Dasar - Dasar Kepemerintahan Yang Baik

advertisement
DASARDASAR-DASAR
KEPEMERINTAHAN YANG BAIK
MODUL PENDIDIKAN DAN PELATIHAN
KEPEMIMPINAN TINGKAT IV
Lembaga Administrasi Negara - Republik Indonesia
2008
Hak Cipta © Pada : Lembaga Administrasi Negara
Edisi Tahun 2008
LEMBAGA ADMINISTRASI NEGARA
REPUBLIK INDONESIA
Lembaga Administrasi Negara Republik Indonesia
Jl. Veteran No. 10 Jakarta 10110
Telp. (62 21) 3868201, Fax. (62 21) 3800188
Dasar - Dasar Kepemerintahan Yang Baik
Jakarta – LAN – 2008
91 hlm: 15 x 21 cm
ISBN: 979 – 8619 – 43 – 9
SAMBUTAN
Undang-undang Nomor 43 Tahun 1999 tentang Perubahan atas
Undang-undang Nomor 8 Tahun 1974 tentang Pokok-pokok
Kepegawaian menegaskan bahwa dalam rangka usaha mencapai
tujuan nasional, diperlukan Pegawai Negeri Sipil yang
berkemampuan melaksanakan tugas secara profesional. Untuk
mewujudkan profesionalisme PNS ini, mutlak diperlukan
peningkatan kompetensi, khususnya kompetensi kepemimpinan
bagi para pejabat dan calon pejabat Struktural Eselon IV baik di
lingkungan pemerintah pusat maupun daerah. Sebagai pejabat
struktural yang berada pada posisi paling depan atau ujung tombak,
pejabat struktural eselon IV memainkan peran yang sangat penting
karena bertanggung jawab dalam mensukseskan pelaksanaan
kegiatan-kegiatan secara langsung, sehingga buah karyanya dapat
dirasakan secara langsung oleh masyarakat.
Untuk mempercepat upaya peningkatan kompetensi tersebut,
Lembaga Administrasi Negara (LAN) telah menetapkan kebijakan
desentralisasi dalam penyelenggaraan Pendidikan dan Pelatihan
Kepemimpinan (Diklatpim) Tingkat IV. Dengan kebijakan ini,
jumlah penyelenggaraan Diklatpim Tingkat IV dapat lebih
ditingkatkan sehingga kebutuhan akan pejabat struktural eselon IV
yang profesional dapat terpenuhi. Agar penyelenggaraan Diklatpim
Tingkat IV menghasilkan alumni dengan kualitas yang sama,
walaupun diselenggarakan dan diproses oleh Lembaga Pendidikan
dan Pelatihan (Diklat) yang berbeda, maka LAN menerapkan
kebijakan standarisasi program Diklatpim Tingkat IV. Proses
iii
iv
standarisasi meliputi keseluruhan aspek penyelenggaraan Diklat,
mulai dari aspek kurikulum yang meliputi rumusan kompetensi, mata
Diklat dan strukturnya, metode dan skenario pembelajaran sampai
pada pengadministrasian penyelenggaranya. Dengan proses
standarisasi ini, maka kualitas penyelenggaraan dan alumni dapat
lebih terjamin.
Salah satu unsur penyelenggaraan Diklatpim Tingkat IV yang
mengalami proses standarisasi adalah modul untuk para peserta
(participants’ book). Disadari sejak modul-modul tersebut
diterbitkan, lingkungan strategis khususnya kebijakan-kebijakan
nasional pemerintah juga terus berkembang secara dinamis. Di
samping itu, konsep dan teori yang mendasari substansi modul juga
mengalami perkembangan. Kedua hal inilah yang menuntut
diperlukannya penyempurnaan secara menyeluruh terhadap modulmodul Diklatpim Tingkat IV ini.
Oleh karena itu, saya menyambut baik penerbitan modul-modul yang
telah mengalami penyempurnaan ini, dan mengharapkan agar peserta
Diklatpim Tingkat IV dapat memanfaatkannya secara optimal,
bahkan dapat menggali kedalaman substansinya di antara sesama
peserta dan para Widyaiswara dalam berbagai kegiatan pembelajaran
selama Diklat berlangsung. Semoga modul hasil perbaikan ini dapat
dipergunakan sebaik-baiknya.
Kepada Drs. Idup Suhadi, M.Si dan Drs. Desi Fernanda, M.Soc, Sc
selaku penulis serta seluruh anggota Tim yang telah berpartisipasi,
kami ucapkan terima kasih atas kesungguhan dan dedikasinya.
Jakarta,
Juli 2008
KEPALA
LEMBAGA ADMINISTRASI NEGARA
REPUBLIK INDONESIA
SUNARNO
KATA PENGANTAR
Sejalan dengan upaya mewujudkan Pegawai Negeri Sipil yang
profesional melalui jalur pendidikan dan pelatihan (Diklat),
pembinaan Diklat khususnya Diklat Kepemimpinan (Diklatpim)
Tingkat IV ke arah Diklat berbasis kompetensi, terus dilakukan
sesuai dengan ketentuan-ketentuan yang diatur dalam Peraturan
Pemerintah Nomor 101 Tahun 2000 Tentang Pendidikan dan
Pelatihan Jabatan Pegawai Negeri Sipil. Salah satu upaya pembinaan
yang telah ditempuh adalah melalui penerbitan modul Diklat.
Kehadiran modul Diklatpim Tingkat IV ini memiliki nilai strategis
karena menjadi acuan dalam proses pembelajaran, sehingga
kebijakan
pembinaan
Diklat
yang
berupa
standarisasi
penyelenggaraan Diklat dapat diwujudkan. Oleh karena itu, modul ini
dapat membantu widyaiswara atau fasilitator Diklat dalam mendisain
pengajaran yang akan disampaikan kepada peserta Diklat; membantu
pengelola dan penyelenggara Diklat dalam penyelenggaraan Diklat;
dan membantu peserta Diklat dalam mengikuti proses pembelajaran.
Untuk maksud inilah maka dilakukan penyempurnaan terhadap
keseluruhan modul Diklat Kepemimpinan Tingkat IV yang meliputi
substansi dan format.
Disadari bahwa perkembangan lingkungan strategis berlangsung
lebih cepat khususnya terhadap dinamika peraturan perundangan
yang diterbitkan dalam rangka perbaikan sistem penyelenggaraan
pemerintahan negara, maka kualitas modul terutama kesesuaian isi
dengan kebijakan yang berkembang perlu terus dipantau dan
disesuaikan manakala terdapat hal-hal yang sudah tidak relevan lagi.
Sehubungan dengan hal ini, modul ini dapat pula dipandang sebagai
bahan minimal Diklat, dalam artian bahwa setelah substansinya
disesuaikan dengan perkembangan yang ada, maka dapat
dikembangkan selama relevan dengan hasil belajar yang akan dicapai
dalam modul ini. Oleh karena itu, kami harapkan bahwa dalam
rangka menjaga kualitas modul ini, peranan widyaiswara termasuk
v
vi
peserta Diklat juga dibutuhkan. Kongkritnya, widyaiswara dapat
melakukan penyesuaian dan pengembangan terhadap isi modul,
sedangkan peserta Diklat dapat memperluas bacaan yang relevan
dengan modul ini, sehingga proses pembelajaran dapat berlangsung
dinamis, interaktif dan aktual.
Selamat memanfaatkan modul Diklat Kepemimpinan Tingkat IV ini.
Semoga melalui modul ini, kompetensi kepemimpinan bagi peserta
Diklat Kepemimpinan Tingkat IV dapat tercapai.
Jakarta,
Juli 2008
DEPUTI BIDANG PEMBINAAN
PENDIDIKAN DAN PELATIHAN
APARATUR
NOORSYAMSA DJUMARA
DAFTAR ISI
SAMBUTAN………...……………………………………….
iii
KATA PENGANTAR………………………………………..
v
DAFTAR ISI…………………………………………………
BAB I
PENDAHULUAN………………………………..
A. Latar Belakang……………………………….
B. Deskripsi Singkat…………………………….
C. Hasil Belajar……………………………….…
D. Indikator Hasil Belajar…………………….…
E. Materi Pokok…………………………………
F. Manfaat………………………………………
vii
1
1
3
4
5
5
6
BAB II
PERKEMBANGAN
INTERAKSI
SOSIAL
POLITIK ANTARA PEMERINTAH DENGAN
MASYARAKAT.................................................... 7
A. Dinamika Sistem Sosial Politik…….……….. 13
B. Kompleksitas Sistem Sosial Politik…………. 16
C. Keanekaragaman Sistem Sosial Politiik…….. 19
D. Implikasi Bagi Kepemerintahan…………….. 21
E. Latihan………………………………………. 23
F. Rangkuman………………………………….. 23
BAB III
PERUBAHAN PARADIGMA :
DARI GOVERNMENT MENJADI
GOVERNANCE……………..…………………..
vii
25
viii
A.
B.
C.
D.
Konsepsi Kepemerintahan (Governance)........
Prinsip-Prinsip Kepemerintahan……………..
Latihan……………………………………….
Rangkuman…………………………………..
27
40
46
46
KEPEMERINTAHAN YANG BAIK (GOOD
GOVERNANCE)…………………………………
A. Pengertian Kepemerintahan Yang Baik……...
B. Prinsip-Prinsip Kepemerintahan Yang Baik…
C. Latihan……………………………………….
D. Rangkuman…………………………………..
49
ANALISIS
KASUS
KEPEMERINTAHAN
YANG BAIK……………………………………..
A. Kasus Pertama……………………………….
B. Kasus Kedua…………………………………
C. Kasus Ketiga…………………………………
68
PENUTUP………………………………………..
A. Simpulan……………………………………..
B. Tindak Lanjut………………………………..
79
79
80
DAFTAR PUSTAKA………………………………………..
81
DAFTAR DOKUMEN………………………………………
83
BAB IV
BAB V
BAB VI
49
57
65
66
69
73
75
BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
Era reformasi yang dewasa ini sedang dijalani oleh bangsa dan
negara Republik Indonesia pasca pemerintahan Orde Baru, telah
memberikan peluang bagi proses transformasi (perubahan)
struktural di segala bidang. Transformasi struktural tersebut
ditandai dengan proses demokratisasi yang semakin tumbuh dan
berkembang, pemberdayaan dan peningkatan partisipasi
masyarakat dalam berbagai bidang, penegakkan supremasi
hukum dan pemberantasan korupsi, kolusi dan nepotisme di
lingkungan pemerintahan, penghormatan hak-hak asasi manusia
dan masih banyak lagi dinamika perubahan interaksi sosial,
politik dan ekonomi antara pemerintah dan masyarakat.
Proses perubahan yang terjadi dewasa ini di Indonesia, tanpa
disadari memiliki kesearahan
dengan kecenderungan
perkembangan paradigma pembangunan dan pemerintahan
dalam skala global. Berbagai negara di hampir seluruh pelosok
dunia, maupun lembaga-lembaga internasional yang bergerak
dalam pemberian bantuan dan asistensi pembangunan, secara
sinergis dalam dasawarsa terakhir ini sedang bergiat melakukan
dan mempromosikan perubahan paradigma pemerintahan dan
pembangunan berdasarkan konsepsi kepemerintahan yang baik
(Good Governance).
1
2
Dasar-Dasar Kepemerintahan yang Baik
Trend global perubahan paradigma tersebut dalam banyak hal
didorong oleh semangat belajar dari pengalaman berbagai
kegagalan penyelenggaraan pemerintahan dan pembangunan,
yang dalam beberapa dekade yang lalu telah cenderung
berdampak negatif bagi masyarakat maupun keberlanjutan
lingkungan hidupnya. Pengalaman menunjukkan bahwa
meskipun di satu sisi sebagian masyarakat mengalami
peningkatan kesejahteraan sosial ekonomi, tetapi di sisi yang
lain sebagian masyarakat bahkan cenderung mengalami
kemiskinan dan ketertinggalan yang semakin memburuk.
Sebagian masyarakat di satu sisi memiliki akses dan kesempatan
berperan aktif dalam berbagai kegiatan sosial, ekonomi, dan
politik. Di sisi yang lain sebagian masyarakat justru mengalami
kerawanan pangan bahkan kelaparan, menjadi korban penyakit
epidemik yang mematikan, mengalami kemiskinan karena tidak
memiliki aset ekonomi, dan tidak pula memiliki akses terhadap
sumber-sumber mata pencaharian dan kesempatan kerja karena
tidak memiliki latar belakang pendidikan dan ketrampilan yang
memadai, bahkan menjadi korban eksploitasi dan politisasi
rezim pemerintahan yang berkuasa, maupun kelompok
masyarakat lainnya yang justru memperoleh berbagai
kemudahan dan fasilitas dari pemerintah.
Kondisi tersebut menunjukkan adanya kesenjangan sosial,
ekonomi, politik yang cenderung berkembang semakin lebar,
baik antar kelompok masyarakat, maupun antar wilayah daerah,
bahkan antar negara di penghujung abad ke-20 yang baru lalu.
Modul Diklatpim Tingkat IV
3
Kini, kesadaran baru telah muncul dan berkembang di berbagai
negara yang mengoreksi peranan pemerintah yang selama ini
sentralistik bahkan otoriter, korup, dan kolusif, ke arah
pemerintahan dan penyelenggaraan pembangunan yang
berorientasi pada misi pemberdayaan peran serta masyarakat
secara aktif dalam berbagai upaya peningkatan kesejahteraan
sosial ekonomi, serta demokratisasi politik yang dilandasi oleh
penghormatan dan perlindungan atas hak-hak asasi manusia.
Pemerintah di berbagai negara dewasa ini tengah menjalani
proses perubahan yang relatif mendasar untuk mewujudkan
karakter pemerintahan yang demokratis, transparan, akuntabel,
bersih dan bebas korupsi, berorientasi kepada pasar dan peran
serta aktif masyarakat dalam berbagai bidang. Singkatnya
dewasa ini sedang terjadi perubahan dari pola kepemerintahan
yang buruk (Bad Governance) ke arah terwujudnya
kepemerintahan yang baik (Good Governance).
B. Deskripsi Singkat
Dalam modul ini dijelaskan tentang pengertian, prinsip-prinsip
dan karakteristik kepemerintahan maupun kepemerintahan yang
baik, serta implikasi penarapannya dalam konteks
penyelenggaraan administrasi publik di Indonesia.
Mata Pendidikan dan Pelatihan ini berkaitan dengan Mata
Pendidikan dan Pelatihan “Dasar-dasar Administrasi Publik”
dan Mata Pendidikan dan Pelatihan “Operasional Pelayanan
4
Dasar-Dasar Kepemerintahan yang Baik
Prima”, terutama yang berhubungan dengan pembahasan
mengenai pelayanan publik yang prinsip-prinsipnya juga harus
mengandung dan mencerminkan nilai dan prinsip-prinsip
kepemerintahan yang baik.
Pemahaman yang lebih luas mengenai “kepemerintahan yang
baik akan diberikan dan dibahas lebih lanjut pada Diklatpim
Tingkat III dalam Mata Diklat “Membangun Kepemerintahan
yang Baik”.
C. Hasil Belajar
Setelah membaca Modul Dasar-Dasar Kepemerintahan
yang Baik ini peserta mampu memahami dan menjelaskan
latar belakang dan perkembangan interaksi sosial politik
antara pemerintah dengan masyarakat (Government and
Society) dalam kehidupan masyarakat yang semakin
kompleks, dinamis, dan beranekaragam; memberikan
dasar-dasar pengertian, prinsip-prinsip, dan karakteristik
kepemerintahan (Governance) dan kepemerintahan yang
baik (Good Governance) dalam kerangka interaksi sosial
politik tersebut; serta memberikan pengetahuan dan
wawasan praktis mengenai implikasi penerapan konsep
kepemerintahan dan kepemerintahan yang baik
dalam
konteks penyelenggaraan pemerintahan di Indonesia,
khususnya dalam sektor-sektor pemerintahan tertentu.
Modul Diklatpim Tingkat IV
5
D. Indikator Hasil Belajar
Indikator-indikator hasil Belajar adalah peserta mampu
memahami dan menjelaskan :
1. Latar belakang dan perkembangan interaksi sosial
politik antara pemerintah dengan masyarakat;
2. Pengertian dan prinsip-prinsip kepemerintahan sebagai
wujud pergeseran paradigma penyelenggaraan pemerintahan
dari
paradigma
Pemerintah
menjadi
paradigma
Kepemerintahan ;
3. Pengertian dan karakteristik kepemerintahan yang baik
sebagai paradigma administrasi publik yang baru dan
berkembang dewasa ini.
4. Implikasi dan penerapan konsep kepemerintahan yang baik
di Indonesia, khususnya dalam sektor-sektor pemerintahan
tertentu seperti halnya unit kerja di mana para peserta
Diklatpim IV itu berasal.
D. Materi Pokok
Materi Pokok yang dibahas dalam modul Dasar-Dasar
Kepemerintahan Yang Baik adalah :
1. Latar belakang dan kepemerintahan yang baik;
2. Prinsip-prinsip kepemerintahan yang baik;
3. Kasus-kasus penerapan kepemerintahan yang baik.
6
Dasar-Dasar Kepemerintahan yang Baik
BAB II
Disamping itu, kepada para peserta Diklat disarankan untuk
mencermati berbagai kasus yang timbul dalam menerapkan
prinsip-prinsip
kepemerintahan
dan
karakteristik
kepemerintahan yang baik di lingkungan kerjanya, serta
mengemukakannya sebagai materi bahan diskusi dalam proses
pembelajaran.
PERKEMBANGAN INTERAKSI SOSIALPOLITIK ANTARA PEMERINTAH
DENGAN MASYARAKAT
Setelah membaca Bab II, peserta Diklat diharapkan mampu
menjelaskan latar belakang dan pengertian
Kepemerintahan yang Baik.
E. Manfaat
Permasalahan pembangunan nasional dari waktu ke waktu dirasakan
Berbekal hasil belajar pada modul Dasar-Dasar Kepemerintahan
Yang Baik ini, peserta diharapkan mampu menerapkan prinsipprinsip good governance serta mampu melibatkan sektor
swasta dan masyarakat dalam pelaksanaan keseluruhan atau
sebagai tugas-tugasnya, guna meningkatkan kinerja instansinya.
bukannya semakin ringan dan mudah, pada kenyataannya bangsa
Indonesia justru dihadapkan kepada kondisi yang semakin sulit,
kompleks, dinamis, dan beraneka ragam sejalan dengan
perkembangan tingkat kebutuhan, kesejahteraan, dan kemajuan
masyarakat bangsa Indonesia itu sendiri. Kondisi demikian bukan
hanya dialami bangsa Indonesia, tetapi juga bangsa-bangsa lainnya di
berbagai penjuru dunia.
Kecenderungan pergeseran interaksi sosial politik antara pemerintah
dengan masyarakat tersebut ditandai dengan semakin meningkatnya
peranan sektor swasta dan lembaga-lembaga swadaya masyarakat
dalam penyelenggaraan tugas-tugas dan tanggungjawab yang
sebelumnya menjadi semacam monopoli pemerintah atau sektor
publik. Kenyataan ini di satu sisi merupakan perkembangan baru
yang perlu dicermati dalam upaya meningkatkan pelayanan kepada
masyarakat. Di sisi lain, hal tersebut menunjukkan fakta adanya
7
8
Dasar-Dasar Kepemerintahan yang Baik
Modul Diklatpim Tingkat IV
9
keterbatasan kapasitas aparatur pemerintah atau sektor publik untuk
memenuhi aneka ragam pelayanan publik. Sebagai konsekuensinya,
pemerintah perlu melakukan inovasi kebijakan dan praktek
administrasi publik yang baru yang lebih mampu menjawab
tantangan perkembangan interaksi sosial politik tersebut, melalui
kerja sama atau kolaborasi yang efektif dengan sektor swasta dan
masyarakat (society) pada umumnya.
yang dikeluarkan oleh suatu negara dan organisasi internasional
seperti AFTA, APEC, WTO, World Bank, IMF, dan organisasiorganisasi hak asasi manusia perlu dijadikan pertimbangan dalam
menyusun dan melaksanakan kebijakan pemerintahan dan
pembangunan. Tingkat keterkaitan baik antar organisasi pemerintah,
masyarakat dan dunia usaha maupun organisasi-organisasi
internasional sangat tinggi dan saling mempengaruhi.
Pada akhir abad XX dan dalam memasuki abad XXI, Indonesia
seperti halnya negara-negara lain di berbagai belahan dunia
menghadapi suatu tantangan yang berupa perubahan lingkungan
strategis yang berat, baik yang berasal dari dalam (internal) maupun
dari luar (external), perubahan lingkungan strategis tersebut juga
merupakan tantangan dalam pembangunan administrasi negara.
Secara eksternal, globalisasi yang dipacu oleh perkembangan
teknologi terutama teknologi informasi dan semangat liberalisasi
telah mendorong terjadinya perubahan besar dalam kehidupan
ekonomi, politik, pemerintahan, dan sosial budaya. Perubahan
tersebut seakan-akan mengarah pada terbentuknya dunia tanpa batas
(borderless world). Peristiwa penting yang terjadi pada suatu negara
secara cepat dapat diakses oleh masyarakat di negara pada belahan
dunia lainnya. Globalisasi juga ditandai oleh meningkatnya
persaingan bebas yang mengharuskan setiap bangsa utuk secara terus
menerus meningkatkan kompetensinya dalam bersaing dengan
bangsa lain.
Perkembangan ilmu pengetahuan dan teknologi telah mengubah
manajemen pelayanan sektor publik dan sektor bisnis sedemikian
rupa sehingga berbagai transaksi dapat dilakukan tanpa bertatap
muka; arus informasi telah mampu menembus batas ruang dan waktu
secara cepat. Seiring dengan itu demokratisasi, hak asasi manusia,
dan pelestarian kualitas lingkungan hidup telah menjadi tuntutan
dunia yang semakin mendesak. Sementara itu secara internal,
pemerintah dan masyarakat Indonesia juga dihadapkan pada krisis
multidimensi di antaranya situasi politik yang belum stabil, ancaman
disintegrasi bangsa, menipisnya kepercayaan masyarakat terhadap
pemerintah, lemahnya penegakan hukum dan pemberantasan KKN,
lambatnya pemulihan ekonomi, meningkatnya kriminalitas,
pengangguran dan jumlah penduduk miskin serta merosotnya daya
saing.
Pengaruh globalisasi semakin terasa dan tidak dapat diabaikan dalam
pelaksanaan pemerintahan dan pembangunan. Kebijakan-kebijakan
Dalam konteks perubahan sosial masyarakat, kita menyaksikan
bagaimana tingkat perubahan dalam masyarakat berlangsung dengan
sangat cepatnya pada akhir abad kedua puluh dan memasuki abad
keduapuluh satu dewasa ini. Demikian pesatnya perubahan sosial
masyarakat yang terlihat dari aspek-aspek perubahan teknologi,
10
Dasar-Dasar Kepemerintahan yang Baik
komunikasi, gaya hidup, budaya, cara berpakaian (fashion) dan
sebagainya, sehingga masyarakat sendiri dihadapkan kepada situasi
yang menuntut mereka untuk mengetahui lebih banyak, tetapi tidak
memiliki cukup waktu untuk bereaksi terhadap perubahan yang
terjadi. Kondisi ini menyebabkan masyarakat berada pada kedudukan
yang sangat rentan terhadap berbagai dampak perubahan itu sendiri.
Perubahan yang cepat telah pula mengakibatkan semakin
beragamnya identitas diri masing-masing kelompok masyarakat
bukan cuma antar bangsa, tetapi juga antar etnis atau suku bangsa,
bahkan antar individu dalam masyarakat itu sendiri. Perbedaan etnis,
bahasa, dan agama telah mendorong terbentuknya identitas
masyarakat yang beranekaragam. Bahkan dalam keanekaragaman
tersebut masyarakat kemudian menuntut adanya perlakuan-perlakuan
khusus dari pemerintah; atau menuntut otonomi kepada pemerintah
agar mampu mengurus kepentingan spesifik kelompok masyarakat
tersebut, sesuai dengan karakteristik kebutuhan yang berbeda dari
kelompok masyarakat lainnya.
Di sektor swasta, pertumbuhan perusahaan multinasional telah
mendorong perubahan pola operasi dan administrasi yang semula
sangat tersentralisasi pada perusahaan induk di negara asalnya, kini
mereka lebih mempercayakan manajemen operasinya kepada unitunit cabang usahanya yang berlokasi di berbagai kota di seluruh
dunia. Jaringan hubungan antar perusahaan cabang tidak lagi
berbentuk hirarki, tetapi telah mengarah kepada pola-pola kompetisi
dan kolaborasi.
Modul Diklatpim Tingkat IV
11
Sedangkan di lingkungan lembaga swadaya masyarakat
(LSM/NGO), kita melihat semakin pesatnya pertumbuhan dan
kemunculan organisasi tersebut dengan berbagai tujuan yang berbeda
satu sama lainnya. Kini kita bisa melihat bahwa setiap individu
masyarakat merupakan bagian atau anggota dari berbagai kelompok
atau organisasi yang berlainan. Pada suatu saat seseorang adalah
anggota dari kelompok pencinta alam, sementara pada saat yang
sama orang tersebut adalah juga anggota asosiasi profesi tertentu,
sekaligus menjadi anggota atau pengurus pada satu atau beberapa
organisasi kemasyarakatan lainnya.
Begitu kompleks, dinamis dan beranekaragamnya kehidupan
masyarakat di jaman ini, secara ringkas tergambarkan dalam tulisan
Andrew Dunsire (1993: 3-34) yang menurutnya semuanya itu
memerlukan kapasitas tersendiri untuk dapat mengelola dan
mengendalikannya. Pada kenyataannya menurut Dunsire, pemerintah
atau siapapun tidak mungkin dapat mengelolanya dengan cara-cara
yang konvensional. Pertanyaan yang diajukannya dalam rangka
mencari jawaban terhadap fenomena perubahan sosial masyarakat
yang demikian pesat tersebut adalah sebagai berikut:
“… Apakah perubahan sosial yang demikian pesat dan
mengarah kepada semakin meningkatnya kompleksitas,
keanekaragaman, dan kekritisannya mampu diakomodasi
oleh tatanan kemasyarakatan yang ada sekarang agar
perubahan tersebut dapat dikendalikan dan diarahkan pada
kondisi-kondisi yang diharapkan – melalui apa yang disebut
dengan kepemerintahan (governance): atau apakah – dalam
kurun waktu singkat– berbagai perubahan yang bersifat
turbulen itu justru akan menghasilkan permasalahan seperti
12
Dasar-Dasar Kepemerintahan yang Baik
semakin menurunnya tingkat kepatuhan masyarakat, sulitnya
menjalankan pemerintahan, yang akhirnya mengarah kepada
timbulnya kekacauan sosial…?” (Dunsire, 1993: 22-23)
Apapun yang terjadi, tuntutan bagi penyelenggaraan pemerintahan
adalah melakukan perubahan untuk menyesuaikan diri terhadap
kecenderungan perkembangan kehidupan masyarakat yang semakin
dinamis, kompleks, beranekaragam, dan kritis. Pertanyaan yang
diajukan oleh Kooiman (1993) tampaknya mewakili tuntutan realitas
kehidupan masyarakat modern dewasa ini: “How can a dynamic,
complex and diverse socio-political world be governed in a dynamic,
complex and diverse way ?”
Dalam hubungan itu, Dunsire dengan mengutip pernyataan Ashby
(1957) mengungkapkan bahwa untuk menghadapi kondisi yang
kompleks, dinamis dan sangat beragam tersebut diperlukan model
kepemerintahan yang beragam pula. Menurut Ashby (Dunsire, 1993:
23) : “Hal ini tidak berarti bahwa kita harus memahami dinamika,
kompleksitas, dan keragaman obyek yang harus diatur (objects to be
governed) dengan berbagai keterkaitannya, tetapi kita juga harus
mengerti bagaimana kualitas kepemerintahan (quality of
governance) yang seharusnya.”
Pernyataan tersebut dikuatkan oleh Renate Mayntz (1993) yang
mengungkapkan bahwa yang sebenarnya bukan hanya jenis
instrumen pemerintahan apa yang penting itu, tetapi adalah format
kelembagaan proses penyusunan kebijakan yang mampu menjamin
bahwa dalam setiap proses pengambilan keputusan, informasi yang
dipertimbangkan tidak terbatas kepada kebutuhan dan kekhawatiran
Modul Diklatpim Tingkat IV
13
mengenai siapa yang akan menjalankan kebijakan, tetapi yang lebih
penting adalah informasi mengenai indikasi efek sampingan, saling
ketergantungan (interdependensi), dan permasalahan lainnya yang
akan muncul.
Untuk memahami bagaimana perkembangan interaksi sosio-politik
masyarakat yang semakin kompleks, dinamis dan bervariasi, berikut
ini akan diuraikan bagaimana karakteristik dinamika, kompleksitas,
dan keanekaragaman tersebut secara konseptual, sebagaimana
diungkapkan oleh Kooiman (1993: 36-41) sebagai berikut:
A. Dinamika Sistem Sosial Politik
Dinamika sosio-politik dapat dipandang sebagai suatu hubungan
sebab akibat diantara berbagai variabel, baik yang bersifat non
linier maupun linier. Dalam kenyataan kehidupan, dinamika
sistem sosio-politik adalah suatu kondisi dimana sistem tersebut
berubah dari satu kondisi ke kondisi yang lain karena adanya
tekanan, dorongan, atau pengaruh dari faktor-faktor eksternal
seperti gejala alam, perkembangan teknologi, maupun kekuatankekuatan sosial politik lainnya. Pengaruh dari luar atau bahkan
dari dalam sistem itu sendiri dapat mengakibatkan terjadinya
ketidakseimbangan (disequilibrium) sistem, yang kemudian
akan dan harus dikoreksi dengan berbagai upaya perbaikan dan
penyempurnaan untuk memperoleh titik keseimbangan sosialpolitik yang baru.
14
Dasar-Dasar Kepemerintahan yang Baik
Dalam konteks pengalaman Indonesia, sebagai contoh, adalah
bagaimana gerakan mahasiswa pada tahun 1997/98 telah
menjadi kekuatan sosial Reformasi Total, yang berhasil
merubuhkan tatanan kekuasaan Orde Baru yang telah
membentuk tata kehidupan masyarakat selama lebih kurang 32
tahun. Dengan keberhasilan tersebut, dewasa ini kita lihat
bagaimana pola-pola interaksi antara pemerintah dengan
masyarakat menjadi berubah. Kehidupan demokrasi telah
menunjukkan perkembangan yang sangat berarti, dengan
semakin leluasanya masyarakat untuk menyampaikan pendapat
dan aspirasinya, kegiatan unjuk-rasa dan demonstrasi mahasiswa
tidak lagi diberangus dengan pendekatan keamanan yang
represif sepanjang tidak bersifat anarkis atau mengganggu
ketertiban umum.
Sementara itu, keberadaan partai politik tidak lagi dibatasi hanya
kepada tiga partai seperti di jaman Orde Baru. Kini lebih dari
tiga puluh partai politik hadir dalam sistem demokrasi Indonesia.
Kondisi tersebut tidak berhenti sampai disitu, melainkan terus
berlanjut dengan berbagai upaya penataan kembali sistem dan
struktur-struktur, serta instrumen-instrumen penyelenggaraan
pemerintahan yang disesuaikan dengan tuntutan perkembangan
sosio-politik nasional, yang juga tidak lepas dari pengaruh
perkembangan internasional maupun global.
Kooiman (1993: 38) menyatakan bahwa dinamika sistem sosialpolitik tidak mungkin dapat dipahami tanpa memiliki wawasan
yang cukup mengenai interaksinya. Interaksi sosial-politik tidak
Modul Diklatpim Tingkat IV
15
hanya menjelaskan proses makro yang berkaitan dengan
diferensiasi dan integrasi, tetapi juga proses kerjasama,
kolaborasi, bahkan konflik-konflik sosial-politik pada tataran
mikro dan meso. Setiap interaksi sosial-politik yang merupakan
kekuatan dinamika sosial masyarakat, pada dasarnya meliputi
unsur, yaitu tingkat aksi, struktural, dan tingkat dimana unit
interaksi tersebut terjadi. Selanjutnya dijelaskan bahwa untuk
membangun teori mengenai kepemerintahan (governance) perlu
dibedakan jenis-jenis interaksi sosial-politik yang mencakup:
interferences
(gangguan,
pemengaruhan),
interplays
(keterlibatan), dan interventions (campur tangan).
Interferensi atau saling mempengaruhi merupakan dinamika
yang sangat mendasar dalam alam dan kehidupan manusia.
Dalam ruang lingkup kepemerintahan, interferensi tersebut dapat
dilihat terutama dalam skala primer, misalnya dalam kehidupan
keluarga, sekolah, atau unit usaha (perusahaan).
Sedangkan jenis interaksi dalam masyarakat modern yang
berikutnya, yaitu interplays atau keterlibatan, pada umumnya
cenderung terjadi secara sangat terorganisir atau melembaga.
Dilihat dari sudut pandang kepemerintahan dan penyelenggaraan
pemerintahan atau pengelolaan, tatanan kelembagaan tersebut
sangat penting karena didalamnya telah mengandung unsur
dinamika tersendiri.
Intervensi merupakan bentuk interaksi sosial politik yang ketiga
antara Pemerintah dengan masyarakat. Bentuk interaksi ini
16
Dasar-Dasar Kepemerintahan yang Baik
merupakan tindakan campur tangan (biasanya dari pihak
pemerintah) dalam berbagai aspek kehidupan masyarakat, yang
diarahkan untuk terciptanya suatu keadaan tertentu sesuai
dengan ketentuan atau keinginan pemerintah; bahkan mungkin
berdasarkan permintaan sebagian unsur masyarakat itu sendiri.
Oleh karena itu, interaksi dalam bentuk intervensi ini biasanya
(meskipun tidak selalu) melibatkan banyak pelaku, baik dari
lingkungan pemerintah sendiri maupun dari berbagai unsur
masyarakat (swasta, LSM, individual, dan sebagainya)
Ketiga jenis interaksi tersebut pada dasarnya memiliki ciri yang
sama, yaitu adanya interaksi atau hubungan yang dinamis
diantara dua atau lebih unsur pelaku. Sedangkan perbedaannya
terutama terletak pada format kelembagaan atau organisasi dan
tingkat pengarahannya (level of directions). Dalam rangka
kepemerintahan, sangat penting untuk mendapatkan gambaran
teoritis maupun empiris mengenai berbagai bentuk interaksi
sosio-politik, karena dengan begitu sistem pemerintahan yang
dibangun akan mampu mengimbangi dinamika proses interaksi
yang berkembang dalam masyarakat.
B. Kompleksitas Sistem Sosial Politik
Kompleksitas adalah sebuah konsep yang biasanya digunakan
dengan mudah, tetapi lebih sering penggunaan tersebut tidak
berarti apa-apa selain menggambarkan sebuah isu (issue),
situasi, atau permasalahan tertentu, yang biasanya sulit untuk
dimengerti atau terlalu rumit untuk dipecahkan. Tetapi yang
Modul Diklatpim Tingkat IV
17
lebih penting bukanlah kompleksitasnya sendiri, melainkan
aspek-aspek mendasar dari setiap fenomena yang terjadi yang
harus dipertimbangkan dalam memecahkan permasalahan
kepemerintahan.
Menurut Kooiman (1993:39) berdasarkan literatur yang ada,
terdapat tiga cara yang bisa dilakukan dalam memanfaatkan
kompleksitas bagi pengembangan teori dan konseptualisasi
kepemerintahan dan kondisi memerintah (governance and
governability), yaitu: seleksi dan reduksi (Luhmann, 1970),
penstrukturan (Simon, 1969), dan operasionalisasi (La Porte,
et.al, 1975).
Menurut Luhmann (1970), permasalahan
fundamental dari seluruh sistem sosial masyarakat adalah
mengurangi
kompleksitasnya.
Dalam
pandangannya,
kompleksitas itu tidak harus berarti jumlah atau bervariasinya
subsistem permasalahan, tetapi yang bersifat kompleks itu
adalah interaksinya. Dengan demikian memilah-milah
(menyeleksi) dan menyusun pola interaksi adalah pekerjaan
yang mendasar dalam upaya memecahkan kompleksitas
permasalahan. Metode inilah yang digunakan sebagai
pendekatan dalam menganalisis pengembangan sistem-sistem,
seperti sistem pendidikan, sistem hukum dan peradilan, baik
pada skala makro maupun dalam perspektif kesejarahan.
Jika dipandang sebagai struktur, maka konstruksi kompleksitas
itu menurut Simon (1969) sebenarnya merupakan sebuah
struktur di dalam struktur, dan di dalam struktur lainnya yang
lebih besar (a structure within a structure, within another
18
Dasar-Dasar Kepemerintahan yang Baik
biggest structure). Oleh karena itu, ia merekomendasikan bahwa
untuk mempelajari kompleksitas sesuatu permasalahan interaksi
sosial sebaiknya digunakan prinsip “nearly-decomposability”
yang berarti bahwa beberapa bagian dalam suatu sistem
cenderung lebih memiliki keterkaitan yang erat dibandingkan
dengan beberapa bagian lainnya dari sistem tersebut.
Kompleksitas interaksi sosial masyarakat sebagaimana
diungkapkan La Porte et.al (1975) dapat pula ditanggulangi
dengan cara memandangnya sebagai problematika operasional.
Apa yang dilakukannya dalam upaya memecahkan
permasalahan kompleksitas adalah melalui kajian dengan
konseptualisasi dan studi kasus berbagai tingkatan sosial.
Hampir semua pendekatan studi mengenai kompleksitas sosial
memiliki pandangan yang sama bahwa kompleksitas adalah
sekumpulan interaksi dari berbagai unsur dalam suatu sistem
tertentu. Karakteristik ini mendekati kondisi yang sebenarnya
dari fenomena interaksi sosial-politik yang kita hadapi seharihari.
Selanjutnya, kita dapat mengatakan bahwa kompleksitas selalu
berkaitan dengan bagian-bagian atau unsur-unsur dan
keseluruhannya (parts and wholes). Oleh karena itu, kita tidak
mungkin dapat memahami kompleksitas sosial, dengan
mengabaikan berbagai interaksi yang terjadi diantara unsurunsurnya dan berbicara hanya keseluruhannya saja; atau jika kita
hanya
mengkaji
keseluruhan
fenomena,
tanpa
Modul Diklatpim Tingkat IV
19
mempertimbangkan interaksi yang terjadi di antara unsurunsurnya.
Akhirnya, berdasarkan hal-hal tersebut di atas kita dapat
mengatakan
bahwa
untuk
menghadapi
kompleksitas
permasalahan sosial tidak mungkin hanya dengan mengandalkan
satu jalan pemecahan. Untuk itu, cara yang terbaik adalah
memilih cara terbaik dari beberapa alternatif penyelesaian,
tergantung kepada apa dan bagaimana permasalahan yang
dihadapi itu. Berbagai kriteria mungkin dapat dikemukakan
untuk pemilihan alternatif tersebut, misalnya yang berkaitan
dengan tingkat pemusatan, intensitas, ataupun cakupan atau
ruang lingkup pemecahannya.
C. Keanekaragaman Sistem Sosial Politik
Keanekaragaman (diversity) sebagai konsep dasar sangat terkait
dengan perkembangan indivualisasi, diferensiasi, spesialisasi,
dan beragam aspek kehidupan dunia modern lainnya. Kooiman
(1993:40) telah mendefiniskan kompleksitas berdasarkan
hubungan-hubungan atau interaksi yang terjadi, dan
keanekaragaman mengacu kepada komponen-komponen yang
membentuk interaksi tersebut. Sebuah sistem mungkin saja
terdiri dari beraneka macam komponen, tetapi sistem tersebut
mungkin terdapat hubungan-hubungan atau keterkaitan yang
relatif sederhana diantara bagian-bagiannya. Mungkin saja
rangkaian dalam sistem tersebut terlihat rumit, tetapi sebenarnya
tidak kompleks. Tetapi sebuah sistem mungkin saja terdiri dari
20
Dasar-Dasar Kepemerintahan yang Baik
unsur-unsur yang hampir sama (tidak jauh berbeda), namun
demikian hubungan atau keterkaitan antara satu unsur dengan
unsur lainnya bisa saja sangat berbeda (spesifik), sehingga dapat
dikatakan bahwa sistem tersebut bersifat kompleks.
Kooiman menyatakan selanjutnya bahwa bagaimanapun,
argumennya mengenai keanekaragaman sebagai bagian dari
karakteristik
dasar
sistem
sosial
politik
(dan
kepemerintahannya), adalah terletak pada nilai penting dan
strategisnya keanekaragaman dalam sistem tersebut. Dengan
menggunakan
konsep
keanekaragaman
kita
dapat
mempertimbangkan berbagai aktor (pelaku) dalam sistem sosialpolitik. Dengan konsep kompleksitas kita dapat mengkaji dan
menguraikan struktur-struktur hubungan, dan dengan
menggunakan konsep keanekaragaman (diversitas) kita dapat
mengkaji berbagai aspek dalam sistem tersebut, seperti mengkaji
tentang maksud dan tujuannya, kekuasaannya dan sebagainya.
Dengan demikian dapat ditarik semacam hipotesis bahwa
kenakeragaman dapat berimplikasi bahwa berbagai variasi,
diferensiasi, dan spesialisasi adalah sebuah keniscayaan dalam
sistem sosial-politik. Mengabaikan adanya keanekaragaman
sebagai ciri khusus dan mendasar dari sistem sosial politik
barangkali merupakan akar permasalahan dari banyak masalah
kepemerintahan (governance) dan kemampuan pemerintahannya
(governability).
Konsep keanekaragaman sangat bermanfaat dalam upaya
pengkajian substansi sistem sosial-politik, yang pada umumnya
Modul Diklatpim Tingkat IV
21
bersifat abstrak dan formal. Sedangkan dalam konteks
pengembangan teori tentang kepemerintahan sosial-politik
(socio-political governance), konsepsi keanekaragaman telah
mendorong perubahan beberapa disiplin ilmu – seperti ilmu
administrasi publik dan ilmu politik – ke arah keilmuan yang
bersifat interdisiplin atau multidisiplin. Dalam bidang lainnya,
seperti ilmu ekonomi, sosiologi, dan ekologi, semuanya
diperlukan untuk memahami dan menginterpretasikan
keanekaragaman para pelaku sosial-politik dengan berbagai
maksud dan tujuannya, norma-norma, dan kekuasaannya
masing-masing. Ini berarti bahwa teori kepemerintahan
(governance) yang menaruh perhatian kepada kompleksitas,
dinamika, dan keanekaragaman sosial-politik, haruslah bersifat
multidisiplin dengan segala permasalahan dan peluang yang
dihadapinya.
D. Implikasi Bagi Kepemerintahan
Kepemerintahan ataupun pengelolaan (Governing) sosial-politik
pada dasarnya dilakukan dalam interaksi di antara para pelaku
baik pada tataran mikro, meso, maupun makro dari keseluruhan
sistem sosial-politik. Berbagai interaksi yang terjadi tidak hanya
mencerminkan kompleksitas, dinamika, dan keanekaragaman;
tetapi sesungguhnya interaksi sosial-politik itu sendiri memiliki
ciri yang kompleks, dinamis, dan beranekaragam. Dalam sistem
sosial-politik tergambarkan kompleksitas yang menyangkut
substansi strukturnya, dinamika substansi perubahannya, serta
22
Dasar-Dasar Kepemerintahan yang Baik
keanekaragaman substansi saling
keterkaitan dari berbagai unsur.
ketergantungan
dan
Oleh karena itu, dalam pengaturan dan pengelolaan ataupun
kepemerintahan sosial-politik kondisi-kondisi seperti tersebut
harus mendapatkan perhatian yang serius. Meskipun demikian
tidak berarti bahwa dalam pola kepemerintahan yang tradisional
hal-hal tersebut tidak pernah dipertimbangkan; tetapi yang
terjadi dalam kepemerintahan tradisional adalah pendekatan
yang cenderung kasuistis, terpilah-pilah, tidak sistematis, dan
cenderung bersifat aksidental (secara kebetulan).
Seandainya sistem kepemerintahan diharapkan dapat lebih
efektif, maka kondisi-kondisi kompleksitas, dinamika, dan
keanekaragaman sosial-politik harus merupakan bagian yang
integral dan sangat mendasar dalam pertimbangan kebijakan dan
implementasinya. Ini berarti bahwa dalam penyelenggaraan
kepemerintahan tidak lagi harus digunakan pendekatan yang
seragam, pemecahan masalah yang simplistik, birokrasi yang
kaku, hirarki otoritas dan jalur perintah yang panjang; tetapi
kepemerintahan modern harus mampu memiliki karakter yang
dinamis, jaringan yang kompleks tetapi hubungannya sederhana,
serta keanekaragaman tindakan dan kebijakan yang sesuai
dengan situasi dan kualitas interaksi sosial-politik yang
dihadapi.
Modul Diklatpim Tingkat IV
23
E. Latihan
1. Bagaimana kondisi sosial politik masyarakat modern dewasa
ini, dan faktor-faktor apa yang dapat menjelaskan kondisi
interaksi sosial politik antara pemerintah dengan
masyarakat ?
2. Mengapa pemerintah gagal dalam menjalankan fungsinya
dalam rangka meningkatkan kesejahteraan masyarakat ?
3. Model pemerintahan mana yang dapat mendekati kondisi
Indonesia sekarang ini ?
F. Rangkuman
Berdasarkan uraian dalam Bab ini dapat ditarik beberapa
kesimpulan sebagai rangkuman, sebagai berikut:
1. Bahwa hubungan antara negara/pemerintah dengan
masyarakat bukanlah merupakan hal yang sederhana dalam
masyarakat post-modern dewasa ini. Kondisi ini diwarnai
oleh dinamika, kompleksitas, dan keanekaragaman dalam
interaksi sosial politik antara pemerintah dengan masyarakat,
yang mempengaruhi bagaimana pola kepemerintahan yang
harus dijalankan.
2. Kegagalan dalam interaksi sosial politik antara pemerintah
dengan masyarakat, secara umum dan mendasar adalah
disebabkan oleh pendekatan yang kurang tepat yang
dilakukan oleh Pemerintah. Dalam hal ini pemerintah kurang
atau bahkan tidak peka terhadap kondisi perkembangan
masyarakat modern bahkan post-modern yang telah semakin
24
Dasar-Dasar Kepemerintahan yang Baik
dinamis, kompleks, kritis, dan sangat beragam dalam
karakteristik dan kebutuhannya. Kegagalan pemerintahan
Orde Baru maupun rezim lainnya di Indonesia merupakan
contoh bagaimana kondisi tersebut muncul dalam suatu
negara.
3. Dalam konteks interaksi sosial politik antara pemerintah
dengan masyarakat, dalam perkembangannya telah
melahirkan konsepsi mengenai model-model atau pola
kepemerintahan yang disesuaikan dengan tingkat dinamika,
kompleksitas dan diversitas sosial politik yang dihadapi.
Dalam hal ini terdapat empat model umum, yaitu pola
negara/pemerintahan hirarki (the Hierarchical State),
pemerintahan otonom (the Autonomous State), pemerintahan
negosiasi (the Negosiating State), dan pemerintahan
responsif (the Responsif State). Pemerintahan yang responsif
sendiri memiliki tiga varian, yaitu: pemerintahan
supermarket (the Supermarket State) dan pemerintahan
pelayanan (the Service State) yang keduanya dilandasi oleh
pandangan kelompok “Kanan-Baru” atau “the New Right
Normative State”, serta model negara berkepemerintahan
mandiri (the Self-Governing State) yang dilandasi oleh
pemikiran kelompok “Kiri” (“Leftist”) yang berorientasi
kerakyatan.
BAB III
PERUBAHAN PARADIGMA: DARI
GOVERNMENT MENJADI
GOVERNANCE
Setelah membaca Bab III, peserta Diklat diharapkan mampu
menjelaskan konsepsi dan prinsip-prinsip kepemerintahan.
Dalam Bab II telah diuraikan bagaimana konsepsi mengenai kondisi
masyarakat dewasa ini yang sudah jauh berbeda dibandingkan
dengan kondisi setengah abad yang lalu. Kemajuan pembangunan
sosial, ekonomi telah semakin meningkatkan kesejahteraan dan
kualitas hidup maupun kehidupan masyarakat yang semakin
kompleks, dinamis, dan sangat beragam. Dalam kondisi yang
demikian kita sebenarnya juga telah menyaksikan bagaimana
perekonomian berbagai negara, khususnya Indonesia, telah sempat
mengalami fluktuasi bahkan pada menjelang akhir tahun 1990-an
justru mengalami kegagalan pasar yang memacu timbulnya krisis
multi dimensional yang berakhir dengan kegagalan pemerintah
(khususnya Pemerintah Orde Baru di Indonesia) dalam
mempertahankan kekuasaannya.
Dengan latar belakang kegagalan yang demikian itu, ditambah
dengan kenyataan semakin menguatnya tuntutan aktualisasi peranan
masyarakat dalam bentuk aspirasi maupun partisipasi aktif dalam
pembangunan, dominasi peranan pemerintah dalam pembangunan
mulai dipertanyakan. Sementara itu, dalam interaksi sosial politik
25
26
Dasar-Dasar Kepemerintahan yang Baik
masyarakat dengan pemerintah, sejalan dengan semakin menguatnya
kesadaran akan nilai-nilai demokrasi, masyarakat – dalam pengertian
luas – mulai menuntut keterlibatan mereka dalam berbagai proses
penyusunan kebijakan, perencanaan, pelaksanaan, maupun evaluasi
dan pengendalian. Berdasarkan hal itu, banyak negara yang
kemudian bereksperimen menemukan pola-pola baru ataupun
pendekatan-pendekatan baru dalam penyelenggaraan pemerintahan,
pelayanan publik, maupun pembangunan dengan melibatkan peran
aktif masyarakat termasuk dunia usaha dan lembaga swadaya
masyarakat yang lebih besar. Format kepemerintahan baru inilah
yang merubah pandangan klasik bahwa pemerintahlah yang harus
berperan dominan dalam pembangunan masyarakat. Dewasa ini
pandangan tersebut telah beralih dengan memberikan penekanan
yang lebih besar kepada masyarakat melalui konsepsi
kepemerintahan (governance).
Setelah mempelajari Bab ini, para peserta Diklatpim Tingkat IV
diharapkan
dapat
memahami
konsepsi
dan
pengertian
kepemerintahan
(governance),
serta
prinsip-prinsip
yang
melandasinya. Selain itu, para peserta diharapkan dapat pula
memahami dan menjelaskan kembali pilar-pilar pelaku yang menjadi
komponen kepemerintahan, serta pola interaksi atau kolaborasi
diantara pilar-pilar tersebut.
Modul Diklatpim Tingkat IV
A.
27
Konsepsi Kepemerintahan (Governance)
Sebagaimana telah teruraikan dalam bab sebelumnya,
karakteristik masyarakat post-modern dewasa ini secara umum
bersifat kompleks, dinamis, dan beranekaragam. Berbagai
kemajuan pembangunan masyarakat yang selama ini dicapai
telah mendorong terbentuknya kondisi masyarakat seperti
tersebut di atas. Dalam hubungan itu, pola interaksi sosialpolitik antara pemerintah dengan masyarakat juga cenderung
berubah, sejalan kompleksitas, dinamika, dan keragaman
permasalahan yang dihadapi.
Sepanjang sejarah pembangunan bangsa-bangsa terutama di
berbagai negara yang sedang berkembang, baik di Asia, Afrika,
maupun Amerika Latin, bahkan Eropa Timur akhir-akhir ini,
dan tentu saja di Indonesia khususnya di era Orde Baru;
pemerintah telah cenderung sangat dominan menentukan
bagaimana kondisi sosial-ekonomi bahkan politik dalam
kehidupan masyarakat yang perlu ditumbuh-kembangkan.
Pemerintah dengan segala kompetensi, pengalaman, serta akses
yang lebih baik terhadap sumber-sumber dan informasi statistik,
telah mengambil peran sebagai pemegang monopoli dalam
penyusunan peraturan perundang-undangan, menengahi konflikkonflik dalam masyarakat, menyelidiki berbagai permasalahan
dan upaya pemecahannya, dan akhirnya melaksanakan sendiri
kebijakan dan program yang telah dirancang. Dewasa ini
tampaknya pendekatan klasik atau ortodoks dalam
pembangunan yang menempatkan pemerintah sebagai agen
28
Dasar-Dasar Kepemerintahan yang Baik
pembaharu (Change Agent atau Agent of Development), dewasa
ini justru telah cenderung mulai ditinggalkan.
Format interaksi antara pemerintah dengan masyarakat dari
semula “sarwa negara” atau pemerintah (government) sebagai
paradigma klasik pemerintahan negara dan penyelenggaraan
pembangunan maupun pelayanan publik, telah bergeser menjadi
format baru kepemerintahan yang lebih dikenal dengan istilah
governance.
1. Konsepsi
(Governing)
Penyelenggaraan
Pemerintahan
Sebelum
menjelaskan
konsepsi
dan
pengertian
kepemerintahan, berikut ini akan diuraikan bagaimana
konteks pemerintahan dalam masyarakat kontemporer yang
dinamis, kompleks, dan beranekaragam, sebagaimana
dijelaskan oleh Kooiman (1993: 255-259). Dalam dunia
dengan karakteristik masyarakat seperti tersebut di atas, kita
dapat melihat hal sebagai berikut:
a. Permasalahan sosial dalam masyarakat pada umumnya
disebabkan oleh interaksi berbagai faktor (yang tidak
semuanya selalu dapat diidentifikasi) dan tidak bisa
dibatasi oleh sebab munculnya suatu faktor tertentu secara
terisolasi;
b. Pengetahuan politis maupun teknis mengenai berbagai
permasalahan dan kemungkinan pemecahannya, pada
kenyataannya sangat tersebar di antara berbagai aktor;
Modul Diklatpim Tingkat IV
29
c. Tujuan kebijakan publik tidak mudah untuk dirumuskan,
bahkan lebih sering menjadi bahan untuk disempurnakan:
ketidakpastian menjadi aturan dan bukan sebagai
pengecualian.
Sebagai dampak dari kondisi tersebut, dalam masyarakat
dewasa ini, kegiatan dalam rangka pemerintahan dapat
didefinisikan sebagai: “proses interaksi antara berbagai
aktor dalam pemerintahan dengan kelompok sasaran atau
berbagai individu masyarakat” (Kooiman: 255). Karena
sifatnya yang interaktif seperti definisi tersebut, dapat juga
dikemukakan bahwa pola pemerintahan yang berkembang
dalam masyarakat dewasa ini, baik yang bersifat hirarkis
maupun non-hirarki, adalah sebagaimana dikemukakan oleh
Offe (1985: 310) bahwa: “…hasil dari tindakan
administrastif dalam berbagai bidang adalah bukan
merupakan hasil dari pelaksanaan tugas pemerintah
berdasarkan
peraturan
perundang-undangan
yang
ditetapkan sebelumnya; tetapi lebih merupakan hasil dari
kegiatan produksi bersama (co-production) antara lembaga
pemerintahan dengan klien masing-masing.”
Penyelenggaraan
pemerintahan
(governing)
dalam
masyarakat dewasa ini pada intinya adalah merupakan proses
koordinasi,
pengendalian
(steering),
pemengaruhan
(influencing) dan penyeimbangan (balancing) setiap
hubungan interaksi tersebut. Dengan demikian dapat
diartikan bahwa format pemerintahan yang baru diperlukan,
30
Dasar-Dasar Kepemerintahan yang Baik
untuk dapat memenuhi tuntutan perubahan pola interaksi
sosial-politik antara pemerintah dengan masyarakat seperti
tersebut di atas. Pola tersebut tentu saja harus berbeda dengan
pola penyelenggaraan pemerintahan tradisional yang
terutama mendasarkan pada perspektif hubungan yang
bersifat “top-down”, atau pendekatan “aturan-pusatrasional” (Rational-Central-Rule Approach) (Kooiman:
255). Tetapi hal ini tidak berarti sepenuhnya meninggalkan
gagasan tentang keberadaan pemerintah dengan berbagai
instrumen pemerintahan yang bisa digunakan untuk melayani
ataupun mengendalikan kehidupan sosial-ekonomi politik
masyarakat.
Dalam masyarakat modern atau post-modern dewasa ini pola
pemerintahan yang dapat dikembangkan sesuai dengan
karakteristiknya masing-masing adalah sebagai berikut
(Kooiman: 257):
a. Kompleksitas: dalam menghadapi kondisi yang kompleks,
maka pola penyelenggaraan pemerintahan perlu
ditekankan pada fungsi koordinasi dan komposisi.
b. Dinamika: dalam hal ini pola pemerintahan yang dapat
dikembangkan adalah pengaturan atau pengendalian
(steering) dan kolaborasi (pola interaksi saling
mengendalikan diantara berbagai aktor yang terlibat dan
atau berkepentingan dalam sesuatu bidang tertentu).
c. Keanekaragaman:
masyarakat
dengan
berbagai
kepentingan yang beragam dapat diatasi dengan pola
penyelenggaraan pemerintahan yang menekankan pada
Modul Diklatpim Tingkat IV
31
pengaturan (regulation) dan integrasi atau keterpaduan
(integration).
Berdasarkan hal-hal tersebut dapat disimpulkan bahwa
penyelenggaraan pemerintahan (governing) dapat dipandang
sebagai:
“intervensi pelaku politik dan sosial yang
berorientasi hasil, yang diarahkan untuk menciptakan pola
interaksi yang stabil atau dapat diprediksikan dalam suatu
sistem (sosial-politik), sesuai dengan harapan ataupun
tujuan dari para pelaku intervensi tersebut”.
2. Konsepsi Kepemerintahan (Governance).
Pemerintah atau “Government” dalam Bahasa Inggris yang
berarti: “The authoritative direction and administration of
the affairs of men/women in a nation, state, city, etc.” atau
dalam bahasa Indonesia berarti “Pengarahan dan administrasi
yang berwenang atas kegiatan orang-orang dalam sebuah
negara, negara bagian, kota dan sebagainya.” Bisa juga
berarti “The Governing body of a nation, state, city etc.” atau
“Lembaga atau Badan yang menyelenggarakan pemerintahan
negara, negara bagian, atau kota dan sebagainya.” Sedangkan
istilah “kepemerintahan” atau dalam Bahasa Inggrisnya
disebut “Governance” yang berarti “the act, fact, manner, of
governing” atau jika dialihbahasakan ke dalam Bahasa
Indonesia berarti: “Tindakan, fakta, pola, dari kegiatan atau
penyelenggaraan pemerintahan”.
Dengan demikian “governance” adalah suatu kegiatan
(proses), sebagaimana dikemukakan oleh Kooiman (eds,
32
Dasar-Dasar Kepemerintahan yang Baik
1993) bahwa governance lebih merupakan serangkaian
proses interaksi sosial politik antara pemerintah dengan
masyarakat dalam berbagai bidang yang berkaitan dengan
kepentingan masyarakat dan intervensi pemerintah atas
kepentingan-kepentingan tersebut.
Dalam tulisannya yang berjudul “Good Governance”
(Paradigma Baru Manajemen Pembangunan), Prof. Bintoro
Tjokroamidjojo (34:2000), mengemukakan sebagai berikut:
“Governance artinya: memerintah-menguasai-mengurusmengelola”. Beliau juga mengutip pendapat Bondan
Gunawan yang menawarkan istilah “penyelenggaraan”
sebagai terjemahan dari “governance”. Kemudian dalam
Pidato Presiden 16 Agustus 2000, istilah “governance”
diterjemahkan sebagai “pengelolaan”.
Dari beberapa kutipan di atas dapat diketahui bahwa istilah
“governance”, tidak hanya berarti kepemerintahan sebagai
suatu kegiatan, tetapi juga mengandung arti pengurusan,
pengelolaan, pengarahan, pembinaan, penyelenggaraan dan
bisa juga diartikan pemerintahan. Oleh karena itu tidak
mengherankan apabila terdapat istilah public governance,
private governance, corporate governance dan banking
governance. Governance sebagai terjemahan dari
pemerintahan kemudian berkembang dan menjadi populer
dengan sebutan kepemerintahan, sedangkan praktek
terbaiknya disebut kepemerintahan yang baik (good
governance). Istilah kepemerintahan yang baik dapat
Modul Diklatpim Tingkat IV
33
ditemukan misalnya dalam Modul Sosialisasi Sistem
Akuntabilitas Kinerja Instansi Pemerintah (LAN dan BPKP;
2000), dan Peraturan Pemerintah No.101 Tahun 2000,
Tentang Diklat Jabatan PNS.
Kooiman (1993:258) memandang governance sebagai sebuah
struktur yang muncul dalam sistem sosial-politik sebagai
hasil dari tindakan intervensi interaktif diantara berbagai
aktor yang terlibat. Sesuai dengan karakteristik interaksi
antara pemerintah dan masyarakat yang cenderung bersifat
plural, maka konsepsi governance tersebut tidak dapat hanya
dibatasi kepada salah satu unsur pelaku atau kelompok
pelaku tertentu. Sebagaimana dinyatakan oleh Marin dan
Mayntz
(eds,
1991:
sampul
belakang)
bahwa:
“Kepemerintahan politik dalam masyarakat modern tidak
bisa lagi dipandang sebagai pengendalian pemerintah
terhadap masyarakat, tetapi muncul dari pluralitas pelaku
penyelenggaraan pemerintahan.”
United Nations Development Program (UNDP) dalam
Dokumen Kebijakannya yang berjudul “Governance for
Sustainable Human Development, January 1997”,
mendefinisikan kepemerintahan (governance) sebagai
berikut:
“Governance is the exercise of economic, political, and
administrative authority to manage a country’s affairs at all
levels and the means by which states promote social
34
Dasar-Dasar Kepemerintahan yang Baik
cohesion, integration, and ensure the well-being of their
population. It embraces all methods used to distribute power
and manage public resources, and the organizations that
shape government and the execution of policy. It
encompasses the mechanisms, processes, and institution
through which citizen and groups articulate their interests,
exercise their legal rights, meet their obligations, and resolve
their differences.”
(“Kepemerintahan adalah pelaksanaan kewenangan/
kekuasaaan di bidang ekonomi, politik dan administratif
untuk mengelola berbagai urusan negara pada setiap
tingkatannya dan merupakan instrumen kebijakan negara
untuk mendorong terciptanya kondisi kesejahteraan,
integritas, dan kohesivitas sosial dalam masyarakat. Hal ini
mencakup berbagai metode yang digunakan untuk
mendistribusikan kekuasaan/kewenangan dan mengelola
sumber daya publik, dan berbagai organisasi yang
membentuk pemerintahan serta melaksanakan kebijakankebijakannya. Konsep ini juga meliputi mekanisme, proses,
dan kelembagaan yang digunakan oleh masyarakat, baik
individu maupun kelompok,
untuk mengartikulasikan
kepentingan-kepentingan mereka, memenuhi hak-hak hukum,
memenuhi tanggung jawab dan kewajiban sebagai
warganegara, dan menyelesaikan perbedaan-perbedaan
diantara sesama.”
Modul Diklatpim Tingkat IV
35
Berdasarkan pengertian tersebut di atas, UNDP
mengindikasikan adanya tiga model kepemerintahan, yaitu:
a. Economic governance, yang meliputi proses pembuatan
keputusan
(decision
making
processes)
yang
memfasilitasi kegiatan ekonomi di dalam negeri dan
interaksi di antara penyelenggara ekonomi. Economic
governance mempunyai implikasi terhadap kesetaraan,
kemiskinan dan kualitas hidup;
b. Political governance, yang mencakup proses-proses
pembuatan berbagai keputusan untuk perumusan
kebijakan; dan
c. Administrative governance, yaitu sistem implementasi
kebijakan.
Oleh sebab itu kelembagaan dalam governance meliputi tiga
domain, yaitu negara (state), sektor swasta (private sector)
dan masyarakat (society) yang saling berinteraksi dalam
menjalankan fungsinya masing-masing.
Negara berfungsi menciptakan lingkungan politik dan hukum
yang kondusif, sektor swasta menciptakan lapangan
pekerjaan dan pendapatan, sedangkan masyarakat
memfasilitasi interaksi sosial dan politik, menggerakkan
kelompok-kelompok dalam masyarakat untuk berperan serta
dalam kegiatan ekonomi, sosial dan politik. Negara, sebagai
satu unsur governance, adalah termasuk di dalamnya
lembaga-lembaga politik maupun lembaga-lembaga sektor
publik.
36
Dasar-Dasar Kepemerintahan yang Baik
Sektor swasta meliputi perusahaan-perusahaan swasta yang
bergerak di berbagai bidang dan sektor informal lain di pasar.
Ada anggapan bahwa sektor swasta adalah bagian dari
masyarakat. Namun demikian sektor swasta dapat dibedakan
dengan masyarakat karena sektor swasta mempunyai
pengaruh terhadap kebijakan-kebijakan sosial politik dan
ekonomi yang dapat menciptakan lingkungan yang lebih
kondusif bagi pasar dan perusaaan-perusahaan itu sendiri.
Sedangkan masyarakat (society) terdiri dari individual dan
kelompok (baik yang terorganisasi maupun tidak) yang
berinteraksi secara sosial, politik, dan ekonomi dengan aturan
formal maupun tidak formal. Society meliputi lembaga
swadaya masyarakat, organisasi profesi dan lain-lain. Dalam
kaitan dengan masyarakat Hubbard (2001) mengatakan
“governance is more than goverment”, kemudian
“governance” didefinisikan sebagai: “how societies steer
them selves”.
Novartis Foundation for Sustainable Development (NFSD)
mendefinisikan governance sebagai seni kepemimpinan
publik yang terdiri dari tiga dimensi yaitu :
a. bentuk dari rezim politik (the form political regime);
b. proses penyelenggaraan kewenangan dalam manajemen
ekonomi dan sumber-sumber daya sosial negara (the
process by which authority is exercised in the
management of country’s economic and social resources);
dan
Modul Diklatpim Tingkat IV
37
c. kemampuan pemerintah untuk merancang, mendesain,
merumuskan dan mengimplementasikan kebijakan serta
melaksanakan fungsi-fungsinya (the capacity of
goverments to design, formulate, and implement policies
and discharge functions).
Secara sederhana, konsep kepemerintahan tersebut dapat juga
dirumuskan dengan pengertian sebagai “…the way state
power is used in managing economic and social resources
for development of society” (“kepemerintahan adalah cara
menggunakan
kekuasaan
pemerintah/negara
dalam
pengelolaan sumber daya ekonomi dan sosial untuk
pembangunan masyarakat.”) (Rainer Tetzlaff dalam D+C
Development and Cooperation, 1995: 20-22).
Berbagai pengertian mengenai konsep kepemerintahan
tersebut di atas pada dasarnya hampir sama, yaitu mengenai
bagaimana pemerintah berinteraksi dengan masyarakat dalam
bidang ekonomi, sosial, dan politik dalam upaya pemenuhan
kepentingan-kepentingan masyarakat. Dalam bidang
ekonomi proses kepemerintahan tersebut mencakup proses
yang mempengaruhi kegiatan perekonomian nasional dan
hubungannya dengan perekonomian negara-negara lain.
Sedangkan dalam lingkup politik, kepemerintahan mencakup
proses pengambilan keputusan untuk menetapkan kebijakan
dan peraturan perundang-undangan. Di sisi lain,
kepemerintahan administratif – yang dilaksanakan melalui
sektor publik yang independen dan akuntabel - adalah
merupakan
sistem
implementasi
kebijakan
yang
38
Dasar-Dasar Kepemerintahan yang Baik
menghasilkan berbagai konsekuensi bagi kondisi sosial
masyarakat.
3. Aktor Dalam Kepemerintahan (Governance).
Dalam praktek kepemerintahan terdapat banyak pelaku atau
aktor yang dapat diidentifikasikan, mencakup individual,
organisasi, institusi, dan kelompok-kelompok sosial, yang
keberadaannya
sangat
penting
bagi
terciptanya
kepemerintahan yang efektif. Beberapa aktor yang dapat
diidentifikasi antara lain sebagai berikut:
a. Negara dan Pemerintahan. Konsepsi kepemerintahan
pada dasarnya adalah kegiatan kenegaraan, tetapi lebih
jauh dari itu melibatkan pula sektor swasta dan
kelembagaan masyarakat madani (Civil Society
Organizations). Pengertian negara (State) atau
pemerintahan dalam hal ini secara umum mencakup
keseluruhan lembaga politik dan sektor publik. Peranan
dan tanggung jawab negara atau pemerintah adalah
meliputi
penyelenggaraan
pelayanan
publik,
penyelenggaraan kekuasaan untuk memerintah, dan
membangun lingkungan yang kondusif bagi tercapainya
tujuan pembangunan baik pada level lokal, nasional,
maupun internasional dan global.
39
Modul Diklatpim Tingkat IV
swasta sangat penting dalam pola kepemerintahan dan
pembangunan, karena peranannya
sebagai sumber
peluang untuk meningkatkan produktivitas, penyerapan
tenaga kerja, sumber penerimaan, investasi publik,
pengembangan usaha, dan pertumbuhan ekonomi;
c. Masyarakat
Madani (Civil Society). Kelompok
masyarakat dalam konteks kenegaraan pada dasarnya
berada di antara atau di tengah-tengah antara Pemerintah
dan perseorangan, yang mencakup baik perseorangan
maupun kelompok masyarakat yang berinteraksi secara
sosial, politik dan ekonomi. Kelembagaan masyarakat
sipil tersebut pada umumnya dapat dirasakan oleh
masyarakat, melalui kegiatan fasilitasi partisipasi
masyarakat dengan cara mobilisasi.
Interaksi diantara ketiga pelaku governance secara sederhana
dapat digambarkan sebagaimana terlihat dalam Bagan 1,
PEMERINTAH
SWASTA
MASYARAKAT
b. Sektor Swasta. Pelaku
sektor swasta mencakup
perusahaan swasta yang aktif dalam interaksi dalam
sistem
pasar,
seperti:
industri
pengolahan
(manufacturing), perdagangan, perbankan, dan koperasi,
termasuk juga kegiatan sektor informal. Peranan sektor
Interaksi Antar Pelaku Dalam Kerangka
Bagan 1.
40
Dasar-Dasar Kepemerintahan yang Baik
B. Prinsip-Prinsip Kepemerintahan
Telah dibahas sebelumnya bahwa konsepsi kepemerintahan pada
dasarnya merupakan sistem interaksi sosial-politik antara
pemerintah/negara dengan masyarakat modern dewasa ini yang
memiliki karakteristik yang kompleks, dinamis, dan beraneka
ragam. Dalam implementasi konsep kepemerintahan dengan
demikian tidak dapat dipisahkan antara peranan pemerintah dan
peranan masyarakat, meskipun tuntutan dari konsep
kepemerintahan dewasa ini menghendaki peranan yang lebih
dominan justru terletak di tangan masyarakat. Alasan yang
melandasinya sebenarnya sederhana saja, yaitu bahwa
permasalahan yang harus ditangani pemerintahan (governability)
dari waktu ke waktu cenderung meningkat sejalan dengan
meningkatkan kompleksitas, dinamika, dan keanekaragaman
kepentingan masyarakat modern dewasa ini, yang secara umum
belum dipertimbangkan dalam kerangka teori dan praktek
penyelenggaraan kepemerintahan.
Sedangkan prinsip mendasar yang melandasi perbedaan antara
konsepsi
kepemerintahan
(governance)
dengan
pola
pemerintahan yang tradisional, adalah terletak pada adanya
tuntutan yang demikian kuat agar peranan pemerintah dikurangi
dan peranan masyarakat (termasuk dunia usaha dan
LSM/Ornop) semakin ditingkatkan dan semakin terbuka
aksesnya.
Mengapa dalam pola kepemerintahan dewasa ini peranan
masyarakat (society) perlu mendapatkan perhatian yang lebih
Modul Diklatpim Tingkat IV
41
besar? Jawabannya dapat terwakili oleh beberapa pernyataan
yang menunjukkan bagaimana selama ini model pemerintahan
tradisional telah cenderung mengabaikan aktualisasi keberadaan
masyarakat sebagai subyek pemerintahan, pembangunan, dan
pelayanan publik. Masyarakat selama ini cenderung hanya
menjadi obyek pemerintahan, pembangunan, dan pelayanan
publik, sehingga di berbagai negara terdapat fakta bahwa dengan
pembangunan nasional yang dikendalikan sepenuhnya oleh
pemerintah, justru berakhir dengan kesengsaraan, bukan
kesejahteraan masyarakat. Beberapa kesimpulan dari hasil studi
mengenai interaksi antara pemerintah dan masyarakat
sebagaimana dikemukakan oleh Duclaud Williams menurut
Kooiman (1993: 251) adalah sebagai berikut:
1. Bahwa keberadaan struktur kekuasaan, metode, dan
instrumen pemerintahan tradisional dewasa ini telah gagal;
2. Berbagai bentuk dan ruang lingkup kegiatan interaksi sosialpolitik yang baru telah muncul, tetapi format kelembagaan
dan pola tindakan mediasi berbagai kepentingan yang
berbeda pada kenyataannya masih belum tersedia;
3. Terdapatnya berbagai isu baru yang sangat strategis dan
menjadi pusat perhatian seluruh aktor yang terlibat dalam
interaksi sosial politik, baik dari lingkungan pemerintah
maupun masyarakat; dan
4. Diperlukan adanya konvergensi atau kesearahan tujuan dan
kepentingan untuk menghasilkan dampak yang bersifat
sinergis atau situasi “menang-menang” (Win-win Situation).
42
Dasar-Dasar Kepemerintahan yang Baik
Beberapa kondisi obyektif tersebut telah mendorong munculnya
format
kepemerintahan
sosial-politik
(Social-political
Governance) baru dalam masyarakat modern dewasa ini. Selain
kondisi obyektif yang diperlukan dalam kerangka pikir
kepemerintahan yang ternyata tidak muncul dalam pola
pemerintahan tradisional, beberapa kondisi subyektif yang harus
dapat dimunculkan dalam diri setiap aktor yang terlibat dalam
rangka pengembangan konsep kepemerintahan, adalah adanya:
1. Derajat tertentu dalam sikap saling mempercayai atau saling
memahami (mutual trust atau mutual understanding);
2. Kesiapan untuk memikul tanggungjawab (bersama);
3. Derajat tertentu keterlibatan politik dan dukungan sosial
masyarakat.
Beberapa kondisi obyektif maupun kondisi subyektif tersebut
kiranya dapat dipandang sebagai prinsip yang melandasi format
kepemerintahan modern yang diperlukan dewasa ini, yang
menekankan kepada pola interaksi antara pemerintah dan
masyarakat yang semakin terpadu, kohesif, dan berorientasi
kepada kepentingan masyarakat, bukan kepada kepentingan
pemerintah semata.
Pola kepemerintahan kontemporer yang ditandai dengan proses
pengelolaan bersama (co-arrangement) antara pemerintah
dengan masyarakat (termasuk swasta dan LSM), memiliki
karakteristik yang relatif berbeda dibandingkan dengan pola
kepemerintahan tradisional atau konvensional yang memiliki
karakter utama “lakukan sendiri” oleh pemerintah (“Do it
Modul Diklatpim Tingkat IV
43
alone” Government). Perbandingan diantara keduanya dapat
digambarkan sebagaimana terlihat dalam Tabel 1.
Dalam masyarakat modern yang dinamis dan kompleks, serta
sangat beraneka ragam dewasa ini, pemerintah (dan masyarakat
umum) memiliki berbagai tugas baru sebagai berikut:
1. Pemberdayaan interaksi sosial politik, hal ini mengandung
arti penarikan diri dalam berbagai kesempatan, namun
seringnya (dan pada saat yang sama) hal ini berarti
mengambil tanggung jawab untuk mengorganisasikan
interaksi sosial politik yang memberikan dorongan bagi
pertumbuhan sistem interaksi sosial-politik untuk mengatur
dirinya sendiri.
2. Pembentukan dan pemeliharaan kelangsungan berbagai jenis
dan bentuk “co-arrangements” dimana permasalahan,
tanggung jawab dan tindakan kolektif ditanggung bersama
(shared).
Berdasarkan hal-hal tersebut di atas, dapat disusun sebuah
kerangka acuan berpikir bagi para pejabat pemerintahan Daerah
maupun pemerintahan Pusat dalam kerangka aktualisasi
pelaksanaan gagasan konsepsional kepemerintahan sebagai
berikut:
1. Bahwa orientasi interaktif dan eksternal bagi organisasi
pemerintahan merupakan salah satu hal yang sangat penting
dan strategis;
2. Administrasi publik harus mampu memberikan perhatian
terhadap beragam sudut pandang administratif, politik,
ilmiah, dan sosial; dan harus pula mempertimbangkan
44
Dasar-Dasar Kepemerintahan yang Baik
berbagai pengertian yang berlaku mengenai permasalahan
tindakan kolektif dan upaya pemecahannya, dari dalam diri
administrasi publik tersebut;
3. Pemerintah harus mampu mencoba mendelegasikan
tanggung jawab makro terhadap berbagai unsur pelaku sosial,
dan pada saat yang bersamaan mendorong dan
memberdayakan mereka untuk mengambil dan menerima
tanggung jawab tersebut;
4. Peranan pemerintah pada akhirnya perlu dibekali dengan
kemampuan diri dan kompetensi untuk menjembatani konflik
diantara berbagai kelompok kepentingan dan berbagai
hambatan lainnya dalam kerangka sosial-politik.
45
Modul Diklatpim Tingkat IV
Tabel 1:
Perbandingan Pola Kepemerintahan Tradisional dan Kontemporer Dalam
Hubungannya dengan Kondisi Kompleksitas, Dinamika, dan Keanekaragaman
Interaksi Sosial-Politik Masyarakat
Karakteristik
Interaksi
Sosial-Politik
Kompleksita
s
Pemerintahan Tradisional
Kepemerintahan Modern
“Do it Alone”
“Co-arrangement”
• Hubungan sebabakibat
• Ketergantungan yang
bersifat unilateral
• Menyeluruh dan bagian-bagiannya
• Saling ketergantungan (interdependensi) yang
bersifat multididiplin
• Pengelolaan melalui jaringan komunikasi
• Terbagi atau dibagibagi kedalam
berbagai unit
organisasi atau
disiplin keilmuan
Dinamika
• Linieritas dan prediktabilitas
• Kontinuitas dan
reversalitas
(reversability)
• Menggunakan
• Polanya bersifat non-linier dan Chaotic
• Diskontinuitas dan Ireversalitas
(irreversability)
• Memanfaatkan model pemecahan
permasalahan, melalui penggunaan
mekanisme “Feed-While”/ Feed-back
mekanisme “feedforward”
Keanekaraga
man
• Pendekatan/analisis
didasarkan pada pola
perhitungan rata-rata
• Analisis bersifat situasional dan diskrit
• Dari pengecualian kepada aturan perundangundangan
• Perubahan
pengaturan dari
orientasi hukum dan
perundang-undangan
kepada berbagai
pengecualian.
Sumber:
Jan Kooiman (eds) , 1993, Modern Governance: New Government-
Society Interactions; London: Sage Publications.
46
Dasar-Dasar Kepemerintahan yang Baik
C. Latihan
1. Mengapa paradigma penyelenggaraan pemerintahan dan
pembangunan berubah dari sarwa negara kepada paradigma
kepemerintahan (governance) ?
2. Bagaimana konsepsi kepemerintahan (governance) dapat
dirumuskan ?
3. Apa implikasi dari rumusan konsep kepemerintahan tersebut
dalam praktek penyelenggaraan pemerintahan dan
pembangunan di Indonesia maupun di berbagai negara
lainnya ?
D. Rangkuman
Uraian dalam Bab ini dapat dirangkumkan dalam beberapa butir
sebagai berikut:
1. Sejalan dengan perkembangan sosial-ekonomi-politik
masyarakat di berbagai negara, khususnya di negara-negara
yang sedang berkembang, peranan negara dan pemerintah
yang sangat dominan dalam pembangunan nasional telah
cenderung bergeser ke arah peranan masyarakat dan swasta
yang lebih besar. Format interaksi antara pemerintah dengan
masyarakat telah bergeser dari paradigma klasik sarwa
negara (government) telah bergeser kearah paradigma
kepemerintahan yang berorientasi pada peranan masyarakat
madani dalam format kepemerintahan (governance).
2. Penyelenggaraan pemerintahan (governing) dalam konteks
tersebut di atas dapat diartikan sebagai proses interaksi antara
Modul Diklatpim Tingkat IV
47
berbagai aktor dalam pemerintahan dengan kelompok sasaran
atau berbagai individu masyarakat.
3. “Governance”, tidak hanya berarti kepemerintahan sebagai
suatu kegiatan, tetapi juga mengandung arti pengurusan,
pengelolaan, pengarahan, pembinaan, penyelenggaraan dan
bisa juga diartikan pemerintahan. Oleh karena itu tidak
mengherankan apabila terdapat istilah public governance,
private governance, corporate governance dan banking
governance.
4. Konsepsi kepemerintahan dapat didefinisikan sebagai
pelaksanaan kewenangan/ kekuasaaan dibidang ekonomi,
politik dan administratif untuk mengelola berbagai urusan
negara pada setiap tingkatannya dan merupakan instrumen
kebijakan negara untuk mendorong terciptanya kondisi
kesejahteraan, integritas, dan kohesivitas sosial dalam
masyarakat.
5. Konsepsi governance mencakup berbagai metode yang
digunakan untuk mendistribusikan kekuasaan/kewenangan
dan mengelola sumber daya publik, dan berbagai organisasi
yang membentuk pemerintahan serta melaksanakan
kebijakan-kebijakannya. Konsep ini juga meliputi
mekanisme, proses, dan kelembagaan yang digunakan oleh
masyarakat, baik individu maupun kelompok,
untuk
mengartikulasikan
kepentingan-kepentingan
mereka,
memenuhi hak-hak hukum, memenui tanggung jawab dan
kewajiban sebagai warga negara, dan menyelesaikan
perbedaan-perbedaan diantara sesama.
48
Dasar-Dasar Kepemerintahan yang Baik
6. Dalam konsepsi governance, para pelaku dalam interaksi
kepemerintahan terdiri dari unsur sektor publik
(pemerintah) yang berfungsi menciptakan lingkungan
politik dan hukum yang kondusif, sektor swasta yang
menciptakan pekerjaan dan pendapatan bagi masyarakat, dan
masyarakat madani (civil society) yang memfasilitasi
interaksi sosial dan politik, menggerakkan kelompokkelompok dalam masyarakat untuk berperan serta dalam
kegiatan ekonomi, sosial dan politik.
7. Paradigma kepemerintahan (governance) adalah paradigma
yang menekankan bagaimana pemerintah berinteraksi secara
kondusif dalam kesetaraan dan keseimbangan peranan
dengan sektor swasta dan masyarakat madani dalam bidang
ekonomi, sosial, dan politik untuk berkolaborasi memenuhi
kebutuhan dan kepentingan-kepentingan masyarakat itu
sendiri.
BAB IV
KEPEMERINTAHAN YANG BAIK
(GOOD GOVERNANCE)
Setelah membaca Bab IV, peserta Diklat diharapkan mampu
menjelaskan pengertian Kepemerintahan yang Baik beserta
prinsip-prinsipnya.
Arti kepemerintahan yang baik sebagai terjemahan dari good
governance dalam modul ini lebih ditekankan pada peran pemerintah
dalam penyelenggaraan kegiatan pemerintahan dan pembangunan,
walaupun mempunyai obyek menyentuh berbagai sektor. Hal ini
sejalan dengan pendapat Pinto (1994) bahwa istilah “governance”
mengandung arti “Praktik penyelenggaraan kekuasaan dan
kewenangan oleh pemerintah dalam pengelolaan urusan
pemerintahan secara umum, dan pembangunan ekonomi pada
khususnya”.
A. Pengertian Kepemerintahan Yang Baik
Dalam bab terdahulu telah dijelaskan dijelaskan mengenai
pengertian governance yang dalam modul ini dialihbahasakan
menjadi kepemerintahan, sehingga para peserta Diklat dapat
memahami makna yang terkandung di dalamnya untuk
membahas lebih lanjut konsep kepemerintahan yang baik dalam
konteks modul ini.
49
50
Dasar-Dasar Kepemerintahan yang Baik
Arti good dalam istilah good governance mengandung dua
pengertian: pertama, nilai-nilai yang menjunjung tinggi
keinginan/kehendak rakyat, dan nilai-nilai yang dapat
meningkatkan kemampuan rakyat dalam pencapaian tujuan
(nasional) kemandirian, pembangunan berkelanjutan dan
keadilan sosial. Kedua, aspek-aspek fungsional dari
pemerintahan yang efektif dan efisien dalam pelaksanaan
tugasnya untuk mencapai tujuan-tujuan tersebut. Oleh karena
itu, berdasarkan pengertian ini kepemerintahan yang baik
berorientasi pada dua hal yaitu:
1. Orientasi ideal negara yang diarahkan pada pencapaian
tujuan nasional; dan
2. Pemerintahan yang berfungsi secara ideal, yaitu secara
efektif dan efisien melakukan upaya pencapaian tujuan
nasional.
Orientasi pertama mengacu pada demokratisasi dalam
kehidupan bernegara dengan elemen-elemen konstituennya
seperti: legitimacy atau legitimasi, apakah pemerintah dipilih
dan mendapat kepercayaan dari rakyatnya; accountability atau
akuntabilitas, yaitu seberapa jauh perlindungan hak-hak asasi
manusia terjamin, adanya otonomi dan devolusi kekuasaan
kepada daerah, serta adanya jaminan berjalannya mekanisme
konrol oleh masyarakat. Sedangkan orientasi kedua, tergantung
pada sejauhmana pemerintah mempunyai kompetensi, dan
sejauhmana struktur dan mekanisme politik serta administratif
berfungsi secara efektif dan efisien.
Modul Diklatpim Tingkat IV
51
OECD dan World Bank mensinonimkan good governance
dengan penyelenggaraan manajemen pembangunan yang
solid dan bertanggungjawab yang sejalan dengan demokrasi
dan pasar yang efisien, penghindaran salah alokasi investasi
yang langka, dan penghindaran korupsi baik secara politik
maupun administratif, menjalankan disiplin anggaran serta
penciptaan legal and political frameworks bagi tumbuhnya
aktivitas kewiraswastaan.
Dokumen lain yang diterbitkan oleh UNDP dan Pemerintah
Vietnam memberikan definisi good governance sebagai proses
yang meningkatkan interaksi konstruktif diantara domaindomainnya dengan tujuan untuk menciptakan dan memelihara
kebebasan, keamanan dan kesempatan bagi adanya aktivitas
swasta yang produktif. Oleh karena itu good governance juga
adalah mengutamakan partisipasi, transparansi, akuntabilitas,
dan efektivitas serta memperlakukan semua sama. Adapun
UNDP sendiri memberikan definisi good governance sebagai
“hubungan yang sinergis dan konstruktif diantara negara,
sektor swasta dan masyarakat (society)”.
Berdasarkan definisi itu, kemudian UNDP mengajukan
karakteristik yang dapat dipandang sebagai prinsip-prinsip good
governance, seperti: partisipasi, supremasi hukum, transparansi,
cepat tanggap, membangun konsensus, kesetaraan, efektif dan
efisien, bertanggung jawab dan visi yang strategik. Kesembilan
karakteristik tersebut saling memperkuat dan tidak dapat berdiri
sendiri.
52
Dasar-Dasar Kepemerintahan yang Baik
Dalam kaitan dengan karakteristik dari good governance
tersebut, dalam Peraturan Pemerintah No. 101 Tahun 2000,
dirumuskan pengertian Kepemerintahan Yang Baik (good
governance) yaitu: “Kepemerintahan yang mengembangkan dan
menerapkan prinsip-prinsip profesionalitas, akuntabilitas,
transparansi, pelayanan prima, demokrasi, efisiensi, efektivitas,
supremasi hukum dan dapat diterima oleh seluruh masyarakat.”
Sedangkan dalam modul sosialisasi AKIP (LAN & BPKP,
2000) dikemukakan bahwa “proses penyelenggaraan kekuasaan
negara dalam melaksanakan penyediaan public goods and
services
di
sebut
governance (pemerintahan
atau
kepemerintahan), sedang praktik terbaiknya disebut good
governance (kepemerintahan yang baik).” Selanjutnya
dikemukakan pula bahwa good governance yang efektif
menuntut adanya “alignment” (koordinasi) yang baik dan
integritas, profesionalisme serta etos kerja dan moral yang
tinggi. Agar kepemerintahan yang baik menjadi realita dan
berhasil diwujudkan, diperlukan komitmen dari semua pihak,
pemerintah dan masyarakat.
Atas dasar uraian di atas, dapat dikatakan bahwa wujud
kepemerintahan yang baik (good governance)
adalah
penyelenggaraan pemerintahan negara yang solid dan
bertanggungjawab, serta efisien dan efektif, dengan menjaga
menyinergikan interaksi yang konstruktif diantara domaindomain negara, sektor swasta dan masyarakat (society). Oleh
karena good governance bersenyawa dengan sistem administrasi
Modul Diklatpim Tingkat IV
53
negara, maka upaya mewujudkan kepemerintahan yang baik
merupakan upaya melakukan penyempurnaan sistem
administrasi negara yang berlaku pada suatu negara secara
menyeluruh. Dalam kaitan itu Bagir Manan (1999) menyatakan
bahwa : “ sangat wajar apabila tuntutan penyelenggaran
pemerintahan yang baik terutama di tujukan pada pembaharuan
administrasi negara dan pembaharuan penegakan hukum”. Hal
ini di kemukakan karena dalam hubungan dengan pelayanan dan
perlindungan rakyat ada dua cabang pemerintahan yang
berhubungan langsung dengan rakyat yaitu administrasi negara
dan penegak hukum.
Jika dilihat dari ketiga domain dalam governance, tampaknya
domain state menjadi domain yang paling memegang peranan
penting dalam mewujudkan good governance karena fungsi
pengaturan yang memfasilitasi domain sektor swasta dan
masyarakat (society), serta fungsi administratif penyelenggaraan
pemerintahan melekat pada domain ini. Dalam makalah
“Reformasi Birokrasi ke Arah Good Governance”, Bintoro
Tjokroamidjojo menyatakan bahwa “ good governance lebih
dapat berjalan dalam suatu sistem politik yang demokratis,
dalam masyarakat yang berkesadaran hukum, tegaknya hukum
untuk semua secara sama dan dalam ekonomi dimana berjalan
mekanisme pasar secara sehat”. Sedangkan J.B. Kristiadi
berpendapat, “ good governance dapat dicapai melalui
pengaturan yang tepat antara fungsi pasar dengan fungsi
organisasi, termasuk organisasi publik sehingga dicapai
54
Dasar-Dasar Kepemerintahan yang Baik
transaksi-transaksi dengan biaya paling rendah”. Dalam
hubungan ini Mustopadidjaja berpandangan bahwa:
“Kredibilitas manajemen pemerintah pada negara-negara
demokratis konstitusional dimasa mendatang akan lebih
banyak ditentukan oleh kompetensinya dalam pengelolaan
kebijakan publik. Peran pemerintah melalui kebijakankebijakan publiknya sangat penting dalam memfasilitasi
terjadinya mekanisme pasar yang benar sehingga
penyimpangan-penyimpangan yang terjadi di dalam pasar
dapat dihindari. Oleh karena itu, upaya-upaya perwujudan
ke arah good governance dapat dimulai dengan membangun
landasan demokratisasi penyelenggaraan negara dan
bersamaan dengan itu dilakukan upaya pembenahan
terhadap penyelenggaraan pemerintahan”.
Adapun pembangunan landasan demokratisasi penyelenggaraan
negara menurut JICA dapat dilihat berdasarkan elemen-elemen
berikut:
1. Legitimacy. Apakah demokrasi dijunjung tinggi? Apakah
pemerintahan dipilih secara demokratis dan mendapat
kepercayaan dari masyarakat? Apakah hukum dengan
semestinya mengendalikan kekuasaan dan kedaulatan?
Apakah prosedur untuk mekanisme penyampaian keberatan
dan perbedaan pendapat dibangun dan berfungsi?
2. Accountability. Apakah penyalahgunaan wewenang tidak
mungkin dilakukan? Apakah ada keterbukaan informasi
Modul Diklatpim Tingkat IV
55
dalam penyelengaraan wewenang? Apakah tugas-tugas dan
wewenang para pejabat diuraikan secara jelas?
3. Securing human rights. Apakah hak asasi manusia
dihormati? Apakah hak-hak minoritas dihormati? Apakah
upaya-upaya dilakukan dalam rangka meningkatkan
kesejahteraan masyarakat?
4. Local autonomy and devolution. Apakah otonomi daerah
dan pendelegasian wewenang
dihormati secara
institusional ?
5. Civilian control over excessive arms management and
disarmament. Apakah pengeluaran militer dikendalikan
pada proposional tertentu dari anggaran?
Dari sisi pemerintah (government), good governance dapat
dilihat melalui aspek-aspek :
1. Hukum/kebijakan. Aspek ini ditujukan pada perlindungan
kebebasan sosial, politik dan ekonomi.
2. Administrative competence and transparency. Kemampuan
membuat perencanaan dan melakukan implementasi secara
efisien, kemampuan melakukan penyederhanaan organisasi,
penciptaan disiplin dan model administratif keterbukaan
informasi.
3. Desentralisasi. Desentralisasi regional dan dekonsentrasi
didalam departemen.
4. Penciptaan pasar yang kompetitif. Penyempurnaan
mekanisme pasar peningkatan peran pengusaha kecil dan
segmen lain dalam sektor swasta, deregulasi, dan
56
Dasar-Dasar Kepemerintahan yang Baik
kemampuan pemerintah melakukan kontrol terhadap makro
ekonomi.
Senada dengan JICA, NFSD juga merumuskan kriteria-kriteria
good governance berdasarkan dimensi-dimensi di atas, yaitu:
1. Legitimasi dari pemerintahan (menyangkut tingkat/derajat
demokratisasi);
2. Akuntabilitas dari elemen-elemen politik dan pejabat dalam
pemerintahan (menyangkut pula kebebasan media,
transparansi dalam pembuatan/ pengambilan keputusan,
mekanisme akuntabilitas);
3. Kompetensi pemerintah dalam memformulasikan kebijakan
dan memberikan pelayanan;
4. Penghormatan terhadap hak azasi manusia dan hukum yang
berlaku (hak-hak individu dan kelompok, keamanan,
kerangka hukum untuk aktivitas sosial dan ekonomi,
partisipasi).
Sejalan dengan pemikiran di atas, dalam menguraikan
pengertian “good governance” (penyelenggaraan pemerintahan
yang baik), Bagir Manan (1999) selanjutnya mengemukakan
bahwa “berbagai ungkapan teoritik sering dilekatkan pada
bentuk dan isi good governance seperti, responsible,
accountable, controlable, transparancy, limitable dan lainlain”. Bagi rakyat banyak penyelenggaraan pemerintahan yang
baik menurut beliau adalah pemerintahan yang memberikan
berbagai kemudahan, kepastian dan bersih dalam menyediakan
Modul Diklatpim Tingkat IV
57
pelayanan dan perlindungan dari berbagai tindakan sewenangwenang, baik atas diri, hak maupun atas harta bendanya.
B. Prinsip-Prinsip Kepemerintahan Yang Baik
Dari uraian terdahulu mengenai pembahasan konsep “good
governance” yang dalam modul ini diterjemahkan sebagai
“kepemerintahan yang baik” telah dikemukakan berbagai
karakteristik atau ciri-ciri dari kepemerintahan yang baik. Ciriciri tersebut bila ditelaah sebenarnya merupakan suatu ketentuan
yang harus diikuti untuk mewujudkan kepemerintahan yang
baik. Bila halnya demikian, maka ciri-ciri ataupun karakteristik
tersebut
dapat
diidentikan
dengan
prinsip-prinsip
kepemerintahan yang baik, sebagai patokan yang memberikan
pedoman dalam mewujudkan suatu kepemerintahan yang baik.
Artinya bila prinsip-prinsip kepemerintahan yang baik itu
diterapkan secara konsekuen dan konsisten maka akan menjadi
karakteristiknya.
Ciri-ciri kepemerintahan yang baik sebagaimana dikemukakan
terdahulu, dalam Peraturan Pemerintah No.101 Tahun 2000
disebut sebagai prinsip-prinsip kepemerintahan yang baik, yang
terdiri dari
1) profesionalitas,
2) akuntabilitas,
3) transparansi,
4) pelayanan prima,
5) demokrasi,
58
6) efisiensi,
7) efektifitas,
8) supremasi hukum
masyarakat.
Dasar-Dasar Kepemerintahan yang Baik
Modul Diklatpim Tingkat IV
59
jawab dan penanggung gugat atas segala tindakan dan
kebijakan yang ditetapkannya. Unsur ini merupakan inti
dan
dapat
diterima
oleh
seluruh
Dalam pada itu karakteristik kepemerintahan yang baik sebagai
suatu prinsip dikemukakan dalam Rencana Strategis LAN 20052009, yang menyebutkan perlunya pendekatan baru dalam
penyelenggaraan negara dan pembangunan yang terarah pada
terwujudnya kepemerintahan yang baik (good governance)
yakni: ” … proses pengelolaan pemerintahan yang demokratis,
profesional, menjunjung tinggi supremasi hukum dan HAM,
desentralistik, partisipatif, transparan, berkeadilan, bersih dan
akuntabel; selain berdayaguna, berhasil guna dan berorientasi
pada peningkatan daya saing bangsa”.
Gambir Bhatta (1996:7) mengungkapkan bahwa “unsur-unsur
utama governance” (bukan prinsip), yaitu: akuntabilitas,
(accountability), transparansi (transparancy), keterbukaan
(opennes), dan aturan hukum (rule of law) ditambah dengan
kompetensi manajemen (management competence) dan hak-hak
azasi manusia (human right).
Selanjutnya dikemukakan adanya empat unsur utama yang dapat
memberikan gambaran suatu administrasi publik yang bercirikan
kepemerintahan yang baik sebagai berikut :
1. Akuntabilitas. Mengandung arti adanya kewajiban bagi
aparatur pemerintah untuk bertindak selaku penanggung
dari kepemerintahan yang baik (good governance).
2. Transparansi. Kepemerintahan yang baik akan bersifat
transparan terhadap rakyatnya, baik di tingkat pusat
maupun di daerah. Rakyat secara pribadi dapat mengetahui
secara jelas dan tanpa ada yang ditutupi-tutupi dalam proses
perumusan kebijakan publik dan tindakan pelaksanaannya
(implementasinya). Dengan kata lain, segala tindakan dan
kebijaksanaan pemerintah baik di pusat maupun di daerah,
harus selalu dilaksanakan secara terbuka dan diketahui
umum.
3. Keterbukaan. Prinsip ini menghendaki terbukanya
kesempatan bagi rakyat untuk mengajukan tanggapan dan
kritik terhadap pemerintah yang dinilainya tidak transparan.
Kepemerintahan yang baik, yang bersifat transparan dan
terbuka akan memberikan informasi/data yang memadai
bagi masyarakat sebagai bahan untuk melakukan penilaian
atas jalannya pemerintahan. Dalam praktek, dewasa ini
masih terlihat kenyataan misalnya dalam prosedur tender
kompetitif suatu proyek pembangunan hingga penetapan
keputusan pemenangnya, masih sering bersifat tertutup.
Rakyat atau bahkan para pelaku tender dengan pemerintah
sering tidak memperoleh kejelasan informasi tentang hasil
atau kriteria penetapan pemenang tender proyek yang
bersangkutan.
4. Aturan Hukum (Rule of Law). Prinsip ini mengandung arti
bahwa kepemerintahan yang baik mempunyai karakteristik
60
Dasar-Dasar Kepemerintahan yang Baik
berupa jaminan kepastian hukum dan rasa keadilan
masyarakat terhadap setiap kebijakan publik yang
ditempuh. Oleh karena itu, setiap kebijakan dan peraturan
perundang-undangan harus selalu dirumuskan, ditetapkan
dan dilaksanakan berdasarkan prosedur baku yang sudah
melembaga dan diketahui oleh masyarakat umum, serta
memiliki kesempatan untuk mengevaluasinya. Masyarakat
membutuhkan dan harus dapat diyakinkan tentang
tersedianya suatu proses pemecahan masalah perbedaan
pendapat (conflict resolution), dan terdapat prosedur umum
untuk membatalkan sesuatu peraturan atau perundangan
tertentu. Hal ini penting untuk dikemukakan, mengingat
bahwa kenyataannya sektor swasta dewasa ini terlibat
dalam perekonomian nasional maupun internasional dan
karenanya, terdapat kebutuhan untuk memiliki kejelasan
tentang kerangka hukum yang mampu melindungi hak-hak
kepemilikan seseorang (property rights) dan yang mampu
menghormati nilai-nilai perjanjian dalam suatu kontrak
bisnis.
Modul Diklatpim Tingkat IV
negara dan juga oleh hakim untuk menguji keabsahan (validitas)
perbuatan hukum (rechts handelingen) atau perbuatan nyata
(feitelijke handelingen) administrasi negara.
UNDP (1997) mengemukakan bahwa karakteristik atau prinsipprinsip yang harus dianut dan dikembangkan dalam praktek
penyelenggaraan kepemerintahan yang baik, adalah meliputi:
1. Partisipasi: Setiap orang atau setiap warga masyarakat,
baik laki-laki maupun perempuan harus memiliki hak suara
yang sama dalam proses pengambilan keputusan, baik
secara langsung maupun melalui lembaga perwakilan,
sesuai dengan kepentingan dan aspirasinya masing-masing.
Partisipasi yang luas in perlu dibangun dalam suatu tatanan
kebebasan berserikat dan berpendapat, serta kebebasan
untuk berpartisipasi secara konstruktif.
2. Aturan Hukum (Rule of Law): Kerangka aturan hukum
dan perundang-undangan haruslah berkeadilan,
ditegakkan dan dipatuhi secara utuh (impartially),
terutama aturan hukum tentang hak-hak asasi manusia.
3. Transparans:
Bagir Manan (1999) mengemukakan bahwa penyelenggaraan
pemerintahan yang baik bertalian dengan pelaksanaan fungsi
administrasi negara. Dalam kaitan ini di negeri Belanda (yang
juga diikuti oleh ahli hukum administrasi negara Indonesia)
dikenal prinsip-prinsip atau azas-azas umum penyelenggaraan
administrasi yang baik (algemene beginselen van behoorlijk
bestuur-general principles of good administration). Azas-azas
ini berisi pedoman yang harus dipergunakan oleh administrasi
61
Transparansi harus dibangun dalam
kerangka kebebasan aliran informasi. Berbagai proses,
kelembagaan, dan informasi harus dapat diakses secara
bebas oleh mereka yang membutuhkannya, dan
informasinya harus dapat disediakan secara memadai dan
mudah dimengerti, sehingga dapat digunakan sebagai alat
monitoring dan evaluasi.
62
Dasar-Dasar Kepemerintahan yang Baik
Modul Diklatpim Tingkat IV
63
4. Daya Tanggap (Responsiveness): Setiap institusi dan
9. Bervisi Strategis (Strategic Vision): Para pimpinan dan
prosesnya harus diarahkan pada upaya untuk melayani
berbagai pihak yang berkepentingan (Stakeholders).
masyarakat memiliki perspektif yang luas dan jangka
panjang tentang penyelenggaraan pemerintahan yang baik
(good governance) dan pembangunan manusia (human
development), bersamaan dengan dirasakannya kebutuhan
untuk pembangunan tersebut. Mereka juga memahami
aspek-aspek historis, kultural, dan kompleksitas sosial yang
mendasari perspektif mereka.
5. Berorientasi
Konsensus (Consensus Orientation):
Pemerintahan yang baik (good government) akan bertindak
sebagai penengah (mediator) bagi berbagai kepentingan
yang berbeda untuk mencapai konsensus atau kesepakatan
yang terbaik bagi kepentingan masing-masing pihak, dan
jika dimungkinkan juga dapat diberlakukan terhadap
berbagai kebijakan dan prosedur yang akan ditetapkan
pemerintah.
6.
Berkeadilan (Equity): Pemerintahan yang baik akan
memberikan kesempatan yang sama baik terhadap laki-laki
maupun perempuan dalam upaya mereka untuk
meningkatkan dan memelihara kualitas hidupnya.
7. Efektivitas dan Efisiensi (Effectiveness and Efficiency):
Setiap proses kegiatan dan kelembagaan diarahkan untuk
menghasilkan sesuatu yang benar-benar sesuai dengan
kebutuhan melalui pemanfaatan yang sebaik-baiknya
berbagai sumber-sumber yang tersedia.
8. Akuntabilitas (Accountability): Para pengambil keputusan
(decision makers) dalam organisasi sektor publik
(pemerintah), swasta, dan masyarakat madani memiliki
pertanggungjawaban
(akuntabilitas)
kepada
publik
(masyarakat umum), sebagaimana halnya kepada para
pemilik (stakeholders). Sifat dan cara pertanggungjawaban
tersebut berbeda-beda, bergantung apakah jenis keputusan
organisasi itu bersifat internal atau bersifat eksternal.
10. Saling Keterkaitan (Interrelated): bahwa keseluruhan ciri
good governance tersebut di atas adalah saling memperkuat
dan saling terkait (mutually reinforcing) dan tidak bisa
berdiri sendiri. Misalnya, informasi
semakin mudah
diakses berarti transparansi semakin baik, tingkat partisipasi
akan semakin luas, dan proses pengambilan keputusan akan
semakin efektif. Partisipasi yang semakin luas akan
berkontribusi kepada dua hal, yaitu terhadap pertukaran
informasi yang diperlukan bagi pengambilan keputusan,
dan untuk memperkuat keabsahan atau legitimasi atas
berbagai keputusan yang ditetapkan. Tingkat legitimasi
keputusan yang kuat pada gilirannya akan mendorong
efektivitas pelaksanaannya, dan sekaligus mendorong
peningkatan partisipasi dalam pelaksanaanya. Kelembagaan
yang responsif harus transparan dan berfungsi sesuai
dengan aturan hukum dan perundang-undangan yang
berlaku agar keberfungsiannya itu dapat dinilai berkeadilan.
Dalam praktek penyelenggaraan pemerintahan di Indonesia
pasca
gerakan
reformasi
nasional,
prinsip-prinsip
64
Dasar-Dasar Kepemerintahan yang Baik
penyelenggaraan kepemerintahan yang baik tercermin dalam
Ketetapan Undang-Undang Nomor 28 Tahun 1999 Tentang
Penyelenggara Negara Yang Bersih dan Bebas Korupsi, Kolusi,
dan Nepotisme dan Undang-Undang No. 32 Tahun 2004
Tentang Pemerintahan Daerah, yang memuat asas-asas umum
pemerintahan yang mencakup:
1. Asas Kepastian Hukum; yaitu asas dalam negara hukum
yang mengutamakan landasan peraturan perundangundangan, kepatutan, dan keadilan dalam setiap kebijakan
penyelenggara negara.
2. Asas Tertib Penyelenggaraan Negara, adalah asas yang
menjadi landasan keteraturan, keserasian, dan keseimbangan
dalam pengendalian penyelenggaraan negara.
3. Asas Kepentingan Umum, adalah asas yang mendahulukan
kesejahteraan umum dengan cara yang aspiratif, akomodatif,
dan selektif.
4. Asas Keterbukaan, adalah asas yang membuka diri terhadap
hak masyarakat untuk memperoleh informasi yang benar,
bersikap
jujur,
dan
tidak
diskriminatif
tentang
penyelenggaraan negara dengan tetap memperhatikan
perlindungan atas hak asasi pribadi, golongan, dan rahasia
negara.
5. Asas Proporsionalitas, yaitu asas yang mengutamakan
keseimbangan antara hak dan kewajiban Penyelenggara
Negara.
6. Asas Profesionalitas, yaitu asas yang mengutamakan
keahlian yang berlandaskan kode etik dan ketentuan
peraturan perundang-undangan yang berlaku.
Modul Diklatpim Tingkat IV
65
7. Asas Akuntabilitas, adalah asas yang menentukan bahwa
setiap kegiatan dan hasil akhir dari kegiatan Penyelenggara
Negara harus dapat dipertanggungjawabkan kepada
masyarakat (rakyat) sebagai pemegang kedaulatan tertinggi
negara sesuai dengan ketentuan peraturan perundangundangan yang berlaku.
Bagaimanapun berdasarkan latar belakang teori dan kebijakan
yang diberlakukan dalam konteks penyelenggaraan negara,
secara mendasar prinsip-prinsip kepemerintahan yang baik
tersebut di atas adalah bersifat universal, dapat diberlakukan di
negara manapun, dalam pencapaian tujuan meningkatkan
kesejahteraan masyarakat. Mungkin hanya negara-negara yang
pemerintahannya korup, otoriter, atau diktator saja yang pasti
tidak mau dan tidak akan sanggup menjalankan prinsip-prinsip
tersebut. Negara dan pemerintahan yang seperti itulah yang
termasuk dalam kategori Bad Governance.
C. Latihan
1. Uraikan pengertian kepemerintahan yang baik ?
2. Diskusikan dalam kelompok, mengapa diperlukan perubahan
paradigma penyelenggaraan pemerintahan ke arah
kepemerintahan yang baik ?
3. Jelaskan prinsip-prinsip dan sekaligus kharakteristik dari
kepemerintahan yang baik ?
4. Berikan gambaran dalam kegiatan sehari-hari di lingkungan
kerja Saudara praktek-praktek yang mencerminkan bad
66
Dasar-Dasar Kepemerintahan yang Baik
governance, bagaimana dampaknya terhadap masyarakat dan
swasta yang dilayani?
5. Gambarkan
bagaimana
praktek
penyelenggaraan
pemerintahan di lingkungan tempat anda bekerja yang
memiliki karakteristik good governance, dan bagaimana
dampak positifnya bagi masyarakat ?
D. Rangkuman
1. Penyelenggaraan
pemerintahan,
pembangunan,
dan
pelayanan publik beberapa dekade belakangan ini masih
diwarnai oleh berbagai permasalahan antara lain korupsi,
kolusi dan nepotisme, dan masih terhambatnya saluran
aspirasi dan partisipasi masyarakat yang menunjukkan belum
terwujudnya Good Governance.
2. Dengan bergesernya paradigma dari Government kearah
Governance yang menekankan pada kolaborasi dalam
kesetaraan dan keseimbangan antara pemerintah, sektor
swasta dan masyarakat madani (civil society), dikembangkan
pandangan atau paradigma baru administrasi publik yang
disebut good governance. Pengertian good (baik) dalam
konsepsi tersebut mengandung dua pengertian: pertama,
nilai-nilai yang menjunjung tinggi keinginan/kehendak
rakyat, dan nilai-nilai yang dapat meningkatkan kemampuan
rakyat dalam pencapaian tujuan (nasional) kemandirian,
pembangunan berkelanjutan dan keadilan sosial. Kedua,
aspek-aspek fungsional dari pemerintahan yang efektif dan
Modul Diklatpim Tingkat IV
67
efisien dalam pelaksanaan tugasnya untuk mencapai tujuantujuan tersebut.
3. Konsepsi kepemerintahan yang baik atau good governance
mengandung arti adanya hubungan yang sinergis dan
konstruktif antara pemerintah, sektor swasta dan masyarakat
(society). Dalam hal ini adalah kepemerintahan yang
mengembangkan
dan
menerapkan
prinsip-prinsip
profesionalitas, akuntabilitas, transparansi, pelayanan prima,
demokrasi, efisiensi, efektifitas, supremasi hukum dan dapat
diterima oleh seluruh masyarakat.
4. Prinsip-prinsip ataupun karakteristik good governance ialah
adanya: partisipasi masyarakat, tegaknya supremasi hukum
(rule of law), transparansi, daya tanggap, orientasi terhadap
konsensus, keadilan, efektivitas dan efisiensi, visi strategis,
dan saling keterkaitan yang memberdayakan. Dalam sistem
pemerintahan di Indonesia, hal ini terungkapkan dalam asasasas umum pemerintahan sebagaimana termuat dalam
Undang-Undang Nomor 28 tahun 1999 Tentang
Penyelenggara Negara yang Bersih dan Bebas Korupsi,
Kolusi dan Nepotisme, yang mencakup: asas kepastian
hukum, asas tertib penyelenggara negara, asas kepentingan
umum, asas keterbukaan, asas proporsionalitas, asas
profesionalitas, dan asas akuntabilitas.
Modul Diklatpim Tingkat IV
BAB V
ANALISIS KASUS KEPEMERINTAHAN
YANG BAIK
Setelah membaca Bab V, peserta Diklat diharapkan mampu
menganalisis kasus-kasus kepemerintahan yang baik dan
menerapkan hasil analisisnya pada pelaksanaan tugasnya
sehari-hari
Dalam bab ini disajikan beberapa cuplikan berita surat kabar
mengenai fenomena penyelenggaraan tugas pemerintahan,
pembangunan, maupun pelayanan publik. Pemberitaan tersebut
merupakan contoh bagaimana pelaksanaan tugas aparatur pemerintah
mendapatkan sorotan dari masyarakat dan media massa baik pada
tingkat pusat maupun daerah. Berdasarkan contoh kasus tersebut,
para peserta Diklatpim Tingkat IV diharapkan mampu menganalisis
permasalahan dan memahami bagaimana upaya yang dapat dilakukan
untuk mengatasi permasalahan tersebut, dengan pendekatan konsep
dan prinsip-prinsip kepemerintahan yang baik, sehingga tidak perlu
muncul lagi di masa yang akan datang. Dalam modul ini disajikan
dua buah kasus yang dapat dikatakan merupakan kejadian seharihari yang mungkin pernah dihadapi atau paling tidak dikenal oleh
para peserta, meskipun contoh kasus tersebut mungkin tidak
berkaitan langsung dengan pekerjaan atau tugasnya sehari-hari.
68
69
Kasus ini sengaja diambil dari cuplikan pemberitaan surat kabar atau
media massa cetak, karena kasus tersebut telah bersifat publik dan
terbuka untuk umum. Pengungkapan kasus tersebut apa adanya
sesuai dengan bentuk aslinya dalam pemberitaan surat kabar, tidak
dimaksudkan untuk mendiskreditkan kedudukan organisasi
pemerintahan tertentu ataupun kelompok aparatur tertentu yang
berkaitan/terlibat. Tetapi contoh kasus ini diambil dari fenomena
yang secara nyata pernah terjadi dalam praktik penyelenggaraan
pelayanan publik dan pelaksanaan tugas administratif pemerintahan
dalam dimensi waktu, tempat, serta intensitas tertentu.
A. Kasus Pertama:
KTP DKI: Sogok, Langsung Kendur
(Sumber: Harian Kompas, Jum’at, 9 November 2001, hal. 1)
Mestinya Sugiono (45), Asep (42) dan ratusan warga lainnya
yang tinggal di permukiman padat di Kelurahan Kayu Putih,
Jakarta Timur, sudah sejak lama diakui sebagai warga Jakarta.
Mereka sudah belasan tahun, bahkan ada yang sudah 21 tahun,
menetap di Ibu Kota. “Ketika itu, daerah sekitar sini masih
berupa rawa dan bahkan jalan tol belum ada,” kata Sugiono,
yang tinggal tak jauh dari jalan tol Cawang- Tanjung Priok.
Namun, boleh jadi, karena sebagian besar penghuni permukinan
tersebut bekerja sebagai pedagang asongan, pengumpul barang
rongsokan, kusir delman, penyapu jalanan, dan pedagang kaki
lima, Pemda DKI Jakarta tidak pernah mau mengakui
keberadaan mereka. Sampai sekarang mereka tidak pernah
70
Dasar-Dasar Kepemerintahan yang Baik
mendapatkan Kartu Tanda Penduduk(KTP). Karena tidak
memiliki KTP, mereka pun tidak bisa mendapat sambungan
listrik maupun saluran air bersih.
“Bagaimana mungkin mendapat sambungan listrik, setiap
mengurus ke PLN kami harus menunjukkan KTP? Padahal,
sudah berkali-kali kami memohon KTP ke Kelurahan, selalu
ditolak,” kata Sugiono yang bekerja sebagai petugas kebersihan
di Jakarta Timur.
Nasib yang hampir sama dialami penduduk Ancol Timur yang
sebagian besar bekerja sebagai nelayan dan kini permukiman
mereka baru saja digusur. Karena dituding menghuni
permukiman liar, ratusan warga di kawasan tersebut tidak
pernah mendapatkan KTP dari Kelurahan. Akibatnya, selain
tidak mendapat sambungan listrik dan saluran air bersih, warga
juga tidak bisa mendapatkan surat nikah, kartu keluarga, apalagi
akta kelahiran untuk anak-anak. “Kelurahan baru mengeluarkan
sepucuk surat keterangan kalau ada warga yang meninggal. Itu
pun dikuburnya tidak boleh di sini,” kata Edi (45) nelayan yang
sudah belasan tahun menetap di Ancol Timur.
Benarkah Pemda DKI Jakarta termasuk aparat kelurahan yang
sangat ketat dalam mengeluarkan KTP ? Oo…nanti dulu.
Ketentuan itu mungkin berlaku untuk warga miskin yang tak
sanggup membayar uang sogokan. Kalau sanggup menyediakan
sejumlah dana sesuai yang diminta aparat kelurahan, tidak ada
yang mustahil dilakukan di Jakarta, termasuk membuat KTP.
Modul Diklatpim Tingkat IV
71
Mungkin masih ingat, bagaimana Tommy Soeharto yang
wajahnya sangat dikenal itu mendapatkan KTP DKI dengan
berganti rupa dan berubah nama menjadi “Ibrahim”.
Lebih hebat lagi, Abu Quasey, yang dituding sebagai
penyelundup manusia perahu ke Australia, juga bisa
mendapatkan KTP DKI Jakarta. Padahal, buronan nomor wahid
tersebut masih tercatat sebagai warga Mesir.
Bagi mereka yang memiliki cukup uang, sebenarnya tidak ada
masalah apa pun dalam membuat KTP DKI Jakarta. Jangankan
cuma satu KTP, beberapa KTP dengan nama yang sama tetapi
alamat berbeda pun bisa dilakukan. Bahkan, mereka yang baru
menginjakkan kakinya ke Jakarta juga bisa langsung
mendapatkan KTP DKI Jakarta.
Soal harga tidak jadi masalah. Jika menggunakan jasa biro
perjalanan, harganya berkisar Rp. 150.000-Rp. 200.000 per
orang. Dengan jasa aparat kelurahan, tarifnya bervariasi
tergantung lokasi dan kondisi sosial ekonomi orang yang
membutuhkan. Paling murah Rp. 90.000, tetapi untuk kawasan
elite bisa melonjak menjadi Rp. 600.000.
Membuat KTP asal-asalan ada juga kerugiannya. Ketika terjadi
musibah dalam musim haji lalu, misalnya, beberapa jemaah
korban kecelakaan menggunakan salah satu alamat di Jakarta
Selatan. Ternyata itu alamat seorang calo pengerah tenaga kerja,
dan seorang calo tidak mengetahui alamat persis korbannya,
sehingga berita duka kepada keluarga tak bisa disampaikan.
72
Dasar-Dasar Kepemerintahan yang Baik
“Itulah kerugiannya jika membuat KTP tidak sesuai fakta dan
dana yang sebenarnya,” kata Kepala Biro Administrasi Protokol
Pimpinan dan Hubungan Masyarakat (APP-Humas) DKI Jakarta
Muhayat. KTP semacam itu, menurut Muhayat, bisa benarbenar asli tetapi dalam proses pembuatannya ada dokumen yang
dimanipulasi, yakni kartu kepala keluarga. Manipulasi biasanya
dilakukan oknum Kelurahan atau oknum Subdinas
Kependudukan.
“Mereka bisa memasukkan nama seseorang dalam arsip kartu
keluarga orang lain. Modus seperti inilah yang sering terjadi,”
kata Muhayat. Pemegang kartu keluarga berikut arsipnya adalah
tiga pihak, yakni kepala keluarga, pengurus rukun tetangga
(RT), dan kelurahan.
Menurut Muhayat, penyimpangan seperti ini sangat mudah
dilakukan karena sistem yang digunakan di tingkat kelurahan
masih manual. Lain halnya dengan sistem di Dinas
Kependudukan DKI yang sudah komputerisasi. Katanya.
“Karena itu, agar kasus-kasus seperti ini tidak terulang kembali,
sistem komputerisasi sudah harus diterapkan di tingkat
kelurahan.”
Muhayat mungkin lupa, komputer hanyalah benda mati.
Mengubah data adalah persoalan mudah, termasuk dalam
komputer.
Modul Diklatpim Tingkat IV
73
Lebih penting dari itu, justru kesungguhan untuk menertibkan
dan selektif dalam mengeluarkan KTP. Jangan cuma aturannya
saja yang ketat, tetapi hati aparat luluh jika melihat iming-iming
sejumlah uang.
Pertanyaan Untuk Diskusi
1. Baca dengan seksama artikel berita tersebut, jelaskan bagaimana
intisari persoalan yang sebenarnya ingin diungkapkan dalam
berita tersebut ?
2. Dari sudut pandang kepemerintahan yang baik, kasus tersebut
berkaitan dengan karakteristik atau prinsip-prinsip yang mana,
dan jelaskan apa masalahnya ?
3. Apakah Saudara setuju dengan solusi yang ditawarkan oleh salah
seorang pejabat tersebut ? Jelaskan alasan dan sikap Saudara ?!
B. Kasus Kedua:
Puskesmas Ditutup Karena Teror
(Sumber: Majalah Tempo, 26 November – 2 Desember 2001, hal.
41)
Ini kabar unik dari Kabupaten Lombok Barat: sebuah Puskesmas
ditutup gara-gara diteror. Selama enam hari hingga Jumat pekan
lalu , Puskesmas Gunungsari tidak menerima pasien alias tutup.
Para dokter dan perawat cemas dan takut oleh teror yang
dilakukan anggota Forum Komunikasi Masyarakat Gunungsari,
sebuah LSM.
74
Dasar-Dasar Kepemerintahan yang Baik
Menurut Laily Indrayani, Kepala Puskesmas itu, selain
mengancam lewat telepon, “mereka juga berteriak-teriak di
depan puskesmas dan melakukan intervensi jika ada pasien
datang,” ujarnya Jumat pekan lalu. Karena takut, perawat dan
dokter tidak mau bertugas di sana lagi.
Munculnya teror, kata Laily, bermula ketika Hamdan, warga
Gunungsari, meninggal setelah dirawat di Puskesmas, Oktober
silam. Versi Laily, penderita sesak napas itu tidak kooperatif dan
memaksa pulang ketika diobati. Selain itu, mutasi tiga perawat
ke Kantor Dinas Kesehatan Lombok Barat yang terjadi beberapa
waktu lalu juga ikut menjadi penyebabnya. “Diantaranya ada
yang mengadu ke FKMG,” ujarnya.
Penutupan Puskesmas itu tentu saja berdampak buruk bagi
warga setempat. Menurut Laily, setiap malam rata-rata 4 orang
berobat dan 3 orang menjalani rawat inap. Kendati mendapat
jaminan keamanan dari Kapolsek Gunungsari, Inspektur Polisi
Dua Murni, para perawat dan dokter menolak bertugas karena
masih trauma.
Benarkah demikian? menurut Ketua FKMG, Fauzan Halid,
penutupan itu terkait dengan pengaduan masyarakat terhadap
pelayanan puskesmas itu ke DPRD. “Selain karena kasus
meninggalnya Hamdan, warga juga mengadukan tingginya tarif
rawat inap yang tidak sesuai dengan peraturan,” katanya. Fauzan
memberi contoh biaya perawatan yang mestinya hanya Rp. 45
ribu dalam prakteknya Rp. 95 ribu. Tambahan biaya itu diakui
Modul Diklatpim Tingkat IV
75
Laily. “Puskesmas harus membayar langganan air, listrik dan
cleaning service, ” katanya.
Hingga Sabtu pekan lalu belum ada keputusan dari Pemda
Lombok Barat terhadap nasib Puskesmas itu.
Latihan
1. Setelah membaca guntingan berita tersebut, diskusikan diantara
para peserta Diklatpim Tingkat IV bagaimana kepemerintahan
yang baik tercermin dalam sistem pelayanan kesehatan di
Puskesmas Gunungsari tersebut ?
2. Apakah selayaknya Puskesma tersebut di tutup dan apakah
masyarakat sudah melakukan tindakan yang benar ? Jelaskan
C. Kasus Ketiga:
Pesawat Terbang Buat Gubernur
(Sumber: Majalah Tempo, 26 November – 2 Desember 2001, hal.
40)
Ibarat OKB (orang kaya baru), begitulah perilaku para penguasa
daerah setelah keran otonomi daerah dibuka. Merasa kaya dan
punya uang sendiri, macam-macam usul pun mereka ajukan.
Provinsi Jawa Timur, misalnya merasa kini waktunya untuk
memiliki sebuah pesawat terbang untuk gubernur. Usul ini
dimunculkan dalam rapat dengar pendapat antara Komisi D
DPRD dan Kantor Dinas Perhubungan Jawa Timur, Rabu Pekan
lalu.
76
Dasar-Dasar Kepemerintahan yang Baik
Kali ini usul datang dari anggota dewan. Pada masa Basofi
Sudirman memimpin Jawa Timur, ia juga pernah mengajukan
usul serupa, tapi tak disetujui Jakarta. Adalah Ketua Komisi D
DPRD Jatim, Edy Wahyudi, yang meletuskan usul itu. Dengan
pesawat itu katanya, Gubernur bisa lebih sering mengunjungi
rakyatnya. Contohnya, masyarakat di Pulau Bawean di Utara
provinsi tersebut, yang bisa lebih sering bertemu gubernurnya
karena hanya butuh 20 menit ke sana.
Usul itu, lucunya, disambut anggota lainnya dengan antusias.
“Menurut saya, itu ide brilian,” kata Fraksi PDIP DPRD Jawa
Timur, Andrianus Harsini. Meski mengakui pembelian pesawat
itu masih berupa usul, ia menyatakan hampir seluruh anggota
dewan secara informal sudah menyatakan dukungannya.
Antusiasme anggota dewan itu mengherankan. Tak biasanya
legislatif memberi kemudahan buat eksekutif. Belakangan
ketahuan, ada udang di balik batu. Kata Andrianus, pesawat itu
bisa dimanfaatkan secara bergantian antara gubernur dan
anggota dewan.
Boleh saja anggota dewan ngotot, tapi yang mau dibelikan
pesawat malah ogah. Gubernur Jawa Timur Imam Oetomo,
kepada Wahyu Dhyatmika dari Tempo, berkali-kali menegaskan
bahwa dirinya sama sekali tak punya pikiran membeli pesawat
terbang. Rencana pembelian ini belum dimasukkan dalam
program tahun 2002. Alasannya sederhana, pemerintah Jatim
belum cukup punya dana.
Modul Diklatpim Tingkat IV
77
Kalau melihat besarnya anggaran belanja Dinas Perhubungan
Jatim, usul itu tampak berlebihan. Tahun 2001, misalnya
anggarannya hanya Rp. 10 miliar, yang sebagian besar akan
dipergunakan untuk merawat fasilitas jalan darat di daerah iitu.
Padahal, harga sebuah pesawat halikopter bisa mencapai Rp. 20
miliar. Mau diambil dari anggaran kunjungan kerja selama
setahun. Karena itu, pihak Pemda melihat ide pembelian
helikopter masih jauh. “Mungkin lima tahun ke depan,” kata
Kepala Tata Usaha Dinas Perhubungan Jatim, Haribowo
Soekotjo.
Namun, DPRD punya perhitungan lain soal sumber dana
pembelian pesawat itu. Andrianus masih yakin, Pemerintah
Provinsi Jawa Timur mampu membeli heli dalam anggaran
2002. Sumbernya? “penambahan dana alokasi umum dari pusat
ditambah,” katanya. Jatim, kata Andrianus, menyetorkan uang
Rp. 32-34 triliun per tahun ke pusat. Jika uang itu dikembalikan
40 persen saja ke Jatim, Andri yakin, daerahnya mampu
membeli pesawat. “Kita punya angan-angan dan punya
kekuatan,” tambahnya dengan yakin.
Lepas dari jadi atau tidaknya pembelian helikopter itu, usul itu
sendiri kini mendapat tentangan dari masyarakat. Direktur Pusat
Studi Demokrasi dan dan Hak Asasi Manusia Jatim, Aribowo,
meski tak yakin masyarakat akan mampu membendung rencana
pembelian halikopter itu, mengaku kecewa dengan sikap
anggota dewan. Menurut dia, usul itu bukti kesekian DPRD
78
Dasar-Dasar Kepemerintahan yang Baik
melontarkan gagasan aneh-aneh soal penataan pemerintahan di
daerah.
Latihan
Jika teks tersebut di atas telah selesai dibaca dan dipahami, buatlah
pengelompokkan peserta Diklatpim IV ke dalam tiga kelompok,
yaitu kelompok anggota DPRD, kelompok Pemerintah Daerah
(Gubernur dan Perangkatnya), dan kelompok Masyarakat Madani
(LSM dan Masyarakat Umum).
Simulasikan dalam waktu sekitar 10-15 menit sikap-sikap yang
berkembang dalam kasus tersebut, baik yang pro maupun kontra.
Diskusikan
diantara
para
peserta,
apakah
karakteristik
kepemerintahan yang baik muncul dalam kasus tersebut dan berikan
penjelasan mengapa demikian ?
BAB VI
PENUTUP
A. Simpulan
Sesuai dengan tujuan instruksional umumnya, modul “DasarDasar Kepemerintahan Yang Baik” untuk peserta Program
Diklatpim Golongan IV telah membahas dan menguraikan
mengenai latar belakang dan perkembangan interaksi sosial
politik antara pemerintah dengan masyarakat (government and
society) dalam kehidupan masyarakat yang semakin kompleks,
dinamis, dan beranekaragam. Selain itu modul ini telah pula
memberikan dasar-dasar pengertian, prinsip-prinsip, dan
karakteristik kepemerintahan (governance) dan kepemerintahan
yang baik (good governance) dalam kerangka interaksi sosial
politik tersebut. Modul ini juga telah memberikan pengetahuan
dan wawasan praktis mengenai implikasi penerapan konsep
kepemerintahan dan kepemerintahan yang baik dalam konteks
penyelenggaraan pemerintahan di Indonesia, khususnya dalam
sektor-sektor pemerintahan tertentu sebagaimana tercermin
dalam latihan analisis kasus.
Sebagai upaya untuk mendorong terwujudnya kemampuan
menganalisis permasalahan dalam penerapan kepemerintahan
yang baik dalam ruang lingkup kerja sehari-hari, modul ini telah
pula dilengkapi dengan tiga buah artikel berita media massa
sebagai contoh kasus yang sederhana, yang dapat dikembangkan
79
80
Dasar-Dasar Kepemerintahan yang Baik
kajian dan analisisnya melalui diskusi di antara para peserta
Diklatpim Tingkat IV.
B. Tindak Lanjut
Keseluruhan materi modul yang sederhana ini diharapkan dapat
menjadi bahan pembelajaran yang cukup memadai dan efektif
dalam meningkatkan kompetensi kognitif, afektif, maupun
psikomotorik para peserta Diklatpim Tingkat IV, sehingga
mampu memiliki kemampuan menganalisis dan menerapkan
konsep dan prinsip-prinsip kepemerintahan yang baik (good
governance) dalam permanent system masing-masing.
DAFTAR PUSTAKA
Bhatta, Gambhir, 1996, Capacity Building at the Local Level for
Effective Governance, Empowerment Without Capacity is
Meaningless.
Japan Association For Civil Service Training and Education, “How
To Win Public Confidence As Government Officials”: 100
Sheets For Effective And Efficient Public Administration.
LAN-BPKP, 2000, Akuntabilitas dan Good Governance, Jakarta
McKinney, Jerome B., Lawrence C Howard, 1979, Public
Administration: Balancing Power and Accountability, Oak
Park, Illinois : Moore Publishing Company, Inc.
Mustopadidjaja, AR. (1997), “Transformasi Manajemen Menghadapi
Globalisasi Ekonomi”, dalam Jurnal Administrasi dan
Pembangunan, Vol. 1, No. 1, 1997, ISSN 1410-5101, PP
PERSADI, Jakarta.
Mustopadidjaja, AR, dan Desi Fernanda, (2000), Manajemen
Pembangunan Nasional: Kebijakan, Perencanaan,
Pelaksanaan dan Pengawasan, makalah disampaikan pada
Suskomsos TNI – TA 1999/2000, SESKO TNI, LAN-RI,
Bandung, 28 Februari 2000.
Osborne, David, and Ted Gaebler, (1992), Reinventing Government:
How Entrepreneurial Spirit is Transforming The Public
Sector,
Reading,
Massachusetts:
Addison-Wesley
Publishing Co.Inc.
Senge, Peter M, 1994, The Fifth Discipline, Sydney, Random House
Australia Pty.Ltd.
Supriyadi, Gering, Drs., MM. (2001), Modul Diklat Pajabatan
Golongan III : “Etika Birokrasi”, Jakarta, LANRI.
Syafiie, Inu Kencana, Djamaludin Tandjung, dan Supardan
Mordeong, (1999), Ilmu Administrasi Publik, Jakarta,
Penerbit Rineka Cipta.
81
82
Dasar-Dasar Kepemerintahan yang Baik
Stewart, J.D. 1984, “The Role of Information in Public
Accountability”, dalam Anthony Hopwoord and Cyril R.
Tomkins, eds., Issues in Public Sector Accounting, Oxford,
England: Phillip Alan.
Tjokroamidjojo, Bintoro, 2000, Good Governance, Paradigma Baru
Manajemen Pembangunan, Jakarta : UI Press.
UNDP, 1997, Governance for Sustainable Development – A Policy
Document, New York : UNDP
__________, 1999, UNDP and Governance: Experiences and Lesson
Learned, Lesson Learned Series No. 1, New York: UNDP
Management Development and Governance Division,
Downloaded internet document file.
Wallis, Malcolm, (1989), Bureaucracy: Its Roles In The Third World
Development, Basingstoke: London, McMillan Publisher
Ltd.
DAFTAR DOKUMEN
Undang-Undang Dasar Tahun 1945
Ketetapan MPR Nomor XI/MPR/1998 Tentang Penyelenggara
Negara Yang Bersih dan Bebas Dari Korupsi, Kolusi dan
Nepotisme.
Ketetapan MPR Nomor IV/MPR/1999 Tentang Garis-Garis Besar
Haluan Negara Tahun 1999-2004.
Undang-Undang Nomor 28 Tahun 1999 Tentang Penyelenggara
Negara Yang Bersih dan Bebas Dari Korupsi, Kolusi dan
Nepotisme.
Undang-Undang Nomor 32 Tahun
Daerah.
2004 Tentang Pemerintahan
Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1974 Tentang Pokok-Pokok
Kepegawaian sebagaimana telah dirubah dengan UndangUndang Nomor 43 Tahun 1999.
Peraturan Pemerintah Nomor 30 Tahun 1980 Tentang Peraturan
Disiplin Pegawai Negeri Sipil (PNS).
Peraturan Pemerintah Nomor 10 Tahun 1979 Tentang Penilaian
Pelaksanaan Pekerjaan.
Peraturan Pemerintah No. 101 Tahun 2000 Tentang Diklat Jabatan
PNS.
Instruksi Presiden Nomor 7 Tahun 1999 Tentang Laporan
Akuntabilitas
Instansi
Pemerintahan.
83
Download