Vitruvius dalam Asterix: Kritik terhadap Keteraturan

advertisement
arsitektur.net
2007 vol. 1 no. 2
Vitruvius dalam Asterix:
Kritik terhadap Keteraturan Arsitektur
Dyah Esti Sihanani
Asterix adalah komik dengan setting sekitar tahun 50 SM ketika Roma sedang
berusaha menguasai Eropa dibawah pimpinan Julius Caesar. Walaupun
settingnya adalah Eropa abad 50 SM, tapi sesungguhnya cerita dan parodi yang
disampaikan sangat bernuansa abad 20 Masehi. Yang membuat saya tertarik
adalah settingnya, yang mengingatkan saya pada desain kota ala Vitruvius (1960).
Melihat sejarah aslinya, Julius Caesar yang merupakan Kaisar Roma pada masa
itu memang sedang berusaha menaklukan daerah-daerah di Eropa sehingga
menjadi miliknya, termasuk wilayah Galia (Eropa Barat; sekarang mencakup
daerah Italia, Perancis, Belgia, Switzerland, Belanda dan Jerman). Salah satu
kota yang menjadi pusat peradaban adalah kota Lutetia; sekarang dikenal
dengan nama Paris.
Gambar 1. Setting Roma dan sekitarnya
Sesuai Vitruvius tentang perencanaan kota, barak tentara berada di luar kota.
Sumber: Komik Asterix
Pada komik Asterix tentu saja kejadiannya sedikit berbeda. Pada tahun 52
SM, Julius Caesar berhasil menaklukkan seluruh Galia yang berkepala suku
Vercingetorix. Namun masih ada satu desa Galia kecil yang tidak pernah kalah
dari bangsa Romawi karena memiliki seorang dukun yang sakti dan mampu
membuat ramuan rahasia yang membuat si peminum ramuan menjadi kuat dan
tidak terkalahkan.
Dikisahkan, para wanita desa ini selalu tidak senang dengan kemerdekaan
mereka, karena desa mereka hanya menjadi sebuah desa kecil yang biadab,
terpencil dari pusat kebudayaan, Lutetia (di beberapa seri Asterix diceritakan istri
kepala suku memaksa untuk pindah ke Lutetia mengikuti saudaranya karena
Lutetia lebih mapan dan modis). Pada kenyataannya, Lutetia memang sebuah
kota yang teratur, dibangun menurut kaidah-kaidah Vitruvius, pengabdi setia
Caesar.
2
arsitektur.net
2007 vol. 1 no. 2
Gambar 2. Kota Lutetia – Model 3D
Sumber: www.discoverfrance.net/France/Paris/Paris_History.shtml
Di situs ini juga terdapat detail kota dan elemen-elemennya - aquaduct,
amphitheatre, forum, pemandian, permukiman, pemakaman - yang merupakan
bukti nyata dari tulisan Vitruvius.
Menurut pengamatan saya, setting di komik ini juga menunjukkan kontras antara
kota yang didesain oleh arsitek sangat terpelajar, dengan desa yang diadaadakan. Betapa keteraturan dan kepatuhan terjadi di kota Roma dan Lutetia.
Keindahan dalam order dan kesimetrisan yang diungkapkan Vitruvius tercermin
secara visual: rapi, teratur, bersih, dan kaku. Sedangkan yang terjadi di Galia
adalah ke’brutal’an yang menjadi tradisi, perkelahian bisa berakhir dengan
pesta makan-makan, tetapi selalu suasana yang hidup yang ditampilkan oleh
penduduk desa Galia ini. Mereka tidak berpendidikan dan tidak tinggal di istana
tapi memiliki interaksi yang sangat dalam dengan sesamanya. Rasanya hampir
mirip seperti membandingkan kawasan Metro Pondok Indah dengan kawasan
Sunter di Jakarta- antara kekakuan di Pondok Indah dan kecairan suasana di
Sunter dengan lapangan seadanya yang hanya merupakan perkerasan pinggir
kali.
Jika diamati lagi, serial komik Asterix ini ternyata cukup banyak menyinggung soal
arsitektur pada masa itu, dan dibahas dari segi lelucon parodi yang terkadang
mengejek. Pada seri ‘Pertarungan Antar Kepala Suku’, dikisahkan daerah Galia
yang telah dikuasai Romawi melakukkan penyesuaian dengan gaya arsitektur
Romawi. Tetapi jadi diada-adakan. Misalnya rumah dan bangunan umum diberi
kolom yang sangat besar terbuat dari batu, padahal bangunannya sendiri hanya
terbuat dari kayu dan ranting-ranting. Lalu diceritakan akan ada pembangunan
talang air, padahal daerah tersebut telah dialiri sungai. Jadi pembangunan talang
itu hanya Romawinisasi belaka.
Gambar 3. Memperdebatkan Pembangunan Talang Air
Sumber: Asterix - Pertarungan Antar Kepala Suku
3
arsitektur.net
2007 vol. 1 no. 2
Pada seri lainnya diceritakan Julius Caesar yang ingin menaklukan desa
Galia dengan cara membangun kota wisata di sekeliling desa, sehingga desa
itu nantinya terjepit dan menyerah. Untuk mewujudkan keinginan Caesar,
dipekerjakanlah seorang arsitek (dalam terjemahan Indonesia nama arsitek itu
adalah Mukhajhelekhus tapi saya tidak tahu siapa nama sesungguhnya pada
bahasa aslinya). Saya menduga tokoh arsitek ini memparodikan Vitruvius karena
diceritakan si arsitek sangat dekat dengan Julius Caesar, arsitek berbakat yang
sangat pintar, menemukan penemuan tata kota dan mendirikan pemandian untuk
pertama kali di Roma.
Pada akhirnya rancangan itu gagal karena masyarakat desa Galia tidak suka
dan tidak setuju hutannya dibabat dan dibangun menjadi kota, dan akhirnya
membuat kekacauan agar kota itu tidak jadi dibangun.
Gambar 4. Rancangan Vitruvius
Sumber: Asterix dan Negeri Dewa Dewi
Tentu saja di kenyataan Vitruvius kemungkinan besar tidak akan membuat
kesalahan seperti itu. Mengingat komik ini adalah komik lelucon yang
mengedepankan bangsa jajahan sebagai pahlawan dan Julius Caesar sebagai
lawannya, maka di setiap cerita selalu terjadi kekonyolan atas diri Julius Caesar
dan Romawi.
Namun jika disimak lebih teliti, komik berlatar belakang abad 50 SM tetapi sering
mengangkat cerita abad 20 M ini mungkin ingin mengkritik keteraturan yang
sangat kaku, yang diciptakan oleh ilmuwan jaman dahulu kala, yang ternyata
terbukti tidak selalu benar pada kehidupan pengarang Asterix. Mungkin ceritacerita ini menjadi pernyataan bahwa ternyata kehidupan manusia tidak perlu
yang serba teratur, bergaris, berjarak presisi dan kaku seperti yang dibuat oleh
Romawi pada masa itu. Manusia juga tidak akan mati jika di tempat tinggalnya
tidak terdapat kolom yang besar-besar dan denah yang simetris. Dan ternyata
keindahan pun tidak hanya dapat diperoleh dari keteraturan.
Referensi
Vitruvius (1960). The Ten Books on Architecture, trans by M. H. Morgan. New
York: Dover Publications.
4
Download