2 Persaingan industri rumah sakit di Indonesia semakin

advertisement
2
Persaingan industri rumah sakit di Indonesia semakin meningkat seiring
dengan meningkatnya jumlah rumah sakit di Indonesia. Berdasarkan data dari
Kementerian Kesehatan Republik Indonesia, jumlah rumah sakit di Indonesia
terus meningkat dari 1.721 pada Januari 2012 sampai 2.099 pada Januari 2013
(Kementerian Kesehatan, 2013).
Kenaikan jumlah tersebut mempengaruhi metode pemasaran rumah sakit
terutama dalam penyediaan layanan untuk konsumen.Untuk memenuhi tujuan
tersebut, setiap rumah sakit harus memiliki performa organisasi yang baik. Salah
satu sumber performa organisasi yang baik berasal dari tenaga kerja yang
berkomitmen dan produktif (Yue,Ooi& Keong, 2011). Namun, situasi bisnis yang
semakin rumit dan perubahan yang cepat serta persaingan yang meningkat
seperti saat ini, organisasi menghadapi pergeseran bertahap dalam hubungan
karyawan dengan organisasi. Kesetiaan terhadap organisasi dilaporkan menurun
sejalan dengan tingkat turnover, rata-rata masa kerja menurun, dan karyawan
melakukan
“job shopping” (Newmark, 2001).Hal tersebut terjadi juga pada
industri rumah sakit saat ini.Seiring dengan meningkatnya persaingan semakin
besar juga tuntutan industri rumah sakit terhadap perawat dalam kualitas
memberikan pelayanan.Perawat merupakan salah satu bagian terpenting dalam
rumah sakit karena baik buruknya pelayanan yang diberikan karyawan terhadap
pasien merupakan salah satu indikator kualitas rumah sakit tersebut.
Fenomena turnover perawat yang terjadi di rumah sakit akan merugikan
organisasi yang bersangkutan. Banyak penelitian yang mengungkapkan akibat
negatif dari turnover karyawan.Biaya pengeluaran, baik yang langsung maupun
tidak langsung, berkaitan dengan turnover.Pengeluaran tidak hanya dari
3
rekrutmen dan pelatihan, namun juga gangguan operasional kerja dan
demoralisasi bagi karyawan yang masih menetap (Randhawa, 2007). Catherine
(2002) menyebutkan bahwa turnover karyawan berdampak pada berkurangnya
penjualan dan produktivitas, serta waktu manajemen dengan biaya turnover
sekitar 3 (tiga) sampai 10 (sepuluh)
karyawannya.
dolar Amerika per jam pada setiap
Dess dan Shaw (2001) menambahkan menurunnya kualitas
produk atau pelayanan, moral, tekanan pada karyawan yang masih tinggal, biaya
pelatihan dan moral organisasi serta
kerugian pada modal sosial sebagai
konsekuensi pada biaya tidak langsung pada turnover. Oleh karena itu,
mempertahankan karyawan yang berharga adalah masalah penting untuk
organisasi yang kompetitif di mana karyawan dinilai sebagai aset yang berharga
dalam organisasi.Biasanya ini menjadi perhatian penting bagi organisasi untuk
menempatkan energinya untuk mempertahankan karyawan yang telah mereka
miliki (Hong & Kaur, 2008).
Untuk memprediksi turnover yang akan terjadi dapat dilihat dari pengukuran
intensi untuk keluar. Intensi untuk keluar telah diakui sebagai prediktor yang
terbaik untuk keadaan turnover yang sebenarnya (Mobley, 1977; Michaels &
Spector, 1982). Penelitian yang semakin berkembang terhadap perilaku turnover
mengindikasikan bahwa umur, kepuasan kerja, masa jabatan, job image,
pemenuhan harapan, organizational commitment, secara konsisten berkaitan
dengan intensi untuk keluar dan turnover yang sesungguhnya ( Arnold &
Feldman, 1982; Wotruba & Tyagi, 1991).
Mobley (1977) mendefenisikan intensi untuk keluar sebagai sebuah motivasi
untuk meninggalkan pekerjaan dengan sukarela. Definisi lain dikemukakan oleh
Tett dan Meyer (1993) mengenai intensi untuk keluar yaitu sebuah rencana yang
4
disengaja untuk meninggalkan organisasi. Walaupun intensi untuk keluar
mungkin tidak diwujudkan dalam turnover yang sesungguhnya, namun adalah
hal yang umum diterima bahwa intensi untuk keluar individual dapat digunakan
untuk memprediksi turnover yang seseungguhnya (Price, 2001; Gregory, Way,
LeFort, Barret & Parfey, 2007).Hal tersebut dibuktikan oleh Bluedorn (1982),
yang membuktikan bahwa intensi untuk keluar secara tinggi berkorelasi dengan
perilaku turnover yang sesungguhnya di 13 (tiga belas) dari 14 (empat belas)
penelitian empirik yang telah diadakan.
Berdasarkan penjabaran di atas, perhatian peneliti saat inibanyak yang
berfokus kepada penyebab terjadinya turnover. Hal tersebut dikarenakan oleh
dampakdari
turnover karyawan dipandang menjadi masalah penting bagi
organisasi(Ton & Huckman, 2008). Ongori (2007) menyimpulkanbeberapa
penyebabturnover karyawan. Penyebab tersebut antara lain faktor yang
berhubungan dengan pekerjaan itu sendiri, turnover yang disengaja dan tidak
disengaja, serta faktor dari organisasi itu sendiri.
Faktor yang berasal dari pekerjaan itu sendiri dapat berupa pengalaman
pekerjaan yang berkaitan dengan stres ( jobstress), berbagai faktor yang
mengarah kepada pekerjaan yang berkaitan dengan stres (job stressor),
komitmen yang kurang dalam organisasi, dan ketidakpuasan kerja ( Firth, Mellor,
Moore,& Loquet, 2004).
Turnover yang disebabkan oleh faktor organisasi itu sendiri dapat berupa
ketidakstabilan seperti kebijakan personalia yang buruk, kebijakan rekrutmen
yang kurang baik, pelaksanaan pengawasan yang lemah, prosedur penanganan
keluhan yang buruk dan kurangnya motivasi (Zuber, 2001).
5
Kurangnya motivasi yang terjadi pada perawat dapat disebabkan oleh
kurangnya reward yang diberikan oleh organisasi. salah satu bentuk reward
tersebut adalah penghasilan/ pay. Penghasilan merupakan salah satu motivator
yang
diberikan
oleh
perusahaan
untuk
meningkatkan
performa
kerja
karyawannya.Muljani (2002) menjelaskan bahwa salah satu cara untuk
meningkatkan prestasi kerja, motivasi, dan kepuaasan kerja adalah dengan
memberikan kompensasi. Kompensasi memiliki pengaruh yang signifikan
terhadap kemauan karyawan untuk bekerja keras dan kebanggan karyawan
sehingga cenderung setia pada organisasinya (Djati, 2003).
Kepuasan penghasilansecara umum dapat diartikan bahwa seseorang akan
merasa terpuaskan oleh penghasilannya ketika persepsi terhadap penghasilan
yang mereka peroleh sesuai dengan apa yang mereka harapkan. Kepuasan
penghasilan
memegang
peranan
penting
baik
bagi
individu
maupun
organisasi.Zaky (2006) menyimpulkan bahwa kepuasan penghasilan memiliki
pengaruh bagi individu maupun bagi organisasi.Bagi individu, tingkat kompensasi
yang diterima individu secara signifikan menentukan status sosial, harga diri,
serta
kemampuan
untuk
memenuhi
kebutuhan
saat
ini
dan
jangka
panjang.Sedangkan bagi industri, kepuasan karyawan terhadap penghasilan
yang meliputi gaji, bonus, tunjangan, merupakan salah satu cara untuk
mendorong karyawan untuk memberikan performa terbaiknya serta untuk
mempertahankan karyawan terbaiknya untuk tidak meninggalkan organisasi.
Faktor lain yang melatarbelakangi perawat untuk berpindah kerja adalah
kurang diperhatikannya kualitas kehidupan kerja (quality of work life/ QWL)
perawat,di mana terjadi kurang selarasnya hubungan pekerja dengan lingkungan
kerjanya. Konsep kualitas kehidupan kerja (selanjutnya disingkat dengan QWL)
6
yang diterapkan secara efektif dalam organisasi, telah disepakati dapat
meningkatkan kondisi bekerja (terutama dari perspektif karyawan) dan efektivitas
organisasi yang lebih baik.QWL dipercayai dapat memelihara fleksibilitas,
loyalitas dan motivasi tenaga kerja, di mana hal-hal tersebut sangat esensial
dalam menentukan daya saing perusahaan ( May, Lau, & Johnson, 1999).
Penelitian-penelitian
yang
telah
dilaksanakan
sebelumnya,
telah
menyumbangkan berbagai defenisi QWL dari berbagai dimensi dan telah
menyimpulkan beberapa konsep QWL yang berbeda (Sheel, Sindhwani, Goel &
Pathak, 2012). Lau & May (1998) mendefinisikan QWL sebagai kondisi dan
lingkungan kerja yang sesuai untuk mendukung dan meningkatkan kepuasan
kerja karyawan dengan menyediakan reward, keamanan kerja (job security), dan
kesempatan untuk berkembang bagi karyawan. Glasier (1976) berpendapat
bahwa istilah QWL lebih dari job security, kondisi kerja yang baik, kompensasi
yang adil dan edekuat, serta lebih dari persamaan kesempatan pekerjaan.
Cascio (1998) menjelaskan bahwa terdapat dua cara untuk melihat
bagaimana arti QWLyaitu membandingkan QWL dengan kondisi organisasi yang
sebenarnya seperti penerapan kebijakan perusahaan mengenai promosi kerja,
pengawasan yang demokratis, keterlibatan karyawan, dan kondisi kerja yang
aman. Cara yang kedua adalah membandingkan QWL dengan persepsi
karyawan bahwa mereka merasa aman, puas, dan mampu untuk tumbuh dan
berkembang sebagai manusia. Cascio (1998) juga menambahkan bahwa QWL
meliputi kesempatan pekerja untuk memutuskan hal-hal yang terkait dengan
pekerjaan mereka seperti desain tempat kerja dan apa yang dibutuhkan untuk
membuat produk atau pelayanan menjadi lebih baik. Oleh karena itu, Riyono
(2012), menjabarkan QWL sebagai budaya organisasi yang berorientasi pada
7
keseimbangan antara produktivitas dan kesejahteraan karyawan. Riyono (2012)
berpendapat bahwa QWL dalam sebuah organisasi dapat diwujudkan dengan
menerapkan 5 (lima) aspek yaitu kepercayaan (trust),kepedulian (care), saling
menghormati (respect),belajar(learn), dan berkontribusi (contribute).
Aspek trust memiliki definisi yang berarti saling percaya antar anggota
organiasi baik atasan dengan bawahan, maupun sesama rekan kerja. Care
adalah saling peduli dan tolong menolong antar anggota organisasi baik atasan
dengan bawahan mapun sesama rekan kerja. Respect adalah saling menghargai
antar anggota organisasi baik atasan dengan bawahan maupun sesama rekan
kerja. Learn menunjukkan kepada semangat belajar terus menerus pada seluruh
anggota organisasi. Sedangkan contribute menunjuk kepada semangat untuk
berkontribusi demi kemajuan bersama dalam organisasi (Riyono, 2012).
Selain penerapan QWL yang tidak efektif sebagai salah satu faktor
penyebab dari organisasi, penyebab turnover yang lainnya adalah faktor yang
berasal dari pekerjaan itu sendiri.Perawat memiliki beban kerja yang tinggi,
namun pekerjaannya juga menuntut kontrol emosi untuk dapat memberikan
pelayanan yang terbaik bagi pasien.Pekerjaan yang menuntut individu untuk
mengontrol emosi sesuai dengan tuntutan pekerjaannya, menjadi salah satu
tantangan individu untuk dapat melaksanakan tugasnya dengan baik. Grandey
(2000) mengatakan bahwa ketika sebuah situasi medesak respon emosional
yang berulang-ulang yang harus karyawan atur, maka mereka akan mengalami
kelelahan emosi.
Kelelahan emosi adalah salah satu karakteristik dari burnout yang
memiliki pengertian penipisan energi atau terkurasnya emosi (Bakker, Demerouti
& Schaufeli, 2002).Kelelahan emosi saat ini dipahami sebagai komponen utama
8
dari burnout karena yang terbaik mencirikan konstruk secara keseluruhan
(Cropanzano, Rupp, & Byrne, 2003; Demerouti, Bakker, Nachreiner, & Schaufeli,
2001; Maslach, Schaufeli, & Leiter, 2001). Kelelahan emosi mengacu kepada
perasaan individu yang secara berlebihan dan terkuras secara emosional oleh
kontak pribadi dengan orang lain. Moore (2000) menyimpulkan bahwa 2 (dua)
karakteristik burnout yang lain yaitu depersonalization dan kurangnya personal
accomplishment adalah konsekuensi yang mungkin dihasilkan dari kelelahan
emosi.Hubungan antara kelelahan emosi dan burnout didukung secara empirik
dengan sebuah meta-analisis yang dilakukan olehLee dan Ashforth (dalam
Fiksenbaum, Marjanovic, Greenglass, & Coffey, 2006).Penelitian mereka
menunjukkan bahwa kelelahan emosi secara berkorelasi secara signifikan
dengan variabel-variabel job-stressor seperti beban kerja, stres peran, konflik
peran, kejadian yang memicu stres, dan tekanan dalam bekerja.Moore (2000)
menyimpulkan beberapa konsekuensi dari kelelahan emosi yaitu berkurangnya
kepuasan kerja, harga diri, komitmen berorganisasi, serta meningkatnya turnover
dan intensi untuk keluar.
Faktor lain yang turut menyumbang peranan dalam mencegah turnover
karyawan adalah dengan memperhatikan kepuasan kerja karyawannya. Saat ini,
banyak penelitan yang berusaha memahami manusia dalam bekerja dan
menemukan berbagai macam cara untuk meningkatkan kepuasan kerja agar
karyawan yang terbaik tetap tinggal dalam organisasinya (Sowmya &
Panchanatham, 2011).Greenberg & Baron (1997) mengatakan bahwa, kepuasan
kerja adalah respon psikologis, emosional, dan evaluatif yang individu miliki
terhadap pekerjaannya. Menurut Cranny, Smith dan Stone (1992), kepuasan
kerja adalah sebuah kombinasi dari reaksi kognitif dan afektif terhadap
9
perbedaan persepsi antara apakah yang karyawan ingin terima dibandingkan
dengan apakah yang karyawan benar-benar terima. Sementara itu, Chang dan
Chang (2007) menyatakan bahwa kepuasan kerja secara mendasar dikenal
sebagai sebuah konstruk yang beraneka segi yang menangkap perasaan dan
kepuasan karyawan dengan sebuah spektrum dari job elements yang secara
langsung maupun tidak langsung berhubungan
dengan job content. Namun
secara formal, kepuasan kerja adalah kadar di mana individu merasa secara
positif atau negatif terhadap pekerjaan mereka. Hal tersebut dapat berupa respon
tindakan dan emosional terhadap tugas seseorang serta kondisi fisik dan sosial
di tempat kerja (Jegan,2011).
Kepuasan kerja dapat dijelaskan oleh teori hirarki kebutuhan Maslow.
Maslow (dalam Furnham, 1995) bahwa beberapa kebutuhan lebih penting
dibandingkan dengan kebutuhan lain dan harus dipuaskan sebelum kebutuhan
lain dapat bertahan sebagai motivator. Teori kebutuhan menjelaskan bahwa
setiap orang dapat memenuhi kebutuhan psikologis dan fisiologis mereka melalui
pekerjaan yang mereka lalui setiap hari. Kebutuhan dasar, dapat berupa
kebutuhan akan makanan, tidur, gaji dan sebagainya. Maslow mengungkapkan
bawa kebutuhan akan keamanan adalah kebutuhan untuk terlindungi dari
bahaya fisik, keamanan dan kestabilitasan secara fisik dan kejadian interpersonal
setiap harinya. Tingkat selanjutnya adalah kebutuhan sosial di mana individu
membutuhkan rasa cinta dan memiliki serta perhatian dalam hubungannya
dengan orang lain. Kebutuhan harga diri adalah kebutuhan untuk dihargai,
pengenalan akan status dari orang lain. Kebutuhan terakhir adalah aktualisasi
diri.Kebutuhan tersebut berupa keinginan untuk memenuhi diri sendiri, untuk
berkembang dan menggunakan kemampuan sendiri dan berkreatif sepenuhnya.
10
Herzberg (dalam Sowmya & Panchanatham, 2011) mengemukakan 2 (dua)
dimensi dari kepuasan kerja yaitu motivator dan higine. Faktor motivator(faktor
ekstrinsik) adalah elemen yang berhubungan dengan tugas dan kewajiban dari
pekerjaan
yang
dilakukan
seperti
tanggung
jawab,
rangsangan
kerja,
pertumbuhan pengakuan, kemajuan, dan prestasi kerja. Sedangkan faktor hygine
(faktor intrinsik) merupakan semua elemen kerja yang berhubungan dengan
pekerjaan itu sendiri seperti penghasilan, rekan kerja, kebijaksanaan dan
administrasi perusahaan serta pengawasan.Namun menurut Herzberg, faktor
hygine tidak mampu memotivasi karyawan namun dapat meminimalisasi
ketidakpuasan jika ditangani dengan tepat.
Baron dan Greeenberg (1997) mengemukakan 3(tiga) penyebab utama
dalam kepuasan kerja yaitu (1) faktor yang berkaitan dengan prosedur dan
kebijakan organisasi, termasuk di dalamnya tipe dari sistem reward dan
bagaimana mereka terdistribusikan, kebijakan organisasi yang spesifik, dan
kualitas dari supervisi, (2) faktor yang berhubungan dengan aspek spesifik dari
pekerjaan atau setting kerja, (3) faktor yang berkaitan dengan karekteristik
personal dari karyawan.
Gibson , Ivancevich, Donnel & Konopaske (2003) dan Luthans (2006)
menyatakan bahwa kepuasan kerja memiliki banyak dimensi yang cukup
kompleks. Namun Davis (dalam Riyono, 1991) kepuasan kerja seseorang dapat
diarahkan pada pekerjaan secara keseluruhan atau salah satu atau beberapa
dimensi kerja. Beberpa dimensi yang sering dipakai dalam penelitian adalah 5
(lima) aspek yang mengacu pada JDI (Job Description Index) yang dikemukakan
oleh Smith, Kendal, dan Hulin pada tahun 1969. Kelima aspek tersebut adalah
pekerjaan
itu
sendiri
(work
it-self),
rekan
kerja
(co-workers),
promosi
11
(promotions), gaji/upah (pay), dan atasan (supervisions) (Dibboye, Smith, &
Howell, 1994).
Krueger, Brazil, Guthrie, Sebaldt (2007) menyimpulkan bahwa kepuasan
kerja adalah sebuah konstruk multidimensional dan adalah sebuah produk dari
penilaian padat dari lingkungan kerja sesorang.Dalam penelitian ini, peneliti ingin
mengukur kepuasan kerja dari 4 (empat) aspek yaitu pekerjaan itu sendiri, rekan
kerja, promosi dan atasan.Peneliti menjadikan aspek gaji/upah (pay) menjadi
sebuah variabel independen tersendiri mengingat pentingnya uang sebagai salah
satu alat utama pemenuhan kebutuhan dasar manusia.
Rumah sakit H yang berada di kota Yogyakarta menjadi tempat penelitian
yang dipilih oleh peneliti. Pada tahun 2012, setiap bulannya rumah sakit H
mengalami turnover perawat dan/atau bidan rata-rata hampir 1 (satu) % dari
jumlah total 90 (sembilan puluh) perawat.Dalam wawancara yang dilakukan
sebelum penelitian, alasan utama meninggalkan rumah sakit H adalah diterima
menjadi Pegawai Negeri Sipil (PNS). Peneliti mengasumsikan bahwa dengan
menjadi PNS, kebutuhan akan rasa aman mengenai jaminan dana pensiun dan
asuransi kerja akan terpenuhi. Demi mengurangi angka turnover, maka
organisasi mengupayakan budaya organisasi yang menitikberatkan pada sifat
kekeluargaan sehingga timbul suasana kerja yang menyenangkan untuk
mengurangi beban kerja yang dialami perawat.Oleh karena itu, peneliti memilih
variabel QWL, kepuasan kerja dan kelelahan emosi sebagai variabel yang
mempengaruhi niat perawat untuk keluar dari organisasi dengan mengntrol
kepuasan terhadap penghasilan.
Penelitian terdahulu telah banyak mengungkap hubungan secara terpisah
antara
QWL,
kelelahan
emosi,kepuasan
kerja
dan
kepuasan
12
penghasilanterhadap intensi untuk keluar. Sirgy, Efraty, Siegel & Lee,
2001menyimpulkan
bahwa QWL memiliki dampak yang signifikan terhadap
respon perilaku karyawan (employeebehavioral responses) seperti identifikasi
organisasi (organizational identification), kepuasan kerja, job involvement, job
effort, job performance, intention to quit, organizational turnover, personal
alienation. QWL juga berhubungan langsung dengan berbagai macam hasil yang
diinginkan organisasi, seperti mengurangi tingkat, absenteeism, turnover,
frekuensi keterlambatan, penggunaan perawatan kesehatan, dan peningkatan
performa kerja (Wright & Bonett, 2007; Wright & Coppazano, 2004).QWL
menyediakan lingkungan kerja yang menyenangkan, sehingga individu mampu
mengembangkan
kemampuan
dan
merasa
senang
bekerja
dalam
organisasi.Sirgy, dkk (2001) mengatakan bahwa karyawan yang senang adalah
karyawan yang produktif, berdedikasi dan loyal.
Lebih lanjut lagi, terdapat bukti-bukti bahwa burnout yang terjadi pada level
individual dapat menjadi sebuah fenomena level organisasi yang menyebar
terhadap karyawan lain (Bakker, Schaufeli, Sixma, & Bosveld, 2001; Halbesleben
& Buckley, 2004). Moore (2000) menjelaskan di dalam penelitiannya, bahwa ada
beberapa dampak yang dihasilkan oleh kelelahan emosi dan salah satunya
adalah naiknya intensi untuk keluar. Knudsen Ducharme, dan Roman (2008),
mengadakan penelitian terhadap konselor yang bekerja di klinik. Sebesar 823
orang yang menjadi sampel.Hasil penelitiannya menunjukkan bahwa ada korelasi
yang
signifikan
antara
variabel
kelelahan
emosi
dan
intensi
untuk
keluar.Berdasarkan penjabaran tersebut, maka peneliti mengajukan hipotesis
penelitian bahwa ada pengaruh kelelahan emosi terhadap intensi untuk
keluar.Lebih lanjut lagi, Penyebab kelelahan emosi yaitu ambiguitas dan konflik
13
peran, peranan yang berlebihan, konflik interpersonal, kurangnya otonomi, dan
kurangnya reward (Moore, 2000) mempengaruhi individu baik masalah fisik
maupun psikologis.Ketika individu merasa lelah secara psikologis dapat diikuti
dengan kelelahan fisik.Hal tersebut mampu menginisiasi individu untuk berhenti
bekerja.
Salah satu dari banyak penelitian yang meneliti tentang hubungan kepuasan
kerja dengan intensi untuk keluar adalah penelitian yang dilakukan oleh Boselie
& Wiele (2002), yang menyimpulkan dari 2300 survei terhadap karyawan di
Belanda bahwa karyawan yang memilki persepsi positif terhadap HRM practices
menunjukkan tingkat kepuasan yang lebih tinggi secara keseluruhan dan
keinginan yang lebih rendah untuk keluar dari pekerjaannya Korunka, Hoonaker,
dan Carayon (2008) pada penelitianya menemukan bahwa terdapat hubungan
yang signifikan antara kepuasan kerja dan intensi untuk keluar pada pekerja IT
pada orang Amerika. Secara sederhana dapat dijelaskan bahwa seseorang yang
merasa senang dan puasdalam pekerjaan dan lingkungan kerjanya, ia akan
merasa nyaman untuk bekerja dalam organisasi tersebut. Sehingga kecil
keinginian untuk berpindah tempat kerja kemudian mencari rasa nyaman pada
lingkungan yang baru.
Penghargaan ekstrinsik seperti gaji, bonus, tunjangan dan sebagainya
mewakili faktor-faktor yang mampu memenuhi kebutuhan dasar manusia. Sesuai
dengan teori kebutuhan Maslow, manusia cenderung tidak akan
mencari
pemenuhan kebutuhan yang lebih tinggi apabila kebutuhan dasar tidak terpenuhi
atau tidak terpuaskan. Hal inilah yang mendasari peneliti untuk meneliti seberapa
besar pengaruh kualitas kehidupan kerja,kelelahan emosi, dan kepuasan kerja
terhadap niat untuk pergi dari perusahaan dengan mengontrol kepuasan
14
penghasilan. Peneliti mengacu pada penelitian Korunka, Hoonaker dan Carayon
(2008) untuk pemilihan variabel QWL, kelelahan emosi dan kepuasan kerja.
Pada penelitian tersebut, ketiga variabel tersebut diukur besar pengaruhnya
terhadap intensi untuk keluar pada pekerja teknologi informasi.
Hipotesis yang akan diujikan pada penelitian ini adalah, dengan ,mengontrol
kepuasan terhadap penghasilan, ada pengaruh yang signifikan antara QWL,
kepuasan kerja dan kelealah emosi terhadap intensi untuk keluar, Seperti yang
dijelaskan pada penelitian-penelitian sebelumnya bahwa setiap variabel memiliki
sumbangan yang signifikan terhadap intensi untuk keluar.Dengan keunikan dari
penelitian ini diharapkan mempu memperkaya hasil mengenai topik-topik yang
berkaitan dengan variabel-variabel di atas dan mampu menyumbang masukan
bagi organisasi terutama industri rumah sakit yang menginginkan untuk
menggapai pelayanan yang optimal dengan praktik manajemen sumber daya
manusia yang tepat.
KERANGKA PENELITIAN
Penelitian ini akan membahas pengaruh kualitas kehidupan kerja (QWL),
kepuasan kerja (KK), dan kelelahan emosi (KE) terhadap intensi untuk keluar
dari perusahaan (TI) dengan mengontrol kepuasan terhadap penghasilan (KP).
Kerangka penelitian ini adalah sebagai berikut:
kepuasan penghasilan
Kualitas kehidupan kerja
kelelahan emosi
kepuasan kerja
intensi untuk keluar
Download