BAB 1 PENDAHULUAN A. Latar Belakang Tuberkulosis merupakan penyakit infeksi menular yang sampai saat ini masih menjadi masalah kesehatan masyarakat. Menurut data Survei Kesehatan Rumah Tangga (SKRT) tahun 1995, tuberkulosis merupakan penyebab kematian ketiga terbesar setelah penyakit kardiovaskular dan penyakit saluran pernafasan, dan merupakan nomor satu terbesar dalam kelompok penyakit infeksi (Ditjen Binfar dan Alkes, 2005). Pada tahun 1990-an, situasi TB di dunia semakin memburuk, jumlah kasus TB meningkat dan banyak yang tidak berhasil disembuhkan, sehingga pada tahun 1993 WHO mencanangkan TB sebagai kedaruratan dunia (global emergency). Pada tahun 2013 dilaporkan terdapat 9 juta kasus TB baru di dunia, lebih dari 56% penemuan kasus baru berasal dari Asia Tenggara dan Daerah Pasifik Barat (WHO, 2014). Indonesia merupakan negara dengan pasien TB terbanyak keempat di dunia setelah India, Cina, dan Afrika Selatan. Diperkirakan jumlah pasien TB di Indonesia mencapai sekitar 5,8% dari total jumlah pasien TB di dunia. Setiap tahun diperkirakan terdapat 429.730 kasus baru dan angka kematian akibat TB sebanyak 62.246 orang (Kemenkes, 2011). Penemuan penderita tuberkulosis di Provinsi DIY pada tahun 2009 mencapai 52,6% dan mengalami kenaikan pada tahun 2010 menjadi 53,3%. Suspek TB di DIY pada tahun 2012 1 2 sebanyak 18.457 dengan penemuan suspek terbanyak berasal dari puskesmas yaitu 10.305 (56%) (Dinkes DIY, 2013). Pengendalian Tuberkulosis di Indonesia sudah berlangsung sejak setelah perang kemerdekaan, pada saat itu TB ditanggulangi melalui Balai Pengobatan Penyakit Paru Paru (BP-4). Sejak tahun 1969 pengendalian TB dilakukan secara nasional melalui puskesmas. Obat anti tuberkulosis (OAT) yang digunakan adalah paduan standard Isoniazid (INH), Para Amino Salisilat (PAS) dan Streptomisin yang digunakan selama satu sampai dua tahun. Penggunaan Para Amino Salisilat (PAS) kemudian diganti dengan Pirazinamid. Sejak tahun 1977 mulai digunakan paduan terapi OAT jangka pendek yang terdiri dari INH, Rifampisin, Pirazinamid dan Ethambutol yang digunakan selama 6 bulan. Pada tahun 1995, program nasional pengendalian TB mulai menerapkan strategi Directly Observed Treatment Shortcourse (DOTS) dan dilaksanakan di puskesmas secara bertahap. Selanjutnya sejak tahun 2000 strategi DOTS dilaksanakan secara nasional di seluruh fasilitas pelayananan kesesehatan terutama puskesmas yang diintegrasikan dalam pelayanan kesehatan dasar. Strategi DOTS merupakan strategi dalam pengendalian TB yang fokus utamanya adalah penemuan dan penyembuhan pasien, prioritas kepada pasien TB tipe menular (Ditjen PP dan PL, 2011). Untuk mencapai keberhasilan pengobatan tidak hanya menjadi tanggung jawab pasien namun harus dilihat bagaimana faktor lain yang dapat mempengaruhi perilaku pasien dalam melengkapi pengobatannya dan mematuhi 3 pengobatan. Banyak faktor yang berhubungan dengan kepatuhan terhadap terapi TB paru, termasuk karakteristik pasien, regimen pengobatan dan hubungan antara petugas pelayanan kesehatan dengan pasien (WHO, 2003). Untuk menanggulangi masalah TB di Indonesia, strategi DOTS yang direkomendasikan oleh WHO merupakan pendekatan yang paling tepat untuk saat ini, dan harus dilakukan secara sungguh-sungguh dimana salah satu komponen dari strategi DOTS tersebut adalah pengobatan dengan panduan OAT jangka pendek dengan pengawasan langsung oleh Pengawas Menelan Obat (PMO) (Ditjen Binfar dan Alkes, 2005). Strategi DOTS dilaksanakan untuk dapat meningkatkan kepatuhan. Kepatuhan adalah sejauh mana perilaku pasien dalam keteraturan mengambil obat sesuai dengan rekomendasi dari dokter atau perawat. Pasien harus berperan aktif dalam proses pengobatan. Kepatuhan pasien biasanya dilaporkan berdasarkan persentase dari jumlah obat yang harus diberikan dengan obat yang benar-benar diambil oleh pasien selama terapi berlangsung (Anyaike, 2013). Kemungkinan ketidakpatuhan penderita selama pengobatan TB sangatlah besar. Ketidakpatuhan ini dapat terjadi karena beberapa hal, diantaranya adalah pemakaian obat dalam jangka panjang, jumlah obat yang diminum cukup banyak serta kurangnya kesadaran dari penderita akan penyakitnya. Oleh karena itu perlu peran aktif dari tenaga kesehatan sehingga keberhasilan terapinya dapat dicapai (Ditjen Binfar dan Alkes, 2005). 4 Keberhasilan pengobatan dilihat dari angka kesuksesan pengobatan. Kualitas pengobatan TB di DIY berdasarkan laporan program P2M yang terdapat dalam Profil Kesehatan DIY tahun 2013 disebutkan bahwa meskipun dari tahun ke tahun terus meningkat namun angka kesembuhan masih rendah yaitu baru mencapai 84,07% (target 85%) (Dinkes DIY, 2013). Angka kesuksesan (Success Rate) dapat dilihat dari angka kesembuhan dan pengobatan lengkap tuberkulosis paru. Berdasarkan profil kesehatan Kabupaten Bantul, angka kesuksesan pada tahun 2013 dilaporkan sebesar 85,23% dan angka kesembuhan sebesar 79,75%. Angka kesembuhan pada tahun 2013 menurun dibandingkan tahun 2012 sebesar 86,12 dan angka kesembuhan ini di provinsi DIY juga berada di bawah target nasional (Dinkes Bantul, 2014). Penyediaan obat-obat anti TB dijamin oleh pemerintah untuk sarana pelayanan kesehatan, selain itu pemerintah juga telah mencukupi kebutuhan prakiraan kasus di seluruh Indonesia. Namun TB tetap belum dapat diberantas, bahkan diperkirakan jumlah penderita TB terus meningkat. Peningkatan jumlah penderita TB disebabkan oleh berbagai faktor, yakni kurangnya tingkat kepatuhan penderita untuk berobat dan meminum obat, timbulnya resistensi ganda, kurangnya daya tahan hospes terhadap mikobakteria, berkurangnya daya bakterisid obat yang ada, meningkatnya kasus HIV/AIDS dan krisis ekonomi (Ditjen Binfar dan Alkes, 2005). Melihat data yang ada, kasus tuberkulosis di dunia maupun di Indonesia yang cukup besar dan penyakit tuberkulosis merupakan penyakit menular yang 5 angka kejadiannya terus meningkat, maka peneliti memandang perlu dilakukan suatu penelitian untuk mengkaji permasalahan kepatuhan terapi pengobatan pada pasien tuberkulosis yang merupakan penentu angka kesembuhan. Penelitian ini dilakukan di Puskesmas Kabupaten Bantul yang merupakan salah satu fasilitas pelayanan kesehatan di wilayah provinsi DIY yang memiliki penemuan suspek cukup banyak. B. Rumusan Masalah Berdasarkan latar belakang di atas maka peneliti dapat menyusun rumusan masalah sebagai berikut : 1. Bagaimana pola pengobatan yang dijalankan oleh pasien tuberkulosis paru dewasa di Puskesmas Kabupaten Bantul periode Desember 2014 - Maret 2015? 2. Bagaimana gambaran tingkat kepatuhan pasien dalam menjalankan pengobatan tuberkulosis di Puskesmas Kabupaten Bantul? 3. Apa faktor yang mempengaruhi kepatuhan pasien dalam menjalankan pengobatan tuberkulosis di Puskesmas Kabupaten Bantul? C. Tujuan Penelitian 1. Mengetahui pola pengobatan yang dijalankan oleh pasien tuberkulosis paru dewasa di Puskesmas Kabupaten Bantul. 2. Mengetahui tingkat kepatuhan pasien dalam tuberkulosis di Puskesmas Kabupaten Bantul. menjalani pengobatan 6 3. Mengatahui faktor-faktor yang mempengaruhi kepatuhan pengobatan tuberkulosis di Puskesmas Kabupaten Bantul. D. Manfaat Penelitian 1. Bagi pihak Puskesmas, penelitian ini dapat menjadi salah satu sumber informasi terkini mengenai gambaran kepatuhan pengobatan pasien TB paru. 2. Menjadi masukan untuk meningkatkan pelayanan medik penggunaan obat anti tuberkulosis dengan harapan dapat meningkatkan angka kesembuhan terapi pasien TB di Puskesmas Kabupaten Bantul. 3. Bagi penderita TB, bermanfaat untuk memberikan motivasi dan ilmu pengetahuan dalam menjalani terapi pengobatannya. 4. Bagi peneliti selanjutnya, dapat digunakan sebagai bahan pembanding dan pelengkap untuk penelitian selanjutnya. E. Tinjauan Pustaka 1. Penyakit Tuberkulosis a. Pengertian Tuberkulosis Tuberkulosis adalah penyakit menular langsung yang disebabkan oleh kuman TB (Mycobacterium tuberculosis). Kuman TB sebagian besar menyerang paru, tetapi dapat juga mengenai organ tubuh lainnya (Ditjen PP dan PL, 2011). Mikroorganisme penyebab tuberkulosis antara lain Mycobacterium tuberculosis, Mycobacterium bovis, Mycobacterium africanum, Mycobacterium microti, dan Mycobacterium canetti. 7 Mikroorganisme dengan prevalensi tertinggi adalah M. tuberculosis (Dept. Health, 2014). b. Epidemiologi Tuberkulosis Profil kesehatan Indonesia pada tahun 2013 menunjukkan bahwa ditemukan jumlah kasus baru Basil Tahan Asam positif (BTA+) sebanyak 196.310 kasus. Jumlah kasus tertinggi yang dilaporkan terdapat di provinsi dengan jumlah penduduk yang besar yaitu Jawa Barat, Jawa Timur, dan Jawa Tengah. Kasus baru BTA+ di tiga provinsi tersebut hampir sebesar 40% dari jumlah seluruh kasus baru di Indonesia (Kemenkes, 2014). Kementerian Kesehatan Republik Indonesia (Kemenkes RI) menetapkan target untuk penemuan kasus BTA+ diantara seluruh kasus TB paru sebesar 65% untuk setiap provinsi. Penemuan proporsi pasien baru BTA+ sampai dengan tahun 2013 diantara seluruh kasus belum mencapai target yang diharapkan meskipun tidak terlalu jauh berada di bawah target minimal yang sebesar 65%. Hal itu mengindikasikan kurangnya prioritas menemukan kasus BTA+. Namun, sebanyak 18 provinsi (54, 55%) telah mencapai target tersebut. Provinsi Sulawesi Tenggara mencapai angka penemuan tertinggi yaitu 95%, sedangkan angka penemuan terendah adalah wilayah Papua Barat yaitu 35%, sementara untuk wilayah Daerah istimewa Yogyakarta (DIY) memiliki proporsi pasien baru BTA+ diantara seluruh kasus yaitu sebanyak 48% (Kemenkes, 2014). 8 Penyakit tuberkulosis di DIY memiliki angka prevalensi TB pada tahun 2012 sebesar 76,88 per 100.000 penduduk meningkat dibandingkan tahun 2011 sebesar 69,65 per 100.000 penduduk. Prevalensi TB di DIY berfluktuatif setiap tahunnya antara 50 sampai 76 per 100.000 penduduk (Dinkes DIY, 2013). Penemuan kasus TB paru BTA+ di wilayah Kabupaten Bantul pada tahun 2013 sebesar 52,68% naik dibandingkan tahun 2012 yang dilaporkan sebesar 51,05. Jumlah kematian akibat TB paru dilaporkan sebesar 1,8 per 100.000 penduduk (17 orang) (Dinkes Bantul, 2014). c. Etiologi dan Patogenesis Tuberkulosis Tuberkulosis adalah penyakit menular langsung yang sebagian besar (80%) menyerang paru-paru. Mycobacterium tuberculosis pada umumnya menyerang paru-paru dan sebagian kecil organ tubuh lain. Kuman ini mempunyai sifat khusus, yakni tahan terhadap asam pada pewarnaan yang digunakan untuk identifikasi dahak secara mikroskopis sehingga disebut sebagai Basil Tahan Asam (BTA). Mycobacterium tuberculosis cepat mati ketika terkena sinar matahari secara langsung, tetapi dapat bertahan hidup pada tempat yang gelap dan lembab. Kuman TB yang telah masuk ke dalam tubuh manusia melalui pernafasan dapat menyebar dari paru kebagian tubuh lainnya, melalui sistem peredaran darah, sistem saluran limfe, saluran nafas, atau penyebaran langsung ke bagian-bagian tubuh lainnya (Ditjen Binfar dan Alkes, 2005). 9 Mycobacterium tuberculosis termasuk basil gram positif, berbentuk batang, dinding selnya mengandung komplek lipida-glikolipida serta lilin (wax) yang sulit ditembus zat kimia. Mycobacterium tuberkulosis mampu menginfeksi secara laten ataupun progresif (Ditjen Binfar dan Alkes 2005; Sukandar et al., 2013). Tuberkulosis secara klinis dapat terjadi melalui infeksi primer dan infeksi pasca primer. Infeksi primer terjadi saat seseorang terkena kuman TB untuk pertama kalinya. Waktu terjadinya infeksi hingga pembentukan komplek primer adalah sekitar 4-6 minggu. Infeksi terjadi melalui saluran pernafasan yaitu peradangan di dalam alveoli. Infeksi primer diinisiasi oleh implantasi organisme di alveolar melalui droplet nuclei yang sangat kecil (1-5 mm) untuk menghindari sel ephitelial siliari dari saluran pernapasan atas. Bila terimplantasi M. tuberculosis melalui saluran napas, mikroorganisme akan membelah diri dan dicerna oleh makrofag pulmoner, dimana pembelahan diri akan terus berlangsung, walaupun prosesnya lebih lambat (Ditjen Binfar & Alkes, 2005; Sukandar, 2013). Pada seseorang yang terinfeksi TB, kuman dapat menetap sebagai dormant. Kuman yang menetap sebagai dormant akan tertidur sampai beberapa tahun di dalam jaringan tubuh. Pada 90% orang yang terinfeksi M. tuberculosis mengalami infeksi laten tanpa adanya gejala yang timbul, hanya batuk dan nafas berbunyi. Pada orang-orang dengan sistem imun lemah dapat timbul radang paru hebat, ciri-cirinya batuk kronik dan bersifat 10 sangat menular. Masa inkubasi penyakit tuberkulosis sekitar 6 bulan. Infeksi paska primer terjadi setelah beberapa bulan atau tahun setelah infeksi primer. Ciri khas TB paska primer adalah kerusakan paru yang luas dengan terjadinya kavitas atau efusi pleura. Seseorang yang terinfeksi kuman TB belum tentu sakit atau tidak menularkan kuman TB. Kemungkinan untuk terinfeksi TB terdapat beberapa faktor yaitu kepadatan droplet nuclei yang infeksius per volume udara, lamanya kontak dengan droplet nuclei, dan kedekatan dengan penderita TB (Ditjen Binfar & Alkes, 2005; Zumla et al., 2013). d. Cara Penularan Tuberkulosis Sumber penularan tuberkulosis adalah pasien TB dengan BTA positif pada waktu batuk atau bersin, pasien menyebarkan kuman ke udara dalam bentuk percikan dahak (droplet nuclei). Sekali batuk dapat menghasilkan sekitar 3000 percikan dahak. Umumnya penularan terjadi dalam ruangan dimana percikan dahak berada dalam waktu yang lama. Ventilasi dapat mengurangi jumlah percikan, sementara sinar matahari langsung dapat membunuh kuman. Percikan dapat bertahan selama beberapa jam dalam keadaan yang gelap dan lembab. Daya penularan seorang pasien ditentukan oleh banyaknya kuman yang dikeluarkan dari parunya. Makin tinggi derajat kepositifan hasil pemeriksaan dahak, makin menular pasien tersebut. Faktor yang memungkinkan seseorang terpajan 11 kuman TB ditentukan oleh konsentrasi percikan dalam udara dan lamanya menghirup udara tersebut (Ditjen PP dan PL, 2011). e. Gejala Tuberkulosis Gejala utama pasien TB paru adalah batuk berdahak selama 2-3 minggu atau lebih. Batuk dapat diikuti dengan gejala tambahan yaitu dahak bercampur darah, batuk darah, sesak nafas, badan lemas, nafsu makan menurun, berat badan menurun, malaise, berkeringat malam hari tanpa kegiatan fisik, dan demam meriang lebih dari satu bulan. Gejalagejala tersebut diatas dapat dijumpai pula pada penyakit paru selain TB, seperti bronkiektasis, bronkitis kronis, asma, kanker paru, dan lain-lain. Mengingat prevalensi TB di Indonesia saat ini masih tinggi, maka setiap orang yang datang ke Fasyankes dengan gejala tersebut diatas, dianggap sebagai suspek pasien TB, dan perlu dilakukan pemeriksaan dahak secara mikroskopis langsung (Ditjen PP dan PL, 2011). f. Diagnosis Tuberkulosis Diagnosis tuberkulosis paru dilakukan dengan pemeriksaan 3 spesimen dahak dalam waktu 2 hari, yaitu sewaktu – pagi – sewaktu. Diagnosis TB Paru pada orang dewasa ditegakkan dengan ditemukannya kuman TB (BTA/Basil Tahan Asam). Penemuan BTA melalui pemeriksaan dahak mikroskopis merupakan diagnosis utama. Pemeriksaan lain seperti foto toraks, biakan dan uji kepekaan dapat digunakan sebagai penunjang diagnosis sepanjang sesuai dengan indikasinya. Diagnosis TB tidak hanya 12 berdasarkan hasil pemeriksaan foto toraks saja karena foto toraks tidak selalu memberikan gambaran yang khas pada TB paru (Kemenkes, 2009). Pada sebagian besar TB paru, diagnosis terutama ditegakkan dengan pemeriksaan dahak secara mikroskopis dan tidak memerlukan foto toraks. Namun pada kondisi tertentu, pemeriksaan foto toraks perlu dilakukan sesuai dengan indikasi sebagai berikut: 1) Hanya 1 dari 3 spesimen dahak Sewaktu-Pagi-Sewaktu (SPS) yang hasilnya BTA positif. Pada kasus ini pemeriksaan foto toraks dada diperlukan untuk mendukung diagnosis TB paru BTA positif. 2) Ketiga spesimen dahak hasilnya negatif, setelah 3 spesimen dahak SPS pada pemeriksaan sebelumnya hasilnya BTA negatif dan tidak ada perbaikan setelah pemberian antibiotika non OAT. 3) Pasien tersebut diduga mengalami komplikasi sesak nafas berat yang memerlukan penanganan khusus (seperti pneumotorak, pleuritis eksudativa, efusi perikarditis atau efusi pleural) dan pasien yang mengalami hemoptisis berat (untuk menyingkirkan bronkiektasis atau aspergiloma) (Kemenkes,2009). g. Klasifikasi Tuberkulosis Penentuan klasifikasi penyakit dan tipe penderita tuberkulosis memerlukan suatu definisi kasus yang memberikan batasan baku setiap klasifikasi dan tipe penderita. Penentuan klasifikasi penyakit dan tipe penderita penting dilakukan untuk menetapkan paduan OAT yang 13 sesuai dan dilakukan sebelum pengobatan dimulai. Terdapat empat hal yang perlu diperhatikan dalam menentukan definisi-kasus, yaitu organ tubuh yang sakit (paru atau ekstra paru), hasil pemeriksaan dahak secara mikroskopis langsung (BTA positif atau BTA negatif), riwayat pengobatan sebelumnya (baru atau telah mendapatkan obat), dan tingkat keparahan penyakit (ringan atau berat) (Ditjen Binfar dan Alkes, 2005). Klasifikasi berdasarkan organ tubuh yang diserang oleh kuman, maka tuberkulosis dibedakan dua yaitu (Kemenkes, 2009): 1) Tuberkulosis paru Tuberkulosis paru adalah tuberkulosis yang menginfeksi jaringan parenchym paru, tidak termasuk pleura (selaput paru). Tuberkulosis paru dibadakan menjadi dua jenis berdasarkan hasil pemeriksaan dahak, antara lain : a) Tuberkulosis Paru BTA Positif Sekurang-kurangnya 2 dari 3 spesimen dahak SPS hasilnya BTA positif. Satu spesimen dahak SPS hasilnya BTA positif dan foto rontgen dada menunjukkan gambaran tuberkulosis aktif. b) Tuberkulosis Paru BTA Negatif Pemeriksaan 3 spesimen dahak SPS hasilnya BTA negatif dan foto rontgen dada menunjukkan gambaran tuberkulosis aktif. Tuberkulosis Paru BTA negatif rontgen positif dibagi berdasarkan tingkat keparahan penyakitnya, yaitu bentuk berat dan ringan. 14 Bentuk berat bila gambaran foto rontgen dada memperlihatkan gambaran kerusakan paru yang luas (misalnya proses "far advanced" atau millier), dan/atau keadaan umum penderita buruk. 2) Tuberkulosis Ekstra Paru Tuberkulosis yang menyerang organ tubuh lain selain paru, misalnya pleura, selaput otak, selaput jantung (pericardium), kelenjar limfe, tulang, persendian, kulit, usus, ginjal, saluran kencing, alat kelamin, dan lain-lain. Tuberkulosis ekstra-paru dibagi berdasarkan pada tingkat keparahan penyakitnya, yaitu: a) TB Ekstra Paru Ringan Misalnya: TB kelenjar limfe, pleuritis eksudativa unilateral, tulang (kecuali tulang belakang), sendi, dan kelenjar adrenal. b) TB Ekstra Paru Berat Misalnya: meningitis, millier, perikarditis, peritonitis, pleuritis eksudativa duplex, TB tulang belakang, TB usus, TB saluran kencing dan alat kelamin. Klasifikasi berdasarkan riwayat pengobatan sebelumnya disebut sebagai tipe pasien, yaitu (Ditjen PP dan PL, 2011; Ditjen Binfar dan Alkes, 2005): 1) Kasus Baru Pasien yang belum pernah diobati dengan OAT atau sudah pernah 15 menelan OAT kurang dari satu bulan. Pemeriksaan BTA bisa positif atau negatif. 2) Kasus Kambuh (Relaps) Pasien tuberkulosis yang sebelumnya pernah mendapat pengobatan tuberkulosis dan telah dinyatakan sembuh atau pengobatan lengkap, kemudian kembali lagi berobat dengan hasil pemeriksaan dahak BTA positif. 3) Kasus setelah putus berobat (Default) Pasien yang sudah berobat paling kurang 1 bulan, dan berhenti 2 bulan atau lebih, kemudian datang kembali berobat. Umumnya penderita tersebut kembali dengan hasil pemeriksaan dahak BTA positif. 4) Kasus setelah gagal (Failure) Pasien yang hasil pemeriksaan dahaknya tetap positif atau kembali menjadi positif pada akhir bulan kelima (satu bulan sebelum akhir pengobatan) atau lebih; atau penderita dengan hasil BTA negatif Rontgen positif menjadi BTA positif pada akhir bulan ke 2 pengobatan. 5) Kasus Pindahan (Transfer In) Pasien yang dipindahkan ke register lain untuk melanjutkan pengobatannya. 6) Kronis Pasien dengan hasil pemeriksaan masih BTA positif setelah selesai pengobatan ulang kategori 2. 16 2. Terapi Obat Anti Tuberkulosis (OAT) a. Tujuan Terapi OAT Pengobatan TB bertujuan untuk menyembuhkan pasien, mencegah kematian, mencegah kekambuhan, memutuskan rantai penularan dan mencegah terjadinya resistensi kuman terhadap obat anti tuberkulosis (Kemenkes, 2009). b. Prinsip Terapi OAT Sesuai dengan sifat kuman TB, untuk memperoleh efektifitas pengobatan, maka prinsip-prinsip yang dipakai adalah sebagai berikut (Ditjen Binfar dan Alkes, 2005): 1) Menghindari penggunaan monoterapi, Obat Anti Tuberkulosis (OAT) diberikan dalam bentuk kombinasi dari beberapa jenis obat, dalam jumlah cukup dan dosis tepat sesuai dengan kategori pengobatan. Hal ini untuk mencegah timbulnya kekebalan terhadap OAT. 2) Untuk menjamin kepatuhan penderita dalam menelan obat, pengobatan dilakukan dengan pengawasan langsung (DOT= Directly Observed Treatment) oleh seorang Pengawas Menelan Obat (PMO). 3) Pengobatan TB diberikan dalam 2 tahap, yaitu : a) Tahap Intensif Pada tahap intensif (awal) penderita mendapat obat setiap hari 17 dan perlu diawasi secara langsung untuk mencegah terjadinya kekebalan obat. Bila pengobatan tahap intensif tersebut diberikan secara tepat, biasanya penderita menular menjadi tidak menular dalam kurun waktu dua minggu. Sebagian besar penderita TB BTA positif menjadi BTA negatif (konversi) dalam 2 bulan (Kemenkes, 2009). b) Tahap Lanjutan Pada tahap lanjutan penderita mendapat jenis obat lebih sedikit, namun dalam jangka waktu yang lebih lama. Tahap lanjutan penting untuk membunuh kuman persister (dormant) sehingga mencegah terjadinya kekambuhan (Kemenkes, 2009). c. Regimen OAT Obat Anti Tuberkulosis yang dipakai dalam pengobatan TB adalah antibotik dan anti infeksi sintetis untuk membunuh kuman Mycobacterium tuberculosis. Aktifitas obat TB didasarkan atas tiga mekanisme, yaitu aktifitas membunuh bakteri, aktifitas sterilisasi, dan mencegah resistensi. Obat yang umum dipakai adalah Isoniazid, Etambutol, Rifampisin, Pirazinamid, dan Streptomisin. Kelompok obat ini disebut sebagai obat primer. Isoniazid adalah obat TB yang paling poten dalam hal membunuh bakteri dibandingkan dengan rifampisin dan streptomisin. Rifampisin dan pirazinamid paling poten dalam mekanisme sterilisasi. Sedangkan obat lain yang juga pernah 18 dipakai adalah Natrium Para Amino Salisilat, Kapreomisin, Sikloserin, Etionamid, Kanamisin, Rifapentin dan Rifabutin. Natrium Para Amino Salisilat, Kapreomisin, Sikloserin, Etionamid, dan Kanamisin umumnya mempunyai efek yang lebih toksik, kurang efektif, dan dipakai jika obat primer sudah resisten. Rifapentin dan Rifabutin digunakan sebagai alternatif untuk Rifamisin dalam pengobatan kombinasi anti TB (Ditjen Binfar dan Alkes, 2005). Regimen pengobatan TB mempunyai kode standar yang menunjukkan tahap dan lama pengobatan, jenis OAT, cara pemberian (harian atau selang) dan kombinasi OAT dengan dosis tetap. Kode huruf seperti 2HRZE/4H3R3 atau 2HRZES/5HRE adalah akronim dari nama obat yang dipakai, yakni H=Isoniazid, R=Rifampisin, Z=Pirazinamid, E=Etambutol, dan S=Streptomisin. Angka yang terdapat dalam kode menunjukkan waktu atau frekuensi pengobatan. Angka 2 di depan seperti pada “2HRZE”, artinya digunakan selama 2 bulan, setiap hari satu kombinasi tersebut, sedangkan untuk angka dibelakang huruf, seperti pada “4H3R3” artinya dipakai 3 kali seminggu ( selama 4 bulan). Pada pengobatan kategori I dipakai 2HRZE/4H3R3, artinya pada tahap awal/intensif adalah 2HRZE yaitu lama pengobatan 2 bulan, masing masing OAT (HRZE) diberikan setiap hari. Tahap lanjutan adalah 4H3R3 yaitu lama pengobatan 4 19 bulan, masing masing OAT (HR) diberikan 3 kali seminggu (Ditjen Binfar dan Alkes, 2005). Tabel I. Paduan pengobatan standar yang direkomendasikan oleh WHO dan IUATLD (International Union Against Tuberculosis and Lung Disease) (Ditjen PP dan PL, 2011) Regimen OAT Kategori 1 • 2HRZE/4H3R3 • 2HRZE/4HR • 2HRZE/6HE Kategori 2 • 2HRZES/HRZE/5H3R3E3 • 2HRZES/HRZE/5HRE Kategori 3 • 2HRZ/4H3R3 • 2HRZ/4HR • 2HRZ/6HE Paduan pengobatan yang digunakan oleh Program Nasional Penanggulangan TB oleh Pemerintah Indonesia yaitu : 1) Kategori 1 (2HRZE/4H3R3) Tahap intensif terdiri dari HRZE diberikan setiap hari selama 2 bulan. Kemudian diteruskan dengan tahap lanjutan yang terdiri dari HR diberikan tiga kali dalam seminggu selama 4 bulan. Obat ini diberikan untuk penderita baru TB paru BTA positif, penderita baru TB paru BTA negatif rontgen positif yang sakit berat, dan penderita TB ekstra paru berat. Tabel II Dosis untuk panduan OAT KDT untuk Kategori 1 Berat Badan 30 – 37 kg 38 – 54 kg 55 – 70 kg 71 kg (Ditjen PP dan PL, 2011) Tahap Intensif Tiap hari selama 58 hari RHZE (150/75/400/275) 2 tablet 4 KDT 3 tablet 4 KDT 4 tablet 4 KDT 5 tablet 4 KDT Tahap Lanjutan 3x seminggu selama 16 minggu RH (150/150) 2 tablet 2 KDT 3 tablet 2 KDT 4 tablet 2 KDT 5 tablet 2 KDT 20 Tabel III Dosis untuk panduan OAT Kombipak untuk Kategori 1 Tahap Pengobatan Lama Pengobatan Intensif 2 bulan Lanjutan 4 bulan Keterangan : INH = Isoniazid PZA = Pirazinamid (Ditjen PP dan PL, 2011) Dosis per hari / kali Tablet Kaplet Tablet INH RIF PZA @300 mg @450 mg @500 mg 1 1 3 2 1 - Tablet ETB @250 mg 3 - Jumlah hari/kali menelan obat 56 48 RIF = Rifampisin ETB = Etambutol 2) Kategori 2 (2HRZES/HRZE/5H3R3E3) Tahap intensif diberikan selama 3 bulan, yang terdiri dari 2 bulan dengan HRZES setiap hari. Dilanjutkan 1 bulan dengan HRZE setiap hari. Setelah itu diteruskan dengan tahap lanjutan selama 5 bulan dengan HRE yang diberikan tiga kali dalam seminggu. Obat ini diberikan untuk penderita TB paru BTA(+) yang sebelumnya pernah diobati, yaitu penderita kambuh (relaps), penderita gagal (failure), dan penderita dengan pengobatan setelah putus berobat (default). Dosis yang digunakan untuk panduan OAT FDC dapat dilihat pada tabel IV. Tabel IV. Dosis untuk panduan OAT KDT untuk Kategori 2 Berat Badan 30 – 37 kg 38 – 54 kg 55 – 70 kg 71 kg (Ditjen PP dan PL, 2011) Tahap Intensif Tiap hari selama 58 hari RHZE (150/75/400/275) + S Selama 56 hari Selama 28 hari 2 tablet 4 KDT 2 tablet 4 KDT + 500 mg streptomisin inj. 3 tablet 4 KDT 3 tablet 4 KDT + 750 mg streptomisin inj. 4 tablet 4 KDT 4 tablet 4 KDT + 1000 mg streptomisin inj. 5 tablet 4 KDT 5 tablet 4 KDT + 1500 mg streptomisin inj. Tahap Lanjutan 3 kali seminggu RH (150/150) + E (400) selama 20 minggu 2 tablet 2 KDT + 2 tablet Etambutol 3 tablet 2 KDT + 3 tablet Etambutol 4 tablet 2 KDT + 4 tablet Etambutol 5 tablet 2 KDT + 5 tablet Etambutol 21 Tabel V. Dosis untuk panduan OAT Kombipak untuk Kategori 2 (Ditjen PP dan PL, 2011) Tahap Intensif (dosis harian) Lama pengobatan Lama pengobatan 2 bulan 1 bulan 1 1 Obat Tahap lanjutan (dosis 3x seminggu) 2 Tablet Isoniazid @300 mg Kaplet Rifampisin 1 1 1 @450 mg Tablet 3 3 Pirazinamid @500 mg Tablet Etambutol 3 3 1 @250 mg Tablet Etambutol 2 @400 mg Streptomisin Inj 0,75 g Jumlah hari/kali 56 28 60 menelan obat Keterangan : . Untuk pasien yang berumur 60 tahun ke atas dosis maksimal untuk streptomisin adalah 500mg tanpa memperhatikan berat badan. · Untuk perempuan hamil lihat pengobatan TB dalam keadaan khusus. · Cara melarutkan streptomisin vial 1 gram yaitu dengan menambahkan aquabidest sebanyak 3,7ml sehingga menjadi 4ml. (1ml = 250mg). 3) Kategori 3 (2 HRZ/4H3R3) Tahap intensif terdiri dari HRZ diberikan setiap hari selama 2 bulan (2HRZ), diteruskan dengan tahap lanjutan terdiri dari HR selama 4 bulan diberikan 3 kali seminggu. Obat ini diberikan untuk penderita baru BTA negatif dan rontgen positif sakit ringan dan penderita TB ekstra paru ringan. Tabel VI. Dosis untuk panduan OAT Kombipak untuk Kategori 3 (Ditjen Binfar dan Alkes, 2005) Tahap Pengobatan Intensif Lanjutan Lama Pengobatan Tablet Isoniazid @300 mg 2 bulan 4 bulan 1 2 Dosis per hari / kali Kaplet Tablet Rifampisin Pirazinamid @450 mg @500 mg 1 1 3 - Jumlah hari/kali menelan obat 56 50 22 4) OAT Sisipan (HRZE) OAT sisipan diberikan pada penderita yang pada akhir tahap intensif pengobatan penderita baru BTA positif dengan kategori 1 atau penderita BTA positif pengobatan ulang dengan kategori 2, hasil pemeriksaan dahak masih BTA positif, diberikan obat sisipan (HRZE) setiap hari selama 1 bulan. Tabel VII. Dosis untuk panduan OAT KDT untuk Sisipan (Ditjen PP dan PL, 2011) Tahap Intensif Berat Badan Tiap hari selama 28 hari RHZE (150/75/400/275) 30 – 37 kg 2 tablet 4 KDT 38 – 54 kg 3 tablet 4 KDT 55 – 70 kg 4 tablet 4 KDT 71 kg 5 tablet 4 KDT Tabel VIII. Dosis untuk panduan OAT Kombipak untuk Sisipan Tabel VIII (Ditjen PP dan PL, 2011) Dosis per hari / kali Tahap Lama Tablet Kaplet Tablet Tablet Pengobatan Pengobatan Isoniazid Rifampisin Pirazinamid Etambutol @300 mg @450 mg @500 mg @250 mg Intensif 2 bulan 1 1 3 3 d. Perhatian khusus untuk penggunaan OAT Beberapa kondisi yang perlu diperhatikan selama penggunaan OAT antara lain (Ditjen Binfar dan Alkes, 2005): 1) Wanita hamil Pada prinsipnya paduan pengobatan TB pada wanita hamil tidak berbeda dengan pengobatan TB pada umumnya. Semua jenis OAT aman untuk wanita hamil, kecuali streptomisin karena dapat Jumlah hari/kali menelan obat 28 23 menembus barier placenta dan dapat menyebabkan permanent ototoxic terhadap janin dengan akibat terjadinya gangguan pendengaran dan keseimbangan yang menetap pada janin tersebut. Perlu dijelaskan kepada ibu hamil bahwa keberhasilan pengobatannya sangat penting artinya supaya proses kelahiran dapat berjalan lancar dan bayi yang akan dilahirkannya terhindar dari kemungkinan penularan TB. 2) Ibu menyusui dan bayinya Pada prinsipnya paduan pengobatan TB pada ibu menyusui tidak berbeda dengan pengobatan pada umumnya. Semua jenis OAT aman untuk ibu menyusui. Seorang ibu menyusui yang menderita TB harus mendapat paduan OAT secara adekuat. Pemberian OAT yang tepat merupakan cara terbaik untuk mencegah penularan kuman TB kepada bayinya. Ibu dan bayi tidak perlu dipisahkan sehingga bayi dapat terus menyusu. Pengobatan pencegahan dengan INH dapat diberikan kepada bayi tersebut sesuai dengan berat badannya selama 6 bulan. BCG diberikan setelah pengobatan pencegahan. 3) Wanita penderita TB pengguna kontrasepsi Kontrasepsi hormonal adalah kontrasepsi yang mengandung hormon estrogen dan progesteron. Rifampisin berinteraksi dengan kontrasepsi hormonal (pil KB, suntikan KB, susuk KB), sehingga 24 dapat menurunkan efektifitas kontrasepsi tersebut. Seorang wanita penderita TB seyogyanya mengggunakan kontrasepsi nonhormonal, atau kontrasepsi yang mengandung estrogen dosis tinggi (50 mcg). 4) Penderita TB dengan infeksi HIV/AIDS Prosedur pengobatan TB pada penderita dengan infeksi HIV/AIDS adalah sama seperti penderita TB lainnya. Obat TB yang digunakan oleh penderita HIV/AIDS memiliki keefektifan yang sama dengan penderitan tanpa penyakit HIV/AIDS. 5) Penderita TB dengan hepatitis akut Pemberian OAT pada penderita TB dengan hepatitis akut dihentikan hingga hepatitis akutnya mengalami penyembuhan. Pada keadaan dimana pengobatan TB sangat diperlukan dapat diberikan SE selama 3 bulan sampai hepatitisnya menyembuh dan dilanjutkan dengan RH selama 6 bulan, bila hepatitisnya tidak menyembuh seharus dilanjutkan sampai 12 bulan. 6) Penderita TB dengan penyakit hati kronik Bila ada kecurigaan gangguan fungsi hati, dianjurkan pemeriksaan faal hati sebelum pengobatan TB. Apabila Serum Glutamic Oxaloacetic (SGOT) dan Serum Glutamic Pyruvic Transaminase (SGPT) meningkat lebih dari 3 kali OAT harus dihentikan. 25 Pirazinamid (Z) tidak boleh digunakan. Paduan obat yang dapat dianjurkan adalah 2RHES/6RH atau 2HES/10HE atau 9RE. 7) Penderita TB dengan gangguan ginjal Isoniazid, Rifampisin dan Pirazinamid dapat diberikan dengan dosis normal pada penderita-penderita dengan gangguan ginjal. Pasien dengan gangguan ginjal sebaiknya menghindari penggunaan Streptomisin dan Etambutol kecuali dapat dilakukan pengawasan fungsi ginjal dan dengan dosis diturunkan atau interval pemberian yang lebih jarang. Paduan OAT yang paling aman untuk penderita dengan gangguan ginjal adalah 2RHZ/6HR. 8) Penderita TB dengan Diabetes Melitus Penyakit diabetes pada pasien TB harus dikontrol. Perlu diperhatikan bahwa penggunaan Rifampisin akan mengurangi efektifitas obat oral anti diabetes (sulfonil urea) sehingga dosisnya perlu ditingkatkan. Hati-hati dengan penggunaan etambutol, karena mempunyai komplikasi terhadap mata. 9) Penderita TB yang perlu mendapat tambahan kortikosteroid Kortikosteroid hanya digunakan pada keadaan khusus yang membahayakan jiwa pasien seperti pada pasien Meningitis TB, TB milier dengan atau tanpa meningitis, TB dengan Pleuritis eksudativa, TB dengan Perikarditis konstriktiva. Selama fase akut prednison diberikan dengan dosis 30-40 mg per hari, kemudian 26 diturunkan secara bertahap. Lama pemberian disesuaikan dengan jenis penyakit dan kemajuan pengobatan. 3. Kepatuhan Pasien Tuberkulosis Salah satu kunci keberhasilan pengobatan TB adalah kepatuhan penderita terhadap farmakoterapi. Kemungkinan ketidakpatuhan pasien TB dalam menjalani terapi sangat besar karena pemakaian obat anti tuberkulosis dalam jangka waktu yang panjang, jumlah obat yang diminum perhari cukup banyak, efek samping yang mungkin timbul dan kurangnya kesadaran penderita akan penyakitnya Kepatuhan adalah keterlibatan penderita dalam penyembuhan dirinya. Kepatuhan penderita yang meningkat diharapkan tidak menimbulkan resistensi obat yang dapat merugikan penderita itu sendiri maupun lingkungan, mencegah terjadinya kekambuhan bahkan kematian (Ditjen Binfar dan Alkes, 2005). Penyakit tuberkulosis dapat disembuhkan jika pasien menjalani pengobatan lengkap, tetapi ketidakpatuhan terhadap pengobatan merupakan masalah yang sering ditemui. Bentuk-bentuk ketidakpatuhan terhadap farmakoterapi bagi penderita TB yaitu pasien tidak mengambil obatnya, minum obat dengan dosis yang salah, minum obat pada waktu yang salah, lupa minum obat, dan berhenti minum obat sebelum waktunya. Sedangkan faktor penyebab ketidakpatuhan yang berasal dari pasien TB yaitu kondisi yang asimtomatik, pemakaian obat lama (kondisi kronis), pelupa (daya ingat yang kurang baik), regimen kompleks, jumlah obat 27 yang banyak, ukuran obat yang relatif besar, penderita khawatir akan efek samping dan komunikasi yang buruk antara penderita dan dokter/apoteker (Ditjen Binfar dan Alkes, 2005; Dep. Health, 2014). Apoteker dapat melakukan intervensi untuk meningkatkan kepatuhan terapi OAT dengan memberikan informasi sesuai kebutuhan penderita sehingga penderita memahami kondisi dan risiko kesehatannya, memahami risiko bahwa ketidakpatuhan dapat menyebabkan resistensi, memahami efektifitas pengobatan, dan juga meyakinkan bahwa penderita dapat melibatkan diri dalam proses penyembuhan penyakitnya. Reminder atau alat pengingat yang dapat dipakai dan dianjurkan adalah kalender, instruksi yang jelas dengan huruf yang besar dan mencolok, surat, pamflet, atau pun via telepon (Ditjen Binfar dan Alkes, 2005). 4. Pemantauan Terapi OAT Pemantauan kemajuan hasil pengobatan pada orang dewasa dilaksanakan dengan pemeriksaan ulang dahak secara mikroskopis. Pemeriksaan dahak secara mikroskopis lebih baik dibandingkan dengan pemeriksaan radiologis dalam memantau kemajuan pengobatan. Laju Endap Darah (LED) tidak digunakan untuk memantau kemajuan pengobatan karena tidak spesifik untuk TB. Untuk memantau kemajuan pengobatan dilakukan pemeriksaan spesimen sebanyak dua kali (sewaktu dan pagi). Hasil pemeriksaan dinyatakan negatif bila ke 2 spesimen tersebut negatif. Bila salah satu spesimen positif atau keduanya positif, 28 hasil pemeriksaan ulang dahak tersebut dinyatakan positif. Tindak lanjut hasil pemriksaan ulang dahak mikroskopis dapat dilihat pada tabel di bawah ini. Tabel IX. Tindak lanjut Hasil Pemeriksaan ulang dahak (Ditjen PP dan PL, 2011) Tipe Pasien TB Tahap Pemeriksaan Tindak Lanjut Pengobatan Dahak Negatif Tahap lanjutan dimulai Positif Dilanjutkan dengan OAT sisipan Akhir tahap intensif selama 1 bulan. Jika setelah sisipan masih tetap positif: tahap lanjutan tetap diberikan. jika memungkinkan, lakukan biakan, tes resistensi Pasien baru atau rujuk ke dengan layanan TB-MDR pengobatan kategori 1 Pada bulan pengobatan Negatif Pengobatan dilanjutkan Positif Pengobatan diganti dengan OAT Kategori 2 mulai dari awal. Jika memungkinkan, lakukan biakan, tes resistensi atau rujuk ke layanan TB-MDR Pengobatan dilanjutkan Pengobatan diganti dengan OAT Kategori 2 mulai dari awal. Jika memungkinkan, lakukan biakan, tes resistensi atau rujuk ke layanan TB-MDR Teruskan pengobatan dengan tahap ke-5 Negatif Positif Akhir (AP) Pengobatan Negatif 29 Positif Akhir tahap intensif Pasien paru BTA positif dengan pengobatan ulang kategori 2 ke-5 Negatif Positif Pengobatan Negatif Positif Pada bulan pengobatan Akhir (AP) lanjutan. Beri Sisipan 1 bulan. Jika setelah sisipan masih tetap positif, teruskan pengobatan tahap lanjutan. Jika setelah sisipan masih tetap positif: tahap lanjutan tetap diberikan jika memungkinkan, lakukan biakan, tes resistensi atau rujuk ke layanan TB-MDR Pengobatan diselesaikan Pengobatan dihentikan , rujuk ke layanan TB-MDR Pengobatan diselesaikan Pengobatan dihentikan , rujuk ke layanan TB-MDR Pengobatan dihentikan , rujuk ke layanan TB-MDR Pengobatan dihentikan , rujuk ke layanan TB-MDR Tatalaksana untuk pasien yang berobat tidak teratur dapat dilihat pada tabel dibawah ini: Tabel X. Tatalaksana pasien yang berobat tidak teratur (Ditjen PP dan PL, 2011) Tindakan pada pasien yang putus berobat kurang dari 1 bulan: Lacak pasien Diskusikan dengan pasien untuk mencari penyebab berobat tidak teratur Lanjutkan pengobatan sampai seluruh dosis selesai Tindakan pada pasien yang putus berobat antara 1-2 bulan: Tindakan – 1 Tindakan-2 Diskusikan dan Bila hasil BTA Lanjutkan pengobatan sampai seluruh cari masalah negatif atau Tb dosis selesai Periksa 3 kali extra paru: dahak (SPS) Bila satu atau lebih Lama pengobatan Lanjutkan dan lanjutkan hasil BTA positif sebelumnya kurang pengobatan sampai pengobatan dari 5 bulan * seluruh dosis 30 sementara menunggu hasilnya Lama pengobatan sebelumnya l selesai Kategori-1: mulai kategori-2 Kategori-2: rujuk, mungkin kasus TB resistan obat. Tindakan pada pasien yang putus berobat lebih 2 bulan (Default) Periksa 3 kali Bila hasil BTA Pengobatan dihentikan, pasien diobservasi dahak SPS negatif atau Tb bila gejalanya semakin parah perlu Diskusikan dan extra paru: dilakukan pemeriksaan kembali (SPS dan cari masalah atau biakan) Hentikan Bila satu atau lebih Kategori – 1 Mulai kategori – 2 pengobatan hasil BTA positif Kategori – 2 Rujuk, kasus TB sambil resistan obat menunggu hasil pemeriksaan dahak. Keterangan : *) Tindakan pada pasien yang putus berobat antara 1-2 bulan dan lama pengobatan sebelumnya kurang dari 5 bulan: lanjutkan pengobatan dulu sampai seluruh dosis selesai dan 1 bulan sebelum akhir pengobatan harus diperiksa dahak. 5. Hasil Pengobatan Pasien TB BTA Positif Hasil pengobatan akan menentukan langkah selanjutnya yang harus ditempuh dan dapat digolongkan menjadi (Kemenkes, 2009): a. Sembuh Pasien telah menyelesaikan pengobatannya secara lengkap dan pemeriksaan ulang dahak (follow-up) hasilnya negatif pada Akhir pengobatan (AP) dan minimal satu pemeriksaan sebelumnya negatif. b. Pengobatan Lengkap Pasien yang telah menyelesaikan pengobatannya secara lengkap tetapi tidak memenuhi syarat sembuh atau gagal. 31 c. Meninggal Pasien yang meninggal dalam pengobatan karena sebab apapun. d. Pindah Pasien yang pindah berobat ke unit dengan register TB 03 yang lain dan hasil pengobatannya tidak diketahui. e. Default (putus obat) Pasien TB yang tidak berobat 2 bulan berturut-turut atau lebih sebelum masa pengobatannya selesai. f. Gagal Pasien yang hasil pemeriksaan dahaknya tetap positif atau kembali menjadi positif pada bulan kelima atau lebih selama pengobatan. F. Keterangan Empiris Penelitian ini dilakukan untuk mengetahui karakteristik pasien tuberkulosis paru, gambaran pola pengobatan, gambaran tingkat kepatuhan dan faktor-faktor yang mendukung kepatuhan pengobatan pasien tuberkulosis paru yang menjalani terapi di Puskesmas Kabupaten Bantul.