PERKEMBANGAN INVESTASI DAN KAITANNYA DENGAN PENERIMAAN DEVISA DAN PENYERAPAN TENAGA KERJA DI SUB SEKTOR PERIKANAN Oleh: Saptana, Hermanto, Victor T. Manurung dan Mat Syukuro Abstrak Investasi pihak swasta pada sub sektor perikanan rakyat dapat dikatakan berkembang, terutama oleh pihak Swasta Nasional. Namun, di sisi lain selama periode 1985 hingga 1990 terlihat bahwa realisasi investasi lebih rendah dari pada rencana. Hal ini menunjukkan bahwa daya serap sub sektor perikanan masih rendah terhadap investasi. Perkembangan investasi tidak hanya terlihat dari besarnya investasi dan laju pertumbuhannya, melainkan juga dari segi keragaman jenis usaha yang dikembangkan. Akhir-akhir ini jenis usaha dalam sub sektor perikanan yang dikembangkan oleh pihak swasta semakin banyak ragamnya. Namun perkembangan investasi oleh pihak swasta pada sub sektor ini tidak diikuti secara proporsional oleh perkembangan nilai ekspor yang mereka hasilkan. Selama periode 1968-1990 peranan pihak swasta pada sub sektor perikanan dalam penyerapan tenaga kerja relatif kecil. Secara umum rasio tenaga kerja dengan investasi pada sub sektor ini lebih kecil dibandingkan dengan rasio tersebut pada sub sektor lain dalam lingkungan sektor pertanian. Tampaknya teknologi yang digunakan oleh pihak swasta dalam sub sektor perikanan lebih bersifat padat modal dibandingkan dengan teknologi yang digunakan oleh sub sektor lainnya. Selain itu, ada indikasi bahwa teknologi yang digunakan oleh pihak swasta asing dalam usaha perikanan lebih bersifat padat modal dibandingkan dengan teknologi yang digunakan oleh Swasta Nasional. Oleh sebab itu jika kita ingin mengembangkan ekspor produksi perikanan sekaligus meningkatkan kesempatan kerja, maka investasi Swasta Nasional lebih tepat dikembangkan dari pada investasi Swasta Asing. PENDAHULUAN Dalam rangka mempersiapkan tahap tinggal landas, maka sub sektor perikanan di dalam Pelita VI dipandang sebagai sumber pertumbuhan baru. Beberapa argumen yang melandasi pemikiran tersebut adalah : (1) potensi sumberdaya perikanan tersedia cukup besar dan belum sepenuhnya dimanfaatkan, (2) sebagai sumber protein hewani dan bahan baku industri domestik, (3) beberapa komoditas perikanan mempunyai daya keunggulan komparatif di pasar internasional, (4) kemampuannya dalam menyerap kesempatan kerja dan (5) untuk meningkatkan pendapatan petani/nelayan. Sejauh mana sub sektor perikanan dapat didayagunakan sangat dipengaruhi oleh peran investasi pada sub sektor ini, baik yang bersumber dari Penanaman Modal Asing (PMA), Penanaman Modal Dalam Negeri (PMDN), maupun yang bersumber dari Swasta Nasional. Peran pihak swasta untuk menanam modalnya pada bidang perikanan ini sangat penting mengingat sub sektor ini dikelola oleh sebagian besar petani ikan dan nelayan kecil sehingga laju pemanfaatan sumberdaya tersebut berjalan dengan lambat hingga kini. Tanpa kehadiran pihak swasta ini, sangat sulit diharapkan bidang perikanan itu dapat berkembang dengan cepat, karena sifat pendayagunaan bidang perikanan itu relatif termasuk padat modal. I) Staf Peneliti Pusat Penelitian Sosial Ekonomi Pertanian, Bogor. 1 Kapital merupakan sumberdaya langka. Oleh sebab itu, dalam kegiatan ekonomi, alokasi sumberdaya kapital itu seyogyanya akan diprioritaskan pada kegiatan yang mampu memberikan keuntungan yang lebih tinggi. Pengambil keputusan ekonomi, apakah pemerintah atau pihak swasta akan mengikuti kriteria investasi, dimana mereka akan memusatkan diri pada kegiatan ekonomi yang mempunyai rasio kapital-output yang paling kecil (Henrick and Kindleberger, 1983). Namun, di negara-negara sedang berkembang seperti Indonesia, bukan hanya kapital yang langka. Teknologi, ketrampilan, manajemen dan faktor sosial juga ikut mempengaruhi penanaman modal/kapital dalam kegiatan ekonomi. Investasi dalam dunia perikanan telah berjalan cukup lama, baik oleh perusahaan asing maupun swasta nasional. Sesuai dengan keinginan pemerintah bahwa sub sektor perikanan ini merupakan sumber pertumbuhan baru dalam pembangunan pertanian di Indonesia, maka salah satu pertanyaan yang relevan untuk diajukan di sini adalah : Bagaimana perkembangan investasi pada bidang ini dan peranannya terhadap devisa dan kesempatan kerja. Jawaban terhadap pertanyaan ini merupakan informasi berharga dalam upaya mengembangkan usaha perikanan pada masa datang. METODA PENELITIAN Penelitian ini dilakukan dengan metoda survei dan studi kasus. Strategi pengumpulan datanya dilaksanakan secara sistematis mulai dari tingkat pusat hingga ke daerah. Pengumpulan data dilakukan di tingkat pusat (Jakarta), Badan Koordinasi Penanaman Modal, Direktorat Jenderal Perikanan dan di tingkat daerah, Dinas Perikanan dan beberapa perusahaan cold storage di Kodya dan Kabupaten Cirebon. Data yang digunakan dalam penelitian ini adalah data primer dan data sekunder. Data primer, selain data kuantitatif juga data kualitatif. Data kualitatif ini sangat penting, terutama untuk menjelaskan permasalahan yang sulit untuk dikualifikasikan. Analisis data bersifat deskriptif dan time series secara tabulasi. Tulisan ini merupakan bagian dari penelitian Pusat Penelitian Sosial Ekonomi Pertanian (P/SE) yang berjudul : Analisis Peran Perusahaan Multinasional dan Nasional Dalam Investasi di Subsektor Perkebunan, Perikanan dan Peternakan, yang dilaksanakan pada tahun 1992. 2 PERKEMBANGAN DAN POLA INVESTASI SUBSEKTOR PERIKANAN Perkembangan Investasi Sub Sektor Perikanan Investasi yang ditanam dalam sub sektor perikanan berasal dari beberapa sumber, yaitu Penanaman Modal Asing (PMA), Penanaman Modal Dalam Negeri (PMDN) dan Swasta Nasional non PMA/PMDN. Masuknya investasi tiap-tiap sumber itu tidak selalu sama. Investasi yang bersumber dari PMA relatif baru berkembang sejak tahun 1985, yaitu dengan masuknya negara-negara penanam modal asing selain Jepang seperti Amerika Serikat, Belanda, Denmark, Hongkong, Singapura, Swedia, Taiwan dan Thailand. Sebelum periode tersebut, Jepang adalah negara investor utama yang menanamkan modalnya pada sub sektor perikanan di Indonesia. Pada tulisan ini pembahasan tentang investasi tersebut akan difokuskan pada periode 6 tahun, yakni dari tahun 1985 —1990. Informasi secara keseluruhan mengenai perkembangan investasi PMA pada sub sektor perikanan dapat disimak pada Tabel 1. Pada Tabel 1 tersebut dapat dilihat bahwa jumlah perusahaan PMA telah meningkat dari 16 buah (1985) menjadi 28 buah (1990) atau meningkat dengan laju 14,26 persen per tahun. Pada periode yang sama realisasi investasi yang bersumber dari PMA di sub sektor perikanan juga mengalami peningkatan, yaitu dari US $ 68,2 juta meningkat menjadi US $ 108,00 juta pada tahun 1990 atau meningkat dengan laju pertumbuhan sebesar 9,0 persen per tahun. Namun realisasi investasi perusahaan PMA ini masih lebih rendah dari pada jumlah investasi yang direncanakan. Dari tahun 1985 — 1990 rata-rata realisasi hanya 80,48 persen dari rencana investasi. Selain itu pada periode tersebut terlihat adanya indikasi bahwa laju pertumbuhan itu menurun, walaupun kecil. Investasi di sub sektor perikanan yang bersumber dari PMDN dari tahun 1985 — 1990 disajikan pada Tabel 2. Suatu hal yang menggembirakan adalah jumlah unit perusahaan yang meningkat sebesar 38,29 persen, dan realisasi investasi 42,51 persen. Namun di balik itu, walaupun investasi meningkat, tetapi realisasi lebih rendah daripada rencana dan secara proporsional cenderung menurun, yakni 16,80 persen per tahun dalam periode 1985 —1990. Kecenderungan ini berjalan seperti yang terjadi pada PMA. Tabel 1. Perkembangan jumlah perusahaan dan jumlah investasi PMA di Indonesia pada sub sektor perikanan, tahun 1985 -1990 Jumlah perusahaan (buah) Rencana investasi (juta US $) 1985 1986 1987 1988 1989 1990 16 15 15 18 27 28 96,30 89,40 91,30 99,20 147,40 149,40 68,20 80,80 83,00 85,20 107,02 108,00 70,82 90,38 90,91 85,89 72,61 72,29 Rata-rata Laju pertumbuhan (%/th) 20 112,20 88,70 80,48 14,26 11,40 9,00 - 1,81 Tahun Realisasi investasi % dan rencana (juta US $) Sumber: BKPM, diolah oleh Ditjen Perikanan, Jakarta, 1992. Tabel 2. Perkembangan jtunlah perusahaan dan jumlah investasi PMDN, tahun 1985 -1990 Tahun 1985 1986 1987 1988 1989 1990 Rata-rata Trend (0/o/th) Jumlah perusahaan (buah) Rencana investasi (juta Rp) 12 21 53 86 120 127 36.324 50.298 301.438 571.836 835.657 921.738 19.151 29.276 80.714 149.380 233.340 271.424 52,73 58,21 26,78 26,13 27,93 29,45 71 452.880 130.550 36,87 44,50 42,51 38,29 Realisasi investasi dan rencana Juta Rp - 16,80 Sumber: BKPM, diolah oleh Ditjen Perikanan, Jakarta, 1992. Selain sumber investasi dari PMA dan PMDN, investasi pada bidang perikanan sebagian juga berasal dari Swasta Nasional Non PMA dan PMDN. Tabel 3 memperlihatkan perkembangan jumlah perusahaan dan investasi yang berasal dari Swasta Nasional Non PMA dan PMDN. Pada Tabel itu dapat dilihat bahwa jumlah rencana investasi dan realisasinya meningkat dan tahun 1985 hingga 1990, demikian halnya yang terjadi pada jumlah perusahaan. Selama periode tersebut jumlah perusahaan, rencana investasi dan realisasinya secara berturut-turut meningkat sebesar 46 persen, 50,49 persen dan 52,52 persen per tahun. Kondisi ini berbeda dengan kedua sumber investasi yang disebut terdahulu. Perkembangan investasi yang bersumber dan Swasta Nasional Non PMA dan PMDN ini, yang diukur dari laju pertumbuhannya, lebih tinggi jika dibandingkan dengan investasi yang berasal dan sumber investasi PMA dan PMDN. Namun di balik keberhasilan itu, pangsa atau persentasi realisasi investasi dari Perusahaan Swasta Nasional Non PMA/ PMDN lebih kecil dari pada kedua lainnya. Gambaran tentang perkembangan investasi yang bersumber dan PMA, PMDN dan Swasta Nasional non PMA/PMDN merefleksikan beberapa hal sebagai berikut : (1) telah terjadi perkembangan minat investor dalam menanamkan modalnya pada sub sektor perikanan yang ditunjukkan oleh perkembangan jumlah perusahaan dan realisasi investasi yang ditanamkan; (2) daya serap sub sektor perikanan terhadap investasi masih 3 Tabel 3. Perkembangan jumlah perusahaan dan jumlah investasi Swasta Nasional Non PMA/PMDN, tahun 1985 —1990 Tahun 1985 1986 1987 1988 1989 1990 Rata-rata Laju pertumbuhan (%/th) Jumlah perusahaan (buah) Rencana investasi (juta Rp) Realisasi investasi e/o dari rencana Juta US $ 13 16 25 42 114 137 17.370 32.414 43.002 81.690 280.244 315.086 5.666 8.431 17.159 26.937 88.467 117.636 32,62 26,01 39,09 32,98 31,57 37,34 58 128.451 44.049 33,27 46 50,49 52,52 2,93 Sumber: BKPM, diolah oleh Ditjen Perikanan, Jakarta, 1992. relatif rendah, hal ini dapat ditunjukkan oleh perkembangan pangsa realisasi terhadap rencana investasi PMA dan PMDN yang semakin mengecil; (3) investor asing (PMA) telah menanamkan modalnya di sub sektor perikanan secara lebih mantap dan terencana, hal ini ditunjukkan oleh jumlah investasi dan pangsa realisasi terhadap rencana investasi yang lebih besar dibandingkan PMDN dan Swasta Nasional Non PMA/PMDN. Suatu hal yang menarik untuk dikaji lagi dari kondisi atau perkembangan investasi tersebut adalah realisasi investasi yang lebih rendah dari pada rencana secara keseluruhan dan perbedaan pangsa realisasi antar sumber investasi. Seperti kita ketahui bahwa perkembangan investasi tidak hanya ditentukan oleh ketersediaan dana, potensi sumberdaya dan permintaan pasar terhadap produk yang dihasilkan, melainkan juga oleh faktor lain, seperti manajemen dan faktor sosial lainnya. Menurut Cernea yang diterjemahkan oleh Basilius (1988), walaupun kebutuhan akan sumberdaya berupa uang tidak dapat dibantah lagi pentingnya, harus diakui bahwa program-program pertanian seringkali terlantar, bukan karena kurangnya uang dari luar, tetapi karena ketidakmampuan masyarakat untuk menyerap secara efektif dan ketidakmampuan para perencana mendefinisikan suatu strategi sosial yang efisien bagi pembangunan. Permasalahan ini lebih menonjol lagi pada bidang perikanan, mengingat tenaga kerja yang terlibat dalam bidang perikanan itu (nelayan) secara umum pendidikannya relatif rendah dengan sarana penunjang yang juga kurang 4 memadai. Sifat produksi perikanan yang mempunyai risiko produksi dan harga yang tinggi juga ikut mempengaruhi daya serap sub sektor perikanan itu terhadap investasi. Pola Investasi pada Subsektor Perikanan Pola investasi yang dimaksud di sini adalah alokasi pendayagunaan investasi menurut bidang usaha dalam sub sektor perikanan itu. Berikut ini akan dibahas keragaan pola investasi oleh PMA, PMDN dan Swasta Nasional Non PMA/PMDN. Tabel 4 memperlihatkan pola investasi PMA menurut bidang usaha pada periode 1985 — 1990. Tabel itu memperlihatkan bahwa pada periode tersebut bidang usaha yang banyak diminati oleh perusahaan PMA adalah usaha penangkapan Udang dan Tuna/Cakalang. Pada tahun 1990, investasi pada penangkapan udang dan tuna/ cakalang masing-masing 37,1 juta US $ dan 36,9 juta US $. Investasi pada bidang usaha lainnya relatif kecil bahkan ada bidang usaha yang baru dimasuki oleh perusahaan PMA ini pada tahun 1990. Suatu hal yang menarik dari data ini untuk dikaji adalah laju pertumbuhan investasi pada bidang penangkapan udang dan tuna/cakalang. Selama periode itu usaha penangkapan udang cenderung menurun, walaupun kecil yakni 1,80 persen per tahun. Diduga hal ini ada kaitannya dengan potensi sumberdaya udang di laut yang mulai menurun sebagai akibat dari intensitas Tabel 4. Investasi perusahaan perikanan PMA menurut jenis usaha, selama periode 1985-1990 (juta US $) Bidang usaha 1985 1986 1987 1988 1989 1990 Penangkapan udang Penangkapan T/C Penangkapan ikan Pengump./pengolah Budidaya mutiara Budidaya ikan bias Tambak/hatchery 41,9 14,0 36,5 32,0 36,6 32,0 36,6 32,0 7,2 5,1 7,2 5,1 7,2 7a 7,2 8,8 36,72 37 6 7,2 13,74 0,5 5,78 37,1 36,9 6 7,8 14,5 0,1 5,6 Jumlah 68,2 85,2 107,02 108,0 80,8 83,0 Laju pertumbuhan (e/o) - 1,80 12,07 1,20 23,46 Sumber: BKPM diolah oleh Ditjen Perikanan dalam (Hermanto, et al.). Analisis Peran Perusahaan Multinasional dan Perusahaan Nasional dalam Investasi di Subsektor Perikanan. Pusat Penelitian Sosial Ekonomi Pertanian, 1992. Bogor. penangkapan yang relatif tinggi sejak tahun 1970an. Berbeda dengan investasi pada bidang penangkapan udang, investasi penangkapan tuna/cakalang masih terus meningkat, dengan laju pertumbuhan 12,07 persen per tahun. Diduga hal ini dipengaruhi oleh potensi ikan tuna/cakalang yang memang relatif tinggi. Tentu, faktor lain, seperti permintaan terhadap komoditas itu tidak dapat diabaikan. Secara teoritis, pengusaha akan menanamkan modalnya pada bidang-bidang yang lebih menguntungkan. Udang dan tuna/cakalang merupakan komoditas terpenting secara ekonomis di Indonesia. Bidang usaha budidaya mutiara menduduki urutan ketiga dalam investasi melalui PMA, yaitu 5,1 juta US $ pada tahun 1985 meningkat menjadi 14,5 juta US $ pada tahun 1990, dengan laju pertumbuhan 23,46 persen per tahun. Bidang usaha ini banyak terdapat di perairan Indonesia Bagian Timur. Hal ini berkaitan dengan kenyataan bahwa masyarakat di daerah itu sudah terampil dalam budidaya mutiara ini. Selain itu, pada Tabel 4 itu dapat dilihat bahwa bidang usaha budidaya ikan hias dan tambak/ hatchery belum banyak diminati oleh perusahaan PMA. Secara potensial, kedua bidang usaha ini mempunyai prospek untuk berkembang. Namun, karena usaha ini mempunyai risiko produksi yang tinggi, mungkin perusahaan PMA kurang tertarik untuk menanam modalnya pada bidang ini. Ketersediaan informasi yang memadai tentang potensi sumberdaya perikanan itu serta prospek pengembangannya ikut mempengaruhi investasi tersebut. Tabel 5 memperlihatkan investasi perusahaan PMDN menurut jenis usaha dan tahun 1985 -1990. Data pada tabel itu memperlihatkan bahwa dilihat dari besarnya investasi pada tahun 1990, bidang usaha budidaya tambak/hatchery menduduki urutan pertama, kemudian menyusul bidang usaha penangkapan tuna/cakalang dan penangkapan udang di laut. Selain itu, usaha budidaya tambak/hatchery ini juga mempunyai laju pertumbuhan yang lebih tinggi dibandingkan dengan yang lain. Walaupun dengan resiko produksi yang tinggi, usaha tambak udang dan hatchery sangat diminati oleh pengusaha dalam negeri. Tampaknya permintaan pasar akan udang di luar negeri yang relatif kuat dengan harga yang tinggi sangat mendorong perusahaan PMDN bergerak dalam usaha ini. Berbeda dengan budidaya udang, usaha penangkapan udang tampaknya kurang merangsang perusahaan PMDN. Hal ini sejalan dengan kondisi investasi PMA pada bidang penangkapan udang yang cenderung menurun akhir-akhir ini seperti terlihat pada Tabel 4. Kondisi sumberdaya udang di laut yang telah dieksploitasi secara intensif cenderung mempengaruhi laju pertumbuhan investasi di bidang ini. Selain itu, investasi untuk penangkapan ikan (bukan tuna/cakalang) dan pengolahan ikan semakin menonjol dengan laju pertumbuhan masingmasing sebesar 17,02 persen dan 26,37 persen per tahun. Bidang usaha yang dimasuki oleh perusahaan PMDN ini lebih beragam dibandingkan dengan perusahaan PMA. Budidaya mutiara, ikan hias, budidaya bekicot dan kodok mulai dimasuki oleh perusahaan ini. Komoditas-komoditas yang disebut terakhir ini merupakan komoditas ekspor yang prospektif dimasa depan. Akhir-akhir ini permintaan bekicot meningkat dari negara Masyarakat Ekonomi Eropa (MEE). Adanya 5 Tabel 5. Investasi perusahaan perikanan PMDN menurut jenis usaha, selama periode tahun 1985 -1990 (Juta Rp) Penangkapan udang Penangkapan T/C Penangkapan ikan Pengump./pengolah Budidaya mutiara Budidaya ikan hias Budidaya tambak/Hch. Budidaya buaya Budidaya rumput laut Budidaya bekicot Budidaya kodok 1985 1986 1987 1988 1989 1990 4.388 10.927 532 2.367 300 100 537 6.126 13.314 6.532 2.367 300 100 537 6.126 26.042 6.532 2.367 1.274 100 38.273 6.126 71.669 6.532 2.367 2.303 100 61.145 6.126 93.572 6.532 6.126 2.303 100 117.971 276 120 360 167 6.127 93.574 7.271 7.091 2.303 100 153.257 276 120 1.138 167 167 Laju pertumbuhan (0/o) 4,20 34,09 17,02 26,37 35,43 52,52 Sumber: BKPM, diolah oleh Ditjen Perikanan dalam (Hermanto, et al.) Analisis Peran Perusahaan Multinasional dan Perusahaan Nasional dalam Investasi di Subsektor Perikanan. Pusat Penelitian Sosial Ekonomi Pertanian, 1992. Bogor. indikasi pergeseran pola konsumsi di negara-negara maju seperti MEE, Jepang dan Amerika Serikat dari protein hewani (ternak) ke sumber protein produksi perikanan harus dimanfaatkan dalam pengembangan perdagangan produksi perikanan. Investasi perusahaan swasta nasional non PMA/PMDN menurut jenis usaha selama periode tahun 1985 -1990 disajikan pada Tabel 6. Pada tabel itu dapat dilihat bahwa pada tahun 1990, usaha penangkapan ikan (bukan tuna/cakalang) menduduki posisi terbesar dalam penyerapan investasi, yakni Rp 62.783 juta atau 53,6 persen dan total investasi swasta nasional non PMA/PMDN. Penanaman investasi pada bidang usaha penangkapan udang, penangkapan tuna/cakalang dan usaha tambak/hatchery menduduki posisi yang hampir sama setelah penangkapan ikan. Berkembangnya investasi pada penangkapan ikan bukan tuna/cakalang merupakan sesuatu yang menggembirakan. Artinya usaha penangkapan semakin bervariasi sesuai dengan potensi sumberdaya perikanan Indonesia yang memang beragam. Jenis ikan layang, kembung dan tenggiri merupakan jenis ikan yang ekonomis yang banyak terdapat di perairan Indonesia, dan potensial untuk dikembangkan. Selain jenis-jenis usaha yang disebutkan di atas, usaha-usaha lain juga dikembangkan oleh pihak swasta nasional tersebut sebagaimana halnya yang dilakukan oleh perusahaan PMDN. Budidaya Tabel 6. Investasi perusahaan perikanan Swasta Nasional (Non PMA/PMDN) menurut jenis usaha, selama periode tahun 1985 -1990 (juta Rp) Laju pertumbuhan (%) Bidang usaha 1985 1986 1987 1988 1989 1990 Penangkapan udang Penangkapan T/C Penangkapan ikan Tambak/hatchery Budidaya mutiara Pengump./pengolah Budidaya ikan Budidaya kodok Budidaya ikan hias 4.848 818 4.848 2.083 4.848 4.023 52 8.194 42 8.396 6.733 3.572 8.194 42 14.238 16.643 43.821 10.589 1.016 100 25 1.300 735 16.238 17.424 62.783 17.126 1.084 521 25 1.300 735 28,45 44,68 Jumlah 5.666 17.159 26.937 88.467 117.236 52,52 600 7.431 40,30 Sumber: BKPM, diolah oleh Ditjen Perikanan dalam (Hermanto, et al.) Analisis Peran Perusahaan Multinasional dan Perusahaan Nasional dalam Investasi di Subsektor Perikanan. Pusat Penelitian Sosial Ekonomi Pertanian, 1992. Bogor. 6 mutiara, budidaya ikan, kodok dan ikan hias merupakan jenis usaha yang mulai dimasuki juga oleh pihak swasta nasional bukan PMDN/PMA. Sebagian komoditas tersebut merupakan komoditas ekspor, yang akhir-akhir ini menunjukkan prospek pemasaran yang semakin membaik. Pola investasi dalam bidang perikanan ini, selain dilihat dari segi jenis usaha dapat juga dilihat dari segi lokasi usaha. Tabel 7 memperlihatkan penyebaran investasi PMA dan PMDN pada sub sektor perikanan menurut lokasi. Pada tabel itu dapat dilihat bahwa selama periode 1968 -1990 investasi PMA terbesar terdapat di daerah Irian Jaya, yakni sebesar 46,7 persen dari total investasi PMA. Hal itu erat kaitannya dengan kondisi sumberdaya udang dan ikan tuna/cakalang yang banyak terdapat di perairan itu. Sejak tahun 1970, usaha penangkapan udang oleh perusahaan PMA terutama perusahaan Jepang beroperasi di perairan Irian Jaya. Setelah Irian Jaya, daerah Kalimantan dan Sumatera secara berturut-turut merupakan daerah yang menduduki urutan kedua dan ketiga dalam penanaman investasi PMA. Kegiatan usaha yang dominan yang menggunakan investasi PMA adalah usaha penangkapan tuna/cakalang di pantai Barat Sumatera dan usaha penangkapan udang di pantai Timur Sumatera. Di perairan Kalimantan usaha perikanan yang dominan yang menggunakan investasi PMA adalah usaha penangkapan udang. Hal lain yang menarik untuk dicatat dari tabel itu adalah investasi PMA di Jawa yang rendah, yaitu hanya 3,4 persen dan total investasi PMA selama periode 1968 - 1990. Hal ini diduga erat kaitannya dengan kondisi sumberdaya perikanan di perairan Jawa, terutama pantai Utara Jawa yang telah dieksploitasi relatif tinggi. Usaha penang- kapan ikan dan udang di laut Jawa relatif padat, terutama oleh nelayan kecil. Dan sini terlihat bahwa pihak perusahaan PMA selektif, tidak hanya dalam pemilihan jenis usaha, melainkan juga pemilihan lokasi, sehingga usaha tersebut menguntungkan. Tabel 7 juga memperlihatkan penyebaran investasi PMDN menurut lokasi. Daerah Jawa menduduki urutan pertama, yakni 42,0 persen, sebaliknya Irian Jaya termasuk daerah yang menerima investasi PMDN terkecil, yakni 4,3 persen dari total investasi PMDN selama periode 1968 1990. Dilihat dari segi penyebaran investasi menurut lokasi, kondisi PMDN merupakan kebalikan dengan kondisi PMA. Tampaknya perusahaan PMDN cenderung memusatkan diri di daerahdaerah dimana perusahaan PMA kurang berkembang dan memilih jenis usaha yang kurang diminati oleh perusahaan PMA. Usaha yang dimasuki oleh PMDN lebih beragam dibandingkan dengan PMA dan mencoba mengembangkan jenis usaha baru. Akhir-akhir ini mulai dikembangkan budidaya ikan Kerapu, seperti di Riau, Lampung dan perairan pantai Sibolga. Budidaya kerapu ini dapat dilakukan dengan berbagai skala usaha dari skala kecil hingga besar dan relatif memerlukan banyak tenaga kerja. Ikan kerapu ini merupakan komoditas ekspor antara lain ke Hongkong. PERANAN INVESTASI TERHADAP EKSPOR DAN PENYERAPAN TENAGA KERJA Peranan Investasi Terhadap Ekspor Seperti telah dikemukakan terdahulu bahwa sasaran utama investasi dalam dunia perikanan Tabel 7. Penyebaran nilai investasi PMA dan PMDN subsektor perikanan menurut lokasi, 1968 -1990 Pulau 1. 2. 3. 4. 5. 6. 7. PMA (Juta US $) PMDN (Milyar Rp) Jawa Sumatera Kalimantan Sulawesi Nusa Tenggara Maluku Irian Jaya 13,9 (3,4) 53,4 (13,1) 57,1 (12,5) 43,8 (10,7) 37,6 (9,2) 17,9 (4,4) 190,2 (46,7) 1.153,0 (42,0) 487,9 (17,8) 92,7 (3,4) 607,0 (22,1) 133,9 (4,9) 152,3 (5,5) 118,9 (4,2) Total 407,9 (100) 2.745,7 (100) Keterangan: ( ) = persen terhadap total. Sumber: BKPM, diolah oleh Ditjen Perikanan, Jakarta, 1992. 7 antara lain adalah untuk meningkatkan ekspor. Perkembangan nilai ekspor yang dilakukan oleh investor PMA dan PMDN dan total nilai ekspor subsektor perikanan pada tahun 1985 —1990 disajikan pada Tabel 8. Pada tabel itu dapat dilihat bahwa dari tahun 1985 —1990 total nilai ekspor produksi perikanan meningkat dengan laju pertumbuhan sebesar 25,60 persen per tahun. Suatu laju pertumbuhan yang sangat menggembirakan. Di sisi lain pada tabel itu dapat dilihat bahwa pada periode itu nilai ekspor yang dilakukan oleh investor meningkat hanya dengan laju pertumbuhan sebesar 8,44 persen per tahun. Hal itu berarti bahwa peranan investor terhadap ekspor produksi perikanan menurun selama periode itu. Pangsa ekspor oleh investor terhadap total ekspor produksi perikanan menurun dengan laju 7,50 persen per tahun dan tahun 1985 — 1990. Secara grafis, perkembangan nilai ekspor oleh investor dan total ekspor perikanan disajikan Gambar 1. Jika perkembangan ekspor yang dilakukan oleh investor ini dikaitkan dengan perkembangan investasi yang dilakukan oleh PMA dan PMDN (Tabel 1 dan 2), maka dapat dilihat bahwa laju pertumbuhan investasi tidak diikuti oleh laju ekspor secara proporsional atau paling sedikit dengan arah yang sama. Pangsa realisasi investasi menurun dari tahun ke tahun selama periode tersebut. Suatu hal yang diduga sebagai faktor penyebab gejala tersebut di atas adalah perilaku harga komoditas itu di pasar internasional. Akhir-akhir ini ada gejala harga komoditas pertanian, termasuk komoditas perikanan menurun di pasar internasional. Kualitas komoditas perikanan dari Indonesia yang sering dinilai lebih rendah dari pada kualitas komoditas yang sama dari negara lain yang diperdagangkan adalah salah satu faktor penyebab mengapa harga komoditas dari Indonesia relatif rendah di pasaran internasional. Di sisi lain perkembangan nilai total ekspor perikanan dengan laju yang relatif besar (25,60 persen per tahun) antara lain disebabkan oleh meningkatnya keragaman komoditas ekspor yang sebagian besar dihasilkan oleh eksporter lain (investor bukan PMA dan PMDN), seperti Badan Usaha Milik Negara (BUMN) dan Swasta Nasional yang tidak termasuk PMA dan PMDN). Tampaknya peran BUMN dalam ekspor produksi perikanan semakin menonjol ini. Untuk lebih mendorong pihak swasta untuk bergerak di bidang perikanan diperlukan ketersediaan informasi tentang produksi sumberdaya perikanan beserta prospeknya dimasa depan, disamping kemudahan-kemudahan lainnya, terutama bagi swasta nasional yang bergerak dalam bidang perikanan. Peranan Investasi Dalam Penyediaan Tenaga Kerja Salah satu permasalahan perekonomian nasional adalah keterbatasan kesempatan kerja. Oleh Tabel 8. Perkembangan nilai ekspor oleh investor dan total nilai ekspor subsektor perikanan, tahun 1985 —1990. Nilai ekspor yang I) dilakukan oleh investor Tahun Total nilai3) ekspor (US $ juta) Jumlah (US $ juta) % terhadap nilai ekspor perikanan 1985 1986 1987 1988 1989 1990 50,00 324,40 465,59 501,15 432,97 182,98 19,3 91,5 97,9 70,4 52,0 18,0 259,44 374,12 475,12 712,20 832,71 1039,68 Rata-rata Laju pertumbuhan (%/th) 329,18 58,18 615,55 8,44 -7,50 25,60 Sumber: I) Investor yang dimaksud di sini adalah PMA dan PMDN. BKPM diolah Ditjen Perikanan (1985 — 1990). 3) BPS. 1968 —1990. Biro Pusat Statistik, Jakarta. 8 Perkembangan Nilai Ekspor Total dan Nilai Ekspor Oleh PMA dan PMDN Sub-Sektor Perikanan, 1985-1990 Outs US S) 1,200 1,000 800 600 400 200 0 1985 1986 1988 1987 1989 1990 Tahun Keterangan : Nilai Ekspor produksi sebab itu, pemilihan investasi dalam pembangunan seyogyanya dikaitkan dengan kemampuan kegiatan ekonomi itu dengan penyerapan tenaga kerja. Herrich and Kindlebergen (1983) menyatakan bahwa laju pertumbuhan ekonomi dapat diukur dari rasio kapital output dan laju pertumbuhan penyerapan tenaga kerja. Tabel 9 menunjukkan jumlah investasi, tenaga kerja yang diserap dan rasio tenaga kerja terhadap investasi PMDN dan PMA pada setiap sub sektor pertanian selama periode 1968 —1990. Pada tabel itu dapat dilihat bahwa tenaga kerja yang diserap oleh sub sektor perikanan melalui perusahaan PMDN dan PMA hanya 92.500 orang atau 7,1 persen dan total tenaga kerja yang diserap oleh sektor pertanian melalui kedua bentuk perusahaan itu. Dilihat dari segi penyerapan tenaga kerja perusahaan PMA dan PMDN pada bidang perikanan hanya menduduki urutan ketiga dari keempat sub sektor di lingkungan sektor pertanian. Hal itu, selain dipengaruhi oleh besamya investasi, juga dipengaruhi oleh perbedaan kemampuan jenis usaha dalam sub sektor itu untuk menyerap tenaga ♦ Total Nilai Ekspor kerja. Sedangkan dengan perusahaan yang sama (PMDN), sub sektor tanaman pangan, perkebunan dan peternakan secara berturut-turut mempunyai rasio tenaga kerja dengan investasi sebesar 0,062; 0,077 dan 0,015 orang per juta rupiah. Dari sini terlihat bahwa jenis usaha yang termasuk PMDN dalam sub sektor perikanan lebih bersifat padat kapital dari pada sub sektor tanaman pangan dan perkebunan, tetapi masih lebih bersifat padat karya bila dibandingkan dengan investasi pada sub sektor peternakan. Kemudian, kalau disimak dari sifat perusahaan yang termasuk PMA, maka terlihat bahwa jenis usaha pada sub sektor perikanan lebih bersifat padat modal dibandingkan dengan ketiga sub sektor lainnya. Rasio tenaga kerja dengan investasi untuk sub sektor tanaman pangan, perkebunan, peternakan dan perikanan masing-masing sebesar 0,048; 0,047 dan 0,066 dan 0,023 orang per seribu US $. Tabel 9 juga memperlihatkan rasio tenaga kerja dengan investasi, baik pada PMDN maupun PMA. Pada tabel itu dapat dilihat bahwa secara agregat 9 Tabel 9. Jumlah investasi tenaga kerja dan rasio pekerja terhadap investasi, pada PMDN dan PMA selama periode 1968 —1990. PMDN PMA Sub sektor Jumlah investasi (juta rupiah) Jumlah tenaga kerja (orang) Rasio pekerja/investasi (orang/juta rupiah) 1. Tanaman Pangan 2. Perkebunan 3. Peternakan 4. Perikanan Total 2.519.059,5 12.727.167,9 596.156,4 2.745.700,0 18.588.083,8 156.517 981.346 8.907 82.933 1.229.703 0,062 0,077 0,015 0,030 0,066 Jumlah investasi (ribu US $) 177.043,4 836.573,3 128.310,6 407.900,0 1.549.827,3 Jumlah tenaga kerja (orang) Rasio pekerja/investasi (orang/ribu US $) 8.443 39.663 8.457 9.567 66.130 0,048 0,047 0,066 0,023 0,043 Sumber: 1) BKPM (data diolah) Ditjen Perikanan. rasio tersebut pada PMDN lebih besar dari pada PMA. Hal ini berarti bahwa PMDN lebih padat karya dari pada PMA. Demikian juga halnya dengan perusahaan yang bergerak pada sub sektor perikanan. Tampaknya perusahaan PMA lebih berorientasi memaksimumkan keuntungan dengan padat permodalan dan penggunaan teknologi yang lebih canggih dari pada PMDN. Seperti telah dikemukakan terdahulu, PMA lebih selektif dalam memasuki jenis usaha dari pada PMDN. Implikasi yang dapat ditarik dari sini adalah bahwa jika kita ingin mengembangkan sub sektor perikanan yang lebih memperhatikan penyerapan tenaga kerja, maka tampaknya lebih tepat mengembangkan perusahaan PMDN dan swasta nasional Non PMA dan PMDN dari pada PMA. Secara logis, perusahaan PMDN dan swasta nasional non PMA dan PMDN lebih mengetahui kondisi sumberdaya dan ekonomi perikanan di Indonesia, sehingga tentunya keputusan investasi mereka akan lebih akurat. Untuk mendorong perkembangan perikanan itu, khususnya keterlibatan PMDN dan Swasta Nasional non PMA dan PMDN diperlukan fasilitas dan penyediaan informasi tentang perikanan itu yang lebih memadai. KENDALA PENGEMBANGAN INVESTASI Kendala Sumberdaya Alam Secara umum kendala yang dihadapi dalam pengembangan investasi perikanan adalah tingginya tingkat penangkapan ikan di beberapa lokasi 10 penangkapan dan menurunnya kualitas sumberdaya alam (kemerosotan lingkungan, pendangkalan perairan, pencemaran dan punahnya kawasan pemijahan). Sebagai ilustrasi tingkat penangkapan ikan di laut Jawa dan Selat Malaka sudah cenderung melampaui potensi sumberdaya perikanan yang lestari. Disamping itu, walaupun produktivitas lahan pantai pada umumnya masih rendah dan secara keseluruhan tingkat pendayagunaannya belum optimal, namun demikian di beberapa daerah telah terjadi tekanan ekologis yang cukup berat, sebagai akibat kegiatan budidaya perikanan yang intensif dan akibat tekanan sektor non pertanian. Dapat dikemukakan bahwa di pantai utara Jawa, dimana pemanfaatannya untuk pertambakan udang intensif dengan skala besarbesaran sudah menunjukkan adanya dampak negatif terhadap ketersediaan air bersih. Sehingga banyak pengusaha tambak khususnya yang menggunakan teknik budidaya secara intensif banyak yang mengalami kegagalan. Dinas Perikanan Kodya dan Kabupaten Cirebon menganjurkan agar pengembangan tambak udang dimasa mendatang diarahkan ke bentuk usaha tambak yang semi intensif. Disamping itu, perencanaan tata guna lahan pantai untuk tambak udang hendaknya secara seksama selalu dikaitkan dengan kebutuhan dan ketersediaan air bersih, sehingga akan terjadi keseimbangan antara sumberdaya yang tersedia dengan tingkat pemanfaatannya. Dengan demikian kesinambungan produksi tambak udang dapat dipertahankan, sehingga masalah kekurangan bahan baku bagi industri cold storage udang bisa teratasi secara berkesinambungan. Kendala Permodalan Adanya kebijaksanaan uang ketat atau tight money policy (TMP) yang berlaku pada saat penelitian sangat mempengaruhi kesulitan bagi swasta, khususnya swasta nasional dalam memperoleh kredit dari Bank. Implikasi dari kebijaksanaan tersebut adalah tingginya tingkat suku bunga kredit, maka investor cenderung sangat berhati-hati dalam mengambil keputusan untuk menggunakan kredit dari Bank untuk investasi di subsektor perikanan. Namun, dewasa ini tampaknya pemerintah telah mulai tanggap terhadap permasalahan ini, dengan dilakukannya deregulasi di sektor perbankan. Kebijakan deregulasi di sektor perbankan ini diharapkan dimasa mendatang mampu menggairahkan minat swasta untuk terjun dalam usaha perikanan ini. Belajar dari pengalaman banyaknya kredit macet dari berbagai sektor usaha, maka pemberian kredit hendaknya dilakukan dengan lebih selektif, karena perusahaan yang mengadakan ekspansi besar-besaran tanpa memperhitungkan daya serap pasar dan kemampuan managemennya akan mengalami kegagalan. Kendala Pemasaran Perikanan penangkapan dan budidaya sangat didominasi oleh jenis komoditas ekspor, seperti udang dan tuna/cakalang. Hal ini terlihat jelas dari hasil ekspor udang dan tuna/cakalang selama pembangunan lima Pelita, serta perkembangan nilai investasi yang ditanamkan baik PMA, PMDN maupun swasta nasional. Perikanan tuna/cakalang yang dikembangkan sejak Pelita II, pada dewasa ini telah merupakan komoditas andalan kedua setelah udang. Selama Pelita IV dan V pengembangan perikanan sudah relatif beragam ke arah komoditas baru, yaitu pengembangan ekspor seperti rumput laut, ubur-ubur, bekicot, kodok dan jenis ikan lainnya. Walaupun udang merupakan komoditas ekspor yang mempunyai prospek yang baik, ternyata komoditas ini sangat rentan terhadap perubahan produksi dan fluktuasi harga di pasar internasional. Oleh karena itu, pengembangan komoditas ekspor perikanan sangat memerlukan pelayanan informasi yang cepat dan akurat. Informasi tersebut harus mencakup tentang jenis dan jumlah komoditas yang diminta, harga dan grading, kualitas dan standarisasi mutu, serta lokasi negara yang meminta. Disamping itu perlu pula informasi pasar yang bersifat kualitatif, seperti misalnya tentang perkembangan pasar intemasional menurut musim, tingkah laku konstunen di negara tujuan ekspor, jenis-jenis komoditas perikanan spesifik yang disukai, struktur pasar dan pola konsumsi masyarakat setempat. Permintaan akan komoditas perikanan mempunyai spesifikasi tersendiri. Misalnya, harga produk ikan kalengan terbukti jauh lebih rendah bila dibandingkan dengan harga produk ikan beku. Adapun harga produk perikanan yang tertinggi di pasaran dunia adalah produk ikan yang masih hidup. Hal ini memberikan suatu indikasi bahwa produk-produk perikanan relatif banyak dikonsumsi golongan masyarakat berpendapatan tinggi di negara tujuan, yang menuntut kesegaran produk dan kualitas yang baik. Kendala yang Dihadapi Oleh Usaha Pembekuan Udang (Studi Kasus) Pada tahun 1989, telah berdiri beberapa perusahaan pembekuan ikan dan udang untuk komoditi ekspor seperti : (1) PT. Cekatan Sekawan di Karawang; (2) PT. INHI Pioner Food Product di Karawang; (3) PT. Sheraton Sea Food Product di Cirebon; (4) PT. Inti Mina Setia Tama di Cirebon; (5) PT. Agromina Arya Hutama di Cirebon; (6) PT. Kartika ABEF International di Cirebon, dan (7) PT. Scefeer Jaya di Cirebon (Dinas Perikanan Propinsi Jawa Barat, 1989). Berdasarkan informasi yang berhasil dihimpun melalui studi kasus dan data yang diperoleh dari industri cold storage di Cirebon, dapat memberikan gambaran bahwa situasi industri cold storage di Cirebon pada umumnya dalam kondisi yang memprihatinkan. Dewasa ini (1991/1992) industri cold storage hasil perikanan hanya mampu beroperasi jauh di bawah kapasitas produksi optimal, yaitu hanya 20 — 30 persen kapasitas produksi optimal. Dari informasi di lapang, rata-rata industri cold storage pada saat penelitian mempunyai kapasitas produksi per tahun sebagai berikut : (1) udang 252 ton; (2) ikan 162 ton; (3) limbah udang 136 ton; dan (4) limbah ikan 180 ton, masing-masing senilai Rp 4.787 juta, Rp 1.451 juta, Rp 10,85 juta dan Rp 54 juta. Rendahnya kapasitas aktual perusahaan pembekuan udang tersebut disebabkan oleh beberapa faktor utama seperti : (1) kurangnya bahan baku udang sebagai akibat gagalnya budidaya udang/ 11 tambak yang diusahakan secara intensif; (2) kekurangan bahan baku udang/ikan secara musiman, sehingga usaha pembekuan hams dilakukan diversifikasi usaha dengan mengolah ikan menurut musimnya; (3) sulitnya memperoleh dana untuk modal kerja/investasi karena adanya kebijakan uang ketat; dan (4) resiko perdagangan yang semakin besar sebagai akibat fluktuasi harga yang sangat tajam di negara-negara tujuan. Rendahnya produksi aktual perusahaan pembekuan udang/ ikan dan tingginya fluktuasi harga udang/ikan di pasaran internasional diduga merupakan penyebab utama ditutupnya beberapa perusahaan pembekuan udang/ikan di Cirebon. Adapun bagi perusahaan yang masih bertahan, situasi produksi dan pasaran internasional tersebut dianggap sebagai kendala bagi pengembangan usahanya. KESIMPULAN DAN SARAN 1. Selama periode 1985 —1990 investasi pihak swasta pada sub sektor perikanan dapat dikatakan cukup berkembang, terutama Swasta Nasional. Perkembangan itu tidak hanya terlihat dari segi besarnya laju pertumbuhan investasi, melainkan juga dari segi berkembangnya ragam jenis usaha yang dimasuki. Investasi Swasta Nasional berkembang lebih pesat dan memasuki jenis usaha perikanan yang lebih beragam dari pada perusahaan PMA. 2. Tampaknya pihak PMA lebih selektif dalam memilih jenis usaha yang mereka masuki dari pada Swasta Nasional. Pada periode itu perusahaan PMA lebih memusatkan investasi pada komoditas udang dan tuna/cakalang yang banyak terdapat di Irian Jaya dan Sumatera. Kedua jenis komoditas ini merupakan jenis komoditas yang mempunyai permintaan yang relatif tinggi dari pasar internasional. 3. Realisasi investasi, baik Swasta Nasional maupun PMA lebih rendah dari pada rencana investasi, terutama investasi Swasta Nasional. Hal ini dapat ditafsirkan bahwa daya serap sub sektor perikanan terhadap investasi masih lemah dan perencanaan investasi yang kurang sesuai dengan kondisi lapang. Lebih rendahnya proporsi realisasi investasi terhadap rencana pada PMDN dan investasi Swasta Nasional lainnya dibandingkan dengan investasi PMA merupakan indikasi bahwa perencanaan perusahaan PMA lebih baik dari pada perencanaan perusahaan 12 nasional. Sarana penunjang yang terbatas dan ketersediaan informasi yang memadai merupakan kendala-kendala yang dihadapi oleh upaya pengembangan perikanan. 4. Nilai ekspor produksi perikanan meningkat dengan laju yang relatif tinggi. Di sisi lain, pada periode yang sama pangsa ekspor yang dilakukan oleh pihak swasta berjalan dengan laju yang menurun. Ini berarti bahwa peranan pihak swasta yang termasuk PMDN dan PMA dalam pengembangan usaha perikanan berjalan lebih lambat dibandingkan dengan pihak lain. Disamping dipengaruhi oleh faktor produksi dan faktor pendukung lainnya, di duga hal itu dipengaruhi oleh perilaku harga komoditas perikanan yang cenderung menurun di pasar internasional akhir-akhir ini. 5. Selama periode tersebut di atas peranan perusahaan PMDN dan PMA yang bergerak pada sub sektor perikanan untuk menyerap tenaga kerja masih relatif kecil, yakni hanya sebesar 7,1 persen dari total tenaga kerja yang diserap oleh kedua bentuk perusahaan itu dalam sektor pertanian. Namun, jumlah tenaga kerja yang diserap oleh sub sektor perikanan masih lebih tinggi dari pada sub sektor petemakan pada saat itu. Perbedaan jumlah tenaga kerja yang diserap oleh tiap sub sektor, selain dipengaruhi oleh besarnya investasi juga dipengaruhi oleh kemampuan investasi tersebut. 6. Kemampuan satu unit investasi perusahaan PMDN sub sektor perikanan dalam menyerap tenaga kerja lebih rendah dari pada kemampuan investasi tersebut pada sub sektor Tanaman Pangan dan Perkebunan, tetapi lebih tinggi dari pada sub sektor Peternakan. Kemampuan satu unit investasi perusahaan PMA pada sub sektor perikanan dalam penyerapan tenaga kerja lebih rendah dari pada kemampuan investasi tersebut pada ketiga sub sektor yang termasuk dalam sektor pertanian. Hal ini berarti bahwa investasi PMDN dan PMA pada sub sektor perikanan lebih bersifat padat modal dibandingkan dengan investasi tersebut pada ketiga sub sektor lainnya, kecuali investasi PMDN pada sub sektor peternakan. 7. Pada sub sektor perikanan, investasi PMA lebih bersifat padat modal dibandingkan dengan investasi PMDN. Ini merupakan indikasi bahwa teknologi yang digunakan oleh perusahaan PMA lebih bersifat padat modal dari pada teknologi yang digunakan oleh PMDN. 8. Untuk mendorong investasi pihak swasta pada sub sektor perikanan diperlukan sarana penunjang yang memadai, seperti kemudahan perkreditan dan ketersediaan informasi yang memadai yang berguna bagi perencanaan pembangunan perikanan yang lebih tepat. 9. Karena teknologi yang digunakan oleh perusahaan PMDN lebih bersifat padat karya dari pada perusahaan PMA, maka untuk meningkatkan ekspor produksi perikanan dan sekaligus dapat memberikan kesempatan kerja yang lebih tinggi, investasi melalui perusahaan PMDN lebih tepat dibandingkan dengan investasi perusahaan PMA. DAFTAR PUSTAKA BPS. 1968-1990. Perkembangan Volume Ekspor Hasil Perikanan. Biro Pusat Statistik, Jakarta. BKPM. 1991. Evaluasi Penanaman Modal Tahun 1991 dan Prospek Tahun 1992. Desember 1991. Cernea M. Michael. Mengutamakan Manusia di Dalam Pembangunan. Variabel-Variabel Sosiologi Di Dalam Pembangunan Pedesaan. Diterjemahkan oleh Basilius B. Teku. Publikasi Bank Dunia. UI-Press. 1988. Dinas Perikanan Propinsi Jawa Barat. 1989. Laporan Tahunan Dinas Perikanan Propinsi DT. I Jawa Barat. Ditjen Perikanan. 1989. Statistik Perikanan Indonesia. Direktorat Jenderal Perikanan, Jakarta. Hermanto, Muchjidin R., Supriyati, Saptana. 1992. Analisis Peran Perusahaan Multinasional dan Nasional Dalam Investasi di Subsektor Perkebunan, Perikanan dan Petemakan. Pusat Penelitian Sosial Ekonomi Pertanian. Bogor. Henrick, B. and Kindleberger. Economic Development. Fourth Edition. Mc.Graw-Hill International Book Company. 1983. Japan. 13