perkembangan investasi dan kaitannya dengan penerimaan

advertisement
PERKEMBANGAN INVESTASI DAN KAITANNYA
DENGAN PENERIMAAN DEVISA DAN PENYERAPAN
TENAGA KERJA DI SUB SEKTOR PERIKANAN
Oleh:
Saptana, Hermanto, Victor T. Manurung
dan Mat Syukuro
Abstrak
Investasi pihak swasta pada sub sektor perikanan rakyat dapat dikatakan berkembang,
terutama oleh pihak Swasta Nasional. Namun, di sisi lain selama periode 1985 hingga 1990
terlihat bahwa realisasi investasi lebih rendah dari pada rencana. Hal ini menunjukkan bahwa
daya serap sub sektor perikanan masih rendah terhadap investasi. Perkembangan investasi
tidak hanya terlihat dari besarnya investasi dan laju pertumbuhannya, melainkan juga dari
segi keragaman jenis usaha yang dikembangkan. Akhir-akhir ini jenis usaha dalam sub sektor
perikanan yang dikembangkan oleh pihak swasta semakin banyak ragamnya. Namun
perkembangan investasi oleh pihak swasta pada sub sektor ini tidak diikuti secara proporsional
oleh perkembangan nilai ekspor yang mereka hasilkan. Selama periode 1968-1990 peranan
pihak swasta pada sub sektor perikanan dalam penyerapan tenaga kerja relatif kecil. Secara
umum rasio tenaga kerja dengan investasi pada sub sektor ini lebih kecil dibandingkan dengan
rasio tersebut pada sub sektor lain dalam lingkungan sektor pertanian. Tampaknya teknologi
yang digunakan oleh pihak swasta dalam sub sektor perikanan lebih bersifat padat modal
dibandingkan dengan teknologi yang digunakan oleh sub sektor lainnya. Selain itu, ada
indikasi bahwa teknologi yang digunakan oleh pihak swasta asing dalam usaha perikanan
lebih bersifat padat modal dibandingkan dengan teknologi yang digunakan oleh Swasta
Nasional. Oleh sebab itu jika kita ingin mengembangkan ekspor produksi perikanan sekaligus
meningkatkan kesempatan kerja, maka investasi Swasta Nasional lebih tepat dikembangkan
dari pada investasi Swasta Asing.
PENDAHULUAN
Dalam rangka mempersiapkan tahap tinggal
landas, maka sub sektor perikanan di dalam Pelita
VI dipandang sebagai sumber pertumbuhan baru.
Beberapa argumen yang melandasi pemikiran tersebut adalah : (1) potensi sumberdaya perikanan
tersedia cukup besar dan belum sepenuhnya dimanfaatkan, (2) sebagai sumber protein hewani dan
bahan baku industri domestik, (3) beberapa komoditas perikanan mempunyai daya keunggulan komparatif di pasar internasional, (4) kemampuannya
dalam menyerap kesempatan kerja dan (5) untuk
meningkatkan pendapatan petani/nelayan.
Sejauh mana sub sektor perikanan dapat didayagunakan sangat dipengaruhi oleh peran investasi pada sub sektor ini, baik yang bersumber
dari Penanaman Modal Asing (PMA), Penanaman
Modal Dalam Negeri (PMDN), maupun yang bersumber dari Swasta Nasional. Peran pihak swasta
untuk menanam modalnya pada bidang perikanan
ini sangat penting mengingat sub sektor ini dikelola
oleh sebagian besar petani ikan dan nelayan kecil
sehingga laju pemanfaatan sumberdaya tersebut
berjalan dengan lambat hingga kini. Tanpa kehadiran pihak swasta ini, sangat sulit diharapkan
bidang perikanan itu dapat berkembang dengan
cepat, karena sifat pendayagunaan bidang perikanan itu relatif termasuk padat modal.
I)
Staf Peneliti Pusat Penelitian Sosial Ekonomi Pertanian,
Bogor.
1
Kapital merupakan sumberdaya langka. Oleh
sebab itu, dalam kegiatan ekonomi, alokasi sumberdaya kapital itu seyogyanya akan diprioritaskan
pada kegiatan yang mampu memberikan keuntungan yang lebih tinggi. Pengambil keputusan ekonomi, apakah pemerintah atau pihak swasta akan
mengikuti kriteria investasi, dimana mereka akan
memusatkan diri pada kegiatan ekonomi yang
mempunyai rasio kapital-output yang paling kecil
(Henrick and Kindleberger, 1983). Namun, di
negara-negara sedang berkembang seperti Indonesia, bukan hanya kapital yang langka. Teknologi,
ketrampilan, manajemen dan faktor sosial juga ikut
mempengaruhi penanaman modal/kapital dalam
kegiatan ekonomi.
Investasi dalam dunia perikanan telah berjalan
cukup lama, baik oleh perusahaan asing maupun
swasta nasional. Sesuai dengan keinginan pemerintah bahwa sub sektor perikanan ini merupakan
sumber pertumbuhan baru dalam pembangunan
pertanian di Indonesia, maka salah satu pertanyaan
yang relevan untuk diajukan di sini adalah :
Bagaimana perkembangan investasi pada bidang ini
dan peranannya terhadap devisa dan kesempatan
kerja. Jawaban terhadap pertanyaan ini merupakan
informasi berharga dalam upaya mengembangkan
usaha perikanan pada masa datang.
METODA PENELITIAN
Penelitian ini dilakukan dengan metoda survei
dan studi kasus. Strategi pengumpulan datanya
dilaksanakan secara sistematis mulai dari tingkat
pusat hingga ke daerah. Pengumpulan data dilakukan di tingkat pusat (Jakarta), Badan Koordinasi
Penanaman Modal, Direktorat Jenderal Perikanan
dan di tingkat daerah, Dinas Perikanan dan beberapa perusahaan cold storage di Kodya dan
Kabupaten Cirebon.
Data yang digunakan dalam penelitian ini
adalah data primer dan data sekunder. Data primer,
selain data kuantitatif juga data kualitatif. Data
kualitatif ini sangat penting, terutama untuk menjelaskan permasalahan yang sulit untuk dikualifikasikan. Analisis data bersifat deskriptif dan time
series secara tabulasi. Tulisan ini merupakan bagian
dari penelitian Pusat Penelitian Sosial Ekonomi
Pertanian (P/SE) yang berjudul : Analisis Peran
Perusahaan Multinasional dan Nasional Dalam
Investasi di Subsektor Perkebunan, Perikanan dan
Peternakan, yang dilaksanakan pada tahun 1992.
2
PERKEMBANGAN DAN POLA INVESTASI
SUBSEKTOR PERIKANAN
Perkembangan Investasi Sub Sektor Perikanan
Investasi yang ditanam dalam sub sektor perikanan berasal dari beberapa sumber, yaitu Penanaman Modal Asing (PMA), Penanaman Modal
Dalam Negeri (PMDN) dan Swasta Nasional non
PMA/PMDN. Masuknya investasi tiap-tiap sumber itu tidak selalu sama. Investasi yang bersumber
dari PMA relatif baru berkembang sejak tahun
1985, yaitu dengan masuknya negara-negara penanam modal asing selain Jepang seperti Amerika
Serikat, Belanda, Denmark, Hongkong, Singapura,
Swedia, Taiwan dan Thailand. Sebelum periode
tersebut, Jepang adalah negara investor utama yang
menanamkan modalnya pada sub sektor perikanan
di Indonesia. Pada tulisan ini pembahasan tentang
investasi tersebut akan difokuskan pada periode 6
tahun, yakni dari tahun 1985 —1990. Informasi
secara keseluruhan mengenai perkembangan investasi PMA pada sub sektor perikanan dapat
disimak pada Tabel 1.
Pada Tabel 1 tersebut dapat dilihat bahwa
jumlah perusahaan PMA telah meningkat dari 16
buah (1985) menjadi 28 buah (1990) atau meningkat
dengan laju 14,26 persen per tahun. Pada periode
yang sama realisasi investasi yang bersumber dari
PMA di sub sektor perikanan juga mengalami
peningkatan, yaitu dari US $ 68,2 juta meningkat
menjadi US $ 108,00 juta pada tahun 1990 atau
meningkat dengan laju pertumbuhan sebesar 9,0
persen per tahun. Namun realisasi investasi perusahaan PMA ini masih lebih rendah dari pada
jumlah investasi yang direncanakan. Dari tahun
1985 — 1990 rata-rata realisasi hanya 80,48 persen
dari rencana investasi. Selain itu pada periode
tersebut terlihat adanya indikasi bahwa laju
pertumbuhan itu menurun, walaupun kecil.
Investasi di sub sektor perikanan yang bersumber dari PMDN dari tahun 1985 — 1990 disajikan pada Tabel 2. Suatu hal yang menggembirakan
adalah jumlah unit perusahaan yang meningkat
sebesar 38,29 persen, dan realisasi investasi 42,51
persen. Namun di balik itu, walaupun investasi
meningkat, tetapi realisasi lebih rendah daripada
rencana dan secara proporsional cenderung menurun, yakni 16,80 persen per tahun dalam periode
1985 —1990. Kecenderungan ini berjalan seperti
yang terjadi pada PMA.
Tabel 1. Perkembangan jumlah perusahaan dan jumlah investasi PMA di Indonesia pada
sub sektor perikanan, tahun 1985 -1990
Jumlah perusahaan
(buah)
Rencana
investasi
(juta US $)
1985
1986
1987
1988
1989
1990
16
15
15
18
27
28
96,30
89,40
91,30
99,20
147,40
149,40
68,20
80,80
83,00
85,20
107,02
108,00
70,82
90,38
90,91
85,89
72,61
72,29
Rata-rata
Laju pertumbuhan
(%/th)
20
112,20
88,70
80,48
14,26
11,40
9,00
- 1,81
Tahun
Realisasi investasi
% dan rencana
(juta US $)
Sumber: BKPM, diolah oleh Ditjen Perikanan, Jakarta, 1992.
Tabel 2. Perkembangan jtunlah perusahaan dan jumlah investasi PMDN, tahun 1985 -1990
Tahun
1985
1986
1987
1988
1989
1990
Rata-rata
Trend
(0/o/th)
Jumlah perusahaan
(buah)
Rencana
investasi
(juta Rp)
12
21
53
86
120
127
36.324
50.298
301.438
571.836
835.657
921.738
19.151
29.276
80.714
149.380
233.340
271.424
52,73
58,21
26,78
26,13
27,93
29,45
71
452.880
130.550
36,87
44,50
42,51
38,29
Realisasi investasi
dan rencana
Juta Rp
- 16,80
Sumber: BKPM, diolah oleh Ditjen Perikanan, Jakarta, 1992.
Selain sumber investasi dari PMA dan PMDN,
investasi pada bidang perikanan sebagian juga berasal dari Swasta Nasional Non PMA dan PMDN.
Tabel 3 memperlihatkan perkembangan jumlah
perusahaan dan investasi yang berasal dari Swasta
Nasional Non PMA dan PMDN. Pada Tabel itu
dapat dilihat bahwa jumlah rencana investasi dan
realisasinya meningkat dan tahun 1985 hingga 1990,
demikian halnya yang terjadi pada jumlah perusahaan. Selama periode tersebut jumlah perusahaan, rencana investasi dan realisasinya secara berturut-turut meningkat sebesar 46 persen, 50,49
persen dan 52,52 persen per tahun.
Kondisi ini berbeda dengan kedua sumber
investasi yang disebut terdahulu. Perkembangan
investasi yang bersumber dan Swasta Nasional Non
PMA dan PMDN ini, yang diukur dari laju pertumbuhannya, lebih tinggi jika dibandingkan
dengan investasi yang berasal dan sumber investasi
PMA dan PMDN. Namun di balik keberhasilan itu,
pangsa atau persentasi realisasi investasi dari
Perusahaan Swasta Nasional Non PMA/ PMDN
lebih kecil dari pada kedua lainnya.
Gambaran tentang perkembangan investasi
yang bersumber dan PMA, PMDN dan Swasta
Nasional non PMA/PMDN merefleksikan beberapa hal sebagai berikut : (1) telah terjadi
perkembangan minat investor dalam menanamkan
modalnya pada sub sektor perikanan yang ditunjukkan oleh perkembangan jumlah perusahaan dan
realisasi investasi yang ditanamkan; (2) daya serap
sub sektor perikanan terhadap investasi masih
3
Tabel 3. Perkembangan jumlah perusahaan dan jumlah investasi Swasta Nasional Non
PMA/PMDN, tahun 1985 —1990
Tahun
1985
1986
1987
1988
1989
1990
Rata-rata
Laju pertumbuhan
(%/th)
Jumlah perusahaan
(buah)
Rencana
investasi
(juta Rp)
Realisasi investasi
e/o dari rencana
Juta US $
13
16
25
42
114
137
17.370
32.414
43.002
81.690
280.244
315.086
5.666
8.431
17.159
26.937
88.467
117.636
32,62
26,01
39,09
32,98
31,57
37,34
58
128.451
44.049
33,27
46
50,49
52,52
2,93
Sumber: BKPM, diolah oleh Ditjen Perikanan, Jakarta, 1992.
relatif rendah, hal ini dapat ditunjukkan oleh
perkembangan pangsa realisasi terhadap rencana
investasi PMA dan PMDN yang semakin mengecil;
(3) investor asing (PMA) telah menanamkan modalnya di sub sektor perikanan secara lebih mantap
dan terencana, hal ini ditunjukkan oleh jumlah
investasi dan pangsa realisasi terhadap rencana
investasi yang lebih besar dibandingkan PMDN dan
Swasta Nasional Non PMA/PMDN.
Suatu hal yang menarik untuk dikaji lagi dari
kondisi atau perkembangan investasi tersebut
adalah realisasi investasi yang lebih rendah dari
pada rencana secara keseluruhan dan perbedaan
pangsa realisasi antar sumber investasi. Seperti kita
ketahui bahwa perkembangan investasi tidak hanya
ditentukan oleh ketersediaan dana, potensi sumberdaya dan permintaan pasar terhadap produk yang
dihasilkan, melainkan juga oleh faktor lain, seperti
manajemen dan faktor sosial lainnya.
Menurut Cernea yang diterjemahkan oleh
Basilius (1988), walaupun kebutuhan akan sumberdaya berupa uang tidak dapat dibantah lagi pentingnya, harus diakui bahwa program-program
pertanian seringkali terlantar, bukan karena kurangnya uang dari luar, tetapi karena ketidakmampuan masyarakat untuk menyerap secara
efektif dan ketidakmampuan para perencana
mendefinisikan suatu strategi sosial yang efisien
bagi pembangunan. Permasalahan ini lebih menonjol lagi pada bidang perikanan, mengingat
tenaga kerja yang terlibat dalam bidang perikanan
itu (nelayan) secara umum pendidikannya relatif
rendah dengan sarana penunjang yang juga kurang
4
memadai. Sifat produksi perikanan yang mempunyai risiko produksi dan harga yang tinggi juga ikut
mempengaruhi daya serap sub sektor perikanan itu
terhadap investasi.
Pola Investasi pada Subsektor Perikanan
Pola investasi yang dimaksud di sini adalah
alokasi pendayagunaan investasi menurut bidang
usaha dalam sub sektor perikanan itu. Berikut ini
akan dibahas keragaan pola investasi oleh PMA,
PMDN dan Swasta Nasional Non PMA/PMDN.
Tabel 4 memperlihatkan pola investasi PMA
menurut bidang usaha pada periode 1985 — 1990.
Tabel itu memperlihatkan bahwa pada periode tersebut bidang usaha yang banyak diminati oleh
perusahaan PMA adalah usaha penangkapan
Udang dan Tuna/Cakalang. Pada tahun 1990,
investasi pada penangkapan udang dan tuna/
cakalang masing-masing 37,1 juta US $ dan 36,9
juta US $. Investasi pada bidang usaha lainnya
relatif kecil bahkan ada bidang usaha yang baru
dimasuki oleh perusahaan PMA ini pada tahun
1990.
Suatu hal yang menarik dari data ini untuk
dikaji adalah laju pertumbuhan investasi pada
bidang penangkapan udang dan tuna/cakalang.
Selama periode itu usaha penangkapan udang
cenderung menurun, walaupun kecil yakni 1,80
persen per tahun. Diduga hal ini ada kaitannya
dengan potensi sumberdaya udang di laut yang
mulai menurun sebagai akibat dari intensitas
Tabel 4. Investasi perusahaan perikanan PMA menurut jenis usaha, selama periode 1985-1990 (juta US $)
Bidang usaha
1985
1986
1987
1988
1989
1990
Penangkapan udang
Penangkapan T/C
Penangkapan ikan
Pengump./pengolah
Budidaya mutiara
Budidaya ikan bias
Tambak/hatchery
41,9
14,0
36,5
32,0
36,6
32,0
36,6
32,0
7,2
5,1
7,2
5,1
7,2
7a
7,2
8,8
36,72
37
6
7,2
13,74
0,5
5,78
37,1
36,9
6
7,8
14,5
0,1
5,6
Jumlah
68,2
85,2
107,02
108,0
80,8
83,0
Laju pertumbuhan (e/o)
- 1,80
12,07
1,20
23,46
Sumber: BKPM diolah oleh Ditjen Perikanan dalam (Hermanto, et al.). Analisis Peran Perusahaan Multinasional dan Perusahaan
Nasional dalam Investasi di Subsektor Perikanan. Pusat Penelitian Sosial Ekonomi Pertanian, 1992. Bogor.
penangkapan yang relatif tinggi sejak tahun 1970an.
Berbeda dengan investasi pada bidang penangkapan udang, investasi penangkapan tuna/cakalang
masih terus meningkat, dengan laju pertumbuhan
12,07 persen per tahun. Diduga hal ini dipengaruhi
oleh potensi ikan tuna/cakalang yang memang
relatif tinggi. Tentu, faktor lain, seperti permintaan
terhadap komoditas itu tidak dapat diabaikan.
Secara teoritis, pengusaha akan menanamkan
modalnya pada bidang-bidang yang lebih menguntungkan. Udang dan tuna/cakalang merupakan
komoditas terpenting secara ekonomis di Indonesia.
Bidang usaha budidaya mutiara menduduki
urutan ketiga dalam investasi melalui PMA, yaitu
5,1 juta US $ pada tahun 1985 meningkat menjadi
14,5 juta US $ pada tahun 1990, dengan laju
pertumbuhan 23,46 persen per tahun. Bidang usaha
ini banyak terdapat di perairan Indonesia Bagian
Timur. Hal ini berkaitan dengan kenyataan bahwa
masyarakat di daerah itu sudah terampil dalam
budidaya mutiara ini.
Selain itu, pada Tabel 4 itu dapat dilihat bahwa
bidang usaha budidaya ikan hias dan tambak/
hatchery belum banyak diminati oleh perusahaan
PMA. Secara potensial, kedua bidang usaha ini
mempunyai prospek untuk berkembang. Namun,
karena usaha ini mempunyai risiko produksi yang
tinggi, mungkin perusahaan PMA kurang tertarik
untuk menanam modalnya pada bidang ini. Ketersediaan informasi yang memadai tentang potensi
sumberdaya perikanan itu serta prospek pengembangannya ikut mempengaruhi investasi tersebut.
Tabel 5 memperlihatkan investasi perusahaan
PMDN menurut jenis usaha dan tahun 1985 -1990.
Data pada tabel itu memperlihatkan bahwa dilihat
dari besarnya investasi pada tahun 1990, bidang
usaha budidaya tambak/hatchery menduduki
urutan pertama, kemudian menyusul bidang usaha
penangkapan tuna/cakalang dan penangkapan
udang di laut. Selain itu, usaha budidaya
tambak/hatchery ini juga mempunyai laju pertumbuhan yang lebih tinggi dibandingkan dengan
yang lain. Walaupun dengan resiko produksi yang
tinggi, usaha tambak udang dan hatchery sangat
diminati oleh pengusaha dalam negeri. Tampaknya
permintaan pasar akan udang di luar negeri yang
relatif kuat dengan harga yang tinggi sangat mendorong perusahaan PMDN bergerak dalam usaha
ini.
Berbeda dengan budidaya udang, usaha
penangkapan udang tampaknya kurang merangsang perusahaan PMDN. Hal ini sejalan dengan
kondisi investasi PMA pada bidang penangkapan
udang yang cenderung menurun akhir-akhir ini
seperti terlihat pada Tabel 4. Kondisi sumberdaya
udang di laut yang telah dieksploitasi secara intensif
cenderung mempengaruhi laju pertumbuhan investasi di bidang ini.
Selain itu, investasi untuk penangkapan ikan
(bukan tuna/cakalang) dan pengolahan ikan semakin menonjol dengan laju pertumbuhan masingmasing sebesar 17,02 persen dan 26,37 persen per
tahun. Bidang usaha yang dimasuki oleh perusahaan PMDN ini lebih beragam dibandingkan dengan
perusahaan PMA. Budidaya mutiara, ikan hias,
budidaya bekicot dan kodok mulai dimasuki oleh
perusahaan ini. Komoditas-komoditas yang disebut
terakhir ini merupakan komoditas ekspor yang
prospektif dimasa depan. Akhir-akhir ini
permintaan bekicot meningkat dari negara
Masyarakat Ekonomi Eropa (MEE). Adanya
5
Tabel 5. Investasi perusahaan perikanan PMDN menurut jenis usaha, selama periode tahun 1985 -1990 (Juta Rp)
Penangkapan udang
Penangkapan T/C
Penangkapan ikan
Pengump./pengolah
Budidaya mutiara
Budidaya ikan hias
Budidaya tambak/Hch.
Budidaya buaya
Budidaya rumput laut
Budidaya bekicot
Budidaya kodok
1985
1986
1987
1988
1989
1990
4.388
10.927
532
2.367
300
100
537
6.126
13.314
6.532
2.367
300
100
537
6.126
26.042
6.532
2.367
1.274
100
38.273
6.126
71.669
6.532
2.367
2.303
100
61.145
6.126
93.572
6.532
6.126
2.303
100
117.971
276
120
360
167
6.127
93.574
7.271
7.091
2.303
100
153.257
276
120
1.138
167
167
Laju pertumbuhan (0/o)
4,20
34,09
17,02
26,37
35,43
52,52
Sumber: BKPM, diolah oleh Ditjen Perikanan dalam (Hermanto, et al.) Analisis Peran Perusahaan Multinasional dan Perusahaan
Nasional dalam Investasi di Subsektor Perikanan. Pusat Penelitian Sosial Ekonomi Pertanian, 1992. Bogor.
indikasi pergeseran pola konsumsi di negara-negara
maju seperti MEE, Jepang dan Amerika Serikat
dari protein hewani (ternak) ke sumber protein
produksi perikanan harus dimanfaatkan dalam
pengembangan perdagangan produksi perikanan.
Investasi perusahaan swasta nasional non
PMA/PMDN menurut jenis usaha selama periode
tahun 1985 -1990 disajikan pada Tabel 6. Pada
tabel itu dapat dilihat bahwa pada tahun 1990,
usaha penangkapan ikan (bukan tuna/cakalang)
menduduki posisi terbesar dalam penyerapan
investasi, yakni Rp 62.783 juta atau 53,6 persen dan
total investasi swasta nasional non PMA/PMDN.
Penanaman investasi pada bidang usaha penangkapan udang, penangkapan tuna/cakalang dan
usaha tambak/hatchery menduduki posisi yang
hampir sama setelah penangkapan ikan.
Berkembangnya investasi pada penangkapan
ikan bukan tuna/cakalang merupakan sesuatu yang
menggembirakan. Artinya usaha penangkapan
semakin bervariasi sesuai dengan potensi sumberdaya perikanan Indonesia yang memang beragam.
Jenis ikan layang, kembung dan tenggiri merupakan jenis ikan yang ekonomis yang banyak terdapat
di perairan Indonesia, dan potensial untuk dikembangkan.
Selain jenis-jenis usaha yang disebutkan di atas,
usaha-usaha lain juga dikembangkan oleh pihak
swasta nasional tersebut sebagaimana halnya yang
dilakukan oleh perusahaan PMDN. Budidaya
Tabel 6. Investasi perusahaan perikanan Swasta Nasional (Non PMA/PMDN) menurut jenis usaha, selama periode tahun 1985 -1990
(juta Rp)
Laju pertumbuhan (%)
Bidang usaha
1985
1986
1987
1988
1989
1990
Penangkapan udang
Penangkapan T/C
Penangkapan ikan
Tambak/hatchery
Budidaya mutiara
Pengump./pengolah
Budidaya ikan
Budidaya kodok
Budidaya ikan hias
4.848
818
4.848
2.083
4.848
4.023
52
8.194
42
8.396
6.733
3.572
8.194
42
14.238
16.643
43.821
10.589
1.016
100
25
1.300
735
16.238
17.424
62.783
17.126
1.084
521
25
1.300
735
28,45
44,68
Jumlah
5.666
17.159
26.937
88.467
117.236
52,52
600
7.431
40,30
Sumber: BKPM, diolah oleh Ditjen Perikanan dalam (Hermanto, et al.) Analisis Peran Perusahaan Multinasional dan Perusahaan
Nasional dalam Investasi di Subsektor Perikanan. Pusat Penelitian Sosial Ekonomi Pertanian, 1992. Bogor.
6
mutiara, budidaya ikan, kodok dan ikan hias
merupakan jenis usaha yang mulai dimasuki juga
oleh pihak swasta nasional bukan PMDN/PMA.
Sebagian komoditas tersebut merupakan komoditas
ekspor, yang akhir-akhir ini menunjukkan prospek
pemasaran yang semakin membaik.
Pola investasi dalam bidang perikanan ini, selain dilihat dari segi jenis usaha dapat juga dilihat
dari segi lokasi usaha. Tabel 7 memperlihatkan penyebaran investasi PMA dan PMDN pada sub sektor perikanan menurut lokasi. Pada tabel itu dapat
dilihat bahwa selama periode 1968 -1990 investasi
PMA terbesar terdapat di daerah Irian Jaya, yakni
sebesar 46,7 persen dari total investasi PMA. Hal
itu erat kaitannya dengan kondisi sumberdaya
udang dan ikan tuna/cakalang yang banyak terdapat di perairan itu. Sejak tahun 1970, usaha
penangkapan udang oleh perusahaan PMA terutama perusahaan Jepang beroperasi di perairan
Irian Jaya.
Setelah Irian Jaya, daerah Kalimantan dan
Sumatera secara berturut-turut merupakan daerah
yang menduduki urutan kedua dan ketiga dalam
penanaman investasi PMA. Kegiatan usaha yang
dominan yang menggunakan investasi PMA adalah
usaha penangkapan tuna/cakalang di pantai Barat
Sumatera dan usaha penangkapan udang di pantai
Timur Sumatera. Di perairan Kalimantan usaha
perikanan yang dominan yang menggunakan investasi PMA adalah usaha penangkapan udang.
Hal lain yang menarik untuk dicatat dari tabel
itu adalah investasi PMA di Jawa yang rendah,
yaitu hanya 3,4 persen dan total investasi PMA
selama periode 1968 - 1990. Hal ini diduga erat
kaitannya dengan kondisi sumberdaya perikanan di
perairan Jawa, terutama pantai Utara Jawa yang
telah dieksploitasi relatif tinggi. Usaha penang-
kapan ikan dan udang di laut Jawa relatif padat,
terutama oleh nelayan kecil. Dan sini terlihat bahwa
pihak perusahaan PMA selektif, tidak hanya dalam
pemilihan jenis usaha, melainkan juga pemilihan
lokasi, sehingga usaha tersebut menguntungkan.
Tabel 7 juga memperlihatkan penyebaran
investasi PMDN menurut lokasi. Daerah Jawa
menduduki urutan pertama, yakni 42,0 persen,
sebaliknya Irian Jaya termasuk daerah yang menerima investasi PMDN terkecil, yakni 4,3 persen
dari total investasi PMDN selama periode 1968 1990. Dilihat dari segi penyebaran investasi menurut
lokasi, kondisi PMDN merupakan kebalikan
dengan kondisi PMA. Tampaknya perusahaan
PMDN cenderung memusatkan diri di daerahdaerah dimana perusahaan PMA kurang berkembang dan memilih jenis usaha yang kurang
diminati oleh perusahaan PMA. Usaha yang
dimasuki oleh PMDN lebih beragam dibandingkan
dengan PMA dan mencoba mengembangkan jenis
usaha baru.
Akhir-akhir ini mulai dikembangkan budidaya
ikan Kerapu, seperti di Riau, Lampung dan perairan pantai Sibolga. Budidaya kerapu ini dapat
dilakukan dengan berbagai skala usaha dari skala
kecil hingga besar dan relatif memerlukan banyak
tenaga kerja. Ikan kerapu ini merupakan komoditas
ekspor antara lain ke Hongkong.
PERANAN INVESTASI TERHADAP EKSPOR
DAN PENYERAPAN TENAGA KERJA
Peranan Investasi Terhadap Ekspor
Seperti telah dikemukakan terdahulu bahwa
sasaran utama investasi dalam dunia perikanan
Tabel 7. Penyebaran nilai investasi PMA dan PMDN subsektor perikanan menurut lokasi,
1968 -1990
Pulau
1.
2.
3.
4.
5.
6.
7.
PMA (Juta US $)
PMDN (Milyar Rp)
Jawa
Sumatera
Kalimantan
Sulawesi
Nusa Tenggara
Maluku
Irian Jaya
13,9 (3,4)
53,4 (13,1)
57,1 (12,5)
43,8 (10,7)
37,6 (9,2)
17,9 (4,4)
190,2 (46,7)
1.153,0 (42,0)
487,9 (17,8)
92,7 (3,4)
607,0 (22,1)
133,9 (4,9)
152,3 (5,5)
118,9 (4,2)
Total
407,9 (100)
2.745,7 (100)
Keterangan: ( ) = persen terhadap total.
Sumber: BKPM, diolah oleh Ditjen Perikanan, Jakarta, 1992.
7
antara lain adalah untuk meningkatkan ekspor.
Perkembangan nilai ekspor yang dilakukan oleh
investor PMA dan PMDN dan total nilai ekspor
subsektor perikanan pada tahun 1985 —1990
disajikan pada Tabel 8. Pada tabel itu dapat dilihat
bahwa dari tahun 1985 —1990 total nilai ekspor
produksi perikanan meningkat dengan laju pertumbuhan sebesar 25,60 persen per tahun. Suatu
laju pertumbuhan yang sangat menggembirakan. Di
sisi lain pada tabel itu dapat dilihat bahwa pada
periode itu nilai ekspor yang dilakukan oleh investor meningkat hanya dengan laju pertumbuhan
sebesar 8,44 persen per tahun.
Hal itu berarti bahwa peranan investor terhadap
ekspor produksi perikanan menurun selama periode
itu. Pangsa ekspor oleh investor terhadap total
ekspor produksi perikanan menurun dengan laju
7,50 persen per tahun dan tahun 1985 — 1990.
Secara grafis, perkembangan nilai ekspor oleh
investor dan total ekspor perikanan disajikan
Gambar 1.
Jika perkembangan ekspor yang dilakukan oleh
investor ini dikaitkan dengan perkembangan
investasi yang dilakukan oleh PMA dan PMDN
(Tabel 1 dan 2), maka dapat dilihat bahwa laju
pertumbuhan investasi tidak diikuti oleh laju ekspor
secara proporsional atau paling sedikit dengan arah
yang sama. Pangsa realisasi investasi menurun dari
tahun ke tahun selama periode tersebut.
Suatu hal yang diduga sebagai faktor penyebab
gejala tersebut di atas adalah perilaku harga
komoditas itu di pasar internasional. Akhir-akhir
ini ada gejala harga komoditas pertanian, termasuk
komoditas perikanan menurun di pasar internasional. Kualitas komoditas perikanan dari
Indonesia yang sering dinilai lebih rendah dari pada
kualitas komoditas yang sama dari negara lain yang
diperdagangkan adalah salah satu faktor penyebab
mengapa harga komoditas dari Indonesia relatif
rendah di pasaran internasional.
Di sisi lain perkembangan nilai total ekspor
perikanan dengan laju yang relatif besar (25,60 persen per tahun) antara lain disebabkan oleh meningkatnya keragaman komoditas ekspor yang sebagian
besar dihasilkan oleh eksporter lain (investor bukan
PMA dan PMDN), seperti Badan Usaha Milik
Negara (BUMN) dan Swasta Nasional yang tidak
termasuk PMA dan PMDN). Tampaknya peran
BUMN dalam ekspor produksi perikanan semakin
menonjol
ini. Untuk lebih mendorong
pihak swasta untuk bergerak di bidang perikanan
diperlukan ketersediaan informasi tentang produksi
sumberdaya perikanan beserta prospeknya dimasa
depan, disamping kemudahan-kemudahan lainnya,
terutama bagi swasta nasional yang bergerak dalam
bidang perikanan.
Peranan Investasi Dalam Penyediaan Tenaga Kerja
Salah satu permasalahan perekonomian nasional adalah keterbatasan kesempatan kerja. Oleh
Tabel 8. Perkembangan nilai ekspor oleh investor dan total nilai ekspor subsektor perikanan,
tahun 1985 —1990.
Nilai ekspor yang I)
dilakukan oleh investor
Tahun
Total nilai3)
ekspor
(US $ juta)
Jumlah
(US $ juta)
% terhadap
nilai ekspor
perikanan
1985
1986
1987
1988
1989
1990
50,00
324,40
465,59
501,15
432,97
182,98
19,3
91,5
97,9
70,4
52,0
18,0
259,44
374,12
475,12
712,20
832,71
1039,68
Rata-rata
Laju pertumbuhan
(%/th)
329,18
58,18
615,55
8,44
-7,50
25,60
Sumber: I) Investor yang dimaksud di sini adalah PMA dan PMDN.
BKPM diolah Ditjen Perikanan (1985 — 1990).
3) BPS. 1968 —1990. Biro Pusat Statistik, Jakarta.
8
Perkembangan Nilai Ekspor Total dan Nilai Ekspor
Oleh PMA dan PMDN Sub-Sektor Perikanan, 1985-1990
Outs US S)
1,200
1,000
800
600
400
200
0
1985
1986
1988
1987
1989
1990
Tahun
Keterangan :
Nilai Ekspor produksi
sebab itu, pemilihan investasi dalam pembangunan
seyogyanya dikaitkan dengan kemampuan kegiatan
ekonomi itu dengan penyerapan tenaga kerja.
Herrich and Kindlebergen (1983) menyatakan
bahwa laju pertumbuhan ekonomi dapat diukur
dari rasio kapital output dan laju pertumbuhan
penyerapan tenaga kerja.
Tabel 9 menunjukkan jumlah investasi, tenaga
kerja yang diserap dan rasio tenaga kerja terhadap
investasi PMDN dan PMA pada setiap sub sektor
pertanian selama periode 1968 —1990. Pada tabel
itu dapat dilihat bahwa tenaga kerja yang diserap
oleh sub sektor perikanan melalui perusahaan
PMDN dan PMA hanya 92.500 orang atau 7,1
persen dan total tenaga kerja yang diserap oleh
sektor pertanian melalui kedua bentuk perusahaan
itu. Dilihat dari segi penyerapan tenaga kerja
perusahaan PMA dan PMDN pada bidang perikanan hanya menduduki urutan ketiga dari keempat sub sektor di lingkungan sektor pertanian.
Hal itu, selain dipengaruhi oleh besamya investasi,
juga dipengaruhi oleh perbedaan kemampuan jenis
usaha dalam sub sektor itu untuk menyerap tenaga
♦ Total Nilai Ekspor
kerja. Sedangkan dengan perusahaan yang sama
(PMDN), sub sektor tanaman pangan, perkebunan
dan peternakan secara berturut-turut mempunyai
rasio tenaga kerja dengan investasi sebesar 0,062;
0,077 dan 0,015 orang per juta rupiah. Dari sini terlihat bahwa jenis usaha yang termasuk PMDN dalam sub sektor perikanan lebih bersifat padat kapital dari pada sub sektor tanaman pangan dan perkebunan, tetapi masih lebih bersifat padat karya
bila dibandingkan dengan investasi pada sub sektor
peternakan.
Kemudian, kalau disimak dari sifat perusahaan
yang termasuk PMA, maka terlihat bahwa jenis
usaha pada sub sektor perikanan lebih bersifat
padat modal dibandingkan dengan ketiga sub
sektor lainnya. Rasio tenaga kerja dengan investasi
untuk sub sektor tanaman pangan, perkebunan,
peternakan dan perikanan masing-masing sebesar
0,048; 0,047 dan 0,066 dan 0,023 orang per seribu
US $.
Tabel 9 juga memperlihatkan rasio tenaga kerja
dengan investasi, baik pada PMDN maupun PMA.
Pada tabel itu dapat dilihat bahwa secara agregat
9
Tabel 9. Jumlah investasi tenaga kerja dan rasio pekerja terhadap investasi, pada PMDN dan PMA selama periode 1968 —1990.
PMDN
PMA
Sub sektor
Jumlah
investasi
(juta rupiah)
Jumlah tenaga kerja
(orang)
Rasio pekerja/investasi
(orang/juta
rupiah)
1. Tanaman Pangan
2. Perkebunan
3. Peternakan
4. Perikanan
Total
2.519.059,5
12.727.167,9
596.156,4
2.745.700,0
18.588.083,8
156.517
981.346
8.907
82.933
1.229.703
0,062
0,077
0,015
0,030
0,066
Jumlah
investasi
(ribu US $)
177.043,4
836.573,3
128.310,6
407.900,0
1.549.827,3
Jumlah tenaga kerja
(orang)
Rasio pekerja/investasi
(orang/ribu
US $)
8.443
39.663
8.457
9.567
66.130
0,048
0,047
0,066
0,023
0,043
Sumber: 1) BKPM (data diolah)
Ditjen Perikanan.
rasio tersebut pada PMDN lebih besar dari pada
PMA. Hal ini berarti bahwa PMDN lebih padat
karya dari pada PMA. Demikian juga halnya
dengan perusahaan yang bergerak pada sub sektor
perikanan. Tampaknya perusahaan PMA lebih
berorientasi memaksimumkan keuntungan dengan
padat permodalan dan penggunaan teknologi yang
lebih canggih dari pada PMDN. Seperti telah
dikemukakan terdahulu, PMA lebih selektif dalam
memasuki jenis usaha dari pada PMDN.
Implikasi yang dapat ditarik dari sini adalah
bahwa jika kita ingin mengembangkan sub sektor
perikanan yang lebih memperhatikan penyerapan
tenaga kerja, maka tampaknya lebih tepat
mengembangkan perusahaan PMDN dan swasta
nasional Non PMA dan PMDN dari pada PMA.
Secara logis, perusahaan PMDN dan swasta
nasional non PMA dan PMDN lebih mengetahui
kondisi sumberdaya dan ekonomi perikanan di
Indonesia, sehingga tentunya keputusan investasi
mereka akan lebih akurat. Untuk mendorong
perkembangan perikanan itu, khususnya keterlibatan PMDN dan Swasta Nasional non PMA dan
PMDN diperlukan fasilitas dan penyediaan informasi tentang perikanan itu yang lebih memadai.
KENDALA PENGEMBANGAN INVESTASI
Kendala Sumberdaya Alam
Secara umum kendala yang dihadapi dalam
pengembangan investasi perikanan adalah tingginya
tingkat penangkapan ikan di beberapa lokasi
10
penangkapan dan menurunnya kualitas sumberdaya alam (kemerosotan lingkungan, pendangkalan
perairan, pencemaran dan punahnya kawasan
pemijahan). Sebagai ilustrasi tingkat penangkapan
ikan di laut Jawa dan Selat Malaka sudah cenderung melampaui potensi sumberdaya perikanan
yang lestari. Disamping itu, walaupun produktivitas
lahan pantai pada umumnya masih rendah dan
secara keseluruhan tingkat pendayagunaannya
belum optimal, namun demikian di beberapa
daerah telah terjadi tekanan ekologis yang cukup
berat, sebagai akibat kegiatan budidaya perikanan
yang intensif dan akibat tekanan sektor non
pertanian. Dapat dikemukakan bahwa di pantai
utara Jawa, dimana pemanfaatannya untuk
pertambakan udang intensif dengan skala besarbesaran sudah menunjukkan adanya dampak
negatif terhadap ketersediaan air bersih. Sehingga
banyak pengusaha tambak khususnya yang menggunakan teknik budidaya secara intensif banyak
yang mengalami kegagalan.
Dinas Perikanan Kodya dan Kabupaten Cirebon
menganjurkan agar pengembangan tambak udang
dimasa mendatang diarahkan ke bentuk usaha
tambak yang semi intensif. Disamping itu, perencanaan tata guna lahan pantai untuk tambak
udang hendaknya secara seksama selalu dikaitkan
dengan kebutuhan dan ketersediaan air bersih,
sehingga akan terjadi keseimbangan antara sumberdaya yang tersedia dengan tingkat pemanfaatannya. Dengan demikian kesinambungan produksi
tambak udang dapat dipertahankan, sehingga
masalah kekurangan bahan baku bagi industri cold
storage udang bisa teratasi secara berkesinambungan.
Kendala Permodalan
Adanya kebijaksanaan uang ketat atau tight
money policy (TMP) yang berlaku pada saat
penelitian sangat mempengaruhi kesulitan bagi
swasta, khususnya swasta nasional dalam memperoleh kredit dari Bank. Implikasi dari
kebijaksanaan tersebut adalah tingginya tingkat
suku bunga kredit, maka investor cenderung sangat
berhati-hati dalam mengambil keputusan untuk
menggunakan kredit dari Bank untuk investasi di
subsektor perikanan.
Namun, dewasa ini tampaknya pemerintah telah
mulai tanggap terhadap permasalahan ini, dengan
dilakukannya deregulasi di sektor perbankan.
Kebijakan deregulasi di sektor perbankan ini
diharapkan dimasa mendatang mampu menggairahkan minat swasta untuk terjun dalam usaha
perikanan ini. Belajar dari pengalaman banyaknya
kredit macet dari berbagai sektor usaha, maka
pemberian kredit hendaknya dilakukan dengan
lebih selektif, karena perusahaan yang mengadakan
ekspansi besar-besaran tanpa memperhitungkan
daya serap pasar dan kemampuan managemennya
akan mengalami kegagalan.
Kendala Pemasaran
Perikanan penangkapan dan budidaya sangat
didominasi oleh jenis komoditas ekspor, seperti
udang dan tuna/cakalang. Hal ini terlihat jelas dari
hasil ekspor udang dan tuna/cakalang selama
pembangunan lima Pelita, serta perkembangan nilai
investasi yang ditanamkan baik PMA, PMDN
maupun swasta nasional. Perikanan tuna/cakalang
yang dikembangkan sejak Pelita II, pada dewasa
ini telah merupakan komoditas andalan kedua
setelah udang. Selama Pelita IV dan V pengembangan perikanan sudah relatif beragam ke arah
komoditas baru, yaitu pengembangan ekspor
seperti rumput laut, ubur-ubur, bekicot, kodok dan
jenis ikan lainnya.
Walaupun udang merupakan komoditas ekspor
yang mempunyai prospek yang baik, ternyata
komoditas ini sangat rentan terhadap perubahan
produksi dan fluktuasi harga di pasar internasional.
Oleh karena itu, pengembangan komoditas ekspor
perikanan sangat memerlukan pelayanan informasi
yang cepat dan akurat. Informasi tersebut harus
mencakup tentang jenis dan jumlah komoditas yang
diminta, harga dan grading, kualitas dan standarisasi mutu, serta lokasi negara yang meminta.
Disamping itu perlu pula informasi pasar yang
bersifat kualitatif, seperti misalnya tentang
perkembangan pasar intemasional menurut musim,
tingkah laku konstunen di negara tujuan ekspor,
jenis-jenis komoditas perikanan spesifik yang
disukai, struktur pasar dan pola konsumsi masyarakat setempat.
Permintaan akan komoditas perikanan mempunyai spesifikasi tersendiri. Misalnya, harga
produk ikan kalengan terbukti jauh lebih rendah
bila dibandingkan dengan harga produk ikan beku.
Adapun harga produk perikanan yang tertinggi di
pasaran dunia adalah produk ikan yang masih
hidup. Hal ini memberikan suatu indikasi bahwa
produk-produk perikanan relatif banyak dikonsumsi golongan masyarakat berpendapatan tinggi
di negara tujuan, yang menuntut kesegaran produk
dan kualitas yang baik.
Kendala yang Dihadapi Oleh Usaha Pembekuan
Udang (Studi Kasus)
Pada tahun 1989, telah berdiri beberapa
perusahaan pembekuan ikan dan udang untuk
komoditi ekspor seperti : (1) PT. Cekatan Sekawan
di Karawang; (2) PT. INHI Pioner Food Product
di Karawang; (3) PT. Sheraton Sea Food Product
di Cirebon; (4) PT. Inti Mina Setia Tama di
Cirebon; (5) PT. Agromina Arya Hutama di
Cirebon; (6) PT. Kartika ABEF International di
Cirebon, dan (7) PT. Scefeer Jaya di Cirebon
(Dinas Perikanan Propinsi Jawa Barat, 1989).
Berdasarkan informasi yang berhasil dihimpun
melalui studi kasus dan data yang diperoleh dari
industri cold storage di Cirebon, dapat memberikan
gambaran bahwa situasi industri cold storage di
Cirebon pada umumnya dalam kondisi yang memprihatinkan. Dewasa ini (1991/1992) industri cold
storage hasil perikanan hanya mampu beroperasi
jauh di bawah kapasitas produksi optimal, yaitu
hanya 20 — 30 persen kapasitas produksi optimal.
Dari informasi di lapang, rata-rata industri cold
storage pada saat penelitian mempunyai kapasitas
produksi per tahun sebagai berikut : (1) udang 252
ton; (2) ikan 162 ton; (3) limbah udang 136 ton; dan
(4) limbah ikan 180 ton, masing-masing senilai
Rp 4.787 juta, Rp 1.451 juta, Rp 10,85 juta dan
Rp 54 juta.
Rendahnya kapasitas aktual perusahaan pembekuan udang tersebut disebabkan oleh beberapa
faktor utama seperti : (1) kurangnya bahan baku
udang sebagai akibat gagalnya budidaya udang/
11
tambak yang diusahakan secara intensif; (2) kekurangan bahan baku udang/ikan secara musiman,
sehingga usaha pembekuan hams dilakukan diversifikasi usaha dengan mengolah ikan menurut
musimnya; (3) sulitnya memperoleh dana untuk
modal kerja/investasi karena adanya kebijakan
uang ketat; dan (4) resiko perdagangan yang
semakin besar sebagai akibat fluktuasi harga yang
sangat tajam di negara-negara tujuan. Rendahnya
produksi aktual perusahaan pembekuan udang/
ikan dan tingginya fluktuasi harga udang/ikan di
pasaran internasional diduga merupakan penyebab
utama ditutupnya beberapa perusahaan pembekuan
udang/ikan di Cirebon. Adapun bagi perusahaan
yang masih bertahan, situasi produksi dan pasaran
internasional tersebut dianggap sebagai kendala
bagi pengembangan usahanya.
KESIMPULAN DAN SARAN
1. Selama periode 1985 —1990 investasi pihak
swasta pada sub sektor perikanan dapat dikatakan cukup berkembang, terutama Swasta
Nasional. Perkembangan itu tidak hanya terlihat
dari segi besarnya laju pertumbuhan investasi,
melainkan juga dari segi berkembangnya ragam
jenis usaha yang dimasuki. Investasi Swasta
Nasional berkembang lebih pesat dan memasuki
jenis usaha perikanan yang lebih beragam dari
pada perusahaan PMA.
2. Tampaknya pihak PMA lebih selektif dalam
memilih jenis usaha yang mereka masuki dari
pada Swasta Nasional. Pada periode itu perusahaan PMA lebih memusatkan investasi pada
komoditas udang dan tuna/cakalang yang
banyak terdapat di Irian Jaya dan Sumatera.
Kedua jenis komoditas ini merupakan jenis
komoditas yang mempunyai permintaan yang
relatif tinggi dari pasar internasional.
3. Realisasi investasi, baik Swasta Nasional
maupun PMA lebih rendah dari pada rencana
investasi, terutama investasi Swasta Nasional.
Hal ini dapat ditafsirkan bahwa daya serap sub
sektor perikanan terhadap investasi masih lemah
dan perencanaan investasi yang kurang sesuai
dengan kondisi lapang. Lebih rendahnya proporsi realisasi investasi terhadap rencana pada
PMDN dan investasi Swasta Nasional lainnya
dibandingkan dengan investasi PMA merupakan
indikasi bahwa perencanaan perusahaan PMA
lebih baik dari pada perencanaan perusahaan
12
nasional. Sarana penunjang yang terbatas dan
ketersediaan informasi yang memadai merupakan kendala-kendala yang dihadapi oleh upaya
pengembangan perikanan.
4. Nilai ekspor produksi perikanan meningkat
dengan laju yang relatif tinggi. Di sisi lain, pada
periode yang sama pangsa ekspor yang dilakukan oleh pihak swasta berjalan dengan laju yang
menurun. Ini berarti bahwa peranan pihak
swasta yang termasuk PMDN dan PMA dalam
pengembangan usaha perikanan berjalan lebih
lambat dibandingkan dengan pihak lain.
Disamping dipengaruhi oleh faktor produksi
dan faktor pendukung lainnya, di duga hal itu
dipengaruhi oleh perilaku harga komoditas
perikanan yang cenderung menurun di pasar
internasional akhir-akhir ini.
5. Selama periode tersebut di atas peranan perusahaan PMDN dan PMA yang bergerak pada
sub sektor perikanan untuk menyerap tenaga
kerja masih relatif kecil, yakni hanya sebesar 7,1
persen dari total tenaga kerja yang diserap oleh
kedua bentuk perusahaan itu dalam sektor
pertanian. Namun, jumlah tenaga kerja yang
diserap oleh sub sektor perikanan masih lebih
tinggi dari pada sub sektor petemakan pada saat
itu. Perbedaan jumlah tenaga kerja yang diserap
oleh tiap sub sektor, selain dipengaruhi oleh
besarnya investasi juga dipengaruhi oleh kemampuan investasi tersebut.
6. Kemampuan satu unit investasi perusahaan
PMDN sub sektor perikanan dalam menyerap
tenaga kerja lebih rendah dari pada kemampuan
investasi tersebut pada sub sektor Tanaman
Pangan dan Perkebunan, tetapi lebih tinggi dari
pada sub sektor Peternakan. Kemampuan satu
unit investasi perusahaan PMA pada sub sektor
perikanan dalam penyerapan tenaga kerja lebih
rendah dari pada kemampuan investasi tersebut
pada ketiga sub sektor yang termasuk dalam
sektor pertanian. Hal ini berarti bahwa investasi
PMDN dan PMA pada sub sektor perikanan
lebih bersifat padat modal dibandingkan dengan
investasi tersebut pada ketiga sub sektor lainnya,
kecuali investasi PMDN pada sub sektor
peternakan.
7. Pada sub sektor perikanan, investasi PMA lebih
bersifat padat modal dibandingkan dengan
investasi PMDN. Ini merupakan indikasi bahwa
teknologi yang digunakan oleh perusahaan
PMA lebih bersifat padat modal dari pada
teknologi yang digunakan oleh PMDN.
8. Untuk mendorong investasi pihak swasta pada
sub sektor perikanan diperlukan sarana penunjang yang memadai, seperti kemudahan
perkreditan dan ketersediaan informasi yang
memadai yang berguna bagi perencanaan
pembangunan perikanan yang lebih tepat.
9. Karena teknologi yang digunakan oleh perusahaan PMDN lebih bersifat padat karya dari
pada perusahaan PMA, maka untuk meningkatkan ekspor produksi perikanan dan sekaligus
dapat memberikan kesempatan kerja yang lebih
tinggi, investasi melalui perusahaan PMDN lebih
tepat dibandingkan dengan investasi perusahaan
PMA.
DAFTAR PUSTAKA
BPS. 1968-1990. Perkembangan Volume Ekspor Hasil
Perikanan. Biro Pusat Statistik, Jakarta.
BKPM. 1991. Evaluasi Penanaman Modal Tahun 1991 dan
Prospek Tahun 1992. Desember 1991.
Cernea M. Michael. Mengutamakan Manusia di Dalam
Pembangunan. Variabel-Variabel Sosiologi Di Dalam
Pembangunan Pedesaan. Diterjemahkan oleh Basilius B.
Teku. Publikasi Bank Dunia. UI-Press. 1988.
Dinas Perikanan Propinsi Jawa Barat. 1989. Laporan Tahunan
Dinas Perikanan Propinsi DT. I Jawa Barat.
Ditjen Perikanan. 1989. Statistik Perikanan Indonesia.
Direktorat Jenderal Perikanan, Jakarta.
Hermanto, Muchjidin R., Supriyati, Saptana. 1992. Analisis
Peran Perusahaan Multinasional dan Nasional Dalam
Investasi di Subsektor Perkebunan, Perikanan dan
Petemakan. Pusat Penelitian Sosial Ekonomi Pertanian.
Bogor.
Henrick, B. and Kindleberger. Economic Development. Fourth
Edition. Mc.Graw-Hill International Book Company. 1983.
Japan.
13
Download