VII ANALISIS MODEL LINEAR PROGRAMMING 7.1

advertisement
VII
ANALISIS MODEL LINEAR PROGRAMMING
7.1. Penentuan Model Linear Programming Produksi Tempe
Dampak kenaikan harga kedelai pada pengrajin tempe skala kecil,
menengah, dan besar dianalisis dengan menggunakan model Linear Programming
(LP) yang diolah dengan program Linear, Interactive, and Discrete Optimizer
(LINDO). Penggunaan model ini memerlukan dua buah fungsi, yaitu fungsi
kendala dan tujuan yang akan memaksimisasi keuntungan atau meminimisasi
biaya pengrajin. Dalam kasus ini akan digunakan fungsi tujuan yang
memaksimasi keuntungan. Koefisien fungsi tujuan yang digunakan adalah harga
jual produk (tempe) yang dihasilkan masing-masing pengrajin, dan biaya tunai
faktor produksi yang digunakan. Adapun yang menjadi fungsi kendala adalah
ketersediaan kedelai, tenaga kerja, bahan-bahan produksi (daun pisang, plastik,
dan kayu bakar), jumlah kere yang tersedia dan jumlah produksi minimum.
7.1.1. Fungsi Tujuan
Salah satu bentuk fungsi dari pemrograman model linier adalah fungsi
tujuan. Melalui fungsi tujuan dapat mengarahkan analisa untuk mendeteksi tujuan
perumusan masalah, salah satunya adalah masalah maksimisasi. Maksimisasi
dapat berupa memaksimalkan keuntungan atau hasil. Dalam penelitian ini akan
ditentukan fungsi tujuan berupa maksimisasi keuntungan pengrajin tempe.
Keuntungan sendiri merupakan selisih antara total penerimaan dengan total biaya.
Total penerimaan pengrajin tempe berasal dari perkalian jumlah tempe yang dijual
dengan harga jualnya.
Harga jual masing-masing jenis tempe yang dihasilkan oleh pengrajin
berskala kecil, menengah, dan besar secara ringkas ditampilkan dalam Tabel 15
dan rincian perhitungan dapat dilihat dalam Lampiran 3. Tabel tersebut
memperlihatkan bahwa masing-masing pengrajin memproduksi tempe yang
berbeda-beda harga jual, ukuran, dan kemasannya. Tempe kantong dijual dengan
kemasan plastik, sedangkan tempe cetak dijual dengan kemasan daun pisang atau
plastik.
Tabel 15. Harga Jual Tempe pada Pengrajin Skala Kecil, Menengah, dan Besar
No.
Skala
Pengrajin
1.
Kecil
2.
Menengah
Jenis Tempe
Tempe kantong 6,25 ons (T11)
10.000
Tempe cetak 10x8x2,5 cm (T12)
11.200
Tempe cetak 20x8x2,5 cm (T21)
17.600
Tempe cetak 25x8x2,5 cm (T22)
25.200
Tempe kantong 7,5 ons (T23)
3.
Besar
Harga Jual Tempe
(Rp/kg Kedelai)
8.000
Tempe bulat (T31)
12.000
Tempe kotak sedang (T32)
16.000
Tempe kotak besar (T33)
10.000
Tempe mendoan (T34)
7.000
Tabel 15 menunjukkan bahwa semakin besar skala produksi, maka
cenderung semakin banyak jenis tempe yang dapat dihasilkan. Terbukti dengan
pengrajin skala kecil yang hanya memproduksi dua jenis tempe, sedangkan
pengrajin skala menengah mampu memproduksi tiga jenis tempe, dan empat jenis
tempe mampu dihasilkan oleh pengrajin skala besar.
Biaya tunai faktor produksi yang juga menjadi salah satu koefisien fungsi
tujuan dalam model Linear Programming meliputi biaya pembelian kedelai, upah
tenaga kerja luar keluarga (TKLK), dan biaya bahan-bahan produksi lainnya.
Biaya bahan-bahan produksi lainnya ini mencakup biaya pembelian plastik, daun
pisang, dan kayu bakar. Nilai dari biaya tunai bahan-bahan produksi tersebut
secara ringkas disajikan dalam Tabel 16 dan perhitungan rinci biaya bahan dapat
dilihat pada Lampiran 4.
Biaya tunai bahan-bahan yang meliputi biaya pembelian ragi, plastik, daun
pisang, dan kayu bakar didekati dengan menyetarakan pengeluaran bahan-bahan
tersebut untuk setiap 1 kg kedelai yang digunakan pengrajin. Setiap satu jenis
tempe yang dihasilkan dari 1 kg kedelai, menghabiskan biaya bahan yang
berbeda-beda jumlah dan biayanya.
71
Tabel 16. Biaya Bahan (Ragi, Plastik, Daun Pisang, dan Kayu Bakar) Per
Kilogram Kedelai
Skala
Pengrajin
Kecil
Menengah
Besar
Jenis
Tempe
T11
Biaya Bahan Per Kilogram Kedelai (Rp)
Ragi
Plastik
Daun
Kayu
Pisang
Bakar
25
110
200
Total
Biaya
(Rp)
335
T12
25
121
120
200
466
T21
25
100
99
210
434
T22
25
120
95
200
440
T23
24
117
-
187
328
T31
17
220
200
285
700
T32
17
220
200
285
700
T33
17
220
200
285
700
T34
17
220
200
285
700
Pada umumnya, tempe yang dibuat dengan cara dicetak (tempe cetakan)
mengeluarkan biaya bahan yang lebih mahal dengan tempe kantongan. Hal ini
disebabkan tempe cetakan menggunakan plastik pada awal pembuatan bakal
tempe, kemudian setelah menjadi tempe kemasan plastik diganti dengan daun
pisang. Berbeda dengan tempe kantongan yang hanya menngunakan plastik dari
awal pembuatan bakal tempe hingga menjadi tempe. Dengan demikian pengrajin
yang memproduksi tempe cetakan sebenarnya mengeluarkan biaya kemasan yang
lebih mahal dibandingkan dengan tempe kantongan.
Selain biaya bahan-bahan yang terdiri dari ragi; plastik; daun pisang; dan
kayu bakar, pengrajin tempe di setiap skala juga tentu saja mengeluarkan biaya
untuk membeli kedelai dan membayar upah tenaga kerja luar keluarga (tenaga
kerja sewa). Berikut ini disajikan secara rinci biaya-biaya tunai faktor produksi
apa saja yang dikeluarkan oleh pengrajin tempe skala kecil, menengah, dan besar.
72
Tabel 17. Biaya Tunai Faktor Produksi Tempe pada Pengrajin Skala Kecil,
Menengah, dan Besar
No.
Skala
Pengrajin
1.
Kecil
2.
Menengah
3.
Besar
Jenis Tempe
T11
T12
T21
T22
T23
T31
T32
T33
T34
Kedelai
(Rp/Kg)
5.200
5.200
5.500
5.500
5.500
4.500
4.500
4.500
4.500
Biaya Tunai
Bahan-bahan
TKLK
(Rp/Kg Kedelai) (Rp/Jam)
335
466
434
3.500
440
3.500
328
3.500
700
4.200
700
4.200
700
4.200
700
4.200
Berdasarkan Tabel 17 nampak bahwa biaya kedelai per kg yang diterima
pengrajin pada setiap skala terjadi perbedaan. Hal ini disebabkan adanya
perbedaan merek jual kedelai dan hubungan yang terbentuk antara pengrajin
dengan agen penyalur kedelai. Terdapat tiga merek jual kedelai yang ada di
daerah penelitian yaitu Merek Jempol (harga Rp 5.000-5.100 per Kg), Merek
Gunung (harga Rp 5.200-5.300 per Kg), dan Merek Pelangi (harga Rp 5.5005.700 per Kg). Hubungan yang terbentuk antara pengrajin dengan agen penyalur
kedelai, biasanya terdapat pada pengrajin skala besar atau skala III. Pengrajin ini
cenderung membeli dalam jumlah yang besar dan memiliki kesepakatan tidak
tertulis untuk membeli kedelai pada agen tertentu saja, sehingga harga kedelai
yang diterima pengrajin skala besar cenderung lebih rendah.
7.1.2. Fungsi Kendala
Di samping fungsi tujuan, dalam menyusun model LP juga diperlukan
adanya fungsi kendala. Fungsi kendala digunakan untuk mengetahui sumberdaya
yang tersedia dan permintaan atas sumberdaya tersebut. Fungsi kendala tersebut
akan diekspresikan dalam persamaan dan pertidaksamaan yang mencerminkan
keterbatasan sumberdaya. Pada pengrajin tempe, fungsi kendala akan menjadi
batasan (constraint) bagi pengrajin di dalam menjalankan kegiatan produksinya.
Fungsi kendala bagi pengrajin tempe pada umumnya meliputi kendala
73
penggunaan jumlah kedelai, ketersediaan tenaga kerja dalam keluarga, jumlah
kere bambu yang tersedia, dan adanya kendala kontrak tidak tertulis dengan
pemilik rumah makan untuk memasok tempe setiap harinya dengan jumlah
tertentu.
7.1.2.1. Fungsi Kendala Pengrajin Skala Kecil
Kendala yang dihadapi pengrajin tempe skala kecil tentu berbeda dengan
kendala yang dihadapi pengrajin tempe skala menengah dan besar. Kendala yang
dihadapi pengrajin skala kecil meliputi kendala jumlah penggunaan kedelai,
ketersediaan jumlah jam tenaga kerja dalam keluarga, jumlah kere yang tersedia,
dan adanya batasan minimum tempe yang harus diproduksi pengrajin akibat
adanya kontrak tidak tertulis dengan pemilik rumah makan. Secara matematis
fungsi kendala yang dihadapi pengrajin tempe skala kecil adalah sebagai berikut:
Fungsi Kendala Pengrajin Skala Kecil:
1. Kedelai)
Qk ≤ 25
2. TKDK)
0.21 M1 + 0.5 M2 ≤ 10
3. Kere)
0.33 M1 + 0.3 M2 ≤ 10
4. Produksi T11)
QT11 ≥ 2.1
5. Produksi T12)
QT12 ≥ 3.14
6. Bahan)
M1 + M2 - QK ≤ 0
7. Transfer T11)
- 1.5 M1 + QT11 ≤ 0
8. Transfer T12)
- 1.5 M2 + QT12 ≤ 0
Nilai di sebelah kanan persamaan ditampilkan dalam keluaran LINDO
sebagai Right Hand Side (RHS). Nilai sebelah kanan ini sebenarnya adalah jumlah
sumberdaya tersedia (supply) atau potensial yang dapat digunakan oleh pengrajin
untuk berproduksi.
Jumlah kedelai (Qk) yang dapat digunakan pengrajin skala kecil terbatas
pada jumlah 25 kg saja. Setiap kedelai yang diolah tentu membutuhkan bahan
(M1) yang terdiri dari ragi, plastik, daun pisang, dan kayu bakar untuk
menghasilkan tempe jenis satu, serta bahan (M2) yang juga terdiri dari ragi,
74
plastik, daun pisang, dan kayu bakar untuk menghasilkan tempe jenis dua. Jumlah
bahan ini disetarakan dengan 1 kg kedelai, dengan demikian jumlah penggunaan
bahan setara kedelai tidak boleh melebihi jumlah kedelai yang digunakan.
Tenaga kerja dalam keluarga (TKDK) juga menjadi salah satu kendala
atau pembatas dalam kegiatan produksi tempe pada pengrajin skala kecil. Dalam
kasus ini jumlah tenaga kerja dalam keluarga hanya tersedia sebanyak sepuluh
jam. Jumlah jam tenaga kerja yang dibutuhkan untuk menghasilkan setiap jenis
tempe ternyata berbeda-beda (Lampiran 5). Untuk menghasilkan jenis tempe satu
(T11) pada pengrajin skala kecil, didekati dengan mengetahui seberapa besar
tenaga kerja yang diperlukan untuk mengolah 1 kg kedelai. Hal ini juga
disetarakan dengan jumlah jam yang diperlukan untuk mengolah bahan tempe
satu (M1) yaitu ragi, plastik, dan kayu bakar. Kondisi yang sama juga berlaku
untuk jenis tempe dua (T22) yaitu tempe cetak yang dihasilkan pengrajin tempe
skala kecil. Penggunaan tenaga kerja untuk tempe dua dihitung berdasarkan
jumlah jam yang diperlukan untuk mengolah bahan tempe dua (M2) yaitu ragi,
plastik, daun pisang, dan kayu bakar.
Fungsi kendala tenaga kerja pada pengrajin tempe skala kecil
menampilkan penggunaan jumlah jam tenaga kerja yang berbeda dalam
menghasilkan tempe jenis satu (T11) dan tempe jenis dua (T12). Terlihat bahwa
tempe dua membutuhkan tenaga kerja yang lebih banyak dibandingkan tempe
satu. Hal ini dikarenakan tempe dua membutuhkan proses pengemasan yang lebih
lama dibandingkan tempe satu. Jenis tempe satu dijual dengan menggunakan
kemasan kantong plastik. Lain halnya dengan tempe dua, setelah dicetak dengan
menggunakan kemasan kantong plastik kemudian kemasan diganti dengan daun
pisang segar. Penggantian kemasan ini bertujuan agar tempe yang siap dijual
menjadi lebih menarik penampilannya dan memenuhi permintaan konsumen,
karena ada beberapa konsumen yang lebih menyukai tempe yang dibungkus
dengan daun pisang dibandingkan dengan tempe yang dibungkus plastik.
Kere bambu yang tersedia sebanyak lima unit harus cukup untuk
menampung seluruh tempe yang diproduksi. Setiap 1 kg kedelai yang digunakan
untuk menghasilkan tempe satu dan tempe dua. Masing-masing jenis tempe
membutuhkan 0, 33 dan 0,3 unit kere bambu. Tempe satu membutuhkan kere
75
yang lebih banyak dibandingkan tempe dua karena ukuran lebar tempe satu lebih
besar dibandingkan tempe dua (Lampiran 6).
Kendala produksi minimal tempe satu dan tempe dua berasal dari beberapa
warung atau makan yang telah menjadi pelanggan pengrajin. Setiap harinya
warung makan tersebut membutuhkan pasokan tempe satu sebanyak 2,1 kg dan
3,14 kg tempe dua untuk diolah menjadi berbagai jenis makanan berbahan dasar
tempe. Walaupun tidak ada sanksi tertulis apabila pengrajin tidak dapat memenuhi
permintaan rumah makan, namun demi menjaga loyalitas pelanggan maka
pengrajin berusaha untuk memenuhi permintaan tersebut.
Aktivitas transfer merupakan bentuk transformasi input menjadi output.
Dalam kasus ini, setiap 1 kg kedelai yang digunakan dalam produksi tempe akan
menghasilkan 1,5 kg tempe. Tidak ada perbedaan besaran aktivitas transfer antara
1 kg kedelai yang digunakan untuk menghasilkan jenis tempe satu maupun 1 kg
kedelai yang digunakan untuk menghasilkan jenis tempe dua. Baik pada tempe
jenis satu maupun dua, 1 kg kedelai yang digunakan akan menghasilkan 1,5 kg
tempe jenis satu atau 1,5 kilogram tempe jenis dua.
7.1.2.2. Fungsi Kendala Pengrajin Skala Menengah
Komponen fungsi kendala yang dihadapi pengrajin skala menengah tidak
berbeda jauh den fungsi kendala yang dihadapi pengrajin skala kecil. Fungsi
kendala bagi pengrajin skala menengah meliputi jumlah penggunaan kedelai,
jumlah kere yang tersedia, dan jumlah produksi tempe minimum yang datang dari
permintaan rumah makan.
Hal yang membedakan fungsi kendala pengrajin skala kecil dengan
pengrajin skala menengah adalah ketersedian tenaga kerja dalam keluarga
(TKDK). Bagi pengrajin skala kecil, ketersediaan tenaga kerja dalam keluarga
menjadi kendala, namun bagi pengrajin skala menengah hal ini tidak menjadi
kendala. Ketersediaan tenaga kerja dalam keluarga tidak menjadi kendala bagi
pengrajin skala menengah karena pengrajin skala menengah cenderung dapat
dengan bebas mengupah atau menyewa tenaga kerja luar keluarga (TKLK).
Terlebih lagi tenga kerja luar keluarga yang tersedia cenderung melimpah dan
berada pada pasar persaingan sempurna. Berbeda dengan pengrajin skala kecil
76
yang cenderung tidak memiliki kemampuan untuk menyewa tenaga kerja yang
berasal dari luar keluarga karena adanya keterbatasan modal yang dimiliki
pengrajin skala kecil. Secara matematis fungsi kendala yang dihadapi pengrajin
skala menengah adalah sebagai berikut:
1. Kedelai)
QK ≤ 100
2. TKDK)
0.15 M1 + 0.2 M2 + 0.15 M3 – TKLK ≤ 9
3. Kere)
0.27 M1 + 0.33 M2 + 0.19 M3 ≤ 38
4. Produksi T21)
QT21 ≥ 5.65
5. Produksi T22)
QT22 ≥ 5.95
6. Produksi T23)
QT23 ≥ 3
7. Transfer T21)
- 1.5 M1 + QT21 ≤ 0
8. Transfer T22)
- 1.5 M2 + QT22 ≤ 0
9. Transfer T23)
- 1.5 M3 + QT23 ≤ 0
10. Bahan)
M1 + M2 + M3 – QK ≤ 0
Jumlah penggunaan kedelai untuk setiap proses produksi bagi pengrajin
skala menengah dibatasi sebesar 100 kg kedelai. Telah dijelaskan bahwa jumlah
tenaga kerja dalam keluarga tidak menjadi kendala dalam kegiatan produksi
pengrajin skala menengah, namun sebenarnya yang tidak menjadi kendala adalah
jumlah jam potensial yang mampu disediakan tenaga kerja dalam keluarga pada
pengrajin skala menengah. Jumlah jam potensial yang sebenarnya mampu
dipenuhi dari tenaga kerja dalam keluarga adalah tiga puluh jam, namun jumlah
jam yang riil dicurahkan tenaga kerja dalam keluarga hanya sembilan jam.
Dengan demikan untuk tetap memenuhi jumlah jam tenaga kerja agar kegiatan
produksi tempe tetap bisa berjalan, pengrajin harus menyewa atau mengupah
tenaga kerja luar keluarga dengan besarnya upah yang diberikan untuk setiap
jamnya adalah Rp 3.500.
Jumlah jam tenaga kerja yang dibutuhkan untuk menghasilkan masingmasing jenis tempe ternyata berbeda antara tempe jenis satu (T21), tempe jenis dua
(T22), dan tempe jenis tiga (T23). Tempe dua membutuhkan jumlah jam tenaga
kerja yang lebih lama dibandingkan tempe satu dan tiga, karena ukuran tempe satu
77
lebih besar dan memerlukan waktu yang lebih lama untuk mengganti kemasan
tempe yang semula plastik menjadi kemasan daun pisang (Lampiran 5).
Kere bambu yang tersedia sebanyak dua puluh lima unit harus cukup
untuk menampung seluruh tempe yang diproduksi. Setiap 1 kg kedelai yang
digunakan untuk menghasilkan tempe jenis satu, dua dan tiga. Secara berurutan
membutuhkan 0,27; 0,33; dan 0,19 unit kere bambu. Tempe jenis dua
membutuhkan kere yang lebih banyak dibandingkan tempe satu dan tiga karena
ukuran lebar tempe jenis dua lebih besar dibandingkan tempe jenis satu dan tiga
(Lampiran 6).
Kendala produksi minimal tempe jenis satu, dua, dan tiga berasal dari
beberapa warung makan yang telah menjadi pelanggan tetap pengrajin. Setiap
harinya warung makan tersebut membutuhkan pasokan tempe satu sebanyak 5,65
kg, tempe dua sebanyak 5,95 kg, dan 3 kg tempe jenis tiga untuk diolah menjadi
berbagai jenis makanan berbahan dasar tempe. Sama halnya dengan pengrajin
skala kecil, dalam pemenuhan tempe untuk rumah makan ini sebenarnya tidak ada
kontrak tertulis yang berisi hak, kewajiban, dan sanksi pengrajin tempe atau
rumah makan bila melanggar isi kontrak. Namun demi menjaga loyalitas dan
kepercayaan konsumen, pengrajin skala menengah berusaha untuk tetap
memenuhi pasokan tempe ke beberapa rumah makan.
Aktivitas transfer yang merupakan bentuk transformasi input menjadi
output juga termasuk ke dalam fungsi kendala bagi pengrajin skala menengah.
Dalam kasus ini, setiap 1 kg kedelai yang digunakan dalam produksi tempe akan
menghasilkan 1,5 kg tempe. Tidak ada perbedaan besaran aktivitas transfer antara
1 kg kedelai yang digunakan untuk menghasilkan jenis tempe satu maupun 1 kg
kedelai yang digunakan untuk menghasilkan jenis tempe dua dan tiga. Baik pada
tempe satu, dua, dan tiga setiap 1 kg kedelai yang digunakan akan menghasilkan
1,5 kg tempe satu atau 1,5 kg tempe dua atau 1,5 kg tempe jenis tiga.
7.1.2.3. Fungsi Kendala Pengrajin Skala Besar
Seperti halnya pengrajin skala kecil dan menengah, pengrajin skala besar
juga harus memiliki fungsi kendala dalam menyusun model linear programmingnya. Komponen fungsi kendala pengrajin skala besar menyerupai fungsi kendala
78
yang dihadapi pengrajin skala menengah. Secara matematis fungsi kendala
pengrajin skala besar adalah sebagai berikut:
Fungsi kendala pengrajin tempe skala besar:
1. Kedelai)
Qk ≤ 200
2. TKDK)
0.1M1+0.1M2+0.1M3+0.3M4-TKLK ≤ 8
3. Kere)
0.17M1+0.3M2+0.125M3+0.469M4 ≤ 60
4. Produksi T31)
QT31 ≥ 25
5. Produksi T32)
QT32 ≥ 15
6. Produksi T33)
QT33 ≥ 30
7. Produksi T34)
QT34 ≥ 21
8. Transfer T31)
-1.5M1+QT31 ≤ 0
9. Transfer T32)
-1.5M2+QT32 ≤ 0
10. Transfer T33)
-1.5M3+QT33 ≤ 0
11. Transfer T34)
-1.5M4+QT34 ≤ 0
12. Bahan)
M1+M2+M3+M4-Qk ≤ 0
Pengrajin skala besar memiliki dua belas kendala seperti yang tertulis
dalam persamaan matematis di atas. Penggunaan kedelai oleh pengrajin skala
besar terbatas pada jumlah 200 kg. Sama seperti pengrajin skala menengah,
jumlah jam potensial tenaga kerja dalam keluarga (TKDK) dalam pengrajin skala
besar sebenarnya tidak menjadi kendala bagi pengrajin. Namun jumlah jam tenaga
kerja keluarga yang benar-benar tercurah dalam kegiatan produksilah yang
menjadi kendala. Jumlah jam potensial yang dapat disediakan tenaga kerja dalam
keluarga pada pengrajin skala besar sebanyak dua puluh delapan jam, sedangkan
yang benar-benar dicurahkan tenaga kerja dalam keluarga untuk kegiatan produksi
tempe hanya delapan jam saja. Dengan demikian untuk memenuhi jumlah jam
tenaga kerja dalam berproduksi, pengrajin skala besar harus menyewa atau
mengupah tenaga kerja luar keluarga (TKLK) dengan upah sebesar Rp 4.200 per
jamnya.
Jumlah jam tenaga kerja yang dibutuhkan untuk menghasilkan masingmasing jenis tempe ternyata berbeda-beda. Tempe jenis empat atau tempe
79
mendoan (T34) membutuhkan jumlah jam tenaga kerja yang lebih lama
dibandingkan jenis tempe bulat (T31), tempe kotak sedang (T32), dan tempe kotak
besar (T33) karena tempe jenis empat memerlukan waktu yang lebih lama untuk
mengiris tempe menjadi tempe mendoan dan mengganti kemasan tempe yang
semula plastik menjadi kemasan daun pisang (Lampiran 5).
Jika dibandingkan dengan pengrajin skala kecil dan menengah, ternyata
pengrajin skala besar memiliki jumlah ketersediaan TKDK yang benar-benar
ingin dicurahkan paling sedikit. Pengrajin skala kecil dan menengah memiliki
jumlah jam TKDK yang tersedia dan benar-benar ingin dicurahkan sebanyak
sepuluh dan sembilan jam, sedangkan pengrajin skala besar hanya delapan jam.
Dengan demikian semakin besar skala pengrajin belum tentu jumlah jam TKDK
yang tersedia menjadi lebih banyak.
Kendala produksi minimal tempe jenis satu, dua, tiga, dan empat berasal
dari beberapa warung makan dan pedagang sayur yang telah menjadi pelanggan
tetap pengrajin. Setiap harinya warung makan dan pedagang sayur tersebut
membutuhkan pasokan tempe satu sebanyak 25 kg, tempe dua sebanyak 15 kg,
tempe empat sebanyak 30 kg dan 21 kg tempe empat untuk diolah menjadi
berbagai jenis makanan berbahan dasar tempe dan dijual kepada konsumen akhir.
7.2. Hasil Keluaran Model LP
Hasil keluaran model LP yang diolah dengan menggunakan LINDO
(Lampiran 7) dengan harga kedelai yang diterima pengrajin skala kecil,
menengah, dan besar secara berurutan yaitu Rp 5.200, Rp 5.500, dan Rp 4.500
menampilkan jumlah tempe yang harus diproduksi masing-masing pengrajin yaitu
seperti yang ditunjukkan pada Tabel 18 berikut.
80
Tabel 18. Perbandingan Jumlah Produksi Tempe Berdasarkan Model LP
dengan Kondisi Sebenarnya
Skala
Pengrajin
Kecil
T11
Menengah
Besar
Jenis
Tempe
Tempe yang
harus diproduksi
berdasarkan
Model LP
(Kg)
12,93
Tempe yang
sebenarnya
dihasilkan
(Kg)
Nilai Bayangan
22,50
0
T12
24,57
15,00
0
T21
5,65
71,25
-7479
T22
141,35
22,50
0
T23
3,00
56,25
-17000
T31
25,00
72,00
-4000
T32
224,00
60,00
0
T33
30,00
120,00
-6000
T34
21,00
48,00
-9500
Melalui Tabel 18, dapat dijelaskan bahwa pengrajin tempe skala kecil
dalam kondisi sebenarnya menghasilkan tempe jenis satu lebih banyak
dibandingkan dengan tempe yang seharusnya dihasilkan menurut model LP.
Tempe jenis satu (T11) diproduksi berlebih sebesar 9,57 kg sedangkan tempe jenis
dua (T12) diproduksi kurang dari hasil model LP sebanyak 9,57 kg. Namun baik
T11 maupun T12 apabila ditambahkan produksinya masing-masing sebesar satu kg,
tidak akan menambah keuntungan. Hal ini ditunjukkan dengan nilai harga
bayangan masing-masing tempe tersebut adalah nol.
Kondisi pada pengrajin skala menengah, ternyata tempe jenis satu (T21)
dan tempe jenis tiga (T23) yang dihasilkan justru memberikan keuntungan yang
hilang (loss profit) bagi pengrajin. Jika dilihat dari harga jualnya (Tabel 15),
kedua jenis tempe tersebut relatif rendah dibandingkan dengan tempe cetak jenis
dua (T22). Dilihat dari penggunaan input-nya terutama kere, tempe jenis T23
menggunakan luasan kere yang cukup besar. Penggunaan kere lebih banyak,
namun jumlah potong yang dihasilkan lebih sedikit dan harga jual yang rendah
81
inilah yang membuat pengrajin tempe skala menengah mengalami keuntungan
yang hilang akibat memproduksi tempe cetak T21 dan tempe kantong T23
Kondisi pada pengrajin skala besar ternyata juga mengalami keuntungan
yang hilang bila memproduksi tempe bulat, tempe kotak besar, dan tempe
mendoan. Kerugian per kilogram masing-masing tempe tersebut secara berurutan
yaitu sebesar Rp 4.000; Rp 6.000; dan Rp 9.500. Hal yang membuat ketiga tempe
tersebut rugi untuk diproduksi adalah karena harga jual tempe tersebut yang relatif
rendah (Tabel 15). Jika dilihat dari penggunaan kerenya, ternyata ketiga tempe
tersebut, terutama tempe bulat dan tempe mendoan memang membutuhkan luasan
kere yang lebih banyak, karena bentuk tempe tersebut yang cenderung melebar.
Telah dijelaskan sebelumnya, bahwa masing-masing pengrajin memiliki
kontrak tidak tertulis dengan beberapa rumah makan. Kontrak tidak tertulis ini
mengharuskan pengrajin untuk memasok tempe ke rumah makan tersebut setiap
harinya. Besarnya pasokan yang harus dikirim masing-masing pengrajin telah
disebutkan dalam persamaan fungsi kendala masing-masing pengrajin. Jumlah
pasokan tersebut menjadi kendala produksi minimum bagi pengrajin. Namun jika
melihat nilai bayangan dari masing-masing jenis tempe (Tabel 18), ternyata ada
beberapa jenis tempe yang sebaiknya tidak diproduksi karena akan menyebabkan
keuntungan yang hilang bagi pengrajin. Setiap satu kilogram tempe yang memiliki
nilai bayangan negatif, maka pengrajin akan kehilangan keuntungan sebesar nilai
bayangan tempe tersebut. Dengan demikian, kontrak tidak tertulis pengrajin
dengan rumah makan sebenarnya tidak menguntungkan bagi pengrajin.
Berikut ini (Tabel 19) disajikan perbandingan keuntungan apabila
pengrajin tempe, baik itu pengrajin skala kecil, menengah, maupun besar jika
tetap memenuhi kontrak tidak tertulis dengan rumah makan tertentu dan
keuntungan apabila pengrajin tempe di masing-masing skala produksi tidak
melakukan kontrak tidak tertulis dengan rumah makan tertentu.
82
Tabel 19. Perbandingan Keuntungan Dengan dan Tanpa Kontrak pada Pengrajin
Tempe Skala Kecil, Menengah, dan Besar
Keuntungan Bila
Melakukan Kontrak
(Rp)
263.962
Keuntungan
Tanpa Kontrak
(Rp)
263.962
Keuntungan yang
hilang (Loss Profit)
(Rp)
-
Menengah
3.054.216
3.147.500
93.284
Besar
3.228.840
3.709.600
480.760
Skala
Pengrajin
Kecil
Pengrajin skala besar menghadapi keuntungan yang hilang terbesar di
antara pengrajin skala lainnya dengan adanya kontrak. Bila dilihat kembali jenis
tempe yang diproduksi pengrajin skala besar, memang lebih beragam
dibandingkan pengrajin skala lainnya. Dari keempat jenis tempe yang diproduksi
pengrajin skala besar, hanya ada satu jenis tempe yang tidak menimbulkan
keuntungan yang hilang bagi pengrajin yaitu tempe kotak sedang (T32). Adapun
tempe yang menimbulkan keuntungan yang hilang terbesar adalah tempe
mendoan (T34) yaitu Rp 9.500 untuk setiap kg T34 yang dihasilkan. Setiap harinya
pengrajin harus memasok tempe mendoan sebanyak 21 Kg, berarti keuntungan
yang hilang dari tempe mendoan saja sebesar Rp 199.500. Tempe kotak besar
(T33) menimbulkan keuntungan yang hilang bagi pengrajin sebesar Rp 180.000,
dan tempe bulat sebesar Rp 100.000.
Pengrajin skala menengah mengalami kondisi keuntungan yang hilang
akibat memproduksi minimum tempe cetak jenis satu (T21) dan tempe kantongan
jenis tiga (T23). Secara berurutan keuntungan yang hilang karena diproduksinya
kedua jenis tempe tersebut sebesar Rp 42.256 dan Rp 51.000. Keuntungan yang
hilang pengrajin skala menengah dan besar terjadi karena masing-masing jenis
tempe diproduksi dengan jumlah sumberdaya dan biaya yang berbeda-beda.
Tempe yang memilki harga bayangan negatif, berarti terlalu mahal biaya
produksinya sehingga sebenarnya tidak menguntungkan untuk diproduksi.
83
7.2.1. Analisis Penggunaan Kedelai
Berdasarkan hasil analisis optimal yang dilakukan pada program linier
dengan bantuan software LINDO, penampilan sumberdaya kedelai pada masingmasing skala pengrajin menunjukkan hasil seperti Tabel 20. Berdasarkan Tabel
20, nampak bahwa alokasi penggunaan kedelai pada masing-masing skala
pengrajin sudah habis terpakai. Hal ini ditunjukkan tidak adanya nilai sisa
sumberdaya kedelai pada pengrajin skala kecil menengah, dan besar tersebut.
Tabel 20. Hasil Analisis Linear Programming (LP) Sumberdaya Kedelai Usaha
Tempe pada Pengrajin Skala Kecil, Menengah, dan Besar
Skala
Pengrajin
Current
RHS
Sisa
(Slack)
Harga Bayangan
(Shadow Price)
Kecil
25
0
8.256
Sensitivitas
Batas
Batas
Atas
Bawah
31,37
20,82
Menengah
100
0
31.160
116,68
46,45
Besar
200
0
18.380
211,01
60,67
Tabel 20 memperlihatkan adanya nilai bayangan (shadow price), yaitu
nilai yang menunjukkan peningkatan keuntungan yang diperoleh dari penambahan
setiap unit input (sumberdaya) usaha tempe, yang ditunjukkan dengan sisa sama
dengan nol. Pada kolom harga bayangan, sumberdaya kedelai pada pengrajin
skala kecil, menengah, dan besar menunjukkan nilai yang positif. Ini artinya bila
kedelai ditambah, maka akan merubah nilai program akhir. Dalam kasus ini
penambahan jumlah kedelai sebanyak 1 kg, akan menambah keuntungan
pengrajin skala kecil sebesar Rp 8.256; keuntungan pengrajin skala menengah
bertambah Rp 31.160; dan keuntungan pengrajin skala besar Rp 18.830. Dengan
demikian setiap penambahan 1 kg kedelai pada pengrajin skala menengah paling
besar memberikan tambahan keuntungan dibandingkan penambahan 1 kg kedelai
pada pengrajin skala kecil dan besar.
Pada pengrajin skala menengah, nilai penambahan keuntungannya paling
besar dibandingkan dengan pengrajin skala lainnya. Hal ini dikarenakan harga jual
produk tempe yang dihasilkan pengrajin skala menengah (Tabel 15) relatif lebih
84
mahal dibandingkan dengan harga jual tempe pengrajin skala lainnya. Harga jual
yang lebih mahal tersebutlah yang membuat penambahan keuntungan akibat
penambahan kedelai sebesar satu satuan pada pengrajin menengah lebih besar
dibandingkan penambahan keuntungan pengrajin skala lainnya.
Harga jual tempe yang lebih mahal pulalah yang menyebabkan pengrajin
skala menengah tetap mampu mendapatkan keuntungan yang optimal atau tidak
merubah nilai koefisien fungsi tujuan, meskipun jumlah penggunaan kedelainya
dikurangi sampai sebesar 53,55 persen. Kondisi yang lain pada pengrajin skala
kecil agar tetap dapat memperoleh keuntungan yang optimal, maka jumlah kedelai
minimal yang harus digunakan ialah sebesar 20,80 kg. Mengacu pada Tabel 15,
ternyata harga jual produk tempe yang dihasilkan pengrajin skala kecil relatif
lebih rendah dibandingkan pengrajin skala lainnya. Untuk menutupi ongkos
produksi maka pengrajin skala kecil minimal harus menggunakan kedelai
sebanyak 20,80 kg untuk setiap kali proses produksi.
7.2.2. Analisis Penggunaan Tenaga Kerja
Telah disebutkan dalam uraian sebelumnya bahwa jumlah jam potensial
tenaga kerja dalam keluarga (TKDK) yang tersedia dengan jumlah jam yang
benar-benar dikeluarkan oleh tenaga kerja dalam keluarga tidaklah sama. Pada
pengrajin skala menengah dan besar, jumlah jam potensial melebihi jumlah jam
yang benar-benar dikeluarkan. Berbeda dengan pengrajin skala kecil, jumlah jam
potensial tenaga kerja dalam keluarga sama dengan jumlah jam yang benar-benar
dikeluarkan tenaga kerja keluarga. Hal ini disebabkan pengrajin skala menengah
dan besar memiliki kemampuan untuk menyewa atau mengupah tenaga kerja luar
keluarga (TKLK), sehingga walaupun pengrajin skala menengah dan besar tidak
menggunakan seluruh tenaga kerja dalam keluarga yang mampu disediakan,
mereka tetap mampu berproduksi dengan mendatangkan tenaga kerja luar
keluarga.
Untuk mengetahui seberapa banyak sebenarnya jumlah jam tenaga kerja
dalam keluarga dapat digunakan, maka pada model Linear programming
ditetapkan bahwa jumlah jam tenaga kerja keluarga yang tersedia sebanyak
jumlah jam potensial yang dapat diberikan tenaga kerja keluarga. Hasil keluaran
85
LINDO menampilkan kondisi sumberdaya tenaga kerja dalam keluarga seperti
yang tersaji dalam Tabel 21 berikut.
Tabel 21. Hasil Analisis Linear Programming (LP) Sumberdaya TKDK Usaha
Tempe pada Pengrajin Skala Kecil, Menengah, dan Besar
Skala
Pengrajin
Kecil
Menengah
Besar
Jumlah
Jam
TKDK
Potensial
10
30
28
Sisa
(Slack)
Harga Bayangan
(Shadow Price)
0
10,28
5,20
5.755
0
0
Sensitivitas
Batas
Batas
Atas
Bawah
12,09
Infinity
Infinity
5,86
20,28
22,80
Penampilan sumberdaya TKDK (Tabel 21), pada pengrajin skala kecil
menunjukkan alokasi penggunaan sumberdaya tenaga kerja keluarga yang
terpakai semua. Hal ini ditunjukkan dengan tidak adanya sisa pada sumberdaya
tersebut. Sisa yang habis akan menyebabkan timbulnya nilai dalam harga
bayangan (shadow price).
Jika diperhatikan lebih jauh, ternyata harga bayangan dari sumberdaya
tenaga kerja dalam keluarga merupakan Nilai Produk Marginal (Value Marginal
Product) tenaga kerja dalam keluarga. Nilai Produk Marginal (NPM) ini sama
artinya dengan besarnya jasa yang diterima tenaga kerja dalam keluarga atas
tenaga yang digunakannya untuk melakukan proses produksi tempe atau NPM
adalah penerimaan yang diperoleh pengrajin tempe akibat digunakannya tenaga
kerja dalam keluarga (return to family labour).
Penerimaan pengrajin tempe skala kecil yang berasal dari penggunaan
tenaga kerja dalam keluarga, dicerminkan oleh nilai harga bayangan atau NPM
pada Tabel 21 ternyata lebih besar jika dibandingkan dengan penerimaan tenaga
kerja luar keluarga yang bekerja pada pengrajin tempe skala menengah dan besar.
Jika tenaga kerja dalam keluarga pada pengrajin skala kecil bekerja pada
pengrajin skala menengah dan besar, tenaga kerja dalam keluarga tersebut hanya
memperoleh upah sebesar Rp 3.500 per jamnya jika bekerja pada pengrajin skala
menengah dan memperoleh upah sebesar Rp 4.200 per jam jika bekerja pada
pengrajin skala besar (Tabel 22).
86
Tabel 22. Nilai Produk Marginal Tenaga Kerja Dalam Keluarga pada
Pengrajin Tempe Skala Kecil
Jumlah Penggunaan
Tenaga Kerja Dalam
Keluarga Pengrajin
Skala Kecil (Jam)
NPM Tenaga Kerja
Dalam Keluarga
Pengrajin Skala
Kecil (Rp/Jam)
10
5.755
Upah
Tenaga
Kerja Luar
Keluarga
(Rp/Jam)
3.500*
10
5.755
4.200**
Persentase NPM
dengan Upah
Tenaga Kerja Luar
Keluarga
39%
27%
Keterangan : * Tingkat upah pada produksi tempe skala menengah
** Tingkat upah pada produksi tempe skala besar
Tabel 22 menunjukkan bahwa tenaga kerja dalam keluarga pada produksi
tempe skala kecil lebih menguntungkan bila mereka tetap bekerja pada produksi
mereka, dibandingkan apabila mereka beralih bekerja pada pengrajin tempe skala
menengah dan besar. Penerimaan yang diterima tenaga kerja dalam keluarga
pengrajin skala kecil lebih besar 39 persen dibandingkan dengan upah yang
diterima apabila mereka bekerja untuk pengrajin skala menengah, dan lebih besar
27 persen apabila mereka bekerja untuk pengrajin skala besar.
Penerimaan tenaga kerja dalam keluarga (return to family labour) pada
pengrajin tempe skala kecil lebih besar dibandingkan dengan tingkat upah tenaga
kerja pada pengrajin skala menengah dan besar, apabila pengrajin skala kecil tetap
mempertahankan penggunaan jumlah jam tenaga kerja luar keluarganya sebesar
sepuluh jam atau maksimal penambahan jumlah jam tenaga kerja dalam keluarga
sebanyak dua jam sehingga maksimal penggunaan jumlah jam tenaga kerja pada
produksi pengrajin tempe skala kecil sebesar dua belas jam (Tabel 21).
Hasil yang berbeda ditunjukkan pada pengrajin skala menengah dan besar.
Alokasi penggunaan tenaga kerja keluarga pada kedua skala tersebut masih
berlebih, ditunjukkan dengan adanya nilai sisa sebesar 10,28 dan 5,20 pada
sumberdaya tenaga kerja keluarga (Tabel 21). Hal ini menunjukkan bahwa
sebenarnya proses produksi pada pengrajin skala menengah dan besar tidak harus
menggunakan atau mengupah tenaga kerja luar keluarga. Kondisi ini disebabkan
masih adanya tenaga kerja dalam keluarga yang belum sepenuhnya digunakan.
Adapun jumlah tenaga kerja dalam keluarga yang masih tersisa pada pengrajin
87
skala menengah lebih banyak jumlahnya dibandingkan dengan jumlah tenaga
kerja dalam keluarga yang tersisa pada pengrajin skala besar. Hal ini dikarenakan
jumlah jam potensial yang mampu disediakan tenaga kerja dalam keluarga pada
pengrajin skala menengah lebih banyak dibandingkan jumlah jam potensial yang
mampu disediakan tenaga kerja dalam keluarga pada pengrajin skala besar.
Seperti yang telah dibahas pada uraian sebelumnya, menurut model Linear
Programming pengrajin skala menengah dan besar tidak perlu menggunakan
tenaga kerja luar keluarga karena sebenarnya masih tersedia potensi jumlah jam
tenaga kerja dalam keluarga. Namun dalam kondisi di lapangan, pengrajin skala
menengah dan besar tetap menggunakan tenaga kerja luar keluarga. Pengrajin
skala menengah menggunakan tenaga kerja luar keluarga sebanyak dua hingga
tiga orang, masing-masing tenaga kerja luar keluarga tersebut bekerja selama lima
hingga tujuh jam setiap harinya. Pengrajin skala besar menggunakan tiga hingga
lima orang tenaga kerja luar keluarga, masing-masing juga bekerja selama lima
hingga tujuh jam setiap harinya. Dampak dari penggunaan tenaga kerja luar
keluarga yang dipaksakan ini dapat diketahui dengan menambah kendala pada
model Linear Programming, sehingga di dapat hasil yang ditunjukkan Tabel 23.
Tabel 23. Penggunaan TKLK pada Pengrajin Skala Menengah dan Besar
Skala
Pengrajin
Menengah
Besar
Sebelum penggunaan TKLK
Setelah penggunaan TKLK
Surplus TKDK
(Jam)
10,28
Keuntungan
(Rp)
3.091.706
Surplus TKDK
(Jam)
25,28
Keuntungan
(Rp)
3.039.206
5,20
3.291.000
20,20
3.228.000
Tabel 23 memberikan informasi bahwa penggunaan tenaga kerja luar
keluarga yang dipaksakan atau yang sebenarnya terjadi di lapangan ternyata akan
menurunkan keuntungan yang di dapat pengrajin skala menengah dan besar. Hal
ini terjadi karena dengan menggunakan tenaga kerja luar keluarga, pengrajin harus
membayar uang sewa sebesar Rp 3.500 per jamnya untuk TKLK yang bekerja
pada pengrajin skala menengah dan Rp 4.200 per jamnya untuk pengrajin yang
bekerja pada pengrajin skala besar. Dengan demikian sebaiknya pengrajin skala
88
menengah dan besar apabila tetap mampu mempertahankan ketersediaan jumlah
jam tenaga kerja dalam keluarganya pada batas bawah yang diizinkan seperti yang
ditunjukkan Tabel 21, maka sebenarnya tidak perlu menggunakan tenaga kerja
luar keluarga lagi. Namun dalam kondisi riilnya, pengrajin skala menengah dan
besar tetap menggunakan tenaga kerja luar keluarga karena pengrajin tersebut
memiliki kemampuan modal untuk mengupah tenaga kerja luar keluarga daripada
harus menambah jumlah jam tenaga kerja dalam keluarga.
7.2.3. Analisis Dampak Perubahan Harga Kedelai
Untuk melihat dampak kenaikan harga kedelai, dapat didekati dengan
melihat sensitivitas salah satu koefisien fungsi tujuan yaitu harga kedelai pada
masing-masing tingkatan skala pengrajin. Sensitivitas harga kedelai tersebut
memperlihatkan seberapa besar harga kedelai dapat berubah naik atau turun, tetapi
tidak merubah kondisi optimal. Besarnya sensitivitas harga kedelai pada pengrajin
tempe skala kecil, menengah, dan besar memberikan hasil yang berbeda-beda
(Tabel 24).
Tabel 24. Sensitivitas Harga Kedelai pada Pengrajin Tempe Skala Kecil,
Menengah, dan Besar
No.
1.
Skala
Pengrajin
Kecil
Harga Kedelai
(Rp/Kg)
5.200
Batas Atas
Batas Bawah
13.456
258%
Infinity
2.
Menengah
5.500
36.660
566%
Infinity
3.
Besar
4.500
22.880
408%
Infinity
Tabel 24 menunjukkan bahwa pengrajin skala menengah mampu
menghadapi kenaikan harga kedelai paling tinggi (566 persen) dibandingkan
dengan pengrajin skala kecil (258 persen) dan besar (408 persen). Dengan kata
lain, pengrajin skala menengah paling tidak sensitif dalam menghadapi kenaikan
harga kedelai relatif terhadap ketersediaan sumberdaya yang dimiliki pengrajin.
Pengrajin tempe skala menengah yang paling tidak sensitif dalam
menghadapi kenaikan harga kedelai disebabkan karena ketersediaan tenaga kerja
89
dalam keluarga yang pada pengrajin skala menengah yang cukup besar dan
bahkan cenderung berlebih.
Jika ada kondisi kenaikan harga kedelai, maka tindakan penyesuaian yang
dilakukan pengrajin yaitu dengan mengurangi jumlah tenaga kerja luar keluarga
dan menggantinya dengan tenaga kerja dalam keluarga yang masih berlebih
tersebut. Tindakan mengurangi jumlah tenaga kerja luar keluarga, pengrajin
berarti telah mengurangi biaya sewa atau upah tenaga kerja luar keluarga. Akibat
dari pengurangan penggunaan tenaga kerja luar keluarga, membuat pengrajin
menaikkan penggunaan tenaga kerja dalam keluarga sebesar pengurangan jumlah
jam tenaga kerja luar keluarga. Dengan demikian sifat dari penggunaan tenaga
kerja dalam keluarga dengan penggunaan tenaga kerja luar keluarga adalah saling
menggantikan atau bersubstitusi.
Kondisi sebaliknya, pengrajin skala kecil paling sensitif dalam
menghadapi kenaikan harga kedelai. Hal ini disebabkan, seluruh tenaga kerja
yang digunakan adalah tenaga kerja dalam keluarga dan penggunaannya tidak
berlebih.
Adanya kenaikan harga kedelai sebagai bahan baku utama yang menjadi
komponen biaya terbesar dalam struktur biaya pengrajin tempe, mengakibatkan
penurunan jumlah penggunaan kedelai dan lebih jauh lagi terjadi penurunan
jumlah jam tenaga kerja luar keluarga yang diupah atau disewa. Penurunan jumlah
penggunaan kedelai terjadi di semua skala produksi pengrajin tempe. Namun
besarnya penurunan menunjukkan angka yang berbeda-beda. Adapun penurunan
jumlah jam penggunaan tenaga kerja luar keluarga terjadi pada pengrajin tempe
dengan skala produksi menengah dan besar, hasilnya pun menunjukkan angka
yang berbeda-beda pula.
Dampak perubahan harga kedelai dilakukan dengan melakukan simulasi
peningkatan harga kedelai pada ketiga skala produksi pengrajin tempe. Pada
pengrajin tempe skala kecil akan dilihat dampak peningkatan harga kedelai
terhadap jumlah penggunaan kedelai dan keuntungan yang di dapat pengrajin
tempe skala kecil (Tabel 25).
90
Tabel 25. Dampak Perubahan Harga Kedelai terhadap Penggunaan Jumlah
Kedelai dan Keuntungan pada Pengrajin Tempe Skala Kecil
Harga
Kedelai
(Rp/Kg)
5.200
Perubahan
harga
kedelai
(%)
-
7.800
Jumlah Penggunaan
Kedelai
Kg
%
Keuntungan
Rp
%
25
-
263.962
-
50
25
-
198.962
(24,62)
10.400
100
25
-
133.962
(32,67)
11.700
125
25
-
101.462
(24,26)
13.000
150
25
-
68.962
(32,03)
15.600
200
20,81
(16,76)
12.939
(81,24)
18.200
250
3,49
(83,23)
-8.855
-
Tabel 25 memperlihatkan kenaikan harga kedelai akan berakibat pada
penurunan keuntungan yang diterima pengrajin tempe. Dilihat dari penggunaan
kedelainya, adanya kenaikan harga kedelai membuat pengrajin tempe skala kecil
juga akan menurunkan jumlah penggunaan kedelainya lebih dari 15 persen
menjadi 20,81 kg saat harga kedelai meningkat sebesar 200 persen. Jika harga
kedelai dinaikkan lagi sebesar 50 persen, menjadi 250 persen maka jumlah kedelai
yang digunakan hanya sebesar 3,49 persen. Namun pada saat penurunan
penggunaan jumlah kedelai tersebut, pengrajin sebenarnya sudah tidak
mendapatkan keuntungan yang positif lagi. Dengan kata lain, pengrajin sudah
mengalami kerugian pada saat harga kedelai meningkat sebesar 250 persen. Hal
ini dikarenakan biaya produksi yang dikeluarkan pengrajin jauh lebih besar
dibandingkan dengan penerimaan pengrajin dari hasil menjual tempe (asumsi
harga tempe tidak berubah). Secara rata-rata kenaikan harga kedelai sebesar 100
persen akan menurunkan keuntungan yang diterima pengrajin sebesar 38,96
persen dan menurunkan penggunaan jumlah kedelai sebesar 34 persen pada
pengrajin tempe skala kecil.
Berbeda halnya dengan pengrajin tempe skala menengah. Pada Tabel 26
memperlihatkan bahwa pengrajin skala menengah akan secara signifikan
menurunkan penggunaan jumlah kedelainya sebesar 90 persen, menjadi hanya
91
menggunakan 10 kg kedelai saja ketika harga kedelai yang diterima pengrajin
skala menengah meningkat hingga 600 persen. Namun dengan tingkat kenaikan
harga kedelai sebesar 600 persen, pengrajin tempe skala menengah sudah
mengalami keuntungan yang negatif (Tabel 26). Begitupun yang terjadi dengan
penggunaan jumlah jam tenaga kerja luar keluarga yang akan menurun 100 persen
atau sama sekali tidak menggunakan tenaga kerja luar keluarga, dan hanya
menggunakan tenaga kerja dalam keluarga saja saat harga kedelai meningkat
sebesar 600 persen. Secara rata-rata kenaikan harga kedelai sebesar 100 persen
akan menurunkan jumlah penggunaan kedelai sebesar 22,58 persen, jumlah
penggunaan jam tenaga kerja luar keluarga sebesar 28,57 persen dan keuntungan
yang diterima sebesar 9,81 persen. Dibandingkan dengan pengrajin tempe skala
kecil, jelas bahwa pengrajin tempe skala menengah mampu bertahan lebih baik
apabila dihadapkan pada perubahan harga kedelai yang cenderung meningkat. Hal
ini sangat dipengaruhi oleh ketersediaan sumberdaya yang dimiliki pengrajin
skala kecil dan menengah.
Tabel 26. Dampak Perubahan Harga Kedelai terhadap Penggunaan Jumlah
Kedelai, Tenaga Kerja Luar Keluarga, dan Keuntungan pada
Pengrajin Tempe Skala Menengah
Harga Kedelai
Rp/Kg
%
Jumlah
Penggunaan
Kedelai
Kg
%
Penggunaan
Jumlah
Jam TKLK
Jam
%
Keuntungan
5.500
-
100
-
10,71
-
3.054.216
-
11.000
100
100
-
10,71
-
2.504.216
(18)
16.500
200
100
-
10,71
-
1.954.216
(21,96)
22.000
300
100
-
10,71
-
1.404.216
(28,14)
27.500
400
100
-
10,71
-
854.216
(39,17)
33.000
500
100
-
10,71
-
304.216
(64,39)
36.661
567
46,40
(53,6)
0
(100)
(61.830)
-
38.500
600
10
(90)
0
-
(105.389)
-
Rp
%
92
Kenaikan harga kedelai hingga 500 persen pada pengrajin skala besar akan
menurunkan penggunaan jumlah kedelai hingga lebih dari 60 persen, dan pada
saat kondisi ini pengrajin skala besar sudah tidak lagi mendapatkan keuntungan
yang positif atau pengrajin berada dalam keadaan rugi. Sebenarnya pengrajin
sudah mengalami kerugian ketika harga kedelai meningkat sebesar 400 persen
(Tabel 27). Namun karena pengrajin cenderung masih memiliki sumberdaya
tenaga kerja luar keluarga yang mampu mengolah kedelai, maka jumlah
penggunaan kedelai pengrajin tetap sebesar 200 kg walaupun keuntungan yang
diterima pengrajin menjadi negatif. Selain penurunan penggunaan jumlah kedelai,
kenaikan harga kedelai hingga 500 persen juga akan menyebabkan penurunan
penggunaan jumlah jam tenaga kerja luar keluarga sebesar 94 persen. Secara ratarata maka kenaikan harga kedelai sebesar 100 persen akan menurunkan
penggunaan jumlah kedelai sebesar 23,22 persen; penurunan jumlah jam tenaga
kerja luar keluarga sebesar 31,37 persen; dan penurunan keuntungan sebesar
14,39 persen. Hal ini secara rinci ditampilkan dalam Tabel 27.
Tabel 27. Dampak Perubahan Harga Kedelai terhadap Penggunaan Jumlah
Kedelai, Tenaga Kerja Luar Keluarga, dan Keuntungan pada
Pengrajin Tempe Skala Besar
Harga Kedelai
Rp/Kg
Penggunaan
Jumlah Kedelai
Penggunaan
Jumlah
Jam TKLK
Jam
%
%
Keuntungan
%
Kg
Rp
%
4.500
-
200
-
14,80
-
3.228.840
-
9.000
100
200
-
14,80
-
2.328.840
(27,87)
13.500
200
200
-
14,80
-
1.428.840
(38,65)
18.000
300
200
-
14,80
-
528.840
(62,99)
22.500
400
200
-
14,80
-
(371.160)
-
27.000
500
60,67
(69,67)
0,87
(94,12)
(697.107)
-
Konsekuensi dari penggunaan model Linear Programming menyebabkan
perubahan harga kedelai yang mampu ditolerir pengrajin tempe menjadi sangat
besar. Terlihat dari pengrajin skala kecil yang masih mampu bertahan dengan
93
penggunaan kedelai sebanyak 25 kg saat harga kedelai meningkat lebih dari 200
persen (Tabel 25), pengrajin tempe skala menengah yang masih mampu
menggunakan kedelai sebesar 100 kg saat harga kedelai meningkat lebih dari 500
persen (Tabel 26), dan pengrajin skala besar yang tetap menggunakan kedelai
sebanyak 200 kg saat harga kedelai meningkat lebih dari 400 persen (Tabel 27).
Hasil simulasi harga kedelai pada masing-masing skala pengrajin seperti
yang ditampilkan dalam Tabel 25, 26, dan 27 di atas sebenarnya hampir tidak
mungkin terjadi dalam kondisi sebenarnya. Namun simulasi tersebut hanya ingin
memperlihatkan range perubahan kenaikan harga kedelai yang bisa diterima
pengrajin tempe skala menengah dan besar, lebih lebar dibandingkan dengan
range perubahan harga kedelai yang mampu diterima pengrajin tempe skala kecil.
Dampak dari peningkatan harga kedelai terhadap penggunaan input
kedelai pada masing-masing pengrajin, secara grafik ditunjukkan pada Gambar
11. Panjang pendeknya garis vertikal yang mewakili masing-masing skala
pengrajin tempe menunjukkan besarnya sensitivitas jumlah penggunaan kedelai
terhadap perubahan kenaikan harga kedelai. Semakin pendek garis vertikal yang
terbentuk, berarti pengrajin tempe semakin sensitif dalam menghadapi kenaikan
harga kedelai. Sebaliknya semakin panjang garis vertikal yang terbentuk pada
skala pengrajin tertentu, berarti pengrajin tersebut cenderung lebih tidak sensitif
terhadap kenaikan harga kedelai.
Gambar 11 menunjukkan bahwa penggunaan input kedelai (Qk)
sebanyak 25 kg pada pengrajin skala kecil tidak akan berubah selama kenaikan
harga kedelai berada pada range Rp 5.200 hingga Rp 13.456. Jumlah penggunaan
kedelai akan semakin menurun seiring dengan bertambahnya kenaikan harga
kedelai. Saat harga kedelai berada pada kisaran Rp 13.457 sampai dengan Rp
16.334, jumlah kedelai yang digunakan menurun menjadi 20,80 kg. Namun saat
harga kedelai meningkat menjadi Rp 16.335, pengrajin berada pada kondisi yang
tidak lagi menguntungkan dan penggunaan kedelai semakin menurun menjadi 3
kg. Jika garis-garis penggunaan kedelai tersebut dihubungkan, maka akan
terbentuk garis dengan kemiringan negatif yang dikenal dengan kurva permintaan
(demand). Dalam kasus ini terbentuklah kurva permintaan turunan untuk kedelai
sebagai input pada pengrajin skala kecil (Dk1).
94
Sk2
40000.00
Sk2
Sk3
35000.00
30000.00
Rp/Qk
Sk1
25000.00
Sk3
20000.00
Sk1
15000.00
Dk3
10000.00
5000.00
Dk1
Dk2
0.00
3.00
20.80
25.00
46.40
60.67 100.00 200.00
Qk (Kg)
Keterangan:
Sk1 = Pengrajin tempe skala kecil
Sk2 = Pengrajin tempe skala menengah
Sk3 = Pengrajin tempe skala besar
Gambar 11. Perubahan Penggunaan Input Kedelai Akibat Kenaikan Harga
Kedelai Pada Masing-Masing Skala Pengrajin
Sumber: Data Primer (2010)
Pada pengrajin skala menengah, jumlah penggunaan input kedelai tetap
sebanyak 100 kg jika harga kedelai berada pada kisaran harga Rp 5.500 hingga Rp
36.660, dan jumlah penggunaan kedelai akan menurun secara signifikan menjadi
46,4 kg saat harga kedelai mulai berubah lebih dari Rp 36.660. Garis-garis
penggunaan kedelai tersebut jika dihubungkan seperti pada pengrajin skala kecil,
juga akan terbentuk garis dengan slope menurun atau negatif yang dikenal dengan
kurva permintaan. Dengan demikian melalui perubahan harga kedelai dan jumlah
yang digunakan, dapat dibentuk kurva permintaan untuk kedelai pada pengrajin
skala menengah (Dk2).
Pengrajin skala besar tetap akan menggunakan kedelai sebanyak 200 kg
saat harga kedelai yang diterima berada pada harga Rp 4.500 hingga Rp 22.880.
Apabila harga kedelai yang diterima pengrajin skala besar melebihi Rp 22.880,
95
maka penggunaan input kedelai akan menurun menjadi 60,67 kg dan pengrajin
berada dalam kondisi usaha yang tidak lagi menguntungkan atau keuntungan yang
diterima menjadi negatif karena biaya produksi yang dikeluarkan melebihi
pendapatan yang di dapat. Sama seperti pengrajin skala kecil dan menengah,
melalui perubahan harga kedelai dan jumlahnya dapat dibentuk kurva permintaan
untuk input kedelai bagi pengrajin skala besar, yaitu dengan menghubungkan
garis-garis perubahan penggunaan kedelai akibat adanya perubahan harga kedelai
(Garis Dk3).
Gambar 11 menunjukkan garis vertikal pada pengrajin skala kecil (Sk1)
paling pendek dibandingkan dengan garis vertikal pengrajin skala menengah
(Sk2) dan pengrajin skala besar (Sk3). Telah dijelaskan sebelumnya bahwa
panjang pendeknya garis vertikal yang terbentuk menggambarkan sensitivitas
pengrajin tempe terhadap kenaikan harga kedelai. Pengrajin skala kecil memiliki
garis vertikal (Sk1) paling pendek dibandingkan garis vertikal pengrajin skala
menengah (Sk2) dan skala besar (Sk3). Dengan demikian melalui Gambar 11 juga
membuktikan bahwa pengrajin skala kecil paling sensitif terhadap kenaikan harga
kedelai.
Jika dibandingkan setiap kenaikan harga kedelai yang diterima pengrajin
sebesar 100 persen, akan menurunkan penggunaan input kedelai pengrajin skala
kecil, menengah, dan besar secara berurutan yaitu sebesar 34 persen, 22,58
persen, dan 23,22 persen. Hal ini semakin memperlihatkan bahwa pengrajin skala
kecil terkena dampak paling besar apabila terjadi kenaikan harga kedelai,
sedangkan pengrajin tempe skala menengah dan besar relatif tidak berbeda jauh
dampaknya dalam menurunkan jumlah penggunaan kedelainya apabila terjadi
kenaikan harga kedelai.
Bila diamati lebih jauh, ternyata kurva permintaan masing-masing
pengrajin memiliki besar bentuk kemiringan yang berbeda-beda. Pengrajin skala
kecil memiliki kemiringan yang paling kecil atau elastisitasnya paling besar,
sebaliknya pengrajin skala menengah memiliki bentuk kurva yang kemiringannya
paling besar atau elastisitasnya paling kecil. Sesuai dengan teori elastisitas, bahwa
semakin elastis sifat suatu produk maka perubahan harga sedikit saja akan
merubah kuantitas produk tersebut. Kemudian semakin tidak elastis sifat dari
96
suatu produk, maka perubahan harga produk cenderung tidak terlalu besar
pengaruhnya terhadap jumlah penggunaan produk tersebut.
Bentuk elastisitas yang berbeda-beda ini, semakin memperlihatkan dan
menguatkan hasil yang diperoleh dalam model Linear Programming, bahwa
pengrajin skala kecil paling sensitif dalam menghadapi kenaikan harga kedelai.
Namun perlu diperhatikan bahwa perubahan harga kedelai tersebut sifatnya adalah
cateris paribus, dengan kata lain tidak ada perubahan yang terjadi pada variabel
lainnya selain perubahan harga kedelai.
97
Download