BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Macaca fascicularis (monyet ekor panjang) selain digunakan sebagai hewan coba dalam penelitian biomedis juga dimanfaatkan sebagai hewan peliharaan (Eudey, 2008; Shepherd, 2008; Sussman dan Tattersall, 1986; Bonnotte, 2001). Satwa primata sebagai hewan peliharaan mempunyai kemungkinan besar sebagai sumber infeksi cacing seperti Strongyloides, Oesophagustonum, cacing pita, Toxocara, Ancylostoma, Ascaris dan Filaria (Soulsby, 1982). Beberapa penelitian telah menunjukkan bahwa satwa primata ini berpotensi sebagai sumber infeksi parasit bersifat zoonosis. Penelitian yang dilakukan oleh Chrisnawaty (2008) pada monyet ekor panjang di Pulau Tinjil, berhasil mengidentifikasi enam jenis cacing yang menginfeksi M. fascicularis diantaranya Hymenolepis, Ascaris sp., Oxyurid, Strongyl, Trichuris sp. dan Schistosoma. Macaca fascicularis asal beberapa hutan monyet di Bali ditemukan terinfeksi Ancylostoma, Ascaris sp., Taenia, Trichostrongylus sp., Trichuris sp., Enterobius dan Paragonismus (Lane, 2011). Beberapa jenis cacing yang dapat menginfeksi M. fascicularis yang digunakan dalam penelitian biomedis adalah nematoda (Trichuris trichiura, Enterobius spp., Ancylostoma duodenale, Necator americanus, Strongyloides stercoralis, Strongyloides fulleborni, Ternidens, Oesophagustonum sp., Ascaris lumbricoides, Trichostrongylus colubriformis), cestoda (Hymenolepis nana dan Bartiella spp.) dan trematoda (Fasciolopsis buski, Watsonius watsoni dan Gastrodiscoïdes homini) (Lacoste, 2009). Berdasarkan sejarah evolusi antara manusia dan satwa primata, kerusakan habitat dan sempitnya hospes spesifik untuk beberapa parasit, dapat menimbulkan resiko kemunculan penyakit dan potensi tinggi menular dari satwa primata ke manusia (Schrag dan Weiner, 1995; Wolfe et al. 1998; Jones-Engel et al. 2004). Chapman et al. (2005) berhasil mengisolasi cacing saluran pencernaan yang menginfeksi primata dan manusia di Taman Nasional Kibale, Uganda diantaranya 1 2 Trichuris sp., Strongyloides Oesophagostonum stephanostonum, fulleborni, Strongyloides stericalis, Colobenterobius sp., Enterobius sp., Streptopharagus sp., Ascaris sp. sp. Bertiella sp. Kagein et al. (1992) mempublikasikan dua kasus Bertiellosis pada manusia di Sumatra Utara tersebab Bertiella studeri. Tiga kasus serupa juga dilaporkan terjadi di Jepang (Ando et al., 1996). Bertiella studeri merupakan cestoda yang umum ditemukan pada monyet di Afrika dan Asia (Stunkard, 1940). Monyet ekor panjang tidak umum digunakan sebagai hewan peliharaan di Bali. Tetapi, berdasarkan wawancara dengan pedagang satwa ini di Pasar Satria, penjualan dapat mencapai 6-7 ekor per minggu atau rata-rata satu ekor terjual setiap harinya. Hal ini menunjukkan bahwa masyarakat cukup berminat untuk memelihara monyet sebagai hewan peliharaan. Prevalensi infeksi parasit saluran cerna monyet yang dipelihara sebagai hewan kesayangan di Sulawesi mencapai 59,1% (Jones-Engel et al., 2004). Pasar Satria merupakan satu tempat yang strategis untuk penularan penyakit parasit dari M. fascicularis ke manusia. Setiap pengunjung pasar dapat berinteraksi secara langsung dengan hewan yang diperjualbelikan. Interaksi antara manusia dan M. fascicularis akan semakin tinggi jika monyet dibeli dan digunakan sebagai hewan peliharaan. 1.2 Identifikasi Masalah Dari latar belakang di atas dapat diidentifikasi beberapa masalah: 1. Jenis cacing apa saja yang menginfeksi saluran pencernaan M. fascicularis yang diperdagangkan di Pasar Satria. 2. Seberapa tinggi intensitas kecacingan pada M. fascicularis yang diperdagangkan di Pasar Satria. 3. Seberapa tinggi prevalensi kecacingan pada M. fascicularis yang diperdagangkan di Pasar Satria. 3 1.3 Tujuan Penelitian Tujuan penelitian ini adalah untuk mengetahui : 1. Jenis cacing yang menginfeksi saluran pencernaan M. fascicularis yang diperdagangkan di Pasar Satria. 2. Intensitas kecacingan pada M. fascicularis yang diperdagangkan di Pasar Satria. 3. Prevalensi kecacingan pada M. fascicularis yang diperdagangkan di Pasar Satria. 1.4 Manfaat Penelitian Hasil penelitian ini dapat memberikan informasi mengenai jenis cacing yang menginfeksi M. fascicularis yang diperdagangkan, utamanya jenis cacing yang dapat ditularkan ke manusia (zoonosis). 4 1.5 Kerangka Pemikiran Hospes (M. fascicularis) - Jenis kelamin - Umur - Tingkah laku - Tingkat stres selama perjalanan Lingkungan a. Habitat asli -Distribusi pakan - Tipe vegetasi - Faktor Abiotik b. Saat transport/ Pasar Satria -kondisi kandang Agen infeksi (Cacing) - Siklus hidup , - Model transmisi - Hospes spesifik Faktor yang mempengaruhi terjadinya infeksi cacing pada M. fascicularis adalah kondisi hospes (M. fascicularis), agen infeksi (cacing), dan lingkungan. Macaca fascicularis memiliki faktor resiko terinfeksi cacing saluran pencernaan diantaranya jenis kelamin, umur, tingkah laku dan tingkat stres. Tingkah laku M. fascicularis berupa grooming dan foraging merupakan media transmisi terjadinya infeksi. Selain itu, transportasi M. fascicularis dari habitat aslinya menuju Pasar Satria dapat mengakibatkan stres sehingga daya tahan tubuh terhadap infeksi menurun. Faktor agen (cacing) juga berperan dalam kejadian infeksi. Ditemukannya telur cacing pada pemeriksaan feses sangat dipengaruhi oleh siklus 5 hidup setiap spesies cacing. Jika terjadi infeksi, akan semakin mudah menemukan telur cacing yang berasal dari spesies cacing yang memiliki periode prepaten yang pendek. Model transmisi infeksi cacing dapat melalui tertelannya telur infektif atau larva infektif, infeksi oleh larva menembus kulit hospes atau merupakan kombinasi keduanya. Semakin bervariasi model transmsi akan meningkatkan kemungkinan infeksi. Selain faktor hospes dan agen infeksi, kondisi lingkungan tempat hidup M.fascicularis juga sangat berpengaruh terhadap terjadinya infeksi. Cacing membutuhkan suhu dan kelembaban tertentu untuk dapat hidup. Pakan yang dikonsumsi oleh M. fascicularis baik yang tersedia di alam maupun yang diberikan oleh pedagang sangat berpengaruh terhadap daya tubuh melawan infeksi dari beberapa penyakit, sekaligus menjadi satu media yang menjadi sumber infeksi. Transmisi penyakit dapat terjadi secara horizontal maupun vertikal. Transmisi horizontal terjadi antara individu yang satu ke individu lain. Transmisi horizontal dapat terjadi secara langsung (kontak fisik) dengan bentuk infektif cacing dan tidak langsung (hospes perantara) (Thrushfield, 2005).