BAB II KAJIAN PUSTAKA 2.1 Delirium 2.1.1 Definisi Kata delirium

advertisement
BAB II
KAJIAN PUSTAKA
2.1 Delirium
2.1.1 Definisi
Kata delirium berasal dari istilah latin delirare yang berarti menjadi “gila atau
marah”. Istilah ini telah didokumentasikan di dalam literatur medis selama lebih dari
2000 tahun. Pertama kali dilaporkan pada masa Hippocrates yang menggunakan
istilah phrenitis (gila) dan lethargus (letargi) untuk mendeskripsikan delirium subtipe
hiperaktif dan hipoaktif. Sebagai istilah medis, delirium pertama digunakan oleh
Celsus di abad pertama setelah Masehi untuk mendeskripsikan gangguan mental
yang berhubungan dengan demam atau trauma kepala ( Mittal dkk., 2011) .
Berbagai istilah telah digunakan dalam literatur untuk mendeskripsikan
delirium, meliputi acute confusional state, acute brain syndrome, acute cerebral
insufficiency, dan toxic-metabolic encephalopathy. Namun, delirium sekarang
menjadi istilah yang dipilih dan disarankan untuk menerima istilah acute confusional
syndrome sebagai sinonim untuk sindrom ini (Fong., 2009; Mittal dkk., 2011).
Delirium merupakan adalah sebuah sindrom neuropsikiatrik yang kompleks
dengan onset yang akut dan berfluktuasi. Sindrom ini mempengaruhi kesadaran dan
fungsi kognitif yang mungkin diikuti oleh peningkatan aktivitas psikomotor. Selain
itu delirium juga mempengaruhi atensi dan pada beberapa pasien ada yang
mengalami gangguan depresi (Mittal dkk., 2011).
2.1.2 Epidemiologi
Delirium adalah kondisi yang sering terjadi dan bersifat serius, terutama pada
lanjut usia yang dirawat di rumah sakit, dan menyerang sekitar 30% diantaranya.
1
5
2
Studi terbaru melaporkan prevalensi delirium sebesar 10-31% saat pasien masuk dan
insiden 3-29% selama masa rawat (Boettger, 2014).
Risiko meningkat secara eksponensial di ruang rawat intensif, dengan
prevalensi mencapai 80% dan di unit rawat paliatif dimana prevalensi dilaporkan
sebesar 85%. Angka yang lebih tinggi juga ditemukan di kondisi bedah dengan
insiden dilaporkan 10-70% setelah pembedahan, terutama pada pasien yang
menjalani operasi kardiotoraks, prosedur ortopedi emergensi (perbaikan fraktur
panggul), bedah vaskuler, atau operasi katarak (Munster, 2009). Studi pada lanjut
usia yang datang ke unit gawat darurat melaporkan prevalensi 5-30% (Han, 2009).
Selain
sebagai
tempat
rawat
jangka
panjang,
penghuni
panti
jompo
merepresentasikan kelompok yang rentan, dan diperkirakan prevalensi delirium
sekitar 3,4-33,3%. Di masyarakat, sesuai perkiraan, prevalensi rendah, berkisar
antara 1-2% (Miller, 2008).
2.1.3 Etiologi
Etiologi delirium biasanya multifaktorial. Namun, penelitian telah berhasil
mengidentifikasi faktor risiko konsisten untuk delirium yang diklasifikasikan
menjadi dua kelompok yakni faktor predisposisi dan faktor presipitasi. Faktor
predisposisi adalah faktor yang membuat orang lanjut usia lebih rentan terhadap
delirium dan faktor presipitasi terdiri dari faktor akut yang mencetuskan terjadinya
delirium. Kombinasi kedua faktor itu harus ada pada orang lanjut usia yang delirium.
Faktor predisposisi yang paling sering adalah usia lanjut, jenis kelamin pria,
demensia dan depresi yang telah ada sebelumnya, gangguan visual dan pendengaran,
ketergantungan fungsional, frailty, gangguan sensoris, dehidrasi dan malnutrisi,
polifarmasi (terutama obat psikoaktif), penyalahgunaan alkohol dan kondisi medis
berat yang terjadi bersamaan (Cerejeira, 2010; Maldonado, 2013).
3
Adapun beberapa faktor risiko terkait dengan delirium diantaranya usia yang
lebih dari 65 tahun, adanya riwayat delirium, riwayat trauma/pembedahan, adanya
komorbid demensia, depresi, gagal ginjal, penyakit hati, penurunan fungsi
penglihatan dan pendengaran, serta adanya pengobatan spesifik (antikolinergik,
narkotika, benzodiazepines, hipnotiks, anti inflamasi, beta bloker, diuretiks, dan
antidepresan). Selain itu faktor risiko lain yang memicu delirium yakni adanya
multifarmaka, stimulus lingkungan yang berlebihan, ketergantungan alkohol/obat,
abnormalitas metabolik (elektrolit,kadar gula), infeksi akut (infeksi saluran kemih,
pneumonia), serta ketidakadekuatan kontrol rasa nyeri (Maldonado, 2013). Setelah
bertambah tuanya usia, demensia menjadi faktor risiko paling sering kedua untuk
terjadinya delirium. Menurut Inouye pada tahun 2006, kerentanan yang mendasari
otak pada pasien demensia dapat menjadi predisposisi bagi mereka untuk mengalami
delirium, sebagai akibat gangguan yang berhubungan dengan penyakit medis akut,
obat, serta faktor lingkungan (Inouye, 2006). Menurut Saxena dan Lawley pada
tahun 2009, faktor presipitasi yang paling sering adalah: penyakit yang terjadi
bersamaan (misalnya infeksi), komplikasi iatrogenik, gangguan metabolik, kondisi
neurologis primer (misalnya stroke akut), operasi, obat (terutama benzodiazepin,
analgetik narkotik, dan obat dengan efek antikolinergik). Nyeri yang tak terkontrol
juga berhubungan dengan terjadinya delirium. Faktor lingkungan seperti masuk
ruang rawat intensif, pasien dalam kondisi terikat, atau kateterisasi kandung kemih
juga berkontribusi pada terjadinya delirium. Dalam konteks ini, Inouye dan
Charpentier pada tahun 1996 menyajikan suatu model untuk memprediksikan
terjadinya delirium pada pasien lanjut usia yang dirawat di rumah sakit, dengan
faktor predisposisi yang lebih banyak dan lebih berat (pasien terikat, malnutrisi,
4
penggunaan lebih dari tiga obat pada hari sebelumnya, penggunaan kateter kandung
kemih, dan kejadian iatrogenik), berhubungan dengan sejumlah faktor presipitasi
(Cerejeira, 2010).
Gambar 1.
Model Multifaktorial dari Delirium (Maldonado, 2013)
2.1.4 Patogenesis Delirium
Walaupun prevalensi dan angka morbiditasnya yang tinggi, mekanisme
patogenesis dari delirium masih belum jelas sampai saat ini. Selama beberapa tahun
ini, proses metabolik telah diperkirakan sebagai penyebab dari delirium. Sekitar lima
puluh tahun lalu, Engel dan Romano mengatakan bahwa terganggunya fungsi
metabolik mendasari terjadinya delirium dan hal ini digambarkan dengan terjadinya
gangguan pada berbagai fungsi kognisi. Oleh karena itu, delirium merupakan
sindrom neurobehavioral yang disebabkan oleh disregulasi aktivitas sel saraf akibat
gangguan sistemik (Maldonado, 2013).
Dalam beberapa tahun ini, beberapa teori telah dikemukan telah mencoba
menjelaskan proses yang menyebabkan terjadinya delirium. Setiap teori yang
diusulkan telah dipusatkan pada sebuah mekanisme atau proses patologi yang
5
spesifik. Beberapa teori telah diusulkan sebagai penyebab dari delirium, diantaranya
adalah teori
neuroinflamatory, neuronal
aging, stres
oksidatif, defisiensi
neurotransmiter, neuroendokrin, disregulasi diurnal dan network conectivity. Sampai
saat ini belum ada mekanisme patofisiologi tunggal yang telah didentifikasi sebagai
penyebab delirium. Hampir semua teori-teori ini saling melengkapi bukan saling
bersaing dalam menjelaskan terjadinya delirium. Oleh karena itu, teori-teori ini
tampaknya tidak ada yang mampu menjelaskan secara sendiri-sendiri penyebab
ataupun gejala delirium. Tetapi dua atau lebih teori-teori ini bersama-sama
menyebabkan gangguan biokimiawi yang kemudian menyebabkan terjadinya
delirium (Maldonado, 2013).
Faktor presipitasi delirium
(infeksi, trauma, obat – obat anestesi,
pembedahan, hipoksia, hipoglikemia, gangguan
metabolik)
Neuroinflamasi
Penuaan
Network Disconnectivity
Stress oksidatif
Kelainan neuroendokrin
Gangguan tidur /
disregulasi
melatonin
Disregulasi
neurotransmiter
Gambar 2.
Gambaran skematik yang menunjukkan interrelationship dari teori-teori ini
dalam patofisologi terjadinya delirium (Maldonado, 2013).
2.1.5 Gambaran Klinis
Berdasarkan kriteria DSM-IV, delirium dicirikan oleh gejala yang mulainya
sangat cepat (biasanya dalam beberapa jam sampai hari) dan cenderung berfluktuasi,
6
dengan perubahan tingkat kesadaran, ketidakmampuan berfokus, perhatian yang
bertahan atau teralih, dan perubahan kognitif (seperti gangguan memori, disorientasi,
gangguan bahasa) atau terjadinya gangguan perseptual hanya dapat dijelaskan oleh
demensia. Lebih lanjut, terdapat bukti dari anamnesis, pemeriksaan fisik, atau
temuan laboratoris bahwa gangguan tersebut disebabkan oleh konsekuensi fisiologis
langsung dari suatu kondisi medis umum, atau intoksikasi/withdrawal senyawa, atau
karena berbagai penyebab (Popeo, 2011; Martins dan Fernandes, 2012).
Awal perjalanan yang tiba-tiba dan akut adalah gambaran sentral delirium.
Oleh karena itu, penting bagi kita untuk memastikan tingkat fungsi kognitif dasar
pasien serta perjalanan perubahan kognitifnya. Kesadaran sebagai fungsi otak
memungkinkan kewaspadaan terhadap dirinya sendiri serta kewaspadaan terhadap
lingkungannya dan dicirikan oleh dua aspek utama: tingkat dan isi kesadaran.
Tingkat kesadaran mencerminkan bangkitan kewaspadaan: bangun, tidur, atau koma.
Isi kesadaran, atau bagiannya, dialami oleh subyek sebagai kewaspadaan terhadap
dirinya sendiri serta lingkungannya saat subyek bangun dan sadar baik. Isi kesadaran
dan kognitif hanya dapat diperiksa jika subyek minimal memiliki tingkat kesadaran
tertentu (Browne, 2010; Popeo, 2011; Martins dan Fernandes, 2012).
Pada delirium, gangguan kesadaran adalah salah satu manifestasi paling awal,
yang sering berfluktuasi, terutama di malam hari saat stimulasi lingkungan berada
pada titik terendah. Tingkat kesadaran dapat berflukutasi pada yang paling ekstrim
untuk pasien yang sama, atau dapat muncul dengan tanda yang lebih ringan seperti
mengantuk atau gangguan tingkat perhatian. Faktanya, pasien dapat tampak benarbenar mengantuk, letargi, atau bahkan semi-koma pada kasus yang lebih berat.
7
Ektrim yang berlawanan, sangat waspada, juga dapat terjadi, terutama pada kasus
withdrawal alkohol atau obat sedatif (lebih jarang pada lanjut usia).
Perhatian adalah proses yang memungkinkan kita untuk memilih stimulus
yang relevan dari lingkungan, berfokus dan mempertahankan respon perilaku
terhadap stimulus tersebut, dan mengubah aktivitas mental menuju stimulus yang
lebih baru, mengorientasi ulang perilaku seseorang, berdasarkan relevansi stimulus.
Perhatian merupakan fungsi yang berbeda dari kesadaran, namun tetap bersifat
dependen. Oleh karena itu, berbagai derajat perhatian masih mungkin ditemukan
pada subyek yang sadar baik, namun perhatian dan konsentrasi penuh tidak mungkin
ditemukan pada penurunan kesadaran. Faktanya, perhatian dapat menurun secara
patologis pada kondisi organik, biasanya dengan penurunan kesadaran tertentu
(Browne, 2010; Popeo, 2011; Martins dan Fernandes, 2012).
Pada delirium, terjadi penurunan perhatian dan juga dikatakan sebagai salah
satu dari gambaran kardinal yang penting. Biasanya pasien tersebut mudah dialihkan
perhatiannya oleh stimulus yang irelevant, atau memiliki kesulitan mengingat apa
yang dikatakan pada anamnesis. Lebih lanjut, pertanyaan sebagian besar harus
diulang karena perhatian subyek menyimpang. Biasanya terjadi defisit global atau
multipel dalam hal kognitif, meliputi gangguan memori dan disorientasi. Faktanya,
karena penurunan perhatian, registrasi informasi baru dapat terganggu sehingga
mempengaruhi memori dan fungsi orientasi tertentu (Browne, 2010; Popeo, 2011;
Martins dan Fernandes, 2012).
Memori jangka pendek adalah yang paling sering terkena, namun kembalinya
informasi yang telah tersimpan juga dapat terganggu. Misalnya pasien mungkin tidak
mampu mengingat peristiwa di rumah sakit atau kesulitan mengingat instruksi.
8
Disorientasi biasanya sering terjadi, yang pertama terhadap waktu, berikutnya
terhadap tempat. Namun, disorientasi dikatakan abnormal pada pasien rawat inap
dengan sakit berat yang lama, tanpa acuan hari atau bulan. Fungsi pikir dan bicara
menjadi tumpang tindih dan keduanya dapat terganggu pada kondisi delirium
tertentu (Martins dan Fernandes, 2012).
Kesulitan bahasa dan gangguannya pada pasien delirium mungkin lebih
berhubungan dengan gangguan bangun dan tingkat perhatian, bukan penyebab
spesifik, atau tetap masih tetap dapat menunjukkan terjadinya perubahan proses.
Pada kasus gangguan global yang berat, konfabulasi dapat mendominasi, sehingga
hanya ada sedikit kemungkinan untuk menilai bahasa, memori, dan isi pikiran.
Seringkali bahasa dan bicara, yang mencakup membaca, hanya sedikit terpengaruh
dibanding menulis, terutama pada kondisi ringan atau stadium awal. Sejumlah hal
spesifik pada gangguan bahasa ditemukan dalam perjalanan delirium. Dalam satu
studi, sering ditemukan salah menyebutkan, sama seringnya dengan yang ditemukan
pada pasien demensia, namun berbeda dimana lebih sering terjadi dalam bentuk
gangguan kata dan salah menyebut nama yang tidak terkait. Gangguan kata dapat
dijelaskan oleh perseverasi. Pasien mengulang kata-kata yang sebelumnya diucapkan
(sehingga menjadi perseverasi), bukan kata yang diharapkan yang tidak dapat
ditemukan atau diucapkan oleh subyek. Salah menyebut yang tidak terkait adalah
penggunaan kata yang benar-benar berbeda arti dengan kata yang diharapkan
sehingga tidak berhubungan dengan konteks, tidak seperti parafasia (Maldonado,
2013).
Gambaran klinis lain adalah pikiran yang tidak terorganisir, bermanifes
sebagai bicara inkoheren dan bicara ngawur atau irelevant, atau alur pikir tidak jelas
9
atau tidak logis. Pasien mungkin tidak mampu membuat keputusan yang tepat, atau
melakukan tugas sederhana. Penilaian dan pikirannya buruk dan dapat pula timbul
delusi pada sekitar 30% kasus, terutama dengan sifat paranoid atau persekutor
(Popeo, 2011).
Gangguan persepsi juga dapat dideskripsikan pada subyek dengan delirium
yang meliputi ilusi dan misinterpretasi, muncul dari salah kesan terhadap stimulus
yang sebenarnya. Misalnya, pasien menjadi agitasi dan ketakutan, percaya bahwa
bayangan dalam ruangan adalah orang yang akan menyerang. Gangguan persepsi
juga dapat meliputi halusinasi, dimana sebenarnya tidak ada obyek. Halusinasi visual
merupakan yang paling sering terjadi, terutama di malam hari, dan pada sejumlah
kasus dapat terjadi di siang hari segera setelah pasien menutup mata. Isi halusinasi
cenderung sederhana, kadang hanya berupa warna, garis, atau bentuk. Namun, juga
dapat meliputi hewan yang berbahaya atau gambar aneh (Martin dan Fernandes,
2012).
Terdapat gambaran klinis lain yang sering berhubungan dengan delirium
yang tidak dimasukkan ke dalam kriteria diagnosis. Salah satunya adalah gangguan
siklus tidur-bangun, bercirikan ngantuk berlebihan di siang hari dengan insomnia di
malam hari, fragmentasi, dan kurang tidur atau siklus tidur yang benar-benar
terbalik. Sejumlah studi telah menemukan potensi peran gangguan tersebut, terutama
gangguan irama sirkadian dan fragmentasi tidur sebagai faktor kontributor penting
pada sindrom sundowning. Fenomena ini ditemukan pada pasien delirium yang
bercirikan perburukan perilaku disruptif di sore atau malam hari. Sindrom ini juga
dapat disebabkan oleh kelelahan dan penurunan input sensorik di malam hari
(Mistraletti, 2008).
10
Gangguan perilaku psikomotor adalah gambaran klinis lain pada delirium,
dengan aktivitas motorik yang meningkat atau menurun. Pada kasus pertama, pasien
dapat mengalami gelisah atau seringnya perubahan posisi yang tiba-tiba. Di sisi lain,
pasien juga dapat menunjukkan kelesuan atau letargi, mendekati kondisi stupor.
Gangguan emosi seperti cemas, ketakutan, iritabilitas, kemarahan, depresi, dan
euforia juga dapat terjadi. Gejala tersebut sering dipengaruhi oleh berbagai faktor
seperti kondisi medis atau bedah, karakteristik personal, gangguan psikiatrik
premorbid, atau peristiwa hidup terbaru (Boettger, 2012).
Delirium seharusnya berada dalam kategori gangguan kesadaran yang lebih
luas. Adapun beberapa penelitian menyarankan penggunan derajat untuk yang paling
berat sampai yang paling ringan: koma, kondisi vegetatif persisten, stupor, mutisme
akinetik, kondisi sadar minimal, delirium/kondisi konfusional. Taksonomi tersebut
akan menjadi satu kesatuan dengan suatu “area abu-abu” atau regio transisi yang
membatasi antara satu derajat dengan derajat lainnya. Pendekatan ini akan
memungkinkan kesatuan beratnya penyakit tersebut terkait delirium itu sendiri, yang
saat ini telah ditinggalkan pada DSM-IV (Boettger, 2013).
2.1.6 Diagnosis
Delirium sering tidak dikenali dan salah terdiagnosis oleh profesional medis.
Sekitar sepertiga sampai dua pertiga kasus delirium tidak terdiagnosis. Studi terbaru
di bagian gawat darurat menyimpulkan bahwa dokter di unit gawat darurat
melewatkan diagnosis delirium pada 76% kasus. Hal ini berhubungan dengan faktor
seperti sifat delirium yang fluktuatif, tumpang tindih dengan demensia dan depresi,
jarangnya pemeriksaan rutin terhadap kognitif secara formal di rumah sakit umum,
kurang apresiasi terhadap konsekuensi klinis, dan gagal memikirkan pentingnya
11
diagnosis tersebut. Empat faktor risiko independen untuk tidak dikenalinya delirium
oleh perawat: delirium hipoaktif, usia sangat tua, gangguan penglihatan, dan
demensia (Han, 2010).
Perlu dipikirkan tentang onset akut delirium dan perjalanannya yang
fluktuatif. Penting untuk memastikan tingkat fungsi kognitif dasar pasien serta
perjalanan perubahan kognitifnya. Dengan cara ini, diagnosis lebih mudah dibuat
jika sebelumnya terdapat pemeriksaan kemampuan kognitif. Dalam anamnesis,
penting untuk mencari informasi dari anggota keluarga/caregiver, dan/atau staf
medis dan perawat. Selanjutnya, pasien harus diperiksa lebih dari satu kali sehari di
siang hari unruk mendeteksi kemungkinan fluktuasi gejala ( Mittal dkk., 2011).
Adapun pemeriksaan lengkap yang perlu dilakukan untuk membantu
menegakkan
diagnosis
delirium
yakni
diantaranya pemeriksaan
neurologi,
pemeriksaan tingkat kesadaran dengan Glasgow Coma Scale, serta pemeriksaan
fungsi kognitif dengan alat yang sudah terstandardisasi seperti abbreviated mental
test score (AMTS). Disamping itu perlu dievaluasi adanya kondisi demam dan
ketergantungan alkohol. Adapun pemeriksaan penunjang yang perlu dilakukan untuk
mengevaluasi adanya penyebab dasar, yakni pemeriksaan darah lengkap, elektrolit,
kalsium, urea darah, test fungsi hati dan tiroid, kadar gula darah, foto polos dada,
elektrokardiografi, kultur darah, serta urinalisis ( Mittal dkk., 2011).
Penurunan perhatian adalah ciri penting lain pada delirium. Pemeriksaan
kognitif harus meliputi alat skrining kognitif global (misalnya: Mini Mental State
Examination,MMSE) serta pemeriksaan perhatian. Terdapat instrumen skrining yang
dapat mendeteksi penurunan perhatian secara cepat dan cukup sering digunakan
yaitu Digit Span Test dan Trail Making Test. Dalam konteks ini, penting pula untuk
mengingat bahwa perubahan gairah dapat mempengaruhi kinerja uji perhatian seperti
12
kondisi lainnya, misalnya kelelahan. Bahkan, berdasarkan beratnya delirium, tugas
kognitif dapat dipengaruhi secara proporsional oleh perhatian yang dibutuhkan pada
tugas tersebut (Grover., 2012).
Berdasarkan pedoman internasional terbaru (NICE 2010), semua orang tua
yang dirawat di rumah sakit atau tempat perawatan jangka panjang harus diskrining
untuk mencari tahu faktor risiko terjadinya delirium dan gangguan kognitif
menggunakan uji kognitif singkat (misalnya MMSE). Jika teridentifikasi perubahan
baru atau fluktuasi pada fungsi kognitif, persepsi, fungsi fisik, atau perilaku sosial
pada mereka yang berisiko, pemeriksaan klinis harus dilakukan berdasarkan kriteria
DSM-IV atau Confusion Assesment Method (CAM) untuk menegakkan diagnosis.
Evaluasi ini harus dikerjakan oleh profesional medis yang terlatih baik (Grover,
2012).
Confusion Assesment Method merupakan instrumen skrining delirium yang
banyak digunakan berdasarkan kriteria DSM-III-R. CAM dapat digunakan dengan
mudah pada kondisi klinis rutin oleh staf medis nonpsikiatrik atau staf perawat
dengan latihan sebelumnya. Versi singkatnya meliputi algoritme diagnostik,
berdasarkan empat ciri kardinal delirium yakni (1) onset akut dan perjalanan
fluktuatif; (2) penurunan perhatian; (3) pikiran tak terorganisir; dan (4) perubahan
tingkat kesadaran. Diagnosis delirium berdasarkan CAM membutuhkan ciri 1, 2,
disertai 3 atau 4 (Vietarra DW., 2012). Pada ruang rawat kritis (Intensive Care Unit,
ICU) atau ruang pemulihan pasca bedah, terutama pada pasien yang tidak dapat
berkomunikasi secara verbal, CAM-ICU (adaptasi dari CAM) harus digunakan. Studi
review terbaru menguatkan rekomendasi ini untuk mendukung penggunaan CAM
sebagai instrumen diagnostik (Adamis, 2010; Grover, 2012).
13
Identifikasi penyebab dasar penting untuk diagnosis delirium. Karena itu,
pemeriksaan fisik dan neurologis sangat penting, membantu menyingkirkan penyakit
infeksi, metabolik, endokrin, kardiovaskuler, dan penyakit serebrovaskuler.
Pemeriksaan fisik harus mencakup evaluasi tanda vital dengan saturasi oksigen.
Pemeriksaan umum harus difokuskan pada fungsi jantung dan paru. Di luar itu,
pemeriksaan neurologis harus memasukkan status mental dan temuan fokal.
Pendekatan diagnostik harus mencakup tes berikut seperti darah lengkap, kadar
ureum darah, kreatinin serum, elektrolit, gula darah, C-reactive protein (CRP), fungsi
hati, dan fungsi tiroid. Penting pula untuk mengidentifikasi penggunaan obat dan
senyawa lain misalnya alkohol atau benzodiazepin, yang dapat berkontribusi pada
penyakit ini (Mittal dkk, 2011).
Tidak ada pemeriksaan laboratorium, pencitraan otak atau tes lain yang lebih
akurat dibanding pemeriksaan klinis. Namun, mereka dapat berguna untuk
mengidentifikasi kemungkinan penyebab delirium dan faktor kontributor yang dapat
dikoreksi. Pada sejumlah kondisi, pencitraan otak dan elektroensefalografi (EEG)
bermanfaat, jika terdapat bukti kuat adanya penyebab intrakranial, berdasarkan
pemeriksaan klinis (misalnya perubahan status mental setelah terjadi benturan pada
kepala) atau jika tanda neurologis fokal atau aktivitas kejang terdeteksi saat
dilakukan pemeriksaan fisik (Choi, 2012)
2.2 Peranan Neuroinflamasi pada Delirium
2.2.1 Kondisi Klinis dengan Reaksi Inflamasi Sistemik yang Mencetuskan
terjadinya Delirium
Inflamasi sistemik sering merupakan gambaran yang nyata dari beberapa
kondisi medis dan bedah yang berhubungan dengan delirium, terutama ketika proses
14
ini melibatkan kerusakan jaringan dan atau infeksi. Oleh karena itu, delirium
merupakan manifestasi yang paling sering dari disfungsi multiorganik. Misalnya
pada kondisi sepsis, yang merupakan gambaran klinis dari infeksi saluran kemih atau
pneumonia (khususnya pada pasien lansia yang mengalami dementia) (Siami dkk.,
2008) atau merupakan komplikasi dari pembedahan mayor (O’Keeffe, Chonchubair,
1994).
Infeksi perifer mengaktivasi kaskade inflamasi yang diikuti pengenalan
komponen spesifik dari mikroorganisme, misalnya lipopolisakarida (LPS) dari
bakteri gram negatif, oleh fagosit dalam sirkulasi (Sheng dkk., 2003). Banyak sekali
faktor-faktor, misalnya kerusakan jaringan, kehilangan darah, nyeri dan anestesi
dapat mempengaruhi fungsi dari sel imunokompeten dan menghasilkan mediator
inflamasi. Bahkan pada kondisi yang steril, inflamasi dapat dipicu oleh kerusakan
jaringan dengan pelepasan ligan endogen, termasuk heat shock protein, hialuronan,
β-defensin dan kristal asam urat. Sitokin proinflamasi yang dihasilkan oleh makrofag
dan monosit, termasuk tumor necrosis alpha (TNF-α) dan IL-1 akan merangsang
ekspresi dari beberapa mediator yang berfungsi untuk menghasilkan sel inflamasi
lainnya yang akan merusak jaringan. Oleh karena itu, pada awalnya terjadi respon
imun lokal kemudian akan menyebar ke seluruh tubuh, sehingga respon sistemik
akan meningkatkan kadar sitokin dalam sirkulasi. Pada pembedahan jantung,
cardiopulmonal
bypass
tampaknya
merupakan
faktor
risiko
utama
yang
mengaktivasi komplemen dan mensekresikan sitokin proinflamasi yang berkontribusi
terhadap disfungsi multiorgan postoperasi. Peningkatan kadar mediator inflamasi
juga berhubungan dengan disfungsi organ postoperasi pada pembedahan nonkardiak
(Groeneveld dkk.,1997).
15
Pada banyak kondisi medis dan bedah, dimana delirium paling banyak
terjadi, pelepasan dan produksi mediator proinflamasi ke dalam sirkulasi merupakan
bagian dari proses patofisiologi. Bukti nyata yang secara langsung membuktikan
keterlibatan inflamasi sistemik dalam hal terjadinya delirium berasal dari beberapa
penelitian yang menyatakan bahwa kadar CRP, IL-6, IL-8 dan TNF-α tinggi pada
pasien yang mengalami delirium postoperasi dibandingkan dengan yang tidak
mengalami delirium (Van Munster dkk., 2008).
2.2.2 Efek Inflamasi Sistemik Akut terhadap Otak
2.2.2.1 Dari Proses Inflamasi Sistemik menjadi Neuroinflamasi
Saat ini sudah terbukti bahwa sel SSP bereaksi terhadap adanya sinyal imun
perifer, yang menyebabkan terjadinya produksi dari sitokin dan mediator inflamasi
lainnya di otak, kemudian terjadi proliferasi sel dan aktivasi hypothalamus-pituitaryadrenal axis melalui interaksi sistem yang kompleks. Respon imun alamiah ini
merupakan mekasime adaptasi yang penting karena mengatur respon sentral untuk
melawan infeksi akut. Beberapa mekanisme yang terlibat dalam respon ini adalah
(Hopkins, 2007):
1. Pengenalan langsung terhadap sinyal patogen atau mediator inflamasi pada
daerah-daerah dimana sawar darah otak terganggu atau tidak ada.
2. Sistem transport sitokin pada sawar darah otak yang bergantung pada energi
(energy-dependent) atau diproduksinya second messenger aktif di dalam sawar
darah otak.
3. Pengenalan aktivasi respon umun perifer oleh sel saraf sensoris yang membawa
informasi ke otak melalui sistem saraf otonom.
16
2.2.2.2 Kerusakan Sawar Darah Otak
Penelitian-penelitian
pada
binatang menunjukkan
bahwa
rangsangan
inflamasi perifer berhubungan dengan perubahan fungsi dan molekuler sawar darah
otak. Peningkatan permeabilitas sawar darah otak dan perubahan ekspresi protein
tight-junctional dilaporkan pada tiga model inflamasi yang berbeda. Injeksi LPS
merangsang kaskade inflamasi pada fase awal yang menyebabkan kerusakan sawar
darah otak, over-expresion dari molekul adhesi di sel endotel, perekrutan dan
infiltrasi dari derivat sel darah putih ke dalam jaringan otak (Nishioku, 2009).
Penelitian postmortem pada jaringan otak manusia juga menunjukkan hubungan
antara inflamsi sistemik dengan aktivasi sel sel endotel dan sel perivaskular.
Walaupun konfirmasi neuropatologi dari kerusakan sawar darah otak pada manusia
sangat sulit untuk dibuktikan, namun peningkatan kadar S100B
dapat
dipertimbangkan sebagai bukti terjadinya peningkatan permeabilitas sawar darah
otak (Munster dkk, 2010). Oleh karena itu, beberapa kondisi yang berhubungan
dengan inflamasi sistemik akut (misalnya syok sepsis dan pembedahan jantung)
mungkin berhubungan dengan disfungsi sawar darah otak. Demikian juga, kerusakan
sawar darah otak selama episode delirium dapat disimpulkan dari penelitian yang
menunjukkan peningkatan kadar S100B serum pada pasien lansia yang menderita
penyakit medis. Begitu pula delirium yang terjadi pada fase awal syok sepsis,
berhubungan dengan leucoencephalopathy pada otak. Hal inilah yang diperkirakan
sebagai penyebab terjadinya kerusakan sawar darah otak. Sebagai tambahan, faktor
lain yang mempengaruhi struktur dan fungsi dari sawar darah otak adalah hipoksia,
iskemik dan nyeri (Gambar 3) (Sharshar dkk., 2007).
17
2.2.2.3 Respon Sistem Saraf Pusat yang Diperantarai oleh Molekul-molekul dalam
Sirkulasi Sistemik
Pada SSP, bermacam-macam molekul, seperti LPS dapat berinteraksi secara
langsung dengan reseptor yang terdapat dalam sel endotel dan sel parenkim otak. Sel
mikroglia merupakan sel yaang paling bisa mendeteksi perubahan pada lingkungan
SSP melalui banyak resptor inti dan reseptor permukaan. Oleh karena itu, pada SSP
tikus, sel yang terletak pada pembuluh darah besar dan mikroglia mengekspersikan
Toll-like Recptor 4 (TLR4; reseptor dari LPS). Aktivasi TLR4 merupakan kunci
utama dalam respon inflamasi SSP terhadap LPS perifer. Ada juga bukti yang
menyatakan bahwa mediator lainya juga berpengaruh terhadap komunikasi antara sel
perifer dengan otak, termasuk TNF-α dan protein chemoattractant monosit. Sekali
teraktivasi, mikroglia mengalami perubahan morfologi dan bersamaan dengan itu,
mikroglia mengekspresikan beberapa molekul seperti MHC klas I, CD45, CD4,
ICAM-1, VLA-4, LFA-4 dan Fas. Setelah terstimulasi, beberapa mikroglia
mengekspersikan MHC klas II dan molekul B7. Perubahan ini bergabung dengan
produksi dari sitokin proinflamasi oleh mikroglia (TGF-B1, IL-1B, TNFa, IGF-1),
spesies oksigen reaktif (Reactive Oksigen Species, ROS) dan ekspansi dari populasi
mikroglia melalui proliferasi dari sel dan perekrutan dari sekitarnya atau melalui
darah (Block dkk., 2007).
Pengenalan awal rangsangan inflamasi di sawar darah otak diikuti oleh
aktivasi kaskade inflamasi yang mengakibatkan pergerakan sel-sel berdekatan dan
unit struktural neurovaskular. Sel endotel, astrosit, mikroglia, sel periset dan lamina
basal berinterkasi melalui perantaraan mediator inflamasi, termasuk sitokin, kemokin
dan metaloproteinase. Astrosit merupakan sel yang paling penting dalam
18
mengantarkan sinyal di dalam unit neurovaskular kepada bagian otak lainnya dengan
menggunakan kontrol multimodal dari transmisi sinaptik, eksitabilitas sel saraf dan
aliran darah otak (Block dkk., 2007).
Gambar 3. Pengenalan dan propagasi dari rangsangan imun perifer pada SSP.
Interakasi awal dari mediator inflamasi (sitokin proinflamasi dan LPS) dengan
unit neurovaskular terjadi melalui beberapa reseptor dan berkaitan dengan
peningkatan permeabilitas sawar darah otak (Cerejeira dkk, 2010).
2.2.2.4 Inflamasi Sistemik Akut dan Disfungsi Neurokognisi
Hasil akhir dari inflamasi sistemik tidak hanya berhubungan dengan delirium
tetapi juga dengan banyak gejala neuropsikiatri. Pada manusia yang sehat, studi
eksperimental dengan menggunakan endotoksin bakteri ternyata berefek terhadap
fungsi kognisi, status emosional dan pola tidur. Sitokin dalam sirkulasi mengalami
peningkatan setelah pemberian dosis sangat rendah dari LPS (0.2 ng/KgBB) dan
perubahan ini mempunyai pengaruh negatif terhadap memori (Qin., 2007). Yang
terbaru adalah sebuah penelitian menggunakan magneting resonance imaging (MRI)
yang mendokumentasikan tentang injeksi LPS pada manusia sehat ternyata
menyebabkan reaksi inflamasi sistemik yang menetap dan retardasi psikomotor. Hal
19
ini berhubungan dengan peningkatan aktivitas substansia nigra (SN) kiri (Brydon,
2008).
Perubahan fungsi kognitif yang terjadi setalah inflamasi sistemik yang akut
diperkirakan sebagai akibat dari interaksi selular dan molekular yang sinergis pada
bagian-bagian otak yang berbeda dan terutama pada hipokampus. Sitokin
proinflamatory IL-1 telah lama dikenal sebagai perusak hipokampus dan mempunyai
peranan penting pada proses neurofisiologis dari konsolidasi memori, dan modulasi
plastisitas sinaptik. IL-6 juga mempengaruhi disfungsi hipokampus. Sebaliknya, IL10 tampaknya mengimbangi efek IL-1 dan IL-6, dengan cara menghambat pengaruh
inflamasi sistemik terhadap perubahan kognisi dan perilaku. Demikian juga,
penurunan ekspresi hipokampal brain-derived growth factor (BDNF) dan
peningkatan stres oksidatif karena disfungsi mitokondria juga berpengaruh pada
defisit kemampuan belajar dan memori yang berhubungan dengan neuroinflamasi.
Hal ini memberi kesan bahwa reaksi kombinasi otak untuk menghasilkan ROS,
sitokin
proinflamasi,
metaloproteinase,
Nitrit
Oksida
(NO)
dan
kemokin
menyebabkan perubahan fungsional pada sel saraf, kemudian mempengaruhi
beberapa proses misalnya: plastisitas sinaptik, potensiasi jangka panjang, dan dapat
mengganggu memori dan proses belajar.
Ada bukti bahwa aktivasi mikroglia dan astrosit oleh sistem imun perifer
dapat mengakibatkan ketidak seimbangan Bax/Bcl-2 dan mempengaruhi sel
intraparenkim otak. Pada kasus yang fatal, misalnya syok sepsis, Sharsat dkk
melaporkan bahwa terjadi apoptosis sel glial dan sel saraf dalam pusat otonomik di
otak manusia. Lee dkk menduga bahwa aktivasi amyloidegenesis berhubungan
dengan neuroinflamasi, dimana hal ini merupakan mekanisme utama yang
20
mengakibatkan apoptosis dan kematian sel saraf serta disfungsi neurokognisi.
Rangkaian proses ini terjadi dalam sistem saraf pusat setelah adanya stimulasi
sistem imun perifer. Oleh karena itu, sekali terjadi paparan LPS atau TNF-α dapat
menimbulkan kehilangan saraf dopaminergik yang signifikan dalam SN, sekitar 27%
dalam tujuh bulan pertama dan bertambah berat (47%) dalam sepuluh bulan setelah
paparan pertama.
Secara keseluruhan, data-data ini menunjukkan bahwa paparan akut terhadap
inflamasi sistemik menyebabkan sindrom klinis neurokognisi yang dapat disamakan
dengan delirium. Hal ini disebabkan oleh reaksi neuroinflamasi yang mempengaruhi
fungsi sel saraf dan sinaptik. Sintesis asetilkolin sangat sensitif terhadap perubahan
homeostasis otak, dimana proses neuroinflamasi menimbulkan defisit kolinergik
yang berkaitan dengan ketidakseimbangan neurotransmiter lainnya, misalnya
dopamin, serotonin dan norephineprin. Ilmu pengetahuan saat ini tidak dapat
menjelaskan secara lengkap mekanisme yang pasti tentang apakah perubahan
struktural, fungsional dan neurokimiawi menimbulkan gejala kognisi, perilaku dan
emosional. Data dari bagian anestesi menggambarkan bahwa beberapa gejala utama
delirium melibatkan perubahan aspek dinamik dari aktivitas sel saraf, kemudian
mempengaruhi kemampuan otak untuk mengintegrasikan informasi melalui
diskoneksi fungsional dari struktur-struktur anatomi yang berbeda. Demikian juga,
perbedaan gambaran klinis mungkin timbul karena gangguan pada bagian otak yang
berbeda, yang dikenal sebagai pusat kesadaran, perhatian dan kewaspadaan.
Kemudian, mekanisme neuroinflamasi ini juga mungkin terlibat dalam beberapa
gejala spesifik delirium (Qin dkk., 2007).
21
2.3
Peranan Proses Penuaan pada Delirium
Proses penuaan yang disertai perubahan fisiologis pada penuaan merupakan
faktor risiko terjadinya delirium. Proses penuaan berhubungan perubahan pada otak
misalnya
pengaturaran neurotransmiter yang berkaitan dengan stress metabolik,
penurunan aliran darah otak , penurunan densitas vaskuler, kehilangan sel saraf
(terutama pada locus cereleus dan substantia nigra) dan penurunan transduksi
intraseluler. Proses-proses ini yang menjelaskan mengapa proses penuaan berkaitan
dengan beberapa gangguan defisist kognitif
dan peningkatan risiko dementia.
Beberapa penelitian menyatakan bahwa ada hubungan resiprokal antara delirium dan
penurunan fungsi kognitif. Dementia merupakan faktor risiko utama delirium pada
pasien-pasien usia lanjut dan kelanjutan proses delirium itu sendiri tampaknya
meningkatkan risiko penurunan fungsi kognisi, termasuk dementia.
Penuaan itu sendiri menunjukkan peningkatan jumlah mediator inflamasi di
dalam sirkulasi yang menunjukkan bahwa proses neurodegenerasi kronik yang
disebakan oleh respon inflamasi mengaktivasi sel mikroglia SSP. Sel mikroglia ini
menghasilkan respon inflamasi yang berlebihan terhadap perubahan imunologi.
Perubahan pada sistem imun yang berkaitan dengan penuaan (immunosenescence)
menyebabkan peningkatan sekresi sitokin oleh jaringan adiposit. Hal ini merupakan
penyebab utama inflamasi kronik, yang lebih dikenal sebagai “inflammaging”.
Proses inflamasi ini mungkin berkontribusi terhadap progresifitas penyakit melalui
produksi mediator inflamasi. Proses penuaan berhubungan dengan peningkatan nilai
baseline dua sampai empat kali mediator inflamasi termasuk sitokin dan protein fase
akut. Faktor-faktor lain yang berpengaruh terhadap delirium pada pasien usia lanjut
adalah lower cognitive reserves, kapasitas metabolik yang rendah, peningkatan
22
sensitivitas terhadap obat-obatan dan rendahnya threshold terhadap efek obat-obat
antikoloinergik.
Beberapa mekanisme utama yang berhubungan dengan peningkatan risiko
terjadinya delirium pada usai lanjut:
1. Kehilanagn sel saraf terutama pada lokus coereleus dan substantia nigra.
2. Perubahan pada berbagai sistem neurotransmitter.
3. Penurunan intergritas white matter yang berhubungan dengan usia.
4. Penurunan aliran darah otak, terutama pada gyrus cingulate anterior, basal
ganglia bilateral, bagian prefrontal kiri, bagian frontal lateral kiri dan bagian
temporal superior kiri, dan korteks insular.
5. Penurunan metabolisme oksigen pada otak.
6. Berkurangnya suplai oksigen (misalnya hipoksia).
7. Berkurangnya metabolism oksidatif otak.
2.4
Biomarker Delirium
Untuk meningkatkan diagnosis dan perawatan delirium, beberapa
biomarker telah diteliti sebagai alat penunjang untuk stratifikasi, diagnosis,
monitoring dan prognosis delirium. Penelitian-penelitian telah direview dan tidak
ditemukan evidence yang menyokong kegunaan klinis dari biomarker delirium,
walaupun beberapa biomarker seperti S100B, insulin-like growth factor (IGF)-1 dan
beberapa marker inflamasi telah menunjukkan hasil yang menjanjikan untuk
dievaluasi pada penelitian-penelitian berikutnya. Untuk meningkatkan diagnosis dan
perawatan, para peneliti telah mengidentifikasi beberapa biomarker yang mungkin
membantu dalam diagnosi, severitas, perkembangan terapi terbaru, monitoring
respon terapi dan hasil akhir dari delirium yang telah membaik (Khan dkk., 2011).
23
Patofisiologi delirium belum bisa dijelaskan dengan pasti dan mungkin
menunjukkan respon otak terhadap stres lokal atau sistemik yang melibatkan
interaksi jalur biologi sentral dan perifer yang menimbulkan gejala klinis delirium.
Ada dua hipotesis utama untuk menjelaskan mekanisme terjadinya delirium, yaitu:
teori neurotransmiter dan teori inflamasi. Teori neurotransmiter menggambarkan
kelebihan atau kekurangan beberapa neurotransmiter mengakibatkan timbulnya
gejala yang berhubungan dengan delirium. Seperti yang sudah dikemukan bahwa
delirium merupakan akibat dari interaksi yang kompleks antara berbagai faktor
presiposisi dan faktor presipitasi. Interaksi ini mengakibatkan ketidakseimbangan
neurotransmiter yang mengakibatkan terjadinya delirium, dimana terjadi pelepasan
dopamin yang berlebihan, defisiensi sintesis asetilkolin dan tinggi atau rendahnya
kadar serotonin dan gamma-amino-butiric-acid (GABA) (Cerejeira, 2012).
Teori inflamasi menekankan pada peran dari sitokin sebagai respon terhadap
adanya stressor pada delirium, termasuk diantaranya IL-1, IL-6, interferon danTNFα. Teori ini menggambarkan kesamaan gangguan berikut yang disebabkan oleh
pelepasan sitokin dan delirium. Berdasarkan penelitian pada binatang, kedua teori ini
tidak dapat berdiri sendiri melainkan saling mempengaruhi satu sama lain dalam
menjelaskan terjadinya delirium. Beberapa biomarker telah dihubungkan dengan
risiko terjadinya delirium, menilai aktivitas penyakit dan juga dihubungkan dengan
derajat severitas delirium itu sendiri. Genetik marker seperti Apolipoprotein (Apo)-E,
marker inflamasi (IL-6, IL-8, Kortisol, CRP) dan IGF-1 telah dihubungkan dengan
risiko terjadinya delirium pada pasien usia lanjut. Alel Apo-E merupakan faktor
risiko terjadinya delirium dan durasi delirium yang lebih lama. Tingginya kadar IL-8,
kortisol dan CRP mungkin dapat memprediksi terjdanya delirium bersamaan dengan
24
rendahnya kadar IGF-1. Dalam hal diagnosis dan penilaian aktivitas penyakit, serum
aktifitas antikolinergik (SAA), mediator inflamasi (IL-6 dan IL-8) dan IGF-1 juga
berkorelasi sangat kuat dengan delirium (Cerejeira dkk, 2012). Sedangkan kadar
S100B dan neuro-specific enolase (NSE) berhubungan dengan derajat severitas
delirium, dimana S100B merupakan faktor yang paling konsisten berhubungan
dengan delirim setelah dilakukan adjustmen terhadap beberapa variabel perancu (Aly
dkk., 2014).
Biomarker memegang peranan penting dalam menjelaskan patofisologi
delirium. Diagnosis, prognosis dan pengaruh jangka panjang dari delirium.
Biomarker dapat sangat berguna untuk perkembangan terapi delirium dan secara
tidak langsung bermanfaat untuk menilai severitas delirium. Secara umum biomarker
dapat diklasifikasikan menjadi dua kelompok, yaitu biomarker yang berhubungan
dengan risiko terjadinya delirium dan biomarker yang menggambarkan delirium itu
sendiri, dalam hal ini diagnosis, severitas dan lama delirium terjadi (Khan dkk.,
2011).
Keadaan tumpang tindih ditemukan antara marker inflamasi pada delirium
dan sistem kolinergik pasien. Asetilkolin bersifat menghambat pelepasan sitokin
proinflamasi IL-6 sehingga mengontrol inflamasi pada otak. Oleh karena itu, prosesproses yang menyebabkan sistem kolinergik gagal dengan berkurangnya simpanan
asetilkolin mungkin akan menyebabkan kontrol yang inadekuat terhadap kaskade
inflamasi dan mempengaruhi terjadinya delirium. Delirium juga dapat dilihat sebagai
perilaku penyakit yang diakibatkan oleh sitokin. Sitokin-sitiokin ini menyebabkan
terjadinya demam, kelemahan dan letargi sehingga menyebabkan gangguan
konsentrasi, gangguan tidur dan agitasi. Sitokin ini mengurangi aktiviats kolinergik
25
terutama pada usia lanjut dengan penyakit neurodegenratif misalnya penyakit
Alzheimer. Siklus berulang ini terus berlangsung, regulasi yang tidak adekuat dari
inflamasi karena menurunnya aktivitas kolinergik. Regulasi yang tidak adekuat ini
menjelaskan interaksi yang kompleks anatar teori inflamasi dan teori neurtransmiter
(Cerejeira dkk., 2012).
2.4.1 S100 Calcium Binding Protein B (S100B)
S100 merupakan protein dengan berat molekul 20kDa termasuk pada
superfamili S100/calmodulin/troponin C dari protein calcium binding EF-hand. S100
diisolasi dari otak manusia dan diperkirakan sebagai protein spesifik pada sel glia.
Sampai saat ini, ada 20 monomer family S100 yang telah teridentifikasi berdasarkan
kesamaan fungsi dan struktur. Hampir semua protein S100 dalam bentuk dimer dan
diakspresikan oleh sel-sel yag khusus. Dua monomer S100 (S100A1 dan S100B)
terdapat pada sel glia sistem saraf pusat dan pada beberapa sel perifer, misalnya: sel
Schwan, sel melanosit, sel adiposit dan sel kondrosit. Disamping itu, kedua monomer
ini juga ditemukan pada beberapa penyakit keganasan seperti melanoma, glioma,
karsinoma tiroid dan renal cell carcinoma (Macedo dkk., 2014). Pengukuran kadar
S100B pada serum telah menunjukkan kegunaan klinik untuk monitoring terapi dan
prognosis pasien dengan melanoma maligna. Beberapa penelitian juga menyatakan
bahwa kadar S100B serum berguna dalam manajemen pasien dengan cedera kepala,
henti jantung, pembedahan jantung dan stroke (Heizmann, 2002).
S100B merupakan biomarker yang menunjukkan injuri secara langsung pada
sel saraf, misalnya cedera kepala dan penyakit cerebrovascular. S100B menunjukkan
hal yang menjanjikan untuk menilai tingkat keparahan delirium. Astrosit melepaskan
S100B dan kadar S100B yang tinggi mungkin menunjukkan injuri tidak langsung
26
pada sel glia. Adanya hubungan yang kuat antara kadar S100B serum dengan
delirium setelah dilakukan adjustment terhadap variabel perancu. Pada ketiga
penelitian ini menunjukkan kadar S100B yang tinggi pada pasien yang mngalami
delirium. Salah satu penelitian melaporkan adanya korelasi antara S100B dengan
sitokin IL-6 dan IL-8 (Aly dkk., 2014).
2.4.2 Interleukin-6
Interleukin-6 merupakan glikoprotein multifungsi yang diproduksi oleh sel
normal dan sel yang mengalami transformasi, misalnya: sel T, monosit/makrofag,
fibroblast, hepatosit, sel endotel vaskular, cardiac mixoma, sel karsinoma kandung
kemih, sel mieloma, astroglioma dan glioblastoma. Produksi IL-6 pada sel-sel
tersebut diatas diatur baik secara positif maupun negatif
oleh berbagai sinyal
termasuk mitogen, stimulasi antigen, LPS, IL-1, TNF, dan virus (Scheller dkk.,
2011).
Pada SSP, sel astrosit merupakan sumber utama IL-6. Walaupun IL-6
mempunyai efek yang menguntungkan karena bersifat neurotropik, overekspresi dari
IL-6 pada umumnya bersifat merusak. Hal inilah yang berhubungan dengan
patofisiologi terjadinya gangguan pada SSP. Interleukin-6 sebagai marker inflamasi
mempunyai peranan dalam terjadinya delirium. Pada beberapa penelitian, IL-6
berhubungan dengan risiko terjadinya delirium, aktifitas penyakit dan diagnosis
delirium (Adamis dkk., 2007; Van Munster dkk., 2010).
2.5
Instrumen Diagnosis Delirium
Sebelum adanya revisi Diagnostic and Statistical Manual (DSM) III,
beberapa instrumen diagnsotik delirium masih belum terstandarisasi. Oleh karena itu,
sebelum tahun 1980, ada banyak istilah (gagal otak akut, acute confusional state,
27
sindrom organik akut, psikosis postoperasi, insufisiensi serebral, ensefalopati, dll)
yang digunakan dalam literatur untuk mengambarkan delirium. Kemudian dalam
beberapa tahun ini, ada beberapa instrumen yang telah dipakai untuk skrining,
diagnosis dan menilai derajat severitas delirium. Diantara berbagai instrumen
skrining delirium, NEECHAM confusion scale dan Delirium Observation Scale
merupakan yang paling cocok dipakai pada pasien-pasien di bangsal perawatan
bedah dan medik. Secara umum, instrumen-instrumen yang dipakai untuk
mendiagnosis delirium (seperti CAM, CAM-ICU, DRS-R-98, dan MDAS) selalu
mengacu pada kriteria DSM. Instrumen-intrumen tersebut mempunyai nilai
reliabilitas dan validitas yang baik. Diantara bermacam-macam instrumen delirium
ini, CAM merupakan yang paling sering digunakan sebagai instrumen diagnosis
karena akurasi, ringkas, dan mudah digunakan para klinisi (Grover dan Kate, 2012;
Adamis dkk, 2010).
Tabel 1. Beberapa Instrumen Klinis untuk Diagnosis Delirium (Grover dan
Kate, 2012).
Sensitivitas
DRS
≥ 10
95%
DRS-98-R
≥ 12
80%
MDAS
≥ 13
68%
MMSE
< 24
96%
Spesifitas
61%
76%
94%
38%
Negatif PA
89%
69%
63%
88%
Positif PA
80%
85%
95%
72%
Cutoff
2.5.1
Confusion Assesment Method (CAM)
Confusion Assesment Method merupakan alat diagnostik utama untuk
delirium yang banyak digunakan berdasarkan kriteria DSM-III-R dan diskusi panel
ahli. Versi singkatnya meliputi algoritme diagnostik, berdasarkan empat ciri kardinal
delirium yakni (1) onset akut dan perjalanan fluktuatif; (2) penurunan perhatian; (3)
pikiran tak terorganisir; dan (4) perubahan tingkat kesadaran. Diagnosis delirium
28
berdasarkan CAM membutuhkan ciri 1, 2, disertai 3 atau 4. Kelima butir lainnya
yang tidak tercakup dalam algoritma CAM, dianggap tidak memiliki kontribusi
apappun bagi spesivitas dan sensitivitas diagnostik. Kelima gambaran tersebut,
ketika ditambahkan sendiri atau dalam kombinasi yang bervariasi, tidak
meningkatkan sensitivitas, spesivitas atau rasio probabilitas. Keberadaan gambaran
satu dan dua serta salah satu dari butir tiga atau empat dalam algoritma CAM
memberikan kontribusi terbaik dari seluruh kombinasi yang dinilai. Butir satu dan
dua diidentifikasi sebagai gejala terpenting delirium dalam DSM III-R, sedangkan
gambaran tiga dan empat didukung oleh opini ahli dan praktek klinis dengan
pertimbangan bahwa dalam kondisi kesadaran yang menurun, pikiran yang tidak
tertata seringkali tidak dapat diperkirakan atau diketahui (Vietara, 2012).
Confusion Assesment Method memiliki sensitivitas (antara 77%-100%)
(Hesterman dkk, 2009) (Vresswijk dkk., 2009) dan spesifitas yang baik (antara 84%99%) (Laurila dkk., 2002) (Gonzales dkk., 2004). CAM juga memiliki nilai
predictive value yang tinggi (antara 97%-100%) ketika digunakan di unit gawat
darurat (Monette dkk., 2001).
Confusion Assesment Method dapat digunakan dengan mudah pada kondisi
klinis rutin oleh staf medis nonpsikiatrik atau staf perawat dengan latihan
sebelumnya. Pada ruang rawat kritis atau ruang pemulihan pasca bedah, terutama
pada pasien yang tidak dapat berkomunikasi secara verbal, CAM-IC (adaptasi dari
CAM) harus digunakan. Studi review terbaru menguatkan rekomendasi ini, mensitasi
bukti untuk mendukung penggunaan CAM sebagai instrumen diagnostik (Vietara,
2012).
29
2.5.2
Memorial Delirium Assesment Scale (MDAS)
Memorial Delirium Assesment Scale merupakan instrumen yang dipakai oleh
dokter untuk menilai tingkat keparahan delirium pada pasien-pasien yang menderita
penyakit medis. MDAS terdiri dari sepuluh item, dimana masing-masing item
memiliki nilai nol sampai tiga berdasarkan interaksi dengan pasien atau perilaku
pasien atau kejadian beberapa jam yang lalu. Sepuluh item pada MDAS
menggambarkan kriteria diagnostik delirium pada DSM IV.
Setiap item menilai gangguan kesadaran dan tingkat kesadaran, seperti pada
beberapa area dari fungsi kognisi (memori, perhatian, orientasi, dan gangguan
berpikir) dan aktivitas psikomotor. Item-item ini dihubungkan dengan gambaran
severitas atau intensitas dari gejala, dan telah ditinjau oleh dokter yang
berpengalaman untuk memastikan kemudahan pelaksanaan dan ketepatan penilaian.
MDAS hanya membutuhkan waktu ± 10 menit untuk dilakukan, observasi perilaku
dan tes pengenalan obyek. Ketika salah satu item tidak bisa dikerjakan, skor tetap
bisa dibagi rata dari item-item yaang bisa dikerjakan. MDAS dibuat dengan maksud
bahwa MDAS dapat dikerjakan beberapa kali pada hari yang sama, untuk menilai
secara objektif perubahan severitas delirium sebagai respon terhadap intervensi
klinis. Total skor MDAS secara signifikan dapat membedakan pasien delirium
dengan pasien-pasien yang mengalami gangguan kognisi lainnya atau mereka yang
tidak mengalami gangguan kognisi. MDAS dapat dipakai juga untuk mengdiagnosis
delirium dimana cutoff skornya adalah 13 (Breitbart dkk., 1997).
Validasi MDAS telah dilakukan oleh dua penelitian terpisah , dimana kedua
penelitian ini dikerjakan di Memorial Sloan King-Kettering Cancer Center antara
tahun 1992 sampai dengan tahun 1995. Penelitian yang pertama meneliti tentang
reliabilitass dan validasi diskriman dari MDAS dan penelitian kedua menilai
30
validitas dari MDAS. MDAS memiliki nilai interreliabilitas (0,92) dan konsistensi
internal yang tinggi (koefisien a = 0,91). MDAS juga menunjukkan korelasi yang
kuat dengan DRS (r = 0,88, p < 0,0001), MMSE (r = 0,91, P < 0,0001) dan Clinian’s
Global Ratings of Delirium Severity (r = 0,89, P < 0,0001) (Grover dan Kate, 2012).
Download