2442-2622 STUDI KEMAMPUAN TUMBUH

advertisement
45
BioWallacea Jurnal Ilmiah Ilmu Biologi Januari 2015
Vol. 1 No. 1, p 45-51
ISSN: 2442-2622
STUDI KEMAMPUAN TUMBUH TEMBLEKAN (Lantana camara) DAN PENDATAAN TUMBUHAN
BERKAYU PADA AREA BEKAS KEBAKARAN DALAM TAMAN NASIONAL BALI BARAT
Albert Husein Wawo1 & Sierra Silverstone2
1)
Pusat Penelitian Biologi, LIPI Cibinong Science Center, 16911 Cibinong
2)
Biosphere Foundation (USA)
Lokasi kawasan hutan Pahlengkong yang terletak dalam kawasan Taman Nasional Bali Barat pernah
mengalami kebakaran pada tahun 2006. Setelah lebih kurang 6 - 7 tahun paska kebakaran tersebut terjadi
penutupan kembali oleh vegetasi yang didominasi oleh tumbuhan tembelekan atau kerasi (Lantana camara).
Temblekan diketahui sebagai salah satu invasive spesies yang menyukai lokasi terbuka. Pada tahun 2012, LIPI
bersama Biosphere Foundation (USA) melakukan studi tentang kemampuan tumbuh temblekan di lokasi ini.
Hasil menunjukkan bahwa kepadatan temblekan sekitar 1095 rumpun per ha dengan rata-rata area penutupan
sekitar 56,26 %. Pemangkasan batang temblekan pada akhir musim hujan akan merangsang pertumbuhannya
di musim kering. Dalam area bekas kebakaran ini terdapat 24 jenis tumbuhan berkayu yang tumbuh
berdampingan dengan temblekan. Restorasi intervensi pada lokasi bekas kebakaran perlu dilakukan setelah
terlebih dahulu mengendalikan pertumbuhan temblekan (Lantana camara).
Kata kunci : Lantana camara, kepadatan, pemangkasan, tumbuhan berkayu, TN Bali Barat
PENDAHULUAN
Secara administrasi kepemerintahan, Taman
Nasional Bali Barat termasuk ke dalam dua kabupaten
yaitu Kabupaten Jembrana dan Kabupaten Buleleng,
Propinsi Bali. Taman Nasional Bali Barat dikelola
berdasarkan zonasi, yang terdiri dari Zona Inti, Zona
Rimba, Zona Pemanfaatan Intensif dan Zona
Pemanfaatan Budaya (Untara, dkk, 2009). Berdasarkan
formasi ekosistem hutan, kawasan TN Bali Barat
termasuk Ekosistem hutan musim yang terdiri dari
hutan campuran. Vegetasi ekosistem hutan musim
adalah
tumbuhan
yang
sebagian
besarnya
menggugurkan daunnya (deciduous forest) terutama
pada musim kemarau. Beberapa contoh flora yang
menjadi komponen penyusun ekosistem hutan ini adalah
pilang (Acacia leucophloea), mindi (Azadirachta
indica), cendana (Santalum album) kayu putih
(Eucalyptus alba) (Indriyanto, 2006). Selain flora,
terdapat beberapa fauna khas seperti rusa, menjangan,
babi hutan, musang dan jenis-jenis burung. Bagi TN
Bali Barat yang menjadi tugas utamanya adalah
perlindungan terakhir bagi habitat dan jenis burung
Jalak Bali (Leucopsar rothschildi) (Untara, dkk, 2009).
Kawasan hutan musim adalah kawasan yang
relative peka terhadap kebakaran karena dipicu oleh
musim kering yang panjang sekitar 6 – 9 bulan dengan
suhu bulanan rata-rata 21 – 32oC dan curah hujan sekitar
1200 mm per tahun (Arief, 2001). Whitten, dkk, (1999)
menyebutkan hutan luruh daun yang kering memiliki
tanah yang retak-retak pada musim kering karena
penguapan lebih tinggi daripada penyerapan air. Oleh
karena itu, melindungi ekosistem hutan musim dari
berbagai gangguan baik yang berasal dari luar maupun
yang terjadi secara alami merupakan tanggung jawab
bersama. Maka dari itu pengelola Taman Nasional
diharapkan mampu melibatkan semua komponen
masyarakat untuk berpartisipasi dalam melindungi
kawasan hutan musim ini.
Menjangan Resort adalah mitra TN Bali
Barat yang mendapat tanggung jawab untuk mengelola
sebagian kawasan dalam Zona Pemanfaatan Budaya.
Dalam zona ini Menjangan Resort telah membangun
beberapa fasilitas untuk mendukung keberhasilan
pengelolaan TN Bali Barat. Sebagai tanggung jawab
Menjangan Resort terhadap masyarakat yang berdiam di
seputar kawasan TN Bali Barat, telah dilakukan
pembinaan pertanian, dan mendorong penggunaan
pupuk organik pada lahan-lahan pertanian milik
masyarakat.
Menjangan Resort juga berperan untuk
menjaga kawasan agar tidak terjadi gangguan dari
penduduk di sekitar Taman nasional Bali Barat berupa
pengambilan hijauan pakan ternak, kayu bakar dan
kebakaran. Pada tahun 2006 kawasan hutan
Pahlengkong seluas 55 ha terjadi kebakaran dan api
menghanguskan semua vegetasi yang tumbuh di
dalamnya. Akibat kebakaran tersebut, pada saat ini
lokasi hutan Pahlengkong
tersebut ditumbuhi
temblekan = kerasi (Lantana camara). Luasan tutupan
kerasi (temblekan) setiap tahun selalu bertambah
menyebabkan tumbuhan lokal berkayu mendapat
saingan dalam pertumbuhannya. Tumbuhan kerasi
memiliki persebaran alam yang luas dari 45o Lintang
Utara hingga 45o Lintang Selatan dan menyukai tempat
terbuka. Biji kerasi yang matang menjadi pakan burung
sehingga burung menjadi agen pemencarannya
(Windadri
&Valkenburg,
1999).
Pengendalian
persebaran kerasi dalam kawasan Taman Nasional Bali
Barat perlu mendapat perhatian. Oleh karena itu
Menjangan Resort berinisiatif mencari partner kegiatan
penelitian bersama Biosphere Foundation (BF) dan
LIPI dalam bentuk Research plot (plot Uji) untuk
mempelajari pertumbuhan kerasi (Lantana camara) di
area bekas kebakaran hutan yang terjadi tahun 2006.
46
Penelitian ini berjudul Studi kemampuan tumbuh
Lantana camara dan inventarisasi tumbuhan berkayu
dalam kawasan bekas kebakaran. Penelitian ini adalah
bagian dari Kegiatan Penggunaan Pupuk Organik dan
Restorasi Hutan Gugur Daun di Taman Nasional Bali
Barat.
METODE PENELITIAN
Pada tahun 2012 telah dilakukan Studi
penutupan Lantana camara dalam area bekas
kebakaran dalam Kawasan TN Bali Barat. Studi ini
dilakukan pada bulan Pebruari dan bulan agustus.
Penelitian untuk mengetahui penutupan Lantana
camara (keresi) pada area bekas kebakaran dilakukan
menggunakan metode Sistimatik Sampling (Fachrul,
2007, Soegianto, 1994). Plot dibuat berukuran 50 m x
50 m sebanyak 4 unit ( plot A, B, C dan D). Jarak antar
plot 10 m. Setiap plot dibagi menjadi 25 sub plot
dengan luasan 100 m2 (10 m x10 m). Setiap plot
diambil 5 sub plot dijadikan sebagai area pengamatan
yaitu sub plot 7,9, 13, 17 dan 19. Sub-sub plot
pengamatan ini terletak dibagian tengah plot sehingga
tidak mendapat pengaruh oleh efek tepi. Parameter
pengamatan terdiri dari tinggi tanaman kerasi, lebar
tajuk, penutupannya (aerial coverage), kepadatan kerasi
dan inventarisasi jenis-jenis tumbuhan berkayu dalam
sub plot plot. Perhitungan penutupan menggunakan
rumus 𝐴 = 𝜋𝑟 2 , dan kepadatan lantana menggunakan
rumus ∑N / L. Inventarisasi dilakukan dengan cara
pendataan tumbuhan yang ditemukan di lapangan dan
tumbuhan yang tidak diketahui namanya diidentifikasi
di Herbarium Bogorience. Telah dilakukan juga
pengamatan pertumbuhan lantana setelah dipangkas
pada awal musim kemarau yaitu bulan Maret 2012.
Pemangkasan batang lantana sebanyak 13 rumpun
lantana. Pemangkasan menggunakan parang setinggi
lebih kurang 0,5 cm dari permukaan tanah (rata dengan
permukaan tanah). Pada bulan Agustus tim peneliti
mengamati lantana yang telah dipangkas tersebut.
Pengamatan pertumbuhan terdiri dari beberapa
parameter seperti jumlah tunas, tinggi tanaman dan
lebar tajuk. Selain itu dilakukan juga inventaris
beberapa jenis pohon yang tahan kering di sekitar
stasiun SERC, Menjangan Resort.
A13 terdapat 18 rumpun dengan coverage 38,60 m2, A
17 sebanyak 10 rumpun dengan coverage 66,13 m2 dan
A19 terdapat 8 rumpun dengan coverage 31,91m2.
Penutupan (coverage) lantana pada plot A dapat
diketahui yaitu sebesar 44,61 % dari luas plot A.
Kepadatan lantana dalam plot A adalah 61 rumpun /
500 m2 atau 1220 rumpun per ha.
Pengamatan rumput dalam plot A diketahui
bahwa rumput tersebar pada semua sub plot sehingga
nilai frekuensi persebarannya adalah 100 %. Coverage
oleh rumput pada setiap sub plot bervariasi yaitu A7
sebesar 22,88 m2, A9 sebesar 12,03m2, A13 sebesar
36,37m2, A17 sebesar 10,20m2 dan A19 sebesar
38,18m2. Dengan demikian diketahui coverage rumput
dalam plot A sebesar 23,93 %.
Plot B.
Lantana yang tumbuh dalam semua sub plot
pengamatan dalam plot B. Hal ini menunjukkan bahwa
lantana memiliki nilai frekuensi 100 % dalam plot B.
Luas area penutupan lantana mencapai lebih 50% dari
masing-masing luas sub plot, yaitu B7 terdapat 7
rumpun dengan penutupan sebesar 52,89m2 , B9
terdapat
10 rumpun dengan penutupan
sebesar
59,90m2, B13 terdapat 11 rumpun dengan penutupan
sebesar 67,60m2, B17 terdapat 11 rumpun dengan
penutupan sebesar 90,37m2 dan B19 terdapat 15
rumpun dengan penutupan sebesar 131,75m2. Dengan
demikian dapat diketahui bahwa rata-rata penutupan
lantana pada plot B seluas 80,51%. Area Penutupan
yang besar ini menunjukkan bahwa Lantana sangat
dominan pada semua sub plot pengamatan. Kepadatan
lantana dalam plot B diperkirakan 54 rumpun / 500 m2
atau 1080 rumpun per ha.
Rumput-rumputan (grasses) memiliki frekuensi
sekitar 80 % dari 5 sub plot pengamatan karena pada
sub plot B17 tidak ditemukan rerumputan. Area
penutupan rumput juga bervariasi yaitu B7 =52,89m2,
B9 = 29,20m2, B13=10,70m2 dan B19= 4,0 m2. Ratarata area penutupan rumput sebesar 19,36%.
HASIL DAN PEMBAHASAN
Vegetasi yang tampak sangat dominan paska
kebakaran di kawasan bekas kebakaran adalah
temblekan = kerasi ( Lantara camara ) dan rumput serta
beberapa jenis tumbuhan berkayu. Hasil pengamatan
terhadap kerasi, rumput dan tumbuhan berkayu adalah
sebagai berikut
A. Pengamatan Lantana camara dan Rumput
Plot A.
Lantana camara yang tumbuh pada plot A
tersebar pada 5 sub plot pengamatan yaitu A7, A9, A13,
A17 dan A19. Dengan demikian nilai frekuensi
persebaran lantana dalam plot A adalah 100 %. Jumlah
lantana pada setiap sub plot bervariasi yaitu pada Sub
plot A7 terdapat 10 rumpun dengan coverage 44,096
m2, A9 sebanyak 15 rumpun dengan coverage 42,34m2,
Gambar 1. Lantana yang mampu mencapai tinggi 4,0 m
Plot C
Lantana yang tumbuh di plot C tidak sepadat
yang ada di plot B. Walaupun demikian lantana terdapat
pada semua subplot pengamatan, berarti nilai frekuensi
lantana dalam plot ini mencapai 100 %. Luas area
penutupan pada setiap sub plot pengamatan juga
bervariasi yaitu C7 terdapat 8 rumpun dengan
penutupan sebesar 69,70m2, C9 terdapat 11 rumpun
dengan penutupan sebesar 75,25m2, C13 terdapat 4
rumpun dengan penutupan sebesar 8,73m2, C17 terdapat
6 rumpun dengan penutupan sebesar 50,11m2, C19
terdapat 12 rumpun dengan penutupan sebesar 34,36m2.
Dengan demikian
rata-rata
penutupan lantana
47
mencapai 47,63% dari luas plot C.. Kepadatan lantana
dalam plot C adalah 41 rumpun / 500 m2 atau 820
rumpun per ha.
Pada sub plot C17 tidak ada rerumputan
sehingga nilai frekuensi pada rumput 80 %. Area
penutupan juga bervariasi yaitu C7= 25,94m2, C9
=43,97m2, C13 = 63,59m2, C19 = 39,84m2 dengan ratarata 34,67 m2. Dengan demikian dapat disebutkan
bahwa area penutupan oleh rerumputan dalam plot C
seluas 34,67 %
Plot D
Lantana yang tumbuh pada Plot D terdapat
pada semua sub plot pengamatan yang terdiri dari sub
plot D7, D9, D13, D17 dan D19. Ini berarti nilai
frekuensi penyebaran lantana dalam plot ini adalah 100
%. Jumlah lantana pada sub plot D7 sebanyak 18
rumpun dengan cover area sebesar 46,99 m2, sub plot
D9 sebanyak 12 rumpun dengan cover area sebesar
42,46m2, pada sub plot D13 terdapat 6 rumpun dengan
cover area sebesar 46,65 m2,pada sub plot D17
sebanyak 15 rumpun dengan cover area sebesar 71,30
m2 dan pada sub plot D19 terdapat 12 rumpun dengan
cover area sebesar 54,05 m2. Dengan demikian rata-rata
penutupan (coverage) lantana sebesar 52,29 % dari luas
plot D. Kepadatan lantana pada Plot D adalah 63
rumpun / 500m2 atau 1260 rumpun / ha.
Pengamatan pada rumput (grass) diketahui
bahwa rumput hanya tersebar pada 3 sub plot yaitu D7,
D9 dan D19 sehingga nilai frekuensi rumput dalam plot
D sebesar 60 %. Cover area dari rumput pada sub plot
D7 sebesar 30,13 m2, D9 sebesar 42,37 m2 dan D19
sebesar 46,08 m2. .Dengan demikian rata rata penutupan
(coverage) oleh rumput pada plot D sebesar 23,71 %.
Perbandingan luas area penutupan oleh lantana
dan rumput pada setiap plot dapat dilihat pada Tabel 1.
berikut :
Tabel 1. Perbandingan nilai coverage oleh lantana dan rumput
Plot
Lantana
Pengamatan Frekuensi
Kepadatan
Coverage (%)
(%)
/ha (rumpun)
A
100,00
1220
44,61
B
100,00
1080
80,51
C
D
Rata-rata
100,00
100,00
100,00
820
1260
1095
Dari Tabel 1 diketahui nilai frekuensi dan
coverage pada lantana lebih tinggi dari pada rumput.
Perbedaan ini menunjukkan kemampuan lantana untuk
melakukan ekspansi wilayah pertumbuhannya lebih
tinggi dari pada rerumputan. Rerumputan memeliki
kelemahan selain memiliki habitus yang rendah dan
tidak dapat tumbuh pada lokasi yang ternaungi oleh
kanopi tumbuhan lain. Selain itu lantana tidak disukai
ternak / binatang sebagai pakan (Whitten, dkk, 1999)
sehingga pertumbuhannya tidak mengalami gangguan
seperti pada rerumputan.. Kepadatan lantana pada setiap
plot juga berbeda, karena dipengaruhi oleh kesuburan
lahan dari setiap plot. Windadri &Valkenburg (1999)
melaporkan bahwa kerasi atau temblekan ini menyukai
tempat terbuka dan toleran pada lokasi yang
naungannya ringan. Lokasi yang subur dengan drainase
yang baik sangat digemari oleh kerasi.
B.Tumbuhan Berkayu
Plot A
Jenis-jenis tumbuhan berkayu yang tumbuh
dalam plot A terdiri tidak berbeda dengan yang tumbuh
dalam Plot B, C dan D. Terdapat 12 jenis tumbuhan
berkayu yaitu walikukun, delimoan, kayu pahit (kayu
ular), kalak, rukem, kneli, tekik, talok, pihlang, secang ,
pule pandak, dan ketket. Walikukun, kneli dan kalak
tersebar pada semua subplot pengamatan sehingga
frekuensinya 100 % sedangkan rukem, kayu pahit dan
ketket nilai frekuensinya 80 %, dan jenis-jenis yang
lain frekuensinya antara 20 – 40 %.. Di dalam plot ini
muncul beberapa jenis tumbuhan berkayu yang tahan
kering dari suku Fabaceae yaitu asam, pihlang, tekik.
Plot B
47,63
52,29
56,26
Rumput
Frekuensi
(%)
100,00
80,00
Coverage (%)
23,93
19,36.
80 ,00
34,67
60,00
23,71
80,00
25,17
Jenis-jenis tumbuhan berkayu yang ditemukan
dalam Plot B bervariasi, tetapi tanaman rukem
ditemukan pada semua sub plot pengamatan berarti
memiliki nilai frekuensi 100 %.Sedangkan kayu pahit
dan walikukun hanya terdapat pada 4 sub plot saja jadi
frekuensinya 80%. Jenis tumbuhan berkayu lain yang
ada dalam plot ini adalah sonokeling, delimoan, asam,
binori, pulepandak, hammar, kapasan dan tekik.
Terdapat juga tanaman kayu yang merambat adalah
kalak nasi. Sebagian besar tumbuhan berkayu ini
memiliki diameter batang lebih kecil dari 5,0 cm kecuali
tanaman asam yang tahan terhadap kebakaran api.
Plot C
Jenis-jenis tumbuhan berkayu yang ada dalam
plot C tidak berbeda dengan yang ada di plot B yaitu
walikukun, delimoan, rukem, kayu pahit, binori,
hammer, kapasan, laban, sonokeling, pulepandak,
kalaknasi, talok dan asam. Jenis walikukun, kayu pahit,
delimoan adalah tumbuhan berkayu yang didapat pada
semua sub plot pengamatan berarti memiliki nilai
frekuensi 100 % sedangkan binori memiliki nilai
frekuensi 80 %. Di dalam plot ini terdapat satu jenis
tumbuhan berkayu yang merambat yang dalam bahasa
daerah disebut katket (Triphasia trifoliata ) yang
memiliki area penutupan seluas 46,0 m2.
Plot D
Jenis-jenis tumbuhan berkayu yang berada
dalam Plot D tidak berbeda dengan Plot B dan C yaitu
sebanyak 11 jenis.
Jenis-jenis tersebut adalah;
walikukun, delimoan, sonokeling, kayu pahit (kayu
ular), kalak, rukem, kneli, tekik, talok, laban dan ketket.
Walikukun tersebar pada semua plot pengamatan
sehingga frekuensinya 100 % sedangkan delimoan dan
kalak memi8liki ilai frekuensi sebesar 80 %, kayu
48
pahit dan ketket 60%, dan jenis-jenis yang lain
frekuensinya antara 20 – 40 %.. Ketket dan kalak
adalah tanaman berkayu yang dapat merambat pada
pohon yang besar, tetapi ketika masih kecil tumbuh
sebagai perdu / semak.
Daftar Jenis tumbuhan berkayu dalam plot
Penelitian tertera pada Tabel 2.
Tabel 2. Jenis-Jenis Tumbuhan Berkayu Dalam Plot Penelitian
No
Nama lokal
Nama ilmiah
01
Sonokeling
Dalbergia latifolia Roxb
02
Hammer
Bridelia tomentosa Blume
03
Semplak
Sida acuta Burm.f
04
Laban
Vitex glabrata R.Br
05
Talok
Trema orientalis (L) Bl
06
Camplok
Hibiscus tiliaceus L
07
Walikukun
Shoutenia ovata Korth
08
Katket bukal
Zyzyphus oenoplia Mill
09
ketket
Triphasia trifoliata DC
10
Pulepandak
Tabernaemontana pandacaqui Lam
11
Kalak biu
Uvaria rufa Blume
12
Kalak nasi
Uvaria purpurea Blume
13
Kneli
Bridelia ovata Decne
14
Rukam
Flacourtia indica (Burm.f)Merr
15
Bun dingin
Cordia mixa L
16
Kapasan
Doryxylon spinosum Zoll
17
Delimoan
Vangueria spinosa Roxb
18
Tekik
Albizia lebbeckoides Benth
19
Putian
Croton argyratus Blume
20
Kayu pahit
Strychnos lucida R.Br
21
Binori
Calotropis gigantean Willd
22
Secang
Caesalpinia sappan L.
23
Asam
Tamarindus indica L
24
Pihlang
Acacia leucophloea (Roxb.) Willd
Suku
Fabaceae
Euphorbiaceae
Malvaceae
Verbenaceae
Ulmaceae
Malvaceae
Tiliaceae
Rhamnaceae
Rutaceae
Apocynaceae
Annonaceae
Annonaceae
Euphorbiaceae
Flacourtiaceae
Boraginaceae
Euphorbiaceae
Rubiaceae
Fabaceae
Euphorbiaceae
Loganiaceae
Asclepiadaceae
Fabaceae
Fabaceae
Fabaceae
Gambar 2. Beberapa jenis tumbuhan berkayu ( walikukun, kapasan, sonokeling dan binori)
Gambar 3. Kalak sebagai buah local liar dalam area bekas kebakaran
Berdasarkan uraian diatas diketahui terdapat
beberapa jenis tumbuhan barkayu yang persebarannya
cukup luas dalam area kebakaran yaitu walikukun,
kayu pahit, delimoan, rukem dan kalak. Pertumbuhan
walikukun (Shoutenia ovata) sulit menjadi pohon besar
karena selain pertumbuhannya agak lamban dan juga
sering dipangkas oleh masyarakat local sebagai pakan
ternak dan kayu bakar. Kayu pahit (Strychnos lucida),
rukem (Flacourtia indica) dan delimoan (Vangueria
spinosa) adalah tumbuhan yang memiliki duri panjang
49
dengan habitus yang rendah, berkasiat obat dan juga
dipakai sebagai kayu bakar sehingga sering dipotong
batangnya oleh masyarakat local. Kalak (Uvaria sp )
memiliki 2 jenis yaitu kalak nasi (Uvaria purpurea) dan
kalak biu (Uvaria rufa) adalah tumbuhan berkayu yang
dapat merambat pada pohon-pohon besar. Tumbuhan
ini menghasilkan buah yang rasanya agak asam. Warna
buah merah menyala sehingga menjadi makanan
monyet, babi dan burung. Ketiga jenis binatang ini yang
membantu persebaran tumbuhan kalak ini. Tanaman ini
berpotensi untuk dikembangkan sebagai buah tropic
yang kaya akan vitamin C. Batang tanaman kalak sering
dipangkas untuk dijadikan kayu bakar sehingga bentuk
tanaman menjadi pendek.
C. Pemangkasan pada Lantana
Pemangkasan batang lantana pada akhir musim
hujan dapat mempertahankan pertumbuhan lantana pada
musim kemarau yaitu pada bulan Agustus (selama 5
bulan) dengan menumbuhkan tunas yang lebih banyak.
Lantana yang tidak dipangkas mengalami pengguguran
daun. Data pertumbuhan lantana yang dipangkas
terlihat pada Tabel 3 berikut.
Tabel 3.Pertumbuhan Lantana camara selama 5 bulan setelah dipangkas.
No
Jumlah tunas induk Jumlah tunas baru (setelah Tinggi
(awal) / rumpun
pangkas) / rumpun
(cm)
1
5
26
141
2
5
26
106
3
5
34
150
4
2
17
86
5
1
2
83
6
3
22
126
7
3
30
80
8
4
37
144
9
5
25
72
10
6
24
90
11
4
27
92
12
5
37
120
13
1
7
119
Rata3,77
23,38
108,230
rata
Dari Tabel ini diketahui bahwa pemangkasan
batang merangsang pertumbuhan tunas sehingga
menghasilkan jumlah tunas yang lebih banyak. Ratarata pertambahan tunas meningkat sebanyak 520 %
setelah dipangkas. Pertumbuhan tinggi lantana selama 5
bulan sekitar 108,23 cm dan diameter tajuk 99,88 cm
dengan rata-rata coverage sekitar 0,8380 m2 . Windadri
&Valkenburg (1999) mengungkapkan bahwa upaya
tebas bakar pada lantana akan menumbuhkan kemmbali
tanaman lantana dengan tunas-tunas yang lebih banyak.
Oleh karena itu perlu upaya lain untuk mengendalikan
pertumbuhan lantana antara lain dengan menggunakan
biological control. Pertambahan jumlah tunas akibat
pemangkasan ini sebagai reaksi dari dominansi apical
yang merangsang pertumbuhan srisip dari kuncup basal
(Gardner, dkk, 1991)
D. Beberapa Jenis Pohon yang Tahan Kering
Kawasan Taman Nasional Bali Barat di kenal
sebagai
hutan gugur daun (deciduous forest).
Pengamatan pada bulan Agustus 2012 di dalam hutan
ini. Suhu udara pada bulan Agustus pada siang hari
relative tinggi hingga mencapai 30 – 33 0C dengan
kelembaban udara sekitar 60 -70 % dan cahaya matahari
yang sangat terik. Kondisi suhu udara yang tinggi dan
cahaya matahari yang terik ini berpengaruh pada
vegetasi hutan dalam taman nasional Bali Barat.
Kondisi hutan menjadi terang benderang karena banyak
pohon di dalamnya telah mengalami gugur daun
sehingga tampak tegakan batang pohon dengan cabang
dan rantingnya.
Diameter
(cm)
117
103,5
161,5
92,5
62
110
98,5
121,5
79,5
70
88
123
71,5
99,88
tajuk
Coverage
(m2)
1, 0745
0, 8409
2, 0474
0,6716
0,3017
0, 9498
0,7616
1,1588
0,4961
0, 3846
0, 6079
1,1973
0, 4013
0,8380
Gambar 4. Salah satu site dari Hutan Gugur daun (deciduous
forest) di Taman Nasional bali Barat
Rumput-rumput yang menjadi pakan hewan
herbivora telah kering kerontang sehingga rusa
mengalami kekurangan pakan. Badan rusa menjadi
kurus, dan rusa tidak takut memasuki area perkantoran
di Stasiun SERC yang relative hijau karena selalu
disiram setiap hari.
Gambar 5. Rusa memasuki area perkantoran
50
Walaupun sebagian besar pohon telah
meluruhkan daunnya namun masih terdapat beberapa
jenis pohon dan tumbuhan berkayu lainnya masih
memiliki hijauan (daun). Jenis-jenis pohon yang masih
memiliki daun tertera pada Tabel 4 berikut :
Tabel 4. Jenis Pohon yang masih berdaun hingga pada bulan Agustus.
No
Nama lokal Bali
Nama Ilmiah
01
Katket bukal
Zyzyphus oenoplia
02
Trengguli
Cassia fistula
03
Kosambi
Schleichera oleosa
04
Intaran
Azadirachta indica
05
Asam
Tamarindus indica
06
Beringin
Ficus benjamina
07
Jeruk-jerukan
Capparis micracantha
08
Tekik
Albizia lebbeckoides
09
Pihlang
Acacia leucophloea
Dari 9 jenis yang terlihat berdaun di dalam
hutan taman nasional Bali Barat ternyata ada 7 jenis
yang pertama yaitu katket bukal,kosambi,intaran,
trengguli, asam, beringin dan jeruk-jerukan adalah
jenis yang sangat tahan terhadap kekeringan, sedangkan
tekik dan pihlang, tampaknya terjadi juga peluruhan
daun namun secara cepat tumbuh kembali tunas
sehingga menghasilkan daun-daun baru.
Gambar 6. Beberapa jenis pohon yang tahan kering
(Kosambi, intaran jeruk-jerukan)
Pengamatan Jenis –jenis tumbuhan berkayu di
hutan Pahlengkong yang tumbuh bersama kerasi,
walaupun daun kerasi sudah semuanya rontok, namun
jenis-jenis tumbuhan berkayu yang berupa semak ini
masih menghasilkan daun hijau. Pada hal cabang yang
berdaun hijau ini sering dipangkas masyarakat untuk
pakan ternak dan kayu bakar. Jenis tumbuhan berkayu
tersebut adalah
walikukun (Shoutenia ovata),
sonokeling (Dalbergia latifolia) , binori (Callotrophis
gigantea), laban (Vitex glabrata), delimoan (Vangueria
spinosa), kayupahit (Strychnos lucida), rukem
(Flacourtia indica) dan kalak (Uvaria purpurea). Jenis-
Suku
Rhamnaceae
Fabaceae
Sapindaceae
Meliaceae
Fabaceae
Moraceae
Caapparidaceae
Fabaceae
Fabaceae
jenis tersebut adalah jenis-jenis tumbuhan yang tahan
kering.
UPAYA PEMULIHAN
Umumnya tumbuhan yang tumbuh awal paska
kebakaran adalah jenis-jenis pionir yang menyukai
tempat terbuka. Jenis-jenis pionir umumnya berasal dari
suku Euphobiaceae, Moraceae, dan Asteraceae ( Riswan
& Yusuf, 1986). Jenis-jenis pionir yang termasuk suku
Euphorbiaceae dalam taman nasional Bali Barat adalah
kapasan, kayu hutan, malaman, mericaan, anting-anting,
paska pasang, Termasuk suku Moraceae adalah awar,
kresik, banjan dan termasuk suku Asteracea adalah
nyawon, sembung, krinyu, kerasi (Untara, dkk, 2009)
Primack dkk, (1998) menjelaskan bahwa
lokasi-lokasi yang mengalami degredasi (misalnya
akibat kebakaran) jika diabaikan atau tidak dilakukan
pemulihan (restorasi) akan didominasi oleh jenis-jenis
gulma dan jenis-jenis tumbuhan pendatang (invasive
species) yang menyebabkan komunitas hayati tidak
produktif dan mengalami kelainan dibandingkan dengan
daerah sekitarnya, sehingga tak berharga secara
konservasi dan hilang nilai estetikanya. Di taman
nasional Bali Barat ditemukan beberapa jenis tumbuhan
invasive yaitu adalah Lantana camara, Chromolaena
odoratum, Acacia nilotica dan Jatropha gosympifolium.
Windadri &Valkenburg (1999) melaporkan bahwa
pertumbuhan lantana (temblekan) agak toleran ditempat
ternaung namun menjadi dominan pada lokasi yang
terbuka atau sebagai understorey pada hutan-hutan topic
yang terbuka. Lantana telah menjadi tumbuhan
pengganggu di ladang, perkebunan dan padang
penggembalaan. Pengendalian dengan cara tebas bakar
akan menghasilkan pertumbuhan kembali dengan tunastunas baru yang lebih banyak.
Primack, dkk (1989) mengungkapkan ada 4
langkah utama uuntuk mengembalikan komunitas hayati
dan ekosistemnya yaitu; tanpa tindakan, dilakukan
restorasi, rehabilitasi dan penggantian. Kegiatan
restorasi dalam lahan bekas kebakaran ini dapat
dilakukan setelah mendapat persetujuan dari pihak
Pengelola TN Bali Barat dengan memperhatikan
beberapa aspek antara lain ; 1. Memperhatikan jenisjenis pohon yang tumbuh dalam lokasi ini sebelum
kebakaran dan menanam kembali jenis-jenis pohon
tersebut, 2. Mengembangkan jenis –jenis pohon yang
51
saat ini telah tumbuh kembali pada lokasi kebakaran, 3.
Mengembangkan jenis-jenis pohon yang berasal dari
kawasan TN Bali Barat dan memiliki lingkungan yang
mirip dengan lokasi kebakaran, 4. Restorasi mengarah
kepada keanekaragaman flora dan tidak bersifat
monokultur, 5. Kemungkinan restorasi dibiarkan
berproses secara alami, namun membutuhkan waktu
lama. Menurut Kartawinata (2011) bahwa restorasi
dapat dilakukan dengan intervensi manusia agar proses
suksesi dapat dipercepat. Restorasi intervensi yang
dimaksudkan adalah melakukan penanaman jenis-jenis
pohon yang sesuai dengan ekosistemnya.
KESIMPULAN
Dari penelitian ini dapat disimpulkan sebagai
berikut :
1. Rata –rata penutupan lahan oleh Lantana
camara (kerasi) sebesar 56,26 % sedangkan
oleh rerumputan sekitar 25,17%. Rata-rata
Kepadatan lantana per ha sebesar 1095
rumpun.
2. Pemangkasan batang lantana bukan merupakan
cara yang tepat untuk mengendalikan
persebaran lantana pada lokasi yang
terdegredasi akibat kebakaran. Pemangkasan
batang cenderung merangsang pertumbuhan
tunas lantana dan mempertahankan daya hidup
lantana terutama pada musim kemarau.
3. Terdapat 24 jenis tumbuhan berkayu yang
tumbuh kembali pada area bekas kebakaran
tersebut.
Tumbuhan
berkayu
seperti
walikukun, kayu pahit, rukem, delimoan dan
kalak adalah jenis tumbuhan berkayu yang
persebarannya cukup luas dalam area
kebakaran ini dan tahan kekeringan.
4. Terdapat 7 jenis pohon yang tahan kering
dalam kawasan Stasiun SERC yaitu katket
bukal, kosambi, intaran, trengguli, asam,
beringin dan jeruk-jerukan, sedangkan jenis
tekik dan pihlang adalah jenis pohon yang juga
menggugurkan daunnya namun
memiliki
kemampuan untuk menumbuhkan kembali
tunas daun dalam waktu yang relative singkat.
5. Upaya pemulihan lokasi kebakaran perlu
dilakukan dengan cara restorasi intervensi
dengan
terlebih
dahulu
melakukan
pengendalian
pertumbuhan
temblekan
(Lantana camara ).
DAFTAR PUSTAKA
Arief, A , 2001. Hutan Dan Kehutanan. Penerbit
Kanisius Yogyakarta. 180 hal.
Indriyanto, 2006. Ekologi Hutan. PT Bumi Aksara,
Jakarta. 295 hal.
Fachrul, M.F, 2007. Metode Sampling Bioekologi.
Penerbit Sinar Grafika Offset, Jakarta. 198
hal.
Gardner, F.P, Pierce, R.B & Mitchell, R.L, 1991.
Physiology of Crop Plants. Diterjemahkan oleh
Herawati Susilo dengan Judul Fisiologi
Tanaman Budidaya. UI Press. 428 hal.
Kartawinata, K ,2011. Taman Kehati Indonesia. Bahan
Ceramah di Puslit Biologi, LIPI pada tanggal
12 Mei 2011. Cibinong.
Primack, R.B, Supriatna, J, Indrawan,M &
Kramadibrata,P, 1998. Biologi Konservasi.
Yayasan Obor Indenesia, Jakarta. 345 hal.
Riswan, S & Yusuf, R, 1984. Effects of Forest Fires on
Trees in the low Land Dipterocarp Forest of
East Kalimantan, Indonesia. In Proceedengs of
the Symposium on Forest Regeneration in
South East Asia. Biotrop Special Publication
No. 25. Seameo- Biotrop. Bogor. P 155 – 163.
Soegianto, A, 1994. Ekologi Kuantitatif. Penerbit Usaha
Nasional, Surabaya, Indonesia. 173 hal.
Untara, G,D, Kaesa, K.S, Ramadhan,R.R, Darmadja,B
& Kusdyana IPG,A, 2009. Keanekaragaman
Hayati Taman Nasional Bali Barat. Balai TN
BB. 91 hal.
Whitten, T, Soeriaatmadja, R.E & Afiff, S.A, 1999.
Ekologi Jawa dan Bali. Seri Ekologi Indonesia.
Jilid II. Prenhallindo, Jakarta. 969 hal.
Windadri, F,I., van Valkenburg, J.L.C.H, (1999),
Lantana L. Dalam Plant Resources of South
East Asia 12. (1) Medicinal and Poisonous
Plants I. Hal. 338 -342. Backhuys Publisher,
Leiden.
Download