1 BAB 1 PENDAHULUAN A. Latar Belakang

advertisement
BAB 1
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
Tuberkulosis merupakan penyakit infeksi menular yang sampai saat ini
masih menjadi masalah kesehatan masyarakat. Menurut data Survei Kesehatan
Rumah Tangga (SKRT) tahun 1995, tuberkulosis merupakan penyebab kematian
ketiga terbesar setelah penyakit kardiovaskular dan penyakit saluran pernafasan,
dan merupakan nomor satu terbesar dalam kelompok penyakit infeksi (Ditjen
Binfar dan Alkes, 2005). Pada tahun 1990-an, situasi TB di dunia semakin
memburuk, jumlah kasus TB meningkat dan banyak yang tidak berhasil
disembuhkan, sehingga pada tahun 1993 WHO mencanangkan TB sebagai
kedaruratan dunia (global emergency).
Pada tahun 2013 dilaporkan terdapat 9 juta kasus TB baru di dunia, lebih
dari 56% penemuan kasus baru berasal dari Asia Tenggara dan Daerah Pasifik
Barat (WHO, 2014). Indonesia merupakan negara dengan pasien TB terbanyak
keempat di dunia setelah India, Cina, dan Afrika Selatan. Diperkirakan jumlah
pasien TB di Indonesia mencapai sekitar 5,8% dari total jumlah pasien TB di
dunia. Setiap tahun diperkirakan terdapat 429.730 kasus baru dan angka kematian
akibat TB sebanyak 62.246 orang (Kemenkes, 2011). Penemuan penderita
tuberkulosis di Provinsi DIY pada tahun 2009 mencapai 52,6% dan mengalami
kenaikan pada tahun 2010 menjadi 53,3%. Suspek TB di DIY pada tahun 2012
1
2
sebanyak 18.457 dengan penemuan suspek terbanyak berasal dari puskesmas
yaitu 10.305 (56%) (Dinkes DIY, 2013).
Pengendalian Tuberkulosis di Indonesia sudah berlangsung sejak setelah
perang kemerdekaan, pada saat itu TB ditanggulangi melalui Balai Pengobatan
Penyakit Paru Paru (BP-4). Sejak tahun 1969 pengendalian TB dilakukan secara
nasional melalui puskesmas. Obat anti tuberkulosis (OAT) yang digunakan adalah
paduan standard Isoniazid (INH), Para Amino Salisilat (PAS) dan Streptomisin
yang digunakan selama satu sampai dua tahun. Penggunaan Para Amino Salisilat
(PAS) kemudian diganti dengan Pirazinamid. Sejak tahun 1977 mulai digunakan
paduan terapi OAT jangka pendek yang terdiri dari INH, Rifampisin, Pirazinamid
dan Ethambutol yang digunakan selama 6 bulan.
Pada tahun 1995, program nasional pengendalian TB mulai menerapkan
strategi Directly Observed Treatment Shortcourse (DOTS) dan dilaksanakan di
puskesmas secara bertahap. Selanjutnya sejak tahun 2000 strategi DOTS
dilaksanakan secara nasional di seluruh fasilitas pelayananan kesesehatan
terutama puskesmas yang diintegrasikan dalam pelayanan kesehatan dasar.
Strategi DOTS merupakan strategi dalam pengendalian TB yang fokus utamanya
adalah penemuan dan penyembuhan pasien, prioritas kepada pasien TB tipe
menular (Ditjen PP dan PL, 2011).
Untuk mencapai keberhasilan pengobatan tidak hanya menjadi tanggung
jawab pasien namun harus dilihat bagaimana faktor lain yang dapat
mempengaruhi perilaku pasien dalam melengkapi pengobatannya dan mematuhi
3
pengobatan. Banyak faktor yang berhubungan dengan kepatuhan terhadap terapi
TB paru, termasuk karakteristik pasien, regimen pengobatan dan hubungan antara
petugas pelayanan kesehatan dengan pasien (WHO, 2003).
Untuk menanggulangi masalah TB di Indonesia, strategi DOTS yang
direkomendasikan oleh WHO merupakan pendekatan yang paling tepat untuk saat
ini, dan harus dilakukan secara sungguh-sungguh dimana salah satu komponen
dari strategi DOTS tersebut adalah pengobatan dengan panduan OAT jangka
pendek dengan pengawasan langsung oleh Pengawas Menelan Obat (PMO)
(Ditjen Binfar dan Alkes, 2005).
Strategi DOTS dilaksanakan untuk dapat meningkatkan kepatuhan.
Kepatuhan adalah sejauh mana perilaku pasien dalam keteraturan mengambil obat
sesuai dengan rekomendasi dari dokter atau perawat. Pasien harus berperan aktif
dalam proses pengobatan. Kepatuhan pasien biasanya dilaporkan berdasarkan
persentase dari jumlah obat yang harus diberikan dengan obat yang benar-benar
diambil oleh pasien selama terapi berlangsung (Anyaike, 2013). Kemungkinan
ketidakpatuhan penderita selama pengobatan TB sangatlah besar. Ketidakpatuhan
ini dapat terjadi karena beberapa hal, diantaranya adalah pemakaian obat dalam
jangka panjang, jumlah obat yang diminum cukup banyak serta kurangnya
kesadaran dari penderita akan penyakitnya. Oleh karena itu perlu peran aktif dari
tenaga kesehatan sehingga keberhasilan terapinya dapat dicapai (Ditjen Binfar dan
Alkes, 2005).
4
Keberhasilan pengobatan dilihat dari angka kesuksesan pengobatan.
Kualitas pengobatan TB di DIY berdasarkan laporan program P2M yang terdapat
dalam Profil Kesehatan DIY tahun 2013 disebutkan bahwa meskipun dari tahun
ke tahun terus meningkat namun angka kesembuhan masih rendah yaitu baru
mencapai 84,07% (target 85%) (Dinkes DIY, 2013). Angka kesuksesan (Success
Rate) dapat dilihat dari angka kesembuhan dan pengobatan lengkap tuberkulosis
paru. Berdasarkan profil kesehatan Kabupaten Bantul, angka kesuksesan pada
tahun 2013 dilaporkan sebesar 85,23% dan angka kesembuhan sebesar 79,75%.
Angka kesembuhan pada tahun 2013 menurun dibandingkan tahun 2012 sebesar
86,12 dan angka kesembuhan ini di provinsi DIY juga berada di bawah target
nasional (Dinkes Bantul, 2014).
Penyediaan obat-obat anti TB dijamin oleh pemerintah untuk sarana
pelayanan kesehatan, selain itu pemerintah juga telah mencukupi kebutuhan
prakiraan kasus di seluruh Indonesia. Namun TB tetap belum dapat diberantas,
bahkan diperkirakan jumlah penderita TB terus meningkat. Peningkatan jumlah
penderita TB disebabkan oleh berbagai faktor, yakni kurangnya tingkat kepatuhan
penderita untuk berobat dan meminum obat, timbulnya resistensi ganda,
kurangnya daya tahan hospes terhadap mikobakteria, berkurangnya daya
bakterisid obat yang ada, meningkatnya kasus HIV/AIDS dan krisis ekonomi
(Ditjen Binfar dan Alkes, 2005).
Melihat data yang ada, kasus tuberkulosis di dunia maupun di Indonesia
yang cukup besar dan penyakit tuberkulosis merupakan penyakit menular yang
5
angka kejadiannya terus meningkat, maka peneliti memandang perlu dilakukan
suatu penelitian untuk mengkaji permasalahan kepatuhan terapi pengobatan pada
pasien tuberkulosis yang merupakan penentu angka kesembuhan. Penelitian ini
dilakukan di Puskesmas Kabupaten Bantul yang merupakan salah satu fasilitas
pelayanan kesehatan di wilayah provinsi DIY yang memiliki penemuan suspek
cukup banyak.
B. Rumusan Masalah
Berdasarkan latar belakang di atas maka peneliti dapat menyusun rumusan
masalah sebagai berikut :
1. Bagaimana pola pengobatan yang dijalankan oleh pasien tuberkulosis paru
dewasa di Puskesmas Kabupaten Bantul periode Desember 2014 - Maret
2015?
2. Bagaimana gambaran tingkat kepatuhan pasien dalam menjalankan
pengobatan tuberkulosis di Puskesmas Kabupaten Bantul?
3. Apa faktor yang mempengaruhi kepatuhan pasien dalam menjalankan
pengobatan tuberkulosis di Puskesmas Kabupaten Bantul?
C. Tujuan Penelitian
1. Mengetahui pola pengobatan yang dijalankan oleh pasien tuberkulosis paru
dewasa di Puskesmas Kabupaten Bantul.
2. Mengetahui
tingkat
kepatuhan
pasien
dalam
tuberkulosis di Puskesmas Kabupaten Bantul.
menjalani
pengobatan
6
3. Mengatahui faktor-faktor yang mempengaruhi kepatuhan pengobatan
tuberkulosis di Puskesmas Kabupaten Bantul.
D. Manfaat Penelitian
1. Bagi pihak Puskesmas, penelitian ini dapat menjadi salah satu sumber
informasi terkini mengenai gambaran kepatuhan pengobatan pasien TB paru.
2. Menjadi masukan untuk meningkatkan pelayanan medik penggunaan obat
anti tuberkulosis dengan harapan dapat meningkatkan angka kesembuhan
terapi pasien TB di Puskesmas Kabupaten Bantul.
3. Bagi penderita TB, bermanfaat untuk memberikan motivasi dan ilmu
pengetahuan dalam menjalani terapi pengobatannya.
4. Bagi peneliti selanjutnya, dapat digunakan sebagai bahan pembanding dan
pelengkap untuk penelitian selanjutnya.
E. Tinjauan Pustaka
1. Penyakit Tuberkulosis
a. Pengertian Tuberkulosis
Tuberkulosis adalah penyakit menular langsung yang disebabkan
oleh kuman TB (Mycobacterium tuberculosis). Kuman TB sebagian besar
menyerang paru, tetapi dapat juga mengenai organ tubuh lainnya (Ditjen
PP dan PL, 2011). Mikroorganisme penyebab tuberkulosis antara lain
Mycobacterium tuberculosis, Mycobacterium bovis, Mycobacterium
africanum,
Mycobacterium
microti,
dan
Mycobacterium
canetti.
7
Mikroorganisme dengan prevalensi tertinggi adalah M. tuberculosis (Dept.
Health, 2014).
b. Epidemiologi Tuberkulosis
Profil kesehatan Indonesia pada tahun 2013 menunjukkan bahwa
ditemukan jumlah kasus baru Basil Tahan Asam positif (BTA+) sebanyak
196.310 kasus. Jumlah kasus tertinggi yang dilaporkan terdapat di provinsi
dengan jumlah penduduk yang besar yaitu Jawa Barat, Jawa Timur, dan
Jawa Tengah. Kasus baru BTA+ di tiga provinsi tersebut hampir sebesar
40% dari jumlah seluruh kasus baru di Indonesia (Kemenkes, 2014).
Kementerian Kesehatan Republik Indonesia (Kemenkes RI)
menetapkan target untuk penemuan kasus BTA+ diantara seluruh kasus
TB paru sebesar 65% untuk setiap provinsi. Penemuan proporsi pasien
baru BTA+ sampai dengan tahun 2013 diantara seluruh kasus belum
mencapai target yang diharapkan meskipun tidak terlalu jauh berada di
bawah target minimal yang sebesar 65%. Hal itu mengindikasikan
kurangnya prioritas menemukan kasus BTA+. Namun, sebanyak 18
provinsi (54, 55%) telah mencapai target tersebut. Provinsi Sulawesi
Tenggara mencapai angka penemuan tertinggi yaitu 95%, sedangkan
angka penemuan terendah adalah wilayah Papua Barat yaitu 35%,
sementara untuk wilayah Daerah istimewa Yogyakarta (DIY) memiliki
proporsi pasien baru BTA+ diantara seluruh kasus yaitu sebanyak 48%
(Kemenkes, 2014).
8
Penyakit tuberkulosis di DIY memiliki angka prevalensi TB pada
tahun 2012 sebesar 76,88 per 100.000 penduduk meningkat dibandingkan
tahun 2011 sebesar 69,65 per 100.000 penduduk. Prevalensi TB di DIY
berfluktuatif setiap tahunnya antara 50 sampai 76 per 100.000 penduduk
(Dinkes DIY, 2013). Penemuan kasus TB paru BTA+ di wilayah
Kabupaten Bantul pada tahun 2013 sebesar 52,68% naik dibandingkan
tahun 2012 yang dilaporkan sebesar 51,05. Jumlah kematian akibat TB
paru dilaporkan sebesar 1,8 per 100.000 penduduk (17 orang) (Dinkes
Bantul, 2014).
c. Etiologi dan Patogenesis Tuberkulosis
Tuberkulosis adalah penyakit menular langsung yang sebagian
besar (80%) menyerang paru-paru. Mycobacterium tuberculosis pada
umumnya menyerang paru-paru dan sebagian kecil organ tubuh lain.
Kuman ini mempunyai sifat khusus, yakni tahan terhadap asam pada
pewarnaan yang digunakan untuk identifikasi dahak secara mikroskopis
sehingga disebut sebagai Basil Tahan Asam (BTA). Mycobacterium
tuberculosis cepat mati ketika terkena sinar matahari secara langsung,
tetapi dapat bertahan hidup pada tempat yang gelap dan lembab. Kuman
TB yang telah masuk ke dalam tubuh manusia melalui pernafasan dapat
menyebar dari paru kebagian tubuh lainnya, melalui sistem peredaran
darah, sistem saluran limfe, saluran nafas, atau penyebaran langsung ke
bagian-bagian tubuh lainnya (Ditjen Binfar dan Alkes, 2005).
9
Mycobacterium tuberculosis termasuk basil gram positif, berbentuk
batang, dinding selnya mengandung komplek lipida-glikolipida serta lilin
(wax) yang sulit ditembus zat kimia. Mycobacterium tuberkulosis mampu
menginfeksi secara laten ataupun progresif (Ditjen Binfar dan Alkes 2005;
Sukandar et al., 2013).
Tuberkulosis secara klinis dapat terjadi melalui infeksi primer dan
infeksi pasca primer. Infeksi primer terjadi saat seseorang terkena kuman
TB untuk pertama kalinya. Waktu terjadinya infeksi hingga pembentukan
komplek primer adalah sekitar 4-6 minggu. Infeksi terjadi melalui saluran
pernafasan yaitu peradangan di dalam alveoli. Infeksi primer diinisiasi
oleh implantasi organisme di alveolar melalui droplet nuclei yang sangat
kecil (1-5 mm) untuk menghindari sel ephitelial siliari dari saluran
pernapasan atas. Bila terimplantasi M. tuberculosis melalui saluran napas,
mikroorganisme akan membelah diri dan dicerna oleh makrofag pulmoner,
dimana pembelahan diri akan terus berlangsung, walaupun prosesnya lebih
lambat (Ditjen Binfar & Alkes, 2005; Sukandar, 2013).
Pada seseorang yang terinfeksi TB, kuman dapat menetap sebagai
dormant. Kuman yang menetap sebagai dormant akan tertidur sampai
beberapa tahun di dalam jaringan tubuh. Pada 90% orang yang terinfeksi
M. tuberculosis mengalami infeksi laten tanpa adanya gejala yang timbul,
hanya batuk dan nafas berbunyi. Pada orang-orang dengan sistem imun
lemah dapat timbul radang paru hebat, ciri-cirinya batuk kronik dan bersifat
10
sangat menular. Masa inkubasi penyakit tuberkulosis sekitar 6 bulan.
Infeksi paska primer terjadi setelah beberapa bulan atau tahun setelah
infeksi primer. Ciri khas TB paska primer adalah kerusakan paru yang luas
dengan terjadinya kavitas atau efusi pleura. Seseorang yang terinfeksi
kuman TB belum tentu sakit atau tidak menularkan kuman TB.
Kemungkinan untuk terinfeksi TB terdapat beberapa faktor yaitu kepadatan
droplet nuclei yang infeksius per volume udara, lamanya kontak dengan
droplet nuclei, dan kedekatan dengan penderita TB (Ditjen Binfar & Alkes,
2005; Zumla et al., 2013).
d. Cara Penularan Tuberkulosis
Sumber penularan tuberkulosis adalah pasien TB dengan BTA
positif pada waktu batuk atau bersin, pasien menyebarkan kuman ke udara
dalam bentuk percikan dahak (droplet nuclei). Sekali batuk dapat
menghasilkan sekitar 3000 percikan dahak. Umumnya penularan terjadi
dalam ruangan dimana percikan dahak berada dalam waktu yang lama.
Ventilasi dapat mengurangi jumlah percikan, sementara sinar matahari
langsung dapat membunuh kuman. Percikan dapat bertahan selama
beberapa jam dalam keadaan yang gelap dan lembab. Daya penularan
seorang pasien ditentukan oleh banyaknya kuman yang dikeluarkan dari
parunya. Makin tinggi derajat kepositifan hasil pemeriksaan dahak, makin
menular pasien tersebut. Faktor yang memungkinkan seseorang terpajan
11
kuman TB ditentukan oleh konsentrasi percikan dalam udara dan lamanya
menghirup udara tersebut (Ditjen PP dan PL, 2011).
e. Gejala Tuberkulosis
Gejala utama pasien TB paru adalah batuk berdahak selama 2-3
minggu atau lebih. Batuk dapat diikuti dengan gejala tambahan yaitu
dahak bercampur darah, batuk darah, sesak nafas, badan lemas, nafsu
makan menurun, berat badan menurun, malaise, berkeringat malam hari
tanpa kegiatan fisik, dan demam meriang lebih dari satu bulan. Gejalagejala tersebut diatas dapat dijumpai pula pada penyakit paru selain TB,
seperti bronkiektasis, bronkitis kronis, asma, kanker paru, dan lain-lain.
Mengingat prevalensi TB di Indonesia saat ini masih tinggi, maka setiap
orang yang datang ke Fasyankes dengan gejala tersebut diatas, dianggap
sebagai suspek pasien TB, dan perlu dilakukan pemeriksaan dahak secara
mikroskopis langsung (Ditjen PP dan PL, 2011).
f. Diagnosis Tuberkulosis
Diagnosis tuberkulosis paru dilakukan dengan pemeriksaan 3
spesimen dahak dalam waktu 2 hari, yaitu sewaktu – pagi – sewaktu.
Diagnosis TB Paru pada orang dewasa ditegakkan dengan ditemukannya
kuman TB (BTA/Basil Tahan Asam). Penemuan BTA melalui pemeriksaan
dahak mikroskopis merupakan diagnosis utama. Pemeriksaan lain seperti
foto toraks, biakan dan uji kepekaan dapat digunakan sebagai penunjang
diagnosis sepanjang sesuai dengan indikasinya. Diagnosis TB tidak hanya
12
berdasarkan hasil pemeriksaan foto toraks saja karena foto toraks tidak
selalu memberikan gambaran yang khas pada TB paru (Kemenkes, 2009).
Pada sebagian besar TB paru, diagnosis terutama ditegakkan dengan
pemeriksaan dahak secara mikroskopis dan tidak memerlukan foto toraks.
Namun pada kondisi tertentu, pemeriksaan foto toraks perlu dilakukan
sesuai dengan indikasi sebagai berikut:
1)
Hanya 1 dari 3 spesimen dahak Sewaktu-Pagi-Sewaktu (SPS) yang
hasilnya BTA positif. Pada kasus ini pemeriksaan foto toraks dada
diperlukan untuk mendukung diagnosis TB paru BTA positif.
2)
Ketiga spesimen dahak hasilnya negatif, setelah 3 spesimen dahak SPS
pada pemeriksaan sebelumnya hasilnya BTA negatif dan tidak ada
perbaikan setelah pemberian antibiotika non OAT.
3)
Pasien tersebut diduga mengalami komplikasi sesak nafas berat yang
memerlukan penanganan khusus (seperti pneumotorak, pleuritis
eksudativa, efusi perikarditis atau efusi pleural) dan pasien yang
mengalami hemoptisis berat (untuk menyingkirkan bronkiektasis atau
aspergiloma) (Kemenkes,2009).
g. Klasifikasi Tuberkulosis
Penentuan klasifikasi penyakit dan tipe penderita tuberkulosis
memerlukan suatu definisi kasus yang memberikan batasan baku setiap
klasifikasi dan tipe penderita. Penentuan klasifikasi penyakit dan
tipe penderita penting dilakukan untuk menetapkan paduan OAT yang
13
sesuai dan dilakukan sebelum pengobatan dimulai. Terdapat empat hal yang
perlu diperhatikan dalam menentukan definisi-kasus, yaitu organ tubuh yang
sakit (paru atau ekstra paru), hasil pemeriksaan dahak secara mikroskopis
langsung (BTA positif atau BTA negatif), riwayat pengobatan sebelumnya
(baru atau telah mendapatkan obat), dan tingkat keparahan penyakit (ringan
atau berat) (Ditjen Binfar dan Alkes, 2005).
Klasifikasi berdasarkan organ tubuh yang diserang oleh kuman,
maka tuberkulosis dibedakan dua yaitu (Kemenkes, 2009):
1) Tuberkulosis paru
Tuberkulosis paru adalah tuberkulosis yang menginfeksi jaringan
parenchym paru, tidak termasuk pleura (selaput paru). Tuberkulosis
paru dibadakan menjadi dua jenis berdasarkan hasil pemeriksaan dahak,
antara lain :
a)
Tuberkulosis Paru BTA Positif
Sekurang-kurangnya 2 dari 3 spesimen dahak SPS hasilnya BTA
positif. Satu spesimen dahak SPS hasilnya BTA positif dan foto
rontgen dada menunjukkan gambaran tuberkulosis aktif.
b)
Tuberkulosis Paru BTA Negatif
Pemeriksaan 3 spesimen dahak SPS hasilnya BTA negatif dan foto
rontgen
dada
menunjukkan
gambaran
tuberkulosis
aktif.
Tuberkulosis Paru BTA negatif rontgen positif dibagi berdasarkan
tingkat keparahan penyakitnya, yaitu bentuk berat dan ringan.
14
Bentuk berat bila gambaran foto rontgen dada memperlihatkan
gambaran kerusakan paru yang luas (misalnya proses "far
advanced" atau millier), dan/atau keadaan umum penderita buruk.
2) Tuberkulosis Ekstra Paru
Tuberkulosis yang menyerang organ tubuh lain selain paru, misalnya
pleura, selaput otak, selaput jantung (pericardium), kelenjar limfe,
tulang, persendian, kulit, usus, ginjal, saluran kencing, alat kelamin, dan
lain-lain. Tuberkulosis ekstra-paru dibagi berdasarkan pada tingkat
keparahan penyakitnya, yaitu:
a) TB Ekstra Paru Ringan
Misalnya: TB kelenjar limfe, pleuritis eksudativa unilateral, tulang
(kecuali tulang belakang), sendi, dan kelenjar adrenal.
b) TB Ekstra Paru Berat
Misalnya: meningitis, millier, perikarditis, peritonitis, pleuritis
eksudativa duplex, TB tulang belakang, TB usus, TB saluran
kencing dan alat kelamin.
Klasifikasi berdasarkan riwayat pengobatan sebelumnya disebut
sebagai tipe pasien, yaitu (Ditjen PP dan PL, 2011; Ditjen Binfar dan Alkes,
2005):
1) Kasus Baru
Pasien yang belum pernah diobati dengan OAT atau sudah pernah
15
menelan OAT kurang dari satu bulan. Pemeriksaan BTA bisa positif
atau negatif.
2) Kasus Kambuh (Relaps)
Pasien tuberkulosis yang sebelumnya pernah mendapat pengobatan
tuberkulosis dan telah dinyatakan sembuh atau pengobatan lengkap,
kemudian kembali lagi berobat dengan hasil pemeriksaan dahak BTA
positif.
3) Kasus setelah putus berobat (Default)
Pasien yang sudah berobat paling kurang 1 bulan, dan berhenti 2 bulan
atau lebih, kemudian datang kembali berobat. Umumnya penderita
tersebut kembali dengan hasil pemeriksaan dahak BTA positif.
4) Kasus setelah gagal (Failure)
Pasien yang hasil pemeriksaan dahaknya tetap positif atau kembali
menjadi positif pada akhir bulan kelima (satu bulan sebelum akhir
pengobatan) atau lebih; atau penderita dengan hasil BTA negatif
Rontgen positif menjadi BTA positif pada akhir bulan ke 2 pengobatan.
5) Kasus Pindahan (Transfer In)
Pasien
yang
dipindahkan
ke
register
lain
untuk
melanjutkan
pengobatannya.
6) Kronis
Pasien dengan hasil pemeriksaan masih BTA positif setelah selesai
pengobatan ulang kategori 2.
16
2. Terapi Obat Anti Tuberkulosis (OAT)
a.
Tujuan Terapi OAT
Pengobatan TB bertujuan untuk menyembuhkan pasien,
mencegah kematian, mencegah kekambuhan, memutuskan rantai
penularan dan mencegah terjadinya resistensi kuman terhadap obat anti
tuberkulosis (Kemenkes, 2009).
b. Prinsip Terapi OAT
Sesuai dengan sifat kuman TB, untuk memperoleh efektifitas
pengobatan, maka prinsip-prinsip yang dipakai adalah sebagai berikut
(Ditjen Binfar dan Alkes, 2005):
1) Menghindari penggunaan monoterapi, Obat Anti Tuberkulosis
(OAT) diberikan dalam bentuk kombinasi dari beberapa jenis obat,
dalam jumlah cukup dan dosis tepat sesuai dengan kategori
pengobatan. Hal ini untuk mencegah timbulnya kekebalan terhadap
OAT.
2) Untuk menjamin kepatuhan penderita dalam menelan obat,
pengobatan dilakukan dengan pengawasan langsung (DOT=
Directly Observed Treatment) oleh seorang Pengawas Menelan
Obat (PMO).
3) Pengobatan TB diberikan dalam 2 tahap, yaitu :
a) Tahap Intensif
Pada tahap intensif (awal) penderita mendapat obat setiap hari
17
dan perlu diawasi secara langsung untuk mencegah terjadinya
kekebalan obat. Bila pengobatan tahap intensif tersebut
diberikan secara tepat, biasanya penderita menular menjadi tidak
menular dalam kurun waktu dua minggu. Sebagian besar
penderita TB BTA positif menjadi BTA negatif (konversi)
dalam 2 bulan (Kemenkes, 2009).
b) Tahap Lanjutan
Pada tahap lanjutan penderita mendapat jenis obat lebih sedikit,
namun dalam jangka waktu yang lebih lama. Tahap lanjutan
penting untuk membunuh kuman persister (dormant) sehingga
mencegah terjadinya kekambuhan (Kemenkes, 2009).
c. Regimen OAT
Obat Anti Tuberkulosis yang dipakai dalam pengobatan TB
adalah antibotik dan anti infeksi sintetis untuk membunuh kuman
Mycobacterium tuberculosis. Aktifitas obat TB didasarkan atas tiga
mekanisme, yaitu aktifitas membunuh bakteri, aktifitas sterilisasi, dan
mencegah resistensi. Obat yang umum dipakai adalah Isoniazid,
Etambutol, Rifampisin, Pirazinamid, dan Streptomisin. Kelompok
obat ini disebut sebagai obat primer. Isoniazid adalah obat TB yang
paling poten dalam hal membunuh bakteri dibandingkan dengan
rifampisin dan streptomisin. Rifampisin dan pirazinamid paling poten
dalam mekanisme sterilisasi. Sedangkan obat lain yang juga pernah
18
dipakai
adalah Natrium
Para Amino
Salisilat,
Kapreomisin,
Sikloserin, Etionamid, Kanamisin, Rifapentin dan Rifabutin. Natrium
Para Amino Salisilat, Kapreomisin, Sikloserin, Etionamid, dan
Kanamisin umumnya mempunyai efek yang lebih toksik, kurang
efektif, dan dipakai jika obat primer sudah resisten. Rifapentin dan
Rifabutin digunakan sebagai alternatif untuk Rifamisin dalam
pengobatan kombinasi anti TB (Ditjen Binfar dan Alkes, 2005).
Regimen pengobatan TB mempunyai kode standar yang
menunjukkan tahap dan lama pengobatan, jenis OAT, cara pemberian
(harian atau selang) dan kombinasi OAT dengan dosis tetap. Kode
huruf seperti 2HRZE/4H3R3 atau 2HRZES/5HRE adalah akronim
dari nama obat yang dipakai, yakni H=Isoniazid, R=Rifampisin,
Z=Pirazinamid, E=Etambutol, dan S=Streptomisin. Angka yang
terdapat dalam kode menunjukkan waktu atau frekuensi pengobatan.
Angka 2 di depan seperti pada “2HRZE”, artinya digunakan selama 2
bulan, setiap hari satu kombinasi tersebut, sedangkan untuk angka
dibelakang huruf, seperti pada “4H3R3” artinya dipakai 3 kali
seminggu ( selama 4 bulan). Pada pengobatan kategori I dipakai
2HRZE/4H3R3, artinya pada tahap awal/intensif adalah 2HRZE yaitu
lama pengobatan 2 bulan, masing masing OAT (HRZE) diberikan
setiap hari. Tahap lanjutan adalah 4H3R3 yaitu lama pengobatan 4
19
bulan, masing masing OAT (HR) diberikan 3 kali seminggu (Ditjen
Binfar dan Alkes, 2005).
Tabel I. Paduan pengobatan standar yang direkomendasikan oleh WHO
dan IUATLD (International Union Against Tuberculosis and Lung Disease)
(Ditjen PP dan PL, 2011)
Regimen OAT
Kategori 1
• 2HRZE/4H3R3
• 2HRZE/4HR
• 2HRZE/6HE
Kategori 2
• 2HRZES/HRZE/5H3R3E3
• 2HRZES/HRZE/5HRE
Kategori 3
• 2HRZ/4H3R3
• 2HRZ/4HR
• 2HRZ/6HE
Paduan pengobatan yang digunakan oleh Program Nasional
Penanggulangan TB oleh Pemerintah Indonesia yaitu :
1) Kategori 1 (2HRZE/4H3R3)
Tahap intensif terdiri dari HRZE diberikan setiap hari selama 2
bulan. Kemudian diteruskan dengan tahap lanjutan yang terdiri dari
HR diberikan tiga kali dalam seminggu selama 4 bulan. Obat ini
diberikan untuk penderita baru TB paru BTA positif, penderita
baru TB paru BTA negatif rontgen positif yang sakit berat, dan
penderita TB ekstra paru berat.
Tabel II Dosis untuk panduan OAT KDT untuk Kategori 1
Berat Badan
30 – 37 kg
38 – 54 kg
55 – 70 kg
71 kg
(Ditjen PP dan PL, 2011)
Tahap Intensif
Tiap hari selama 58 hari
RHZE (150/75/400/275)
2 tablet 4 KDT
3 tablet 4 KDT
4 tablet 4 KDT
5 tablet 4 KDT
Tahap Lanjutan
3x seminggu selama 16 minggu
RH (150/150)
2 tablet 2 KDT
3 tablet 2 KDT
4 tablet 2 KDT
5 tablet 2 KDT
20
Tabel III Dosis untuk panduan OAT Kombipak untuk Kategori 1
Tahap
Pengobatan
Lama
Pengobatan
Intensif
2 bulan
Lanjutan
4 bulan
Keterangan :
INH = Isoniazid
PZA = Pirazinamid
(Ditjen PP dan PL, 2011)
Dosis per hari / kali
Tablet
Kaplet
Tablet
INH
RIF
PZA
@300 mg
@450 mg
@500 mg
1
1
3
2
1
-
Tablet
ETB
@250 mg
3
-
Jumlah
hari/kali
menelan
obat
56
48
RIF = Rifampisin
ETB = Etambutol
2) Kategori 2 (2HRZES/HRZE/5H3R3E3)
Tahap intensif diberikan selama 3 bulan, yang terdiri dari 2 bulan
dengan HRZES setiap hari. Dilanjutkan 1 bulan dengan HRZE
setiap hari. Setelah itu diteruskan dengan tahap lanjutan selama 5
bulan dengan HRE yang diberikan tiga kali dalam seminggu. Obat
ini diberikan untuk penderita TB paru BTA(+) yang sebelumnya
pernah diobati, yaitu penderita kambuh (relaps), penderita gagal
(failure), dan penderita dengan pengobatan setelah putus berobat
(default). Dosis yang digunakan untuk panduan OAT FDC dapat
dilihat pada tabel IV.
Tabel IV. Dosis untuk panduan OAT KDT untuk Kategori 2
Berat Badan
30 – 37 kg
38 – 54 kg
55 – 70 kg
71 kg
(Ditjen PP dan PL, 2011)
Tahap Intensif
Tiap hari selama 58 hari
RHZE (150/75/400/275) + S
Selama 56 hari
Selama 28 hari
2 tablet 4 KDT
2 tablet 4 KDT
+ 500 mg streptomisin inj.
3 tablet 4 KDT
3 tablet 4 KDT
+ 750 mg streptomisin inj.
4 tablet 4 KDT
4 tablet 4 KDT
+ 1000 mg streptomisin inj.
5 tablet 4 KDT
5 tablet 4 KDT
+ 1500 mg streptomisin inj.
Tahap Lanjutan
3 kali seminggu
RH (150/150) + E (400)
selama 20 minggu
2 tablet 2 KDT
+ 2 tablet Etambutol
3 tablet 2 KDT
+ 3 tablet Etambutol
4 tablet 2 KDT
+ 4 tablet Etambutol
5 tablet 2 KDT
+ 5 tablet Etambutol
21
Tabel V. Dosis untuk panduan OAT Kombipak untuk Kategori 2
(Ditjen PP dan PL, 2011)
Tahap Intensif (dosis harian)
Lama pengobatan Lama pengobatan
2 bulan
1 bulan
1
1
Obat
Tahap lanjutan
(dosis 3x
seminggu)
2
Tablet Isoniazid
@300 mg
Kaplet Rifampisin
1
1
1
@450 mg
Tablet
3
3
Pirazinamid
@500 mg
Tablet Etambutol
3
3
1
@250 mg
Tablet Etambutol
2
@400 mg
Streptomisin Inj
0,75 g
Jumlah hari/kali
56
28
60
menelan obat
Keterangan :
. Untuk pasien yang berumur 60 tahun ke atas dosis maksimal untuk
streptomisin adalah 500mg tanpa memperhatikan berat badan.
· Untuk perempuan hamil lihat pengobatan TB dalam keadaan khusus.
· Cara melarutkan streptomisin vial 1 gram yaitu dengan menambahkan
aquabidest sebanyak 3,7ml sehingga menjadi 4ml. (1ml = 250mg).
3) Kategori 3 (2 HRZ/4H3R3)
Tahap intensif terdiri dari HRZ diberikan setiap hari selama 2
bulan (2HRZ), diteruskan dengan tahap lanjutan terdiri dari HR
selama 4 bulan diberikan 3 kali seminggu. Obat ini diberikan untuk
penderita baru BTA negatif dan rontgen positif sakit ringan dan
penderita TB ekstra paru ringan.
Tabel VI. Dosis untuk panduan OAT Kombipak untuk Kategori 3
(Ditjen Binfar dan Alkes, 2005)
Tahap
Pengobatan
Intensif
Lanjutan
Lama
Pengobatan
Tablet
Isoniazid
@300 mg
2 bulan
4 bulan
1
2
Dosis per hari / kali
Kaplet
Tablet
Rifampisin
Pirazinamid
@450 mg
@500 mg
1
1
3
-
Jumlah
hari/kali
menelan
obat
56
50
22
4) OAT Sisipan (HRZE)
OAT sisipan diberikan pada penderita yang pada akhir tahap
intensif pengobatan penderita baru BTA positif dengan kategori 1
atau penderita BTA positif pengobatan ulang dengan kategori 2,
hasil pemeriksaan dahak masih BTA positif, diberikan obat sisipan
(HRZE) setiap hari selama 1 bulan.
Tabel VII. Dosis untuk panduan OAT KDT untuk Sisipan
(Ditjen PP dan PL, 2011)
Tahap Intensif
Berat Badan
Tiap hari selama 28 hari
RHZE (150/75/400/275)
30 – 37 kg
2 tablet 4 KDT
38 – 54 kg
3 tablet 4 KDT
55 – 70 kg
4 tablet 4 KDT
71 kg
5 tablet 4 KDT
Tabel VIII. Dosis untuk panduan OAT Kombipak untuk Sisipan Tabel VIII
(Ditjen PP dan PL, 2011)
Dosis per hari / kali
Tahap
Lama
Tablet
Kaplet
Tablet
Tablet
Pengobatan
Pengobatan
Isoniazid
Rifampisin Pirazinamid
Etambutol
@300 mg
@450 mg
@500 mg
@250 mg
Intensif
2 bulan
1
1
3
3
d. Perhatian khusus untuk penggunaan OAT
Beberapa kondisi yang perlu diperhatikan selama penggunaan OAT
antara lain (Ditjen Binfar dan Alkes, 2005):
1) Wanita hamil
Pada prinsipnya paduan pengobatan TB pada wanita hamil tidak
berbeda dengan pengobatan TB pada umumnya. Semua jenis OAT
aman untuk wanita hamil, kecuali streptomisin karena dapat
Jumlah
hari/kali
menelan
obat
28
23
menembus barier placenta dan dapat menyebabkan permanent
ototoxic terhadap janin dengan akibat terjadinya gangguan
pendengaran dan keseimbangan yang menetap pada janin tersebut.
Perlu
dijelaskan
kepada
ibu
hamil
bahwa
keberhasilan
pengobatannya sangat penting artinya supaya proses kelahiran
dapat berjalan lancar dan bayi yang akan dilahirkannya terhindar
dari kemungkinan penularan TB.
2) Ibu menyusui dan bayinya
Pada prinsipnya paduan pengobatan TB pada ibu menyusui tidak
berbeda dengan pengobatan pada umumnya. Semua jenis OAT
aman untuk ibu menyusui. Seorang ibu menyusui yang menderita
TB harus mendapat paduan OAT secara adekuat. Pemberian OAT
yang tepat merupakan cara terbaik untuk mencegah penularan
kuman TB kepada bayinya. Ibu dan bayi tidak perlu dipisahkan
sehingga bayi dapat terus menyusu. Pengobatan pencegahan
dengan INH dapat diberikan kepada bayi tersebut sesuai dengan
berat badannya selama 6 bulan. BCG diberikan setelah pengobatan
pencegahan.
3) Wanita penderita TB pengguna kontrasepsi
Kontrasepsi hormonal adalah kontrasepsi yang mengandung
hormon estrogen dan progesteron. Rifampisin berinteraksi dengan
kontrasepsi hormonal (pil KB, suntikan KB, susuk KB), sehingga
24
dapat menurunkan efektifitas kontrasepsi tersebut. Seorang wanita
penderita
TB
seyogyanya
mengggunakan
kontrasepsi
nonhormonal, atau kontrasepsi yang mengandung estrogen dosis
tinggi (50 mcg).
4) Penderita TB dengan infeksi HIV/AIDS
Prosedur pengobatan TB pada penderita dengan infeksi HIV/AIDS
adalah sama seperti penderita TB lainnya. Obat TB yang
digunakan oleh penderita HIV/AIDS memiliki keefektifan yang
sama dengan penderitan tanpa penyakit HIV/AIDS.
5) Penderita TB dengan hepatitis akut
Pemberian OAT pada penderita TB dengan hepatitis akut
dihentikan hingga hepatitis akutnya mengalami penyembuhan.
Pada keadaan dimana pengobatan TB sangat diperlukan dapat
diberikan SE selama 3 bulan sampai hepatitisnya menyembuh dan
dilanjutkan dengan RH selama 6 bulan, bila hepatitisnya tidak
menyembuh seharus dilanjutkan sampai 12 bulan.
6) Penderita TB dengan penyakit hati kronik
Bila ada kecurigaan gangguan fungsi hati, dianjurkan pemeriksaan
faal hati sebelum pengobatan TB. Apabila Serum Glutamic
Oxaloacetic (SGOT) dan Serum Glutamic Pyruvic Transaminase
(SGPT) meningkat lebih dari 3 kali OAT harus dihentikan.
25
Pirazinamid (Z) tidak boleh digunakan. Paduan obat yang dapat
dianjurkan adalah 2RHES/6RH atau 2HES/10HE atau 9RE.
7) Penderita TB dengan gangguan ginjal
Isoniazid, Rifampisin dan Pirazinamid dapat diberikan dengan
dosis normal pada penderita-penderita dengan gangguan ginjal.
Pasien dengan gangguan ginjal sebaiknya menghindari penggunaan
Streptomisin dan Etambutol kecuali dapat dilakukan pengawasan
fungsi ginjal dan dengan dosis diturunkan atau interval pemberian
yang lebih jarang. Paduan OAT yang paling aman untuk penderita
dengan gangguan ginjal adalah 2RHZ/6HR.
8) Penderita TB dengan Diabetes Melitus
Penyakit diabetes pada pasien TB harus dikontrol. Perlu
diperhatikan bahwa penggunaan Rifampisin akan mengurangi
efektifitas obat oral anti diabetes (sulfonil urea) sehingga dosisnya
perlu ditingkatkan. Hati-hati dengan penggunaan etambutol, karena
mempunyai komplikasi terhadap mata.
9) Penderita TB yang perlu mendapat tambahan kortikosteroid
Kortikosteroid hanya digunakan pada keadaan khusus yang
membahayakan jiwa pasien seperti pada pasien Meningitis TB, TB
milier dengan atau tanpa meningitis, TB dengan Pleuritis
eksudativa, TB dengan Perikarditis konstriktiva. Selama fase akut
prednison diberikan dengan dosis 30-40 mg per hari, kemudian
26
diturunkan secara bertahap. Lama pemberian disesuaikan dengan
jenis penyakit dan kemajuan pengobatan.
3. Kepatuhan Pasien Tuberkulosis
Salah satu kunci keberhasilan pengobatan TB adalah kepatuhan
penderita terhadap farmakoterapi. Kemungkinan ketidakpatuhan pasien
TB dalam menjalani terapi sangat besar karena pemakaian obat anti
tuberkulosis dalam jangka waktu yang panjang, jumlah obat yang
diminum perhari cukup banyak, efek samping yang mungkin timbul dan
kurangnya kesadaran penderita akan penyakitnya Kepatuhan adalah
keterlibatan penderita dalam penyembuhan dirinya. Kepatuhan penderita
yang meningkat diharapkan tidak menimbulkan resistensi obat yang dapat
merugikan penderita itu sendiri maupun lingkungan, mencegah terjadinya
kekambuhan bahkan kematian (Ditjen Binfar dan Alkes, 2005).
Penyakit tuberkulosis dapat disembuhkan jika pasien menjalani
pengobatan
lengkap,
tetapi
ketidakpatuhan
terhadap
pengobatan
merupakan masalah yang sering ditemui. Bentuk-bentuk ketidakpatuhan
terhadap farmakoterapi bagi penderita TB yaitu pasien tidak mengambil
obatnya, minum obat dengan dosis yang salah, minum obat pada waktu
yang salah, lupa minum obat, dan berhenti minum obat sebelum waktunya.
Sedangkan faktor penyebab ketidakpatuhan yang berasal dari pasien TB
yaitu kondisi yang asimtomatik, pemakaian obat lama (kondisi kronis),
pelupa (daya ingat yang kurang baik), regimen kompleks, jumlah obat
27
yang banyak, ukuran obat yang relatif besar, penderita khawatir akan efek
samping dan komunikasi yang buruk antara penderita dan dokter/apoteker
(Ditjen Binfar dan Alkes, 2005; Dep. Health, 2014).
Apoteker dapat melakukan intervensi untuk meningkatkan
kepatuhan terapi OAT dengan memberikan informasi sesuai kebutuhan
penderita sehingga penderita memahami kondisi dan risiko kesehatannya,
memahami risiko bahwa ketidakpatuhan dapat menyebabkan resistensi,
memahami efektifitas pengobatan, dan juga meyakinkan bahwa penderita
dapat melibatkan diri dalam proses penyembuhan penyakitnya. Reminder
atau alat pengingat yang dapat dipakai dan dianjurkan adalah kalender,
instruksi yang jelas dengan huruf yang besar dan mencolok, surat, pamflet,
atau pun via telepon (Ditjen Binfar dan Alkes, 2005).
4. Pemantauan Terapi OAT
Pemantauan kemajuan hasil pengobatan pada orang dewasa
dilaksanakan dengan pemeriksaan ulang dahak secara mikroskopis.
Pemeriksaan dahak secara mikroskopis lebih baik dibandingkan dengan
pemeriksaan radiologis dalam memantau kemajuan pengobatan. Laju
Endap Darah (LED) tidak digunakan untuk memantau kemajuan
pengobatan karena tidak spesifik untuk TB. Untuk memantau kemajuan
pengobatan dilakukan pemeriksaan spesimen sebanyak dua kali (sewaktu
dan pagi). Hasil pemeriksaan dinyatakan negatif bila ke 2 spesimen
tersebut negatif. Bila salah satu spesimen positif atau keduanya positif,
28
hasil pemeriksaan ulang dahak tersebut dinyatakan positif. Tindak lanjut
hasil pemriksaan ulang dahak mikroskopis dapat dilihat pada tabel di
bawah ini.
Tabel IX. Tindak lanjut Hasil Pemeriksaan ulang dahak
(Ditjen PP dan PL, 2011)
Tipe Pasien TB
Tahap
Pemeriksaan
Tindak Lanjut
Pengobatan
Dahak
Negatif
Tahap lanjutan dimulai
Positif
Dilanjutkan dengan
OAT sisipan
Akhir tahap intensif
selama 1 bulan.
Jika setelah sisipan
masih tetap positif:
tahap lanjutan tetap
diberikan.
jika memungkinkan,
lakukan
biakan, tes resistensi
Pasien baru
atau rujuk ke
dengan
layanan TB-MDR
pengobatan
kategori 1
Pada bulan
pengobatan
Negatif
Pengobatan dilanjutkan
Positif
Pengobatan diganti
dengan OAT
Kategori 2 mulai dari
awal.
Jika memungkinkan,
lakukan biakan,
tes resistensi atau rujuk
ke layanan
TB-MDR
Pengobatan dilanjutkan
Pengobatan diganti
dengan OAT
Kategori 2 mulai dari
awal.
Jika memungkinkan,
lakukan biakan,
tes resistensi atau rujuk
ke layanan
TB-MDR
Teruskan pengobatan
dengan tahap
ke-5
Negatif
Positif
Akhir
(AP)
Pengobatan
Negatif
29
Positif
Akhir tahap intensif
Pasien paru
BTA positif
dengan
pengobatan
ulang
kategori 2
ke-5
Negatif
Positif
Pengobatan
Negatif
Positif
Pada bulan
pengobatan
Akhir
(AP)
lanjutan.
Beri Sisipan 1 bulan.
Jika setelah
sisipan masih tetap
positif, teruskan
pengobatan tahap
lanjutan. Jika
setelah sisipan masih
tetap positif:
tahap lanjutan tetap
diberikan
jika memungkinkan,
lakukan
biakan, tes resistensi
atau rujuk ke
layanan TB-MDR
Pengobatan diselesaikan
Pengobatan dihentikan ,
rujuk ke
layanan TB-MDR
Pengobatan diselesaikan
Pengobatan dihentikan ,
rujuk ke
layanan TB-MDR
Pengobatan
dihentikan , rujuk ke
layanan TB-MDR
Pengobatan dihentikan ,
rujuk ke
layanan TB-MDR
Tatalaksana untuk pasien yang berobat tidak teratur dapat dilihat pada tabel
dibawah ini:
Tabel X. Tatalaksana pasien yang berobat tidak teratur
(Ditjen PP dan PL, 2011)
Tindakan pada pasien yang putus berobat kurang dari 1 bulan:
Lacak pasien
Diskusikan dengan pasien untuk mencari penyebab berobat tidak teratur
Lanjutkan pengobatan sampai seluruh dosis selesai
Tindakan pada pasien yang putus berobat antara 1-2 bulan:
Tindakan – 1
Tindakan-2
Diskusikan dan
Bila hasil BTA
Lanjutkan pengobatan sampai seluruh
cari masalah
negatif atau Tb
dosis selesai
Periksa 3 kali
extra paru:
dahak (SPS)
Bila satu atau lebih
Lama pengobatan
Lanjutkan
dan lanjutkan
hasil BTA positif
sebelumnya kurang
pengobatan sampai
pengobatan
dari 5 bulan *
seluruh dosis
30
sementara
menunggu
hasilnya
Lama pengobatan
sebelumnya l
selesai
Kategori-1:
mulai kategori-2
Kategori-2:
rujuk, mungkin
kasus TB
resistan obat.
Tindakan pada pasien yang putus berobat lebih 2 bulan (Default)
Periksa 3 kali
Bila hasil BTA
Pengobatan dihentikan, pasien diobservasi
dahak SPS
negatif atau Tb
bila gejalanya semakin parah perlu
Diskusikan dan
extra paru:
dilakukan pemeriksaan kembali (SPS dan
cari masalah
atau biakan)
Hentikan
Bila satu atau lebih
Kategori – 1
Mulai kategori – 2
pengobatan
hasil BTA positif
Kategori – 2
Rujuk, kasus TB
sambil
resistan obat
menunggu hasil
pemeriksaan
dahak.
Keterangan :
*) Tindakan pada pasien yang putus berobat antara 1-2 bulan dan lama pengobatan
sebelumnya kurang dari 5 bulan:
lanjutkan pengobatan dulu sampai seluruh dosis selesai dan 1 bulan sebelum akhir
pengobatan harus diperiksa dahak.
5. Hasil Pengobatan Pasien TB BTA Positif
Hasil pengobatan akan menentukan langkah selanjutnya yang
harus ditempuh dan dapat digolongkan menjadi (Kemenkes, 2009):
a. Sembuh
Pasien telah menyelesaikan pengobatannya secara lengkap dan
pemeriksaan ulang dahak (follow-up) hasilnya negatif pada Akhir
pengobatan (AP) dan minimal satu pemeriksaan sebelumnya negatif.
b. Pengobatan Lengkap
Pasien yang telah menyelesaikan pengobatannya secara lengkap tetapi
tidak memenuhi syarat sembuh atau gagal.
31
c. Meninggal
Pasien yang meninggal dalam pengobatan karena sebab apapun.
d. Pindah
Pasien yang pindah berobat ke unit dengan register TB 03 yang lain dan
hasil pengobatannya tidak diketahui.
e. Default (putus obat)
Pasien TB yang tidak berobat 2 bulan berturut-turut atau lebih sebelum
masa pengobatannya selesai.
f. Gagal
Pasien yang hasil pemeriksaan dahaknya tetap positif atau kembali
menjadi positif pada bulan kelima atau lebih selama pengobatan.
F. Keterangan Empiris
Penelitian
ini
dilakukan
untuk
mengetahui
karakteristik
pasien
tuberkulosis paru, gambaran pola pengobatan, gambaran tingkat kepatuhan dan
faktor-faktor yang mendukung kepatuhan pengobatan pasien tuberkulosis paru
yang menjalani terapi di Puskesmas Kabupaten Bantul.
Download