BAB I PENDAHULUAN Latar Belakang Bagi remaja, sekolah tidak hanya berfungsi sebagai tempat belajar formal saja, namun juga menjadi salah satu lingkungan utama selain keluarga sebagai pusat kegiatan sosial. Seperti diungkapkan Stracuzzi dan Mills (2010) bahwa pada masa-masa ini, remaja menghabiskan sebagian besar waktu mereka untuk beraktivitas di sekolah. Siswa yang merasa dirinya dihargai, didukung, dan diterima dalam lingkungan sekolahnya, terjadi perkembangan yang positif secara sosial, emosional maupun kualitas hidup siswa tersebut. Hasil studi Konu dan Rimpela (2002) mengindikasikan bahwa konteks sekolah berpengaruh terhadap kesejahteraan siswa. Kesejahteraan siswa di sekolah dipengaruhi oleh faktor-faktor dukungan sosial (orang tua, guru, dan teman) dan kondisi sekolah (kenyamanan, dampak positif dan dampak negatif). Kesejahteraan siswa juga berkorelasi dengan peningkatan hasil akademik, kehadiran di sekolah, perilaku prososial, keamanan sekolah dan kesehatan mental (Noble, McGrath, Roffey & Rowling, 2008). Tian, Liu, Huang, Huebner (2012) berpendapat bahwa pada remaja awal, dukungan orang tua dan guru, berkorelasi signifikan dengan kesejahteraan siswa di sekolah. Siswa remaja yang sejahtera lebih mudah mempelajari dan memahami informasi secara efektif serta menunjukkan perilaku sehat dan memuaskan sosial yang (Awartani, Whitman dan Gordon, 2008; Blum dkk., 2002). Sebaliknya, siswa remaja yang kurang sejahtera cenderung membentuk evaluasi diri negatif yang berpengaruh besar terhadap kebahagiaan dan kepuasan serta rentan mengalami masalah sosial yang serius (Wilkinson, 2004). Zahra (2013) berpendapat bahwa rasa sejahtera siswa di sekolah dapat meningkatkan prestasi akademik siswa, karena karena siswa merasa semua kebutuhan perkembangannya terpenuhi selama berada di sekolah. Selain itu, dalam penelitian ini juga disebutkan jika ketersediaan fasilitas sekolahnya baik, kualitas guru juga baik, serta pelayanan kesehatan di sekolah memadai, akan menjadi tolok ukur bahwa secara umum kesejahteraan siswa telah terpenuhi. 1 2 Sekolah yang baik adalah sekolah yang diharapkan mampu memberikan pengalaman terbaik bagi siswa sehingga membuat siswa-siswinya merasa sejahtera karena kesejahteraan siswa mempengaruhi hampir seluruh aspek bagi optimalisasi fungsi siswa di sekolah (Smith dkk, 2010). Oleh karena itu siswa remaja perlu merasa sejahtera ketika berada di sekolah (Blum, McNeely, & Rinehart, 2002; Gonzalez, Casas, & Coenders, 2007; Van Petegem, Creemers, Aelterman & Rosseel, 2008; World Health Organization, 2008). Setiap orangtua tentu menginginkan putra-putrinya mendapatkan sekolah yang dapat memberikan kesejahteraan bagi siswa secara optimal. Saat ini banyak orang tua memilih model sekolah yang berasrama (boarding school) bagi anakanak mereka yang berada dalam rentang usia remaja. Apalagi dengan kesibukan orangtua yang tidak memiliki banyak waktu untuk memantau anak-anak dalam kegiatan keseharian, karena kedua orangtua bekerja sehingga anak tidak lagi terkontrol dengan baik maka sekolah berasrama menjadi pilihan untuk menitipkan anak-anak mereka, dengan harapan mendapatkan pengawasan yang lebih intensif baik asupan nutrisi, kesehatan, keamanan, sosial, dan yang paling penting adalah integrasi antara akademis dan agama. Selain itu, polusi sosial yang sekarang ini melanda lingkungan kehidupan masyarakat seperti pergaulan bebas, narkoba, tawuran pelajar, pengaruh media, terutama gawai/gadget, ikut mendorong banyak orang tua untuk menyekolahkan anaknya di sekolah berasrama (Maslani, 2012). Sekolah berasrama (boarding school) adalah model sekolah yang mewajibkan siswanya untuk menginap atau menetap selama bersekolah di sekolah tersebut atau dengan waktu yang ditentukan sekolah. Sekolah berasrama pada umumnya memiliki kebijakan dan peraturan yang ketat. Para siswa yang tinggal di asrama umumnya berada dalam kontrol dan pengawasan yang melekat, dituntut untuk mandiri dan selalu mentaati peraturan yang berlaku, sehingga kedisiplinan dan ketegasan yang berhubungan dengan penerapan hukuman terkadang menjadi ciri khas dari sekolah berasrama. Hal ini dilakukan dalam rangka membentuk dan mendidik karakter siswa, sehingga siswa diharapkan dapat lebih berakhlak mulia, disiplin, mandiri, bertanggungjawab, terarah dalam studi, merasakan kebersamaan dan mendapatkan pembekalan ilmu praktis ke-Islaman secara lebih mendalam. 3 Siswa yang tinggal di asrama, selain diwajibkan mengikuti pelajaran umum di sekolah, juga dituntut untuk mendalami ilmu praktis ke-Islaman, seperti; membaca dan menghafal Al Quran, memperdalam ilmu fikih, belajar dan berlatih muhadarah (berpidato), belajar ilmu seni ke-Islaman dan lain-lain (Dimyati, 2015). Hasil survei awal peneliti di sekolah berasrama SMP Islam Al-Abidin Surakarta diketahui bahwa sekolah berasrama tersebut menerapkan aturan-aturan yang harus ditaati. Untuk 2 (dua) minggu pertama siswa dikarantina dan dilarang untuk bertemu dengan keluarga. Ada jadwal pulang ke rumah setiap 2 (dua) pekan sekali. Setiap harinya siswa menghabiskan waktu di lingkungan sekolah, bersama dengan teman dan guru-guru pendamping asrama (musyrif/musyrifah) yang juga berperan sebagai penanggung jawab siswa bila berada di asrama. Semua kegiatan siswa sehari-hari hanya berada di sekitar asrama dan sekolah. Siswa tidak diperkenankan untuk meninggalkan area sekolah dan asrama tanpa seizin pihak sekolah. Siswa melakukan kegiatan sehari-hari berdasarkan aturan-aturan yang ditetapkan pihak sekolah. Dimulai dari ketentuan jam bangun pagi, sarapan, berangkat sekolah, kegiatan di asrama yaitu dzikir sore, sholat magrib berjama’ah, tilawah/membaca Al-Qur’an, mentoring dengan guru pendamping di asrama, sholat isya’ berjamaah, tilawah mandiri, pendampingan belajar malam, hingga saat siswa akan beristirahat di malam hari. Hasil penelitian Sutris (2008), pengelola sekolah berasrama, menunjukkan bahwa hampir 75% siswa yang mengikuti pendidikan dengan sistem sekolah berasrama adalah kemauan dari orangtua bukan dari siswa itu sendiri. Akibatnya dibutuhkan waktu yang lama (rata-rata empat bulan) untuk siswa menyesuaikan diri dan masuk kedalam konsep pendidikan berasrama yang integratif. Tidak mudah bagi siswa untuk menyesuaikan diri dengan kehidupan asrama. Peralihan dari lingkungan keluarga ke lingkungan asrama akan menimbulkan perubahan yang signifikan bagi remaja. Karakteristik usia remaja sendiri masih membutuhkan proses penyesuaian diri yang tidak mudah, karena merupakan masa transisi dari masa kanak-kanak menuju masa dewasa dengan berbagai tugas perkembangan yang harus dijalani. Santrock (2012) menyebut remaja (adolescence) sebagai periode 4 pertumbuhan antara anak-anak ke dewasa atau masa transisi dari anak- anak menuju ke masa dewasa. Dengan kata lain, mereka tidak termasuk golongan anak, tetapi mereka tidak juga masuk golongan dewasa (Mönks, Knoers & Haditono, 2002). Masa remaja adalah awal periode kehidupan yang penuh dengan dinamika, dimana pada masa ini terjadi perkembangan dan perubahan yang sangat pesat. Pada masa ini setiap individu tumbuh dan berkembang selama perjalanan kehidupannya melalui beberapa periode atau fase-fase perkembangan. Setiap fase perkembangan mempunyai serangkain tugas perkembangan yang harus diselesaikan dengan baik oleh setiap individu, sebab kegagalan menyelesaikan tugas-tugas perkembangan pada fase tertentu berakibat tidak baik pada fase berikutnya. Keberhasilan dalam menyelesaikan tugas-tugas perkembangan pada fase tertentu akan memperlancar pelaksanaan tugas-tugas perkembangan pada fase berikutnya sesuai dengan kebutuhannya. Kebutuhan-kebutuhan yang dimiliki oleh setiap individu tidak akan pernah berhenti sepanjang hidupnya. Jika remaja tidak mencapai kesejahteraannya dapat menyebabkan berbagai masalah. Masalah-masalah tersebut berhubungan dengan adanya kebutuhan untuk mencapai kesejahteraan dalam rangka penyesuaian diri terhadap lingkungan tempat remaja itu hidup dan berkembang. Masalah pengembangan potensi dan masalah kesulitan dalam penyesuaian diri yang bernuansa negatif merupakan masalah yang sering dialami oleh remaja sehingga remaja tidak akan merasa puas dengan kehidupannya. Siswa terbiasa hidup dengan kontrol orangtua, namun di asrama siswa dituntut untuk mandiri dan mengerjakan apa yang harus dikerjakan terlebih dahulu sesuai dengan kontrol dirinya. Hasil wawancara awal peneliti dengan J, salah satu siswi SMP Islam AlAbidin Surakarta, mengungkap beberapa hal yang menyebabkan sebagian siswa pada awal masuk asrama belum siap menerima kondisi dan model pendidikan sekolah berasrama. Siswa merasakan ketidaknyamanan karena kondisi asrama yang berbeda dengan kondisi dirumah mereka, seperti kamar yang dihuni oleh banyak orang, tidak ber-AC sehingga terasa panas, tidak diperkenankan 5 membawa gawai/gadget, kamar mandi yang dipakai secara bersamaan yang membuat siswa harus antri. Siswa mengeluh dengan kondisi dan keadaan di asrama, mulai dari kebersihan air dan lingkungan, keamanan, kenyamanan, menu makan yang seringkali tidak sesuai selera mereka, ditambah tugas-tugas sekolah yang cukup banyak, serta padat dan ketatnya kegiatan dan aturan yang diberlakukan di asrama, yang akhirnya tak jarang membuat siswa merasa stress/tertekan, sehingga menimbulkan rasa tidak betah siswa untuk tinggal di asrama. Menurut M, salah satu siswa yang sempat peneliti temui saat survey awal di asrama SMP Islam Al-Abidin Surakarta juga mengeluhkan kurangnya kebersihan air di asrama, sering terdapat jentik-jentik dan kotornya bak mandi sehingga tak jarang mengakibatkan penyakit kulit seperti gatal-gatal pada beberapa siswa. Berdasarkan keterangan Ms.R, salah satu guru pendamping asrama SMP Islam Al-Abidin Surakarta, diperoleh informasi bahwa setiap tahun ada saja siswa yang mengalami masalah dengan sistem asrama. Misalnya siswa yang tidak mampu menyesuaikan diri dengan aturan-aturan yang telah ditetapkan akhirnya tidak betah dan memutuskan untuk keluar dari asrama, khususnya siswa baru kelas satu yang baru saja tinggal di asrama seperti terungkap dalam wawancara berikut: “Dulu N baru seminggu masuk boarding udah sering nangis dan telfon ibunya minta dijemput pulang dan nggak mau kembali ke boarding lagi” (R, 26 Oktober 2016). Keluhan tentang sikap guru pendamping asrama yang kadang kurang hangat dan kurang memahami kondisi psikologis siswa remaja, serta sering terjadinya turn over/pergantian guru pendamping asrama karena menikah dan harus keluar/pindah juga diungkapkan siswa yang peneliti temui di SMP Islam AlAbidin Surakarta saat survey awal sebagaimana ungkapan berikut: ”Aku sebel sama miss K soalnya suka nyindir di depan forum, bicaranya suka sinis, tapi kalo miss S dan N orangnya baik banget mau ngertiin kita kalo lagi curhat. Makanya sedih banget dan pada nangis waktu miss N mau nikah trus pindah ikut suaminya, juga waktu miss S melanjutkan studi trus pindah kota “(J, 26 Oktober 2016). 6 Keluhan-keluhan siswa tersebut menunjukkan rasa tidak nyaman terutama bagi siswa yang kebetulan sedang mengalami masalah dan membutuhkan orang yang seharusnya dipercaya dan mampu mendengarkan segala keluh kesah mereka, apalagi karena jauh dari orangtua.Tekanan-tekanan yang dirasakan siswa secara psikologis tak jarang membuat siswa sering meninggalkan asrama, tidak mengikuti kegiatan-kegiatan yang dilaksanakan di asrama dan sekolah, sering sakit-sakitan dan berbagai kondisi psikologis lainnya muncul sebagai akibat ketidakbetahan dan penolakan siswa terhadap kondisi kehidupan asrama. Karena beragamnya latar belakang para siswa yang tinggal dalam suatu asrama, maka potensi terjadinya suatu konflik cukup besar, selain itu masih labilnya emosi para siswa dapat memperbesar potensi terjadinya konflik dalam suatu asrama tersebut (Dimyati, 2015). Berdasarkan keterangan Ms.N, salah satu guru pendamping asrama pada wawancara awal di asrama SMP Islam Al-Abidin Surakarta, ditemukan beberapa kasus yang bersifat pelanggaran yang dilakukan oleh siswa berasrama, dari pelanggaran yang sifatnya masih ringan seperti terlambat mengikuti kegiatan yang dijadwalkan, terlambat bangun tidur sehingga ketinggalan jamaah sholatnya, keluar asrama tanpa ijin, sampai kepada pelanggaran berat yang sudah tidak bisa ditolerir lagi seperti membully temannya, merokok, berpacaran, nonton ke bioskop dengan lawan jenis secara diam-diam, sehingga terpaksa harus dikeluarkan dari asrama. Menurut Ali dan Asrori (2015), remaja dalam tahapan perkembangannya mengalami masa menentang yang ditandai dengan adanya perubahan mencolok pada dirinya, baik aspek fisik maupun psikis sehingga seringkali timbul sikap menentang ketika ada aturan-aturan ketat yang dirasa kurang sesuai dengan kebutuhan pribadinya. Pada masa remaja, mereka memiliki kecenderungan untuk melakukan perlawanan terhadap aturan, sehingga cenderung melakukan pelanggaran-pelanggaran. Aturan ketat yang diberlakukan di asrama tentunya bertentangan dengan keinginan remaja untuk bebas dalam berjejaring sosial seperti memperbaharui status dan mengunggah foto diri melalui facebook, twitter, instagram, serta 7 keinginan berkumpul dengan teman sebaya, karena siswa dilarang membawa HP dan sangat dibatasi dalam bermedia sosial, menonton TV/film hanya di saat-saat tertentu saja. Hal tersebut tentunya mengurangi kebebasan dan kesejahteraan psikologis siswa remaja. Keadaan di asrama dengan peraturan dan kondisi yang berbeda dengan di rumah bisa menjadi sumber tekanan yang dapat menyebabkan stres sehingga kesejahteraan siswa di sekolah berasrama belum sepenuhnya tercapai sebagaimana yang diharapkan. Permasalahan yang muncul bagi siswa yang tinggal di asrama pada umumnya disebabkan karena ketidakmampuan siswa beradaptasi dengan model kehidupan di asrama yang tertata dan penuh dengan keterbatasan, sehingga membuat mereka merasa tertekan. Rumusan Permasalahan Siswa berasrama memiliki tingkat heterogenitas yang tinggi, karena berasal dari berbagai daerah dengan latar belakang sosial, budaya, tingkat kecerdasan, serta kemampuan akademik yang sangat beragam. Kondisi ini menuntut siswa untuk bisa menyesuaikan diri dengan lingkungan asrama (Dimyati, 2015). Banyaknya permasalahan yang dialami siswa di sekolah berasrama, terutama bagi remaja awal, mulai dari adaptasi beratnya berpisah dengan orangtua, fasilitas asrama yang kurang memadai, kebersihan lingkungan asrama yang kurang terjaga, aturan yang ketat yang membatasi kebebasan siswa dalam berjejaring sosial, sikap guru pendamping yang kurang menyenangkan sebagaimana yang telah terungkap dalam latar belakang tersebut di atas. Hal tersebut menggambarkan bahwa sekolah berasrama belum sepenuhnya memberikan kesejahteraan bagi siswa, sehingga menimbulkan beberapa rumusan masalah yaitu: 1. Bagaimana penilaian siswa terhadap kesejahteraannya di sekolah berasrama? 2. Apa faktor-faktor yang mendukung pencapaian kesejahteraan siswa di sekolah berasrama? 3. Apa faktor-faktor yang menghambat pencapaian kesejahteraan siswa di sekolah berasrama? 8 Pertanyaan Penelitian Bagaimana Dinamika Kesejahteraan Siswa di Sekolah Berasrama ? Tujuan Penelitian Tujuan dari penelitian ini adalah untuk mendeskripsikan dinamika kesejahteraan siswa di sekolah berasrama. Manfaat Penelitian Manfaat penelitian ini adalah: 1. Memberikan kontribusi baru bagi pengembangan ilmu psikologi terutama pada bidang Psikologi Positif. 2. Menjadi salah satu referensi pengembangan diri, terutama bagi remaja. 3. Memberikan manfaat bagi instansi pendidikan terutama sekolah berasrama dalam meningkatkan kesejahteraan siswa agar sukses dalam belajar. Kebaruan Penelitian Penelitian mengenai kesejahteraan siswa remaja dalam konteks sekolah berasrama belum banyak dilakukan di Indonesia. Penelitian-penelitian mengenai kesejahteraan yang dilakukan sebelumnya lebih banyak meneliti pada orang dewasa (Maltby, Lewis, Day, 2008;), orang tua (Moon dan Mikami, 2007; Heo, Lee, McCormick, Pedersen, 2010; Schüz, Wurm, Warner, Tesch-Römer, 2009), komunitas pekerja atau guru (Chan, 2009; Chan, 2010), kalangan mahasiswa (Busseri, Sadava, Molnar, DeCourville, 2009; Durkin dan Joseph, 2009; Wei, Yu-Hsin Liao, Tsun-Yao, dan Shaffer, 2011), dan kelompok orang dengan penyakit tertentu (Pinquart dan Frohlich, 2009). tersebut dilakukan Penelitian-penelitian dengan asumsi bahwa orang dewasa atau orang dengan kondisi tertentu memiliki alasan yang lebih nyata tentang kesejahteraannya. Selain itu, orang dewasa dianggap telah mapan dan mampu menilai bagaimana kepuasan hidup mereka. Jika individu memiliki tingkat kesejahteraan yang tinggi, maka mereka akan memiliki kemampuan untuk bertahan dalam tekanan dan mampu mengembangkan perilaku yang positif. Penelitian mengenai faktor yang mempengaruhi well-being/kesejahteraan remaja, antara lain faktor dari orang tua (Del Valle, Bravo & Lopez, 2010); school connectedness (Steinburn dalam McNeely, Nonnemaker & Blum, 9 2002; Libbey, 2004); dukungan teman sebaya dan guru (Flaspohler, Elfstrom, Vanderzee, & Sink, 2009); serta self-efficacy (Yang, Wang, Li & Teng, 2008). Penelitian siswa di sekolah berasrama diantaranya mengenai Perkembangan sosial dan emosional (Mander, David ; Lester, Leanne; Cross, Donna, 2015), perilaku pro-sosial (Pfeiffer, Jens ; Pinquart, Martin; Krick, Kathrin, 2015), Boarding School Syndrome (Schaverien, Joy, 2011), kesehatan fisik siswa (Lin, Hipfl, Lederer, Allerberger, Schmid, (2015), Fasilitas sekolah berasrama (Maphoso dan Mahlo, 2014), analisis proses pendidikan di lingkaran asrama/pesantren (Maslani, 2012), faktor dukungan orang tua dalam pembentukan karakter remaja selama di asrama (Hodges, Julie, 2013), serta keunggulan sekolah berasrama dari aspek sosial, budaya, dan model pendidikan (Bass, Lisa, 2013). Hasil penelitian menunjukkan bahwa siswa berasrama dilaporkan adanya angka keberhasilan yang lebih tinggi dalam mendapatkan otonomi dari orang tua dan membentuk hubungan sosial daripada siswa reguler. Fokus penelitian yang akan dilakukan penulis berbeda dengan penelitian yang dilakukan sebelumnya, karena meskipun sama-sama meneliti tentang kesejahteraan, namun kesejahteraan siswa dalam konteks sekolah berasrama berbasis Islam dan dalam konteks budaya lokal di Indonesia belum mendapatkan perhatian, dan penelitian ini justru akan lebih mengungkap bagaimana kesejahteraan siswa di sekolah berasrama dalam konteks Islam dan dalam konteks budaya lokal.