45 BioWallacea Jurnal Ilmiah Ilmu Biologi Januari 2015 Vol. 1 No. 1, p 45-51 ISSN: 2442-2622 STUDI KEMAMPUAN TUMBUH TEMBLEKAN (Lantana camara) DAN PENDATAAN TUMBUHAN BERKAYU PADA AREA BEKAS KEBAKARAN DALAM TAMAN NASIONAL BALI BARAT Albert Husein Wawo1 & Sierra Silverstone2 1) Pusat Penelitian Biologi, LIPI Cibinong Science Center, 16911 Cibinong 2) Biosphere Foundation (USA) Lokasi kawasan hutan Pahlengkong yang terletak dalam kawasan Taman Nasional Bali Barat pernah mengalami kebakaran pada tahun 2006. Setelah lebih kurang 6 - 7 tahun paska kebakaran tersebut terjadi penutupan kembali oleh vegetasi yang didominasi oleh tumbuhan tembelekan atau kerasi (Lantana camara). Temblekan diketahui sebagai salah satu invasive spesies yang menyukai lokasi terbuka. Pada tahun 2012, LIPI bersama Biosphere Foundation (USA) melakukan studi tentang kemampuan tumbuh temblekan di lokasi ini. Hasil menunjukkan bahwa kepadatan temblekan sekitar 1095 rumpun per ha dengan rata-rata area penutupan sekitar 56,26 %. Pemangkasan batang temblekan pada akhir musim hujan akan merangsang pertumbuhannya di musim kering. Dalam area bekas kebakaran ini terdapat 24 jenis tumbuhan berkayu yang tumbuh berdampingan dengan temblekan. Restorasi intervensi pada lokasi bekas kebakaran perlu dilakukan setelah terlebih dahulu mengendalikan pertumbuhan temblekan (Lantana camara). Kata kunci : Lantana camara, kepadatan, pemangkasan, tumbuhan berkayu, TN Bali Barat PENDAHULUAN Secara administrasi kepemerintahan, Taman Nasional Bali Barat termasuk ke dalam dua kabupaten yaitu Kabupaten Jembrana dan Kabupaten Buleleng, Propinsi Bali. Taman Nasional Bali Barat dikelola berdasarkan zonasi, yang terdiri dari Zona Inti, Zona Rimba, Zona Pemanfaatan Intensif dan Zona Pemanfaatan Budaya (Untara, dkk, 2009). Berdasarkan formasi ekosistem hutan, kawasan TN Bali Barat termasuk Ekosistem hutan musim yang terdiri dari hutan campuran. Vegetasi ekosistem hutan musim adalah tumbuhan yang sebagian besarnya menggugurkan daunnya (deciduous forest) terutama pada musim kemarau. Beberapa contoh flora yang menjadi komponen penyusun ekosistem hutan ini adalah pilang (Acacia leucophloea), mindi (Azadirachta indica), cendana (Santalum album) kayu putih (Eucalyptus alba) (Indriyanto, 2006). Selain flora, terdapat beberapa fauna khas seperti rusa, menjangan, babi hutan, musang dan jenis-jenis burung. Bagi TN Bali Barat yang menjadi tugas utamanya adalah perlindungan terakhir bagi habitat dan jenis burung Jalak Bali (Leucopsar rothschildi) (Untara, dkk, 2009). Kawasan hutan musim adalah kawasan yang relative peka terhadap kebakaran karena dipicu oleh musim kering yang panjang sekitar 6 – 9 bulan dengan suhu bulanan rata-rata 21 – 32oC dan curah hujan sekitar 1200 mm per tahun (Arief, 2001). Whitten, dkk, (1999) menyebutkan hutan luruh daun yang kering memiliki tanah yang retak-retak pada musim kering karena penguapan lebih tinggi daripada penyerapan air. Oleh karena itu, melindungi ekosistem hutan musim dari berbagai gangguan baik yang berasal dari luar maupun yang terjadi secara alami merupakan tanggung jawab bersama. Maka dari itu pengelola Taman Nasional diharapkan mampu melibatkan semua komponen masyarakat untuk berpartisipasi dalam melindungi kawasan hutan musim ini. Menjangan Resort adalah mitra TN Bali Barat yang mendapat tanggung jawab untuk mengelola sebagian kawasan dalam Zona Pemanfaatan Budaya. Dalam zona ini Menjangan Resort telah membangun beberapa fasilitas untuk mendukung keberhasilan pengelolaan TN Bali Barat. Sebagai tanggung jawab Menjangan Resort terhadap masyarakat yang berdiam di seputar kawasan TN Bali Barat, telah dilakukan pembinaan pertanian, dan mendorong penggunaan pupuk organik pada lahan-lahan pertanian milik masyarakat. Menjangan Resort juga berperan untuk menjaga kawasan agar tidak terjadi gangguan dari penduduk di sekitar Taman nasional Bali Barat berupa pengambilan hijauan pakan ternak, kayu bakar dan kebakaran. Pada tahun 2006 kawasan hutan Pahlengkong seluas 55 ha terjadi kebakaran dan api menghanguskan semua vegetasi yang tumbuh di dalamnya. Akibat kebakaran tersebut, pada saat ini lokasi hutan Pahlengkong tersebut ditumbuhi temblekan = kerasi (Lantana camara). Luasan tutupan kerasi (temblekan) setiap tahun selalu bertambah menyebabkan tumbuhan lokal berkayu mendapat saingan dalam pertumbuhannya. Tumbuhan kerasi memiliki persebaran alam yang luas dari 45o Lintang Utara hingga 45o Lintang Selatan dan menyukai tempat terbuka. Biji kerasi yang matang menjadi pakan burung sehingga burung menjadi agen pemencarannya (Windadri &Valkenburg, 1999). Pengendalian persebaran kerasi dalam kawasan Taman Nasional Bali Barat perlu mendapat perhatian. Oleh karena itu Menjangan Resort berinisiatif mencari partner kegiatan penelitian bersama Biosphere Foundation (BF) dan LIPI dalam bentuk Research plot (plot Uji) untuk mempelajari pertumbuhan kerasi (Lantana camara) di area bekas kebakaran hutan yang terjadi tahun 2006. 46 Penelitian ini berjudul Studi kemampuan tumbuh Lantana camara dan inventarisasi tumbuhan berkayu dalam kawasan bekas kebakaran. Penelitian ini adalah bagian dari Kegiatan Penggunaan Pupuk Organik dan Restorasi Hutan Gugur Daun di Taman Nasional Bali Barat. METODE PENELITIAN Pada tahun 2012 telah dilakukan Studi penutupan Lantana camara dalam area bekas kebakaran dalam Kawasan TN Bali Barat. Studi ini dilakukan pada bulan Pebruari dan bulan agustus. Penelitian untuk mengetahui penutupan Lantana camara (keresi) pada area bekas kebakaran dilakukan menggunakan metode Sistimatik Sampling (Fachrul, 2007, Soegianto, 1994). Plot dibuat berukuran 50 m x 50 m sebanyak 4 unit ( plot A, B, C dan D). Jarak antar plot 10 m. Setiap plot dibagi menjadi 25 sub plot dengan luasan 100 m2 (10 m x10 m). Setiap plot diambil 5 sub plot dijadikan sebagai area pengamatan yaitu sub plot 7,9, 13, 17 dan 19. Sub-sub plot pengamatan ini terletak dibagian tengah plot sehingga tidak mendapat pengaruh oleh efek tepi. Parameter pengamatan terdiri dari tinggi tanaman kerasi, lebar tajuk, penutupannya (aerial coverage), kepadatan kerasi dan inventarisasi jenis-jenis tumbuhan berkayu dalam sub plot plot. Perhitungan penutupan menggunakan rumus 𝐴 = 𝜋𝑟 2 , dan kepadatan lantana menggunakan rumus ∑N / L. Inventarisasi dilakukan dengan cara pendataan tumbuhan yang ditemukan di lapangan dan tumbuhan yang tidak diketahui namanya diidentifikasi di Herbarium Bogorience. Telah dilakukan juga pengamatan pertumbuhan lantana setelah dipangkas pada awal musim kemarau yaitu bulan Maret 2012. Pemangkasan batang lantana sebanyak 13 rumpun lantana. Pemangkasan menggunakan parang setinggi lebih kurang 0,5 cm dari permukaan tanah (rata dengan permukaan tanah). Pada bulan Agustus tim peneliti mengamati lantana yang telah dipangkas tersebut. Pengamatan pertumbuhan terdiri dari beberapa parameter seperti jumlah tunas, tinggi tanaman dan lebar tajuk. Selain itu dilakukan juga inventaris beberapa jenis pohon yang tahan kering di sekitar stasiun SERC, Menjangan Resort. A13 terdapat 18 rumpun dengan coverage 38,60 m2, A 17 sebanyak 10 rumpun dengan coverage 66,13 m2 dan A19 terdapat 8 rumpun dengan coverage 31,91m2. Penutupan (coverage) lantana pada plot A dapat diketahui yaitu sebesar 44,61 % dari luas plot A. Kepadatan lantana dalam plot A adalah 61 rumpun / 500 m2 atau 1220 rumpun per ha. Pengamatan rumput dalam plot A diketahui bahwa rumput tersebar pada semua sub plot sehingga nilai frekuensi persebarannya adalah 100 %. Coverage oleh rumput pada setiap sub plot bervariasi yaitu A7 sebesar 22,88 m2, A9 sebesar 12,03m2, A13 sebesar 36,37m2, A17 sebesar 10,20m2 dan A19 sebesar 38,18m2. Dengan demikian diketahui coverage rumput dalam plot A sebesar 23,93 %. Plot B. Lantana yang tumbuh dalam semua sub plot pengamatan dalam plot B. Hal ini menunjukkan bahwa lantana memiliki nilai frekuensi 100 % dalam plot B. Luas area penutupan lantana mencapai lebih 50% dari masing-masing luas sub plot, yaitu B7 terdapat 7 rumpun dengan penutupan sebesar 52,89m2 , B9 terdapat 10 rumpun dengan penutupan sebesar 59,90m2, B13 terdapat 11 rumpun dengan penutupan sebesar 67,60m2, B17 terdapat 11 rumpun dengan penutupan sebesar 90,37m2 dan B19 terdapat 15 rumpun dengan penutupan sebesar 131,75m2. Dengan demikian dapat diketahui bahwa rata-rata penutupan lantana pada plot B seluas 80,51%. Area Penutupan yang besar ini menunjukkan bahwa Lantana sangat dominan pada semua sub plot pengamatan. Kepadatan lantana dalam plot B diperkirakan 54 rumpun / 500 m2 atau 1080 rumpun per ha. Rumput-rumputan (grasses) memiliki frekuensi sekitar 80 % dari 5 sub plot pengamatan karena pada sub plot B17 tidak ditemukan rerumputan. Area penutupan rumput juga bervariasi yaitu B7 =52,89m2, B9 = 29,20m2, B13=10,70m2 dan B19= 4,0 m2. Ratarata area penutupan rumput sebesar 19,36%. HASIL DAN PEMBAHASAN Vegetasi yang tampak sangat dominan paska kebakaran di kawasan bekas kebakaran adalah temblekan = kerasi ( Lantara camara ) dan rumput serta beberapa jenis tumbuhan berkayu. Hasil pengamatan terhadap kerasi, rumput dan tumbuhan berkayu adalah sebagai berikut A. Pengamatan Lantana camara dan Rumput Plot A. Lantana camara yang tumbuh pada plot A tersebar pada 5 sub plot pengamatan yaitu A7, A9, A13, A17 dan A19. Dengan demikian nilai frekuensi persebaran lantana dalam plot A adalah 100 %. Jumlah lantana pada setiap sub plot bervariasi yaitu pada Sub plot A7 terdapat 10 rumpun dengan coverage 44,096 m2, A9 sebanyak 15 rumpun dengan coverage 42,34m2, Gambar 1. Lantana yang mampu mencapai tinggi 4,0 m Plot C Lantana yang tumbuh di plot C tidak sepadat yang ada di plot B. Walaupun demikian lantana terdapat pada semua subplot pengamatan, berarti nilai frekuensi lantana dalam plot ini mencapai 100 %. Luas area penutupan pada setiap sub plot pengamatan juga bervariasi yaitu C7 terdapat 8 rumpun dengan penutupan sebesar 69,70m2, C9 terdapat 11 rumpun dengan penutupan sebesar 75,25m2, C13 terdapat 4 rumpun dengan penutupan sebesar 8,73m2, C17 terdapat 6 rumpun dengan penutupan sebesar 50,11m2, C19 terdapat 12 rumpun dengan penutupan sebesar 34,36m2. Dengan demikian rata-rata penutupan lantana 47 mencapai 47,63% dari luas plot C.. Kepadatan lantana dalam plot C adalah 41 rumpun / 500 m2 atau 820 rumpun per ha. Pada sub plot C17 tidak ada rerumputan sehingga nilai frekuensi pada rumput 80 %. Area penutupan juga bervariasi yaitu C7= 25,94m2, C9 =43,97m2, C13 = 63,59m2, C19 = 39,84m2 dengan ratarata 34,67 m2. Dengan demikian dapat disebutkan bahwa area penutupan oleh rerumputan dalam plot C seluas 34,67 % Plot D Lantana yang tumbuh pada Plot D terdapat pada semua sub plot pengamatan yang terdiri dari sub plot D7, D9, D13, D17 dan D19. Ini berarti nilai frekuensi penyebaran lantana dalam plot ini adalah 100 %. Jumlah lantana pada sub plot D7 sebanyak 18 rumpun dengan cover area sebesar 46,99 m2, sub plot D9 sebanyak 12 rumpun dengan cover area sebesar 42,46m2, pada sub plot D13 terdapat 6 rumpun dengan cover area sebesar 46,65 m2,pada sub plot D17 sebanyak 15 rumpun dengan cover area sebesar 71,30 m2 dan pada sub plot D19 terdapat 12 rumpun dengan cover area sebesar 54,05 m2. Dengan demikian rata-rata penutupan (coverage) lantana sebesar 52,29 % dari luas plot D. Kepadatan lantana pada Plot D adalah 63 rumpun / 500m2 atau 1260 rumpun / ha. Pengamatan pada rumput (grass) diketahui bahwa rumput hanya tersebar pada 3 sub plot yaitu D7, D9 dan D19 sehingga nilai frekuensi rumput dalam plot D sebesar 60 %. Cover area dari rumput pada sub plot D7 sebesar 30,13 m2, D9 sebesar 42,37 m2 dan D19 sebesar 46,08 m2. .Dengan demikian rata rata penutupan (coverage) oleh rumput pada plot D sebesar 23,71 %. Perbandingan luas area penutupan oleh lantana dan rumput pada setiap plot dapat dilihat pada Tabel 1. berikut : Tabel 1. Perbandingan nilai coverage oleh lantana dan rumput Plot Lantana Pengamatan Frekuensi Kepadatan Coverage (%) (%) /ha (rumpun) A 100,00 1220 44,61 B 100,00 1080 80,51 C D Rata-rata 100,00 100,00 100,00 820 1260 1095 Dari Tabel 1 diketahui nilai frekuensi dan coverage pada lantana lebih tinggi dari pada rumput. Perbedaan ini menunjukkan kemampuan lantana untuk melakukan ekspansi wilayah pertumbuhannya lebih tinggi dari pada rerumputan. Rerumputan memeliki kelemahan selain memiliki habitus yang rendah dan tidak dapat tumbuh pada lokasi yang ternaungi oleh kanopi tumbuhan lain. Selain itu lantana tidak disukai ternak / binatang sebagai pakan (Whitten, dkk, 1999) sehingga pertumbuhannya tidak mengalami gangguan seperti pada rerumputan.. Kepadatan lantana pada setiap plot juga berbeda, karena dipengaruhi oleh kesuburan lahan dari setiap plot. Windadri &Valkenburg (1999) melaporkan bahwa kerasi atau temblekan ini menyukai tempat terbuka dan toleran pada lokasi yang naungannya ringan. Lokasi yang subur dengan drainase yang baik sangat digemari oleh kerasi. B.Tumbuhan Berkayu Plot A Jenis-jenis tumbuhan berkayu yang tumbuh dalam plot A terdiri tidak berbeda dengan yang tumbuh dalam Plot B, C dan D. Terdapat 12 jenis tumbuhan berkayu yaitu walikukun, delimoan, kayu pahit (kayu ular), kalak, rukem, kneli, tekik, talok, pihlang, secang , pule pandak, dan ketket. Walikukun, kneli dan kalak tersebar pada semua subplot pengamatan sehingga frekuensinya 100 % sedangkan rukem, kayu pahit dan ketket nilai frekuensinya 80 %, dan jenis-jenis yang lain frekuensinya antara 20 – 40 %.. Di dalam plot ini muncul beberapa jenis tumbuhan berkayu yang tahan kering dari suku Fabaceae yaitu asam, pihlang, tekik. Plot B 47,63 52,29 56,26 Rumput Frekuensi (%) 100,00 80,00 Coverage (%) 23,93 19,36. 80 ,00 34,67 60,00 23,71 80,00 25,17 Jenis-jenis tumbuhan berkayu yang ditemukan dalam Plot B bervariasi, tetapi tanaman rukem ditemukan pada semua sub plot pengamatan berarti memiliki nilai frekuensi 100 %.Sedangkan kayu pahit dan walikukun hanya terdapat pada 4 sub plot saja jadi frekuensinya 80%. Jenis tumbuhan berkayu lain yang ada dalam plot ini adalah sonokeling, delimoan, asam, binori, pulepandak, hammar, kapasan dan tekik. Terdapat juga tanaman kayu yang merambat adalah kalak nasi. Sebagian besar tumbuhan berkayu ini memiliki diameter batang lebih kecil dari 5,0 cm kecuali tanaman asam yang tahan terhadap kebakaran api. Plot C Jenis-jenis tumbuhan berkayu yang ada dalam plot C tidak berbeda dengan yang ada di plot B yaitu walikukun, delimoan, rukem, kayu pahit, binori, hammer, kapasan, laban, sonokeling, pulepandak, kalaknasi, talok dan asam. Jenis walikukun, kayu pahit, delimoan adalah tumbuhan berkayu yang didapat pada semua sub plot pengamatan berarti memiliki nilai frekuensi 100 % sedangkan binori memiliki nilai frekuensi 80 %. Di dalam plot ini terdapat satu jenis tumbuhan berkayu yang merambat yang dalam bahasa daerah disebut katket (Triphasia trifoliata ) yang memiliki area penutupan seluas 46,0 m2. Plot D Jenis-jenis tumbuhan berkayu yang berada dalam Plot D tidak berbeda dengan Plot B dan C yaitu sebanyak 11 jenis. Jenis-jenis tersebut adalah; walikukun, delimoan, sonokeling, kayu pahit (kayu ular), kalak, rukem, kneli, tekik, talok, laban dan ketket. Walikukun tersebar pada semua plot pengamatan sehingga frekuensinya 100 % sedangkan delimoan dan kalak memi8liki ilai frekuensi sebesar 80 %, kayu 48 pahit dan ketket 60%, dan jenis-jenis yang lain frekuensinya antara 20 – 40 %.. Ketket dan kalak adalah tanaman berkayu yang dapat merambat pada pohon yang besar, tetapi ketika masih kecil tumbuh sebagai perdu / semak. Daftar Jenis tumbuhan berkayu dalam plot Penelitian tertera pada Tabel 2. Tabel 2. Jenis-Jenis Tumbuhan Berkayu Dalam Plot Penelitian No Nama lokal Nama ilmiah 01 Sonokeling Dalbergia latifolia Roxb 02 Hammer Bridelia tomentosa Blume 03 Semplak Sida acuta Burm.f 04 Laban Vitex glabrata R.Br 05 Talok Trema orientalis (L) Bl 06 Camplok Hibiscus tiliaceus L 07 Walikukun Shoutenia ovata Korth 08 Katket bukal Zyzyphus oenoplia Mill 09 ketket Triphasia trifoliata DC 10 Pulepandak Tabernaemontana pandacaqui Lam 11 Kalak biu Uvaria rufa Blume 12 Kalak nasi Uvaria purpurea Blume 13 Kneli Bridelia ovata Decne 14 Rukam Flacourtia indica (Burm.f)Merr 15 Bun dingin Cordia mixa L 16 Kapasan Doryxylon spinosum Zoll 17 Delimoan Vangueria spinosa Roxb 18 Tekik Albizia lebbeckoides Benth 19 Putian Croton argyratus Blume 20 Kayu pahit Strychnos lucida R.Br 21 Binori Calotropis gigantean Willd 22 Secang Caesalpinia sappan L. 23 Asam Tamarindus indica L 24 Pihlang Acacia leucophloea (Roxb.) Willd Suku Fabaceae Euphorbiaceae Malvaceae Verbenaceae Ulmaceae Malvaceae Tiliaceae Rhamnaceae Rutaceae Apocynaceae Annonaceae Annonaceae Euphorbiaceae Flacourtiaceae Boraginaceae Euphorbiaceae Rubiaceae Fabaceae Euphorbiaceae Loganiaceae Asclepiadaceae Fabaceae Fabaceae Fabaceae Gambar 2. Beberapa jenis tumbuhan berkayu ( walikukun, kapasan, sonokeling dan binori) Gambar 3. Kalak sebagai buah local liar dalam area bekas kebakaran Berdasarkan uraian diatas diketahui terdapat beberapa jenis tumbuhan barkayu yang persebarannya cukup luas dalam area kebakaran yaitu walikukun, kayu pahit, delimoan, rukem dan kalak. Pertumbuhan walikukun (Shoutenia ovata) sulit menjadi pohon besar karena selain pertumbuhannya agak lamban dan juga sering dipangkas oleh masyarakat local sebagai pakan ternak dan kayu bakar. Kayu pahit (Strychnos lucida), rukem (Flacourtia indica) dan delimoan (Vangueria spinosa) adalah tumbuhan yang memiliki duri panjang 49 dengan habitus yang rendah, berkasiat obat dan juga dipakai sebagai kayu bakar sehingga sering dipotong batangnya oleh masyarakat local. Kalak (Uvaria sp ) memiliki 2 jenis yaitu kalak nasi (Uvaria purpurea) dan kalak biu (Uvaria rufa) adalah tumbuhan berkayu yang dapat merambat pada pohon-pohon besar. Tumbuhan ini menghasilkan buah yang rasanya agak asam. Warna buah merah menyala sehingga menjadi makanan monyet, babi dan burung. Ketiga jenis binatang ini yang membantu persebaran tumbuhan kalak ini. Tanaman ini berpotensi untuk dikembangkan sebagai buah tropic yang kaya akan vitamin C. Batang tanaman kalak sering dipangkas untuk dijadikan kayu bakar sehingga bentuk tanaman menjadi pendek. C. Pemangkasan pada Lantana Pemangkasan batang lantana pada akhir musim hujan dapat mempertahankan pertumbuhan lantana pada musim kemarau yaitu pada bulan Agustus (selama 5 bulan) dengan menumbuhkan tunas yang lebih banyak. Lantana yang tidak dipangkas mengalami pengguguran daun. Data pertumbuhan lantana yang dipangkas terlihat pada Tabel 3 berikut. Tabel 3.Pertumbuhan Lantana camara selama 5 bulan setelah dipangkas. No Jumlah tunas induk Jumlah tunas baru (setelah Tinggi (awal) / rumpun pangkas) / rumpun (cm) 1 5 26 141 2 5 26 106 3 5 34 150 4 2 17 86 5 1 2 83 6 3 22 126 7 3 30 80 8 4 37 144 9 5 25 72 10 6 24 90 11 4 27 92 12 5 37 120 13 1 7 119 Rata3,77 23,38 108,230 rata Dari Tabel ini diketahui bahwa pemangkasan batang merangsang pertumbuhan tunas sehingga menghasilkan jumlah tunas yang lebih banyak. Ratarata pertambahan tunas meningkat sebanyak 520 % setelah dipangkas. Pertumbuhan tinggi lantana selama 5 bulan sekitar 108,23 cm dan diameter tajuk 99,88 cm dengan rata-rata coverage sekitar 0,8380 m2 . Windadri &Valkenburg (1999) mengungkapkan bahwa upaya tebas bakar pada lantana akan menumbuhkan kemmbali tanaman lantana dengan tunas-tunas yang lebih banyak. Oleh karena itu perlu upaya lain untuk mengendalikan pertumbuhan lantana antara lain dengan menggunakan biological control. Pertambahan jumlah tunas akibat pemangkasan ini sebagai reaksi dari dominansi apical yang merangsang pertumbuhan srisip dari kuncup basal (Gardner, dkk, 1991) D. Beberapa Jenis Pohon yang Tahan Kering Kawasan Taman Nasional Bali Barat di kenal sebagai hutan gugur daun (deciduous forest). Pengamatan pada bulan Agustus 2012 di dalam hutan ini. Suhu udara pada bulan Agustus pada siang hari relative tinggi hingga mencapai 30 – 33 0C dengan kelembaban udara sekitar 60 -70 % dan cahaya matahari yang sangat terik. Kondisi suhu udara yang tinggi dan cahaya matahari yang terik ini berpengaruh pada vegetasi hutan dalam taman nasional Bali Barat. Kondisi hutan menjadi terang benderang karena banyak pohon di dalamnya telah mengalami gugur daun sehingga tampak tegakan batang pohon dengan cabang dan rantingnya. Diameter (cm) 117 103,5 161,5 92,5 62 110 98,5 121,5 79,5 70 88 123 71,5 99,88 tajuk Coverage (m2) 1, 0745 0, 8409 2, 0474 0,6716 0,3017 0, 9498 0,7616 1,1588 0,4961 0, 3846 0, 6079 1,1973 0, 4013 0,8380 Gambar 4. Salah satu site dari Hutan Gugur daun (deciduous forest) di Taman Nasional bali Barat Rumput-rumput yang menjadi pakan hewan herbivora telah kering kerontang sehingga rusa mengalami kekurangan pakan. Badan rusa menjadi kurus, dan rusa tidak takut memasuki area perkantoran di Stasiun SERC yang relative hijau karena selalu disiram setiap hari. Gambar 5. Rusa memasuki area perkantoran 50 Walaupun sebagian besar pohon telah meluruhkan daunnya namun masih terdapat beberapa jenis pohon dan tumbuhan berkayu lainnya masih memiliki hijauan (daun). Jenis-jenis pohon yang masih memiliki daun tertera pada Tabel 4 berikut : Tabel 4. Jenis Pohon yang masih berdaun hingga pada bulan Agustus. No Nama lokal Bali Nama Ilmiah 01 Katket bukal Zyzyphus oenoplia 02 Trengguli Cassia fistula 03 Kosambi Schleichera oleosa 04 Intaran Azadirachta indica 05 Asam Tamarindus indica 06 Beringin Ficus benjamina 07 Jeruk-jerukan Capparis micracantha 08 Tekik Albizia lebbeckoides 09 Pihlang Acacia leucophloea Dari 9 jenis yang terlihat berdaun di dalam hutan taman nasional Bali Barat ternyata ada 7 jenis yang pertama yaitu katket bukal,kosambi,intaran, trengguli, asam, beringin dan jeruk-jerukan adalah jenis yang sangat tahan terhadap kekeringan, sedangkan tekik dan pihlang, tampaknya terjadi juga peluruhan daun namun secara cepat tumbuh kembali tunas sehingga menghasilkan daun-daun baru. Gambar 6. Beberapa jenis pohon yang tahan kering (Kosambi, intaran jeruk-jerukan) Pengamatan Jenis –jenis tumbuhan berkayu di hutan Pahlengkong yang tumbuh bersama kerasi, walaupun daun kerasi sudah semuanya rontok, namun jenis-jenis tumbuhan berkayu yang berupa semak ini masih menghasilkan daun hijau. Pada hal cabang yang berdaun hijau ini sering dipangkas masyarakat untuk pakan ternak dan kayu bakar. Jenis tumbuhan berkayu tersebut adalah walikukun (Shoutenia ovata), sonokeling (Dalbergia latifolia) , binori (Callotrophis gigantea), laban (Vitex glabrata), delimoan (Vangueria spinosa), kayupahit (Strychnos lucida), rukem (Flacourtia indica) dan kalak (Uvaria purpurea). Jenis- Suku Rhamnaceae Fabaceae Sapindaceae Meliaceae Fabaceae Moraceae Caapparidaceae Fabaceae Fabaceae jenis tersebut adalah jenis-jenis tumbuhan yang tahan kering. UPAYA PEMULIHAN Umumnya tumbuhan yang tumbuh awal paska kebakaran adalah jenis-jenis pionir yang menyukai tempat terbuka. Jenis-jenis pionir umumnya berasal dari suku Euphobiaceae, Moraceae, dan Asteraceae ( Riswan & Yusuf, 1986). Jenis-jenis pionir yang termasuk suku Euphorbiaceae dalam taman nasional Bali Barat adalah kapasan, kayu hutan, malaman, mericaan, anting-anting, paska pasang, Termasuk suku Moraceae adalah awar, kresik, banjan dan termasuk suku Asteracea adalah nyawon, sembung, krinyu, kerasi (Untara, dkk, 2009) Primack dkk, (1998) menjelaskan bahwa lokasi-lokasi yang mengalami degredasi (misalnya akibat kebakaran) jika diabaikan atau tidak dilakukan pemulihan (restorasi) akan didominasi oleh jenis-jenis gulma dan jenis-jenis tumbuhan pendatang (invasive species) yang menyebabkan komunitas hayati tidak produktif dan mengalami kelainan dibandingkan dengan daerah sekitarnya, sehingga tak berharga secara konservasi dan hilang nilai estetikanya. Di taman nasional Bali Barat ditemukan beberapa jenis tumbuhan invasive yaitu adalah Lantana camara, Chromolaena odoratum, Acacia nilotica dan Jatropha gosympifolium. Windadri &Valkenburg (1999) melaporkan bahwa pertumbuhan lantana (temblekan) agak toleran ditempat ternaung namun menjadi dominan pada lokasi yang terbuka atau sebagai understorey pada hutan-hutan topic yang terbuka. Lantana telah menjadi tumbuhan pengganggu di ladang, perkebunan dan padang penggembalaan. Pengendalian dengan cara tebas bakar akan menghasilkan pertumbuhan kembali dengan tunastunas baru yang lebih banyak. Primack, dkk (1989) mengungkapkan ada 4 langkah utama uuntuk mengembalikan komunitas hayati dan ekosistemnya yaitu; tanpa tindakan, dilakukan restorasi, rehabilitasi dan penggantian. Kegiatan restorasi dalam lahan bekas kebakaran ini dapat dilakukan setelah mendapat persetujuan dari pihak Pengelola TN Bali Barat dengan memperhatikan beberapa aspek antara lain ; 1. Memperhatikan jenisjenis pohon yang tumbuh dalam lokasi ini sebelum kebakaran dan menanam kembali jenis-jenis pohon tersebut, 2. Mengembangkan jenis –jenis pohon yang 51 saat ini telah tumbuh kembali pada lokasi kebakaran, 3. Mengembangkan jenis-jenis pohon yang berasal dari kawasan TN Bali Barat dan memiliki lingkungan yang mirip dengan lokasi kebakaran, 4. Restorasi mengarah kepada keanekaragaman flora dan tidak bersifat monokultur, 5. Kemungkinan restorasi dibiarkan berproses secara alami, namun membutuhkan waktu lama. Menurut Kartawinata (2011) bahwa restorasi dapat dilakukan dengan intervensi manusia agar proses suksesi dapat dipercepat. Restorasi intervensi yang dimaksudkan adalah melakukan penanaman jenis-jenis pohon yang sesuai dengan ekosistemnya. KESIMPULAN Dari penelitian ini dapat disimpulkan sebagai berikut : 1. Rata –rata penutupan lahan oleh Lantana camara (kerasi) sebesar 56,26 % sedangkan oleh rerumputan sekitar 25,17%. Rata-rata Kepadatan lantana per ha sebesar 1095 rumpun. 2. Pemangkasan batang lantana bukan merupakan cara yang tepat untuk mengendalikan persebaran lantana pada lokasi yang terdegredasi akibat kebakaran. Pemangkasan batang cenderung merangsang pertumbuhan tunas lantana dan mempertahankan daya hidup lantana terutama pada musim kemarau. 3. Terdapat 24 jenis tumbuhan berkayu yang tumbuh kembali pada area bekas kebakaran tersebut. Tumbuhan berkayu seperti walikukun, kayu pahit, rukem, delimoan dan kalak adalah jenis tumbuhan berkayu yang persebarannya cukup luas dalam area kebakaran ini dan tahan kekeringan. 4. Terdapat 7 jenis pohon yang tahan kering dalam kawasan Stasiun SERC yaitu katket bukal, kosambi, intaran, trengguli, asam, beringin dan jeruk-jerukan, sedangkan jenis tekik dan pihlang adalah jenis pohon yang juga menggugurkan daunnya namun memiliki kemampuan untuk menumbuhkan kembali tunas daun dalam waktu yang relative singkat. 5. Upaya pemulihan lokasi kebakaran perlu dilakukan dengan cara restorasi intervensi dengan terlebih dahulu melakukan pengendalian pertumbuhan temblekan (Lantana camara ). DAFTAR PUSTAKA Arief, A , 2001. Hutan Dan Kehutanan. Penerbit Kanisius Yogyakarta. 180 hal. Indriyanto, 2006. Ekologi Hutan. PT Bumi Aksara, Jakarta. 295 hal. Fachrul, M.F, 2007. Metode Sampling Bioekologi. Penerbit Sinar Grafika Offset, Jakarta. 198 hal. Gardner, F.P, Pierce, R.B & Mitchell, R.L, 1991. Physiology of Crop Plants. Diterjemahkan oleh Herawati Susilo dengan Judul Fisiologi Tanaman Budidaya. UI Press. 428 hal. Kartawinata, K ,2011. Taman Kehati Indonesia. Bahan Ceramah di Puslit Biologi, LIPI pada tanggal 12 Mei 2011. Cibinong. Primack, R.B, Supriatna, J, Indrawan,M & Kramadibrata,P, 1998. Biologi Konservasi. Yayasan Obor Indenesia, Jakarta. 345 hal. Riswan, S & Yusuf, R, 1984. Effects of Forest Fires on Trees in the low Land Dipterocarp Forest of East Kalimantan, Indonesia. In Proceedengs of the Symposium on Forest Regeneration in South East Asia. Biotrop Special Publication No. 25. Seameo- Biotrop. Bogor. P 155 – 163. Soegianto, A, 1994. Ekologi Kuantitatif. Penerbit Usaha Nasional, Surabaya, Indonesia. 173 hal. Untara, G,D, Kaesa, K.S, Ramadhan,R.R, Darmadja,B & Kusdyana IPG,A, 2009. Keanekaragaman Hayati Taman Nasional Bali Barat. Balai TN BB. 91 hal. Whitten, T, Soeriaatmadja, R.E & Afiff, S.A, 1999. Ekologi Jawa dan Bali. Seri Ekologi Indonesia. Jilid II. Prenhallindo, Jakarta. 969 hal. Windadri, F,I., van Valkenburg, J.L.C.H, (1999), Lantana L. Dalam Plant Resources of South East Asia 12. (1) Medicinal and Poisonous Plants I. Hal. 338 -342. Backhuys Publisher, Leiden.