BAB 2 TINJAUAN PUSTAKA 2.1. Aus Pahat Dan Mekanisme Aus

advertisement
BAB 2
TINJAUAN PUSTAKA
2.1.
Aus Pahat Dan Mekanisme Aus Pahat
2.1.1.
Aus Pahat
2.1.1.1. Diagram Ragam Kegagalan Pahat
Pada dasarnya kecepatan pertumbuhan keausan menentukan laju saat
berakhirnya masa guna pahat. Pertumbuhan keausan tepi pada umumnya mulai dengan
pertumbuhan yang relatif cepat sesaat setelah pahat digunakan, diikuti pertumbuhan yang
linier setaraf dengan bertambahnya waktu pemotongan (jumlah waktu yang digunakan
untuk proses memotong), dan kemudian pertumbuhan yang cepat terjadi lagi. Saat
dimana pertumbuhan keausan cepat mulai berulang lagi dianggap sebagai batas umur
pahat, dan hal ini umumnya terjadi pada harga keausan tepi (VB) yang relatif sama untuk
kecepatan potong yang berbeda.
Pada saat keausan tepi mulai terus membesar, keausan kawah mulai membesar
dimana sebelumnya hampir tidak terjadi keausan kawah. Kecepatan potong yang
memberikan kondisi di atas dapat disebut sebagai kecepatan potong moderat atau daerah
kecepatan potong moderat. Harga kecepatan potong moderat tersebut akan turun bila
kecepatan makan dipertinggi. Dengan demikian, kondisi pemotongan yang moderat
merupakan fungsi dari laju atau kecepatan pemotongan dan laju suapan.
Pada daerah yang moderat tersebut hendaknya kondisi proses pemesinaan
direncanakan dan hal ini tergantung pada kombinasi pahat dan benda kerja. Daerah
Universitas Sumatera Utara
moderat tersebut dibatasi garis bawah yang menyatakan saat hilangnya BUE dan garis
atas yang merupakan saat dimana terjadi kegagalan pahat berupa aus sisi, deformasi
plastik,
laju pertumbuhan keausan kawah yang semakin cepat dan pengelupasan
(flaking) atau penyerpihan (chipping).
Daerah moderat menggambarkan luas daerah yang merupakan batas pengamatan
daerah yang paling baik. Dari luas daerah yang di hasilkan akan diperoleh suatu kondisi
pemotongan lebih baik daripada kondisi pemotongan
yang lain karena daerah
moderatnya relatif lebih luas.
2.1.1.2. Mode Kegagalan Pahat
Selama pemotongan, pahat mengalami beban tegangan setempat yang tinggi,
suhu dan gesekan tinggi antara serpihan dan muka sadak pahat (Secondary deformation
zone) dan geseran muka sisi (rusuk) sepanjang permukaan pemesinan (Primary zone).
Hal tersebut terlihat pada Gambar 2.1.
Muka Sadak Pahat
Gesekan
A
Gerak relatif benda
kerja terhadap tool
B
Permukaan
pemesinan
Bidang Geser Serpihan
Sumber: http://claymore.engineer.gvsu.edu (2004)
Gambar 2.1. Permukaan pemesinan dan bidang sadak
Universitas Sumatera Utara
Karakteristik beberapa ragam aus pahat yang mungkin terjadi seperti pada
Gambar 2.2. Adapun aus pahat dikarakteristikkan dengan:
1. Pembentukan kawah (crater) dihasilkan dari suhu pemotongan dan aksi
serpihan yang mengalir sepanjang permukaan sadak (rake face)
2. Aus pada sisi tepi (flank) VB adalah aus sisi pahat berupa aus mekanis abrasif
yang terjadi pada sisi rusuk pahat karena perubahan bentuk radius ujung pahat
potong.
Sumber : Taufiq Rochim (1993)
Gambar 2.2 Kriteria mode kegagalan pahat aus sisi dan aus kawah
3. Perubahan bentuk plastik, keretakan termal, keausan ujung pahat, takikan
dalamnya
pemotongan,
Built Up Edge (BUE), patah rapuh (Brittle
Fracture).
Universitas Sumatera Utara
Efek aus pahat ditinjau dari ukuran performa secara teknik adalah berkaitan
dengan konsekuensi menurunnya akurasi dimensi, meningkatnya kekasaran permukaan,
meningkatnya gaya potong, meningkatnya suhu, getaran yang meningkat, kualitas
komponen, dan meningkatnya ongkos produksi. Mode kegagalan pahat dan
mekanismenya dapat menyebabkan umur pahat berakhir lebih cepat (premature end).
Pengamatan kegagalan pahat digambarkan pada mekanisme aus pahat atau
kegagalan pahat, mode kegagalan, dan cacat yang terlihat. Ginting (2003)
menggambarkan kegagalan pahat yang lebih rinci yakni dibagai atas aus, deformasi
plastik dan patah rapuh sebagaimana yang diberikan pada Gambar 2.3 (a) dan (b).
Kegagalan Pahat
A. Aus
B. Deformasi plastik
C. Patah Rapuh
(Wear)
(Plastic Deformation)
(Britlle Fracture)
Penyerpihan (Chipping)
Aus sisi (Flank Wear).
ISO 3685 – 1977 (E)
Pengelupasan (Flaking)
Retak (Cracking)
Aus kawah (Crater Wear)
ISO 3685 – 1977 (E)
Patahan (Fracturing
CatastrophicFailure)
(a)
Gambar 2.3. (a) Diagram spektrum kegagalan pahat
(b) Ragam kegagalan pahat
Universitas Sumatera Utara
(b)
Sumber: Armansyah Ginting (2003), David A.S & John S.A (1997)
Gambar 2.3. (Lanjutan)
Ragam Kegagalan Pahat yang terjadi dapat diklasifikasikan sebagai berikut:
1.
Aus (wear), secara garis besarnya diklasifikasikan atas:
a.
Aus kawah (crater wear)
Aus ini disebabkan oleh suhu pemotongan yang tinggi pada bidang kontak
antara serpihan dan pahat (rake face), dan pada tingkat tertentu terjadi
pelarutan secara kimia antara pahat dan benda kerja yang menyebabkan
pengikisan. Aus ini akan meningkatkan kerja sudut sadak pahat (face
edge) dan mengurangi gaya potong. Kedalaman kawah adalah parameter
yang banyak digunakan untuk mengavaluasi keausan kawah ( Rochim,
1993).
Universitas Sumatera Utara
b.
Aus tepi (Flank wear)
Aus tepi adalah bentuk aus pada sisi (flank) pahat potong disebabkan
perubahan bentuk radius ujung pahat oleh gesekan antara pemukaan
pemesinan benda kerja dengan sisi pahat karena kekakuan benda kerja.
Bidang aus didasarkan pada tebal bidang aus (flank wear land), harus
sejajar terhadap resultan arah potong. Tebal bidang aus
merupakan
ukuran dari besarnya aus sisi .
Bentuk aus sisi serta pengukurannya ditentukan sesuai standar ISO 36851977 seperti Gambar 2.4 .
Sumber : ISO 3685 (1977)
Gambar 2.4 Aus Pahat
2.
Deformasi Plastik (Plastic Deformation)
Akibat panas dan tekanan pemotongan yang meningkat bisa menyebabkan
perubahan bentuk plastik dan ketidak teraturan bentuk ukuran pahat dan bisa
Universitas Sumatera Utara
diikuti kepatahan pahat. Akibat perubahan bentuk plastik dan panas serta tekanan
yang meningkat ini juga bisa menyebabkan terjadi Built-Up Edge (BUE). Built
Up Edge akan mengubah geometri pahat karena berfungsi sebagai mata potong
yang baru dari pahat yang bersangkutan. BUE merupakan struktur yang dinamik,
sebab selama proses pemotongan, BUE akan tumbuh dan pada suatu saat lapisan
atas atau seluruh BUE akan terkelupas dan berulang dengan proses penumpukan
lapisan metal yang baru. BUE yang terkelupas sebagian akan terbawa geram dan
sebagian lain akan menempel pada benda kerja pada bidang transien serta pada
bidang yang telah terpotong. Permukaan akan menjadi lebih kasar dengan adanya
penempelan serpihan BUE yang relatif keras tersebut. Bila pemesinan dilakukan
pada benda kerja lunak, maka material benda kerja dapat mengikat pada pahat
potong dalam bentuk BUE seperti Gambar 2.5. Hal ini dapat meningkatkan
tekanan pahat dan menyebabkan permukaan pemesinan yang buruk.
Sumber : David A.S and John S.A (1997)
Gambar 2.5 Pembentukan BUE
Universitas Sumatera Utara
3.
Patah Rapuh (Brittle Fracture)
Patah rapuh pahat dapat diklasifikasikan atas:
a.
Penyerpihan (Chipping)
Setup pahat yang tidak kaku dan disebabkan oleh tidak konsistennya
tekanan potong, dapat menyebabkan penyerpihan pahat. Pemotongan
terputus–putus bisa juga jadi penyebab penyerpihan pahat atau patah.
b.
Aus takikan (notch wear)
Terjadi akibat takik pada dalamnya pemotongan yang dapat menyebabkan
terjadinya memicu terjadinya kawah pada bagian pahat. Aus ini terjadi
pada bidang kontak (side cutting edge dan end cutting edge) antara benda
kerja dan pahat.
c.
Aus ujung pahat (nose wear)
Saat pemesinan dilakukan, abrasif dan deformasi pada ujung pahat dapat
terjadi. Pada aus ujung pahat ukuran berubah dan permukaan finishing
benda kerja memburuk.
d.
Retak (cracking)
Perbedaan
suhu yang tinggi antara sudut potong (cutting edge)
menyebabkan meratanya tempat retak melingkar pada sudut potong pahat.
Retak berkelanjutan
perlahan, mengarah terjadinya penyerpihan
(chipping) dan selanjutnya akan menyebabkan pahat menjadi patah.
Universitas Sumatera Utara
Seiring perkembangan ditemukan satu jenis mode aus pahat lagi, yaitu coating
delamination. Coating Delamination merupakan pelepasan lapisan pada pahat pada saat
permesinan berlangsung.
2.1.1.3
Pengamatan Aus Pahat
Metode pengamatan aus dan kegagalan pahat dapat dilakukan dengan dua
katagori yaitu pengamatan langsung dan pengamatan tidak langsung ( Kalpakjian, 1995).
1. Pengamatan langsung
Metode pengamatan langsung adalah pengamatan
optik/mikroskopik
pengukuran secara
terhadap kondisi aus pahat potong yang dilakukan
secara periodik dalam
bentuk pengikisan sisi serta kawah pahat dan
temperatur pemotongan yang berkaitan dengan perubahan profil pahat. Cara
ini dilakukan dengan menggunakan mikroskop atau SEM. Prosedur dengan
cara ini dilakukan pada kondisi pemotongan yang dihentikan pada interval
waktu tertentu guna dilakukan pengamatan profil kerusakan pahat secara
periodik (Kalpakjian, 1995).
2. Pengamatan tidak langsung
Pengamatan tidak langsung adalah pengukuran aus pahat yang dipengaruhi
oleh korelasi antara kondisi pahat dengan variabel gaya potong, daya, panas
yang terjadi dan getaran dan bukan akibat abrasif dan temperatur
pemotongan (Kalpakjian, 1995). Metode ini menggunakan teknik emisi
akustik (accoustic emission technique).
Universitas Sumatera Utara
2.1.2. Mekanisme Aus Pahat
Mekanisme aus pahat pada turning dapat diklasifikasikan yaitu:
1. Proses Pengikisan (abrasive) berupa gesekan antara aliran material benda
kerja pada bidang geram dan bidang utama pahat. Proses pengikisan
berbanding langsung terhadap jarak potong (cutting distance) dan tidak
tergantung pada suhu. Mekanisme pembentukan radius serpihan Ro juga
memungkinkan terjadinya aus abrasif pada pahat.
2. Proses Kimiawi
Dua permukaan yang saling bergesekan dengan tekanan yang cukup besar
beserta lingkungan kimiawi yang aktif (udara maupun cairan pendingin
dengan komposisi tertentu) dapat menyebabkan interaksi antara material
pahat dengan benda kerja. Permukaan material benda kerja yang baru saja
terbentuk (permukaan geram dan permukaan benda kerja yang telah
terpotong) sangat kimiawi aktif sehingga mudah bereaksi kembali dan
menempel pada permukaan pahat. Pada kecepatan potong yang rendah,
oksigen dalam udara pada celah-celah diantara pahat dengan geram atau
benda kerja mempunyai kesempatan untuk bereaksi dengan material benda
kerja sehingga akan mengurangi derajat penyatuan dengan permukaan pahat.
Akibatnya daerah kontak dimana pergeseran antara pahat dengan
geram/benda kerja akan lebih luas sehingga proses keausan karena gesekan
akan terjadi lebih cepat.
Universitas Sumatera Utara
3. Proses Adhesi (adhesive) atau kerusakan patah rapuh adalah sebagai laju
proses yang terkait dengan suhu serta kondisi pemotongan. Pada tekanan dan
temperatur yang relative tinggi, permukaan metal yang baru saja terbentuk
akan menempel dengan permukaan metal yang lain. Proses adhesi tersebut
terjadi disekitar mata potong pada bidang geram and bidang utama pahat.
4. Proses Difusi atau Peresapan (Diffusion)
Pada daerah dimana terjadi pelekatan (adhesi) antara material benda kerja
dengan pahat dibawah tekanan dan temperatur yang tinggi serta adanya
aliran metal (geram dan permukaan terpotong relatif terhadap pahat) akan
menyebabkan timbulnya proses difusi. Dalam hal ini terjadi perpindahan
atom metal dan karbon dari daerah dengan kecepatan tinggi menuju kedaerah
dengan konsentrasi rendah. Kecepatan keausan karena proses difusi
dipengaruhi beberapa faktor, antara lain:
a. Daya larut (solubility) dari berbagai fasa dalam struktur pahat terhadap
material benda kerja
b. Temperatur
c. Kecepatan aliran metal yang melarutkan.
5. Proses Oksidasi
Pada kecepatan potong yang tinggi (temperatur yang tinggi) ketahanan
karbida atas proses oksidasi akan menurun. Karbida dapat teroksidasi bila
temperaturnya cukup tinggi dan tak ada perlindungan terhadap serangan
oksigen dalam atmosfir. Akibatnya struktur material pahat akan lemah dan
Universitas Sumatera Utara
tidak tahan akan deformasi yang disebabkan oleh gaya pemotongan. Cairan
pendingin dalam batas-batas tertentu mampu mencegah terjadinya proses
oksidasi.
6. Proses Deformasi Plastik
Kekuatan pahat untuk menahan tegangan tekan merupakan sifat material
pahat yang dipengaruhi oleh temperatur. Hal inilah yang merupakan faktor
utama yang membatasi kecepatan penghasilan geram bagi suatu jenis pahat.
Penampang geram harus direncanakan supaya tekanan yang diderita
ujung/pojok pahat tidak melebihi batas kekuatan pahat untuk menghindari
terjadinya proses deformasi plastik.
2.2.
Metode Pemesinan Terkini
2.2.1. Pemesinan Laju Tinggi (High-Speed Machining)
Pemesinan Laju Tinggi (High-Speed Machining) merupakan salah satu teknologi
modern dewasa ini, dimana dalam perbandingannya dengan
proses pemotongan
konvensional dimungkinkan adanya peningkatan efisiensi, ketepatan, dan kualitas dari
benda kerja dan pada saat yang sama dapat menurunkan biaya-biaya dan waktu
pemesinan.
Konsep PLT pertama sekali dicetuskan oleh Dr. Solomon yang menyatakan
bahwa laju pemotongan dapat ditingkatkan hingga suhu pemotongan mendekati titik
leleh (melting point) dari bahan baku yang dipotong . Dia telah mengasumsikan bahwa
Universitas Sumatera Utara
pada kecepatan potong tertentu yang 5-10 kali lebih tinggi daripada permesinan
konvensional, permukaan chip pahat akan mulai menurun (Gambar 2.6).
Adalah tidak mungkin untuk memverikasi teori ini secara keseluruhan pada hasilhasil eksperimental dewasa ini. Terdapat penurunan temperatur yang relatif pada ujung
pemotongan yang dimulai pada kecepatan potong tertentu pada bahan material yang
berbeda.
Sumber : Dr. Solomon (1931)
Gambar 2.6. Grafik Fungsi Temperatur Chip VS Laju Pemotongan
Sebenarnya ada banyak cara untuk mendefenisikan HSM, beberapa diantaranya:
1. Pemesinan laju potong tinggi
2. Pemesinan laju rotasi tinggi
3. Pemesinan pemakanan tinggi
4. Pemesinan pemakanan dan laju potong tinggi
5. Pemesinan produktivitas tinggi
Universitas Sumatera Utara
Dalam prakteknya, perlu dicatat bahwa HSM bukanlah sesederhana laju potong
tinggi saja. HSM seharusnya dianggap sebagai suatu proses dimana operasi-operasi kerja
didalamnya ditampilkan dengan metode-metode dan peralatan produksi yang sangat
spesifik. HSM bukan hanya pemesinan dengan laju spindel yang tinggi karena banyak
penerapan-penerapannya yang dioperasikan dengan laju spindel konvensional. HSM
sering digunakan untuk proses akhir (finishing) dari baja yang dikeraskan dengan laju
dan pemakanan tinggi.
Konsep PLT yang diindikasikan dengan laju pemotongan tinggi sebenarnya
masih bergantung kepada jenis bahan yang dipotong. Dengan kata lain nilai laju
pemotongan ditentukan pula oleh jenis bahan yang dipotong. Untuk paduan baja, laju
pemotongan ≥ 200 m/min dapat dikategorikan sebagai pemotongan laju tinggi pada
operasi pembubutan (Schulz & Morikawa, 1992). Sedangkan untuk aluminium, laju
pemotongan ≥ 1000 m/min baru dapat dikategorikan sebagai pemotongan laju tinggi.
Defenisi tentang proses pemesinan kecepatan tinggi (high speed machining) yang
dikemukakan oleh para ahli dan masing masing terdapat perbedaan namun sebagian
besar menyatakan bahwa kecepatan potong merupakan variable penentu terhadap
pendefenisian tersebut seperti yang dikemukakan oleh Solomon pada tahun 1931
menyatakan bahwa proses pemesinan kecepatan tinggi adalah proses pemesinan dengan
kecepatan potong sebesar 5–10 kali lebih besar daripada proses konvensional. Schulz
(1992) mengatakan bahwa proses pemesinan kecepatan tinggi ditentukan berdasarkan
jenis bahan yang digunakan seperti diperlihatkan pada gambar 2.7.
Universitas Sumatera Utara
Sumber : Schultz dan Moriwaki (1992)
Gambar 2.7 Kecepatan Potong pada Proses Laju Tinggi
2.2.2. Pemesinan Kering (Dry Machining)
Kepentingan terhadap kesehatan manusia dan ekologi telah membuat industri
pemotongan logam mengembangkan
metode pemotongan yang bersahabat dengan
lingkungan dan kesehatan serta mempunyai tujuan memperbaiki efisiensi, mereduksi
biaya produksi, meningkatkan produktifitas dan meminimalkan siklus waktu dan secara
bersamaan pula memberikan kenyamanan terhadap lingkungan dan kesehatan kerja.
Badan administrasi keamanan dan kesehatan Amerika (OSHA) secara berkesinambungan
memperbaiki hukum–hukum baru yang berkaitan dengan manukfaktur dan dampak
lingkungan yang sehat. Salah satu perhatian yang utama pada industri pemotongan logam
adalah berkaitan dengan kesehatan bila menggunakan cairan pemotongan pada
pemesinan basah. Hingga saat ini, telah diestimasi lebih dari 100 juta galon dari cairan
Universitas Sumatera Utara
pemotongan yang digunakan setiap tahun di Amerika (NPRA, 1991). Selain itu juga
telah diestimasi bahwa diantara 700.000 sampai 1.000.000 pekerja mengalami pengaruh
buruk karena cairan pemotongan di Amerika setiap tahunnya (Bennet, 1957). Secara
epidemik kajian menunjukkan bahwa untuk waktu yang panjang cairan pemotongan
dapat menyebabkan akibat yang lebih buruk dalam beberapa kasus yaitu berupa kanker.
Badan Riset Internasional untuk Kanker telah menyimpulkan bahwa pengaruh akibat
partikel cairan pemotongan yang digunakan merupakan yang menjadi salah satu
penyebab.
Pada lingkungan kerja, cairan pemotongan menghasilkan partikel berupa kabut
yang sangat halus dengan diameter dibawah 5,0 mikron dan dalam periode waktu yang
panjang biasa mengakibatkan pengaruh buruk terhadap kesehatan berupa sakit paru dan
iritasi kulit serta pada lingkungan kerja.
Menurut Tonshoff dan Mohlfeld (1997), Sreejith dan Ngoi (2000), dan Canter,
(2003) pada umumnya pemesinan untuk memfabrikasi komponen–komponen automotif
dilakukan dengan metode pemesinan basah (wet machining). Pada metode ini sejumlah
cairan pemotongan dialirkan ke kawasan pemotong selama proses pemesinan dengan
tujuan menurunkan suhu pemotongan dan melumasi bagian-bagian pemesinan sehingga
diharapkan permukaan pemesinan memiliki suatu integritas permukaan
(surface
integrity) yang baik . Fenomena kegagalan pahat dan penggunaan cairan pemotongan
merupakan salah satu masalah yang telah banyak dikaji dan mendapat perhatian dalam
kaitannya yang sangat berpengaruh terhadap kekasaran permukaan hasil pengerjaan,
Universitas Sumatera Utara
ketelitian geometri produk dan mekanisme keausan pahat serta umur pahat (Ginting A,
2003).
Tonshoff dan Mohlfeld (1997), juga Sreejith dan Ngoi (2000) melaporkan bahwa
umumnya cairan pemotongan bekas disimpan dalam kontainer dan kemudian ditimbun di
tanah. Selain itu, masih banyak praktek yang membuang cairan pemotongan bekas
langsung ke alam bebas. Hal ini jelas akan merusak lingkungan dan undang – undang
lingkungan hidup yang
Menurut
Seco
(2004),
berlaku
badan
mencegah hal tersebut (Sreejith & Ngoi, 2000).
administrasi
keamanan
dan
kesehatan
telah
merekomendasikan batas unsur-unsur berbahaya pada cairan pemotongan untuk
pemesinan yaitu 0,5÷5,0 mg/m3 dan Metalworking fluid Standard Advisory Committee
(MWFSAC) merekomendasikan sebesar 0.5 mg/m3 (Canter, 2003).
Dari tinjauan terhadap aspek biaya pemakaian cairan pemotongan , beberapa data
penelitian mengidentifikasikan bahwa ongkos penggunaan cairan pemotongan untuk
keperluan pemesinan mencapai (16–20%) dari ongkos produksi (Causton, 2002). Seco
(2004) melaporkan pula bahwa ongkos cairan pemotongan
rata–rata adalah 15%
setahun dari total ongkos produksi. Selanjutnya Canter (2003) melaporkan bahwa
ongkos cairan pemotongan adalah 16% dari total ongkos produksi.
Pilihan alternatif dari pemesinan basah adalah pemesinan kering, karena selain
tidak ada cairan pemotongan bekas dalam junlah besar yang akan mencemari lingkungan
juga tidak ada kabut partikel cairan pemotongan yang akan membahayakan operator dan
juga serpihan pemotongan tidak terkontaminasi oleh residu cairan pemotongan.
Pemesinan kering mempunyai beberapa masalah yang antara lain, gesekan antara
Universitas Sumatera Utara
permukaan benda kerja dan pahat potong, kecepatan keluar serpihan, serta temperatur
potong yang tinggi dan hal tersebut semuanya terkait dengan parameter pemesinan.
Secara umum industri pemesinan pemotongan logam melakukan pemesinan
kering
adalah untuk menghindari pengaruh buruk akibat cairan pemotongan yang
dihasilkan oleh pemesinan basah. Perihal ini secara kuantitatif menyangkut pengaruh
buruk pemesinan basah dengan anggapan pada pemesinan kering tidak akan dihasilkan
pencemaran lingkungan kerja dan ini berarti tidak menghasilkan kabut partikel cairan
pemotongan.
Dari pertimbangan hal diatas pakar pemesinan mencoba mencari solusi dengan
suatu metode pemotongan alternatif dan mereka merumuskan bahwa pemesinan kering
(dry cutting) yang dari sudut pandang ekologi disebut dengan pemesinan hijau (green
machining) merupakan jalan keluar dari masalah tersebut. Melalui pemesinan kering
diharapkan disamping aman bagi lingkungan, juga bisa mereduksi ongkos produksi
sebesar 16-20% dari total ongkos produksi.
2.2.3. Pemesinan Keras (Hard Machining)
Proses pemesinan keras (Hard Machining) sama dengan bubut biasa, tetapi pada
proses pemesinan keras pemotongan dilakukan terhadap benda kerja dengan kekerasan
lebih besar dari 45 HRC. Prinsip kerja proses bubut biasa pada dasarnya diterapkan pada
proses bubut keras. Bagaimanapun terdapat perbedaan karakteristik sebagai akibat
tingginya kekerasan material yang akan dipotong. Material yang keras memiliki sifat
abrasive, dan nilai kekerasan atau young modulus ratio yang tinggi. Akibat dari semua
Universitas Sumatera Utara
itu maka pada proses bubut keras dibutuhkan alat potong yang jauh lebih keras dan tahan
terhadap abrasif dibanding proses bubut biasa. Proses bubut keras dapat dilakukan
terhadap berbagai macam jenis logam seperti baja paduan (steel alloy), baja untuk
bantalan (bearing steel), hot and coldwork tool steel, high speed steel, die steel, dan baja
tuang yang dikeraskan (Baggio,1996).
Proses bubut keras dapat menjadi solusi untuk mengurangi waktu produksi
melalui pengurangan jumlah proses (tahapan), setup peralatan dan waktu untuk inspeksi
karena proses bubut keras dapat dilakukan pada mesin bubut yang sama dimana proses
bubut konvensional dilakukan, peralatan yang sama dapat digunakan dan tanpa
membutuhkan tambahan sebuah mesin gerinda. Bagaimanapun mesin untuk bubut keras
memiliki kebutuhan spasi ruangan yang lebih kecil dibandingkan mesin gerinda.
Dibutuhkan investasi yang lebih kecil untuk sebuah mesin bubut CNC dibandingkan
sebuah mesin gerinda presisi. Keuntungan yang sangat signifikan dari pahat potong
bermata tunggal (single point cutting tool) sebagaimana yang digunakan pada proses
bubut dapat digunakan untuk pekerjaan dengan kontur permukaan yang rumit, tidak
demikian halnya dengan proses gerinda.
Pertimbangan bagi dunia industri untuk menggunakan proses bubut keras adalah
ratio antara biaya peralatan khususnya pahat potong yang digunakan terhadap umur dari
pahat tersebut harus rendah. Material yang khusus digunakan untuk proses bubut keras
adalah cubic boron nitride (CBN), Keramik, dan cermet. CBN adalah material yang
paling keras selain intan, dan sangat cocok digunakan pada proses bubut keras. Insert
CBN mulai meningkat popularitasnya setelah General Electric menemukan kombinasi
Universitas Sumatera Utara
CBN dengan serbuk titanium nitride sehingga dapat meningkatkan umur pahat menjadi
lima kali (Baggio, 1996).
2.3.
Bahan Pahat
2.3.1. Syarat Dan Jenis-Jenis Bahan Pahat
Prinsip dasar pemesinan adalah
kemampuan ketangguhan (toughness) pahat
terhadap benda kerja. Banyak perkembangan pada bahan pahat guna meningkatkan
kemampumesinan dimana geometri dan bahan pahat merupakan hal yang perlu di
pertimbangkan. Syarat bahan pahat yang harus dipenuhi mencakup:
(1) kekerasan terutama pengerasan karena
panas, dengan tujuan untuk
menjaga suhu pemotongan dan mencegah perubahan bentuk plastik (Plastic
Deformation).
(2) ketangguhannya harus dapat menahan beban yang tiba–tiba.
(3) rendah sifat adhesi terhadap benda kerja untuk mencegah BUE.
(4) rendah penyerapan (solubility) pahat terhadap unsur benda kerja untuk
mencegah aus pahat.
(5) tahan aus untuk mendapatkan umur pahat yang panjang dan
(6) kemampuan kesetimbangan secara kimia terhadap pengaruh benda kerja
(Kalpakjian, 1995).
Kekerasan yang rendah dan daya adhesi yang tinggi tidak diinginkan sebab mata
potong akan terdeformasi, terjadi keausan tepi dan keausan kawah yang besar. Keuletan
yang rendah serta ketahanan beban kejut termal yang kecil mengakibatkan rusaknya mata
Universitas Sumatera Utara
potong maupun retak mikro yang menimbulkan kerusakan fatal. Pada umumnya
kekerasan dan daya tahan termal yang di pertinggi selalu diikuti oleh penurunan keuletan.
Berbagai penelitian dilakukan untuk mempertinggi kekerasan dan menjaga supaya
keuletan tidak terlalu rendah sehingga pahat tersebut dapat digunakan pada kecepatan
tinggi. Hal ini dapat dimaklumi karena peninggian kecepatan potong berarti menaikkan
produktivitas.
Pada mulanya untuk memotong baja digunakan baja karbon tinggi sebagai bahan
perkakas potong dimana kecepatan potong pada waktu itu hanya boleh mencapai sekitar
10m/menit. Berkat kemajuan teknologi, kecepatan potong ini dapat dinaikkan sehingga
mencapai sekitar 700m/menit yaitu dengan menggunakan CBN (Cubic Boron Nitride).
Jenis-jenis pahat yang di pakai pada proses pemesinan adalah:
1. Baja Karbon (High Carbon Steels)
2. HSS (High Speed Steels)
3. Paduan Cor Nonferro (Cast Nonferrous Alloys)
4. Karbida (Cemented Carbides)
5. Keramik (Ceramics)
6. CBN (Cubic Boron Nitride)
7. Intan (Sinteran Diamonds and Natural Diamonds)
Untuk menetapkan jenis pahat yang tepat, maka perlu pertimbangan pemilihan
berdasarkan pada sifat-sifat pahat yang berhubungan dengan kekerasan kekuatan dan
ketangguhan seperti yang tertera pada Gambar 2.8 dan 2.9 serta Tabel 2.1.
Universitas Sumatera Utara
Kekerasan Panas dan Ketahanan Aus
Intan, CBN
Aluminium Oksida + 30%,
Titanium Karbida
Aluminium Oksida (HIP)
Silikon Nitride
Carmet
Karbida bersalut
Karbida
HSS
Kekuatan dan Ketangguhan
Sumber : Kalpakjian (1995)
Gambar 2.8 Tingkat kekerasan panas dan ketahanan aus pahat terhadap
kekuatan dan ketangguhan.
100
95
300
500
700
Ceram
ics
90
Car
85
70
bida
65
ls
ea
St
65
45
d
ee
Sp
70
50
gh
Hi
75
55
40
35
HRC
80
ls
tea
lS
oo
nT
rbo
Ca
Kekerasa (HRA)
60
Cas
t Allo
ys
30
25
20
60
55
0
200
400
600
800
1000
1200
1400
Temperatur (oF)
Sumber : Kalpakjian (1995)
Gambar 2.9 Tingkat kekerasan dan ketahanan aus pahat terhadap temperatur
Universitas Sumatera Utara
Tabel 2. 1 Perbandingan sifat pahat
Bahan pahat
Baja Karbon
HSS
Paduan Kobalt Cor
Karbida
Keramik
CBN
Intan
Kecepatan
potong
(m/menit)
10
25 – 65
50 – 200
÷ 650
330 – 650
500 – 800
300 – 1500
Temperatur
kekerasan panas
(0 C )
300
650
925
1200
> 2000
1300
> 650
Kekerasan (HRA)
60
83 – 86
82 – 84
90 – 95
91 – 95
4000 – 5000 HK
7000 – 8000 HK
Sumber : Kalpakjian ( 1995) dan Rochim T( 1993)
2.3.2. Pahat CBN (Cubic Boron Nitride)
CBN termasuk jenis keramik. Diperkenalkan oleh GE (USA,1957,”Borazon”).
Dibuat dengan penekanan panas (HIP, 60 kbar, 1500oC) sehingga serbuk graphit putih
Nitrida Boron dengan struktur atom heksagonal berubah menjadi struktur kubik. Pahat
sisipan CBN dapat dibuat dengan menyinter serbuk BN tanpa atau dengan material
pengikat Al 2 O 3 , TiN atau Co. Hot hardness CBN ini sangat tinggi. CBN dapat digunakan
untuk pemesinan berbagai jenis baja dalam keadaan dikeraskan (hardened steel), besi
tuang, HSS maupun karbida semen.
Afinitas pahat CBN terhadap baja sangat kecil dan tahan terhadap perubahan
reaksi kimiawi sampai dengan temperatur pemotongan 1300oC (kecepatan potong yang
tinggi). Saat ini harga pahat CBN masih sangat mahal sehingga belum terdapat laporan
yang komprehensif mengenai pahat CBN. Oleh karena pertimbangan diatas maka pahat
dalam penelitian ini difokuskan pada CBN (Cubic Boron Nitride) untuk proses dengan
kecepatan potong yang tinggi,keras dan kering.
Universitas Sumatera Utara
2. 4.
Bahan Logam dan Bahan Rekayasa
2.4.1 Bahan Logam Ferro
Bahan logam ferro adalah suatu logam yang memiliki dasar paduan besi (ferrous),
sedangkan unsur lain hanyalah sebagai unsur tambahan untuk mendapatkan sifat bahan
sesuai dengan aplikasi dalam penggunaannya.
Bahan logam ferro diantaranya adalah:
1. Besi Tempa (Wrought Iron)
2. Baja Karbon (Carbon Steel)
3. Baja Paduan
4. Baja dan Besi Tuang
2.4.2 Bahan Logam Non Ferro
Bahan logam Non Ferro adalah bahan yang memiliki unsur logam tetapi tidak
ada unsur besi (ferrous).
Bahan logam non ferro diantaranya adalah:
1. Aluminium
2. Magnesium dan paduannya
3. Tembaga dan paduannya
4. Nikel dan paduannya
5. Seng dan paduannya
6. Titanium dan paduannya
7. Timah hitam dan paduannya(Pb)
8. Timah putih dan paduannya (Tin)
Universitas Sumatera Utara
2.4.3 Sifat Dan Karakteristik Logam
Logam mempunyai beberapa sifat antara lain: sifat mekanis, sifat fisika, sifat
kimia dan sifat pengerjaan. Sifat mekanis adalah kemampuan suatu logam untuk
menahan beban yang diberikan pada logam tersebut. Pembebanan yang diberikan dapat
berupa pembebanan statis (besar dan arahnya tetap), ataupun pembebanan dinamis (besar
dan arahnya berubah). Yang termasuk sifat mekanis pada logam, antara lain: kekuatan
bahan (strength), kekerasan elastisitas, kekakuan, plastisitas, kelelahan bahan, sifat fisika,
sifat kimia, dan sifat pengerjaan. Kekuatan (strength) adalah kemampuan material untuk
menahan tegangan tanpa kerusakan. Beberapa material seperti baja struktur, besi tempa,
alumunium, dan tembaga mempunyai kekuatan tarik dan tekan yang hampir sama.
Ukuran kekuatan bahan adalah tegangan maksimumnya, atau gaya terbesar persatuan
luas yang dapat ditahan bahan tanpa patah. Untuk mengetahui kekuatan suatu material
dapat dilakukan dengan pengujian tarik, tekan, atau geser. Kekerasan (hardness) adalah
ketahanan suatu bahan untuk menahan pembebanan yang dapat berupa goresan atau
penekanan. Kekerasan merupakan kemampuan suatu material untuk menahan takik atau
kikisan. Kekakuan adalah ukuran kemampuan suatu bahan untuk menahan perubahan
bentuk atau deformasi setelah diberi beban. Kelelahan bahan adalah kemampuan suatu
bahan untuk menerima beban yang berganti-ganti dengan tegangan maksimum diberikan
pada setiap pembebanan. Elastisitas adalah kemampuan suatu bahan untuk kembali ke
bentuk semula setelah menerima beban yang mengakibatkan perubahan bentuk.
Elastisitas merupakan kemampuan suatu material untuk kembali ke ukuran semula
setelah gaya dari luar dilepas. Elastisitas ini penting pada semua struktur yang
Universitas Sumatera Utara
mengalami beban yang berubah-ubah terlebih pada alat-alat dan mesin-mesin presisi.
Plastisitas adalah kemampuan suatu bahan padat untuk mengalami perubahan bentuk
tetap tanpa ada kerusakan. Sifat fisika adalah karakteristik suatu bahan ketika mengalami
peristiwa fisika seperti adanya pengaruh panas atau listrik. Yang termasuk sifat-sifat
fisika adalah sebagai berikut: Titik lebur, Kepadatan, Daya hantar panas, dan daya hantar
listrik. Sifat kimia adalah kemampuan suatu logam dalam mengalami peristiwa korosi.
Korosi adalah terjadinya reaksi kimia antara suatu bahan dengan lingkungannya. Secara
garis besar ada dua macam korosi, yaitu korosi karena efek galvanis dan reaksi kimia
langsung.
2.4.4
Pemilihan Bahan Baja AISI 4140
Baja didefenisikan sebagai paduan antara besi (Fe) dan karbon, dengan
kandungan karbon tidak lebih dari 1,7%. Baja karbon yang memiliki satu atau lebih
unsur paduan disebut baja paduan (alloy steel) unsur paduan utama adalah : Chromium
(Cr), Nikel (Ni), Vanadium (V), Molibdenum (Mo), dan Tungsten (W), unsur-unsur
paduan ini berpengaruh terhadap sifat mekanik baja (Alamsyah, 1993). Kekerasan adalah
salah satu sifat mekanik baja yang dapat dirubah melalui perlakuan panas (Heat
treatment), tapi tidak semua jenis baja dapat dirubah kekerasannya melalui perlakuan
panas. Kelompok material baja yang dapat dirubah kekerasannya melalui perlakuan
panas adalah kelompok baja perkakas (tool material).
Landing gear pada pesawat terbang adalah komponen peralatan pada pesawat
terbang yang terbuat dari baja perkakas. Kekerasan komponen ini basanya berkisar antara
Universitas Sumatera Utara
54 s/d 62 HRC.
AISI 4140 memiliki kemampuan mesin, stabilitas dimensi saat
mengalami perlakuan panas (heat treatment), dengan kekerasan permukaan yang tinggi.
Pada proses perlakuan panas temperatur adalah variabel utama yang sangat berpengaruh
terhadap perubahan sifat mekanik bahan, dimana masing-masing bahan memiliki level
temperatur dan menggunakan media pendingin spesifik saat dilakukan proses perlakuan
panas. Untuk komposisi bahan AISI 4140 dapat dilihat pada tabel 2.2 dan mekanikal
properties dapat dilihat pada tabel 2.3.
Tabel 2.2 Mechanical Properties Bahan AISI 4140
Mechanical Properties
Nilai
Elastis (N/mm2)
864
Kekuatan Tarik (N/mm2)
976
Mulur (%)
16.4
Mampat (%)
61.6
Sumber: Material Test Certificate Suminsurya Mesindolestari
Tabel 2.3 Komposisi Kimia Bahan AISI 4140
Unsur
Komposisi Kimia
Standar Spesifikasi
C
Si
Mn
S
0.42
0.32
0.85 0.004
P
0.009
Ni
Cr
Mo
Cu
0.16
1.08
0.25 0.20
AISI 4140 dengan kekerasan 29 HRC
Sumber: Material Test Certificate Suminsurya Mesindolestari
Universitas Sumatera Utara
2.5.
Proses Pembubutan
Proses pemotongan logam merupakan suatu proses yang digunakan untuk
mengubah bentuk suatu produk dari logam (komponen mesin) dengan cara memotong.
Selain itu proses pemotongan logam merupakan kegiatan terbesar yang dilakukan pada
industri manufaktur, proses ini mampu menghasilkan komponen yang memiliki bentuk
yang komplek dengan akurasi geometri dan dimensi tinggi. Prinsip pemotongan logam
dapat defenisikan sebagai sebuah aksi dari sebuah alat potong yang dikontakkan dengan
sebuah benda kerja untuk membuang permukaan benda kerja tersebut dalam bentuk
geram. Meskipun definisinya sederhana akan tetapi proses pemotongan logam adalah
sangat komplek.
Salah satu proses pemesinan yang digunakan pada pemotongan logam adalah
proses bubut. Proses ini bertujuan untuk membuang material dimana benda kerja
dicekam menggunakan sebuah chuck atau pencekam dan berputar pada sebuah sumbu,
alat potong bergerak arah aksial dan radial terhadap benda kerja sehingga terjadi
pemotongan dan menghasilkan permukaan yang konsentris dengan sumbu putar benda
kerja. Gambar 2.10 adalah skematis dari sebuah proses bubut dimana N adalah putaran
poros utama, f adalah pemakanan, dan a adalah kedalaman potong. Bagian-bagian serta
penamaan (nomenclature) dari alat potong yang digunakan pada proses bubut dijelaskan
pada Gambar 2.11. Radius pahat potong menghubungkan sisi dengan ujung potong
(cutting edge) dan berpengaruh terhadap umur pahat, gaya radial, dan permukaan akhir.
Universitas Sumatera Utara
a
n
f
Gambar 2.10 Proses pembubutan
Sumber : Taufiq Rochim (1993)
Gambar 2.11. Penamaan (nomenclature) pahat kanan
Universitas Sumatera Utara
Ada tiga parameter utama yang berpengaruh terhadap gaya potong, peningkatan
panas, keausan, dan integritas permukaan benda kerja yang dihasilkan. Ketiga parameter
itu adalah kecepatan potong (V), pemakanan (f), dan kedalaman potong (a). Kecepatan
potong adalah kecepatan keliling benda kerja dengan satuan (m/min), pemakanan adalah
perpindahan atau jarak tempuh pahat tiap satu putaran benda kerja dengan satuan
(mm/rev), kedalaman potong adalah tebal material terbuang pada arah radial dengan
satuan (mm).
2.5.1. Kondisi Pemesinan
Menurut Rochim (1993) pada setiap proses pemesinan ada lima elemen dasar
yang perlu dipahami, yaitu:
a. Kecepatan potong (cutting speed )
: V (m/min)
b. Kecepatan makan (feeding speed)
: Vf (mm/min)
c. Kedalaman potong (depth of cut)
: a (mm)
d. Waktu pemotongan (cutting time)
: tc (min)
e. Laju pembuangan geram (material removal rate)
: MRR (cm3/min)
Elemen dasar pada proses pembubutan dapat diketahui menggunakan rumus yang
dapat diturunkan berdasarkan Gambar 2.12 berikut ini:
Universitas Sumatera Utara
Sumber : Taufiq Rochim (1993)
Gambar 2.12 Proses Bubut
Geometri benda kerja : do = diameter awal (mm)
dm = diameter akhir (mm)
lt = panjang pemesinan (mm)
Geometri pahat :
kr = sudut potong utama (o)
γo = sudut geram (o)
Kondisi pemesinan:
a = kedalaman potong
a=
(mm)....................................................................... 2.2
f = pemakanan (mm/putaran)
N = putaran poros utama (rpm)
Universitas Sumatera Utara
Dengan diketahuinya besaran-besaran di atas sehingga kondisi pemotongan dapat
diperoleh sebagai berikut:
a.
………………………….2.3
Laju pemotongan
Dimana d = diameter rata-rata
d=
(mm)………………………….2.4
b.
Laju pemakanan
vf = f . N(mm/min).................................2.5
c.
Waktu pemotongan
tc =
d.
Laju pembuangan geram
MRR = A.V(cm3/min)…………………...2.7
(min)…………………………….2.6
Dimana A = penampang geram sebelum terpotong
A = f.a (mm2)……………………………2.8
MRR = V.f.a(cm3/min)………………….2.9
Sudut potong utama (principal cutting edge angle/Kr) adalah sudut antara mata
potong utama dengan laju pemakanan (Vf), besarnya sudut tersebut ditentukan oleh
geometri pahat dan cara pemasangan pada mesin bubut. Untuk nilai pemakanan (f) dan
kedalaman potong (a) yang tetap maka sudut ini akan mempengaruhi lebar pemotongan
(b) dan tebal geram sebelum terpotong (h) sebagai berikut :
Lebar pemotongan
b=
(mm)…………………………...........2.10
Tebal geram sebelum terpotong
h=
(mm)…………………………...........2.11
Dengan demikian penampang geram sebelum terpotong adalah :
A = f.a =b.h(mm)……………………………...2.12
Universitas Sumatera Utara
Download