gambaran yang lengkap terhadap kasus dalam
penelitian ini maka pengumpulan data akan disesuaikan dengan tujuan
16
penelitian ini. Creswell (2012) mengungkapkan bahwa wawancara, observasi,
dokumentasi merupakan alat pengumpul data yang banyak digunakan oleh
penelitian studi kasus. Oleh sebab itu dalam penelitian ini menggunakan tiga
cara untuk memperoleh data yang berkaitan dengan permasalahan penelitian
yaitu wawancara mendalam, observasi nonpartisipan dan studi dokumen.
Berikut penjelasan dari masing – masing teknik pengumpulan data yang
digunakan dalam penelitian ini.
a. Wawancara Mendalam
Wawancara adalah percakapan antara periset dan informan (seseorang
yang diasumsikan mempunyai informasi penting tentang suatu objek (Berger,
2000). Wawancara merupakan metode pengumpulan data yang digunakan
untuk memperoleh informasi langsung dari sumbernya. Informasi yang
dimaksud berupa penjelasan lengkap dan pengetahuan lengkap yang dimiliki
informan terkait penelitian ini. Dalam penelitian ini hasil wawancara
mendalam yang diperoleh dari para informan yang terkait dalam penelitian
merupakan data primer yang kemudian dianalisis menggunakan konsep
komunikasi.
Wawancara dilakukan kepada para informan yang memiliki kredibilitas
dalam menjawab masalah penelitian ini. Keaslian data wawancara para
informan akan digunakan oleh peneliti sebagai landasan dalam menjawab
permasalahan penelitian dan menggunakannya sebagai bahan analisis untuk
menghasilkan laporan penelitian yang mendalam dan konkrit.
Sebelum melakukan penelitian lapangan, peneliti melakukan prapenelitian sejak Oktober 2014 hingga Desember 2014 untuk mendapatkan
gambaran dan informasi awal tentang fenomena krematorium ngaben di Bali
dan yayasan Santha Yana pada khususnya. Informasi tersebut didapat melalui
wawancara dengan Ketua I pengurus pusat Maha Gotra Pasek Sanak Sapta Rsi
(MGPSSR) Bapak I Gede Pitana Brahmananda. Melalui informasi dari beliau
peneliti mendapatkan beberapa pihak yang relevan untuk diwawancarai.
Berikut merupakan nara sumber dalam penelitian ini.
17
a. Ketua I (Organisasi & Hubungan External) Maha Gotra Pasek Sanak
Sapta Rsi (MGPSSR) Pusat : I Gede Pitana Brahmananda
b. Pengurus Krematorium Yayasan Santha Yana Pusat : Jro Mangku I
Wayan Arnata
c. Ketua Maha Gotra Pasek Sanak Sapta Rsi (MGPSSR) Kabupaten
Buleleng : I Nengah Gelgel
d. Ketua Maha Gotra Pasek Sanak Sapta Rsi (MGPSSR) Nusa Tenggara
Barat : Gede Ariana
e. Akademisi dan budayawan Bali : Prof. Darma Putra
f. Akademisi dan ahli hukum adat : Prof. Wayan P Windia
g. Kepala Desa Adat Kabupaten Buleleng : Made Arimbawa
h. Pelaku Ngaben Desa Adat & Guru Agama Hindu : Jro Mangku Astika
i. Pengguna krematorium Santha Yana : Luh Mayun, Agung Laksmi,
Komang Susila, Wayan Astika, I Gede Sudarsana.
j. Masyarakat Umum : A.A. Dino Supriadi, Putu Darmini, Nyoman
Merta, Nyoman Suwela, Sri Astiti.
b. Observasi Nonpartisipan
Data dalam penelitian ini juga diperoleh melalui observasi. Metode
observasi
nonpartisipan
adalah
dimana
periset
hanya
bertindak
mengobservasi tanpa ikut terjun melakukan aktivitas seperti yang dilakukan
kelompok
yang
direset,
baik
kehadirannya
diketahui
atau
tidak
(Creswell,2012). Disini peneliti hanya mengamati beberapa kegiatan terkait
dengan implementasi strategi komunikasi yang dilakukan organisasi
MGPSSR dalam proses difusi mengenai krematorium Santha Yana dan pada
beberapa kesempatan turut hadir dalam upacara ngaben yang dilaksanakan
pada krematorium Santha Yana dan Desa adat sehingga dari pengamatan
tersebut peneliti dapat mendapatkan gambaran mengenai transformasi budaya
yang terjadi.
18
c. Studi Dokumen
Selain kedua teknik pengumpulan data di atas, peneliti juga menggunakan
teknik pengumpulan data berupa dokumentasi. Dalam penelitian ini peneliti
mengumpulkan beberapa dari organisasi MGPSSR terkait krematorium
Santha Yana. Data dokumen tersebut meliputi laporan administratif organisasi
berupa laporan Mahasabha IX MGPSSR, Program Kerja IX MGPSSR,
Kliping Koran yang berisi berita krematorium Santha Yana dan Kliping dari
majalah internal Suara Pasek.
Dokumen – dokumen dalam penelitian ini digunakan untuk verifikasi data
dalam wawancara untuk melihat proses implementasi strategi yang dilakukan
dan jaringan komunikasi dalam penyebaran informasi (difusi) krematorium
Santha Yana sehingga menimbulkan sebuah impact yaitu transformasi budaya
ngaben di Bali.
4. Jangka Waktu Penelitian
Data dikumpulkan sejak Januari 2015 hingga Juni 2015. Jangka waktu ini
sudah mencakup minimal tiga kali dalam sebulan melakukan wawancara
dengan informan selama 60 menit. Tiga kali dalam sebulan, observasi selama
dua jam pada aktivitas atau kegiatan organisasi dan sekali dalam sebulan
analisis pada dokumen – dokumen informan. Mengingat objek penelitian
berada di Bali dan jauh dari tempat menetap peneliti, maka untuk membantu
pengumpulan data digunakan alat komunikasi melalui email dan
telepon
untuk melengkapi data yang kurang.
5. Teknik Analisis Data
Selama analisis ini, seluruh data baik melalui wawancara, observasi dan
studi dokumen mengenai strategi komunikasi organisasi non profit
krematorium Santha Yana MGPSSR dalam melakukan transformasi budaya
ngaben di Bali di baca secara keseluruhan, lalu di analisis kembali secara
detail dan di-coding secara terus menerus. Menurut Rossman dan Rallis
(Dalam Creswell 2012) coding merupakan proses mengelola materi atau
19
informasi menjadi segmen – segmen tulisan sebelum memaknainya. Gagasan
– gagasan utama dari informan, maupun temuan lapangan lainnya ditranskip
kata demi kata. Setelah itu di analisis dan dideskripsikan secara detail
mengenai latar belakang berdirinya krematorium Santha Yana, strategi
komunikasi yang digunakan serta dampaknya terhadap budaya ngaben di Bali.
Setelah itu dianalisis dengan teori –teori yang relevan dalam perspektif
komunikasi. Hasil analisis dalam penelitian ini disampaikan dengan
menerapkan pendekatan naratif.
6. Limitasi Penelitian
Penelitian ini bertujuan untuk memahami strategi komunikasi dalam kajian
budaya (cultural studies), dimana dalam perspektif ini fokusnya pada strategi
dan proses komunikasi yang digunakan untuk menyebarkan informasi
mengenai gagasan baru dalam pelaksanaan upacara ngaben di Bali. Penelitian
ini terbatas pada ritual budaya ngaben di krematorium Santha Yana MGPSSR.
Oleh karena itu penelitian ini tidak relevan jika digunakan untuk menganalisis
budaya ngaben di daerah lain. Apalagi digunakan dalam ranah ilmu diluar
kajian komunikasi.
20
Download