Kegiatan Pusat Studi Perempuan, Media dan Seni (Anjani) Workshop Penulisan Artikel Akademis dengan topik Gender dan Spiritualitas Bentuk dan tujuan workshop Workshop ini akan memfasilitasi sekelompok peserta untuk masing-masing menulis satu artikel akademis. Di awal workshop, masing-masing peserta diharapkan sudah memiliki gagasan penulisan yang jelas (dalam bentuk tertulis) atau draft awal (misalnya tugas kuliah yang ingin dikembangkan menjadi artikel). Dalam pertemuan rutin, peserta diharapkan saling berbagi mengenai kemajuan masing-masing, saling membantu mengatasi kesulitan yang dialami, saling berbagi referensi, dan saling membaca draft masing-masing untuk memberi masukan. Dosen berstatus sekaligus sebagai pendamping dan fasilitator, dan sekaligus sebagai peserta (dalam arti, dosen juga akan menulis artikel, dan berbagi seputar penulisannya dengan peserta lain). Sesuai dengan kebutuhan peserta, narasumber lain yang menguasai topik yang menjadi fokus penulisan akan diundang untuk menambah wawasan. Peserta dan fasilitator Peserta adalah mahasiswa S2 Sanata Dharma (IRB, KBI dan Teologi) dari semua angkatan, atau alumni yang masih bertempat tinggal di Jogja dan tetap berkegiatan di ranah akademis. Dosen yang menjadi fasiltator adalah Dr. Katrin Bandel, Dr. Sri Mulyani dan Dr. Novita Dewi. Peserta dibatasi 10-15 orang. Pengantar topik: Gender dan Spiritualitas Dalam kajian feminis maupun gerakan feminis mainstream, agama kerapkali dipahami sebagai salah satu penyebar ideologi patriarki dan ketidakadilan gender yang sangat perlu dan pantas dicurigai, atau bahkan dimusuhi. Harus diakui bahwa institusi agama, seperti juga banyak institusi lain, tidak jarang berkontribusi dalam memperkenalkan dan mempertahankan keyakinan-keyakinan seputar peran dan identitas gender yang kurang adil, merugikan perempuan, atau mendiskriminasi kelompok tertentu (msl., gay/lesbian). Namun bukankah pendekatan yang cenderung memandang agama (secara umum, yaitu lewat generalisasi yang kerapkali sangat berlebihan) secara demikian negatif terkesan sangat kurang tepat di sebuah masyarakat dimana bagi mayoritas manusia agama menjadi unsur penting dalam keseharian mereka? Dalam sebuah masyarakat pascakolonial seperti Indonesia, hubungan antara agama dan gender sangat kompleks dan beragam. Dalam konteks pascakolonial, feminisme berada di pihak siapa? Di satu sisi, feminisme bisa menampung suara (atau memyuarakan) perempuan-perempuan subaltern yang berada dalam posisi paling tertindas di ranah global, misalnya buruh migran Indonesia di Timur Tengah. Tapi di sisi lain, feminisme juga bisa digunakan justru sebagai legitimasi penindasan, misalnya ketika Laura Bush (istri presiden Amerika Serikat George W. Bush) mendadak menjadi “feminis” dalam rangka mendukung perang Afghanistan yang konon dibutuhkan untuk “membebaskan” perempuan Afghanistan. Apa makna keyakinan keagamaan dalam keseharian kita semua, dan apa kaitannya dengan gender? Dalam workshop penulisan ini, kita berangkat dari asumsi bahwa pengalaman religius/spiritual bersifat kompleks dan penuh kemungkinan. Hubungan spiritualitas dengan permasalahan gender pun demikian, yaitu penuh kemungkinan. Bagaimana orang memaknai pengalaman spiritualnya dalam konteks gender, dan memaknai pengalaman kebertubuhan serta identitas gendernya dalam konteks spiritual? Misalnya, apakah stereotipe gender terafirmasi, ataukah agama/spiritualitas justru menawarkan imaji gender alternatif? Mengapa workshop ini diberi tema besar “Gender dan Spiritualitas”, bukan “Gender dan Agama”? Dengan memilih kata “spritualitas”, kami bermaksud manaruh perhatian pada aspek pengalaman batin dan praktek sehari-hari. Meskipun mungkin jarang kita kaitkan satu sama lain, pada dasarnya terdapat kesinambungan yang cukup jelas antara Kajian Gender dengan praktek spiritual. Bukankah pada umumnya spiritualitas dikaitkan dengan refleksi diri dan olah diri? Dengan kata lain, praktek spiritual adalah usaha mengubah diri menjadi manusia yang lebih baik. Aspek serupa pun lazim kita temukan dalam Kajian Gender: bukankah mempraktekkan Kajian Gender menuntut kita untuk mempertanyakan identitas gender kita (dan orang lain), dan berusaha mengolahnya? Kita diajak untuk mempertanyakan hal mendasar, seperti “Apa artinya menjadi perempuan/laki-laki?”, lalu untuk melanjutkannya menuju sebuah perubahan: “Bagaimana identitas-identitas tersebut bisa diolah dan ditransformasi untuk menciptakan masyarakat yang lebih adil gender?” Maka pertanyaan dasar yang melatari workshop ini adalah: bagaimana kedua jenis praktek reflektif dan trasformatif itu – praktek Kajian Gender dan praktek spiritual – (bisa) saling berkaitan? Jadwal pelaksanaan Peserta diharapkan mendaftar dengan menyerahkan gagasan awal atau draft (minimal satu halaman) sampai tanggal 30 Mei. Dua pertemuan pertama akan dilakukan Juni 2014. Setelah jeda liburan, akan ada 6 pertemuan lagi September-November 2014. Artikel diharapkan selesai dan siap publikasi Desember 2014. Publikasi artikel Artikel yang dihasilkan akan difasilitasi publikasinya di jurnal Retorik. Namun peserta tetap diberi kebebasan apabila lebih memilih menerbitkan artikelnya di jurnal lain.