BAB II KAJIAN PUSTAKA 2.1 Delirium 2.1.1 Definisi Kata delirium berasal dari istilah latin delirare yang berarti menjadi “gila atau marah”. Istilah ini telah didokumentasikan di dalam literatur medis selama lebih dari 2000 tahun. Pertama kali dilaporkan pada masa Hippocrates yang menggunakan istilah phrenitis (gila) dan lethargus (letargi) untuk mendeskripsikan delirium subtipe hiperaktif dan hipoaktif. Sebagai istilah medis, delirium pertama digunakan oleh Celsus di abad pertama setelah Masehi untuk mendeskripsikan gangguan mental yang berhubungan dengan demam atau trauma kepala ( Mittal dkk., 2011) . Berbagai istilah telah digunakan dalam literatur untuk mendeskripsikan delirium, meliputi acute confusional state, acute brain syndrome, acute cerebral insufficiency, dan toxic-metabolic encephalopathy. Namun, delirium sekarang menjadi istilah yang dipilih dan disarankan untuk menerima istilah acute confusional syndrome sebagai sinonim untuk sindrom ini (Fong., 2009; Mittal dkk., 2011). Delirium merupakan adalah sebuah sindrom neuropsikiatrik yang kompleks dengan onset yang akut dan berfluktuasi. Sindrom ini mempengaruhi kesadaran dan fungsi kognitif yang mungkin diikuti oleh peningkatan aktivitas psikomotor. Selain itu delirium juga mempengaruhi atensi dan pada beberapa pasien ada yang mengalami gangguan depresi (Mittal dkk., 2011). 2.1.2 Epidemiologi Delirium adalah kondisi yang sering terjadi dan bersifat serius, terutama pada lanjut usia yang dirawat di rumah sakit, dan menyerang sekitar 30% diantaranya. 1 5 2 Studi terbaru melaporkan prevalensi delirium sebesar 10-31% saat pasien masuk dan insiden 3-29% selama masa rawat (Boettger, 2014). Risiko meningkat secara eksponensial di ruang rawat intensif, dengan prevalensi mencapai 80% dan di unit rawat paliatif dimana prevalensi dilaporkan sebesar 85%. Angka yang lebih tinggi juga ditemukan di kondisi bedah dengan insiden dilaporkan 10-70% setelah pembedahan, terutama pada pasien yang menjalani operasi kardiotoraks, prosedur ortopedi emergensi (perbaikan fraktur panggul), bedah vaskuler, atau operasi katarak (Munster, 2009). Studi pada lanjut usia yang datang ke unit gawat darurat melaporkan prevalensi 5-30% (Han, 2009). Selain sebagai tempat rawat jangka panjang, penghuni panti jompo merepresentasikan kelompok yang rentan, dan diperkirakan prevalensi delirium sekitar 3,4-33,3%. Di masyarakat, sesuai perkiraan, prevalensi rendah, berkisar antara 1-2% (Miller, 2008). 2.1.3 Etiologi Etiologi delirium biasanya multifaktorial. Namun, penelitian telah berhasil mengidentifikasi faktor risiko konsisten untuk delirium yang diklasifikasikan menjadi dua kelompok yakni faktor predisposisi dan faktor presipitasi. Faktor predisposisi adalah faktor yang membuat orang lanjut usia lebih rentan terhadap delirium dan faktor presipitasi terdiri dari faktor akut yang mencetuskan terjadinya delirium. Kombinasi kedua faktor itu harus ada pada orang lanjut usia yang delirium. Faktor predisposisi yang paling sering adalah usia lanjut, jenis kelamin pria, demensia dan depresi yang telah ada sebelumnya, gangguan visual dan pendengaran, ketergantungan fungsional, frailty, gangguan sensoris, dehidrasi dan malnutrisi, polifarmasi (terutama obat psikoaktif), penyalahgunaan alkohol dan kondisi medis berat yang terjadi bersamaan (Cerejeira, 2010; Maldonado, 2013). 3 Adapun beberapa faktor risiko terkait dengan delirium diantaranya usia yang lebih dari 65 tahun, adanya riwayat delirium, riwayat trauma/pembedahan, adanya komorbid demensia, depresi, gagal ginjal, penyakit hati, penurunan fungsi penglihatan dan pendengaran, serta adanya pengobatan spesifik (antikolinergik, narkotika, benzodiazepines, hipnotiks, anti inflamasi, beta bloker, diuretiks, dan antidepresan). Selain itu faktor risiko lain yang memicu delirium yakni adanya multifarmaka, stimulus lingkungan yang berlebihan, ketergantungan alkohol/obat, abnormalitas metabolik (elektrolit,kadar gula), infeksi akut (infeksi saluran kemih, pneumonia), serta ketidakadekuatan kontrol rasa nyeri (Maldonado, 2013). Setelah bertambah tuanya usia, demensia menjadi faktor risiko paling sering kedua untuk terjadinya delirium. Menurut Inouye pada tahun 2006, kerentanan yang mendasari otak pada pasien demensia dapat menjadi predisposisi bagi mereka untuk mengalami delirium, sebagai akibat gangguan yang berhubungan dengan penyakit medis akut, obat, serta faktor lingkungan (Inouye, 2006). Menurut Saxena dan Lawley pada tahun 2009, faktor presipitasi yang paling sering adalah: penyakit yang terjadi bersamaan (misalnya infeksi), komplikasi iatrogenik, gangguan metabolik, kondisi neurologis primer (misalnya stroke akut), operasi, obat (terutama benzodiazepin, analgetik narkotik, dan obat dengan efek antikolinergik). Nyeri yang tak terkontrol juga berhubungan dengan terjadinya delirium. Faktor lingkungan seperti masuk ruang rawat intensif, pasien dalam kondisi terikat, atau kateterisasi kandung kemih juga berkontribusi pada terjadinya delirium. Dalam konteks ini, Inouye dan Charpentier pada tahun 1996 menyajikan suatu model untuk memprediksikan terjadinya delirium pada pasien lanjut usia yang dirawat di rumah sakit, dengan faktor predisposisi yang lebih banyak dan lebih berat (pasien terikat, malnutrisi, 4 penggunaan lebih dari tiga obat pada hari sebelumnya, penggunaan kateter kandung kemih, dan kejadian iatrogenik), berhubungan dengan sejumlah faktor presipitasi (Cerejeira, 2010). Gambar 1. Model Multifaktorial dari Delirium (Maldonado, 2013) 2.1.4 Patogenesis Delirium Walaupun prevalensi dan angka morbiditasnya yang tinggi, mekanisme patogenesis dari delirium masih belum jelas sampai saat ini. Selama beberapa tahun ini, proses metabolik telah diperkirakan sebagai penyebab dari delirium. Sekitar lima puluh tahun lalu, Engel dan Romano mengatakan bahwa terganggunya fungsi metabolik mendasari terjadinya delirium dan hal ini digambarkan dengan terjadinya gangguan pada berbagai fungsi kognisi. Oleh karena itu, delirium merupakan sindrom neurobehavioral yang disebabkan oleh disregulasi aktivitas sel saraf akibat gangguan sistemik (Maldonado, 2013). Dalam beberapa tahun ini, beberapa teori telah dikemukan telah mencoba menjelaskan proses yang menyebabkan terjadinya delirium. Setiap teori yang diusulkan telah dipusatkan pada sebuah mekanisme atau proses patologi yang 5 spesifik. Beberapa teori telah diusulkan sebagai penyebab dari delirium, diantaranya adalah teori neuroinflamatory, neuronal aging, stres oksidatif, defisiensi neurotransmiter, neuroendokrin, disregulasi diurnal dan network conectivity. Sampai saat ini belum ada mekanisme patofisiologi tunggal yang telah didentifikasi sebagai penyebab delirium. Hampir semua teori-teori ini saling melengkapi bukan saling bersaing dalam menjelaskan terjadinya delirium. Oleh karena itu, teori-teori ini tampaknya tidak ada yang mampu menjelaskan secara sendiri-sendiri penyebab ataupun gejala delirium. Tetapi dua atau lebih teori-teori ini bersama-sama menyebabkan gangguan biokimiawi yang kemudian menyebabkan terjadinya delirium (Maldonado, 2013). Faktor presipitasi delirium (infeksi, trauma, obat – obat anestesi, pembedahan, hipoksia, hipoglikemia, gangguan metabolik) Neuroinflamasi Penuaan Network Disconnectivity Stress oksidatif Kelainan neuroendokrin Gangguan tidur / disregulasi melatonin Disregulasi neurotransmiter Gambar 2. Gambaran skematik yang menunjukkan interrelationship dari teori-teori ini dalam patofisologi terjadinya delirium (Maldonado, 2013). 2.1.5 Gambaran Klinis Berdasarkan kriteria DSM-IV, delirium dicirikan oleh gejala yang mulainya sangat cepat (biasanya dalam beberapa jam sampai hari) dan cenderung berfluktuasi, 6 dengan perubahan tingkat kesadaran, ketidakmampuan berfokus, perhatian yang bertahan atau teralih, dan perubahan kognitif (seperti gangguan memori, disorientasi, gangguan bahasa) atau terjadinya gangguan perseptual hanya dapat dijelaskan oleh demensia. Lebih lanjut, terdapat bukti dari anamnesis, pemeriksaan fisik, atau temuan laboratoris bahwa gangguan tersebut disebabkan oleh konsekuensi fisiologis langsung dari suatu kondisi medis umum, atau intoksikasi/withdrawal senyawa, atau karena berbagai penyebab (Popeo, 2011; Martins dan Fernandes, 2012). Awal perjalanan yang tiba-tiba dan akut adalah gambaran sentral delirium. Oleh karena itu, penting bagi kita untuk memastikan tingkat fungsi kognitif dasar pasien serta perjalanan perubahan kognitifnya. Kesadaran sebagai fungsi otak memungkinkan kewaspadaan terhadap dirinya sendiri serta kewaspadaan terhadap lingkungannya dan dicirikan oleh dua aspek utama: tingkat dan isi kesadaran. Tingkat kesadaran mencerminkan bangkitan kewaspadaan: bangun, tidur, atau koma. Isi kesadaran, atau bagiannya, dialami oleh subyek sebagai kewaspadaan terhadap dirinya sendiri serta lingkungannya saat subyek bangun dan sadar baik. Isi kesadaran dan kognitif hanya dapat diperiksa jika subyek minimal memiliki tingkat kesadaran tertentu (Browne, 2010; Popeo, 2011; Martins dan Fernandes, 2012). Pada delirium, gangguan kesadaran adalah salah satu manifestasi paling awal, yang sering berfluktuasi, terutama di malam hari saat stimulasi lingkungan berada pada titik terendah. Tingkat kesadaran dapat berflukutasi pada yang paling ekstrim untuk pasien yang sama, atau dapat muncul dengan tanda yang lebih ringan seperti mengantuk atau gangguan tingkat perhatian. Faktanya, pasien dapat tampak benarbenar mengantuk, letargi, atau bahkan semi-koma pada kasus yang lebih berat. 7 Ektrim yang berlawanan, sangat waspada, juga dapat terjadi, terutama pada kasus withdrawal alkohol atau obat sedatif (lebih jarang pada lanjut usia). Perhatian adalah proses yang memungkinkan kita untuk memilih stimulus yang relevan dari lingkungan, berfokus dan mempertahankan respon perilaku terhadap stimulus tersebut, dan mengubah aktivitas mental menuju stimulus yang lebih baru, mengorientasi ulang perilaku seseorang, berdasarkan relevansi stimulus. Perhatian merupakan fungsi yang berbeda dari kesadaran, namun tetap bersifat dependen. Oleh karena itu, berbagai derajat perhatian masih mungkin ditemukan pada subyek yang sadar baik, namun perhatian dan konsentrasi penuh tidak mungkin ditemukan pada penurunan kesadaran. Faktanya, perhatian dapat menurun secara patologis pada kondisi organik, biasanya dengan penurunan kesadaran tertentu (Browne, 2010; Popeo, 2011; Martins dan Fernandes, 2012). Pada delirium, terjadi penurunan perhatian dan juga dikatakan sebagai salah satu dari gambaran kardinal yang penting. Biasanya pasien tersebut mudah dialihkan perhatiannya oleh stimulus yang irelevant, atau memiliki kesulitan mengingat apa yang dikatakan pada anamnesis. Lebih lanjut, pertanyaan sebagian besar harus diulang karena perhatian subyek menyimpang. Biasanya terjadi defisit global atau multipel dalam hal kognitif, meliputi gangguan memori dan disorientasi. Faktanya, karena penurunan perhatian, registrasi informasi baru dapat terganggu sehingga mempengaruhi memori dan fungsi orientasi tertentu (Browne, 2010; Popeo, 2011; Martins dan Fernandes, 2012). Memori jangka pendek adalah yang paling sering terkena, namun kembalinya informasi yang telah tersimpan juga dapat terganggu. Misalnya pasien mungkin tidak mampu mengingat peristiwa di rumah sakit atau kesulitan mengingat instruksi. 8 Disorientasi biasanya sering terjadi, yang pertama terhadap waktu, berikutnya terhadap tempat. Namun, disorientasi dikatakan abnormal pada pasien rawat inap dengan sakit berat yang lama, tanpa acuan hari atau bulan. Fungsi pikir dan bicara menjadi tumpang tindih dan keduanya dapat terganggu pada kondisi delirium tertentu (Martins dan Fernandes, 2012). Kesulitan bahasa dan gangguannya pada pasien delirium mungkin lebih berhubungan dengan gangguan bangun dan tingkat perhatian, bukan penyebab spesifik, atau tetap masih tetap dapat menunjukkan terjadinya perubahan proses. Pada kasus gangguan global yang berat, konfabulasi dapat mendominasi, sehingga hanya ada sedikit kemungkinan untuk menilai bahasa, memori, dan isi pikiran. Seringkali bahasa dan bicara, yang mencakup membaca, hanya sedikit terpengaruh dibanding menulis, terutama pada kondisi ringan atau stadium awal. Sejumlah hal spesifik pada gangguan bahasa ditemukan dalam perjalanan delirium. Dalam satu studi, sering ditemukan salah menyebutkan, sama seringnya dengan yang ditemukan pada pasien demensia, namun berbeda dimana lebih sering terjadi dalam bentuk gangguan kata dan salah menyebut nama yang tidak terkait. Gangguan kata dapat dijelaskan oleh perseverasi. Pasien mengulang kata-kata yang sebelumnya diucapkan (sehingga menjadi perseverasi), bukan kata yang diharapkan yang tidak dapat ditemukan atau diucapkan oleh subyek. Salah menyebut yang tidak terkait adalah penggunaan kata yang benar-benar berbeda arti dengan kata yang diharapkan sehingga tidak berhubungan dengan konteks, tidak seperti parafasia (Maldonado, 2013). Gambaran klinis lain adalah pikiran yang tidak terorganisir, bermanifes sebagai bicara inkoheren dan bicara ngawur atau irelevant, atau alur pikir tidak jelas 9 atau tidak logis. Pasien mungkin tidak mampu membuat keputusan yang tepat, atau melakukan tugas sederhana. Penilaian dan pikirannya buruk dan dapat pula timbul delusi pada sekitar 30% kasus, terutama dengan sifat paranoid atau persekutor (Popeo, 2011). Gangguan persepsi juga dapat dideskripsikan pada subyek dengan delirium yang meliputi ilusi dan misinterpretasi, muncul dari salah kesan terhadap stimulus yang sebenarnya. Misalnya, pasien menjadi agitasi dan ketakutan, percaya bahwa bayangan dalam ruangan adalah orang yang akan menyerang. Gangguan persepsi juga dapat meliputi halusinasi, dimana sebenarnya tidak ada obyek. Halusinasi visual merupakan yang paling sering terjadi, terutama di malam hari, dan pada sejumlah kasus dapat terjadi di siang hari segera setelah pasien menutup mata. Isi halusinasi cenderung sederhana, kadang hanya berupa warna, garis, atau bentuk. Namun, juga dapat meliputi hewan yang berbahaya atau gambar aneh (Martin dan Fernandes, 2012). Terdapat gambaran klinis lain yang sering berhubungan dengan delirium yang tidak dimasukkan ke dalam kriteria diagnosis. Salah satunya adalah gangguan siklus tidur-bangun, bercirikan ngantuk berlebihan di siang hari dengan insomnia di malam hari, fragmentasi, dan kurang tidur atau siklus tidur yang benar-benar terbalik. Sejumlah studi telah menemukan potensi peran gangguan tersebut, terutama gangguan irama sirkadian dan fragmentasi tidur sebagai faktor kontributor penting pada sindrom sundowning. Fenomena ini ditemukan pada pasien delirium yang bercirikan perburukan perilaku disruptif di sore atau malam hari. Sindrom ini juga dapat disebabkan oleh kelelahan dan penurunan input sensorik di malam hari (Mistraletti, 2008). 10 Gangguan perilaku psikomotor adalah gambaran klinis lain pada delirium, dengan aktivitas motorik yang meningkat atau menurun. Pada kasus pertama, pasien dapat mengalami gelisah atau seringnya perubahan posisi yang tiba-tiba. Di sisi lain, pasien juga dapat menunjukkan kelesuan atau letargi, mendekati kondisi stupor. Gangguan emosi seperti cemas, ketakutan, iritabilitas, kemarahan, depresi, dan euforia juga dapat terjadi. Gejala tersebut sering dipengaruhi oleh berbagai faktor seperti kondisi medis atau bedah, karakteristik personal, gangguan psikiatrik premorbid, atau peristiwa hidup terbaru (Boettger, 2012). Delirium seharusnya berada dalam kategori gangguan kesadaran yang lebih luas. Adapun beberapa penelitian menyarankan penggunan derajat untuk yang paling berat sampai yang paling ringan: koma, kondisi vegetatif persisten, stupor, mutisme akinetik, kondisi sadar minimal, delirium/kondisi konfusional. Taksonomi tersebut akan menjadi satu kesatuan dengan suatu “area abu-abu” atau regio transisi yang membatasi antara satu derajat dengan derajat lainnya. Pendekatan ini akan memungkinkan kesatuan beratnya penyakit tersebut terkait delirium itu sendiri, yang saat ini telah ditinggalkan pada DSM-IV (Boettger, 2013). 2.1.6 Diagnosis Delirium sering tidak dikenali dan salah terdiagnosis oleh profesional medis. Sekitar sepertiga sampai dua pertiga kasus delirium tidak terdiagnosis. Studi terbaru di bagian gawat darurat menyimpulkan bahwa dokter di unit gawat darurat melewatkan diagnosis delirium pada 76% kasus. Hal ini berhubungan dengan faktor seperti sifat delirium yang fluktuatif, tumpang tindih dengan demensia dan depresi, jarangnya pemeriksaan rutin terhadap kognitif secara formal di rumah sakit umum, kurang apresiasi terhadap konsekuensi klinis, dan gagal memikirkan pentingnya 11 diagnosis tersebut. Empat faktor risiko independen untuk tidak dikenalinya delirium oleh perawat: delirium hipoaktif, usia sangat tua, gangguan penglihatan, dan demensia (Han, 2010). Perlu dipikirkan tentang onset akut delirium dan perjalanannya yang fluktuatif. Penting untuk memastikan tingkat fungsi kognitif dasar pasien serta perjalanan perubahan kognitifnya. Dengan cara ini, diagnosis lebih mudah dibuat jika sebelumnya terdapat pemeriksaan kemampuan kognitif. Dalam anamnesis, penting untuk mencari informasi dari anggota keluarga/caregiver, dan/atau staf medis dan perawat. Selanjutnya, pasien harus diperiksa lebih dari satu kali sehari di siang hari unruk mendeteksi kemungkinan fluktuasi gejala ( Mittal dkk., 2011). Adapun pemeriksaan lengkap yang perlu dilakukan untuk membantu menegakkan diagnosis delirium yakni diantaranya pemeriksaan neurologi, pemeriksaan tingkat kesadaran dengan Glasgow Coma Scale, serta pemeriksaan fungsi kognitif dengan alat yang sudah terstandardisasi seperti abbreviated mental test score (AMTS). Disamping itu perlu dievaluasi adanya kondisi demam dan ketergantungan alkohol. Adapun pemeriksaan penunjang yang perlu dilakukan untuk mengevaluasi adanya penyebab dasar, yakni pemeriksaan darah lengkap, elektrolit, kalsium, urea darah, test fungsi hati dan tiroid, kadar gula darah, foto polos dada, elektrokardiografi, kultur darah, serta urinalisis ( Mittal dkk., 2011). Penurunan perhatian adalah ciri penting lain pada delirium. Pemeriksaan kognitif harus meliputi alat skrining kognitif global (misalnya: Mini Mental State Examination,MMSE) serta pemeriksaan perhatian. Terdapat instrumen skrining yang dapat mendeteksi penurunan perhatian secara cepat dan cukup sering digunakan yaitu Digit Span Test dan Trail Making Test. Dalam konteks ini, penting pula untuk mengingat bahwa perubahan gairah dapat mempengaruhi kinerja uji perhatian seperti 12 kondisi lainnya, misalnya kelelahan. Bahkan, berdasarkan beratnya delirium, tugas kognitif dapat dipengaruhi secara proporsional oleh perhatian yang dibutuhkan pada tugas tersebut (Grover., 2012). Berdasarkan pedoman internasional terbaru (NICE 2010), semua orang tua yang dirawat di rumah sakit atau tempat perawatan jangka panjang harus diskrining untuk mencari tahu faktor risiko terjadinya delirium dan gangguan kognitif menggunakan uji kognitif singkat (misalnya MMSE). Jika teridentifikasi perubahan baru atau fluktuasi pada fungsi kognitif, persepsi, fungsi fisik, atau perilaku sosial pada mereka yang berisiko, pemeriksaan klinis harus dilakukan berdasarkan kriteria DSM-IV atau Confusion Assesment Method (CAM) untuk menegakkan diagnosis. Evaluasi ini harus dikerjakan oleh profesional medis yang terlatih baik (Grover, 2012). Confusion Assesment Method merupakan instrumen skrining delirium yang banyak digunakan berdasarkan kriteria DSM-III-R. CAM dapat digunakan dengan mudah pada kondisi klinis rutin oleh staf medis nonpsikiatrik atau staf perawat dengan latihan sebelumnya. Versi singkatnya meliputi algoritme diagnostik, berdasarkan empat ciri kardinal delirium yakni (1) onset akut dan perjalanan fluktuatif; (2) penurunan perhatian; (3) pikiran tak terorganisir; dan (4) perubahan tingkat kesadaran. Diagnosis delirium berdasarkan CAM membutuhkan ciri 1, 2, disertai 3 atau 4 (Vietarra DW., 2012). Pada ruang rawat kritis (Intensive Care Unit, ICU) atau ruang pemulihan pasca bedah, terutama pada pasien yang tidak dapat berkomunikasi secara verbal, CAM-ICU (adaptasi dari CAM) harus digunakan. Studi review terbaru menguatkan rekomendasi ini untuk mendukung penggunaan CAM sebagai instrumen diagnostik (Adamis, 2010; Grover, 2012). 13 Identifikasi penyebab dasar penting untuk diagnosis delirium. Karena itu, pemeriksaan fisik dan neurologis sangat penting, membantu menyingkirkan penyakit infeksi, metabolik, endokrin, kardiovaskuler, dan penyakit serebrovaskuler. Pemeriksaan fisik harus mencakup evaluasi tanda vital dengan saturasi oksigen. Pemeriksaan umum harus difokuskan pada fungsi jantung dan paru. Di luar itu, pemeriksaan neurologis harus memasukkan status mental dan temuan fokal. Pendekatan diagnostik harus mencakup tes berikut seperti darah lengkap, kadar ureum darah, kreatinin serum, elektrolit, gula darah, C-reactive protein (CRP), fungsi hati, dan fungsi tiroid. Penting pula untuk mengidentifikasi penggunaan obat dan senyawa lain misalnya alkohol atau benzodiazepin, yang dapat berkontribusi pada penyakit ini (Mittal dkk, 2011). Tidak ada pemeriksaan laboratorium, pencitraan otak atau tes lain yang lebih akurat dibanding pemeriksaan klinis. Namun, mereka dapat berguna untuk mengidentifikasi kemungkinan penyebab delirium dan faktor kontributor yang dapat dikoreksi. Pada sejumlah kondisi, pencitraan otak dan elektroensefalografi (EEG) bermanfaat, jika terdapat bukti kuat adanya penyebab intrakranial, berdasarkan pemeriksaan klinis (misalnya perubahan status mental setelah terjadi benturan pada kepala) atau jika tanda neurologis fokal atau aktivitas kejang terdeteksi saat dilakukan pemeriksaan fisik (Choi, 2012) 2.2 Peranan Neuroinflamasi pada Delirium 2.2.1 Kondisi Klinis dengan Reaksi Inflamasi Sistemik yang Mencetuskan terjadinya Delirium Inflamasi sistemik sering merupakan gambaran yang nyata dari beberapa kondisi medis dan bedah yang berhubungan dengan delirium, terutama ketika proses 14 ini melibatkan kerusakan jaringan dan atau infeksi. Oleh karena itu, delirium merupakan manifestasi yang paling sering dari disfungsi multiorganik. Misalnya pada kondisi sepsis, yang merupakan gambaran klinis dari infeksi saluran kemih atau pneumonia (khususnya pada pasien lansia yang mengalami dementia) (Siami dkk., 2008) atau merupakan komplikasi dari pembedahan mayor (O’Keeffe, Chonchubair, 1994). Infeksi perifer mengaktivasi kaskade inflamasi yang diikuti pengenalan komponen spesifik dari mikroorganisme, misalnya lipopolisakarida (LPS) dari bakteri gram negatif, oleh fagosit dalam sirkulasi (Sheng dkk., 2003). Banyak sekali faktor-faktor, misalnya kerusakan jaringan, kehilangan darah, nyeri dan anestesi dapat mempengaruhi fungsi dari sel imunokompeten dan menghasilkan mediator inflamasi. Bahkan pada kondisi yang steril, inflamasi dapat dipicu oleh kerusakan jaringan dengan pelepasan ligan endogen, termasuk heat shock protein, hialuronan, β-defensin dan kristal asam urat. Sitokin proinflamasi yang dihasilkan oleh makrofag dan monosit, termasuk tumor necrosis alpha (TNF-α) dan IL-1 akan merangsang ekspresi dari beberapa mediator yang berfungsi untuk menghasilkan sel inflamasi lainnya yang akan merusak jaringan. Oleh karena itu, pada awalnya terjadi respon imun lokal kemudian akan menyebar ke seluruh tubuh, sehingga respon sistemik akan meningkatkan kadar sitokin dalam sirkulasi. Pada pembedahan jantung, cardiopulmonal bypass tampaknya merupakan faktor risiko utama yang mengaktivasi komplemen dan mensekresikan sitokin proinflamasi yang berkontribusi terhadap disfungsi multiorgan postoperasi. Peningkatan kadar mediator inflamasi juga berhubungan dengan disfungsi organ postoperasi pada pembedahan nonkardiak (Groeneveld dkk.,1997). 15 Pada banyak kondisi medis dan bedah, dimana delirium paling banyak terjadi, pelepasan dan produksi mediator proinflamasi ke dalam sirkulasi merupakan bagian dari proses patofisiologi. Bukti nyata yang secara langsung membuktikan keterlibatan inflamasi sistemik dalam hal terjadinya delirium berasal dari beberapa penelitian yang menyatakan bahwa kadar CRP, IL-6, IL-8 dan TNF-α tinggi pada pasien yang mengalami delirium postoperasi dibandingkan dengan yang tidak mengalami delirium (Van Munster dkk., 2008). 2.2.2 Efek Inflamasi Sistemik Akut terhadap Otak 2.2.2.1 Dari Proses Inflamasi Sistemik menjadi Neuroinflamasi Saat ini sudah terbukti bahwa sel SSP bereaksi terhadap adanya sinyal imun perifer, yang menyebabkan terjadinya produksi dari sitokin dan mediator inflamasi lainnya di otak, kemudian terjadi proliferasi sel dan aktivasi hypothalamus-pituitaryadrenal axis melalui interaksi sistem yang kompleks. Respon imun alamiah ini merupakan mekasime adaptasi yang penting karena mengatur respon sentral untuk melawan infeksi akut. Beberapa mekanisme yang terlibat dalam respon ini adalah (Hopkins, 2007): 1. Pengenalan langsung terhadap sinyal patogen atau mediator inflamasi pada daerah-daerah dimana sawar darah otak terganggu atau tidak ada. 2. Sistem transport sitokin pada sawar darah otak yang bergantung pada energi (energy-dependent) atau diproduksinya second messenger aktif di dalam sawar darah otak. 3. Pengenalan aktivasi respon umun perifer oleh sel saraf sensoris yang membawa informasi ke otak melalui sistem saraf otonom. 16 2.2.2.2 Kerusakan Sawar Darah Otak Penelitian-penelitian pada binatang menunjukkan bahwa rangsangan inflamasi perifer berhubungan dengan perubahan fungsi dan molekuler sawar darah otak. Peningkatan permeabilitas sawar darah otak dan perubahan ekspresi protein tight-junctional dilaporkan pada tiga model inflamasi yang berbeda. Injeksi LPS merangsang kaskade inflamasi pada fase awal yang menyebabkan kerusakan sawar darah otak, over-expresion dari molekul adhesi di sel endotel, perekrutan dan infiltrasi dari derivat sel darah putih ke dalam jaringan otak (Nishioku, 2009). Penelitian postmortem pada jaringan otak manusia juga menunjukkan hubungan antara inflamsi sistemik dengan aktivasi sel sel endotel dan sel perivaskular. Walaupun konfirmasi neuropatologi dari kerusakan sawar darah otak pada manusia sangat sulit untuk dibuktikan, namun peningkatan kadar S100B dapat dipertimbangkan sebagai bukti terjadinya peningkatan permeabilitas sawar darah otak (Munster dkk, 2010). Oleh karena itu, beberapa kondisi yang berhubungan dengan inflamasi sistemik akut (misalnya syok sepsis dan pembedahan jantung) mungkin berhubungan dengan disfungsi sawar darah otak. Demikian juga, kerusakan sawar darah otak selama episode delirium dapat disimpulkan dari penelitian yang menunjukkan peningkatan kadar S100B serum pada pasien lansia yang menderita penyakit medis. Begitu pula delirium yang terjadi pada fase awal syok sepsis, berhubungan dengan leucoencephalopathy pada otak. Hal inilah yang diperkirakan sebagai penyebab terjadinya kerusakan sawar darah otak. Sebagai tambahan, faktor lain yang mempengaruhi struktur dan fungsi dari sawar darah otak adalah hipoksia, iskemik dan nyeri (Gambar 3) (Sharshar dkk., 2007). 17 2.2.2.3 Respon Sistem Saraf Pusat yang Diperantarai oleh Molekul-molekul dalam Sirkulasi Sistemik Pada SSP, bermacam-macam molekul, seperti LPS dapat berinteraksi secara langsung dengan reseptor yang terdapat dalam sel endotel dan sel parenkim otak. Sel mikroglia merupakan sel yaang paling bisa mendeteksi perubahan pada lingkungan SSP melalui banyak resptor inti dan reseptor permukaan. Oleh karena itu, pada SSP tikus, sel yang terletak pada pembuluh darah besar dan mikroglia mengekspersikan Toll-like Recptor 4 (TLR4; reseptor dari LPS). Aktivasi TLR4 merupakan kunci utama dalam respon inflamasi SSP terhadap LPS perifer. Ada juga bukti yang menyatakan bahwa mediator lainya juga berpengaruh terhadap komunikasi antara sel perifer dengan otak, termasuk TNF-α dan protein chemoattractant monosit. Sekali teraktivasi, mikroglia mengalami perubahan morfologi dan bersamaan dengan itu, mikroglia mengekspresikan beberapa molekul seperti MHC klas I, CD45, CD4, ICAM-1, VLA-4, LFA-4 dan Fas. Setelah terstimulasi, beberapa mikroglia mengekspersikan MHC klas II dan molekul B7. Perubahan ini bergabung dengan produksi dari sitokin proinflamasi oleh mikroglia (TGF-B1, IL-1B, TNFa, IGF-1), spesies oksigen reaktif (Reactive Oksigen Species, ROS) dan ekspansi dari populasi mikroglia melalui proliferasi dari sel dan perekrutan dari sekitarnya atau melalui darah (Block dkk., 2007). Pengenalan awal rangsangan inflamasi di sawar darah otak diikuti oleh aktivasi kaskade inflamasi yang mengakibatkan pergerakan sel-sel berdekatan dan unit struktural neurovaskular. Sel endotel, astrosit, mikroglia, sel periset dan lamina basal berinterkasi melalui perantaraan mediator inflamasi, termasuk sitokin, kemokin dan metaloproteinase. Astrosit merupakan sel yang paling penting dalam 18 mengantarkan sinyal di dalam unit neurovaskular kepada bagian otak lainnya dengan menggunakan kontrol multimodal dari transmisi sinaptik, eksitabilitas sel saraf dan aliran darah otak (Block dkk., 2007). Gambar 3. Pengenalan dan propagasi dari rangsangan imun perifer pada SSP. Interakasi awal dari mediator inflamasi (sitokin proinflamasi dan LPS) dengan unit neurovaskular terjadi melalui beberapa reseptor dan berkaitan dengan peningkatan permeabilitas sawar darah otak (Cerejeira dkk, 2010). 2.2.2.4 Inflamasi Sistemik Akut dan Disfungsi Neurokognisi Hasil akhir dari inflamasi sistemik tidak hanya berhubungan dengan delirium tetapi juga dengan banyak gejala neuropsikiatri. Pada manusia yang sehat, studi eksperimental dengan menggunakan endotoksin bakteri ternyata berefek terhadap fungsi kognisi, status emosional dan pola tidur. Sitokin dalam sirkulasi mengalami peningkatan setelah pemberian dosis sangat rendah dari LPS (0.2 ng/KgBB) dan perubahan ini mempunyai pengaruh negatif terhadap memori (Qin., 2007). Yang terbaru adalah sebuah penelitian menggunakan magneting resonance imaging (MRI) yang mendokumentasikan tentang injeksi LPS pada manusia sehat ternyata menyebabkan reaksi inflamasi sistemik yang menetap dan retardasi psikomotor. Hal 19 ini berhubungan dengan peningkatan aktivitas substansia nigra (SN) kiri (Brydon, 2008). Perubahan fungsi kognitif yang terjadi setalah inflamasi sistemik yang akut diperkirakan sebagai akibat dari interaksi selular dan molekular yang sinergis pada bagian-bagian otak yang berbeda dan terutama pada hipokampus. Sitokin proinflamatory IL-1 telah lama dikenal sebagai perusak hipokampus dan mempunyai peranan penting pada proses neurofisiologis dari konsolidasi memori, dan modulasi plastisitas sinaptik. IL-6 juga mempengaruhi disfungsi hipokampus. Sebaliknya, IL10 tampaknya mengimbangi efek IL-1 dan IL-6, dengan cara menghambat pengaruh inflamasi sistemik terhadap perubahan kognisi dan perilaku. Demikian juga, penurunan ekspresi hipokampal brain-derived growth factor (BDNF) dan peningkatan stres oksidatif karena disfungsi mitokondria juga berpengaruh pada defisit kemampuan belajar dan memori yang berhubungan dengan neuroinflamasi. Hal ini memberi kesan bahwa reaksi kombinasi otak untuk menghasilkan ROS, sitokin proinflamasi, metaloproteinase, Nitrit Oksida (NO) dan kemokin menyebabkan perubahan fungsional pada sel saraf, kemudian mempengaruhi beberapa proses misalnya: plastisitas sinaptik, potensiasi jangka panjang, dan dapat mengganggu memori dan proses belajar. Ada bukti bahwa aktivasi mikroglia dan astrosit oleh sistem imun perifer dapat mengakibatkan ketidak seimbangan Bax/Bcl-2 dan mempengaruhi sel intraparenkim otak. Pada kasus yang fatal, misalnya syok sepsis, Sharsat dkk melaporkan bahwa terjadi apoptosis sel glial dan sel saraf dalam pusat otonomik di otak manusia. Lee dkk menduga bahwa aktivasi amyloidegenesis berhubungan dengan neuroinflamasi, dimana hal ini merupakan mekanisme utama yang 20 mengakibatkan apoptosis dan kematian sel saraf serta disfungsi neurokognisi. Rangkaian proses ini terjadi dalam sistem saraf pusat setelah adanya stimulasi sistem imun perifer. Oleh karena itu, sekali terjadi paparan LPS atau TNF-α dapat menimbulkan kehilangan saraf dopaminergik yang signifikan dalam SN, sekitar 27% dalam tujuh bulan pertama dan bertambah berat (47%) dalam sepuluh bulan setelah paparan pertama. Secara keseluruhan, data-data ini menunjukkan bahwa paparan akut terhadap inflamasi sistemik menyebabkan sindrom klinis neurokognisi yang dapat disamakan dengan delirium. Hal ini disebabkan oleh reaksi neuroinflamasi yang mempengaruhi fungsi sel saraf dan sinaptik. Sintesis asetilkolin sangat sensitif terhadap perubahan homeostasis otak, dimana proses neuroinflamasi menimbulkan defisit kolinergik yang berkaitan dengan ketidakseimbangan neurotransmiter lainnya, misalnya dopamin, serotonin dan norephineprin. Ilmu pengetahuan saat ini tidak dapat menjelaskan secara lengkap mekanisme yang pasti tentang apakah perubahan struktural, fungsional dan neurokimiawi menimbulkan gejala kognisi, perilaku dan emosional. Data dari bagian anestesi menggambarkan bahwa beberapa gejala utama delirium melibatkan perubahan aspek dinamik dari aktivitas sel saraf, kemudian mempengaruhi kemampuan otak untuk mengintegrasikan informasi melalui diskoneksi fungsional dari struktur-struktur anatomi yang berbeda. Demikian juga, perbedaan gambaran klinis mungkin timbul karena gangguan pada bagian otak yang berbeda, yang dikenal sebagai pusat kesadaran, perhatian dan kewaspadaan. Kemudian, mekanisme neuroinflamasi ini juga mungkin terlibat dalam beberapa gejala spesifik delirium (Qin dkk., 2007). 21 2.3 Peranan Proses Penuaan pada Delirium Proses penuaan yang disertai perubahan fisiologis pada penuaan merupakan faktor risiko terjadinya delirium. Proses penuaan berhubungan perubahan pada otak misalnya pengaturaran neurotransmiter yang berkaitan dengan stress metabolik, penurunan aliran darah otak , penurunan densitas vaskuler, kehilangan sel saraf (terutama pada locus cereleus dan substantia nigra) dan penurunan transduksi intraseluler. Proses-proses ini yang menjelaskan mengapa proses penuaan berkaitan dengan beberapa gangguan defisist kognitif dan peningkatan risiko dementia. Beberapa penelitian menyatakan bahwa ada hubungan resiprokal antara delirium dan penurunan fungsi kognitif. Dementia merupakan faktor risiko utama delirium pada pasien-pasien usia lanjut dan kelanjutan proses delirium itu sendiri tampaknya meningkatkan risiko penurunan fungsi kognisi, termasuk dementia. Penuaan itu sendiri menunjukkan peningkatan jumlah mediator inflamasi di dalam sirkulasi yang menunjukkan bahwa proses neurodegenerasi kronik yang disebakan oleh respon inflamasi mengaktivasi sel mikroglia SSP. Sel mikroglia ini menghasilkan respon inflamasi yang berlebihan terhadap perubahan imunologi. Perubahan pada sistem imun yang berkaitan dengan penuaan (immunosenescence) menyebabkan peningkatan sekresi sitokin oleh jaringan adiposit. Hal ini merupakan penyebab utama inflamasi kronik, yang lebih dikenal sebagai “inflammaging”. Proses inflamasi ini mungkin berkontribusi terhadap progresifitas penyakit melalui produksi mediator inflamasi. Proses penuaan berhubungan dengan peningkatan nilai baseline dua sampai empat kali mediator inflamasi termasuk sitokin dan protein fase akut. Faktor-faktor lain yang berpengaruh terhadap delirium pada pasien usia lanjut adalah lower cognitive reserves, kapasitas metabolik yang rendah, peningkatan 22 sensitivitas terhadap obat-obatan dan rendahnya threshold terhadap efek obat-obat antikoloinergik. Beberapa mekanisme utama yang berhubungan dengan peningkatan risiko terjadinya delirium pada usai lanjut: 1. Kehilanagn sel saraf terutama pada lokus coereleus dan substantia nigra. 2. Perubahan pada berbagai sistem neurotransmitter. 3. Penurunan intergritas white matter yang berhubungan dengan usia. 4. Penurunan aliran darah otak, terutama pada gyrus cingulate anterior, basal ganglia bilateral, bagian prefrontal kiri, bagian frontal lateral kiri dan bagian temporal superior kiri, dan korteks insular. 5. Penurunan metabolisme oksigen pada otak. 6. Berkurangnya suplai oksigen (misalnya hipoksia). 7. Berkurangnya metabolism oksidatif otak. 2.4 Biomarker Delirium Untuk meningkatkan diagnosis dan perawatan delirium, beberapa biomarker telah diteliti sebagai alat penunjang untuk stratifikasi, diagnosis, monitoring dan prognosis delirium. Penelitian-penelitian telah direview dan tidak ditemukan evidence yang menyokong kegunaan klinis dari biomarker delirium, walaupun beberapa biomarker seperti S100B, insulin-like growth factor (IGF)-1 dan beberapa marker inflamasi telah menunjukkan hasil yang menjanjikan untuk dievaluasi pada penelitian-penelitian berikutnya. Untuk meningkatkan diagnosis dan perawatan, para peneliti telah mengidentifikasi beberapa biomarker yang mungkin membantu dalam diagnosi, severitas, perkembangan terapi terbaru, monitoring respon terapi dan hasil akhir dari delirium yang telah membaik (Khan dkk., 2011). 23 Patofisiologi delirium belum bisa dijelaskan dengan pasti dan mungkin menunjukkan respon otak terhadap stres lokal atau sistemik yang melibatkan interaksi jalur biologi sentral dan perifer yang menimbulkan gejala klinis delirium. Ada dua hipotesis utama untuk menjelaskan mekanisme terjadinya delirium, yaitu: teori neurotransmiter dan teori inflamasi. Teori neurotransmiter menggambarkan kelebihan atau kekurangan beberapa neurotransmiter mengakibatkan timbulnya gejala yang berhubungan dengan delirium. Seperti yang sudah dikemukan bahwa delirium merupakan akibat dari interaksi yang kompleks antara berbagai faktor presiposisi dan faktor presipitasi. Interaksi ini mengakibatkan ketidakseimbangan neurotransmiter yang mengakibatkan terjadinya delirium, dimana terjadi pelepasan dopamin yang berlebihan, defisiensi sintesis asetilkolin dan tinggi atau rendahnya kadar serotonin dan gamma-amino-butiric-acid (GABA) (Cerejeira, 2012). Teori inflamasi menekankan pada peran dari sitokin sebagai respon terhadap adanya stressor pada delirium, termasuk diantaranya IL-1, IL-6, interferon danTNFα. Teori ini menggambarkan kesamaan gangguan berikut yang disebabkan oleh pelepasan sitokin dan delirium. Berdasarkan penelitian pada binatang, kedua teori ini tidak dapat berdiri sendiri melainkan saling mempengaruhi satu sama lain dalam menjelaskan terjadinya delirium. Beberapa biomarker telah dihubungkan dengan risiko terjadinya delirium, menilai aktivitas penyakit dan juga dihubungkan dengan derajat severitas delirium itu sendiri. Genetik marker seperti Apolipoprotein (Apo)-E, marker inflamasi (IL-6, IL-8, Kortisol, CRP) dan IGF-1 telah dihubungkan dengan risiko terjadinya delirium pada pasien usia lanjut. Alel Apo-E merupakan faktor risiko terjadinya delirium dan durasi delirium yang lebih lama. Tingginya kadar IL-8, kortisol dan CRP mungkin dapat memprediksi terjdanya delirium bersamaan dengan 24 rendahnya kadar IGF-1. Dalam hal diagnosis dan penilaian aktivitas penyakit, serum aktifitas antikolinergik (SAA), mediator inflamasi (IL-6 dan IL-8) dan IGF-1 juga berkorelasi sangat kuat dengan delirium (Cerejeira dkk, 2012). Sedangkan kadar S100B dan neuro-specific enolase (NSE) berhubungan dengan derajat severitas delirium, dimana S100B merupakan faktor yang paling konsisten berhubungan dengan delirim setelah dilakukan adjustmen terhadap beberapa variabel perancu (Aly dkk., 2014). Biomarker memegang peranan penting dalam menjelaskan patofisologi delirium. Diagnosis, prognosis dan pengaruh jangka panjang dari delirium. Biomarker dapat sangat berguna untuk perkembangan terapi delirium dan secara tidak langsung bermanfaat untuk menilai severitas delirium. Secara umum biomarker dapat diklasifikasikan menjadi dua kelompok, yaitu biomarker yang berhubungan dengan risiko terjadinya delirium dan biomarker yang menggambarkan delirium itu sendiri, dalam hal ini diagnosis, severitas dan lama delirium terjadi (Khan dkk., 2011). Keadaan tumpang tindih ditemukan antara marker inflamasi pada delirium dan sistem kolinergik pasien. Asetilkolin bersifat menghambat pelepasan sitokin proinflamasi IL-6 sehingga mengontrol inflamasi pada otak. Oleh karena itu, prosesproses yang menyebabkan sistem kolinergik gagal dengan berkurangnya simpanan asetilkolin mungkin akan menyebabkan kontrol yang inadekuat terhadap kaskade inflamasi dan mempengaruhi terjadinya delirium. Delirium juga dapat dilihat sebagai perilaku penyakit yang diakibatkan oleh sitokin. Sitokin-sitiokin ini menyebabkan terjadinya demam, kelemahan dan letargi sehingga menyebabkan gangguan konsentrasi, gangguan tidur dan agitasi. Sitokin ini mengurangi aktiviats kolinergik 25 terutama pada usia lanjut dengan penyakit neurodegenratif misalnya penyakit Alzheimer. Siklus berulang ini terus berlangsung, regulasi yang tidak adekuat dari inflamasi karena menurunnya aktivitas kolinergik. Regulasi yang tidak adekuat ini menjelaskan interaksi yang kompleks anatar teori inflamasi dan teori neurtransmiter (Cerejeira dkk., 2012). 2.4.1 S100 Calcium Binding Protein B (S100B) S100 merupakan protein dengan berat molekul 20kDa termasuk pada superfamili S100/calmodulin/troponin C dari protein calcium binding EF-hand. S100 diisolasi dari otak manusia dan diperkirakan sebagai protein spesifik pada sel glia. Sampai saat ini, ada 20 monomer family S100 yang telah teridentifikasi berdasarkan kesamaan fungsi dan struktur. Hampir semua protein S100 dalam bentuk dimer dan diakspresikan oleh sel-sel yag khusus. Dua monomer S100 (S100A1 dan S100B) terdapat pada sel glia sistem saraf pusat dan pada beberapa sel perifer, misalnya: sel Schwan, sel melanosit, sel adiposit dan sel kondrosit. Disamping itu, kedua monomer ini juga ditemukan pada beberapa penyakit keganasan seperti melanoma, glioma, karsinoma tiroid dan renal cell carcinoma (Macedo dkk., 2014). Pengukuran kadar S100B pada serum telah menunjukkan kegunaan klinik untuk monitoring terapi dan prognosis pasien dengan melanoma maligna. Beberapa penelitian juga menyatakan bahwa kadar S100B serum berguna dalam manajemen pasien dengan cedera kepala, henti jantung, pembedahan jantung dan stroke (Heizmann, 2002). S100B merupakan biomarker yang menunjukkan injuri secara langsung pada sel saraf, misalnya cedera kepala dan penyakit cerebrovascular. S100B menunjukkan hal yang menjanjikan untuk menilai tingkat keparahan delirium. Astrosit melepaskan S100B dan kadar S100B yang tinggi mungkin menunjukkan injuri tidak langsung 26 pada sel glia. Adanya hubungan yang kuat antara kadar S100B serum dengan delirium setelah dilakukan adjustment terhadap variabel perancu. Pada ketiga penelitian ini menunjukkan kadar S100B yang tinggi pada pasien yang mngalami delirium. Salah satu penelitian melaporkan adanya korelasi antara S100B dengan sitokin IL-6 dan IL-8 (Aly dkk., 2014). 2.4.2 Interleukin-6 Interleukin-6 merupakan glikoprotein multifungsi yang diproduksi oleh sel normal dan sel yang mengalami transformasi, misalnya: sel T, monosit/makrofag, fibroblast, hepatosit, sel endotel vaskular, cardiac mixoma, sel karsinoma kandung kemih, sel mieloma, astroglioma dan glioblastoma. Produksi IL-6 pada sel-sel tersebut diatas diatur baik secara positif maupun negatif oleh berbagai sinyal termasuk mitogen, stimulasi antigen, LPS, IL-1, TNF, dan virus (Scheller dkk., 2011). Pada SSP, sel astrosit merupakan sumber utama IL-6. Walaupun IL-6 mempunyai efek yang menguntungkan karena bersifat neurotropik, overekspresi dari IL-6 pada umumnya bersifat merusak. Hal inilah yang berhubungan dengan patofisiologi terjadinya gangguan pada SSP. Interleukin-6 sebagai marker inflamasi mempunyai peranan dalam terjadinya delirium. Pada beberapa penelitian, IL-6 berhubungan dengan risiko terjadinya delirium, aktifitas penyakit dan diagnosis delirium (Adamis dkk., 2007; Van Munster dkk., 2010). 2.5 Instrumen Diagnosis Delirium Sebelum adanya revisi Diagnostic and Statistical Manual (DSM) III, beberapa instrumen diagnsotik delirium masih belum terstandarisasi. Oleh karena itu, sebelum tahun 1980, ada banyak istilah (gagal otak akut, acute confusional state, 27 sindrom organik akut, psikosis postoperasi, insufisiensi serebral, ensefalopati, dll) yang digunakan dalam literatur untuk mengambarkan delirium. Kemudian dalam beberapa tahun ini, ada beberapa instrumen yang telah dipakai untuk skrining, diagnosis dan menilai derajat severitas delirium. Diantara berbagai instrumen skrining delirium, NEECHAM confusion scale dan Delirium Observation Scale merupakan yang paling cocok dipakai pada pasien-pasien di bangsal perawatan bedah dan medik. Secara umum, instrumen-instrumen yang dipakai untuk mendiagnosis delirium (seperti CAM, CAM-ICU, DRS-R-98, dan MDAS) selalu mengacu pada kriteria DSM. Instrumen-intrumen tersebut mempunyai nilai reliabilitas dan validitas yang baik. Diantara bermacam-macam instrumen delirium ini, CAM merupakan yang paling sering digunakan sebagai instrumen diagnosis karena akurasi, ringkas, dan mudah digunakan para klinisi (Grover dan Kate, 2012; Adamis dkk, 2010). Tabel 1. Beberapa Instrumen Klinis untuk Diagnosis Delirium (Grover dan Kate, 2012). Sensitivitas DRS ≥ 10 95% DRS-98-R ≥ 12 80% MDAS ≥ 13 68% MMSE < 24 96% Spesifitas 61% 76% 94% 38% Negatif PA 89% 69% 63% 88% Positif PA 80% 85% 95% 72% Cutoff 2.5.1 Confusion Assesment Method (CAM) Confusion Assesment Method merupakan alat diagnostik utama untuk delirium yang banyak digunakan berdasarkan kriteria DSM-III-R dan diskusi panel ahli. Versi singkatnya meliputi algoritme diagnostik, berdasarkan empat ciri kardinal delirium yakni (1) onset akut dan perjalanan fluktuatif; (2) penurunan perhatian; (3) pikiran tak terorganisir; dan (4) perubahan tingkat kesadaran. Diagnosis delirium 28 berdasarkan CAM membutuhkan ciri 1, 2, disertai 3 atau 4. Kelima butir lainnya yang tidak tercakup dalam algoritma CAM, dianggap tidak memiliki kontribusi apappun bagi spesivitas dan sensitivitas diagnostik. Kelima gambaran tersebut, ketika ditambahkan sendiri atau dalam kombinasi yang bervariasi, tidak meningkatkan sensitivitas, spesivitas atau rasio probabilitas. Keberadaan gambaran satu dan dua serta salah satu dari butir tiga atau empat dalam algoritma CAM memberikan kontribusi terbaik dari seluruh kombinasi yang dinilai. Butir satu dan dua diidentifikasi sebagai gejala terpenting delirium dalam DSM III-R, sedangkan gambaran tiga dan empat didukung oleh opini ahli dan praktek klinis dengan pertimbangan bahwa dalam kondisi kesadaran yang menurun, pikiran yang tidak tertata seringkali tidak dapat diperkirakan atau diketahui (Vietara, 2012). Confusion Assesment Method memiliki sensitivitas (antara 77%-100%) (Hesterman dkk, 2009) (Vresswijk dkk., 2009) dan spesifitas yang baik (antara 84%99%) (Laurila dkk., 2002) (Gonzales dkk., 2004). CAM juga memiliki nilai predictive value yang tinggi (antara 97%-100%) ketika digunakan di unit gawat darurat (Monette dkk., 2001). Confusion Assesment Method dapat digunakan dengan mudah pada kondisi klinis rutin oleh staf medis nonpsikiatrik atau staf perawat dengan latihan sebelumnya. Pada ruang rawat kritis atau ruang pemulihan pasca bedah, terutama pada pasien yang tidak dapat berkomunikasi secara verbal, CAM-IC (adaptasi dari CAM) harus digunakan. Studi review terbaru menguatkan rekomendasi ini, mensitasi bukti untuk mendukung penggunaan CAM sebagai instrumen diagnostik (Vietara, 2012). 29 2.5.2 Memorial Delirium Assesment Scale (MDAS) Memorial Delirium Assesment Scale merupakan instrumen yang dipakai oleh dokter untuk menilai tingkat keparahan delirium pada pasien-pasien yang menderita penyakit medis. MDAS terdiri dari sepuluh item, dimana masing-masing item memiliki nilai nol sampai tiga berdasarkan interaksi dengan pasien atau perilaku pasien atau kejadian beberapa jam yang lalu. Sepuluh item pada MDAS menggambarkan kriteria diagnostik delirium pada DSM IV. Setiap item menilai gangguan kesadaran dan tingkat kesadaran, seperti pada beberapa area dari fungsi kognisi (memori, perhatian, orientasi, dan gangguan berpikir) dan aktivitas psikomotor. Item-item ini dihubungkan dengan gambaran severitas atau intensitas dari gejala, dan telah ditinjau oleh dokter yang berpengalaman untuk memastikan kemudahan pelaksanaan dan ketepatan penilaian. MDAS hanya membutuhkan waktu ± 10 menit untuk dilakukan, observasi perilaku dan tes pengenalan obyek. Ketika salah satu item tidak bisa dikerjakan, skor tetap bisa dibagi rata dari item-item yaang bisa dikerjakan. MDAS dibuat dengan maksud bahwa MDAS dapat dikerjakan beberapa kali pada hari yang sama, untuk menilai secara objektif perubahan severitas delirium sebagai respon terhadap intervensi klinis. Total skor MDAS secara signifikan dapat membedakan pasien delirium dengan pasien-pasien yang mengalami gangguan kognisi lainnya atau mereka yang tidak mengalami gangguan kognisi. MDAS dapat dipakai juga untuk mengdiagnosis delirium dimana cutoff skornya adalah 13 (Breitbart dkk., 1997). Validasi MDAS telah dilakukan oleh dua penelitian terpisah , dimana kedua penelitian ini dikerjakan di Memorial Sloan King-Kettering Cancer Center antara tahun 1992 sampai dengan tahun 1995. Penelitian yang pertama meneliti tentang reliabilitass dan validasi diskriman dari MDAS dan penelitian kedua menilai 30 validitas dari MDAS. MDAS memiliki nilai interreliabilitas (0,92) dan konsistensi internal yang tinggi (koefisien a = 0,91). MDAS juga menunjukkan korelasi yang kuat dengan DRS (r = 0,88, p < 0,0001), MMSE (r = 0,91, P < 0,0001) dan Clinian’s Global Ratings of Delirium Severity (r = 0,89, P < 0,0001) (Grover dan Kate, 2012).