2 Persaingan industri rumah sakit di Indonesia semakin meningkat seiring dengan meningkatnya jumlah rumah sakit di Indonesia. Berdasarkan data dari Kementerian Kesehatan Republik Indonesia, jumlah rumah sakit di Indonesia terus meningkat dari 1.721 pada Januari 2012 sampai 2.099 pada Januari 2013 (Kementerian Kesehatan, 2013). Kenaikan jumlah tersebut mempengaruhi metode pemasaran rumah sakit terutama dalam penyediaan layanan untuk konsumen.Untuk memenuhi tujuan tersebut, setiap rumah sakit harus memiliki performa organisasi yang baik. Salah satu sumber performa organisasi yang baik berasal dari tenaga kerja yang berkomitmen dan produktif (Yue,Ooi& Keong, 2011). Namun, situasi bisnis yang semakin rumit dan perubahan yang cepat serta persaingan yang meningkat seperti saat ini, organisasi menghadapi pergeseran bertahap dalam hubungan karyawan dengan organisasi. Kesetiaan terhadap organisasi dilaporkan menurun sejalan dengan tingkat turnover, rata-rata masa kerja menurun, dan karyawan melakukan “job shopping” (Newmark, 2001).Hal tersebut terjadi juga pada industri rumah sakit saat ini.Seiring dengan meningkatnya persaingan semakin besar juga tuntutan industri rumah sakit terhadap perawat dalam kualitas memberikan pelayanan.Perawat merupakan salah satu bagian terpenting dalam rumah sakit karena baik buruknya pelayanan yang diberikan karyawan terhadap pasien merupakan salah satu indikator kualitas rumah sakit tersebut. Fenomena turnover perawat yang terjadi di rumah sakit akan merugikan organisasi yang bersangkutan. Banyak penelitian yang mengungkapkan akibat negatif dari turnover karyawan.Biaya pengeluaran, baik yang langsung maupun tidak langsung, berkaitan dengan turnover.Pengeluaran tidak hanya dari 3 rekrutmen dan pelatihan, namun juga gangguan operasional kerja dan demoralisasi bagi karyawan yang masih menetap (Randhawa, 2007). Catherine (2002) menyebutkan bahwa turnover karyawan berdampak pada berkurangnya penjualan dan produktivitas, serta waktu manajemen dengan biaya turnover sekitar 3 (tiga) sampai 10 (sepuluh) karyawannya. dolar Amerika per jam pada setiap Dess dan Shaw (2001) menambahkan menurunnya kualitas produk atau pelayanan, moral, tekanan pada karyawan yang masih tinggal, biaya pelatihan dan moral organisasi serta kerugian pada modal sosial sebagai konsekuensi pada biaya tidak langsung pada turnover. Oleh karena itu, mempertahankan karyawan yang berharga adalah masalah penting untuk organisasi yang kompetitif di mana karyawan dinilai sebagai aset yang berharga dalam organisasi.Biasanya ini menjadi perhatian penting bagi organisasi untuk menempatkan energinya untuk mempertahankan karyawan yang telah mereka miliki (Hong & Kaur, 2008). Untuk memprediksi turnover yang akan terjadi dapat dilihat dari pengukuran intensi untuk keluar. Intensi untuk keluar telah diakui sebagai prediktor yang terbaik untuk keadaan turnover yang sebenarnya (Mobley, 1977; Michaels & Spector, 1982). Penelitian yang semakin berkembang terhadap perilaku turnover mengindikasikan bahwa umur, kepuasan kerja, masa jabatan, job image, pemenuhan harapan, organizational commitment, secara konsisten berkaitan dengan intensi untuk keluar dan turnover yang sesungguhnya ( Arnold & Feldman, 1982; Wotruba & Tyagi, 1991). Mobley (1977) mendefenisikan intensi untuk keluar sebagai sebuah motivasi untuk meninggalkan pekerjaan dengan sukarela. Definisi lain dikemukakan oleh Tett dan Meyer (1993) mengenai intensi untuk keluar yaitu sebuah rencana yang 4 disengaja untuk meninggalkan organisasi. Walaupun intensi untuk keluar mungkin tidak diwujudkan dalam turnover yang sesungguhnya, namun adalah hal yang umum diterima bahwa intensi untuk keluar individual dapat digunakan untuk memprediksi turnover yang seseungguhnya (Price, 2001; Gregory, Way, LeFort, Barret & Parfey, 2007).Hal tersebut dibuktikan oleh Bluedorn (1982), yang membuktikan bahwa intensi untuk keluar secara tinggi berkorelasi dengan perilaku turnover yang sesungguhnya di 13 (tiga belas) dari 14 (empat belas) penelitian empirik yang telah diadakan. Berdasarkan penjabaran di atas, perhatian peneliti saat inibanyak yang berfokus kepada penyebab terjadinya turnover. Hal tersebut dikarenakan oleh dampakdari turnover karyawan dipandang menjadi masalah penting bagi organisasi(Ton & Huckman, 2008). Ongori (2007) menyimpulkanbeberapa penyebabturnover karyawan. Penyebab tersebut antara lain faktor yang berhubungan dengan pekerjaan itu sendiri, turnover yang disengaja dan tidak disengaja, serta faktor dari organisasi itu sendiri. Faktor yang berasal dari pekerjaan itu sendiri dapat berupa pengalaman pekerjaan yang berkaitan dengan stres ( jobstress), berbagai faktor yang mengarah kepada pekerjaan yang berkaitan dengan stres (job stressor), komitmen yang kurang dalam organisasi, dan ketidakpuasan kerja ( Firth, Mellor, Moore,& Loquet, 2004). Turnover yang disebabkan oleh faktor organisasi itu sendiri dapat berupa ketidakstabilan seperti kebijakan personalia yang buruk, kebijakan rekrutmen yang kurang baik, pelaksanaan pengawasan yang lemah, prosedur penanganan keluhan yang buruk dan kurangnya motivasi (Zuber, 2001). 5 Kurangnya motivasi yang terjadi pada perawat dapat disebabkan oleh kurangnya reward yang diberikan oleh organisasi. salah satu bentuk reward tersebut adalah penghasilan/ pay. Penghasilan merupakan salah satu motivator yang diberikan oleh perusahaan untuk meningkatkan performa kerja karyawannya.Muljani (2002) menjelaskan bahwa salah satu cara untuk meningkatkan prestasi kerja, motivasi, dan kepuaasan kerja adalah dengan memberikan kompensasi. Kompensasi memiliki pengaruh yang signifikan terhadap kemauan karyawan untuk bekerja keras dan kebanggan karyawan sehingga cenderung setia pada organisasinya (Djati, 2003). Kepuasan penghasilansecara umum dapat diartikan bahwa seseorang akan merasa terpuaskan oleh penghasilannya ketika persepsi terhadap penghasilan yang mereka peroleh sesuai dengan apa yang mereka harapkan. Kepuasan penghasilan memegang peranan penting baik bagi individu maupun organisasi.Zaky (2006) menyimpulkan bahwa kepuasan penghasilan memiliki pengaruh bagi individu maupun bagi organisasi.Bagi individu, tingkat kompensasi yang diterima individu secara signifikan menentukan status sosial, harga diri, serta kemampuan untuk memenuhi kebutuhan saat ini dan jangka panjang.Sedangkan bagi industri, kepuasan karyawan terhadap penghasilan yang meliputi gaji, bonus, tunjangan, merupakan salah satu cara untuk mendorong karyawan untuk memberikan performa terbaiknya serta untuk mempertahankan karyawan terbaiknya untuk tidak meninggalkan organisasi. Faktor lain yang melatarbelakangi perawat untuk berpindah kerja adalah kurang diperhatikannya kualitas kehidupan kerja (quality of work life/ QWL) perawat,di mana terjadi kurang selarasnya hubungan pekerja dengan lingkungan kerjanya. Konsep kualitas kehidupan kerja (selanjutnya disingkat dengan QWL) 6 yang diterapkan secara efektif dalam organisasi, telah disepakati dapat meningkatkan kondisi bekerja (terutama dari perspektif karyawan) dan efektivitas organisasi yang lebih baik.QWL dipercayai dapat memelihara fleksibilitas, loyalitas dan motivasi tenaga kerja, di mana hal-hal tersebut sangat esensial dalam menentukan daya saing perusahaan ( May, Lau, & Johnson, 1999). Penelitian-penelitian yang telah dilaksanakan sebelumnya, telah menyumbangkan berbagai defenisi QWL dari berbagai dimensi dan telah menyimpulkan beberapa konsep QWL yang berbeda (Sheel, Sindhwani, Goel & Pathak, 2012). Lau & May (1998) mendefinisikan QWL sebagai kondisi dan lingkungan kerja yang sesuai untuk mendukung dan meningkatkan kepuasan kerja karyawan dengan menyediakan reward, keamanan kerja (job security), dan kesempatan untuk berkembang bagi karyawan. Glasier (1976) berpendapat bahwa istilah QWL lebih dari job security, kondisi kerja yang baik, kompensasi yang adil dan edekuat, serta lebih dari persamaan kesempatan pekerjaan. Cascio (1998) menjelaskan bahwa terdapat dua cara untuk melihat bagaimana arti QWLyaitu membandingkan QWL dengan kondisi organisasi yang sebenarnya seperti penerapan kebijakan perusahaan mengenai promosi kerja, pengawasan yang demokratis, keterlibatan karyawan, dan kondisi kerja yang aman. Cara yang kedua adalah membandingkan QWL dengan persepsi karyawan bahwa mereka merasa aman, puas, dan mampu untuk tumbuh dan berkembang sebagai manusia. Cascio (1998) juga menambahkan bahwa QWL meliputi kesempatan pekerja untuk memutuskan hal-hal yang terkait dengan pekerjaan mereka seperti desain tempat kerja dan apa yang dibutuhkan untuk membuat produk atau pelayanan menjadi lebih baik. Oleh karena itu, Riyono (2012), menjabarkan QWL sebagai budaya organisasi yang berorientasi pada 7 keseimbangan antara produktivitas dan kesejahteraan karyawan. Riyono (2012) berpendapat bahwa QWL dalam sebuah organisasi dapat diwujudkan dengan menerapkan 5 (lima) aspek yaitu kepercayaan (trust),kepedulian (care), saling menghormati (respect),belajar(learn), dan berkontribusi (contribute). Aspek trust memiliki definisi yang berarti saling percaya antar anggota organiasi baik atasan dengan bawahan, maupun sesama rekan kerja. Care adalah saling peduli dan tolong menolong antar anggota organisasi baik atasan dengan bawahan mapun sesama rekan kerja. Respect adalah saling menghargai antar anggota organisasi baik atasan dengan bawahan maupun sesama rekan kerja. Learn menunjukkan kepada semangat belajar terus menerus pada seluruh anggota organisasi. Sedangkan contribute menunjuk kepada semangat untuk berkontribusi demi kemajuan bersama dalam organisasi (Riyono, 2012). Selain penerapan QWL yang tidak efektif sebagai salah satu faktor penyebab dari organisasi, penyebab turnover yang lainnya adalah faktor yang berasal dari pekerjaan itu sendiri.Perawat memiliki beban kerja yang tinggi, namun pekerjaannya juga menuntut kontrol emosi untuk dapat memberikan pelayanan yang terbaik bagi pasien.Pekerjaan yang menuntut individu untuk mengontrol emosi sesuai dengan tuntutan pekerjaannya, menjadi salah satu tantangan individu untuk dapat melaksanakan tugasnya dengan baik. Grandey (2000) mengatakan bahwa ketika sebuah situasi medesak respon emosional yang berulang-ulang yang harus karyawan atur, maka mereka akan mengalami kelelahan emosi. Kelelahan emosi adalah salah satu karakteristik dari burnout yang memiliki pengertian penipisan energi atau terkurasnya emosi (Bakker, Demerouti & Schaufeli, 2002).Kelelahan emosi saat ini dipahami sebagai komponen utama 8 dari burnout karena yang terbaik mencirikan konstruk secara keseluruhan (Cropanzano, Rupp, & Byrne, 2003; Demerouti, Bakker, Nachreiner, & Schaufeli, 2001; Maslach, Schaufeli, & Leiter, 2001). Kelelahan emosi mengacu kepada perasaan individu yang secara berlebihan dan terkuras secara emosional oleh kontak pribadi dengan orang lain. Moore (2000) menyimpulkan bahwa 2 (dua) karakteristik burnout yang lain yaitu depersonalization dan kurangnya personal accomplishment adalah konsekuensi yang mungkin dihasilkan dari kelelahan emosi.Hubungan antara kelelahan emosi dan burnout didukung secara empirik dengan sebuah meta-analisis yang dilakukan olehLee dan Ashforth (dalam Fiksenbaum, Marjanovic, Greenglass, & Coffey, 2006).Penelitian mereka menunjukkan bahwa kelelahan emosi secara berkorelasi secara signifikan dengan variabel-variabel job-stressor seperti beban kerja, stres peran, konflik peran, kejadian yang memicu stres, dan tekanan dalam bekerja.Moore (2000) menyimpulkan beberapa konsekuensi dari kelelahan emosi yaitu berkurangnya kepuasan kerja, harga diri, komitmen berorganisasi, serta meningkatnya turnover dan intensi untuk keluar. Faktor lain yang turut menyumbang peranan dalam mencegah turnover karyawan adalah dengan memperhatikan kepuasan kerja karyawannya. Saat ini, banyak penelitan yang berusaha memahami manusia dalam bekerja dan menemukan berbagai macam cara untuk meningkatkan kepuasan kerja agar karyawan yang terbaik tetap tinggal dalam organisasinya (Sowmya & Panchanatham, 2011).Greenberg & Baron (1997) mengatakan bahwa, kepuasan kerja adalah respon psikologis, emosional, dan evaluatif yang individu miliki terhadap pekerjaannya. Menurut Cranny, Smith dan Stone (1992), kepuasan kerja adalah sebuah kombinasi dari reaksi kognitif dan afektif terhadap 9 perbedaan persepsi antara apakah yang karyawan ingin terima dibandingkan dengan apakah yang karyawan benar-benar terima. Sementara itu, Chang dan Chang (2007) menyatakan bahwa kepuasan kerja secara mendasar dikenal sebagai sebuah konstruk yang beraneka segi yang menangkap perasaan dan kepuasan karyawan dengan sebuah spektrum dari job elements yang secara langsung maupun tidak langsung berhubungan dengan job content. Namun secara formal, kepuasan kerja adalah kadar di mana individu merasa secara positif atau negatif terhadap pekerjaan mereka. Hal tersebut dapat berupa respon tindakan dan emosional terhadap tugas seseorang serta kondisi fisik dan sosial di tempat kerja (Jegan,2011). Kepuasan kerja dapat dijelaskan oleh teori hirarki kebutuhan Maslow. Maslow (dalam Furnham, 1995) bahwa beberapa kebutuhan lebih penting dibandingkan dengan kebutuhan lain dan harus dipuaskan sebelum kebutuhan lain dapat bertahan sebagai motivator. Teori kebutuhan menjelaskan bahwa setiap orang dapat memenuhi kebutuhan psikologis dan fisiologis mereka melalui pekerjaan yang mereka lalui setiap hari. Kebutuhan dasar, dapat berupa kebutuhan akan makanan, tidur, gaji dan sebagainya. Maslow mengungkapkan bawa kebutuhan akan keamanan adalah kebutuhan untuk terlindungi dari bahaya fisik, keamanan dan kestabilitasan secara fisik dan kejadian interpersonal setiap harinya. Tingkat selanjutnya adalah kebutuhan sosial di mana individu membutuhkan rasa cinta dan memiliki serta perhatian dalam hubungannya dengan orang lain. Kebutuhan harga diri adalah kebutuhan untuk dihargai, pengenalan akan status dari orang lain. Kebutuhan terakhir adalah aktualisasi diri.Kebutuhan tersebut berupa keinginan untuk memenuhi diri sendiri, untuk berkembang dan menggunakan kemampuan sendiri dan berkreatif sepenuhnya. 10 Herzberg (dalam Sowmya & Panchanatham, 2011) mengemukakan 2 (dua) dimensi dari kepuasan kerja yaitu motivator dan higine. Faktor motivator(faktor ekstrinsik) adalah elemen yang berhubungan dengan tugas dan kewajiban dari pekerjaan yang dilakukan seperti tanggung jawab, rangsangan kerja, pertumbuhan pengakuan, kemajuan, dan prestasi kerja. Sedangkan faktor hygine (faktor intrinsik) merupakan semua elemen kerja yang berhubungan dengan pekerjaan itu sendiri seperti penghasilan, rekan kerja, kebijaksanaan dan administrasi perusahaan serta pengawasan.Namun menurut Herzberg, faktor hygine tidak mampu memotivasi karyawan namun dapat meminimalisasi ketidakpuasan jika ditangani dengan tepat. Baron dan Greeenberg (1997) mengemukakan 3(tiga) penyebab utama dalam kepuasan kerja yaitu (1) faktor yang berkaitan dengan prosedur dan kebijakan organisasi, termasuk di dalamnya tipe dari sistem reward dan bagaimana mereka terdistribusikan, kebijakan organisasi yang spesifik, dan kualitas dari supervisi, (2) faktor yang berhubungan dengan aspek spesifik dari pekerjaan atau setting kerja, (3) faktor yang berkaitan dengan karekteristik personal dari karyawan. Gibson , Ivancevich, Donnel & Konopaske (2003) dan Luthans (2006) menyatakan bahwa kepuasan kerja memiliki banyak dimensi yang cukup kompleks. Namun Davis (dalam Riyono, 1991) kepuasan kerja seseorang dapat diarahkan pada pekerjaan secara keseluruhan atau salah satu atau beberapa dimensi kerja. Beberpa dimensi yang sering dipakai dalam penelitian adalah 5 (lima) aspek yang mengacu pada JDI (Job Description Index) yang dikemukakan oleh Smith, Kendal, dan Hulin pada tahun 1969. Kelima aspek tersebut adalah pekerjaan itu sendiri (work it-self), rekan kerja (co-workers), promosi 11 (promotions), gaji/upah (pay), dan atasan (supervisions) (Dibboye, Smith, & Howell, 1994). Krueger, Brazil, Guthrie, Sebaldt (2007) menyimpulkan bahwa kepuasan kerja adalah sebuah konstruk multidimensional dan adalah sebuah produk dari penilaian padat dari lingkungan kerja sesorang.Dalam penelitian ini, peneliti ingin mengukur kepuasan kerja dari 4 (empat) aspek yaitu pekerjaan itu sendiri, rekan kerja, promosi dan atasan.Peneliti menjadikan aspek gaji/upah (pay) menjadi sebuah variabel independen tersendiri mengingat pentingnya uang sebagai salah satu alat utama pemenuhan kebutuhan dasar manusia. Rumah sakit H yang berada di kota Yogyakarta menjadi tempat penelitian yang dipilih oleh peneliti. Pada tahun 2012, setiap bulannya rumah sakit H mengalami turnover perawat dan/atau bidan rata-rata hampir 1 (satu) % dari jumlah total 90 (sembilan puluh) perawat.Dalam wawancara yang dilakukan sebelum penelitian, alasan utama meninggalkan rumah sakit H adalah diterima menjadi Pegawai Negeri Sipil (PNS). Peneliti mengasumsikan bahwa dengan menjadi PNS, kebutuhan akan rasa aman mengenai jaminan dana pensiun dan asuransi kerja akan terpenuhi. Demi mengurangi angka turnover, maka organisasi mengupayakan budaya organisasi yang menitikberatkan pada sifat kekeluargaan sehingga timbul suasana kerja yang menyenangkan untuk mengurangi beban kerja yang dialami perawat.Oleh karena itu, peneliti memilih variabel QWL, kepuasan kerja dan kelelahan emosi sebagai variabel yang mempengaruhi niat perawat untuk keluar dari organisasi dengan mengntrol kepuasan terhadap penghasilan. Penelitian terdahulu telah banyak mengungkap hubungan secara terpisah antara QWL, kelelahan emosi,kepuasan kerja dan kepuasan 12 penghasilanterhadap intensi untuk keluar. Sirgy, Efraty, Siegel & Lee, 2001menyimpulkan bahwa QWL memiliki dampak yang signifikan terhadap respon perilaku karyawan (employeebehavioral responses) seperti identifikasi organisasi (organizational identification), kepuasan kerja, job involvement, job effort, job performance, intention to quit, organizational turnover, personal alienation. QWL juga berhubungan langsung dengan berbagai macam hasil yang diinginkan organisasi, seperti mengurangi tingkat, absenteeism, turnover, frekuensi keterlambatan, penggunaan perawatan kesehatan, dan peningkatan performa kerja (Wright & Bonett, 2007; Wright & Coppazano, 2004).QWL menyediakan lingkungan kerja yang menyenangkan, sehingga individu mampu mengembangkan kemampuan dan merasa senang bekerja dalam organisasi.Sirgy, dkk (2001) mengatakan bahwa karyawan yang senang adalah karyawan yang produktif, berdedikasi dan loyal. Lebih lanjut lagi, terdapat bukti-bukti bahwa burnout yang terjadi pada level individual dapat menjadi sebuah fenomena level organisasi yang menyebar terhadap karyawan lain (Bakker, Schaufeli, Sixma, & Bosveld, 2001; Halbesleben & Buckley, 2004). Moore (2000) menjelaskan di dalam penelitiannya, bahwa ada beberapa dampak yang dihasilkan oleh kelelahan emosi dan salah satunya adalah naiknya intensi untuk keluar. Knudsen Ducharme, dan Roman (2008), mengadakan penelitian terhadap konselor yang bekerja di klinik. Sebesar 823 orang yang menjadi sampel.Hasil penelitiannya menunjukkan bahwa ada korelasi yang signifikan antara variabel kelelahan emosi dan intensi untuk keluar.Berdasarkan penjabaran tersebut, maka peneliti mengajukan hipotesis penelitian bahwa ada pengaruh kelelahan emosi terhadap intensi untuk keluar.Lebih lanjut lagi, Penyebab kelelahan emosi yaitu ambiguitas dan konflik 13 peran, peranan yang berlebihan, konflik interpersonal, kurangnya otonomi, dan kurangnya reward (Moore, 2000) mempengaruhi individu baik masalah fisik maupun psikologis.Ketika individu merasa lelah secara psikologis dapat diikuti dengan kelelahan fisik.Hal tersebut mampu menginisiasi individu untuk berhenti bekerja. Salah satu dari banyak penelitian yang meneliti tentang hubungan kepuasan kerja dengan intensi untuk keluar adalah penelitian yang dilakukan oleh Boselie & Wiele (2002), yang menyimpulkan dari 2300 survei terhadap karyawan di Belanda bahwa karyawan yang memilki persepsi positif terhadap HRM practices menunjukkan tingkat kepuasan yang lebih tinggi secara keseluruhan dan keinginan yang lebih rendah untuk keluar dari pekerjaannya Korunka, Hoonaker, dan Carayon (2008) pada penelitianya menemukan bahwa terdapat hubungan yang signifikan antara kepuasan kerja dan intensi untuk keluar pada pekerja IT pada orang Amerika. Secara sederhana dapat dijelaskan bahwa seseorang yang merasa senang dan puasdalam pekerjaan dan lingkungan kerjanya, ia akan merasa nyaman untuk bekerja dalam organisasi tersebut. Sehingga kecil keinginian untuk berpindah tempat kerja kemudian mencari rasa nyaman pada lingkungan yang baru. Penghargaan ekstrinsik seperti gaji, bonus, tunjangan dan sebagainya mewakili faktor-faktor yang mampu memenuhi kebutuhan dasar manusia. Sesuai dengan teori kebutuhan Maslow, manusia cenderung tidak akan mencari pemenuhan kebutuhan yang lebih tinggi apabila kebutuhan dasar tidak terpenuhi atau tidak terpuaskan. Hal inilah yang mendasari peneliti untuk meneliti seberapa besar pengaruh kualitas kehidupan kerja,kelelahan emosi, dan kepuasan kerja terhadap niat untuk pergi dari perusahaan dengan mengontrol kepuasan 14 penghasilan. Peneliti mengacu pada penelitian Korunka, Hoonaker dan Carayon (2008) untuk pemilihan variabel QWL, kelelahan emosi dan kepuasan kerja. Pada penelitian tersebut, ketiga variabel tersebut diukur besar pengaruhnya terhadap intensi untuk keluar pada pekerja teknologi informasi. Hipotesis yang akan diujikan pada penelitian ini adalah, dengan ,mengontrol kepuasan terhadap penghasilan, ada pengaruh yang signifikan antara QWL, kepuasan kerja dan kelealah emosi terhadap intensi untuk keluar, Seperti yang dijelaskan pada penelitian-penelitian sebelumnya bahwa setiap variabel memiliki sumbangan yang signifikan terhadap intensi untuk keluar.Dengan keunikan dari penelitian ini diharapkan mempu memperkaya hasil mengenai topik-topik yang berkaitan dengan variabel-variabel di atas dan mampu menyumbang masukan bagi organisasi terutama industri rumah sakit yang menginginkan untuk menggapai pelayanan yang optimal dengan praktik manajemen sumber daya manusia yang tepat. KERANGKA PENELITIAN Penelitian ini akan membahas pengaruh kualitas kehidupan kerja (QWL), kepuasan kerja (KK), dan kelelahan emosi (KE) terhadap intensi untuk keluar dari perusahaan (TI) dengan mengontrol kepuasan terhadap penghasilan (KP). Kerangka penelitian ini adalah sebagai berikut: kepuasan penghasilan Kualitas kehidupan kerja kelelahan emosi kepuasan kerja intensi untuk keluar